You are on page 1of 7

ARTIKEL: IKHLAS

Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas berasal dari kata Khalasha yang berarti bersih atau murni. Secara istilah,
ikhlas yaitu sebuha perbuatan yang dilakukan tanpa disebuah angan –angan atau sesuatu yang
difikirkan, berarti membersihkan hati dari maksud selain mengharapkan ridho Allah Azza wa Jalla.
Ikhlas merupakan salah satu amalan hati, bahkan ikhlas berada di barisan depan dari amal-amal
hati, sebab amal tak bisa diterima sempurna kecuali dengannya, karna setiap amalan tergantung kerja
hati dan niat yang mengkaver setiap kinerja tubuh yang dioptimalkan untuk ibdah kepada Allah azza
wajallah.

‫ل هللاِ ص لى هللا علي ه‬ َ ‫س ْو‬ ُ ‫ت َر‬ُ ‫م ْع‬ِ ‫س‬ َ :‫ل‬ َ ‫هللا َع ْن ُه َق ا‬ ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫خطَّابِ َر‬ َ ‫ن ا ْل‬ ِ ‫م َر ْب‬َ ‫ص ُع‬ ٍ ‫ح ْف‬ َ ‫ي‬ ْ ِ‫ن أَب‬ ُ ‫ن أَ ِم ْي ِر ا ْل‬
َ ‫م ْؤ ِمنِ ْي‬ ْ ‫َع‬
‫ج َر ُت ُه‬ َ
ْ ‫ه ف ِه‬ َ
ُ ‫ج َر ُت ُه إِلى هللاِ َو َر‬
ِ ِ‫س ْول‬ ْ ‫ه‬ ِ ‫ت‬ َ
ْ َ ‫ن ك ان‬ ْ ‫م‬ َ
َ ‫ ف‬. ‫ئ َما نَ َوى‬ ٍ ‫ِل ا ْم ِر‬
7 ِّ ‫ما لِ ُك‬ َ َّ‫يَّاتِ َوإِن‬7‫ل بِال ِِّن‬ ُ ‫ما‬ َ ْ
َ ‫ما األ ْع‬ َ َّ‫ إِن‬: ‫ل‬ ُ ‫وسلم يَ ُق ْو‬
‫ه‬ِ ‫ج َر إِلَ ْي‬ َ ‫ا‬ ‫ه‬َ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ه‬ ‫ت‬
ِ ُ َُ ْ ِ‫ر‬ ‫ج‬ ‫ه‬ َ
‫ف‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ح‬ ‫ك‬
ِ ‫ن‬‫ي‬ ‫ة‬
ٍ َ
َ ُ َْ َ ْ ْ َ ُ ْ‫أ‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫و‬َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ب‬‫ي‬ ‫ص‬ِ ‫ي‬ ‫ا‬‫ي‬
ُ َ ُ ‫ن‬
ْ ‫د‬ ِ ‫ل‬ ‫ه‬
ُ َُ ْ‫ت‬‫ر‬ ‫ج‬ ‫ه‬
ِ ‫ت‬
ْ َ ‫ن‬ ‫ا‬ َ
‫ك‬ ‫ن‬ ‫م‬
ْ َ َ‫و‬ ، ‫ه‬
ِ ِ ‫ل‬ ْ ُ َ ‫ إِلَى هللاِ َو‬.
‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬

[‫رواه إماما المح دثين أب و عب د هللا محم د بن إس ماعيل بن إب راهيم بن المغ يرة بن بردزب ة البخ اري واب و‬
‫الحسين مسلم بن الحج اج بن مس لم القش يري النيس ابوري في ص حيحيهما الل ذين هم ا أص ح الكتب‬
‫نفة‬ ‫]المص‬

Arti Hadits :

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan
tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya
atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan.

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah
bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An
Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah
dikarang) .

Syarah/Penjelasan:

Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan
didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab
pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.

Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata :
“Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena
perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah
satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”,
sejumlah Ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.

Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara
mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi
berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk
mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.

Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat
dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin
Khaththab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin
Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya
hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi
selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan
mereka adalah para Imam.

Pertama : Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang


disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai
pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk
membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Misalnya, kalimat pada firman Allah : “Innamaa anta mundzirun” (Engkau (Muhammad) hanyalah
seorang penyampai ancaman). (QS. Ar-Ra’d : 7)

Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya
beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya.
Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal hayatud dunyaa la’ibun walahwun” “Kehidupan
dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. (QS. Muhammad : 36)

Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau
dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana
berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah
diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.

Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal
disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at
tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu
tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian
memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat
sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.

Kedua : Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khathabi
dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu
menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi
menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat
tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam

Ketiga : Kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rosul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan
jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di
kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at,
maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala
dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.

Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke
Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan
pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Wallahu a’lam

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-
kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi
jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah
keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak
terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat.
Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan,
perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa
melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan
demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter
seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas
mengisi hidupnya.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika
tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama;
cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah
seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.”
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas
dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang
berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar).
Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima.
Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan
benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.”
Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika
engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka),
maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah SWT.
Pentingnya keIkhlasan
Abu Hamid Al-Ghazali dalam Mukaddimah An-Niyyah Wal-Ikhlas Qash-Shidq berkata:
“Dengan hujah iman yang nyata dan cahaya al-Quran, orang-orang yang mempunyai hati
mengetahui bahawa kebahagiaan tidak akan tercapai kecuali dengan ilmu dan ibadah. Semua orang
pasti binasa kecuali orang-orang berilmu. Orang-orang berilmu pasti akan binasa kecuali orang aktif
beramal. Semua yang aktif beramal akan binasa kecuali yang ikhlas”
Amalan tanpa niat adalah kebodohan. Niat tanpa ikhlas adalah riyak dan sia-sia. Allah
Subhanahuwata’ala berfirman tentang amal yang dimaksudkan selain daripada-Nya akan menjadi sia-
sia:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu sebagai debu
berterbangan”
(Al-Furqan:23)
Ada pendapat mengatakan bahawa ilmu laksana benih, amal laksana tanaman dan airnya adalah
ikhlas. Kerja yang tidak disertai ikhlas, ibarat gambar yang mati dan tubuh tanpa jiwa. Allah
Subhanahuwata’ala melihat hakikat amal yang ikhlas, bukan rupa dan bentuknya semata-mata. Dia
menolak pelakunya yang tertipu dengan amalnya.
Dalam hadis sahih riwayat Abu Hurairah, daripada Nabi Sallallahu’alaihiwasallam, baginda
bersabda, maksudnya:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan rupa kamu, tetapi Dia melihat kepada hati kamu.”
(Riwayat Muslim)
Allah berfirman tentang orang-orang berkorban yang menyembelih haiwan yang bermaksud:
“Daging-daging dan darah itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keredhaan) Allah, tetapi taqwa
daripada kamulah yang dapat mencapai keredhaan-Nya”
(al-Hajj:37)
Secara ringkasnya dapat disimpulkan bahawa ikhlas sangat penting kerana ianya adalah:
Asas iman dan Islam.
Garis pemisah sama ada amalan atau kera-kerja diterima atau ditolak oleh Allah
Subhanahuwata’ala. Kerja yang diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala mempunyai dua rukun iaitu:
a. Ikhlas atau niat yang betul.
b. Cara-cara beramal yang bertepatan dengan sunnah atau syara’.
Contoh-contoh amalan atau kerja yang bercampur dan tidak ikhlas semata-mata kerana dan kepada
Allah Subhanahuwata’ala:
Menuntut ilmu dengan tujuan meningkatkan profesionalisma atau kerjaya atau dipandang mulia
oleh masyarakat.
Mengajar atau berbincang-bincang tentang ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapat
penghormatan dari kalangan ilmuan, mempertajamkan pemikiran, kepetahan berbicara atau
melepaskan diri daripada kesunyian.
Menziarahi pesakit dengan tujuan agar ia sendiri diziarahi jika ia sakit nanti.
Melakukan kebaikan dengan tujuan supaya ia dikenali sebagai orang baik, berhati mulia,
disegani dan dihormati.
 Ciri Orang Yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau
bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang
yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang.
Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan
melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat
kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik,
membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di
antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri
mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin
kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka
ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari
mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di
hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya
seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama
dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri
melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga,
mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai,
dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat
setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan
terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana
oleh tangannya.

Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu
mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro
dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat
Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
Menjaga Amalan Agar Tetap Ikhlas
Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu
dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh
karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita
agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal
tersebut adalah

1. Banyak Berdoa
Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa
kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering
beliau panjatkan adalah doa:

“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku
mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.”
(Hadits Shahih riwayat Ahmad)
Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang
yang paling jauh dari kesyirikan,
2. Menyembunyikan Amal Kebaikan
Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan
amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama
untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang
dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang
mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits,
“Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya
yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya
senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah
karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki
kedudukan, namun ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan
menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan
oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air
matanya.” (HR Bukhari Muslim).
3. Memandang Rendah Amal Kebaikan
Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal
perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia
merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam
perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang
terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal
tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’id bin Jubair berkata, “Ada
orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal
kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang
melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat
tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu,
sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya
tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke
dalam neraka.”
4. Takut Akan Tidak Diterimanya Amal
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena
mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun:
60)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang
memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka
tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).
Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang
merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah
menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia
karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR.
Muslim)
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak
disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain sebagai
sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin
yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia
beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian
tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun
menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada
Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang
dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya
itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah
mencela kita ataukah dicela manusia namun Allah memuji kita ?
5. Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai
tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan
sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan
telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka, maka
ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak satu pun dari mereka yang
dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku,
seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakangmu,
maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam surga meskipun hanya satu
langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya
untuk mereka?
Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatannya telah bersih dari riya‘ baik yang
jelas maupun tersamar. Sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah
SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal
kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya, sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.
Dengan kata lain, amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena
Allah. Sedangkan amalan seorang hamba yang muqarrabin dinamakan amalan billah, yaitu beramal
dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukun dzahir, sedang
amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu.

You might also like