You are on page 1of 16

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Pada dasarnya, konsep paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyederhanakan dan menerangkan suatu
kompleksitas fenomena menjadi seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma
yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya itu. Masalah yang paling dasar dalam wacana
kita sekarang ini adalah mempertanyakan – dan menjawab – sudahkah Pancasila merupakan sebuah paradigma yang mampu menerangkan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada khususnya? Bukankah
kritik yang paling sering kita dengar adalah bahwa nilai-nilai yang dikandung Pancasila itu baik, hanya implementatifnya sila-silanya
bagaikan terlepas satu sama lain dan penerapannya dalam kenyataan yang masih belum sesuai dengan kandungan normanya.

Pancasila, yang sejak tahun 1945 telah dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, mungkin memang masih memerlukan
pengembangan dan pendalaman konseptual agar dapat menjadi sebuah paradigma yang andal. Pengembangan dan pendalaman ini amat
urgen, oleh karena amat sukar membayangkan akan adanya sebuah Indonesia, yang dalam segi amat majemuk, tanpa dikaitkan dengan
Pancasila.

1.     Bagaimana terjadinya Pancasila

Walaupun sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, dan sebagai anak bangsa kita sudah mendengar, memahami dan meyakini, bahkan
melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial namun rasanya sebelum
tahun 1945 kita tidak pernah mendengar gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh, dan agar
disepakati sebagai basic premises untuk mendirikan Negara Gagasan tersebut pertama kalinya diajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya
pada sidang pertama Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Mengapa Soekarno
yang mampu mengidentifikasi lima gagasan terpadu itu? Mengapa bukan tokoh lain? Pertanyaan ini sungguh menarik, dan hanya
mungkin kita jawab kita mendalami riwayat hidup beliau serta visi kenegaraannya. Yang jelas, Soekarno amat yakin, bahwa
bagaimanapun majemuknya masyarakat Indonesia, namun keseluruhannya itu dalam mata batin Soekarno adalah suatu bangsa. Dengan
lain perkataan, sesungguhnya paradigma politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah gagasan nasionalisme. Juga pada saat ia
mempropagandakan kesatuan antara nasionalisme-islamisme dan maxisme, ia berbicara mengenai kesatuan bangsa Indoensia, yang
disemangati oleh tiga ideologi tersebut.

Berdasar renungannya yang bagaikan merupakan suatu obsesi untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang demikian majemuk,
Soekarno menyimpulkan bahwa ada lima dasar negara, yaitu disebutnya sila, yang dipandangnya sesuai untuk maksud itu, yaitu Peri
Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan akhirnya Peri Ketuhanan. Di dukung oleh oratory yang kuat, pemikiran Soekarno tersebut
mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari anggota lainnya. Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang pernah menjadi
Ketua Boedi Oetomo, memang menanyakan pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota badan tersebut tentang dasar negara yang
segera akan dibentuk. Sejak tahun 1944 Pemerintah Kekaisaran Jepang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak
awal tahun 1942 – segera diberi kemerdekaan. Secara historis, Pancasila ditawarkan sebagai konsep politik dalam rangka pembentukan
negara. Dengan demikian, Pancasila lahir sebagai suatu political thought, suatu pemikiran politik.

2.     Apakah sebenarnya esensi dan status Pancasila itu?

Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan esensi Pancasila itu sebagai suatu formula dasar
nasionalisme Indonesia. Pancasila adalah nasionalisme, suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan
membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu
bangsa. Itulah semangat yang meresapi keseluruh visi politik Ir. Soekarno, yang karena kharismanya telah mempengaruhi budaya politik
Indonesia. Kelihatannya, pensifatan lain dari Pancasila akan membawa kita pada gambaran yang keliru. Mungkin perlu dipertanyakan,
apakah pemikiran tentang Pancasila sudah cukup berkembang sehingga layak untuk diberi predikat sebagai filsafat politik, political
philosophy, setingkat dengan filsafat politik lainnya di dunia? Jika filsafat ditandai oleh pikiran yang mendalam, kritik dan sistematis,
mungkin juga masih diperlukan waktu sebelum Pancasila benar-benar berkembang menjadi suatu filsafat politik. Sebabnya adalah Ir.
Soekarno belum pernah berkesempatan menuangkan pikirannya secara filsafati, walaupun setelah tahun 1945 itu Ir. Soekarno pernah dua
kali mengulas lebih lanjut pemikirannya dalam kursus resmi mengenai Pancasila, dalam bagian kedua dasawarsa 1960-an. Sukar untuk
dibantah, bahwa Pancasila masih sarat dengan retorika.

Dalam perkembangannya dewasa ini, mungkin lebih pas jika kita memahami sila-sila Pancasila sebagai lima aksioma politik, yang
diterima sebagai dalil yang tidak memerlukan rincian penjelasan lagi. Yang masih perlu kita lakukan adalah mencari kategori pemikiran
dasar yang dapat memberikan makna yang utuh kepada lima aksioma politik, sehingga kita dapat memahaminya secara utuh, bukan
sebagai lima konsep yang terlepas-lepas dan tidak ada kaitannya satu sama lain. Hal ini tidaklah mudah, oleh karena Pancasila demikian
rentan terhadap penafsiran sesaat. Demikianlah, pada saat dunia secara ideologis terpecah antara Kubu Barat yang kapitalis dan Kubu
Timur yang komunis, Ir. Soekarno sendiri sebagai “penggali Pancasila” menjelaskan bahwa Pancasila adalah “Marxisme yang  diterapkan
di Indonesia” atau Pancasila sama dengan “Nasakom”.

Namun kerentanan pemikiran Soekarno pada pengaruh situasi sesaat tersebut tidaklah mengecilkan makna sumbangannya terhadap
eksistensi negara Republik Indonesia. Sumbangannya yang bersifat abadi terhadap Indonesia adalah anjurannya pada tanggal 1 Juni 1945
kepada BPUPKI untuk menerima lima sila tersebut dasar negara, kepemimpinannya dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, dan Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Perlu kita ingat, bahwa walaupun anjuran
pertama mengenai lima sila Pancasila adalah copyright Soekarno, namun lima sila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah sebuah karya kolektif. Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh 38 orang anggota BPUPKI yang masih tinggal di
Jakarta pada saat reses BPUPKI antara tanggal 2 Juni – 9 Juli 1945, ditambah dengan beberapa orang anggota Chuo Sangi In, untuk
kemudian dirumuskan secara padat oleh sembilan orang anggota BPUPKI. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, lima
sila Pancasila tersebut telah dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan  Tugas Pemerintahan. Sungguh amt sukar untuk mencari
kelamahan dari empat alinea Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Pemikiran lanjut tentang Pancasila, secara lebih kritis, sistematis dan komprehensif, dilakukan oleh tokoh-tokoh terpelajar Indonesia
lainnya. Kita harus merenung terus menerus mengenai Pancasila ini sedemikian rupa, sehingga pada suatu saat dapat berkembang menjadi
suatu Filsafat Indonesia, sejajar dengan Filsafat India, Filsafat Cina atau Filsafat Barat. Lalu status Pancasila? seperti terdapat dalam
alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 – adalah suatu kontrak politik bersejarah yang bersifat mendasar dari seluruh lapisan dan
kalangan dalam batang tubuh bangsa Indonesia yang besar ini. Sebagaimana halnya setiap kontrak politik, substansinya mengikat seluruh
rakyat dan seluruh jajaran pemerintah. Pada saat ini baik hukum nasional maupun seluruh lapisan penyelenggara negara terikat oleh
Pancasila, yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional.

3.     Di mana terletak Kendala Pancasila sebagai Dasar Negara?

Tantangan dasar yang dihadapi Soekarno sebagai negarawan adalah bagaimana caranya ia mewujudkan paradigma politiknya itu, bukan
saja untuk menerangkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari segi sosiologi dan kultur, tetapi juga untuk mengikat dan
menggerakkannya secara terpadu dalam suatu sistem kenegaraan dan sistem pemerintah, dimana seluruhnya bisa merasa nyaman.
Susahnya, dalam obsesi beliau mewujudkan kesatuan Indonesia, Ir. Soekarno agak mengabaikan betapa mendasarnya kemajemukan
Indonesia, yang bukan saja ditempa oleh sejarah daerah yang lebih panjang, tetapi juga diresapi oleh perbedaan agama yang mempunyai
ajaran yang amat berbeda satu sama lain. Bukan dalam satu agama yang sama bisa terdapat perbedaan dan mazhab yang dianut.

Selanjutnya, kendala utama yang dihadapi Pancasila sebagai dasar negara adalah adanya dikrepansi antara esensinya sebagai formula
nasionalisme Indonesia, dengan sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan yang menuangkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal ini terkait dengan proses perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Pancasila yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan terpisah oleh suatu kelompok informal, dan diluar sidang BPUPKI,
di bawah kepemimpinan langsung Ir. Soekarno, seorang nasionalis dan mantan pemimpin partai, sedangkan Batang Tubuh dan Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan oleh sebuah panitia kecil BPUPKI sendiri, dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo, seorang ahli
hukum adat dengan disertai tentang hukum adat Jawa Barat, yang seluruh anggaotanya mewakili keresidenan di pulau Jawa.

Sukar untuk membantah, bahwa keseluruhan proses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat diwarnai oleh kultur politik para
anggota BPUPKI, yang sebagian besar berasal dari latar belakang budaya Jawa. Budaya politik Jawa, yang telah demikian mendasar
diulas oleh Soemarsaid Moertono, berputar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, dilingkari oleh daerah-daerah taklukan di
sekitarnya. Mungkin itulah yang menyebabkan mengapa Drs. Moh. Hatta – yang agak jarang dan tidak demikian suka pidato itu –
demikian berkobar-kobar berbicara sewaktu beliau membela kemerdekaan berpikir dan berbicara, dan tentang hak daerah untuk mengatur
dan mengurus dirinya sendiri. Secara implisit dan eksplisit, sebagai seorang yang berasal dari masyarakat yang mempunyai budaya politik
yang bersifat egalitarian, layak ia merasa amat risau dengan kecenderungan sentralistik dan otoritarian yang terkandung dalam budaya
politik Jawa itu.

Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara, yang pernah mengadvokasikan konsep democrative met leiderschap, Soekarno sendiri tidaklah
terlalu risau dengan masalah itu. Ia sendiri kemudian bahkan mengajukan dan mempraktekkan konsep demokrasi terpimpin. Secara
kultural ia memang cukup familier dan nyaman dengan konsep politik itu, dan dapat merasa asing dengan kultur politik egalitarian,
dimana semua orang duduk sama rendah tegak sama tinggi. Disinilah terletak kendala utama Pancasila. Konsep nasionalisme yang pada
dasarnya merupakan konsep modern, dan secara teoretikal mampu menampung pluralis masyarakat Indonesia, diberi wadah konstitusional
yang hanya cocok dengan budaya politik suatu daerah, dalam hal ini budaya politik Jawa. Mungkin itulah sebabnya mengapa sejarah
politik nasional Indonesia berayun-ayun antara format negara kesatuan dengan negara federal, antara pemerintahan yang sangat
sentralistik dengan tekanan untuk mendesentralisasikan kekuasaan dan sumber daya, hubungan yang tidak pernah stabil antara pusat dan
daerah, antara keinginan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dan keharusan untuk melancarkan rangkaian operasi militer ke
daerah-daerah yang resah, antara konsep Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional yang dirumuskan dalam tahun 1965, dengan
sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang diresmikan dalam tahun 1951, antara keinginan membangun suatu Indonesia yang modern, dengan
dambaan untuk memelihara dan melestarikan warisan nenek moyang.

4.     Dua Tantangan Pancasila

a.     Tantangan Konseptual pertama Pancasila adalah memahami dan merumuskan secara jernih – serta disepakati bersama dengan
sungguh-sungguh tentang kandungan nilai dan makna Pancasila, baik masing-masing sila maupun Pancasila sebagai suatu kebulatan ide.

b.     Tantangan Kelembagaan Jika kita sudah mempunyai kesamaan visi dan faham mengenai sila-sila tersebut diatas, bagaimana
menuangkannya ke dalam sistem politik dan sistem kenegaraan kita ? Ringkasnya, dimensi kelembagaan Pancasila perlu memberikan
jawaban terhadap kebutuhan kita memperoleh efek sinergi sebesar-besarnya dari persatuan dan kita sebagai bangsa,  sambil menekan
sekecil-kecilnya dampak negatif yang bisa terjadi pada demikian besarnya akumulasi sumber daya nasional di tangan mereka yang
sedang  memegang tampuk kekuasaan pemerintah, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat daerah.

5.     Pembangunan Bangsa dan Negara sebagai Konteks Pembangunan bidang Sosial Politik. Bagaimanapun, Republik Indonesia
memang adalah sebuah negara nasional baru, yang didirikan oleh sebuah bangsa baru, yang baru bangkit pada awal abad ke 20, setelah
pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan sekedar pendidikan kepada sejumlah kecil kaum muda dalam rangka Ethische Politiek.
Kelompok kecil kaum muda terpelajar inilah yang pertama kali menyadari bahwa sekian ratus suku bangsa yang mendiami rangkaian
kepulauan ”Hindia Belanda” ini sesungguhnya adalah suatu bangsa. Mereka diikat oleh pengalaman sejarah yang sama. Dengan
keyakinan itulah mereka mendirikan berbagai organisasi, yang mulanya bersifat moderat, tetapi kemudian menjadi semakin radikal.
Dalam babak awal gerakan kaum muda ini bersifat elitis, kemudian menjadi populis, dengan melibatkan massa rakyat. Dapat dikatakan
bahwa sejak awalnya, Republik Indonesia berdiri dan berfungsi menurut pola top-down. Susahnya, jangkauan kharisma pribadi seorang
tokoh dibatasi oleh lingkungan kultural asalnya, dan seperti diingatkan Max Weber – kharisma tidaklah langgeng. Bila kharisma seseorang
itu tidak memberikan manfaat konkrit, khususnya dalam bidang ekonomi, pengaruh kharisma akan segera merosot, bahkan lenyap. Hal itu
terlihat jelas pada pengalaman Ir. Soekarno sebagai Presiden. Walaupun kamampuan retorikanya tidaklah berkurang sampai  saat-saat
terakhir. Namun keadaan ekonomi yang tidak pernah membaik di bawah pemerintahannya, ditambah dengan suasana ketidakpastian
suasana revolusioner yang dikobarkannya  sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ia jatuh pertengahan tahun 1966 oleh rangkaian
demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan. Tiga tuntutan itu adalah : turunkan harga, bubarkan kabinet 100
menteri, dan bubarkan PKI.

Secara gambling Pancasila telah diterima secara luas sebagai lima aksioma politik yang disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia
yang majemuk dan mempunyai sejarah yang sudah tua. Namun ada masalah dalam penuangannya  ke dalam sistem kenegaraan dan sistem
pemerintahan, yang ditata menurut model sentralistik yang hanya dikenal dalam budaya politik Jawa. Doktrin Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional masih mengandung nuansa yang amat sentralistik, dan perlu disempurnakan dengan melengkapinya  dengan Doktrin
Bhinneka Tunggal Ika. Pada saat ini ada diskrepansi antara nilai yang dikandung Pancasila dengan format kenegaraan dan pemerintahan
yang mewadahinya. Penyelesainnya terasa seakan-akan merupakan kebijakan ad hoc yang berkepanjangan.

Di masa depan, kehidupan politik berdasar aksioma Pancasila harus terkait langsung dengan Doktrin Bhinneka Tunggal Ika, di mana
setiap daerah, setiap golongan, setiap ras, setiap umat beragama, setiap etnik berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri (soeverein in
eigen kring). Negara dan Pemerintah dapat memusatkan diri pada masalah-masalah yang benar-benar merupakan kepentingan  seluruh
masyarakat, atau seluruh bangsa, seperti masalah fiskal dan moneter, keamanan, hubungan luar negeri, atau hubungan antar umat
beragama. Pemerintah nasional yang efektif dalam  melaksanakan dua tugas dasar pemerintah daerah, juga melayani aspirasi dan
kepentingan khas dari masyarakat daerah yang bersangkutan.

Agar Pancasila yang telah dikaitkan dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus
dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat.

Sumber : http://www.harypr.com/

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali
mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah
pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya
dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma
mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu
paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah
dalam ilmu pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik,
hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan,
orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka,
acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting
dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

1. Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap
aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia
atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi
landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk
monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.


Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa,
raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.

Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan
dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan.

a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila
bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia
yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan
otoriter

Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah
sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik
Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku
politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku
politik yang santun dan bermoral.

b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral
daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan
( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun
makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-
individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang
tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan
menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar
pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari
nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli
dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.

c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,
pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan
beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan
dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan
derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-
budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan
penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima
sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial.

d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini
mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem
pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).

Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan
secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban
yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup
bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda
Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak
mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman,
adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada
rakyat.

Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang
untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Apabila gerakan reformasi
ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik, tiada jalan lain adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan
yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara. Oleh karena itu, pancasila sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.

Dengan pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan dalam kerangka perspektif sebagai landasan sekaligus
sebagai cita-cita. Sebab tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas, reformasi akan mengarah pada suatu gerakan anarki, kerusuhan,
disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran bangsa. Reformasi dengan paradigma pancasila adalah sebagai berikut :

a. Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah
pada kehidupan yang baik sebgai manusia makhluk tuhan.

b. Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi berlandaskan pada moral kemanusiaan yang
luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

c. Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia
sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan dan
disintegrasi bangsa.

d. Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat
menempatkan rakyat sebagai subjek dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya pemerintahan yang
demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

e. Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas,
yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa
ketidakadilanlah penyeban kehancuran suatu bangsa.

PANCASILA

SEBAGAI

PARADIGMA PEMBANGUNAN

KEBUDAYAAN BANGSA

S. Budhisantoso *)

Puslit Pranata Pengembangan UI

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam alenia ke-4 UUD 1945
adalah :

“…….untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, ………dst”.

Dengan jelas amanat itu menyatakan tanggung jawab pemerintah bukan sekedar memberikan perlindungan fisik terhadap seluruh
warganegaranya, melainkan juga perlindungan non-fisik dengan memajukan kesejahteraan mereka dalam arti luas.
Sesungguhnya amanat tersebut bukan tanpa alasan, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu terbentuk sebagai perwujudan tekad bersama
segenap penduduk di kepulauan Nusantara atau bekas jajahan Hindia Belanda yang semula hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang
mandiri dengan aneka ragam kebudayaan mereka. Kenyataan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu
seringkali diabaikan. Walaupun masyarakat dengan bangga orang mengucapkan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, dalam
kenyataan kebhinnekaan itu sering kali dilupakan kalau tidak tergusur oleh ketunggalan yang dipaksakan.

Sebagaimana kenyataan, kemajemukan masyarakat Indonesia itu tidak hanya terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan dalam
keanekaragaman kebudayaan yang dikembangkan oleh penduduk di kepulauan sebagai perwujudan adaptasi mereka terhadap
lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersifat mendatar
yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda, melainkan juga bersifat tegak lurus karena perbedaan pengalaman sejarah.
Kenyataan sosial dan kebudayaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan
kebangsaan.

Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan
tidaklah mudah untuk mempersatukan masyarakat majemuk yang semula telah mengembangkan aneka ragam kebudayaan itu menjadi
satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa yang oleh Geertz (1965) disebut sebagai “Intergrative revolution”.

Sesungguhnya banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang
melandasi perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana diungkap oleh R. Harris (1964), kebanyakan negara yang baru merdeka sejak
berakhirnya perang dunia yang selalu menghadapi berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi
pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesejahteraan dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang
dinamakan oleh Harris sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi : Pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (Total
Independence); Kedua, Pengembangan Administrasi Pemerintahan (Administrative Equality); Ketiga, Perjuangan kesetaraan budaya
(Cultur Equality).

Kemerdekaan sepenuhnya : Sesungguhnya keutuhan wilayah negara dan kedaulatan suatu bangsa itu sulit dipertahankan kalau
masyarakat bangsa itu sendiri tidak mampu membebaskan diri atau sekurang-kurangnya memperkecil pengaruh kekuasaan asing sejauh
mungkin. Perjuangan untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan asing itu terasa lebih berat bagi negara yang baru merdeka dan
masyarakatnya majemuk seperti Indonesia. Kebanyakan bekas negara kolonial tidak rela melepaskan pengaruhnya terhadap negara bekas
jajahannya. Dengan berbagai cara, mereka berusaha mengikat kasetiaan bekas negara jajahan dalam berbagai bentuk kesepakatan, seperti
program bantuan pembangunan, kerjasama ekonomi dan pemasaran bersama maupun organisasi persemakmuran. Dengan demikian
mereka dapat mempertahankan kepentingan mereka, seperti jaminan sumber bahan baku bagi industrinya maupun pangsa pasar yang
potensial. Sebaliknya ikatan nyata maupun terselubung itu dapat menghambat pembangunan bangsa-bangsa yang baru merdeka, karena
mereka tidak bebas dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan yang hendak diselenggarakan. Bahkan ada kecenderungan bahwa
berbagai bantuan yang diberikan oleh bekas negara kolonial itu justru memperpanjang ketergantungan mereka terhadap kekuasaan asing
karena itulah mereka harus membebaskan diri sepenuhnya dari segala bentuk pengaruh kekuasaan asing untuk menegakkan kedaulatan
sebagai bangsa yang merdeka.

Perjuangan itu tidak mudah, terutama di negara yang masyarakatnya majemuk dengan anekaragam latar belakang kebudayaannya seperti
Indonesia. Sejarah telah membuktikan betapa berbagai negara boneka dibentuk menjelang penyerahan kedaulatan negara dan bangsa
Indonesia oleh pihak Belanda dengan tujuan untuk mempertahankan pengaruhnya. Pergolakan sosial berlangsung sejak penyerahan
bangsa dan negara oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menetukan hari depan dan membangun bangsa.

Pembangunan Administrasi Pemerintahan : Perjuanga yang tidak kalah beratnya adalah mengembangkan administrasi pemerintahan
yang menjamin pelayanan umum yang berlaku di seluruh tanah air. Pembangunan administrasi pemerintahan untuk menunjukan
kemampuan bangsa mengatur dirinya tanpa campur tangan kekuasaan asing itu tidak mungkin ditunda-tunda. Namun dalam kenyataan
banyak kendala yang harus dihadapi. Di samping kurangnya tenaga kerja yang terampil dan ahli untuk menyelenggarakan administrasi
pemerintahan yang sehat, banyak peraturan dan perundangan yang harus dibuat untuk menggantikan barbagai peraturan dan perundangan
kolonial. Belum lagi terhitung sistem pemerintahan apa yang hendak diterapkan.

Sesungguhnya untuk menghasilkan tenaga terampil dan akhli dalam administrasi pemerintahan tidaklah terlalu sulit. Akan tetapi
sebagaimana halnya yang terjadi di berbagai negara yang sedang berkembang, justru pembinaan sikap mental sumberdaya manusia
sebagai bagian dari mesin demokrasi sehat merupakan hambatan utama. Banyak diantara mereka yang berhasil memangku jabatan dalam
administrasi pemerintahan yang mengidap sikap mental administrator kolonial (colonial administrator mentality) yang beranggapan
bahwa masyarakat masih bodoh dan terbelakang. Oleh karena itu mereka seringkali bukannya melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
abdi masyarakat sebagai bawahan (subordinates). Yang harus dibina dan dibimbing selalu. Hal ini bertentangan dengan prinsip
pengembangan pemerintahan nasional yang seharusnya juga memperjuangkan kesetaraan kebudayaan dalam pergaulan antar bangsa.
Pembinaan dan bimbingan yang memperlakukan masyarakat seolah-olah masih terbelakang dan perlu pimpinan itu, tanpa disadari telah
mematikan kreativitas pembaharuan yang justru diperlukan untuk pengembangan kabudayaan.
Pembangunan Kebudayaan : Sementara itu untuk mendapatkan pangakuan kesetaraan (cultur equality) dalam pergaulan antar bangsa,
pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan tidak boleh diabaikan oleh negara yang baru merdeka. Pengembangan
kebudayaan sebagai lambang kesetaraan itu. sama pentingnya dengan kemerdekaan penuh dan tertibnya administrasi pemerintahan yang
diperlukan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara dan kedaulatan bangsa. Oleh karena itu pembangunan kebudayaan nasional
bagi bangsa Indonesia tidak mungkin ditunda-tunda, labih-labih kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu majemuk masyarakatnya dan
beranekaragam kebudayaan.

Kebutuhan dan kebudayaan nasional sebagai kerangka acuan dalam bermasyarakat dan berbangsa secara nasional itu disadari sepenuhnya
oleh para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam amanat UUD 1945, khususnya pasal 32 yang
berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia” akan tetapi karena besarnya semangat kebangsaan pada awal
kemerdekaan dalam mengembangkan kebudayaan nasional orang mengabaikan keberadaan dan fungsi kebudayaan-kebudayaan yang
hidup di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kekhilafan itulah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah sosial, politik,
ekonomi, dan kebudayaan dalam pembangunan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan
antar bangsa.

PEMBANGUNAN BANGSA

Perjuangan bangsa untuk mencapai kesetaraan sosial, politik dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk dengan kebudayaanya
yang beraneka ragam itu tidaklah mudah. Ia harus dilakukan serentak dengan melibatkan segenap rakyat untuk mengambil bagian secara
aktif. Oleh karena itu pembangunan semesta di masa pemerintahan Orde Lama maupun pembangunan nasional di masa Orde Baru
merupakan jawaban yang sesuai dengan tantangan dari dalam negeri maupun internasional. Akan tetapi kedua kebijaksanaan
pembangunan itu tidak memperhatikan faktor dominan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan bangsa. Yang
menuntut perhatian khusus. Akhirnya kedua pembangunan itu selalu berakhir dengan bencana nasional.

Pembangunan politik : dihadapkan pada situasi sosial dan politik dalam maupun luar negeri, pemerintah Orde Lama disibukkan dengan
upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi pertarungan dua kubu ideologi yang sangat kuat
pengaruhnya. Maklumat Nomor X 1945 yang semula diterbitkan untuk menampung aspirasi politik dalam masyarakat majemuk, telah
melahirkan sejumlah besar partai politiik yang masih mencerminkan kesetiaan anggotanya terhadap kelompok sosial yang bersifat lokal
dan bahkan memperkuat kesadaran kesukubangsaan dan kedaerahan yang sempit. Akhirnya upaya untuk menegakkan kehidupan yang
demoktrtis di Indonesia itu telah menimbulkan masalah yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang sedang dibangun sejak
proklamasi kemerdekaan. Krisis sosial politik dan keamanan selama revolusi integratif itu senantiasa ditanggapi secara politis dan lebih
banyak bertumpu pada kekuasaan, sebagaimana tercermin dalam pembubaran Konstituante yang tidak pernah mencapai kesepakatan.
Dekrit Presiden Soekarno 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945 merupakan pilihan yang tepat untuk mengatasi jalan buntu yang
dihadapi Konstituante pada waktu itu.

Untuk melaksanakan amanat UUD 1945, ternyata kepartaian di Indonesia dianggap belum sepenuhnya mampu menampung aspirasi
masyarakat Indonesia yang majemuk secara keseluruhan. Oleh karena itu dibentuk Front Nasional yang yang beranggotakan ketiga partai
politik NU, PNI, dan PKI, serta golongan fungsional dan ABRI. Akan tetapi nampaknya pembentukan Front Nasional itu pun belum dapat
menyelesaikan masalah karena kesenjangan kesiapan masyarakat dalam membina kehidupan politik yang demokratis. Akibatnya terjadi
dominasi politik oleh salah satu partai terhadap partai-partai lainnya, sehingga membuka peluang bagi meledaknya peristiwa 30
September 1965 yang melahirkan Orde Baru.

Sesungguhnya bencana nasional yang terjadi di akhir masa pemerintahan Orde Baru itu buka semata-mata karena dampak persaingan
antar kedua negara adikuasa yang bersaiang dalam memperluas pengaruhnya. Kesiapan sosial budaya masyarakat untuk
menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai konsep yang relatif barupun ikut menentukan. Kenyataan kurangnya
kesiapan sosial-budaya masyarakat majemuk yang beranekaragam kebudayaannya itu tidak pernah diperhitungkan dalam membangun
bangsa yang modern. Kalaupun pemimpin bicara tentang kebudayaan, biasanya perhatian mereka tertuju pada kesenian sebagai salah satu
ungkapan dan pernyataan kebudayaan. Sementara itu ketika mereka berbicara tentang Pancasila, asosiasi mereka terpusat pada penegakan
ideologi negara dan bukannya sebagai nilai-nilai (core value) yang menjadi penggerak yang memberikan arah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Akhirnya Pancasila menjadi sarana politik yang dimanipulasi oleh para elite untuk kepentingan menggalang
massa pendukung.

PEMBANGUNAN NASIONAL

Terdorong oleh tuntutan Amanat Pendertitaan Rakyat (AMPERA), pemerintahan Orde Baru menyelenggarakan pembangunan nasional
dengan titik beratnya pada pembangunan ekonomi. Model pembangunan yang pernah digunakan di Barat dengan Triloginya itu
diharapkan akan dapat merangsang perkembangan sosial-budaya masyarakat disamping meningkatkan kesejahteraan umum. Dengan
dukungan penerapan teknologi maju, pembangunan nasional diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya
akan memacu perkembangan sosial dan kebudayaan bangsa. Model pembangunan dengan triloginya itu nampaknya cocok untuk
masuyarakat yang memang secara sosial maupun budaya telah siap untuk mengambil alih dan menerapkan teknologi maju guna
menopang pembangunan industri. Penerapan model pembangunan yang sama ternyata tidak berhasil menggerakkan bangsa Indonesia,
yang majemuk dengan anekaragam kebudayaan itu, untuk mengambil bagian secara menguntungkan. Logika itu dapat dimengerti karena
perubahan teknologi pada suatu masyarakat akan merubah masyarakat yang bersangkutan.

Sebagaimana Schumacher pernah menulisnya, bahwa sesunggunhnya bukan teknologi yang menjadi kekuatan pembaharuan, melainkan
politik. Sementara itu secara lebih tegas, Heilbrorer (1969) juga menyatakan bahwa perkembangan ekonomi itu buka semata-mata proses
ekonomi melainkan proses politik dan sosial. Akibatnya, walaupun pertumbuhan ekonomi (economic growth) dapat dicapai, akan tetapi
tidak berhasil mengembangkan ekonomi (economic development) tanpa dukungan faktor sosial dan kebudayaan. Tidaklah mengherankan
bahwa krisis moneter yang melanda Indonesia berlanjut tanpa hambatan dengan krisis ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan
keamanan. Seolah-olah pembangunan nasional yang diselenggarakan dengan pengorbanan yang tidak kecil dari masyarakat serta uang
pinjaman yang membebani rakyat, menjadi sia-sia, karena orang lupa akan persyaratan ideologi yang dituntut bagi modernisasi (Chodak,
1975). Bahkan Rockefeller (1969) pernah menyatakan bahwa perkembangan (development) itu pada hakekatnya merupakan kemajuan
yang amat luas lingkup dan pengertiannya, meliputin faktor sosial, budaya, politik dan psikhologi yang bisa menjadi lebih penting dari
pada sekedar faktor ekonomi.

Sesungguhnya pembangunan sebagai usaha berencana untuk meningkatkan kesejahteraan umum itu pada hakekatnya merupakan kekuatan
pembaharuan sosial maupun kebudayaan. Apapun model dan titik berat pembangunan yang akan diselenggarakan, akan menimbulkan
dampak terhadap kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat yang terlibat. Karena itu keberhasilan suatu pembangunan tergantung pada
kesiapan masyarakat dalam mengambil bagian secara menguntungkan.

Pilihan titik berat pembangunan pada bidang ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintah Ordde Baru, sesungguhnya merupakan
tanggapan spontan terhadap penderitaan yang dialami oleh bangsa Indonesia selama revolusi integratif. Lebih dari 25 tahun pertama sejak
kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak sempat meningkatkan kesejahteraan mereka karena pergolakan sosial, politik dan keamanan
dalam negeri. Karena itu, untuk memperbaiki keadaan, pemerintah Orde Baru menentukan pilihan model pembangunan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, diharapkan akan dapat memacu perkembangan
segala sektor kehidupan bangsa. Akan tetapi karena kurangnya kesiapan masyarakat, pembanguan ekonomi itu tidak berhasil memicu
perkembangan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan sebagaimana dicita-citakan. Kenyataan tersebut meningkatkan perlunya
pemberdayaan masyarakat, karena perkembangan ekonomi itu pada hakekatnya merupakan proses sosial dan politik (Heilbroner, 1963).
Dengan demikian perkembangan ekonomi itu menuntut kemampuan penduduk untuk mengambil bagian secara aktif dengan kemampuan
menyesuaikan diri secara perorangan (adjustement) maupun kolektif (social adaptation).

Sungguhpun dalam GBHN yang lalu telah dinyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan pembangunan yang berbudaya, dalam
kenyataan pengertian kebudayaan itu sendiri tidak jelas. Ada kecenderungan orang mempersempit pengertian kebudayaan sekedar sebagai
kesenian. Sebaliknya ada pula yang mengartikannya secara luas mencakup segala pengetahuan dan kemampuan kerja yang diperoleh
manusia melalui proses belajar sebagai anggota suatu masyarakat. Di lain pihak ada pula yang berbicara tentang kebudayaan nasional
tanpa memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah. Karena itu dalam perencanaan
pembangunan dan penyelenggaraannya, seringkali orang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan yang
menjadi kerangka acuan dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat pendukungnya.

Tidaklah mengherankan kalau selama 32 tahun pembangunan nasional yang dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan dan membuka
peluang kerja, justru sebaliknya telah memperlebar dan memperdalam jurang kesenjangan sosial. Pada gilirannya kesenjangan sosial
akibat tidak berkembangnya pranata sosial dan nilai-nilai budaya sebagai kendali, telah membangkitkan kecemburuan dan konflik sosial
yang sulit dikendalikan pada akhir-akhir ini.

Sesungguhnya pembangunan nasional yang diupayakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam waktu yang relatif singkat itu
telah menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat luas, terutama mereka yang tidak mampu mengambil bagian secara
menguntungkan. Apabila dicermati, kekecewaan masyarakat itu selain karena perubahan lingkungan yang amat pesat, juga karena mereka
belum sempat mengambil alih nilai-nilai budaya pasar sebagai pedoman dalam mengejar keuntungan materi dengan cara bersaing.
Perkembangan sosial yang kurang menguntungkan itu merupakan akibat meningkatnya kegiatan ekonomi yang tidak diimbangi dengan
penegakkan keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya (Echivery,). Secara lebih rinci hal itu dapat diuraikan sebagai
berikut.

Pembangunan Industri : dihadapkan pada situasi ekonomi yang memburuk selama masa pemerintahan Orde Lama yang berusaha untuk
mempertahankan kemandirian politik, pemerintah Orde Baru bertekad untuk segera mengatasinya dengan kebijaksanaan pembangunan
ekonomi yang mendahulukan pertumbuhan (economic growth) daripada perkembangan (economic development). Dengan pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, diharapkan akan banyak tenaga kerja yang selama ini menganggur akan dapat ditampung sehingga akan dapat
memacu peningkatan kesejahteraan umum. Untuk keperluan itulah, industrialisasi yang ditopang dengan penerapan teknologi modern
menjadi pilihan utama, walaupun pembangunan sektor pertanian tidak diabaikan.
Dalam kenyataan, pembangunan industri yang ditopang dengan penerapan teknologi modern itu menuntut persyaratan sosial dan
kebudayaan yang dapat mendukung peningkatan kegiatan ekonomi yang menyertainya. Persyaratan sosial dan kebudayaan itu terutama
adalah keadilan sosial (social justice), demokrasi politik (political demoracy) dan kebebasan budaya (cultur freedom) yang mengimbangi
masuknya nilai-nilai budaya markantil, materialistik dan kompetitif dalam perkembangan ekonomi pasar dalam masyarakat agraris
menuju masyarakat industri.

Model pembangunan ekonomi di Indonesia telah memacu pengusaha untuk meningkatkan eksploitasi sumberdaya (exploitative) tanpa
mengenal batas waktu maupun lingkungan (expansive) dalam mengejar keuntungan materi secara optimal. Kecenderungan pengurasan
sumberdaya secara besar-besaran itu tidak dapat dielakkan, karena besarnya modal yang ditanamkan harus mendatangkan keuntungan
materi yang sebesar-besarnya. Kenyataan tersebut telah memacu persaingan yang tidak berimbang, terutama antara pengusaha besar yang
memiliki berbagai keunggulan ekonomi, sosial dan politik di satu pihak, dengan pengusaha kecil dan menengah yang dianggap tidak
mampu mengolah sumberdaya yang menguntungkan. Tidaklah mengherankan kalau ekspansi pengusaha besar tidak hanya menggusur
pengusaha kecil dan menengah yang dianggap kurang mampu, melainkan juga terhadap penduduk di kawasan yang kaya dengan
sumberdaya alam maupun di pusat-pusat pertumbuhan.

Ratusan pengusaha batik kecil dan menengah di Jakarta digusur oleh dua perusahaan batik raksasa dengan segala keunggulannya.
Sementara itu pengusaha batik kecil dan menengah yang semula mandiri terpaksa bekerja sebagai bawahan atau pemasok dari perusahaan
raksasa kalau tidak beralih bidang usaha yang masih bebas dari jangkauan belalai gurita yang mencari mangsa. Demikian pula ratusan
pengusaha kecil dan menengah yang menghasilkan mi, tergusur oleh perusahan raksasa penghasil bahan makanan terigu. Dengan alasan
demi efisiensi dan produktivitas, pengusaha kecil dan menengah itu terpaksa bertindak sebagai pengecer atau penjual mi masak.
Sedemikian jauh tinggal 80-an pengusaha mi basah (kecil dan menengah) yang bertahan di Jakarta karena mereka telah mempunyai
langganan lewat restoran yang dikelola masing-masing. Sungguhpun demikian mereka tidak bebas dari bujuk rayu pengusaha raksasa
yang menjanjikan keuntungan materi yang lebih besar. Tidak mustahil mereka tidak akan menyerah terhadap rayuan, kecuali mereka yang
benar-benar telah mapan, karena kesulitan mendapatkan pinjaman untuk menambah modal dan mendapatkan bahan mentah.

Dengan alasan demi efisiensi dan produktivitas, yang menjadi slogan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, penduduk perkotaan
yang kurang mampu, penduduk pedesaan yang lahannya berpotensi ekonomi tinggi untuk dikembangkan sebagai real-estate maupun
industrial estate, maupun penghuni hutan yang kaya dengan kayu atau mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai perkebunan, tidak
lebih baik nasibnya daripada pengusaha kecil dan menengah yang tidak berdaya. Lingkungan pemukiman yang mempunyai banyak fungsi
sosial (social asset) itu hanya dinilai sebagai kekayaan ekonomi (economic asset) yang rendah harganya karena selama ini tidak
mendatangkan keuntungan (pajak) bagi pemerintah dialih fungsikan kepada pengusaha besar yang menjanjikan keuntungan materi di atas
kepentingan sosial dan kebudayaan penduduk.

Persaingan yang tidak imbang itu telah memperlebar dan memperdalam kesenjangan sosial. sejumLah kecil penduduk yang beruntung
dapat menguasai sebagian terbesar sumberdaya dan peluang usaha. Sedang sebagian terbesar penduduk semakin miskin dan tersisihkan
dari lingkungan yang sehat dan sumber pencaharian yang selama ini mereka kuasai. Kecenderungan sosial yang kurang menguntungkan
inilah yang harus diatasi dengan pemberdayaan masyarakat, sebelum terjadinya konflik yang disertai kekerasan (violent conflict) yang
sulit dikendalikan.

Sesungguhnya masyarakat Indonesia dewasa ini menghadapi tekanan lingkungan ganda akibat pengurasan sumberdaya yang
menggunakan teknologi modern. Tekanan ganda itu disebabkan upaya pengusaha untuk meningkatkan intensitas pengolahan sumberdaya
guna mendapatkan keuntungan materi seoptimal mungkin. Kecenderungan pengusaha bersikap ekploitatif dan ekspansif dalam mengolah
sumberdaya itu dapat dimengerti, karena besarnya modal dan biaya kegiatan industri yang harus mereka tanggung. Sementara itu
pengolahan sumberdaya alam oleh penduduk miskin yang berusaha memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Yang terus
meningkat menambah tekanan lingkungan. Terdesak oleh kebutuhan hidup yang tidak mungkin dihindarkan, penduduk miskin cenderung
mengolah sumberdaya alam yang tersedia tanpa memperhatikan kearifan lingkunmgan (ecological wisdom) yang selama ini menjadi
pedoman dalam menjaga kelestariannya (sustainability).

Sementara itu pemerintah cenderung untuk bertindak lunak dalam pengendalian pengolahan sumberdaya alam maupun pengolahan
lingkungan. Bahkan demi keberhasilan pembangunan industri dalam negeri maupun untuk mendapatkan devisa, pemerintah cenderung
membuka peluang usaha bagi mereka yang sanggup mengolah sumberdaya alam, seperti konsesi HPH, pertambangan dan penangkapan
ikan. Akibat penyusutan sumberdaya dan mutu lingkungan (natural depletion) berlangsung amat cepat dan merambah hampir seluruh
penjuru tanah air.

Organisasi : Sesungguhnya penanaman modal yang besar dalam industrialisasi itu harus dikelola secara intensif agar dapat mendatangkan
keuntungan materi secara optimal. Tuntutan industrialisasi itu tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan pengusaha Indonesia yang pada
umumnya masih mengandalkan pengelolaan usahanya pada organisasi kekerabatan (intra family organisation). Hubungan antara person
(interpersonal relation) lebih bermakna dalam mengerjakan seseorang di perusahaan daripada keakhlian atau keterampilan yang dimiliki
seseorang (impersonal relation) Sesungguhnya dengan mengembangkan industri yang menuntut penanaman modal yang besar dalam
mengejar efisiensi dan produktivitas kerja, akan merangsang pengusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mengelola usahanya.
Akan tetapi karena kurangnya kesiapan sosial dan kebudayaan, justru sebaliknya mereka cenderung mencari jalan pintas. Kenyataan
tersebut memperlemah daya saing mereka untuk menghadapi pengusaha asing yang telah mapan. Tidaklah mengherankan kalau dalam
menghadapi persaingan, kebanyakan pengusaha besar maupun menengah Indonesia cenderung mengembangkan strategi yang tidak sehat
(KKN). Akibatnya banyak pengusaha kecil dan menengah yang tersisihkan dalam persaingan yang tidak seimbang malawan pengusaha
besar dan menengah yang mempunyai kemampuan untuk menggalang kerjasama dengan pengusaha dan pernbankan.

Tenaga kerja : untuk mengendalikan teknologi modern diperlukan tenaga kerja trampil dan ahli agar efisiensi dan produktivitas kerja
yang optimal dapat tercapai. Kebutuhan dan tenagakerja trampil dan ahli itu, pada gilirannya akan merangsang penduduk untuk
menghargai tinggi pendidikan sekolah sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Kenyataan telah mebuktikan betapa keberhasilan
pembangunan industri yang membuka peluang kerja bagi tenaga terdidik dalam memacu penduduk untuk mengirimkan anak-anak mereka
ke sekolah. Dengan demikian mobilitas sosial akan diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk pada umumnya. Akan tetapi,
penerapan teknologi modern dalam industri ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja manusia yang digantikan dengan tenaga mesin
yang dibangkitkan dengan sumber enersi fosil. Di samping itu kebanyakan tenaga kerja manusia terdidik belum siap, secara sosial maupun
kebudayaan, untuk memangku tugas baru (Herskovitz,) hasil penelitian Galtung (1976) dibeberapa negara Asia dan Afrika menunjukan
bahwa kegagalan pengambilalihan teknologi modern itu bukan karena kurangnya tenagakerja trampil dan ahli, melainkan karena tidak
sesuainya sikap mental mereka menghadapi pekerjaan baru. Kurang sesuainya sikap mental pekerja itu karena pengaruh kebudayaan yang
mereka hayati sebagai kerangka acuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan selama ini. Hasil penelitian itu, akhirnya
menyimpulkan bahwa kurangnya kesiapan sosial dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang mangakibatkan kegagalan
pengambil alihan teknologi modern secara mulus. Hal yang sama sesungguhnya dihadapi masyarakat Indonesia dalam pembangunan
nasional yang menerapkan teknologi modern tanpa memprhatikan faktor sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, pembangunan industri yang ditopang dengan penerapan teknologi modern, justru
menghasilkan lebih banyak penganguran murni maupun terselubung. Penggusuran penduduk pedesaan ataupun perkotaan yang lahannya
diperlukan untuk pembangunan, telah memisahkan mereka dari sumber penghidupan yang selama ini mereka tekuni, sementara lapangan
kerja baru yang sesuai dengan kemampuan sosial dan kebudayaan mereka sangat terbatas. Kenyataan ini, bersama dengan menyusutnya
sumberdaya dan mutu lingkungan hidup yang sehat, telah memicu terjadinya kebringasan sosial atau gejala “amuk” massa yang semakin
sulit dikendalikan.

Perebutan sumberdaya dan lingkungan yang semakin menyusut persediaan dan mutunya dewasa ini terus meningkat tidak terbatas antara
mereka yang mempunyai berbagai keunggulan dengan mereka yang kurang beruntung (vertical sosial conflict), melainkan juga antar
mereka yang mempunyai kemampuan yang sebanding (horizontal social conflict). Untuk menghimpun kekuatan, mereka cenderung
membangkitkan kesetiakawanan sosial dengan mengaktifkan simbol-simbol ikatan primodial terutama kesukuabangsaan (ethnicity).

Di lain pihak, menyadari akan kesalahan yang diperbuat selama pembangunan nasional yang alau, pemerintah cenderung untuk membuka
peluang bagi masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam pembangunan, dengan menghormati Hak Asasi Manusia dan
otonomisasi pemerintahan daerah. Sikap keterbukaan pemerintah reformasi itu disambut baik oleh masyarakat dengan meningkatnya
tuntutan hak asasi individu secara berlebihan. Demikian pula tuntutan otonomisasi pemerintahahn daerah semakin keras mengarah pada
otonomisasi pemerintahan suku bangsa.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Sesungguhnya meningkatnya kegiatan ekonomi selama I masa pembangunan nasional telah membawa serta nilai-nilai budaya merkantil,
materialistik dan kompetitif. Dalam setiap transaksi, orang cenderung untuk mengejar keuntungan materi melalui persaingan yang sehat.
Oleh karena itu, untuk mengimbangi penyerapan nilai-nilai budaya ekonomi pasar itu harus ditegakkan keadilan sosial, demokrasi politik
dan kebebasan budaya sebagai pedoman bersama dalam kegiatan ekonomi pasar.

Dengan lain perkataan, untuk memprsiapkan masyarakat agar dapat mengambil bagian dalam kegiatan pembangunan secara
menguntungkan, perlu upaya pemberdayaan. Adapun makna dari pemberdayaan adalah mengembangkan potensi sosial, kebudayaan dan
sumberdaya manusianya. Tanpa pemberdayaan masyarakat, niscaya penegakan keadilan sosial, demokratisasi politik dan kebebasan
budaya dapat membantu meningkatkan daya saing masyarakat dalam memperjuangkan kesejahteraan. Oleh karena itu hak budaya
komuniti harus dihormati sejalan dengan penegakkan hak asasi individu yang selama ini mendapatkan perhatian secara berlebihan.
Seolah-olah penegakkan hak asasi individu itu dapat dilakukan dengan mengorbankan hak budaya komuniti yang membatasinya.

Dengan menghormati hak budaya komuniti berarti mengakui perwujudan kebudayaan komuniti yang senantiasa mengalami perubahan,
melaikan membuka peluang bagi pembangunan kreativitas mereka dalam menghadapi tantangan perubahan lingkungan. Dengan
menghormati hak budaya komuniti, kecenderungan dominasi suatu kebudayaan atas kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat
majemuk dapt dihindarkan. Sebagaimana berlangsung, pembangunan ekonomi cenderung untuk mendahulukan efisiensi dan produktivitas
dalam setiap kegiatan. Menerima cara-cara lain yang dianggap kurang efisien dan produktif. Akibatnya hanya sistem sosial yang
menjamin efisiensi dan produktivitas tinggi yang dilestarikan dengan pengorbanan sistem sosial dan budaya lainnya. Penyeragaman dalam
segala sektor kehidupan merupakan gejala yang umum selama masa pembangunan. Akibatnya bukan hanya membuka peluang bagi
dominannya suatu kebudayaan atas berbagai kebudayaan lainnya, akan tetapi juga cenderung memasung kebebasan budaya dalam
masyarakat majemuk.

Kenyataan tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat majemuk, bahkan sampai pada tuntutan untuk memisahkan
diri. Sementara itu persaingan yang tidak imbang dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan juga telah mendorong
masyarakat untuk menghimpun kekuatan dengan mengaktifkan simbol-sibmbol kesukubangsaan yang mengabaikan kehadiran komuniti
ataupun goolongan sosial lainnya. Untuk menghindarkan perkembangan sosial yang kurang menguntungkan itulah sesungguhnya hak
komuniti sebagai kelompok sosial yang terbentuk karena persamaan kepentingan ataupun karena kesamaan lingkungan permukiman yang
mempersatukan harus dihormati.

Arti pentingnya hak budaya komuniti juga karena peran komuniti sebagai penghubung atau jembatan antara kepantingan hak asasi
individu dengan hak negara untuk menata kehidupan berbangsa. Tanpa pengakuan terhadap hak budaya komuniti, niscaya akan terjadi
konfrontasi langsung antara kedua kepentingan menegakkan hak asasi individu dengan hak negara. Demikian pula dengan pengakuan hak
budaya komuniti, manipulasi kesetiakawanan sosial sukubangsa dapat dimanipulasi untuk kepentingan perorangan ataupun sekelompok
kecil warga. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, niscaya persatuan dan kesatuan bangsa yang merdeka dan berdaulat serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dipertahankan.

Untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dengan menghormati hak budaya komuniti, perlu dikembangkan mekanisme yang
mempermudah penyaluran aspirasi dan penyelenggaraan pembangunan yang sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat
Indonesia yang mejemuk.

OTONOMI PEMERINTAHAN DAERAH

Berbagai program bpembangunan nasional yang direncanakan secara terpusat di masa lampau lebih banyak menunjukkan penyeragaman
demi efisiensi dan produktivitas yang tinggi tanpa memperhatikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Aknibatnya dapat dirasakan betapa selama proses pembangunan, kesenjangan kesejahteraan antar daerah semakin maningkat. Tidaklah
mengherankan kalau kenyataan tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke arah perpecahan. Kesenjangan
kesejahteraan itu tidak hanya berlaku antar daerah, malaikan juga intra daerah sehingga memperkuat kecemburuan sosial antara mereka
yang diuntungkan oleh pembangunan dengan mereka yang kurang beruntung. Kenyataan tersebut membuktikan betapa pentingnya
penegakan keadilan sosial, disamping demokrasi politik dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat dalam mengambil
bagian dalam pembangunan secara menguntungkan.

Otonomi daerah yang memberikan keleluasaan pemerintah daerah menata rumah tangganya, diharapkan dapat memperkecil kesenjangan
kesejahteraan umum antar daerah maupun intra daerah, akan tetapi kalau itu tidak disertai dengan penegakkan keadilan sosial, demokradi
poltik maupun kebebasan budaya, niscaya akhirnya hanya akan memindahkann kesenjangan kesejahteraan umum ke daerah masing-
masing. Keleluasaan daerah untuk mengelola potensi sumberdaya dan mendistribusikannya demi kesejahteraan umum, memerlukan
pengendalian sosial yang pada gilirannya menuntut pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ketiga persayaratan
keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung pengembangan
kreativitas mereka dalam pembangunan daerah masing-masing. Tanpa ketiga persyaratan tesebut, tidak mustahil akan timbul masalah-
masaalah sosial, ekonomi dan politik baru, antara lain meningkatnya mobilitas penduduk yang mencari kesejahteraan di daerah yang lebih
menjanjikan. Masalah hubungan antar daerah itu, pada gilirannya akan menjadi masalah nasional yang tidak mudah diselesaikan, karena
otonomi yang mereka miliki.

PARADIGMA BARU DALAM PEMBANGUNAN

Mengingat kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan dalam penyelenggaraan pembangunan, perlu dikembangkan paradigma
baru dalam pembangunan demi tercapainya tujuan secara optimal. Paradigma baru itu adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang tidak hanya memperhatikan penerapan teknologi maju untuk mengolah sumberdaya dalam mengejar pertumbuhan
ekonomi, melaikan juga dengan memperhatikan faktor sosial-budaya yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pembangunan
itu sendiri. Hal itu berarti bahwa dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan harus diselenggarakan dengan menghormati hak
budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara
berimbang.

Dewasa ini ada kecenderungan untuk membiarkan penduduk menikmati hak asasi individunya, setelah selama lebih dari 30 tahun
pemasungan dalam masa pembangunan yang lalu. Demikian besarnya semangat penduduk untuk memperjuangkan hak-hak asasi
individunya sehingga mengorbankan hak-hak budaya komuniti sebagai kendali. Akibatnya bukan hanya masyarakat kehilangan
kepercayaan pada kemampuan diri maupun hak negara untuk mengatur ketertiban berbangsa dan bermasyarakat. Demikian pula aparat
pemerintah, baik sipil maupun militer, kehilangan kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparat negara yang
berwenang untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara dan kedaulatan bangsa. Mereka ragu-ragu untuk berhadapan langsung
dengan penduduk yang menuntut hak asasi individunya tanpa ada kendali. Sesungguhnya dengan menghormati hak budaya komuniti,
konfrontasi langsung antar kepantingan hak asasi individu dengan hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
dihindarkan dengan perantara komuniti-komuniti yang bersangkutan.

Di samping itu, dengan menghormati hak budaya komuniti maka perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya akan dapat mengundang
peranserta aktif masyarakat yang merasa diperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan mereka untuk mengambil bagian secara
menguntungkan. Setidak-tidaknya pembangunan yang berbudaya itu mempunyai makna, di samping membuktikan adanya kebebasan
berbudaya yang memungkinkan masyarakat mengambil bagian secara menguntungkan dalam pembangunan.

Apa yang sering dipertanyakan orang adalah sampai di mana kesiapan masyarakat untuk mengambil bagian dalam pembangunan secara
menguntungkan. Dalam era reformasi yang penuh kebebasan dewasa ini masyarakat dapat berbuat apapun tanpa ada hambatan dari pihak
aparat keamanan maupun pertahanan. Bahkan sengketa sosial yang disertai kekerasan maupun tindakan teror berlangsung tanpa dapat
diketahui pelakunya, akan tetapi kesanggupan masyarakat untuk membangun kembali tetanan sosial belun terlihat. Krisis kepercayaan
masyarakat, ternyata tidak hanya tertuju pada aparat pemerintahan dan negara, baik sipil maupun militer, akan tetapi juga kepercayaan
terhadap dirinya telah krisis. Berbagai unjuk rasa yang disertai kekerasan semakin marak sebagai alat untuk memenangkan tuntutan. Gaya
unjuk rasa parlemen jalanan itu juga dipertontonkan oleh para elit politik dalam persidangan resmi maupun dalam beradu pendapat di
hadapan publik. Kenyataan sosial itu mengesankan tiadanya kesadaran akan perlunya suasana yang baik untuk mengebalikan keprcayaan
masyarakat akan kemampuan diri mereka untuk mengatasi kekacauan sosial, ekonomi, politik dan keamanan dewasan ini. Oleh karena itu
timbul pertanyaan bagaimana memberdayakan kembali masyarakat dan pemerintah untuk membangun bangsa.

Untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat ini terpasung, sebaiknya dicermati sebab-sebabnya mengapa mereka kehilangan
kepercayaan dan hanya menunggu inisiatif dan uluran tangan dari pemerintah. Sesungguhnya kalau dicermati model pembangunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah selama ini cenderung melumpuhkan prakarsa masyarakat untuk berperan serta secara aktif. Hal itu
dikarenakan oleh sistem perencanaan yang sentralistik dan mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan
Indonesia. Cara-cara itu ternyata telah menyebabkan terjadinya dominasi suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu atas masyarakat dan
kebudayaan yang lain. Kecenderungan itulah yang menimbulkan konflik dan kecemburuan sosial yang menjurus kearah keberingasan
sosial (violeny conflict) yang sulit dikendalikan akhir-akhir ini. Untuk mengatasi kecenderungan yang kurang menguntungkan dalam
pembangunan itu harus dikembangkan paradigma baru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara berjenjang dan timbal
balik.

Perencanaan harus dilakukan dari bawah (lokal) maupun dari pusat (nasional) secara berjenjang denga tujuan : Pertama, perencanaan di
tingkat lokal dilakukan untuk menampung aspirasi dan eksistensi masyarakat lokal sesuai dengan kemampuan yang terkait dengan
kesiapan sosial dan kebudayaan mereka untuk berpartisipasi secara aktif: Kedua, perencanaan di tingkat regional (provinsi) yang
mengkoordinasikan perncanaan-perencanaan tingkat lokal untuk menghindarkan kesenjangan yang berlebihan: Ketiga, perencanaan di
tingkat pusat atau nasional dilakukan sebagai kerangka acuan yang mengikat persatuan dan kesatuan bangsa yang berdaulat. Tanpa adanya
kerangka acuan dalam merencanakan pembangunan di tingkat lokal, yang pada akhirnya akan menghasilkan kesenjangan dalam mengejar
kemajemukan antar daera.apabila hal itu dibiarkan berlarut-larut, maka akan mengundang masalah sosial, ekonomi dan politik yang lebih
parah dalam masyarakat majemuk yang sedang membangun.

Dengan cara demikia, otonomi daerah tidak akan mengerah pada otonomi sukubangsa sebagaimana diproyeksikan oleh Naisbitt (19…),
karena masing-masing sukubangsa telah mendapatkan peluang dalam merencanakan pembangunan yang memperhatikan struktur sosial
dan kebudayaan masing-masing. Demikian pula dengan menghormati hak budaya komuniti dalam masyarakat majemuk yang tinggi
mobilitasnya, sebagimana dikemukakan oleh Suparlan (2000), tidak akan ada yang merasa perlu untuk menyatakan komuniti pendatang
yang menetap kemudian di suatu daerah dianggap sebagai orang luar yang harus dipasung hak budayanya di negarinya sendiri untuk
berbagi pengalaman dan mengolah sumberdaya alam secara berdampingan.

Sesungguhnya pembangunan berkelanjutan yang memprhatikan faktor sosial budaya dalam masyarakat majemuk itu tidak
mungkindiselenggarakan secara terpusat dalam perencanaan maupun penyelengaraannya. Walaupun pembangunan nasional yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk itu harus merata di seluruh penjuru tanah air, aka tetapi perencanaanya harus
mmeperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk mengambil bagian secara menguntungkan. Oleh karena itu
perencanaan harus dilakukan di tingkat lokal sehingga benar-benar dapat menangkap aspirasi, ekspektasi dan kemampuan masyarakat
setempat untuk berpartisipasi secara aktif. Kenyataan di masa lampau seringkali pemerintah maupun msyarakat sendiri mengabaikan
kekhususan masyarakat dan kebudayaan di daerah-daerah, sehingga pembangunan yang menuntut biaya, tenaga dan waktu yang tidak
ternilai harganya itu sangat kecil manfaatnya bagi penduduk setempat. Salah satu contoh yang nyata adalah pembangunan pendidikan
sekolah yang direncanakan secara terpusat, akhirnya hanya menghasilkan pengangguran terpelajar yang dapat menimbulkan masalah
sosial di daerah-daerah. Mereka sudah tercabut dari akar budaya dan struktur masyarakat setempat, sementara itu lapangan kerja diluar
sektor tradisional belum ada.

Dengan perencanaan di tingkat lokal, yang dapat dilakukan di tingkat administrasi pemerintahan kecamatan atau kabupaten, tergantung
pada besar kecilnya jumlah penduduk dan kemajemukan masyarakatnya, maka diharapkan pembangunan yang memperhatikan faktor
sosial budaya dapat diselenggarakan sesuai dengan tujuan yang mulia dan efisien. Akan tetapi pembangunan itu tidak akan banyak
manfaatnya kalau tidak terintegrasi dalam jaringan yang lebih luas. Kemajuan di suatu lokal secara tidak berimbang, justru dapat
mengundang kerawanan sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu pembangunan itu harus diselenggarakan secara merata dari satu ke
lain lokal. Untuk memperpadukan pembangunan lokal itu, perlu direncanakan bersama secara regional atau ditingkat provinsi, dengan
demikian diharapkan akan dapat mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan yang dapat saling mengisi kekurangan masing-masing demi
pemerataan hasil pembangunan. Sedang perencanaan di tingkat nasional dilakukan untuk menjamin keseimbangan pembangunan antar
regional dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang sanggup menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia.

PANCASILA SEBAGAI PERANGKAT NILAI BUDAYA INTI

Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keanekaragaman kebudayaannya menimbulkan kebutuhan akan kebudayaan nasional yang
memperkuat persatuan sebagai suatu bangsa yang besar. Kenyataan tersebut disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara kesatuan
Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam UUD 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dengan tegas diamanatkan bahwa:

“Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”

Amanat para pendiri negara itu bukan tidak beralasan karena kenyataan bahwa bangsa Indonesia terwujud sebagai hasil kesepakatan dan
tekad segenap penduduk di bekas derah jajahan Hindia Belanda untuk bersatu. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan, tekad untuk bersatu
menjadi bangsa itu telah dirintis dan terekam dalam Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928.

Sungguhpun pemerintah diamanatkan untuk memajukan kebudayaan nasional, tidak berarti bahwa kebudayaan-kabudayaan di daerah-
daerah boleh diabaikan perkembangannya. Dalam penjelasan pasal yang sama, pengakuan terhadap kehadiran kebudayaan yang tumbuh
dan berkembang di daerah-daerah itu dinyatakan dengan tegas, sebagai :

“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya”.

Sungguhpun demikian perjuangan untuk mengembangkan kesetaraan budaya seringkali mengalami kerancuan dalam pelaksanaannya, dan
bahkan menimbulkan reaksi yang justru mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang sedang dibangun. Reaksi itu muncul, antara lain,
karena berbagai pengertian yang berkembang maupun cara-cara yang ditempuh dalam pelaksanaannya. Tidak dapat disangkal bahwa
dalam membangun bangsa yang mempersatukan sejumlah masyarakat yang semula mandiri dan mempunyai latar belakang kebudayaan
yang beranaka ragam, diperlukan suatu sistem budaya atau perangkat nilai yang dapat digunakan sebagai kerangka acuan bersama. Akan
tetapi hal iti tidak berarti harus menghancurkan perangkat-perangkat nilai budaya yang masih berfungsi sebagai kerangka acuan bagi
kelompok-kelompok sosial yang mendukungnya. Oleh karena itu penjelasan pasa 32 UUD 1945 dengan tegas menyatakan perlunya
memajukan kebudayaan nasional Indonesia yang mencakup puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah.

Dalam kaitan dengan puncak-puncak kebudayaan itulah yang sesungguhnya harus dipahami secara cermat. Sebagaimana menjadi
pemahaman umum, kebudayaan itu suatu hal yang relatif. Artinya kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif manusia terhadap
tantangan yang mereka hadapi dalam beradaptasi terhadap lingkungannya itu tidak ada yang lebih baik ataupun lebih tinggi dibandingkan
dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Oleh karena itu puncak-puncak kebudayaan harus tidak diartikan sebagai yeng terbaik,
melainkan sebagai unsur yang relevan dengan perkembangan masyarakat, sangat luas persebarannya (universal) sehingga dapat diterima
oleh sebagaian besar penduduk dan dapat membangkitkan kebanggaan sehingga dapat memperkuat persatuan bangsa.

Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria puncak-puncak kebudayaan dengan segala fungsinya. Nilai
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas sangat luas persebarannya di kalangan masyarkaat Indonesia yang majemuk dengan
keanekaragaman kebudayaannya,. Dapat dikatakan bahwa tidak satupun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di
Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mengenai sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab juga merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan maupun golongannya. Oleh karena itu ia termasuk kategori puncak-
puncak kebudayaan yang dapat memperkaya kabudayaan nasional.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia juga merupakan salah satau puncak kebudayaan yang mencerminkan nilai budaya yang menjadi
kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan Nusantara untuk mempersatukan diri mereka sebagai satu bangsa yang berdaulat.

Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mencerminkan nilai budaya yang
luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia yang menghargai tinggi kedaulatan rakyat untuk melakukan kesepakatan
dalam mencari kebijaksanaan lewat musyawarah. Nilai-nilai budaya yang menghargai kepentingan kolektif lebih tinggi daripada
kepentingan individu itu merupakan gejala yang universal dan relevan sebagai kendali dalam menghadapi perkembangan nilai-nilai
budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan.
Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak perlu dijelaskan lagi, betapa sesungguhnya nilai-nilai keadilan itu menjadi
landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dengan demikian jalaslah bahwa Pancasila itu harus diperlukan bukan sekedar sebagai ideologi politik, melainkan juga sebagai nilai
budaya inti (core value) yang menjiwai kehidupan dan berfungsi sebagai motor serta simbol pengikat persatuan dalam masyarakat
majemuk Indonesia yang sedang mengalami perkembangan. Sebagai perangkat nilai inti, Pancasila tidak hanya akan berfungsi sebagai
kerangka acuan bagi segenap warganegara dalam menghadapi tantangan, malainkan juga sebagai kendali yang mengikat arah
perkembangan kebudayaan agar tidak terlepas dari akarnya. Sementara itu sebagi simbol pengikat persatuan, Pancasila yang terwujud
sebagai konfigurasi perangkat nilai budaya inti yang diyakini kebenarannya sebagai acuan bersama, mempunyai kekuatan integratif dalam
masyarakat majemuk yang mempunyai anekaragam latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu ia harus diwujudkan secara nyata dalam
pengembangan kebudayaan bangsa yang akan berfungsi sebagai acuan bagi masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan sehari-hari
maupun dalam menggapai tantangan kemajuan.

Mengingat arti pentingnya Pancasila sebagai kerangka acuan yang memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, ia harus “dilestarikan”
secara aktif melalui proses pendidikan dalam arti luas. Nilai-nilai Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh (integrated whole) harus
diutamakan dan dikukuhkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan bukannya untuk dihafalkan unsur-unsurnya secara lepas, apabila
dipuja-puja sebagai sesuatu yang sakti. Perlakuan nilai-nilai inti Pancasila secara lepas hanya akan memicu fanatisme dan memancing
konflik sosial, politik dan kebudayaan yang semakin tajam dikalangan masyarakat majemuk yang cenderung memilih pengutamaan salah
satu nilai inti sebagai simbol integratif kelompok sosial masing-masing. Sementara itu pemuja Pancasila sebagai rumusan ethos budaya
bangsa yang sakti atau sakral, hanya akan menambah jauh nilai-nilai budaya inti dari kehidupan nyata para pendukungnya. Oleh karena
itu Pancasila harus diterjemahkan sebagai kerangka acuan bagi perkembangan pranata sosial dan pengembangan sikap serta pola tingkah
laku masyarakat dalam menghadapi tantangan hidup yang penuh dinamika.

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang
pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari,
apa
yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam
mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh
ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu,
seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti
bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti
sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

1. Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok
ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan
penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan
objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk
dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat
manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang
monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.


Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi
aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
manusia secara totalitas.

Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik.
Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada
rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai
paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas
asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral
daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral
ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga
negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang
santun dan bermoral.

b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada
nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila
IPancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan
menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan
sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem
ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus
dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi
Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan
penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.

c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia
itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu. pembangunan
sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas
bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi
harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial
dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga
mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal
ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh
komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber
daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan
berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta
keyakinan pada kekuatan sendiri.

Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan
Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan
reformasi melanda Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak mengalami
keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman,
adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi kedaulatan dan
keadilan pada rakyat. Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata
kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang
dicita-citakan rakyat. Apabila gerakan reformasi ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik, tiada jalan lain
adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan
yang baik itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Oleh karena itu, pancasila sangat tepat
sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.

Dengan pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan dalam kerangka perspektif sebagai
landasan sekaligus sebagai cita-cita. Sebab tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas, reformasi akan mengarah pada suatu
gerakan anarki, kerusuhan, disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran bangsa. Reformasi dengan paradigma
pancasila adalah sebagai berikut :

a. Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan
harus mengarah pada kehidupan yang baik sebgai manusia makhluk tuhan.

b. Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi berlandaskan pada moral
kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

c. Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa
Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat
menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.

d. Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus
dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya
pemerintahan yang demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

e. Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi harus memiliki
visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa ketidakadilanlah penyeban
kehancuran suatu bangsa.

You might also like