You are on page 1of 21

PARADIGMA – PARADIGMA SOSIOLOGI

DAN ANALISA SOSIAL

PENGANTAR

Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tenttang teori–teori sosial dan kita
berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain . Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang
kiranya menjadi sumber utama kebinggungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini
hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam kontek kemasyarakatan yang lebih luas.Tetapi dalam
wacana yang lebih luas ,tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secara umum.

Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma,yang didasarkan atas
perbedaan anggapan metateori tentang sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat.Empat paradigma itu
dibangun atas pandangan
Pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial.Masing-masing pendirian menghasilkan
{melahirkan}analisa-analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial.Masing-masingparadigma melahirkan teori-teori
dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentengan-pertentangan yang didalamnya terdapat
pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.

Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi
yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
ASUMSI – ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL

ASUMSI ONTOLOGIS
ASUMSI EPISTEMOLOGIS
ASUMSI HAKEKAT MANUSIA
ASUMSI METODOLOGIS
ASUMSI ONTOLOGIS
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang merasuk
kedalam alam kesadaran seseorang ataukah merupakan
hasil dari kesadaran seseorang (subyektif) apakah realitas
itu memang sesuatu yang sudah ada (given) diluar pikiran
seseorang atau hasil dari pikiran atau hasil dari pikiran
seseorang.
ASUMSI EPISTEMOLOGIS
• Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan.yaitu
bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikan sebagai pengetahuan
kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja
yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan
“salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistimologis
tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya
mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud
nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atau apakah ilmu pengetahuan itu
merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berwujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan
bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan
pribadi yang unik dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah
pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki
atas dasar pengalaman pribadi.
ASUMSI METODOLOGIS
• Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang
menemukan pengetahuan tentang dunia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan
asumsi kecendrungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis,
bahkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat
tipis.Menelusuru perbedaan dua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut ekstrim pertama, analisisnya
akan dipusatkan pada hubungan-hubungan dan tatanan-tananantara berbagai unsur yang membentuk
masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan
(regularity). Cara ini merupakan upaya mencai hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara umum
untuk menjhelaskan keadaan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai
masalah masyarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbada pula. Upayanya terpusat
memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia
berada.Tekanannya pada pemahaman pengertian khas dan unik setiap kenyataan yang umum.
Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh
penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.
Asumsi-asumsi dasar Ilmu Sosial
(Dimensi Subyek – Obyek)
• Nominalisme – Realisme : Debat Ontologis
• Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap yang merupakan sesuatu yang
berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label yang
digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di
manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu.Penamaan itu hanyalah rekaan
saja untuk menjelaskan, memberi pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering
disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduannya sulit dibedakan.

• Realisme beranggapan bahwa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan
kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada,
berujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum
menyadari dan belum memiliki penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada
terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya.Orang dilahirkan dan kenyataan
sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului
keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.
Anti positivisme – Positivisme : Debat
Epistemologis
• Sebutan “kaum positivis” sama seperti “Kaum Borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan tertentu. Istilah itu
digunakan disini untuk mengidentifikasi sikap atau pendirian epistimologis tertentu. Istilah positivisme sering
dicampuradukkan dengan “empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.

• Pendirian epistiemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang digunakan dalam ilmu alam.
Perbedaanya hanya dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai tatanan sosial dapaty dibuktikan kebenarannya
melalui penelitian eksperimental; tetapi sering juga hipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya.
Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan falsifikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa
tentang tatanan sosial sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan sebuah proses kumulatif dimana
pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa
salah yang pernah ada.

• Pendirian epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-
kaidah atau menegaskan tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya
dapat dipahami dari pandangan orang-orang langsung yang terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak
kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui
kerangka berpikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan.
Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif
dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengetahuan apa saja.
Volunterisme – Determinisme :
Debat Hakekat Manusia

• Kaum determinis menganggap bahwa


manusia ditentukan oleh keadaan
lingkungan sekitar dimana ia berada. Kaum
volunterisme beranggapan manusia
sepenuhnya pencipta dan berkemauan
bebas. Kedua anggapan ini merupakan
unsur paling hakiki dalam teori ilmu sosial.
Ideografi – Nomotetis : Debat Metodologis

• Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial
melalui pencapaian pengetahuan langsung dari perilaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa
sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif dengan cara masuk ke dalam
keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan langsung sedekat mungkin
dengan memahami sejarah hidup dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan
ini. Masalah yang diteliti dibiarkan muncul apa adanya.
• Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam
penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian hipotesa dengan dalil-
dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk menganalisis data.
Survey, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologis
nomotetis.
ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL
Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih duaratus tahun
terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha
menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peritiwa sosial atau
kemanusiaan. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam
ontologisnya, kaum positivisme dalam epistemologi, pandangan deterministik mengenai sifat
manusia dan nomotetis dalam metologinya.

Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan bahwa
realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi “ruh” atau “gagasan”.
Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologisnya anti positivisme dimana sifat subyektivitas dari
peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam,
berpandangan volunterisme terhadap fitrah manusia dan menggunakan pendekatan ideografis dalam
analisisnya sosialnya.

Sejak tahun 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang
filsafat sosial. Jalan tengah dari kedua kutub memunculkan beberapa pemikiran baru seperti
fenomenologis, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran tengah ini selain menyatakan
pendiriannya sendiri juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami
dengan baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.
ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR TENTANG
HAKEKAT MANUSIA

• Semua pendekatan dalam mengkaji


masyarakat didasarkan pada kerangka
berpikir, pandangan dan anggapan-
anggapan dasar tertentu.
Debat Ketertiban – Pertentangan (Order-Conflict Debate)

Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologis dalam dua
pandangan: pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan mengenai
perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat. Yang pertama penganutnya jauh
lebih baik dari kedua. Menurut Dawe, yang pertama merupakan teori sosial. Cohen (1968),
Silverman (1970), Van den Bergh (1969) menganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya.
Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk menjelaskan ketertiban sosial
sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.

Cohen (1968), berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa corak
sistem sosial yang tertib ditandai oleh perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion),
kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), Imbal balik (reciprocity), kerjasama
(coorperation), keterpaduan (integration), ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak
pertentangan sosial sitandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan (hostility),
ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan (malintegration) dan
perubahan (change).
KETERATURAN Vs
PERUBAHAN RADIKAL
• Istilah ini diusulkan karena terlah terjadi banyak ketidakjelasan dalam membedakan corak ketertiban
dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang menekannkan
pentingnya kesatuan (unity) dan kerapatan (cohosiveness). Teori ini mendambakan adanya
keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan radikal sarat dengan keinginan
menjelaskan tentang perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan
yang mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai masyarakat modern.
Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai struktur (tatanan) masyarakat yang
membatasi dan menghalangi potensinya untuk berkembang. Pertanyaan-pertanyaa dasarnya adalah
masalah harkat manusia, baik fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan,
menanyakan apa yang mungkin dan bukan sekedar upaya saja, melihat kemungkinan berbada dari
sekedar kemapanan.
Skema Keteraturan
Perubahan Radikal
• Sosiologi Keteraturan Sosiologi Perubahan Radikal
• Kemapanan Perubahan Radikal
• Ketertiban Sosial Pertentangan Struktur
• Kesepakatan Bentuk-bentuk Penguasaan
• Kerapatan & Keterpaduan Sosial Saling Pertentangan
• Kesetiakawanan Pemerdekaan
• Pemuasan Kebutuhan Pemerosotan harkat Manusia
• Hal-hal yang Wujud Nyata hal-hal yang Masih
Terpendam
DUA DIMENSI, EMPAT
PARADIGMA
Sejak 1960an telah terjadi banyak aliran pemikiran
sosiologi bermunculan. Dalam perkembangannya berbagai
pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal
1970an telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi
baik mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat
seperti halnya terjadi pada tahun 1960an. Untuk
menembus kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan
kembali beberapa unsur penting dari perdebatan yang
terjadi pada 1960an dan cara baru dalam menganalisis
empat paradigma sosiologi yang berbada. Empat
paradigma itu adalah: Humanis radikal; Strukturalis
radikal; Interpretatif dan Fungsionalis.
Paradigma Teori Sosial
PERUBAHAN RADIKAL

Humanis Strukturalis
RadikaL Radikal
SUBYEKTIF OBYEKTIF
Interpretatif Fungsionalis

KETERATURAN

Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi pada pendirian masing-masing, karena
memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar
Sifat dan Kegunaan Empat
Paradigma
• Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoritis yang paling mendasar yang menentukan
kerangka pikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang
menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok
penganut teori daalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengertian yang
sama pula. Jika para ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang
dunia dalam suatu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda
mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-
teoritis.
•  
• Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir sesesorang dalam suatu teori
sosial dan merupakan alat untuk memehami mengapa pandangan-pandangan san teori-teori tertentu
dapat lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan
perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat
mungkin terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada
Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal.
Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari
fungsionalis ke interpretatif.
Paradigma Fungsionalis
• Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap
permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial,
kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan sosial, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik).
Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis, dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam
menjelaskan peristiwa sosial, berorentasi pragmatis artinnya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan,
berorentasi pada pemecahan masalah yakni langkah-langkah praktis dalam pemecahan masalah praktis juga.
Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial. Menekankan pentingnya cara-cara
memelihara dan mengendalaikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian
masalah kemanusiaan.

• Paradigma ini mula di Prancis pada dasawarsa abad 19 dibentuk karena pengaruh karya Agust Comte, Herbert
Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur
empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti
dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan untuk menjelaskan realita sosial
sangat biasa dalam aliran ini.

• Sejak awal abad ke 20, mulai dipengaruhi oleh pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Simmel
dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis meninggalkan rumusan teoritis dari kaum obyektivitas dan
memulai persentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para
pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi
kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan
paradigma lain, paradigma fungsionalis tetapm saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang
realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya
telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis. Interaksi antara paradigma digamabarkan
sebagai berikut:
Paradigma Interpretatif

• Kubu ini sebenarntya menganut ajaran-ajaran keteraturan, tetapi mereka menggunakan


pendekatan subyektivitas dalam analisis sosialnya, sehingga hubungan merteka dengan
sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial
menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa
sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
•  
• Pendekatannya cendrung nominalis, anti-positivis dan idiografis. Kenyataan sosial
muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka
berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk
menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
•  
• Sesungguhnya demikian, anggapan-anggapan dasar masih tetap didasarkan pada
pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan,
kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak
menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial
kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat
hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey,
Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
• Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan
subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu
nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cendrung
menekankan perlunnya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan
sosial yang ada.

• Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau
dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan
pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya
dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan
dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya asalah memahami kesulitan
manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang
menghambat perkembangan manusia senagai manusia. Penganutnya mengecam
kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk
itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-
belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai
harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural
belum menjadi perhatian mereka.
Paradigma Strukturalis
Radikal
• Penganutnya juga memperjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut
pandang objektifitas. Pendekatan ilmiahnya memiliki beberapa persamaan dengan kaum
fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih
menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan
harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cenderung realis, positivis, determinis
dan nomotetis.

• Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-
hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka
menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru
secara menyeluruh. Penganut paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertama
lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta
hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial.
Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu
masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya
perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber.
Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara
lain Althusser, Polantzas, Colletti, san beberapa penganut kelompok kiri baru.

You might also like