You are on page 1of 19

• Home


• Akademik

• Prestasi

• Organisasi

• About

mm08's blog
mencari dan memberi yang terbaik
Search
Search
Categories

• Academic (4)

Archives

• June 2010

Links:

• Agripedia IPB
• Blog Mahasiswa IPB
• Blog Staff IPB
• Bogor Agricultural University
• Career Development and Alumni Affairs
• IIRC
• Kemahasiswaan IPB
• Perpustakaan IPB
• Webmail Mahasiswa IPB

Kajian Teori Malthus Terhadap Populasi dan Pangan


(Studi Kelembagaan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan
June 20th, 2010 | Author: mm08

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk untuk mengetahui kondisi penduduk di Banjarmasin serta
pengaruh yang ditimbulkan oleh ledakan penduduk di kota tersebut.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengalami cukup banyak kendala. Namun hal itu tidak
menghalangi penulis dalam menyelesaikan makalah ini karena berkat bantuan dari berbagai
pihak, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tim pengajar mata kuliah pengantar ekonomi kelembagaan yang telah memberikan kami
bimbingan dalam menyusun tulisan ini.
2. Teman-teman di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas
motivasinya sehingga kita terus bersemangat dalam menyelesaikan tulisan ini.
3. Dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sadar makalah ini masih jauh dari sempurna dan memilki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
perbaikan makalah ini di masa depan.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca terutama dalam
hal memahami lebih jauh tentang perkembangan penduduk di Banjarmasin serta pemecahan
masalahnya. Amin

Bogor, 20 Mei 2010

Penulis

Banyak ahli ekonomi yang telah mengemukakan pendapat mereka mengenai masalah
kesejahteraan masyarakat dan menjadi perdebatan diantara mereka sendiri. Beberapa di antara
mereka ada yang mendukung teori korelasi antara penduduk dan pembangunan, namun ada juga
diantara mereka yang mengasumsikan ini adalah sebuah pembalikan fakta terhadap kegagalan
ekonomi yang ada.

Walaupun begitu,pada kenyataannya dukungan atau tidak didukungnya atas asumsi-asumsi teori
tersebut justru memberikan sinergi bagi perkembangan teori korelasional pembangunan-
kependudukan itu sendiri. Bagian paling klasik dari teori itu dikenal Malthus

Dalam teori tersebut, Malthus menganggap bahwa jumlah penduduk senantiasa bertambah
banyak sementara pertumbuhan produksi tidaklah banyak sehingga salah satu solusi terbaik
adalah adanya pengendalian jumlah penduduk. Malthus sangat khawatir terhadap dampak dari
pertambahan penduduk terhadap ekonomi walaupun sebetulnya bisa menjadi asumsi bahwa
pertambahan penduduk akan memicu proses industrialisasi.
Namun hal ini tidaklah relevan bila penerapan teori ini diterapkan di negara-negara terbelakang
karena berbeda sekali kondisinya dengan negara-negara maju. Kurangnya modal sementara
jumlah penduduk melimpah menjadi kesulitan tersendiri dalam mengatur perekonomian yang
ada. Karena itu pertumbuhan penduduk benar-benar dianggap sebagai hambatan pembangunan
ekonomi. Kondisi yang demikian ini terjadi juga di negara Indonesia.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, perumusan masalah yang akan kami
bahas dalam makalah ini adalah :

1. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari peledakan penduduk di Banjarmasin?


2. Bagaimana hubungan antara teori Malthus dengan kondisi yang terjadi di Banjarmasin?
3. Bagaimana proses dan cara mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di
Banjarmasin?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari peledakan penduduk yang terjadi di
Banjarmasin.
2. Untuk mengetahui hubungan teori Malthus dengan kondisi yang terjadi di Banjarmasin.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di
Banjarmasin.

1.4. Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk berbagai bidang yaitu:

1. Manfaat ilmiah

Sebagai media peneletian untuk mengetahui struktur penduduk dan pengaruh peledakan
penduduk bagi kehidupan masyarakat.

1. Manfaat sosial

Sebagai sarana dalam menunjang kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pembangunan


bangsa dengan menata kependudukan secara baik dan benar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Ilmu Kependudukan

Ilmu kependudukan menerangkan sebab-sebab perubahan dari faktor dasar distribusi dan
karakteristik penduduk serta menganalisis berbagai konsekuensi yang dapat terjadi di masa
depan sebagai hasil perubahan-perubahan itu. Istilah ilmu kependudukan memberikan pengertian
yang lebih luas dari demografi.

2.2 Robert Thomas Malthus

2.2.1. Perkembangan Teori malhtus

Tahun 1798, pendeta Inggris yang bernama Thomas Robert Malthus menerbitkan sebuah buku
yang berjudul An Essay on the Principle of Population as It Affects the Future Improvement of
Society. Pokok tesis Malthus ini adalah pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk cenderung
melampui pertumbuhan Malthus menekankan bahwa penduduk cenderung bertumbuh secara tak
terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan. Dari kedua bentuk uraian tesis itu, Malthus
berkesimpulan bahwa kuantitas manusia akan berhubungan dengan masalah kemiskinan dan
kelaparan. Dalam jangka panjang, tidak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan
keadaan itu karena kenaikan suplai makanan terbatas, sedangkan pertumbuhan penduduk tidak
terbatas.

Malthus yakin bahwa manusia akan tetap hidup miskin/melarat selama terjadi ketidak-
seimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung lingkungan, khususnya ketidak-seimbangan
jumlah penduduk dengan persediaan bahan makanan. Jumlah penduduk yang terus bertambah
mencerminkan pula makin padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi
sumberdaya alam dan mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai. Dengan kata lain
jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat mengganggu daya dukung dan
daya tampung lingkungan.

Jumlah penduduk harus seimbang dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban
lingkungan atau mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan
menampakkan bencana alam berupa banjir, kekeringan, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit
dan kematian.

Karena itu menurutnya, ada bentuk pengekangan penduduk yang terdiri atas pengekangan segera
dan hakiki. Pengekangan ini dibagi menjadi dua, preventif seperti penundaan nafsu seksual dan
juga pengekangan positif yang mempengaruhi angka kematiaan seperti penyakit dan kemiskinan.
Sedangkan pengekangan adalah yang berhubungan dengan masalah pangan.

2.2.2. Kritik Teori Malthus

Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari teori malthus, Maltus menekankan terbatasnya
persediaan tanah, tetapi ternyata dia tidak menyangka akan ada keuntungan besar dari kemajuan
transportasi yang dikombinasikan dengan pembukaan tanah pertanian baru di Amerika Serikat,
Australia, dan di tempat-tempat lainnya. Selain itu hewan dan tanaman juga dapat meningkat
menurut deret ukur. Teknologi dapat meningkat pesat seperti peningkatan metode-metode
pertanian. Malthus juga tidak mempertimbangkan kontrol fertilitas setelah perkawinan. Fertilitas
dapat menurun apabila terjadi perkembangan ekonomi dan naiknya standar hidup.

2.3 Kelembagaan

Kelembagaan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota
masyarakat sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi dengan tujuan adanyua keteraturan
dalam interaksi sesama anggota.

Kelembagaan adalah aturan main (rule of the game) yang berlaku dalam sebuah
masyarakat/komunitas/organisasi yang disepakati oleh anggota
masyarakatt/komunitas/organisasi tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan di patuhi
(memiliki kekuatan sanksi) dengan tuuan terciptanya keteraturan dan kepastikan interaksi dintara
sesama anggota masyarakat/komuitas/organisasi;terkait dengan kegiatan ekonomi, politik, sosial,
budaya, dan lain-lain.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus

Kota Banjarmasin adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan
Selatan, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 72 km² atau 0,019% dari luas wilayah
Kalimantan Selatan. Jumlah penduduk di kota ini adalah sebanyak 527.250 jiwa (2000) dengan
kepadatan penduduk 7.325/km².

Pemindahan ibukota Propinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjabaru, merupakan


salah satu program kerja Gubernur Rudy Ariffin dan wakilnya Rosehan. Program ini merupakan
sebuah rencana dan langkah besar, sehingga diperlukan perhitungan yang cermat, analisis
berbagai dampak sosial, ekonomi, lingkungan, politik bahkan efek yang akan ditimbulkannya
terhadap kepemimpinan daerah. Ketika isu pemindahan ibukota propinsi ini mulai mencuat ke
permukaan, berbagai tanggapan mulai dilontarkan, baik dari masyarakat umum maupun pihak
lain melalui media massa.

Berbagai pemikiran yang pro dan kontra pun bermunculan dalam menanggapi program ini.
Pemikiran-pemikiran tersebut sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan bagi pimpinan. Diperlukan, karena mereka yang pro akan mengurai argumentasi dari
sisi positif. Sementara yang kontra akan menjelaskan dengan berbagai argumentasi yang bersifat
negatif atau efek yang kurang menguntungkan. Semakin banyak argumentasi positif maupun
negatif maka semakin kaya perbendaharaan pimpinan untuk bahan pertimbangan dalam proses
pengambilan keputusan. Dengan kata lain, semakin meningkatkan akurasi perhitungan yang
diperlukan untuk pemindahan ibukota ini.
Pusat perkotaan umumnya memiliki karakteristik, ditunjukkan dengan tingginya tingkat
kepadatan penduduk yang bermukim. Bahkan tingkat kepadatan penduduk di perkotaan,
cenderung melampaui ambang batas toleransi atau overload. Begitu juga yang terjadi di pusat
Kota Banjarmasin sebagai ibukota propinsi dengan luas wilayah terkecil dari kabupaten/kota di
Kalsel yakni hanya 72,67 kilometer persegi.

Di lain pihak, jumlah penduduknya tertinggi yang menempatkan Banjarmasin menjadi wilayah
terpadat hingga mencapai 7.325 jiwa per kilometer persegi . Sementara rata-rata tingkat
kepadatan di kabupaten/kota lainnya hanya antara 77,26 – 112,29 jiwa per kilometer persegi.
Hampir 66 kali lipat tingkat kepadatan di Banjarmasin, dibandingkan rata-rata kepadatan
penduduk kabupaten/kota lain di Kalsel. Ini angka perbandingan yang cukup fantastis.
Keterbatasan ruang (space) ini mempunyai implikasi ke berbagai aspek kehidupan dan
pembangunan yang dilakukan.

3.2 Dampak Ledakan Penduduk di Banjarmasin

Sebagai makhluk hidup, manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi tersebut
akan terganggu apabila daya dukung lingkungan yang tersedia bagi manusia sudah mencapai
ambang batas. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi, seperti yang
terjadi di Kota Banjarmasin. Ketidakseimbangan ekologi terjadi akibat jumlah penduduk
melebihi kapasitas yang tersedia, sehingga menyebabkan dampak-dampak yang akan dibahas
dalam penjelasan berikut ini.

3.2.1. Dampak Lingkungan

Penggunaan tanah di Kota Banjarmasin lebih didominasi untuk permukiman penduduk


(settlement) yaitu seluas 3.434 hektare, sedangkan tanah yang digunakan untuk sawah (rice field)
hanya seluas 1.368 hektare (BPS, 2002). Hal ini menunjukkan kondisi terbalik, di mana
penggunaan tanah yang digunakan untuk persawahan di kabupaten/kota lainnya lebih besar
daripada untuk permukiman. Dengan kata lain, tanah di Kota Banjarmasin lebih banyak
digunakan untuk kawasan permukiman daripada untuk lahan produksi yang dapat digunakan
untuk memproduksi makanan pokok masyarakat. Hal ini telah membuat Banjarmasin manempati
urutan terendah dalam hasil produksi padi, yaitu hanya 5.915 ton per tahun. Berbanding terbalik
dengan jumlah penduduknya yang menduduki rangking tertinggi dan terpadat.

Kondisi yang demikian ini semakin diperparah oleh status Banjaramasin sebagai pusat kota,
sehingga banyak migran yang berduyun-duyun mendatangi Kota Banjarmasin. Para migran telah
menciptakan kawasan yang kumuh untuk dijadikan sebagai lahan permukiman Kawasan
permukiman yang kumuh dan berdesakan, dapat menjadi ancaman kesehatan yang cukup serius.
Hal ini disebabkan oleh kurang layaknya lingkungan dan sanitasi yang tercipta sehingga menjadi
tempat berkembangbiaknya penyakit yang menular. Efek lain yang jarang diperhitungkan yaitu
meningkatnya biaya pembangunan kesehatan yang harus dikeluarkan pemerintah dalam rangka
penanggulangannya.

Dampak lingkungan lain yang terjadi akibat masalah ledakan penduduk tersebut adalah polusi.
Tingkat polusi bergerak naik seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di suatu
area permukiman. Polusi ditimbulkan dari asap hasil pembuangan kendaraan bermotor yang
jumlahnya saat ini semakin meningkat tajam di Kota Banjarmasin. Hal ini terlihat dari semakin
tingginya frekwensi kemacetan yang terjadi di jalan-jalan utama yang membuat Kota
Banjarmasin tidak lancar lagi untuk dilalui.

Penanganan sampah yang tidak pernah dapat terselaesaikan juga merupakan sumber polusi yang
membahayakan kesehatan masyarakat. Tingkat polusi di Kota Banjarmasin ini akan terus
meningkat di masa yang akan datang. Apa pun bentuknya, polusi memiliki efek yang sangat
besar bagi kehidupan manusia. dapat menimbulkan penyakit sistem pernapasan. Dalam jangka
panjang kondisi lingkungan seperti ini akan berpengaruh secara signifikan baik kepada
kesehatan, maupun sikap dan perilaku masyarakat.

3.2.2. Dampak Sosial

Keterbatasan ruang, saling dempet, himpit, rebut, kesemerawutan adalah sebagai akibat
kelebihan beban (overload), kelebihan beban berbanding searah dengan tekanan (pressure) yang
akan ditimbulkannya. Semakin besar kelebihan beban, maka semakin tinggi tingkat tekanan.
Tekanan berhubungan langsung dengan ketahanan (defense). Keseimbangan antara tekanan dan
ketahanan dapat menimbulkan kekuatan (survival). Ini baik, sifatnya akselarasi dalam
pembangunan. Namun jika tekanan melampaui batas ambang toleransi, dapat menimbulkan
frustasi yang diwujudkan dalam bentuk berbagai macam kerawanan sosial. Seperti mudahnya
terjadi konflik, meningkatnya angka kriminalitas, tindakan anarkis. Semua itu dikarenakan
terbatasnya ketersediaan berbagai sumberdaya (resources availability) yang berbanding terbalik
dengan jumlah pengguna dan pemakai, menimbulkan berbagai cara kompetisi untuk
mendapatkannya.

Berbagai cara ditempuh hanya untuk bertahan hidup. Menjamurnya Pedagang Kaki Lima hampir
di setiap sudut kota, menggelar dagangan tanpa mengindahkan perda. Bahkan lebih banyak
penjual, daripada pembeli. Kondisi ini membuat kewalahan petugas penertiban. Betapa sulit
menegakkan hukum dan peraturan, ketika bertabrakan dengan kelangsungan hidup orang banyak
yang sama-sama ingin hidup. Akibatnya rawan konflik, lebih fatal lagi dapat melukai hati rakyat.

Kerawanan sosial lainnya adalah sebagai akibat terjadinya ketidakseimbangan antara


keterbatasan dan kemampuan kompetensi, akhirnya menimbulkan frustasi dan distorsi pada
norma kehidupan di masyarakat. Hal ini ditandai dengan tingginya angka pengguna narkoba di
Kalsel, sehingga menempatkan daerah ini pada rangking empat terparah secara nasional.
Kerawanan sosial ini bersifat menghambat lajunya pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Permasalahan yang ditimbulkan dari kerawanan sosial ini, akan menyita waktu dan pikiran
pemimpin daerah yang seyogyanya lebih diarahkan atau difokuskan pada sektor pembangunan
yang bersifat nilai tambah untuk kemajuan daerah. Tidakkah semua itu menjadi penghambat dan
proses perlambatan (retardation) tumbuh kembangnya pembangunan di Banjarmasin

3.3 Hubungan Teori Malthus Dengan Kondisi Banjarmasin

Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan
pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung. Pada kasus di Banjarmasin dimana
terdapat permasalahan meledaknya jumlah penduduk di kota yang tidak diimbangi dengan
ketersediaannya lahan sehingga ketersediaan pangan pun berkurang. Hal ini merupakan
perimbangan yang kurang menguntungkan, jika kita kembali kepada Teori Malthus.

Teori Malthus menghendaki, produksi pangan harus lebih besar dibandingkan jumlah dan
pertumbuhan penduduk. Sehingga berdasarkan teori ini diperkirakan suatu saat Banjarmasin
tidak memiliki lahan pertanian lagi. Sebab, perkembangan yang pesat terjadi pada pembukaan
dan penggunaan lahan untuk kawasan permukiman penduduk. Apalagi Banjarmasin merupakan
pusat kota, sehingga menjadi daerah yang terbuka luas untuk terjadinya migrasi karena kota
merupakan tempat yang dianggap masyarakat kabupaten memiliki peluang kerja yang baik.
Namun ketersediaan lahan yang semakin terbatas telah menimbulkan biaya tinggi bagi penduduk
untuk mendapatkannya. Hal ini berdampak kepada biaya investasi yang tinggi untuk membangun
kawasan produktif yang strategis.

Apabila ditelaah lebih dalam maka teori Malthus tidak sepenuhnya berlaku di Kota Banjarmasin.
Hal ini dapat kita telaah dari beberapa kritikan terhadap teori malthus dari beberapa ahli.
Beberapa kekeliruan teori malthus terhadap kasus di Banjarmasin :

1. Keterbatasan lahan di Banjarmasin yang menyebabkan ketidakmampuan Kota


Banjarmasin memproduksi persediaan pangan bagi penduduknya dapat diatasi dengan
mendatangkan persediaan pangan dari luar Banjarmasin. Hal ini didukung oleh
meningkatkan kemajuan dibidang transportasi dan pembukaan lahan baru di luar daerah
perkotaan.
2. Kemajuan teknologi dibidang pertanian mampu meningkatkan produksi pangan
walaupun terbatasnya lahan pertanian di Banjarmasin.
3. Kemajuan di bidang kesehatan dapat dilihat dengan adanya program program keluaraga
berencana yang dapat mengontrol tingkat fertilitas.
4. Semakin berkembangnya perekonomian di Banjarmasin akan menurunkan tingkat
fertilitas karena semakin berkembangnya suatu daerah maka kemampuan reproduksi akan
menurun.

3.4 Penyelesaian Masalah Pada Kasus Banjarmasin

Ledakan penduduk merupakan masalah yang harus segera ditangani dengan serius oleh pihak-
pihak yang terkait karena apabila permasalahan ini terus berlanjut akan mengakibatkan dampak-
dampak yang telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, seperti dampak lingkungan dan
damapak sosial.

Adapun solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan ledakan penduduk di Banjarmasin,


yaitu :

1. Melakukan transmigrasi penduduk ke daerah kabupaten di sekitar Banjarmasin. Hal ini


dilakukan karena di Banjarmasin memiliki penduduk yang padat, namun sebaliknya
untuk daerah kabupaten dan sekitar Banjarmasin penduduknya masih jarang sehingga
diperlukan pemerataan penduduk agar tidak terjadi ketimpangan.
2. Mengoptimalkan lahan dengan menggunakan teknologi. Hal ini disebabkan padatnya
penduduk Banjarmasin mengakibatkan banyaknya lahan yang dipergunakan untuk
pemukiman, sehingga lahan yang tadinya merupakan tempat penduduk menanam
tanaman pangan beralih fungsi sebagai lahan pemukiman. Peralihan fungsi ini membuat
penurunan terhadap produksi pangan penduduk, sehingga penduduk mengalami
kekurangan angan. Oleh karena itu, diperlukan penggunaan teknologi agar dapat
meningkatkan produksi pangan walupun dengan lahan yang sempit.
3. Pemerataan pembangunan.

Hal ini dilihat dari kota Banjarmasin sebagai ibu kota provinsi merupakan titik sentral
pembangunan dan kegiatan ekonomi. Seharusnya, pembangunan tidak hanya terpusat di Kota
Banjarmasin, tetapi juga dilakukan di daerah kabupaten-kabupaten. Jika pembangunan dilakukan
secara merata di kabupaten-kabupaten tersebut, maka akan sangat kecil kemungkinan penduduk
yang tinggal di kabupaten pindah ke kota banjarmasin.

Jika dihubungkan dengan ekonomi kelembagaan, maka solusi yang dapat diambil dari kasus
banjarmasin tersebut adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan dalam masyarakat
Banjarmasin baik pada level sosial, level kelembagaan formal, level tata kelola dan perubahan
yang bersifat kontinyu. Berikut akan diuraikan perubahan yang perlu dilakukan dalam setiap
levelnya:

1. Level Sosial.

Pada level ini terjadi pada kelembagaan yang keberadaanya telah menyatu dalam masyarakat
sehingga butuh waktu lama dalam proses perubahannya. Perubahan yang perlu dilakukan adalah
merubah kebiasaan masyarakat dalam memandang kota sebagai pusat ekonomi. Hal ini
dilakukan dengan memberikan masyarakat desa kemandirian memenuhi kebutuhannya, sehingga
ketergantungan masyarakat desa terhadap masyarakat kota dapat dirubah menjadi kerjasama
yang saling menguntungkan secara adil baik bagi masyarakat kota dan masyarakat desa. Setelah
tercipta kerjasama yang saling menguntungkan ini otomatis masyarakat desa akan tetap tinggal
didesanya karena keuntungan ekonomi di desa maupun kota tidaklah berbeda.

1. Level Kelembagaan Formal.

Pada level ini biasanya berupa kebijakan baik berupa peraturan maupun undang-undang yang
dibuat oleh lembaga legislatif atau pemerintah. Perubahan yang perlu dilakukan adalah
keberanian pemerintah dalam membuat kebijakan yang adil dan merata bagi masyarakat desa
maupun kota. Keadilan ini berupa kesetaraan secara proporsional dalam pembagian anggaran
belanja dan pendapatan daerah sehingga pembangunan dapat tercipta secara adil, merata dan
akhirnya masyarakat desa tidak perlu pindah ke kota. Seballiknya, masyarakat kota akan pindah
ke desa karena kesempatan ekonomi di desa sama dengan dikota, dengan begitu jumlah
penduduk di kota dapat ditekan secara bertahap.

1. Level Tata Kelola.


Pada level tata kelola perlu perubahan dalam struktur tata kelola kependudukan dan didukung
oleh sanksi yang tegas dari lembaga pemerintah. Pemerintah perlu membatasi perpindahan
penduduk dari desa ke kota dengan mengatur izin tinggal penduduknya. Masyarakat desa yang
mau menetap dalam jangka waktu yang lama perlu dibatasi namun bukan berarti masyarakat
desa tidak boleh ke kota. Akan tetapi masyarakat desa yang ingin kekota diharapkan untuk tidak
menetap di kota secara permanen namun mereka akan kembali ke desa untuk memajukan desa
mereka masing-masing. Contohnya adalah pembatasan izin tinggal masyarakat desa yang ingin
memperoleh pendidikan di kota hanya sebatas untuk mencari ilmu setelah itu dia harus kembali
ke desanya untuk mentransfer ilmu yang telah diperolehnya di kota.

1. Perubahan Bersifat Kontinyu.

Perlu untuk diketahui perubahan-perubahan diatas haruslah dilakukan secara sepaket karena
keseimbangan ekonomi, alokasi sumber daya dan tenaga kerja perlu dipertahankan. Apabila
kesimbangan tersebut terjadi maka masyarakat akan mengikuti pola-pola perubahan secara
kontinyu sehingga masalah sosial dapat dikurangi.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kepadatan penduduk merupakan permasalahan yang banyak dialami beberapa kota di Indonesia
terutama di Banjarmasin. Ledakan penduduk di Banjarmasin telah berdampak pada lingkungan
maupun sosial. Pada lingkungan dampak yang di timbulkan adalah timbulnya pemukiman
kumuh yang menimbulkan pencemaran baik penceramaran udara, air, maupun tanah. Sedangkan
dampak sosialnya adalah menimbulkan frustasi dan distorsi pada norma kehidupan di
masyarakat.

Untuk menuntaskan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan transmigrasi penduduk,


mengoptimalkan lahan dengan teknologi, serta pemerataan pembangunan. Permasalahan di
Banjarmasin di harapkan dapat dituntaskan juga dengan perubahan kelembagaan baik pada level
sosial, level kelembagaan formal, level tata kelola dan perubahan yang bersifat kontinyu.
Hubungan antara teori Malthus dengan kondisi yang terjadi di Banjarmasin tidak berlaku karena
kemajuan teknologi pertanian dan teknlogi kesehatan mampu meningkatkan produksi pangan
dan mengontrol fertilitas masyarakat Banjarmasin.

4.2. Saran

1. Pemerintah

Pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan program transmigrasi, menggiatkan transfer


teknologi dari para ahli kepada masyarakat serta melakukan pembangunan secara adil dan merata
yang berkelanjutan sebagai faktor utama dalam menunjang kesejahteraan masyarakat di
banjarmasin.
2. Masyarakat Banjarmasin

Masyarakat Banjarmasin diharapkan untuk mendukung program-program pemerintah yang


menguntungkan masyarakat serta bekerja sama untuk membangun Banjarmasin menjadi lebih
baik.

Daftar Pustaka

David Lucas, dkk.1984. Pengantar Kependudukan. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Rusli Said.1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta :LP3ES.

Tjandronegoro. 1991. Ilmu Kependudukan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Todaro Michael P. dan Smith Stephen C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta
: Erlangga.

Williamson O.E. 2000. The New Institutional Economics: Taking Stock, Looking Ahead.
Journal of Economic Literature. Vol. 38. Pp.595-613

Posted in Academic

Comments are closed.

Log in
Copyright © 2010 mm08's blog. All Rights Reserved.

Blogging by WordPress - Theme Created by green wordpress templates in partnership with used
macs
Beberapa Teori kependudukan dalam Menunjang Suatu
Analisa Kependudukan February 12, 2010
Posted by isfaniy in AKK.
trackback

Berdasarkan beberapa catatan kependudukan dunia, sejak tahun 1650 laju


pertumbuhan penduduk dunia meningkat dengan cepat, terutama di negara-negara eropa, USA,
Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dalam 2 abad jumlah penduduk bertambah 3 kali lipat.
Misalnya pada tahun 1650 jumlah penduduk berjumalah 113 juta jiwa dan pada tahun 1850
menjadi 325 juta jiwa.

Untuk Asia dan Afrika dalam jangka waktu yang sama jumlah penduduk menkadi 2 kali lipat,
misalnya pada tahun 1650 jumlah penduduk 430 juta dan pada tahun 1859 menjadi 844 juta jiwa.

Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dunia menyebabkan jumlah penduduk


menigkat dengan cepat dan dibeberapa bagian dunia telah terjadi kemiskinan dana kekurangan
pangan. Sehingga muncullah para ahli kependudukan yang membedakan dalam 3 kelompok
aliran, yaitu :

A. ALIRAN MALTHUSIAN (Thomas Robert Malthus)

Robert Malthus ini mengemukakan beberapa pendapat tentang kependudukan, yaitu :

• Penduduk (seperti juga tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada


pembatasan akan berkembang biak dengan sangat cepat dan memenuhi
dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi.
• Manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan, sedangkan laju
pertumbuhan makanan jauh lebih lambat (deret hitung) dibandingkan
dengan laju pertumbuhan penduduk (deret ukur)

Menurut aliran ini pembatasan pertumbuhan penduduk dapat dilakukan dengan 2 cara :

1. Preventif Checks (pengekangan diri)

* Moral restraint (pengekangan diri)

- mengekang nafsu seks


- tunda kawin

* Vice atau Kejahatan (pengurangan kelahiran)

- pengguguran kandungan

- homoseksual

2. Positive Checks (lewat proses kelahiran)

* Vice atau kejadian (pencabutan nyawa)

- bunuh anak-anak

- bunuh orang cacat

- bunuh orang tua

* Misery (kemelaratan)

- Epidemi

- bencana alam

- peperangan

- kekurangan makanan

Kritik terhadap teori Malthus

Malthus tidak memperhitungkan hal-hal sebagai berikut :

• kemajuan bidang transportasi yang dapat menghubungkan satu daerah


dengan daerah lain sehingga distribusi makana dapat berjalan
• kemajuan bidang teknologi, terutama bidang pertanian
• Usaha pembatasan kelahiran bagi pasangan yang sudah menikah
• fertilitas akan menurun apabila perbaikan ekonomi dan standar hidup
penduduk dinaikkan.

B. ALIRAN MARXIST (Karl & F. Angel)

Aliran ini tidak sependapat dengan Malthus (bila tidak dibatasi penduduk akan kekurangan
makanan).

Menurut Marxist tekanan penduduk di suatu negara bukanlah tekanan penduduk terhadap bahan
makanan, tetapi tekanan terhadap kesempatan kerja (misalnya di negara kapitalis)
Marxist juga berpendapat bahwa semakin banyak jumlah manusia semakin tinggi produk yang
dihasilkan, jadi dengan demikian tidak perlu diadakan pembatasan penduduk.

(kedua aliran ini memiliki pendukung yang sama banyak)

negara2 yang mendukung teori Malthus umumnya adalah negara berekonomi kapitalis seperti
USA, Inggrism Prancis, Australia, Canada, dll

Sedangkan negara-negara yang mendukung teori Marxist umumnya adalah negara-negara


berekon0mi Sosialist seperti Eropa Timur, RRC, Korea, Rusia dan Vietnam.

C. ALIRAN NEO-MALTHUSIAN (Garreth Hardin & Paul Ehrlich)

Pada abad 20 teori Malthus mulai diperdebatkan kembali. kelompok ini menyokong aliran
Malthus, akan tetapi lebih radikal lagi dan aliran ini sangat menganjurkan untuk mengurangi
jumlah penduduk dengan menggunakan cara-cara “Preventif Check” yaitu menggunakan alat
kontrasepsi.

Tahun 1960an dan 1970an foto-foto telah diambil dari ruang angkasa dengan menunjukkan bumi
terlihat seperti sebuah kapal yang berlaya dengan persediaan bahan bakar dan bahan makanan
yang terbatas. Pada suatu saat kapal ini akan kehabisan bahan bakar dan bahan makanan tersebut
sehingga akhirnya malapetaka menimpa kapal tersebut.

• Skip to content
• Skip to main navigation
• Skip to 1st column
• Skip to 2nd column

You are here: Home

Indonesian Agricultural Sciences Association


(IASA)
1:02:16 PM Tokyo

11:02:16 AM Jakarta

Friday 01 October 2010

• Home
• Profil
o Pendahuluan
o Sejarah
o Tujuan
o Program
o Struktur Organisasi
o AD-ART
• Kelembagaan
o Kehutanan, SDA, LH
o Ilmu Hayati Murni & Terapan
o Peternakan,Perikanan,Veteriner
o Sosial Ekonomi Pertanian
o Teknologi & Informasi Pertanian
• Artikel
• Agenda
• Galeri
• Jurnal Ilmiah (IASA)
• Link
• Peta Situs

Agriculture is the mother of all arts. When it is well conducted, all other arts proper. When
it is neglected, all other arts decline.

Xenophon (430-355 BC)

loading images: 0/8

Perangkap Malthus: Pertarungan Ledakan Penduduk dan


Pangan
Sunday, 17 May 2009 16:16 Subejo

Pertarungan Ledakan Penduduk dan Pangan

Subejo (Ketua Umum IASA)

P
ersoalan persaingan antara pertumbuhan penduduk dan
produksi pangan telah menjadi perhatian para
cendekiawan sejak dua abad lalu. Hal ini merupakan
agenda yang sangat serius karena menentukan
keberlangsungan hidup umat manusia. Thomas Robert
Malthus tahun 1798 telah mempredikasi bahwa dunia akan menghadapi ancaman
karena ketidakmampuan mengimbangi pertumbuhan penduduk dengan penyediaan
pangan memadai. Teori Malthus ringkasnya menyatakan peningkatan produksi
pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur
sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan
pangan.

Setelah sekian lama berlalu dengan berbagai dinamika inovasi teknologi pangan
dan pengendalian penduduk, ilmuwan terkemuka Jeffrey D. Sach (Scientific
American, 2008) masih mengajukan pertanyaan besar apakah benar kita telah
mengalahkan Teori Malthus? Waktu dua abad pun belum bisa meyakinkan kita akan
jawaban tersebut.

Penduduk dan kebutuhan pangan

Jumlah penduduk dunia bertambah terus menerus. US Census Bureau


memperkirakan tahun 2010 penduduk di Asia Pasific saja mencapai 4 milyar
dimana India dan China berkontribusi lebih dari 2 milyar. Indonesia juga
berkontribusi besar dengan jumlah penduduk yang mendekati seperempat milyar
jiwa. Penduduk Indonesia tumbuh pesat, tahun 1900 jumlahnya masih sekitar 40
juta. Peningkatan penduduk berdasar periode yaitu 120 juta (1970), 147 juta
(1980), 179 juta (1990) dan mencapai 206 juta (2000). Angka terbaru penduduk
telah mencapai 225 juta (2007). Dalam 40 tahun tekahir, penduduk telah
bertambah lebih dari 100 juta jiwa, sebuah peningkatan yang fantastis (BPS, 2009).

Indonesia dipandang cukup sukses dalam implementasi program keluarga


berencana (KB) yang diintroduksi sejak 1968. Secara nasional, tingkat
pertumbuhan penduduk dapat ditekan dari 2,31 persen pada tahun 1970-an
menjadi 1,49 persen tahun 2000-an. Angka pertumbuhan penduduk yang telah
dicapai tersebut dipandang masih belum cukup jika dikaitkan dengan total
penduduk nasional. Selain itu, pasca reformasi dan implementasi otonomi dearah,
kebijakan program KB berada dalam otoritas daerah dimana pada banyak kasus
cenderung mengalami stagnasi bahkan menurun karena rendahnya concern
birokrasi dan legislasi lokal pada masalah kependudukan. Jika hal ini terabaikan,
maka bukan tidak mungkin gejala ledakan penduduk akan terjadi dan berdampak
sosial ekonomi yang lebih rumit dan membahayakan.

Menggunakan pendekatan pertumbuhan penduduk sepuluh tahun terakhir (1990-


2000) sebesar 1,49 persen (BPS, 2009), dan data terakhir kependudukan tahun
2007 sebesar 225 juta jiwa, secara sederhana dapat dikalkulasi bahwa setiap tahun
ada penambahan penduduk 3,35 juta jiwa. Besarnya jumlah penduduk terkait
langsung dengan penyediaan pangan. Konsumsi pangan utama sumber karbohidrat
adalah beras. Sebagaimana dilaporkan Pasandaran, sejak tahun 1970-1990
konsumsi beras per kapita per tahun meningkat nyata yaitu 109 kg (1970), 122 kg
(1980) menjadi 149 kg (1990). Meskipun setelah tahun 1990, komsumsi beras
sedikit menurun namun dipandang masih cukup besar yaitu 114 kg/orang/th pada
tahun 2000 (BPS). Rerata konsumsi per kapita ini merupakan yang terbesar di
dunia.

Ketidakmampuan menyediakan pangan pokok yang ditandai dengan besarnya


impor beras beberapa saat lalu menjadi pertanda yang serius bagi kita agar
memiliki perhatian pada persoalan kependudukan dan penyediaan pangan.

Produksi pangan dan persoalannya

Pertumbuhan penduduk yang pesat menuntut pemenuhan pangan yang sangat


besar. US Census Bureau mencatat kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung)
di Asia akan meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton
tahun 2020 dimana kontribusi China dan India sebesar 26 dan 12 persen. Persoalan
krisis pangan dunia yang ditandai kelangkaan pangan dan melonjaknya harga
pangan di pasar internasional tahun 2008, salah satunya disebabkan karena
membumbungnya permintaan pangan oleh kekuatan ekonomi baru China dan India
dengan penduduk masing-masing 1 milyar jiwa.

Dalam konteks Indonesia, produksi pangan yang mampu menjamin kebutuhan


penduduk merupakan persoalan yang serius. Meskipun selama 2 tahun terakhir
dilaporkan swasembada beras dapat dicapai kembali namun untuk jangka panjang
masih menjadi pertanyaan besar. Salah satu solusi dalam peningkatan produksi
pangan adalah peningkatan areal dan produktifitas. Meskipun hal tersebut telah
dilakukan dengan berbagai strategi namun data menunjukkan masih jauh dari
cukup. Selama 5 tahun terakhir (2004-2008), areal panen padi hanya meningkat
0,47 juta ha dengan komposisi 11,92 juta ha tahun 2004 menjadi 12,39 juta ha
tahun 2008. Dari segi produktifitas mengalami peningkatan 0,32 ton/ha dengan
komposisi 4,54 ton/ha tahun 2004 dan 4,86 ton/ha tahun 2008.

Dengan prediksi jumlah penduduk 300 juta tahun 2015, kebutuhan beras akan
membacapi 80-90 ton/th. Menggunakan asumsi luas panen yang tidak akan banyak
berubah dari angka 12 juta ha/th, maka solusinya pada tuntutan produktifitas
hingga 10 ton/ha. Hal tersebut hampir dipastikan sebuah mission impossible.
Sejarah produksi beras dunia mencatat bahwa negara yang memiliki sejarah dan
tradisi produksi beras paling panjang dan teknologi paling hebat seperti Jepang,
Taiwan, Korea dan China hanya mampu memproduksi beras di lahan petani secara
stabil dalam skala lapangan paling tinggi 7 ton/ha.

Agenda masa depan


Meskipun berbagai inovasi telah diciptakan, perangkap Malthus masih tetap
menghantui kita. Kemampuan kita secara terus menerus menyediakan pangan
yang melampaui pertumbuhan penduduk akan terus diuji sepanjang waktu.
Program pengendalian penduduk diikuti program pendukung seperti layanan sosial,
pendidikan dan kesehatan menjadi prasyarat dan prioritas. Pemerintah pusat dan
daerah harus saling bersinergi dan juga membangun partnership dengan kalangan
swasta dan korporasi terkait dengan hal ini.

Penciptaan lahan baru perlu didorong terutama untuk daerah yang layak dan
potensial. Program ini tidak bisa sepenuhnya diharapkan karena kendala sosial,
teknis dan biaya. Solusi lainnya adalah mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering.
World Bank (2003) mendata lahan kering di Indonesia sebesar sekitar 24 juta ha.
Lahan tersebut sangat potensial untuk program diversifikasi pangan dan
diversifikasi produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan dan
perkebunan.

Diversifikasi pangan menjadi salah satu kata kunci. Bahan pangan non-padi yang
bisa diproduksi dari lahan kering non-sawah sangat potensial untuk dikembangkan
dan dikampanyekan terus menerus kepada publik. Penelitian, pengkajian dan
penyebarluasan melalui penyuluhan akan teknologi produksi baru seperti benih
yang memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap kekurangan air dan goncangan
cuaca ekstrim mutlak diupayakan. Program pengendalian alih fungsi lahan
pertanian utamanya sawah sangat mendesak dilakukan. Beberapa laporan
mengindikasikan bahwa selama 20 tahun terakhir, kita telah kehilangan 1 juta ha
sawah subur di Jawa karena alih fungsi lahan.

------------------------------------------------

Subejo
Dosen Universitas Gadjah Mada
The University of Tokyo, Department of Agricultural and Resource
Economics (PhD Candidate)
Ketua IASA (Indonesian Agricultural Sciences Association) Jepang
4-24-1, Kami-soshigaya, Setagaya-ku, Tokyo 157-0065
subejo1972@yahoo.com

You might also like