You are on page 1of 8

AGAMA, KEKERASAN DAN FILSAFAT

(Kekerasan Teologis Dalam Perspektif Filosofis)

Oleh: Suratno

(Tulisan ini telah dimuat di: Jurnal Falsafah dan Agama, Edisi: Agama dan Kekerasan, Vol. 1, No.
1, April 2007, Jakarta: PS Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, hal. 86-104)

KEKERASAN TEOLOGIS YANG MENGGEJALA

Di Indonesia, akhir-akhir ini konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak
dimana-mana. Mulai dari kasus Bom Bali, Bom Hotel JW Marriot, Bom Kuningan, penyerbuan
Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung sampai penutupan Rumah Ibadah Kristiani di
Bandung Jawa Barat.

Di luar negeri, kekerasan atas nama agama mengambil bentuknya dalam berbagai kejadian
seperti orang-orang Yahudi yang membunuhi kaum Muslim yang tengah shalat di Masjid Hebron,
orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang
meneror dan membunuh para turis, atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati
terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, serta akar-akar konflik (etnis) –agama
berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia dan sebagainya.

Fenomena di atas melahirkan wacana agama yang paradoksal bahwa ia tidak hanya bersifat
rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua) tapi juga bencana, karena melahirkan fenomena-
fenomena kekerasan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri),
khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan
perdamaian dan menentang kekerasan; tetapi manusia saja yang kemudian menyalahgunakan
agama untuk kepentingan pribadi/kelompok sehingga menyulut kekerasan, yang jelas fenomena
aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan kita.

Pertanyaan selanjutnya adalah; mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya


(dengan) mengatasnamakan agama? Dan bagaimana penjelasan filosofis terhadap fenomena
tersebut? Tulisan ini, secara umum, memang ditujukkan untuk menjawab pertanyaan krusial
tersebut. Dalam tulisan ini, yang akan dibicarakan adalah kekerasan dengan mengatas namakan
agama. Bentuk kekerasan inilah yang kita kenal sebagai kekerasan teologis, yaitu menggunakan
dalih dan dalil agama untuk melegitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar dan
perjuangan suci melawan kelompok-kelompok lain.

Relasi agama yang tidak hanya dengan perdamaian, tetapi juga kekerasan sangatlah sulit untuk
kita tolak manakala kita menyaksikan bahwa agama seringkali digunakan sebagai landasan
ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat
beragama. Menurut Haryatmoko (2000) setidaknya ada 3 alasan mengapa agama memiliki
kemungkinan untuk dijadikan landasan dan pembenaran tindak kekerasan. Pertama, adalah
karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu
masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni
sejauh mana tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan.
Lebih jauh fungsi perekat ini, disisi lain juga bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama
menyangkut masalah ketidak adilan dan kesenjangan yang selalu menjadi topik yang panas dan
acapkali melahirkan tindak kekerasan. Kedua, adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor
identitas. Agama secara spesifik dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau
kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara
berpikir, etos dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya
seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan etis,
kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan di sini agama
sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga. Ketiga, fungsi agama sebagai legitimasi etis
hubungan antar manusia. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini
bukan sakralisasi hubungan antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat
dukungan dan legitimasi dari agama. Padahal orang tahu, di dunia apalagi dunia ketiga, ekonomi
pasar sangat akomodatif terhadap rezim anti-demokrasi, yakni represif terhadap gerakan
kesetaraan dan biang dari kekerasan struktural. Dengan demikian potensi agama untuk diikut
sertakan dalam tindak kekerasan sebagai ‘landasan dan legitimasi’ menjadi sangat
memungkinkan.

FUNDAMENTALIS AGAMA, FUNDAMENTALIS SEKULER DAN TEROR SUCI

Akar kekerasan teologis, secara teoritis, sesungguhnya bisa kita lihat muaranya pada 2 hal utama
yakni; (1) bagaimana peran agama dan, (2) bagaimana keterikatan pemeluknya terhadap
agamanya masing-masing. Mengenai peran agama, sebenarnya terdapat 2 konsep penting yang
dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan
manusia lain yakni; (a) fanatisme dan, (b) toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia
dalam pola yang seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan
problem tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa
menjebak mereka ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka, selain bahwa eksistensi
agama mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi bangga
dengan agama yang mereka peluk. Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual
belaka; karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama
lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap
permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya
konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim
(klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut
agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi
mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara
pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.

Selain masalah fanatisme dan toleransi seperti di atas, agama juga mendorong pemeluknya
untuk memiliki keterikatan dengan agama yang dianutnya. Keterikatan ini bisa diimplementasikan
melalui bentuk-bentuk ritual (praktek keagamaan) secara ketat, selain dengan penghayatan
tingkat tinggi kepada ajaran-ajaran agama mereka. Dalam situasi tertentu, tuntutan keterikatan ini
bisa memunculkan sikap-sikap radikal, yang bahkan bisa menjurus kepada tindak kekerasan,
karena hal itu berkaitan dengan upaya secara ketat menjalankan ajaran agama dan secara keras
meluruskannya ketika agama mereka dianggap telah diselewengkan. Jadi kekerasan atas nama
agama, bisa dikatakan tidak hanya sebagai kelanjutan dari fundamentalisme yang menguat,
tetapi juga karena hadirnya tantangan dari luar yang juga menguat. Dalam konteks ini,
primordialisme juga muncul secara kuat sehingga kekerasan pihak luar yang dilawan kekerasan
adalah salah satu manifestasi bentuk primordialisme tersebut.

Selanjutnya, kekerasan atas nama agama bisa terjadi juga karena munculnya hubungan diantara
keduanya yang ditandai oleh ambiguitas, yakni sifat mendua yang sangat nyata. Inilah yang
kemudian melahirkan pepatah bahwa agama ibarat dua sisi mata uang yang bertolak belakang,
sebagai sumber kedamaian; sekaligus sebagai sumber kekerasan dan konflik. Kalangan
agamawan boleh saja mengklaim orientasi kepada kedamaian sudah intrinsik dalam tradisi dan
ajaran agama-agama , tetapi secara intrinsik pula agama telah memancing dan melahirkan
terjadinya konflik dan kekerasan. Mengenai yang terakhir ini, Ihsan Ali-Fauzi (2005) menyatakan
bahwa akar kekerasan teologis juga bisa bersifat internal dan eksternal. Untuk akar teologis
internal, Ihsan menyebutnya sebagai kaum fundamentalis agama sedangkan akar teologis yang
bersifat eksternal menurut Ihsan adalah kaum fundamentalis sekuler.

Kaum fundamentalis agama, menurut Ihsan, adalah mereka yang merasa bahwa sesuatu yang
bernama kebenaran sudah ada ditangan (agama) mereka dan hanya ditangan mereka, yang
bulat tanpa benjol sedikitpun; karena bersumber langsung dari Tuhan yang sepenuhnya benar
dan tugas mereka adalah memperjuangkan kebenaran itu, termasuk dengan cara-cara
kekerasan. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini (yang mungkin ada disemua agama
tanpa pandang bulu), dengan sendirinya menjadi militan dan ekstrimis karena mereka mengklaim
bahwa merekalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan
yang mati dijalan-Nya sama artinya dengan mati syahid, dengan kepercayaan pada surga
sebagai balasannya yang setimpal. Sementara itu kaum fundamentalis sekuler, menurut Ihsan,
adalah mereka yang merasa bahwa agama sudah tidak punya lagi hak untuk hidup sekarang ini.
Banyak alasan yang diberikan kelompok ini tentang fenomena ‘kematian’ agama, misalnya;
karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal manusia saja; bahwa intervensi
agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah seperti banyak di catat
sejarah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya dan
sebagainya. Kelompok ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis di
abad ke-18 yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang
merasa bahwa gereja adalah lawan dan sedikitpun tidak punya kebajikan serta harus diluluh-
lantakkan sehabis-habisnya.

Lebih lanjut menurut Ihsan, mereka yang berada di kedua front fundamentalis di atas, baik
fundamentalis agama maupun sekuler, keduanya sama-sama dirugikan dengan kekerasan atas
anama agama, kecuali jika mereka berpandangan bahwa kehidupan yang normal adalah
kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan kekerasan secara terus-menerus.

Dalam realitas dunia sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari benturan antara
fundamentalis agama dan fundamentalis sekuler seperti di atas. Teror (al-irhab) pada hakikatnya
adalah suatu kata yang memiliki banyak makna dan gambaran bentuk yang beraneka ragam.
Namun demikian, semuanya berkisar pada kata ikhafah yang berarti membuat orang lain takut
atau secara sengaja mengganggu stabilitas keamanan umum sebagai ancaman. Thomas Perry
Thronton, misalnya, memaknai terorisme dalam 2 pengertian, yakni: (1) aktivitas pemberontak
untuk mengacaukan tatanan yang sudah ada untuk memperoleh hak dan kekuasaan, dan (2)
kegiatan orang yang memiliki kekuasaan yang ingin menindas penghalang dan kelompok oposisi
dalam menuju, mempertahankan dan atau memperbesar kekuasaannya. Nah, dalam relasi
konteks kekerasan teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan,
sebagai titik pijak maupun agama sebagai “kekuasaan”, sebagai tujuan dari aktivitas kekerasan
bernama terror itu.

PROSES INTEGRASI KEKERASAN TEOLOGIS

Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi. Namun demikian,
Charles Kimbal menjelaskan terdapat lima situasi, dimana agama sangat berpotensi untuk
berintegrasi dengan tindak-tindak kekerasan.

Pertama, ketika agama mengklaim kebenaran agama sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-
satunya. Sebagai bukti, Kimbal mencontohkan suatu kasus tentang klaim kebenaran di kalangan
Kristen Fundamentalis. Pada tanggal 10 Maret 1993 Michael Griffin menembak dan membunuh
David Gunn yang menangani aborsi di luar klinik aborsi di Pensacola, Florida. Lima hari
kemudian, pendeta Paul Hill muncul di acara televisi Donahue dan membenarkan tindakan Griffin.
Kimbal sendiri mengakui bahwa klaim kebenaran adalah unsur utama dalam setiap agama, tetapi
hal itu memunculkan beragam penafsiran. Ketika penafsiran dipahami secara kaku dan tanpa
kritik, sebagai kebenaran mutlak, maka bisa mendorong pemeluknya untuk bersikap tidak hanya
defensif dan tetapi juga ofensif, termasuk menghalalkan cara-cara kekerasan

Kedua, agama bisa melahirkan tindak kekerasan ketika dibarengi dengan ketaatan secara
membabi buta kepada pemimpin agama. Kimbal mengemukakan sejumlah fakta tentang hal ini.
Misalnya, gerakan People Temple pimpinan Jim Jones yang melakukan bunuh diri massal
dengan cara meminum racun mematikan (sianida) di Guyana pada tahun 1970-an, sekte Aum
Shinrikyo di bawah pimpinan Asahara Shoko yang menyebarkan gas mematikan di stasiun kereta
bawah tanah di Jepang tahun 1990-an dan gerakan Davidian Branch pimpinan David Koresh
yang melakukan bunuh diri massal dengan cara membakar diri di Texas Amerika Serikat (AS)
tahun 1990-an. Uniknya, menurut Kimbal, gerakan mereka pada awalnya justru merupakan
gerakan pembebasan rakyat dari kejahatan sosial, kemudian menarik dan mengisolasi diri serta
membentuk satu komunitas bersama. Lalu, mereka mengklaim bahwa merekalah yang bisa
diselamatkan dan keselamatan ini hanya bisa dicapai dengan ketaatan (buta) kepada sang
pemimpin.

Ketiga, agama juga menurut Kimbal bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika umatnya mulai
merindukan zaman ideal mereka di masa lalu dan bertekad merealisasikannya pada masa
sekarang. Kimbal memberi contoh ide negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan oleh Rabbi Mei
Kahane yang berakibat terusirnya warga Rabdu dari daerah Judea dan Samaria.

Keempat, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika tujuan tertentu menghalalkan segala
cara. Tujuan ini, menurut Kimbal bisa dimotivasi karena berbagai hal seperti (a) karena
mempertahankan tempat suci. Misalnya, makam tradisional Ibrahim di Hebron di Tepi Barat.
Tempat itu disucikan oleh kaum Yahudi, Kristen dan Islam. Pada hari Purim 25 Februari 1994
seorang dokter Yahudi - Amerika memasuki masjid dan menembaki Muslim Palestina yang ada di
dalamnya. (b) untuk melindungi ajaran agama yang dirasa sedang dalam bahaya. Misalnya,
kasus pembubaran Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung beberapa waktu lalu oleh
sekelompok orang yang menamakan Gerakan Umat Islam (GUI). GUI menilai kelompok JAI
sebagai kelompok sesat dan menyesatkan sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga
harus dibubarkan (dengan cara apapun) (c) untuk mempertegas identitas kelompok dari dalam
dan (d) untuk mempertegas indetitas kelompok melawan orang luar.

Kelima, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika perang suci (holy war) sudah
dipekikkan. Contoh tentang hal ini, menurut Kimbal, tidaklah terlalu sulit, misalnya Perang Salib,
Perang Teluk, atau (propaganda) perang atas terorisme yang banyak memakan korban.

Proses terjadinya integrasi kekerasan teologis dalam diri umat beragama dapat dijelaskan melalui
tiga variabel utama.

Pertama, variabel norma dan ajaran agama. Ajaran agama yang berisi norma-norma senantiasa
mempengaruhi tingkah laku dan tindakan umatnya. Namun, ajaran agama tentu saja harus
diinternalisasikan dan diinterpretasikan karena kebanyakan bersifat sangat umum. Hal ini juga
merupakan keniscayaan karena setiap masyarakat beragama mengalami proses sosialisasi
primer yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, disamping juga karena perbedaan
pengalaman, pendidikan, dan tingkatan ekonomi diantara mereka. Dari proses internalisasi dan
interpretasi inilah lahir apa yang diidealkan, terutama yang berkaitan dengan cita-cita kehidupan
masyarakat kaum beragama.

Kedua, variabel sikap dan pemahaman agama. Sikap dan pemahaman agama merupakan
kelanjutan dari ajaran dan norma agama. Asumsinya adalah bahwa selalu ada beberapa sikap
umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan norma dan ajaran agama mereka. Sikap ini
tersimbolkan dalam penerapan pemahaman kaum beragama ke dalam norma dan ajaran agama
mereka. Dalam hal ini biasanya muncul golongan nisbi, substansialis dan skripturalis.

Ketiga, variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial,
politik dan ekonomi yang nyata dalam masyarakat. Hal ini meliputi juga faktor-faktor domestik dan
internasional. Hegemoni politik oleh negara ataupun represi yang dilakukan individu ataupun
kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok umat beragama akan melahirkan respon yang
berbeda-beda dari individu dan kelompok yang ada. Kalangan nisbi biasanya sama sekali tidak
merespon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok skripturalis yang diasumsikan
biasanya akan memperlihatkan sikap radikal termasuk menggunakan cara-cara kekerasan.
Sementara, kelompok substansialis, meskipun memiliki kepedulian terhadap agamanya masing-
masing dalam berbagai bidang, mereka akan memperlihatkan sikap lebih moderat dibanding
kelompok skripturalis.

Melalui ketiga variabel di atas, proses integrasi kekerasan teologis dijelaskan melalui akar
teologis kekerasan (yang bersumber dari ajaran-ajaran dan norma-norma agama), melalui akar
antropologis (yang berkaitan dengan kemampuan manusia menerima, memahami dan
menafsirkan ajaran dan norma agama melalui implemantasinya dalam sikap dan cara hidup,
sebagai suatu budaya) dan melalui akar sosiologis (yakni bersumber dari relasi sosial politik antar
individu dan kelompok umat beragama yang berbeda-beda baik dalam skala lokal, domestik
(nasional) maupun internasional). Di bawah ini akan dijelaskan akar kekerasan teologis dalam
perspektif filosofis.

AKU DAN KAMU DALAM POLITIK IDENTITAS MANUSIA

Dalam perspektif filosofis, akar kekerasan muncul dalam fenomena identifikasi diri manusia ke
dalam: “aku dan kamu”, dan lebih jauh lagi ke dalam “kita dan mereka”. Indentifikasi inilah yang
selanjutnya menjadi akar lahirnya permusuhan yang berujung kekerasan. Pelaku kekerasan
biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap korbannya, karena sebagai “sesama” manusia
mereka lebih menonjolkan ke-aku-annya dan ke-kita-annya. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena
menurut Simmel (1995) manusia secara tak terhindarkan akan berhadapan dengan kondisi-
kondisi epistemologis, yakni proses pengenalan manusia. Proses meng-kamu-kan dan me-
mereka-kan adalah proses pengasingan dalam pengenalan manusia sebagai sesama. Kamu dan
Mereka dianggap asing, bukan hanya sekedar sebagai penduduk, warga negara atau pengikut
sebuah kelompok, melainkan lebih dari itu asing sebagai manusia. Dengan kata lain, korban
kekerasan didehumanisasikan dan didepersonalisasikan sampai pada status obyeknya. Ketika
status obyek manusia lain didehumanisasikan dan dipersonalisasikan, menjadi sangat mungkin
bagi manusia untuk mengkondisikan tindakan kekerasan terhadap Kamu dan Mereka ke dalam
struktur pikiran manusia itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus kita jadikan acuan.
Pertama, pengenalan manusia atas manusia lain mengandung momen dominasi karena
mengenali juga berarti mendefinisikan. Kekerasan akan semakin nyata jika yang didefinisikan itu
tak mampu mendefinisikan diri dan tunduk pada dikte instansi di luar dirinya. Kedua, pengenalan
manusia atas manusia lain bisa dimulai dengan stereotipikasi bahwa orang lain adalah anu-nya si
itu atau itu-nya si anu (dengan melekatkannya pada atribut-atribut di luar diri) dan bukan sebagai
pribadi atau individu pada dirinya sendiri (an sich). Stereotipikasi yang netral ini dalam situasi
konflik akan menjadi stigmatisasi yang destruktif. Itulah gambaran tentang musuh (feindibild).
Dengan demikian melalui perspektif filosofis terhadap kekerasan kita temukan fakta bahwa di
dalam rasio kita sudah melekat kemampuan abstraksi yang dalam situasi ancaman menjadi
dehumanisasi dan depersonalisasi manusia yang lainnya. Ini juga yang melahirkan ideologi-
ideologi dan sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan manusia dalam aku dan kamu, kita dan
mereka untuk masuk ke dalam kerangka kawan dan lawan. Dalam dikotomi ini, korban kekerasan
juga dipersepsi sebagai ancaman individu ataupun kelompok.

Dari penjelasan perspektif filosofis terhadap kekerasan seperti di atas, dalam konteks problem
kekerasan teologis, menurut saya, kita bisa mencari jalan keluarnya pertama-tama dengan
mengembalikan essensi agama itu sendiri. Secara esensial agama memang dianggap mampu
memberi jawaban atas pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya ditengah
alam semesta yang (terkadang) membingungkan ini. Dari sini agama kemudian berkembang
menjadi sumber penemuan identitas diri dan juga identitas kelompok. Dalam posisi yang
demikian, agama menyatukan individu-individu tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu
dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke yang lainnya. Pembedaan ini
menciptakan dinamika psikologis antara individu: aku dan kamu, antara kelompok: kita dan
mereka, yang memiliki kemungkinan untuk menguat dan mengeras serta melahirkan ekslusivisme
ketika muncul konflik antar umat beragama.

Agar terpelihara secara baik, identifikasi aku dan kamu serta kita dan mereka membutuhkan
legitimasi terus menerus agar tidak usang. Kaum agamawan fundamentalis biasanya
mengembangkan legitmiasi tersebut lewat narasi-narasi besar berupa dasar-dasar keimanan,
kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan dan
sebagainya. Narasi besar tersebut, agar semakin kokoh, diperkuat dengan aspek-aspek
simbolisme dari ekspresi keagamaan seperti pakaian, makanan, ruang publik, nama-nama dan
sebagainya. Inilah yang menambah kuatnya identifikasi diri sebagai aku dan kamu, sebagai kita
dan mereka, serta mempertegas perbedaan di antara banyak individu dan kelompok. Dalam
situasi konflik yang genting, narasi besar tersebut dapat berkembang makin tajam, mengarah
kepada eskalasi konflik dan kekerasan; aku, kita dianggap suci dan disucikan, sementara kamu
dan mereka dianggap setan dan dilecehkan. Nah, di sinilah agama dengan fungsinya sebagai
pemberi identities kelompok dan juga narasi besar agama yang menopangnya kemudian
berkembang jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan atas nama agama, yakni
legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar, perjuangan suci, melawan
kelompok-kelompok lain, kamu dan mereka.
Pemberian legitimasi itu sekurang-kurangnya dapat dilakukan melalui 3 cara yakni: (1) seruan
formal kepada tradisi keagamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus dimana
penggunaan kekerasan dapat dibenarkan, (2) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan
kejahatan dan kebengisan diri atau kelompok lain, kamu yang mengancam aku, dan mereka yang
mengancam keselamatan kita dan (3) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di
mana tindakan kekerasan, setidaknya dalam situasi tertentu, dapat dibenarkan.

EPISTEMOLOGI KEKERASAN: AKAR INTERNAL DAN EKSTERNAL

Secara epistemologis, akar kekerasan bisa kita lihat sumbernya dalam 2 hal yakni; yang
bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri, maupun yang bersumber dari luar diri manusia,
sebagai stimulus (rangsangan) terhadap lahirnya tindak kekerasan. Dengan demikian penjelasan
tentang epistemologi kekerasan, termasuk kekerasan atas nama agama juga mengandaikan 2
sumber yaitu sumber dari dalam (internal) dan sumber dari luar (eksternal). Di sini kita
berhadapan dengan apa yang oleh filsafat disebut sebagai akar-akar epistemologis kekerasan,
yaitu kekerasan dari mengakar dari dalam (diri manusia) yang bersifat intsingtif dan dari luar yang
bersifat stimulus (rangsangan).

Untuk akar epistemologi kekerasan yang bersifat internal (dari dalam diri manusia dan bersifat
instingtif), kita bisa melihat penjelasannya di dalam buku karya Konrad Lorenz (1966) yang
berjudul On Agression. Dalam buku tersebut, Lorenz secara brilian menjelaskan bahwa
kecenderungan kita terhadap perang nuklir dan kekejaman-kekejaman yang lainnya, bukan
disebabkan oleh faktor-faktor biologis diluar kendali kita seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi
yang kita ciptakan, melainkan digerakkan oleh naluri (insting) manusia sebagai sumber energi
yang selalu mengalir dan harus selalu dialirkan. Jadi, itu semua terjadi tidak selalu merupakan
akibat dari reaksi terhadap rangsangan luar. Lorenz berpendapat bahwa energi khusus untuk
tindakan naluriah (instingtif) manusia mengumpul secara kontinyu (terus-menerus) dipusat-pusat
syaraf yang ada kaitannya dengan pola tindakan yang dilakukan manusia, termasuk tindak
kekerasan.

Tindakan kekerasan merupakan ledakan yang terjadi, ketika didalam syaraf tadi sudah terkumpul
cukup energi sekalipun tanpa adanya rangsangan dari luar. Dengan demikian, menurut Lorenz,
tindak agresifitas dan kekerasan manusia pada dasarnya bukanlah reaksi terhadap stimulus
(rangsangan) dari luar, melainkan rangsangan dari dalam (internal) yang sudah terpasang dan
mencari pelampiasan serta akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat
kecil, bahkan tidak ada. Model agresi dan kekerasan manusia yang bersifat naluriah (instingtif ini),
seperti halnya model libido Freud, dinamai model hidrolik yang dianalogikan dengan tekanan
yang ditimbulkan oleh air atau uap di dalam tabung tertutup. Asumsi Lorenz ini secara lebih luas
juga telah menjadi dasar kuatnya paham realisme dalam hubungan manusia antar bangsa.

Sementara itu, untuk akar epistemology kekerasan yang bersifat eksternal, berasal dari luar diri
manusia, sebagai stimulus (rangsangan) tindak kekerasan, dapat kita lihat pada pandangan
sekelompok filsuf yang bertentangan secara diamteris dengan pendapat Lorenz tentang akar
kekerasan yang bersifat naluriah (instingtif). Mereka menyatakan bahwa kekerasan merupakan
bentuk manifestasi dari stimulus (rangsangan) yang diperoleh manusia dari luar dirinya. Secara
umum pandangan ini dianut oleh kaum environmentalis. Menurut pemikiran mereka, tindakan
manusia secara eksklusif (termasuk tindak kekerasan) diciptakan oleh faktor-faktor lingkungan
yakni oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, jadi bukan oleh faktor-faktor
“bawaan” yang bersifat naluriah (instingtif) tadi. Hal ini ada benarnya juga, terutama bila dikaitkan
dengan fenomena kekerasan yang merupakan salah satu penghambat kemajuan manusia.
Pandangan ini, dalam bentuknya yang radikal, dikemukakan oleh para filsuf era pencerahan.
Manusia, menurut para filsuf Pencerahan, di-seyogyakan terlahir “baik” dan bernalar. Sementara
itu, yang membuat mereka memiliki tabiat jahat adalah keberadaan institusi, struktur dan realitas
di luar diri manusia yang memperlihatkan teladan-teladan buruk.

SOLUSI FILOSOFIS BAGI KEKERASAN TEOLOGIS

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, tentang intergrasi kekerasan teologis, politik identitas


manusia, dan epistemologi kekerasan menyangkut akar internal-eksternal, solusi filosofis yang
didapat diberikan bagi problem kekerasan teologis adalah:

Pertama, dapat dimulai dengan jalan menanyakan: dalam kondisi psikologis yang bagaimana
para aktor agama ini melakukan kekerasan teologis? Jawaban ini diperlukan karena
sebagaimana penjelasan tentang kekerasan naluriah (instingtif) yang berasal dari dalam diri
manusia, akar internal itu juga bisa menjadi sumber kekerasan. Menurut Muis Naharong (2005)
mereka melakukan tindakan kekerasan seperti penyerangan, pembunuhan, bom bunuh diri dan
sebagainya dengan mengatasnamakan agama adalah ketika mereka mengalami depresi mental
yang parah sekali. Mereka sudah putus asa dalam menghadapi masa depan (versi mereka,
sesuai yang mereka cita-citakan) yang sudah buntu akibat keadaan sosial, politik, ekonomi dan
faktor lainnya dari masyarakatnya yang sangat tidak menggembirakan bagi mereka.

Kedua, yang juga harus dicari jawabannya adalah pertanyaan tentang hal-hal diluar naluri
(insting) manusia yang bisa memberikan stimulus (rangsangan) terhadap manusia untuk
melakukan tindakan kekerasan teologis. Dalam studinya baru-baru ini, Scott Assembly
menyatakan bahwa menurutnya kekerasan teologis terjadi ketika para pemimpin ekstremis suatu
agama tertentu, (dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan
dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat), telahberhasil memanfaatkan argumen-
argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk menyuruh orang lain (umatnya) melakukan
tindakan kekerasan. Jadi stimulus pertama datang dari faktor pemimpin agama yang dalam
kontek masyarakat beragama yang bersifat hirarkhis sangat memegang kendali masyarakatnya.
Stimulus kedua (menurut Muis Naharong) , bisa datang ketika tindak kekerasan teologis
merupakan akibat, respon dan reaksi yang berlebihan terhadap munculnya ketidakadilan dalam
lingkungan sosial, ekonomi dan politik domestik (lokal), meskipun hal tersebut sama sekali tidak
ada hubungannya dengan agama. Selama ketidakadilan dalam bidang-bidang tersebut tidak
dapat dilenyapkan, maka tindakan kekerasan teologispun akan mungkin bermunculan. Stimulus
ketiga, menyatakan bahwa kekerasan teologis muncul akibat adanya ketimpangan dan
ketidakadilan politik global (internasional). Hal ini bisa dikaitkan pada aksi kekerasan teologis
yang dilakukan karena adanya hegemoni dan dominasi serta represi kelompok atau negara
tertentu secara tak terkontrol. Hegemoni, dominasi dan represi ini kemudian melahirkan
ketidakadilan dan kemiskinan serta memunculkan epistemologi kebencian yang mendalam
dikalangan umat beragama. Ketidakadilan, kemiskinan dan kebencian tersebut kemudian dikait-
kaitkan dengan konflik antar agama, terutama apabila kelompok yang menghegemoni,
mendominasi dan merepresi berasal dari agama yang berbeda. Atau, kalaupun ternyata berasal
dari satu agama yang sama, bisa dikait-kaitkan dengan konflik aliran intra-agama.

Dari kedua hal di atas, pencarian jawaban atas pertanyaan mengenai solusi filosofis kekerasan
teologis akan membawa kita, pertama-tama pada penelitian tentang sumber konflik yang bersifat
naluriah (instingtif), yang merupakan implementasi dari kondisi psikologis manusia. Ekspersi
internal manusia seperti ini harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dan dalam
konteks yang luas. Hal ini diperlukan, karena kondisi kejiwaan (psikologis) manusia berbeda-beda
dan selalu berubah. Pengenalan terhadap karakter psikologis serta konteks dari keberbedaan dan
perubahan psikologis manusia yang mengarah pada tindak kekerasan akan membantu kita
mencari solusi praksis penyelesaian kekerasan teologis, terutama yang sumbernya dari alasan
psikologis manusia yang bersifat naluriah (instingtif).

Selanjutnya, solusi filosofis kekerasan teologis, terutama yang menyangkut stimulus (rangsangan)
dari luar diri manusia bermanfaat dalam rangka menciptakan strategi untuk menentang dan
mengatasi segala bentuk ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, dalam suatu
lingkungan struktural suatu masyarakat, baik dalam konteks local, domestik (nasional) maupun
global (internasional). Dalam hal ini negara dan perangkat birokrasinya, dan organisasi-organisasi
politik internasional, berkewajiban untuk menciptakan keseimbangan hidup diantara warga
negaranya dan meminimalisir potensi ketidakadilan, mengentaskan kemiskinan dan kebodohan,
serta menyelesaikan problem kemsayarakatan lainnya. Dengan campur tangan negara dan
organisasi politik internasional, penyelesaian problem kekerasan teologis diharapkan bisa
menyentuh akar-akar permasalahannya. Upaya stimulatif ini tentu juga harus dibarengi dengan
kesediaan kalangan agamawan untuk mengajak umat beragama kepada militansi anti-kekerasan
(non-violence militancy) seperti yang telah dilakukan Gandhi (Hindu), Martin Luther King
(Protestan), Dalai Lama (Buddha), Gus Dur (Islam) dan sebagainya. Campur tangan kalangan
agamawan akan menjadikan upaya penyelesaian problem kekerasan teologis menjangkau publik
umat beragama secara luas. Sementara itu kalangan intelektual diharapkan berkontribusi,
terutama pada pencarian alternatif solusi-solusi problem kehidupan manusia dengan basik
keilmuan masing-masing. Campur tangan mereka diperlukan agar upaya penyelesaikan problem
kekerasan teologis akan bersifat menyeluruh, menjangkau segala bidang kehidupan.

END NOTES

1. Untuk penjelasan tentang agama dan kekerasan lihat Haryatmoko, 2000, Agama: Etika Atasi
Kekerasan, dalam Harian Kompas, edisi 17 April 2000.
2. Lihat Afadlal dkk, 2005, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, hal. 6-8.
3. Klaim ini biasanya diikuti dengan upaya para agamawan untuk membedakan antara agama
yang benar dan autentik yang dipandang hanya menyerukan perdamaian dengan agama yang
palsu dan inauthentic yang dianggap lebih militan fundamentalis dan ektremist. Pandangan ini
mengecam para pemimpin politik yang membawa-bawa agama untuk kepentingan politik dan
ekonominya sendiri. Agama dengan demikian, menurut agamwan ini, harus disterilkan dari
konsekuensi-konsekuensi tragis yang muncul dari niat busuk pemimpin politik itu.
4. Untuk penjelasan lebih rinci lihat Ihsan Ali-Fauzi, 2005, Ambivalensi sebagai peluang:Agama,
Kekerasan dan Upaya Perdamaian, dalam www.scripps.ohio.edu/new/(… 9/14/2005).
5. Lihat Afadlal dkk, 2005, op.cit, hal.9
6. Untuk penjelasan lebih lengkap tentang ini lihat Charles Kimball, 2003, Kala Agama Menjadi
Bencana (terj. Nurhadi), Bandung: PT Mizan Pustaka Agama. Di dalam buku ini Kimbal tidak
hanya menjelaskan situasi-situasi ketika agama terintegrasi dengan tindak kekerasan, tetapi juga
menjelaskan prinsip keragaman agama (pandangan pluralis) sebagai hubungan multikultural dan
antar iman. Menurut Kimbal, setiap agama memang memiliki jalan keselamatannya sendiri-sendiri
sehingga klaim kebenaran yang menjadikan agama “berpotensi” melahirkan kekerasan haruslah
ditolak.
7. F. Budi Hardiman, 2004, Akar Kekerasan Massa, dalam harian KOMPAS, edisi Rabu, 3 Maret
2004.
8. Ihsan Ali-Fauzi, 2005, op.cit, hal.4
9. Ibid, hal.4 dan 5. Untuk penjelasn lebih lanjut dan ilustrasi yang amat lengkap mengenai hal
tersebut lihat misalnya dua rujukan berikut, Rene Girard, 1977, Violence and The Sacred (terj.
Patric Gregory), Baltimore: The John Hopkins University Press, dan David I Kertzer, 1998, Ritual,
Politic and Power, New Heaven and London: Yale University Press.
10. Untuk tinjauan rinci, lihat Konrad Lorenz, 1966, On Agression (tej. Marjorie Kerr Wilson), New
York: Harcourt Brace Jovanovich.
11. Lihat Erich Fromm, 2000, Akar-Akar Kekerasan (terj. Imam Muttaqin), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal. 33-34.
12. Lihat Abdul Muis Naharong, 2005 (Forthcoming), Kekerasan dan Teror Suci, Jakarta: Jurnal
Universitas Paramadina.
13. Lihat Scott Applebly, 2000, The Ambivalence of The Sacred: Religion, Violence and
Reconciliation, Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield Publishers Inc, hal. 282
14. Abdul Muis Naharong, 2005 (Forthcoming), op.cit.

REFERENSI

Afadlal dkk, 2005, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press.

Ali-Fauzi, Ihsan, 2005, Ambivalensi sebagai peluang: Agama, Kekerasan dan Upaya Perdamaian,
dalam www.scripps.ohio.edu/new/ (9/14/2005).

Applebly, Scott, 2000, The Ambivalence of The Sacred: Religion, Violence and Reconciliation,
Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield Publishers Inc.

Budi-Hardiman, Franky, 2004, Akar Kekerasan Massa, dalam harian KOMPAS, edisi Rabu, 3
Maret 2004.

Fromm, Erich, 2000, Akar-Akar Kekerasan (terj. Imam Muttaqin), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haryatmoko, 2000, Agama: Etika Atasi Kekerasan, dalam Harian Kompas, edisi 17 April 2000.

Kimball, Charles, 2003, Kala Agama Menjadi Bencana (terj. Nurhadi), Bandung: PT Mizan
Pustaka.

Lorenz, Konrad, 1966, On Agression (tej. Marjorie Kerr Wilson), New York: Harcourt Brace
Jovanovich.

Muis Naharong, Abdul, 2005 (Forthcoming), Kekerasan dan Teror Suci, Jakarta: Jurnal
Universitas Paramadina

You might also like