Professional Documents
Culture Documents
1 Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Th 1947-1975), Penerbit Bina Ilmu,
Surabaya, 1976, hal 13.
1
Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir
yang wafat tahun 608 H/1211 M.2 Masuknya Islam ke bumi nusantara
memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara.
Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai
suatu peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa
itu (abad ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti
Ibn Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd
(wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M).3 Dengan
demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan
sebagai suatu ajaran agama dan peradaban4 sehingga merupakan hal yang
sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash
University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c.
12005 untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari
sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara. Kata ‘modern’
yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan
‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di
bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada di bawah
kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa
kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan
penduduk di bumi nusantara (Indonesia).
Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah
berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan
3
VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan
politik di bumi nusantara dari tangan mereka.9
Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru
dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai
muncul kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah
kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M.
Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan
kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India,
dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan
sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah
diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka
akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis
tersebut.10
Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut
memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan
kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran
nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian
nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George
Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia
melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan
melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya
gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa
mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis:
Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu
9 Menurut Nurcholish Madjid, pengabdian yang dicurahkan untuk berjuang
melawan orang-orang Barat (selain Belanda, muslim di bumi nusantara juga pernah
berhadapan dengan Portugis dan Inggris --penulis) yang muncul dalam semangat
antikolonialisme dan antiimperialisme. Hampir semua pemberontakan dipimpin oleh
ulama atau sultan. Tetapi, harga yang kemudian harus ditebus ternyata luar biasa
mahal. Yaitu, bahwa umat Islam Indonesia selama ratusan tahun terbiasa hanya
berpikir reaktif dan bersikap fight against, yakni berjuang untuk melawan, melawan,
dan melawan, karena memang kondisinya seperti itu. Inilah yang menyebabkan
mengapa umat Islam sampai sekarang masih relatif belum sampai kepada sikap
fight for (pro aktif, membangun --penulis). Tentu, ada beberapa pengecualian.
Misalnya, mereka yang berusaha membangun ekonomi. Nurcholish memandang hal
ini sebagai salah satu faktor yang membuat umat Islam di Indonesia belum sempat
menciptakan peradaban yang berarti karena persoalan-persoalan yang menyerap
hamper seluruh energi tersebut. Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi
Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta, Mizan, 2006, hal
1198-1200.
10 Itu pun dengan catatan bahwa pendidikan sebagai buah politik etis pada
umumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan pribumi-priyayi (bangsawan).
kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan
saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang,
nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang
masih sangat penting.11
5
Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal
abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran
nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan
dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi-
organisasi pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan.13
Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia
tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum
intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena
kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda
ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan
berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.14
Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa
hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup
penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban
yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar
tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir
abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang
mayoritasnya muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali
kendali atas bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia
di atasnya. Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam
sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media
persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah
tercapai ?
Yudi Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah
genealogi intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki
peranan penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad
ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri
sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila
Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari
Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.
15 Lihat, Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan HMI
(Suatu Tinjauan Historis dan Kritis Fase-Fase Perjuangan HMI), makalah LK II HMI
Cabang Tanjung Pinang Kepulauan Riau,Tanjung Pinang , 14 Maret 2007. Uraian
lebih lengkap dapat dilihat dalam Agussalim Sitompul, Historiografi HMI Tahun
7
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam
pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun
kesejarahan HMI.16 Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an
merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan
gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan
eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya
menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada
upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis
Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini
dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas
kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai
muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan
gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon
utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan
bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera
digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung
dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan
aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh
penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut
membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan
kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut
dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang
beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku
ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi
sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi
sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung
berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian
menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik
pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi
9
dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-
politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks
bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap
kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya
yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya
terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit.
Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi
wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang
lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan
wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.@
Indonesia lainnya adalah lebih penting. Dengan kata lain, strategi mereka ialah
menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan kenyataan bahwa
Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa. Lihat Budhy Munawar-
Rachman, Op. Cit., hal 1193-1195.