You are on page 1of 4

DELIK

Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yaitu delictum. Dalam bahasa Jerman
disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda
disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan
sebagai berikut, yaitu :

“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran


terhadap undang-undang; tindak pidana.”

Menurut Prof. Mr. van der Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang
dapat dihukum bukan perbuatannya melainkan manusianya.

Prof. Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata “delik”.


Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit cakupannya daripada “perbuatan”. Kata
“tindak” tidak menunjukan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya
menyatakan keadaan yang konkret.

Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah


peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Adapun Mr. Tirtaamidjaja mengunakan
istilah “pelanggaran pidana” untuk kata “delik”.

Para pakar hukum pidana menyetujui istilah strafbaar feit dan member definisi
sebagai berikut :

1. Vos, mengatakan bahwa delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum
berdasarkan undang-undang.
2. Van Hamel, mengatakan bahwa delik adalah suatu serangan atau ancaman
terhadap hak-hak orang lain.
3. Prof. Simons, mengatakan bahwa delik adalah suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan dan
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum.
Unsur-unsur Delik

1. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum
pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does
not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit
rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh
kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada
umumnya “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yaitu :

1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)


2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)
3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis)

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan.


Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu :

1) Tak berhati-hati
2) Dapat menduga akibat perbuatan itu

2. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :

a. Perbuatan manusia, berupa :


1) Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif
2) Omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan

b. Akibat (result) perbuatan manusia


Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum


Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alas an-alasan yang membebaskan si
pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila
perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yaitu berkenaan dengan
larangan atau perintah.

Semua unsur delik tersebut merupaan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak
terbukti, bisa menyebabkan terdakwa terbebas dari hukuman atau dibebaskan
pengadilan.

Pendapat para ahli atas Unsur-unsur Delik

Menurut Prof. Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur objektif dan
unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat diluar diri maanusia, yaitu
berupa :

1. Suatu tindakan
2. Suatu akibat, dan
3. Keadaan ( omstandigheid)

Kesemuanya itu dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :

1. Kemampuan dapat dipertanggung jawabkan (toerekeningsvatbaarheid)


2. Kesalahan (schuld)

Menurut Lamintang, unsur delik terdiri atas dua macam, yaitu unsur objektif dan
unsur subjektif. Selanjutnya Lamintang mengatakan sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsure yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud unsur
objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu
dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.”
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam


kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang


terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut :

1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri


dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus
suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3. Kualitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan


suatu kenyataan sebagai akibat.

Mencermati pendapat para ahli diatas tentang unsur-unsur delik, maka


pendapat Prof. Satochid Kartanegara yang memasukan toerekeningsvatbaarheid
sebagai unsur subjektif kurang tepat. Hal ini karena tidak semua
ontoerekeningsvatbaarheid bersumber dari diri si pelaku, namun antara lain dapat
bersumber dari overmacht atau ambtelijk bevel (pelaksanaan perintah jabatan).

Pendapat Lamintgang yang menjelaskan bahwa unsur subjektif adalah unsur


yang melekat pada diri pribadi si pelaku adalah tepat, tetapi apa yang tersebut
pada butir 2, 3, dan 4 unsur subjektif, pada hakekatnya termasuk unsur
“kesengajaan” pula.

You might also like