Professional Documents
Culture Documents
Ridwan (L2C008094)
Risa Devina Manao (L2C008095)
Rizki Ahdia (L2C008096)
Rizki Tri Wahyudi (L2C008097)
Rizki Maulana (L2C008098)
Roikhatus Solikhah (L2C008099)
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar
belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup
sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-
nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu,
dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di
atas kepentingan daerah dan golongan.
^ Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang
kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa
kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai
budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia
dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa
Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas
nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu
nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia
tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya.
Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina
dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang
memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering
diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
^ sebagai bahasa negara dan bahasa resmi.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala
upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen,
undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan
instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan
diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi
internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan
diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan
yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa
Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina
dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang
menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai
baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi
ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa
Indonesia
Kelemahan
^ Gengsi Menggunakan Bahasa Indonesia
Jika hiruk-pikuk masa lalu dalam banyak hal selalu melibatkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa yang penuh dengan kebanggaan, saat ini
tampaknya yang berlaku sebaliknya. Banyak pihak yang telah merusak
bahasa Indonesia dengan mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia
dengan bahasa asing secara sembrono dan berlebihan. Kenapa saya bilang
sembrono dan berlebihan? Lha bagaimana tidak jika kata atau kalimat yang
digunakan mempunyai padanannya di dalam bahasa Indonesia. Saya bukan
anti bahasa asing tetapi alangkah lebih baiknya jika kemudian orang
menggunakan bahasa Indonesia ya bahasa Indonesia saja atau jika bahasa
Inggris ya bahasa Inggris saja.
Dalam beberapa pertemuan diskusi besar atau kecil, seminar atau ruang-
ruang akademis lain bahkan sangat sering penggunaan bahasa asing itu
masuk begitu saja tanpa jelas apakah itu sudah diserap ke dalam bahasa
Indonesia atau belum, dan sebagainya. Kata-kata full of knowledge,
powerless, problem solving, dan banyak lagi. Apa yang menjadi masalah
sehingga banyak pihak tampaknya lebih akrab dan senang menggunakan
kalimat asing semacam itu yang jelas ada padanannya di dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia? Bukankah semua kata (atau kalimat)
tersebut dengan mudah akan kita dapatkan padanannya di dalam laci-laci
bahasa kita. Taruhlah full of knowledge akan dapat tergantikan dengan penuh
dengan pengetahuan/ilmu; powerless dengan ketidakberdayaan; problem
solving dengan pemecahan masalah, dan sebagainya.
Saya memang belum pernah bertanya atau membuat penelitian secara
lebih serius kenapa orang lebih memilih menggunakan bahasa asing
dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia sehingga jejel riyel tidak jelas
semacam itu. Namun ada beberapa kemungkinan kenapa hal tersebut bisa
berlaku. Pertama, persoalan gengsi. Orang akan merasa lebih terpandang
sebagai orang ‘pintar’ jika mampu menggunakan bahasa asing walaupun
sedikit sekali pun. Dan tampaknya akan lebih gagah. Kedua, kemalasan
mencari padanan bahasa asing dengan bahasa Indonesia. Ketiga, penyakit
nginggris atau kebarat-baratan. Untuk yang ini bahkan tidak hanya dalam
bahasa saja tetapi juga sudah sampai dalam taraf sistem sosial hidup tiap
orang.
^ Penggunaan Bahasa Inggris membudaya dalam kehidupan
sehari-hari
Akibat globalisasi zaman, dan budaya konsumtif yang tinggi dikalangan
masyarakat Indonesia, ditambah ledakan informasi, secara sadar atau tidak
sadar, mau atau tak mau, bahasa Inggris menerobos masuk ke dalam sistem-
sistem sosial di kalangan masyarakat. Misalnya, dalam bidang pendidikan,
banyak sekolah-sekolah, terutama dalam mata pelajaran eksakta: Kimia,
Fisika, Matematika dan biologi, bukunya menggunakan bahasa Inggris.
Begitu juga dalam dunia teknologi, kosa kata asing tak kuasa untuk
dibendung. Celakanya kemudian bahasa itu diterima apa adanya, karena
secara level sosial akan dinggap sebagai orang modern. Sekarang mari kita
bayangkan jika kita masuk ke hotel di Indonesia, semuanya akan serba
Inggris. Mulai dari welcome drink, double/single bed, may I help you, dan
banyak lagi yang itu pun kadang digunakan dengan sangat tertatih-tatih oleh
pengelola hotelnya
^Eksistensi bahasa Indonesia masih lemah.
Bahasa ini dianggap sama dengan bahasa Melayu. Misal, ketika orang
Eropa berkata kepada orang Indonesia, "I can speak your 'bahasa'", di otak
mereka yang terpikir bukanlah bahasa khas Indonesia, melainkan bahasa
Melayu yang dituturkan di Malaysia juga. Orang Malaysia pun melabeli bahasa
Melayu sebagai simbol supranasional, dan label ini menjepit bahasa Indonesia.
Sementara anggapan orang asing seperti itu, orang Indonesia sendiri
belum mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dituturkan sehari-
hari. Bahasa persatuan ini tidak merdeka untuk mewadahi bahasa keseharian
mereka. Bahasa Betawi, Bali, Jawa, Papua, dan sebagainya masih dikelola di
luar wadah bahasa Indonesia. Dengan tata kelola bahasa seperti itu, orang
Indonesia sudah berhasil dibuat sangat primordial
^ Pengembangan proyek Melindo yang mencelakakan bahasa
Indonesia
Terjepitnya bahasa Indonesia oleh bahasa Melayu boleh dikatakan
sebagai kecelakaan kerja. Kerja sama penyatuan bahasa Melayu dan bahasa
Indonesia (Melindo) yang dirintis oleh Slamet Mulyana pada tahun 1950-an
dan hingga sekarang masih dilakukan dengan berbagai menifestasi sangat
kontraproduktif. Bahkan, kerja sama ini cenderung mencelakakan bahasa
Indonesia. Seperti dikatakan Lukman Ali (2000), proyek Melindo bermotif
nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme).
Pengembangan proyek Melindo membuktikan kelemahan dan (sekaligus)
keteledoran politisi kebudayaan Indonesia, khususnya pembuat kebijakan
bahasa Indonesia. Akan sia-sia ada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan
Proklamasi 17 Agustus 1945 jika bahasa Indonesia tidak merdeka, tetapi
menyatu dengan bahasa negara/bangsa lain. Dengan bahasa Indonesia,
mestinya, bangsa Indonesia sudah bisa dibedakan.
Peluang
^ Adanya Program Paspor Bahasa
Untuk melaksanakan agenda internasionalisasi bahasa Indonesia, isu
paspor bahasa sudah digulirkan Pusat Bahasa (Kementerian Pendidikan
Nasional) bersamaan dengan rencana pembentukan Komunitas Sosial Budaya
ASEAN 2015. Pusat Bahasa menggulirkan wacana bahasa ini pada tanggal
20--22 Juli 2010 ketika menggelar seminar yang mengangkat tema "sertifikasi
pendidikan dan pekerjaan dengan bahasa sendiri: peluang dan tantangan
bahasa Indonesia pada era pasar bebas". Tampaknya, publik sudah
menyambut baik isu ini.
Pada tahun depan, 2011, Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN akan digelar di
Indonesia. Pada acara ini, sebaiknya, rencana kebijakan paspor bahasa
tersebut digaungkan untuk menempatkan bahasa Indonesia dalam peta
global, setidaknya di kawasan ASEAN. Bagi Indonesia, pemberlakuan paspor
bahasa merupakan upaya strategis untuk mendorong pengakuan
internasional atas bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sudah mandiri;
sudah bebas dari bayang-bayang bahasa Melayu.
^ Rencana Internasionalisasi bahasa indonesia
Rencana internasionalisasi bahasa Indonesia ini tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Agenda besar itu akan berhasil jika bahasa
Indonesia sudah merdeka: terbebas dari segala belenggu.
Sudah tepat ada program internasionalisasi bahasa Indonesia dengan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 untuk mengupayakan kampanye
kemerdekaan bahasa ini di luar negeri. Sementara itu, di dalam negeri juga
perlu diupayakan kemerdekaan bahasa Indonesia dengan mengendurkan
semangat primordialisme yang sudah merajalela di Indonesia.
Ancaman
^ Menurunnya eksistansi bahasa nasional akibat globalisasi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kebutuhan akan bahasa internasional
menjadi kebutuhan yang wajib bagi masyarakat global termasuk masyarakat Indonesia yang
meliputi berbagai daerah seperti misalnya di wilayah eks-Karesidenan Banyumas (Cilacap,
Purwokerto, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan sekitarnya). Di kabupaten Cilacap
misalnya, sebagai kota industri yang termasuk tinggi angka Penanaman Modal Asingnya,
tentu menjadi hal yang sangat perlu bagi masyarakatnya untuk mampu berbahasa asing
karena harus berinteraksi dengan patron-patronnya yang berasal dari mancanegara. Jadi
yang dibutuhkan masyarakat ketika berinteraksi di dunia kerja adalah bahasa internasional.
Ketika melihat fenomena semacam itu, ada kecenderungan atau semacam kekhawatiran oleh
mereka yang sadar akan dampak globalisasi budaya semacam ini yang bisa meminggirkan
bahasa asli masyarakat. Jadi, tantangan yang kini dihadapi oleh bahasa-bahasa daerah di
Indonesia, termasuk bahasa Banyumasan, adalah mengenai eksistensinya.
Seiring makin cepatnya arus informasi dari luar yang masuk dan kemudian terdistribusi di
masyarakat melalui bahasa internasional, maka bahasa Ngapak Banyumasan menghadapi
tantangan akan ditinggalkan oleh masyarakat penuturnya yang mulai ‘gape’ berbahasa asing,
atau minimal berbahasa Indonesia (baik itu bahasa Indonesia yang sesuai EYD ataupun
bahasa gaul khas anak muda). Entah kekhawatiran semacam itu akan terbukti atau tidak,
namun yang jelas gejala yang terlihat belakangan ini menunjukkan bahwa yang demikian itu
sangat mungkin terjadi. Untuk itu, kita yang sadar akan kemungkinan ditinggalkannya bahasa
Ngapak Banyumasan oleh penuturnya sendiri dan tergantikan bahasa internasional yang
‘dianggap’ jauh lebih maju, lebih modern, lebih berkelas dan sebagainya, harus mulai ‘nguri-
uri’ atau menjaga eksistensi bahasa Ngapak Banyumasan yang lokal di antara bahasa-
bahasa global. Memang, mempelajari dan mampu berbicara dalam berbagai bahasa asing
bukanlah sesuatu yang buruk, bahkan ada semacam pernyataan bahwa menguasai berbagai
bahasa berarti menguasai dunia. Pernyataan tersebut wajar saja berhubung dengan
kemampuan multi-bahasa tersebut tentu informasi dan pengetahuan yang masuk ke otak kita
juga akan semakin beragam yang merupakan bekal hidup yang penting di era globalisasi
^ anggapan bahasa Indonesia sama dengan bahasa Melayu.
Sekarang beredar cerita di kalangan guru BIPA. Ini bukan cerita fiksi.
Peserta BIPA dari banyak negara sekarang digiring pergi ke Malaysia. Orang
Australia, misalnya, banyak yang membelanjakan uangnya untuk belajar
bahasa Indonesia di Malaysia. Malaysia juga memberikan penghargaan
kepada para pemenang lomba pidato bahasa Indonesia di luar negeri.
Penghargaan ini diberikan sebagai paket pariwisata budaya Malaysia.
Janganlah heran kalau bahasa Indonesia masuk dalam budaya Malaysia.
Sangat celaka ketika pembakuan bahasa Indonesia mengekor bahasa
Melayu. Penyatuan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu tersebut hanya
menghamburkan duit rakyat Indonesia. Tentu, triliunan rupiah sudah
dikeluarkan Indonesia sejak ada proyek Melindo. Sudah begitu banyak biaya
yang keluar, tetapi muspra karena tidak bermanfaat menguatkan eksistensi
bahasa Indonesia di mata internasional