You are on page 1of 9

Masalah Penyimpangan Sosial

Dasar pengakategorian penyimpangan didasari oleh perbedaan perilaku, kondisi dan orang.
Penyimpangan dapat didefinisikan secara statistik, absolut, reaktifis atau normatif. Perbedaan
yang menonjol dari keempat sudut pandang pendefinisian itu adalah pendefinisian oleh para
reaktifis atau normatif yang membedakannya dari kedua sudut pandang lainnya.
Penyimpangan secara normatif didefinisikan sebagai penyimpangan terhadap norma, di mana
penyimpangan itu adalah terlarang atau terlarang bila diketahui dan mendapat sanksi. Jumlah
dan macam penyimpangan dalam masyarakat adalah relatif tergantung dari besarnya
perbedaan sosial yang ada di masyarakat.

Masyarakat dan Penyimpangan


Penyimpangan adalah relatif terhadap norma suatu kelompok atau masyarakat. Karena norma
berubah maka penyimpangan berubah. Adalah sulit untuk menentukan suatu penyimpangan
karena tidak semua orang menganut norma yang sama sehingga ada perbedaan mengenai apa
yang menyimpang dan tidak menyimpang. Orang yang dianggap menyimpang melakukan
perilaku menyimpang. Tetapi perilaku menyimpang bukanlah kondisi yang perlu untuk
menjadi seorang penyimpang. Penyimpang adalah orang-orang yang mengadopsi peran
penyimpang, atau yang disebut penyimpangan sekunder. Para penyimpang mempelajari
peran penyimpang dan pola-pola perilaku menyimpang sama halnya dengan orang normal
yang mempelajari peran dan norma sosial yang normal. Untuk mendapatkan pemahaman
penuh terhadap penyimpangan diperlukan pengetahuan tentang proses keterlibatan
melakukan perilaku menyimpang dan peran serta tindakan korbannya.

Penyimpangan Sebagai Suatu Proses


Perilaku menyimpang adalah perilaku manusia dan dapat dimengerti hanya dengan kerangka
kerja perilaku dan pikiran manusia lainnnya. Seseorang menjadi penyimpang sama halnya
dengan seseorang menjadi apa saja, yaitu dengan proses belajar norma dan nilai suatu
kelompok dan penampilan peran sosial. Ada nilai normal dan ada nilai menyimpang.
Perbedaannya adalah isi nilai, norma dan peran. Melihat penyimpangan dalam konteks norma
sosial membuat kita dapat melihat dan mengintepretasikan arti penyimpangan bagi
penyimpang dan orang lain. Peran penyimpang adalah peran yang kuat karena cenderung
menutupi peran lain yang dimainkan seseorang. Lebih jauh lagi, peran menyimpang menuruti
harapan perilaku tertentu dalam situasi tertentu. Pecandu obat menuruti harapan peran
pecandu obat seperti juga penjahat menuruti harapan peran penjahat.

Penyimpangan biasanya dilihat dari perspektif orang yang bukan penyimpang. Pengertian
yang penuh terhadap penyimpangan membutuhkan pengertian tentang penyimpangan bagi
penyimpang. Studi observasi dapat memberikan pengertian langsung yang tidak dapat
diberikan metode lainnya. Untuk menghargai penyimpangan adalah dengan cara memahami,
bukan menyetujui apa yang dipahami oleh penyimpang. Cara-cara para penyimpang
menghadapi penolakan atau stigma dari orang non penyimpang disebut dengan teknik
pengaturan. Tidak satu teknik pun yang menjamin bahwa penyimpang dapat hidup di dunia
yang menolaknya, dan tidak semua teknik digunakan oleh setiap penyimpang. Teknik-teknik
yang digunakan oleh penyimpang adalah kerahasiaan, manipulasi aspek lingkungan fisik,
rasionalisasi, partisipasi dalam subkebudayaan menyimpang dan berubah menjadi tidak
menyimpang.
Teori-Teori Individu tentang Penyimpangan
Pendekatan individu tentang penyimpangan mengkaitkan proses menjadi penyimpang dengan
sesuatu yang ada dalam diri manusia, psikologi atau biologi. Teori individual sama dengan
model pandangan medis yang mengkaitkan penyimpangan dengan kesakitan (illness), yang
membutuhkan perawatan dan penyembuhan. Pandangan psikiatri dan psikoanalisis adalah
sama dalam hal mencari akar penyimpangan pada pengalaman masa kecil, tetapi pandangan
psikoanalisis lebih menekankan keterbelakangan dalam perkembangan kepribadian, konflik
seksual dan alam pikiran bawah sadar. Tetapi tidak ada metode yang dapat membuktikan
perbedaan yang konsisten antara penyimpang dan non penyimpang berdasarkan kepribadian
bawaan.

Studi pelanggaran terhadap norma sosial, atau pelanggaran peraturan tidak hanya dipelajari
oleh sub bidang sosiologi penyimpangan. Bidang analisis sosiologi lainnya yang juga
mengkaji masalah tentang pelanggaran tersebut oleh para sosiolog disebut sebagai masalah
sosial dan kriminologi. Perbedaan dalam hal analisisnya dengan studi penyimpangan sosial
digambarkan dalam gambar berikut ini.

Kriminologi
Masalah sosial adalah daerah penelitian yang umum dan termasuk di dalamnya
penyimpangan sosial dan kriminologi. Masalah sosial adalah isu-isu sosial yang oleh banyak
orang diberikan penjelasan dan resolusi yang berbeda-beda atau dianggap masalah atau
merugikan kesejahteraan masyarakat. Masalah sosial biasanya ditandai dengan klaim-klaim
yang bertentangan dari banyak orang dan kelompok kepentingan terhadap isu-isu tertentu.
Isu-isu tersebut termasuk pencemaran udara, kenakalan anak, aborsi, kejahatan, perkosaan,
diskriminasi ras dan etnik, pengangguran dan korupsi.

Walaupun penyimpangan sosial didefinisikan sebagai masalah sosial, tetapi tidak semua
masalah sosial adalah penyimpangan, di mana aturan-aturan sosial telah dilanggar. Pada
penyimpangan sosial pelaku pelanggaran norma dapat ditemukan. Sementara dalam masalah
sosial, pelakunya dapat dikategorikan sebagai individu, jaringan organisasi atau masyarakat
itu sendiri.

Termasuk di dalam studi penyimpangan sosial adalah kriminologi. Penyimpangan sosial


mempelajari perilaku dan mereka yang dianggap sebagai pelanggar aturan. Sedangkan
kriminologi adalah studi tentang orang-orang yang melanggar aturan-aturan resmi yang
disebut hukum. Kejahatan adalah suatu perilaku yang dianggap sebagai perilaku yang
melanggar hukum. Ini adalah bentuk khusus perilaku menyimpang yang secara formal dan
resmi ditetapkan oleh penguasa. Banyak jenis penyimpangan yang bukan kejahatan. Tetapi
semua kejahatan adalah penyimpangan. Misalnya sakit jiwa bisa dianggap penyimpangan
tetapi bukan kejahatan.

Sosiolog yang mempelajari penyimpangan sosial dan kriminologi mempunyai banyak


kesamaan. Bahkan keduanya banyak meneliti bentuk-bentuk penyimpangan kriminal maupun
penyimpangan non kriminal. Peneliti dari dua bidang ini memberikan perhatian pada sumber-
sumber perilaku menyimpang, reaksi terhadap individu dan reaksi institusi terhadap perilaku
menyimpang dan penyimpang, formasi kelompok penyimpang dan sub kebudayaan
penyimpang, serta sosialisasi ke dalam peran-peran penyimpang. Walaupun dari sudut
sejarah terdapat perbedaan mengenai teori dan pengertian tentang isu-isu yang perlu
dipelajari antara penyimpangan sosial dan kriminologi, tetapi masih banyak sejumlah
persamaan dari keduanya. Studi penyimpangan sosial seringkali menggunakan data-data
kriminologi untuk mengilustrasikan secara teoritis keberadaan perilaku menyimpang secara
umum.

Ada banyak persilangan pemikiran antara penyimpangan sosial dan kriminologi. Beberapa
sosiolog menganggap penyimpangan sosial sebagai dasar penjelasan teoritik terhadap
kriminologi dan studi masalah sosial. Sementara sosiolog lainnya lebih menitikberatkan pada
perkembangan perspektif teoritis dan model konseptual yang lebih khusus terhadap fenomena
yang berbeda yang dipelajari oleh masing-masing disiplin ilmu.

Seperti juga subbahasan sosiologi lainnya, studi penyimpangan sosial memberikan


sumbangan terhadap pemahaman lebih mendasar akan ciri-ciri masyarakat dan perilaku
manusia. Ia memberikan pemahaman terhadap variasi gambaran kehidupan normal sehari-
hari. Modul Sosiologi Perilaku Menyimpang ini sebagian besar pembahasannya bersumber
dari buku Sociology of Deviant Behaviour karya Marshal B. Clinard dan Robert F. Meier.
Sistematika penulisannya juga mengikuti alur buku aslinya. Pembahasannya mencakup
variasi dalam pola sosialisasi, permainan peran, afiliasi kelompok, kelompok organisasi,
interaksi antara kelompok, gaya hidup, sikap, nilai, kehidupan keluarga, kontrol sosial dan
perubahan sosial. Semua itu merupakan komponen masyarakat dan perilaku yang menjadi
fokus perhatian para sosiolog.

Sumber buku Sosiologi Perilaku Menyimpang karya Jokie M.S. Siahaan


http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/masalah-penyimpangan-
sosial.html

Masalah Pengangguran di Indonesia

Dikirim oleh Webmaster

Masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara
berkembang seperti di Indonesia.Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka
pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Berdasarkan
pengamatan penulis yang didapatkan dari segala sumber. Sempitnya lapangan pekerjaan
dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi.
Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga
dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih
mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang
surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan
penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah penulis mencoba
untuk mengangkat masalah pengangguran dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut
pengamatan saya sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara kita terkena imbas dari
krisis ekonomi sejak tahun 1997 hingga tahun 2008. Penulis mengambil data pada tahun 2008 untuk
dijadikan artikel berdasarkan data dari sumber-sumber yang ada.
Permasalahan
Apa itu pengangguran? Pengangguran adalah suatu kondisi di mana orang tidak dapat bekerja,
karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai macam tipe pengangguran, misalnya
pengangguran teknologis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural.

Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak
merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama
rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama
sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah terbatasnya
penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara
maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih
rendah daripada yang dilakukan di negara-negara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas
dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Tingginya angka penganggur berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak
sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar
biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa
dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa
ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.

Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah
terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan
pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan
pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan
inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau
hujan. Juga para pedagang kaki lima dan tukang becak, bahkan orang demo saja dibayar. Yang
menjadi kekhawatiran adalah jika banyak para penganggur yang mencari jalan keluar dengan
mencari nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet, penjaja seks, pencuri,
preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat
rusuh atau anarkis demi kepentingan politik salah satu kelompok tertentu. Hal inilah yang harus
diperhatikan oleh pemerintah jika krisis sosial tidak ingin berlanjut terus.

Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik
dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan
bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai
upaya.

Pembahasan
Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat
pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak.
Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin
bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sama sekali.

Elwin Tobing mengidentifikasikan bahwa meningkatnya pengangguran tenaga terdidik merupakan


gabungan beberapa penyebab.

Pertama, ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi
penawaran tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja).
Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau masalah
keahlian khusus. Memang juga bahwa tidak setiap lulusan langsung mencari kerja.
Kedua, semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman.
Golongan ini menilai tinggi pekerjaan yang stabil daripada pekerjaan yang beresiko tinggi sehingga
lebih suka bekerja pada perusahaan yang lebih besar daripada membuka usaha sendiri. Hal ini
diperkuat oleh hasil studi Clignet (1980), yang menemukan gejala meningkatnya pengangguran
terdidik di Indonesia, antara lain disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari
resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat
pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Ketiga, terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal, sementara angkatan kerja terdidik
cenderung memasuki sektor formal yang kurang beresiko. Hal ini menimbulkan tekanan penawaran,
yaitu tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan yang kuat terhadap
kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil.
Keempat, belum efisiennya fungsi pasar kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan
kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak
angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Denga begitu ada banyak hal yang menyebabkan
peningkatan pengangguran terdidik terutama dari sebab faktor gengsi pendidikan menyebabkan
lulusan akademi atau universitas memilih menganggur, masalah skil lulusan serta sempitnya
lowongan pekerjaan sektor formal.

Berdasarkan data yang disajikan tentang tingkat pengangguran menurut pendidikan dari tahun 2004
sampai Februari 2008 yang bersumber dari BPS (lihat lampiran). Data-data itu menunjukkan jumlah
pengangguran di berbagai jenjang pendidikan yaitu jenjang pendidikan di bawah SD, SD, SMP, SMU,
Diploma dan Universitas. Data dimulai dari tahun 2004, Februari 2005, November 2005, Februari
2006, Agustus 2006, Februari 2007, Agustus 2007, dan Februari 2008. Data ini didapat dari Survey
Angkatan kerja Nasional yang dilakukan oleh BPS 2004, 2005, 2006 dan 2007. Untuk jenjang
pendidikan di bawah SD terjadi penurunan jumlah pengangguran setiap tahunnya di mana dari tahun
2004 sampai dengan Februari 2008 terjadi penurunan 50%. Untuk tamatan SD, terjadi fluktuasi
setiap tahunnya di mana besarnya fluktuasi tidak signifikan dan terjadi penurunan sebesar 4% dari
tahun 2004 ke Februari 2008. Untuk tamatan SMP juga berfluktuasi tiap tahunnya dan antara tahun
2004 ke Februari 2008 terjadi penurunan sebesar 19%.

Data pengangguran pada level pendidikan SMU menunjukkan pelonjakkan jumlah dari 2004 ke 2006
dan sampai 2007 terjadi peningkatan sebesar 10%, tapi pada Februari kembali menurun dan antara
tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi penurunan sebesar 8,8%. Pada level pendidikan diploma, setiap
tahunnya terjadi fluktuasi peningkatan dan membengkak pada Februari 2008 di mana antara tahun
2004 ke Februari 2008 terjadi peningkatan sebesar 119%. Untuk tamatan universitas, sama halnya
dengan tamatan diploma terjadi fluktuasi peningkatan setiap tahunnya dengan peningkatan sebesar
79,8%. Dari data-data tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut: -Kabar yang menggembirakan
untuk pangangguran tamatan di bawah tingkat SD yang mana terjadi penurunan yang cukup
signifikan dari 2004 ke Februari 2008 yaitu sebesar 50%. -Tiga level pendidikan yang paling banyak
penganggurannya adalah level pendidikan SD, SMP dan SMU. -Level pendidikan di bawah SD dan
Diploma pada Februari 2008 adalah dua besar jumlah pengangguran paling kecil. -Pada level
pendikan diploma terjadi hal yang mengecewakan yaitu dari tahun 2004 ke Februari 2008 terjadi
peningkatan yang sangat signifikan sebesar 119%. -Selain diploma, lulusan universitas juga
mengalami peningkatan jumlah pengangguran yang signifikan dari tahun 2004 ke Februari 2008
sebesar 79,8% -Dari kondisi pengangguran tamatan diploma dan universitas yang meningkat setiap
tahunnya dengan signifikan maka ada suatu masalah pada sistem pendidikan tinggi di Indonesia ini
setiap tahunnya di mana terjadi pengangguran terdidik. Berdasarkan data dan informasi di atas
maka ada dua masalah yang ingin penulis bahas yaitu: -Peningkatan yang pesat pengangguran
terdidik -Paling besarnya jumlah pengangguran pada level SMU. Analisa dan Solusi Pada bagian
sebelumnya telah dikemukakan beberpa permasalahan yaitu pesatnya persentase peningkatan
pengangguran terdidik setiap tahunnya dan paling besarnya jumlah pengangguran pada level
pendidikan SMU. Untuk itu dalam bagian ini penulis akan mencoba membahas dua persoalan di atas
di mana penulis akan menjabarkan permasalahan tersebut satu-persatu dengan mengemukakan
sebab-sebab permasalahan, fenomena di lapangan dan referensi opini orang lain atau para ahli
tentang hal tersebut. Selanjutnya juga penulis mencoba mencari suatu solusi berdasarkan analisa
pembahasan yang telah dilakukan. Masalah Pengangguran Terdidik Jika kita melihat data BPS
sebelumnya maka suatu permasalahan yang ada adalah bahwa dari tahun 2004 ke Februari 2008
terjadi peningkatan yang cukup signifikan sebesar 119% untuk level pendidikan diploma dan untuk
level pendidikan Universitas maka terjadi peningkatan sebesar 79,8%. Hal ini lebih besar daripada
peningkatan pengangguran pada level pendidikan lainnya. Apa yang menjadi penyebab hal ini?
Kenapa dengan semakin tingginya pendidikan seseorang tapi persentase peningkatan
penganggurannya semakin besar dari tahun ke tahunnya. Pengangguran terdidik terjadi antara lain
sebagai akibat dari lemahnya perencanaan pendidikan. Di samping sebagai akibat langsung dinamika
ekonomi masyarakat dan krisis ekonomi yang dihadapi. Lemahnya perencanaan pendidikan dapat
dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang
sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapanga kerja.
Sehingga gap ini menciptakan barisan pengangguran yang semakin panjang di kalangan kelompok
terdidik. Dan barisan ini dari tahun ketahun semakin panjang, apalagi diperparah oleh menurunnnya
kinerja ekonomi sebagai akibat dari krisis. Secara empiris yelah terjadi kekurang-sepadanan antara
Supply dan Demand keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurangcocokan kebutuhan dan
penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan
pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan
dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus berubah.
Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks
kebutuhan masyarakat secara utuh.

Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita memerlukan pertumbuhan
ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6 persen, sehingga bisa menampung paling tidak
2,4 juta angkatan kerja baru. Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar
400 ribu angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang rata-rata bisa
menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang
pesat maka mau tidak mau negara kita terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit
untuk mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam negeri para
pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini bertambah parah karena hutang para
pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar
rupiah begitu rendah (undervalue) terhadap dolar. Namun menarik para investor asingpun bukan
merupakan pekerjaan yang mudah jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu
politik yang semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa, dan
berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi yang kondusif haruslah diupayakan dan
dipertahankan guna menarik investor asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang
sudah menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya akan
berakibat capital outflow.

Masalah Pengangguran dan Krisis Sosial


Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar
kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial ditandai dengan
meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak
jalanan atau preman, dan besarnya kemungkinan untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang
senantiasa menghantui masyarakat kita. Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti
mendapatkan harga diri. Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan harga diri. Walaupun bukan
pilihan semua orang, di zaman serba susah begini pengangguran dapat dianggap sebagai nasib.
Seseorang bisa saja diputus hubungan kerja karena perusahaannya bangkrut. Padahal di masyarakat,
jutaan penganggur juga antri menanti tenaganya dimanfaatkan. Besarnya jumlah pengangguran di
Indonesia lambat-laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu
krisis sosial, karena banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya. Pengangguran yang terjadi
tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua
yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat
dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang
asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan
memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.
Masalah Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang
mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada tahun 1995 mencapai
12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun
2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan
dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar
kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.

Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik
banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Meski ada
kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan
pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi
pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena
itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan
yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini
pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek.

Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa
menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam
porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam
wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa
hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu
sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak
memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam
memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa
cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam
berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas
dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika
bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat
jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun
hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal
rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh
dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi
gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga
kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius
membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka
para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari
pekerjaan. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik
cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi.
Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi
subsistem ke sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung
rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi
merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak
hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi
rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas.

Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang
mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju yang
teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai
mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-
an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan
kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar.

Memasuki dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong
pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah
pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat mengubah struktur
angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari
angkatan kerja nasional. Namun di sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan
lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur.

Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas
pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya
rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik
dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat
lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai
ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara
bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.

Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif
dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia.
Lebih tegaslagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Untuk itu
diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang
berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa
uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank
Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya.Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal
itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga
pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan
pelaksanaannya.

Kebijakan Mikro

Selalin itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin.

Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap
manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan
mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup
mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai
dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas. Kepribadian yang matang, dinamis dan
kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai
mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi
yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang,
kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara
nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat
diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang
kompeten untuk itu.
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil
sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka
lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan
berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu
dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah
PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri
dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di
Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci,
keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang
menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas
dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja
baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah
perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah,
misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat
didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan
kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk
meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan
lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat
disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat
membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara
lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software),
manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau
bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi
lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil
(skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Bagi
pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang
memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke
luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training
Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di
negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri
seperti di Filipina.
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas
perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan
hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan,
penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya.
Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara
pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur. Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan
kompleks sehingga hal itu perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai
kebijakan.
10. Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau
yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik
supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif. Hal-hal yang paling
sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai
pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau
orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya.

Kesimpulan
Pendidikan yang diterapkan haruslah sesuai dengan fakta dunia kerja. Jumlah yang besar
pengangguran level pendidikan SMU Hal ini dapat disebabkan angka melanjutkan yang kecil (banyak
lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dengan segala alasannya) dan sistem
pendidikan/pembelajaran yang tidak menunjang. Merubah atau memperbaiki sistem pendidikan di
perguruan tinggi. Memasukkan banyak praktek pada pendidikan di perguruan tinggi -Meningkatkan
jumlah SMK. Sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah bahwa perkembangan SMK sampai tahun
2015 dibanding SMU adalah 70% : 30% termasuk mengembangkan mutu layanannya.

You might also like