You are on page 1of 19

PENGUASAAN DAERAH ATAS BAHAN

GALIAN/PERTAMBANGAN
DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
-----------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------Oleh : Sri Nur Hari susanto

I. PENDAHULUAN.
Sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakukan
pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam (SDA)
di Indonesia adalah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.Di dalam pasal
tersebut diirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengenai rumusan di muka tidak pernah ada penjelasan atau
kejelasan resmi tentang makna “dikuasai oleh negara” Namun satu
hal yang telah disepakati bahwa dikuasai oleh negara tidak sama
dengan dimiliki negara. Kesepakatan ini bertalian dengan atau
suatu bentuk reaksi dari system atau konsep “domein” yang
dipergunakan pada masa kolonial Hindia Belanda.
Konsep atau lebih dikenal dengan “asas domein” ,
mengandung pengertian kepemilikan (ownership). Negara adalah
pemilik atas tanah, karena itu memiliki segala wewenang
melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan (eigensdaad). 1

UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA)


merumuskan makna “hak menguasai negara” sebagai wewenang
untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang agkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 2

1
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2004),
hlm.230.
2
UU No.5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat (2).

1
Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat
hukum adat. 3
Dalam penjelasan umum lebih ditegaskan bahwa
negara tidak memiliki , melainkan bertindak selaku pemegang
kekuasaan. Jadi bersifat publik atau kepemerintahan belaka
(bestuursdaad). Yang seringkali dilupakan adalah tujuan dari
dikuasai Negara. Baik dalam UUD 1945 maupun UUPA ditegaskan
bahwa hak menguasai oleh Negara adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, setidak-tidaknya
ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu :
a. Apabila dengan itikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan
dimanfaatkan oleh rakyat, maka kenyataan itu harus dihormati
dan dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah-tanah tersebut
merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran
rakyat. Rakyat harus mendapat hak didahulukan dari pada
occupant baru yang menyalahgunakan formalitas-formalitas
hukum yang berlaku;
b. Tanah yang dikuasai Negara tetapi telah dimanfaatkan rakyat
dengan itikad baik (ter geode trouw) hanya dapat dicabut atau
diasingkan dari mereka, semata-mata untuk kepentingan umum,
yaitu untuk kepentingan sosial dan atau kepentingan Negara;4
c. Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau
hubungan konkrit yang diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan
itikad baik, harus dijamin tidak akan menurunkan status atau
kualitas hidup mereka karena hubungan mereka dengan tanah
tersebut.
Berdasarkan logika di atas, maka semestinya makna dikuasai oleh
Negara mengandung arti :
3
Ibid , Ayat (3) dan Ayat (4).
4
Kepentingan umum biasanya dipadankan dengan publiek belang. Saya lebih cenderung memadankan
dengan “algemeen belang” atau “general purpose”, yang dibedakan menjadi kepentingan sosial
(sociale belangen, social purposes) dan kepentingan Negara atau untuk menyelenggarakan kekuasaan
public (inilah yang disebut kepentingan public atau “publiek belang atau public purposes”). Dalam
hubungan ini Roscoe Pound membedakan tujuan hukum ke dalam individual interest, social interest
dan public interest.

2
1. Hak (Negara) itu harus dilihat sebagai antitesis dari asas
domein yang memberi wewenang kepada Negara untuk
melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan
asas kepunyaan menurut adat istiadat. Hak kepunyaan
didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya sebagai
pengatur belaka;
2. Hak menguasai oleh Negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan
yaitu demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus
memberikan hak terdahulu kepada rakyat yang telah secara
nyata dan dengan itikad baik memanfaatkan tanah.
Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang
terkandung dalam bumi dan dalam air. Dalam bumi diartikan
sebagai dipermukaan atau dibawah bumi. Di dalam air diartikan
berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah bumi yang berair
(sungai, danau, laut , rawa). Bahan galian tambang untuk sebagian
didapati di atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang
berada di bawah air. Oleh karena itu pengertian bahan galian harus
diartikan baik yang diperoleh dengan menggali maupun dengan
cara-cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk
permukaan bumi yang ada di bawah air.

II. OTONOMI DAERAH DAN PENGUASAAN DAERAH ATAS BAHAN


GALIAN
Di dalam UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) telah disebutkan bahwa
pelaksanaan penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dapat dikuasakan kepada daerah.
Walaupun ketentuan ini memungkinkan daerah turut serta
menyelenggarakan hak menguasai oleh Negara atas bumi, air dan
kekayaan alam di dalamnya, tetapi tidak cukup jelas terutama
mengenai makna “dikuasakan”. Apakah dikuasakan itu dalam arti
diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah atau sebagai
tugas pembantuan atau sebagai tugas dekonsentrasi ?

3
Hal ini baru nampak jelas dalam UU No.11 Tahun 1967
(Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan/UUPP – yang telah
diganti dengan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara). Dalam undang-undang ini disebutkan :
a. Terhadap bahan galian golongan c pelaksanaan, penguasaan
Negara dan pengaturannya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat I;
b. Terhadap bahan galian golongan b dapat diserahkan kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I.
Ketentuan di atas menunjukkan :
(1) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian
golongan c sepenuhnya diserahkan kepada daerah (dalam hal ini
Daerah Tingkat I);
(2) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian
golongan b dapat dilakukan pusat atau daerah. Wewenang
daerah tergantung pada kebijakan pusat.
Bagaimanakah keadaan setelah ada UU No.32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan
Daerah ? Sejak berlakunya undang-undang tersebut, pemberian
otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota “secara
luas” (penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004) telah dipersepsikan
secara keliru bahwa semua kewenangan pertambangan secara
otomatis menjadi kewenangan pemerintah daerah. Dalam konteks
otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan dan urusan
pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah
daerah secara otomatis. Tugas-tugas pengelolaan di bidang
pertambangan bukanlah tugas yang bersifat kedaerahan, sehingga
tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Urusan yang
dapat diserahkan kepada daerah adalah urusan yang bersifat lokal,
artinya mempunyai nilai yang bersifat kedaerahan, sesuai dengan
kondisi daerah dan tidak menyangkut kepentingan nasional.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 didapati ketentuan sebagai berikut:

4
(1) Kewenangan daerah meliputi seluruh kewenangan bidang
pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta
agama.
Di dalam Pasal 10 dinyatakan :
Ayat (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

Ayat (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. politik
luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal
nasional; dan
f. agama
Memperhatikan ketentuan di atas, secara a contrario maka
pada asasnya urusan pemerintahan di bidang bahan galian
tambang mesti masuk menjadi urusan rumah tangga daerah. Akan
tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 13, kewenangan urusan
pertambangan bukan merupakan kewenangan “wajib” yang
dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Bidang urusan pertambangan termasuk dalam urusan yang bersifat
“pilihan” , yaitu urusan yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan. Oleh karena itu, kewenangan di bidang
pertambangan semestinya dibagi dalam kewenangan yang bersifat
mengatur (regelen), mengurus (besturen) dan mengawasi
(toezichthouden).
Dalam konteks penerapan hak penguasaan Negara (HPN) atas
bahan galian, tidak berarti negara sebagai pemilik. Namun apabila
dilihat dari “hak eksklusif” yang melekat pada negara, maka HPN
harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara yang

5
mengandung pengertian bahwa negara diberi kewenangan penuh
(volldige bevoegheid) untuk menentukan kebijaksanaan yang
diperlukan semata-mata dalam bentuk ketiga kewenangan di atas
(regelen, besturen, toezichthouden).terhadap kegiatan
pengusahaan pertambangan.
Di sinilah keterkaitan dengan pembentukan kebijakan yang
menyangkut kerjasama pengusahaan di bidang pertambangan di
mana paradigma telah berubah secara tajam. Namun harus tetap
melihat karakter lokalitas dari daerah yang bersangkutan yang
menerima kewenangan urusan pertambangan
Oleh karena itu pemegang “hak milik” atas kekayaan alam
berupa aneka ragam bahan galian yang terkandung di dalam bumi
dan air di wilayah hukum (pertambangan) Indonesia adalah hak
milik bangsa Indonesia (mineral right). Bangsa Indonesia sebagai
pemilik bahan galian tersebut memberikan kekuasaan kepada
Negara untuk mengatur dan mengurus serta memanfaatkan
kekayaan alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran
rakyat. Hal ini berarti pula Negara diberikan “hak penguasaan”
(authority right) atas kekayaan alam milik bangsa Indonesia, agar
dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemudian untuk penyelenggaraan selanjutnya, mengingat Negara
tidak mungkin menyelenggarakan sendiri, maka HPN ini
dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan
sehari-hari. Jadi pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan (KP). Selanjutnya dalam penyelenggaraan atas
penguasaan kekayaan alam tersebut , sesuai dengan kewenangan
pemerintah, menurut Soepomo (dikutip oleh Ismail Suny, 2005),
maka melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya dapat melakukan
kerjasama pengusahaan pertambangan dengan pihak lain (investor)
sebagai pelaksana “pengusahaan” pertambangan (mining right).
Konstruksi demikian dapat digambarkan dalam skema berikut :

PERTAMBANGAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NKRI (UUD


1945 & UU No.32/2004)

6
Kepemilikan Bangsa Indonesia
(Mineral Right) Negara

Pemerintah :
* Penetapkan Kebijakan dan Pengaturan
* Penetapan Standard dan Pedoman
Desentralisasi
* Penetapan Kriteria Pembagian Urusan Pusat
dan Daerah
Dekonsentrasi
* Tanggung jawab Pengelolaan Minerba
Berdampak Nasional
Hak Penguasaan
Negara Atas Provinsi :
Pertambangan * Tanggungjawab Pengelolaan Lintas
(Authority Right) Kab/Kota dan atau
berdampak Regional
* Perda

Kabupaten/Kota :
* Tanggungjawab Pengelolaan Di wilayah
Kab./Kota
* Perda

Hak Pengusahaan Pelaku Usaha :


(Mining Right) * BUMN / BUMD
* Badan Usaha Lain

Dalam pelaksanaannya di era otonomi daerah saat ini,


persepsi tentang konsep “penguasaan “ dan “pengusahaan”
sering bercampur aduk dalam penafsiran yang salah. Ada
pemerintah daerah yang memiliki persepsi bahwa bahan galian atau
sumber daya alam yang terdapat di daerahnya seolah-olah adalah
milik rakyat di daerah tersebut. Padahal seharusnya pengertiaannya
adalah dimanapun bahan galian tersebut berada adalah milik
seluruh rakyat Indonesia secara bersama-sama. Hal ini yang dalam
pelaksanaannya akhirnya sering menjadi permasalahan dalam
kaitannya dengan pemberian perijinan di bidang pertambangan.

(2) Penerimaan daerah dari penerimaan negara di sektor


pertambangan diperoleh melalui dana perimbangan,

7
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No.33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah, pembagian besarnya penerimaan dari sektor
pertambangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah :
a. Sektor Pertambangan Umum (iuran tetap/land-rent & iuran
eksplorasi dan eksploitasi/royalty) : pemerintah 20 % dan daerah
80 %.
*) Penerimaan iuran tetap (land-rent) : pemerintah 20 % dan
daerah 80 % (provinsi 16 % dan kabupaten/kota penghasil 64
%)
*) Penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) :
pemerintah 20 % dan daerah 80 % (provinsi 16 %, daerah
penghasil 32 % dan 32 % sisanya untuk kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf c, Pasal 17 Ayat (1), (2), (3) UU
No.33 Tahun 2004.
b. Sektor pertambangan Minyak Bumi : pemerintah 84,5 % dan
daerah 15.5 % (provinsi 3 %, kabupaten/kota penghasil 6 %, 6
% sisanya untuk kabupaten/kota lainnya yang berada dalam
provinsi yang bersangkutan; 0,5 % untuk menambah anggaran
pendidikan dasar)
Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf e, Pasal 19 Ayat (2), Pasal 20
Ayat (1) UU No.33 Tahun 2004.
c. Sektor pertambangan Gas Bumi : pemerintah 69,5 % dan daerah
30,5 % (provinsi 6 %, kabupaten/kota penghasil 12 %, 12 %
sisanya untuk kabupaten/kota lainnya yang ada dalam provinsi
yang bersangkutan; 0,5 % untuk menambah anggaran
pendidikan dasar).
Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf f, Pasal 19 Ayat (3), Pasal 20
Ayat (1) UU No.33 Tahun 2004.
Berdasarkan deskripsi pembagian atas hasil pertambangan di atas,
maka dapat digarisbawahi bahwa meskipun daerah memiliki
kekayaan alam yang melimpah, tetapi daerah yang bersangkutan

8
tidak bisa menampakkan diri kepada daerah lainnya sebagai daerah
yang kaya. Hal ini dikarenakan undang-undang telah mengatur
adanya pembagian hasil yang diperoleh dari pengelolaan sumber
daya alam tersebut. Di sisi lain undang-undang telah menempatkan
posisi pemerintah memperoleh pembagian hasil yang besar. Ini
berarti diperlukan adanya campur tangan pemerintah di sektor
pertambangan untuk tujuan kepentingan nasional, sehingga hasil
yang diperoleh dari pengelolaaan sektor pertambangan bisa
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dan bukan semata-mata
oleh daerah yang didapati memiliki kekayaan sumber daya alam .

III. PERGANTIAN UU No.11 TAHUN 1967 (UUPP) OLEH UU N0.4 TAHUN


2009 (UU MINERBA).
Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkannya
otonomi daerah merupakan konteks yang melatarbelakangi lahirnya
sejumlah perubahan dalam UU Minerba yang baru (disahkan pada
12 Januari 2009 dan sebelumnya pada 16 Desember 2008 telah
disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah). Jika dibandingkan
dengan UU No.11 Tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat
beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang penting
diantaranya adalah dihapuskannya sistem kontrak karya (KK) bagi
pengusahaan pertambangan dan diganti dengan sistem ijin usaha
pertambangan (IUP). Namun demikian, meski telah memuat
beberapa perubahan UU Minerba dapat dikatakan masih sangat
minim dalam hal yang berkaitan dengan kejelasan perencanaan,
pengelolaan, kebijakan dan strategi pertambangan nasional yang
akan dituju. Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih
memuat ketentuan yang bersifat sangat umum sehingga tidak
operasional. Indikasi dari hal tersebut , dari 175 pasal yang terdapat
dalam UU Minerba, setidaknya 22 pasal menyebutkan “ketentuan
sebagaimana dimaksud pada pasal ini, akan diatur dengan
peraturan pemerintah”, dan 3 pasal menyebutkan “ketentuan

9
sebagaimana dimaksud pada pasal ini, akan diatur dengan
peraturan daerah, provinsi/kabupaten/kota”.
Hal tersebut berarti bagaimana nanti implementasi yang lebih
pasti dari UU Minerba
ini dan bagimana arah serta gambaran pengelolaan sektor
pertambangan ke depan yang lebih pasti, akan sangat tergantung
pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada
saat peraturan pemerintah (PP) dan Perda dibuat. Di samping itu UU
Minerba juga mewajibkan pemerintah untuk menetapkan tata ruang
nasional wilayah pertambangan dengan ditunjang data geologis
secara tepat. Ini berarti sejauh penetapan itu belum dilakukan,
maka tidak boleh ada pengeluaran ijin penambangan oleh
pemerintah daerah sehingga bisa terjadi moratorium (jeda)
tambang sampai ditetapkan tata ruang nasional pertambangan.
Implementasi UU Minerba juga tidak berdiri sendiri tetapi
harus dikaitkan dengan undang-undang lainnya seperti UU
Kehutanan dan UU Lingkungan hidup yang berlaku. Penerapan
undang-undang lainnya terkait dengan masalah perlindungan
masyarakat korban yang terkena dampak usaha tambang. Berikut
ini akan diperbandingkan sisi perubahan yang terkandung dalam
undang-undang baru.
TABEL 1
Perbandingan UU No.11/1967 dan UU
No.4/2009

N Materi Pokok UU No.11 Tahun 1967 UU No.4 Tahun


o 2009
1 Judul Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan Mineral
Pertambangan dan Batubara
2 Prinsip Hak Pengua- Penguasaan Bahan Galian * Penguasaan Minerba
saan Negara/HPN diselenggarakan Negara oleh Negara,
(Pasal 1) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan atau
Pemda (Pasal 4)
* Pemerintah dan DPR
menetapkan kebijakan
pengutamaan minerba
bagi kepentingan
nasional (Pasal 5)
3 Penggolongan/Pengelo Penggolongan bahan galian * Pengelompokan usaha
mpokan strategis, vital, bukan strattegis pertambangan : mineral

10
bukan vital (Pasal 3) dan batubara
* Penggolongan tambang
mineral : radioaktif,
logam, bukan logam,
batuan (Pasal 34)
4 Kewenangan * Bahan galian strategis (gol.A) dan * 21 kewenangan berada
Pengelolaan vital (gol.B) oleh Pemerintah di tangan Pusat
* Bahan galian non strategis non * 14 kewenangan berada
vital (gol C) oleh Pemda Tkt.I di tangan provinsi
/Provinsi (Pasal 4) * 12 kewenangan berada
di tangan kabupaten/kota
(Pasal 6-8)
5 Wilayah Secara terinci tidak diatur, kecuali * Wilayah pertambangan
Pertambangan bahwa usaha pertambangan tidak adalah bagian dari tata
berlokasi di tempat suci, kuburan, ruang nasional,
bangunan, dll (Pasal 16 ayat 3) ditetapkan pemerintah
setelah koordinasi
dengan Pemda dan DPR
(Pasal 10)
* Wilayah pertambangan
tdr : wilayah usaha
pertambangan (WUP),
wilayah pertambangan
rakyat (WPR) dan
wilayah pencadangan
nasional (WPN) – Pasal
14 s/d 33
6 Legalitas Usaha Sistem/Rezim Kontrak (Pasal 10, Sistem/Rezim Perijinan
15), terdiri atas : (Pasal 35), terdiri atas :
* Kontrak Karya (KK) * Ijin Usaha Pertambangan
* Kuasa Pertambangan (KP) (IUP)
* Surat Ijin Pertambangan Daerah * Ijin Pertambangan
(SIPD) Rakyat (IPR)
* Surat Ijin Pertambangan Rakyat * Ijin Usaha Pertambangan
(SIPR) Khusus (IUPK)
7 Tahapan Usaha Terdiri 6 tahapan yang Terdiri 2 tahapan yang
berkonsekuensi pada adanya 6 jenis berkonse-kuensi pada
kuasa pertambangan : penyelidikan adanya 2 tingkatan
umum, eksplorasi, eksploitasi, perijinan :
pengolahan & pemurnian, * Eksplorasi yang
pengangkutan, penjualan (Pasal 14) meliputi : penyelidikan
umum, eksplorasi, studi
kelayakan
* Operasi produksi, yang
meliputi : konstruksi,
penambangan,
pengolahan &
pemurnian,
pengangkutan dan
penjualan (Pasal 36)
8 Klasifikasi Investor & * Investor Nasional/domestic * IUP bagi badan usaha
Jenis Legalitas Usaha (PMDN), berupa : KP, SIPD, PKP2B (PMA/PMDN) , koperasi,
* Investor Asing (PMA), berupa : KK, perseorangan (Pasal 38)
PKP2B * IPR bagi penduduk local,
koperasi (Pasal 67)
* IUPK, bagi badan usaha
berbadan hukum
Indonesia dengan
prioritas pada

11
BUMN/BUMD (Pasal 75)
9 Kewajiban Pelaku * Kewajiban keuangan bagi Negara : * Kewajiban keuangan
Usaha - KP sesuai aturan yang berlaku : bagi Negara: pajak dan
iuran tetap & royalty (merujuk PP PNBP. Tambahan bagi
No.45/2003 Ttg PNBP DESDM) IUPK pembayaran 10 %
- KK/PKP2B sesuai kontrak : untuk dari keuntungan bersih
KK iuran tetap & royalty; untuk * Pemeliharaa
PKP2B : iuran tetap & DIIPB lingkungan : konservasi,
(merujuk pada Keppres reklamasi (Pasal 96 s/d
No.75/1996 Ttg Ketentuan PKP2B) 100)
* Minimal, bahkan tdk diatur * kepentingan nasional :
kewajiban soal lingku-ngan , pengolahan dan
kemitraan dgn usaha lokal, pemurnian di dalam
pemanfaatan tenaga kerja negeri (Pasal 103-104)
setempat, program * Pemanfaatan tenaga
pengembangan masyarakat kerja setempat,
partisipasi pengusaha
lokal pada tahap
produksi , program
pengembangan
masyarakat (Pasal 106-
108)
* Penggunaan perusahaan
jasa pertambangan
local
dan/atau nasional (Pasal
124)
10 Pembinaan & Terpusat di tangan pemerintah atas * Pusat : terhadap provinsi
Pengawasan pemegang KK, KP , PKP2B dan kabupaten/kota
terkait penyeleng-garaan
pengelolaan
pertambangan
* Pust, provinsi,
kabupaten/kota sesuai
kewenang-an terhadp
pemegang IUP dilakukan
* Kabupaten/Kota
terhadap IPR (Pasal
139-142)

11 Ketentuan Peralihan Palal 35 :” Semua hak Pasal 169, pada saat UU


(terkait status hukum pertambangan dan KP perusahaan ini mulai berlaku :
investasi existing Negara , swasta, badan lain atau a. KK & PKP2B yang telah
perseorangan berdasarkan ada sebelum
peraturan yang ada sebelum saat berlakunya UU ini tetap
berlakunya UU ini, tetap dijalankan diberlakukan sampai
sampai sejauh masa berlakunya, jangka waktu
kecuali ada penetapan lain menurut berakhirnya kontrak /
PP yang dikeluarkan berdasarkan UU perjanjian
ini .” b. Ketentuan yang
tercantum dalam pasal
KK dan PKP2B
dimaksud disesuaikan
selambat-lambatnya 1
tahun sejak UU ini
diundang-kan , kecuali
mengenai peneri-maan
Negara.

12
Berdasarkan sejumlah perbedaan di atas, tampak substansi UU
No.4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan
pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional
(national interest) , kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha ,
desentralisasi pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik
(good mining practies). Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam
terjemahannya pada tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa
point maju meski disertai dengan cukup banyaknya klausul yang masih
membutuhkan klarifikasi.
Menguatnya Hak Penguasaan Negara (HPN), termasuk
penguasaan SDA, Pemerintah menyelenggarakan asas tersebut lewat
kewenangan mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan usaha
tambang. Untuk itu dimulai dari perubahan sistem/rezim kontrak
menjadi sistem/rezim perijinan. Dalam sistem/rezim kontrak
sebagaimana diterapkan selama ini berdasarkan UU No.11 Tahun 1967,
posisi pemerintah tidak saja mendua yaitu sebagai regulator dan pihak
yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan
posisi Negara setara (level) kontraktor. Oleh sebab itu implikasi hukum
perubahan sistem/rezim dalam undang-undang yang baru (UU Minerba)
ini adalah mengembalikan asas HPN pada posisi secara ketatanegaraan.
Hal ini bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
TABEL 2
Perbandingan Sistem /rezim Perijinan Dan Sistem/rezim Kontrak
Subyek Sistem/rezim Perijinan Sistem/rezim Kontrak
1. Hubungan HukumBersifat publik, instrumen hukum Bersifat perdata
administra-
si negara
2. Penerapan Hukum
Oleh Pemerintah Oleh Kedua belah pihak
3. Pilihan Hukum Tidak Berlaku Pilihan Hukum Berlaku Pilihan Hukum
4. Akibat Hukum Sepihak Kesepakatan Dua Belah Pihak
5.Penyelesaian PTUN Arbitrase
sengketa
6. Kepastian HukumLebih Terjamin Kesepakatan Dua Belah Pihak
7. Hak Dan Kewajiban
Hakdan Kewajiban Pemerintah Lebih
Hak dan Kewajiban relatif setara
Besar Antar
Pihak
8. Sumber Hukum Peraturan Perundang-undangan Kontrak/Perjanjian itu sendiri

13
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009
(UU Minerba) dapat dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih
dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah
(provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-
undang ini. Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar
pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU
No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU
No.4 tahun 2009, maka substansi yang terkandung dalam UU No.4
Thun 2009 menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah (pusat)
dalam hal sebagai berikut :
a. Penetapan kebijakan nasional;
b. Pembuatan peraturan perundang-undangan;
c. Penetapan standard, pedoman dan kriteria;
d. Penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional;
e. Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi
dengan Pemda dan DPR.
Di luar hal-hal tersebut di atas, jenis-jenis kewenangan terutama
perijinan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota bersubstansi
sama dan hanya berbeda dalam skala cakupan wililayah. Sebagai
rincian dalam hal pembagian kewenangan antara pusat, provinsi
dan kabupaten/kota dapat dilihat pada table di bawah ini.
TABEL 3
Kewenangan Pengelolaan Minerba

N Kewenangan Pusat Kewenangan Kewenangan


o. Provinsi Kab./Kota
1 Pemberian IUP, Pemberian IUP, Pemberian IUP dan ijin
pembinaan, penyelesaian pembinaan, penye- pertam-bangan rakyat
konflik masyarakat dan lesaian konflik (IPR), pembinaan,
pengawasan usaha masyarakat dan pe- penyelesaian konflik
pertam-bangan yang ngawasan usaha masyarakat dan
berada pada lintas pertambangan pa-da pengawasan usaha
wilayah provinsi dan atau lintas wilayah kab./kota pertambangan di
wilayah laut lebih dari 12 dan atau wilayah laut 4 wilayah kab/ko-ta dan
mil dari garis pantai mil sampai dengan 12 mil atau wilayah laut
2 sampai dengan 4 mil

Pemberian IUP,
pembinaan, penye- Pemberian IUP, Pemberian IUP dan IPR,
lesaian konflik pembinaan, penye- pembi-naan,
masyarakat dan pe- lesaian konflik penyelesaian konflik

14
ngawasan usaha masyarakat dan pe- masyarakat dan
pertambangan yg lokasi ngawasan usaha pengawasan usaha
3 penambangannya berada pertambangan operasi pertambangan operasi
pa-da batas wilayah produksi yang produksi yang
provinsi dan atau wilayah kegiatannya berada pada kegiatannya berada di
laut lebih dari 12 mil dari lintas wilayah kab/kota wilayah kab/kota dan
garis pantai dan atau wilayah laut 4 atau wilayah laut
mil sampai dengan 12 mil sampai dengan 4 mil.

Pemberian IUP,
pembinaan, penye- Pemberian IUP,
lesaian konflik pembinaan, penye-
masyarakat dan pe- lesaian konflik
ngawasan usaha masyarakat dan
pertambangan operasi pengawasan usaha
produksi yang berdampak pertambangan yang
lingkungan langsung berdampak lingkungan
lintas provinsi dan atau lang-sung lintas kab/kota
dalam wilayah laut lebih dan atau wila-yah laut 4
dari 12 mil dari garis mil sampai dengan 12 mil
pantai.

IV. PENUTUP
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini perlu dikemukakan
beberapa kelemahan/ keku-rangan yang terkandung dalam UU No.4
Tahun 2009 dan mungkin akan menjadi permasalahan dalam
implementasinya sebagai berikut :
1. Dalam penetapan wilayah usaha pertambangan (WUP),
kewenangan menetapkan hanya sampai pada level provinsi
sementara kabupaten/kota tidak dilibatkan. Hal ini jelas
berseberangan dengan semangat otonomi daerah (Pasal 15).
2. Pengaturan besarnya luas ijin usaha pertambangan (IUP) dengan
penetapan minimal 5.000 hektar akan bertentangan dengan
kebijakan daerah yang memiliki lahan terbatas (Pasal 52-62).
3. Kewenangan melakukan riset bidang pertambangan hanya
sampai pada provinsi, padahal wilayah usaha pertambangan dan
bahan tambang ada pada wilayah kabupaten/kota (Pasal 87)
4. Adanya pengaturan bahwa pemegang ijin usaha pertambangan
(IUP) dan ijin usaha pertambangan khusus (IUPK), dapat
memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan
pertambangan (Pasal 91). Hal ini jelas merugikan masyarakat,

15
sebab dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan
sarana publik akan merugikan masyarakat maupun pemerintah
daerah sendiri. Pengoperasian dalam usaha pertambangan
senantiasa menggunakan sarana alat dan transportasi berat (Pasal
91). Dalam banyak kasus yang terjadi di Kalimantan, 27 % jalan-
jalan yang dilewati oleh trukmengalami rusak berat, belum lagi
efek pemakaian jalan tersebut bisa menimbulkan kecelakaan atau
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Artinya undang-undang ini
memberi ruang terhadap keburukan-keburukan dan yang
menanggung biaya adalah masyarakat local dan APBD.
5.Adanya pengaturan bahwa setiap orang yang merintangi atau
mengganggu kegiatan usaha pertambangan diancam dengan
sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling
banyak Rp 100.000.000, jelas akan menghalangi masyarakat
dalam memperjuangkan hak-haknya akibat adanya kegiatan
usaha pertambangan (Pasal 162).
Ha-hal yang dikemukan di atas merupakan contoh dari sekian
banyak kelemahan yang dikandung dalam UU No.4 tahun 2009. Hal
yang perlu untuk diperhatikan adalah bahwa pemberian otonomi
kepada daerah tidak mengalami distorsi tujuan. Otonomi tidak
semata-mata hanya dipersepsikan sebagai kewenangan saja tetapi
juga tanggungjawab yang harus dijalankan. Untuk itu penataan
kelembagaan dan kinerja lembaga (structure) dalam pemerintahan
daerah, pembenahan regulasi (substance), sebaiknya dilakukan
secara terpadu (integrated) walaupun bertahap (incremental). Di
samping itu pemahaman HPN terhadap pertambangan Minerba
perlu dijadikan referensi untuk meluruskan primordialisme” dalam
menumbuhkan budaya hukum (legal culture) yang mencerminkan
NKRI.

16
REFERENCE :

Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.


Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah
Menurut UUD1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat
Studi Hukum UII, Yogyakarta.
Boedi Harsono, 1995, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
Penyusunan , Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan,
Jakarta.
De Haan, Paul, 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel
1, Kluwer-Deventer.
Pound, Roscoe, 1966, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale
University Press, New Haven.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
UNDANG UNDANG DASAR NKRI 1945
Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Pertambangan
UUndang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah dan
Pemeritahan Daerah
Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.

17
PENGUASAAN DAERAH ATAS BAHAN
GALIAN/PERTAMBANGAN DALAM PERSPEKTIF
OTONOMI DAERAH

OLEH :
Sri Nur Hari Susanto

18
Disampaikan pada Seminar Nasional Aspek Hukum
Penguasaan Daerah Atas Bahan Galian, di Fakultas Hukum
Undip pada 2 Desember 2009.

19

You might also like