You are on page 1of 18

TEORI KEMISKINAN

Berbagai Pengertian

Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada

masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,

tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran

kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan,

pelayanan kesehatan, dan kemudahan- kemudahan lainnya yang tersedia pada

jaman modern.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya

mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial

Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari

17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa perdesaan. Angka tersebut lebih

dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis

ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa

di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin

diperkirakan makin bertambah.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni

kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain

akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan

bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada

di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai

sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap

miskin.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk

disimak dari berbagai aspek.Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya

pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah

mengantisipasi peluang.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut,

kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin

absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak

cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang,

kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif

sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah

kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat

dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha

memperbaiki tingkah kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang

membantunya.

Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata

kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.

Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat,

tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan

tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran.

Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis

kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.


Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis

kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per

bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan.

Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi

konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan

pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan,

pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila

dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar

Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi

penduduk perdesaan.

Teori dan Pendekatan Masalah Kemiskinan

Ada banyak teori tentang kemiskinan, namun menurut Michael Sherraden

(2006:46-54) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling

bertentangan dan satu kelompok teori yang tidak memihak (middle ground), yaitu

teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu (behavioral), teori yang

mengarah pada struktur social, dan yang satu teori mengenai budaya miskin.

Menurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan

teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan capital manusia (human

capital). Teori ini disajikan dalam teori ekonomi neo-klasik, yang berasumsi

bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan

tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi

fungsionalis, bahwa ketidak setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan
adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Terori

perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah

mengakibatkan lahirnya kemiskinan.

Teori Struktural yang bertolak belakang dengan terori perilaku

memandang bahwa hambatan-hambatan structural yang sistematik telah

menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya

penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori

structural ini terfokus pada topic seperti ras, gender atau ketidak sinambungan

geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras.

Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield

ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya

pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas

kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke

generasi berikutnya.

Menurut Michael Sherraden bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya

miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan

(Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang

mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan

adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit (Michael Sherraden :

2006, Parsudi Suparlan : 1995). Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung

melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur social. Sebaliknya

kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas
bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur

social.

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang

kemisinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan

obyektik yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah

ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat

kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan

subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang

ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan

sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada

dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph F. Stepanek, ed. (1985)

bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau

pandangan orang miskin sendiri.

Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan

kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan

syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu

ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat

dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan,

pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.

Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh

rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan
pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi

pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara

rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan

kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai

bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan

membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat.

Belakangan memang lahir teori-teori mengenai sebab-sebab kemiskinan,

misalnya dari Gunar Myrdal dari Swedia dan John Kenneth Galbraith dari AS.

Menurut ekonom A yang pernah menjadi Dewan Penasihat Ekonomi Presiden

Kennedy itu dalam bukunya ”Poverty Curtain” (1976) sekurang-kurangnya ada

17 faktor penyebab kemiskinan, misalnya miskinnya sumber daya alam,

kolonialisme atau korupsi, yang berbeda dari satu negara ke negara lain. Faktor-

faktor itu bukan hanya kelemahan, tatapi juga bisa menjadi potensi dan

keunggulan.

Misalnya Indonesia kaya sumber daya alam, tetapi rendah mutu sumber

daya manusianya. Sebenarnya teori lingkaran kemiskinan itu mengandung

kebenaran yang diakui hingga sekarang, misalnya mengenai pentingnya

peranan modal untuk meningkatkan produktivitas rakyat miskin. Jauh sebelum

lahirnya teori barat itu, pentingnya peranan uang atau modal sudah diketahui

oleh Patih Purwokerto, R Wiria Atmaja. Tapi ia menangapi masalah itu dengan

cara khas Indonesia, yaitu melalui lembaga gotong royang guna membangkitkan

swadaya dari bawah. Maka dibentuklah bank tolong menolong simpan pinjam
(hulp en spaarbank), yang merupakan cikal bakal lembaga perkreditan mikro

kemudia itu. Cara ini disebut juga sebagai pendekatan ekonomi kelembagaan.

Faktor dan Penyebabnya

Kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara berkembang,

bahkan negara-negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak sebesar

negara Dunia Ketiga. Secara umum, jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi menjadi

dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Pertama, kemiskinan

absolut, di mana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang

hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu

pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan

pendapatan. Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif bersifat

dinamis dan tergantung di mana seseorang tinggal.

Untuk lebih mengetahui secara pasti tingkat kemiskinan suatu

masyarakat maka diciptakan indikator kemiskinan atau garis kemiskinan. Di

Indonesia, garis kemiskinan BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu

pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head

Count Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya, yaitu garis kemiskinan

Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas garis

kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan

beras. Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga

komoditi dan porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin,

menurun secara cepat. Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba

untuk menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang


dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa

esensial, seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas.

Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh ketidaksamaan

pola kepemilikan sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia

dan disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan

kemiskinan versi Nurkse sangat relevan dalam menjelaskan fenomena

kemiskinan yang terjadi di negara-negara terbelakang. Menurutnya negara

miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor because it is poor).

Menurut Thorbecke, kemiskinan dapat lebih cepat tumbuh di perkotaan

dibandingkan dengan perdesaan karena, pertama, krisis cenderung memberi

pengaruh terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah

perkotaan, seperti konstruksi, perdagangan dan perbankan yang membawa

dampak negatif terhadap pengangguran di perkotaan; kedua, penduduk

pedesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari produksi mereka sendiri.

Hasil studi atas 100 desa yang dilakukan oleh SMERU Research Institute

memperlihatkan bahwa pertumbuhan belum tentu dapat menanggulangi

kemiskinan, namun perlu pertumbuhan yang keberlanjutan dan distribusi yang

lebih merata serta kemudahan akses bagi rakyat miskin.

Daya Saing Industri

Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah (1) tingginya

tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang


terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi, (2) dominasi

kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan

keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing

di pasar global, (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan

oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan

klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien, (4) struktur industri

Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah,

(5) masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong

kemajuan teknologi, (6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar

domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada

pasar yang diproteksi.

Struktur industri Indonesia cenderung oligopolistik karena (1) adanya

proteksi (tata niaga), (2) besarnya modal yang diperlukan untuk investasi, (3)

tingginya teknologi yang digunakan, (4) adanya preferensi terhadap produk.

Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan

karena setidaknya 2 alasan (1) dalam realitas, yang bersaing bukan negara,

tetapi perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogkan daya saing

negara identik dengan daya saing

perusahaan. Apabila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh

perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik

maupun internasional, (2) mendefinisikan daya saing negara lebih problematik

daripada daya saing perusahaan. Apabila suatu perusahaan tidak dapat


membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan baku dari para

pemasok, dan membagi dividen, maka perusahaan itu akan bangkrut dan

terpaksa ke luar dari bisnis yang digelutinya. Perusahaan memang bisa

bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias tidak akan pernah “ke

luar dari arena persaingan”.

Pencapaian Indikator Ekonomi

Secara umum pencapaian indikator ekonomi makro nasional masih baik,

walaupun dalam beberapa bulan terakhir mendapat tekanan yang cukup berat

sebagai imbas krisis keuangan global.

Hal ini dapat dilihat pada realisasi APBN-P tahun 2008 yang menunjukkan: (a)

Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2008 yang masih dapat dipacu hingga ke 6,2%

(APBN-P : 6,4%), walaupun dalam triwulan III dan perkiraan di triwulan IV mulai

mengalami perlambatan, (b) Tingkat inflasi yang masil terkendali di sekitar 11,4%

(APBN-P : 6,5%), dengan menjaga kelancaran dan kecukupan pasokan barang

& jasa serta langkah penurunan harga BBM sebanyak dua kali di bulan

Desember 2008, (c) Suku Bunga SBI-3 bulan sebagai basis perhitungan bunga

obligasi Pemerintah yang diperkirakan rata-rata 9,3% (APBN_P : 7,5%), dan

rate-nya per bulan cenderung menurun sejalan dengan berkurangnya tekanan

inflasi, (d) Nilai tukar Rupiah diperkirakan rata-rata Rp9.691/US$ (APBN-P :

Rp9.100/US$) sebagai akibat tekanan depresiasi Rupiah di penghujung tahun

2008 ini, (e) Harga minyak mentah Indonesia sekitar rata-rata US$96,8/barel

(APBN-P : US$95/barel), seiring dengan penurunan harga minyak mentah di


pasar internasional di semester II 2008, (f) Lifting minyak mentah Indonesia yang

dapat mencapai 931 ribu barel per hari, yang berarti di atas targetnya di tahun

2008 (APBN-P : 927 ribu barel per hari).

Pencapaian kinerja APBN-P tahun 2008 tercermin dari realisasi Defisit

anggaran yang diperkirakan akan menjadi Rp4,2 triliun (setara 0,1% PDB), yang

berarti jauh lebih rendah dari target APBN-P sebesar Rp94,5 triliun (2,1% PDB).

Pencapaian kinerja APBN-P tahun 2008 tersebut terdiri dari :

a. Realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp981,0 triliun, atau

Rp86,0 triliun (9,6%) di atas targetnya dalam APBN-P 2008. Pencapaian

tersebut didukung oleh :

(i) Realisasi penerimaan perpajakan yang mencapai Rp658,7 triliun (14% PDB),

yang berarti Rp49,4 triliun (8,1%) di atas targetnya dalam APBN-P 2008).

Pencapaian ini sebagai hasil intensifikasi perpajakan yang didukung dengan

langkah reformasi perpajakan yang terus dilakukan, serta dampak kenaikan

harga komoditi primer di pasar dunia pada beberapa waktu yang lalu.

(ii) Realisasi PNBP (penerimaan negara bukan pajak) mencapai Rp320,q triliun,

atau Rp37,2 triliun (13,2%) lebih tinggi dari targetnya dalam APBN-P 2008.

Tingginya realisasi PNBP tersebut terutama disebabkan oleh lebih tingginya

realisasi harga dan lifting minyak mentah Indonesia dari yang diasumsikan di

APBN-P.
b. Realisasi belanja negara mencapai Rp985,3 triliun, atau Rp4,2 triliun (0,4%)

di bawah pagunya dalam APBN-P 2008. Realisasi belanja negara tersebut

bersumber dari:

(i) Realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp629,6 triliun, yang berarti

Rp4,4 triliun (0,6%) di bawah pagunya dalam APBN-P. Pencapaian realisasi

tersebut dipengaruhi oleh :

• Realisasi belanja Kementerian/Lembaga mencapai Rp265,3 triliun atau

91,5% dari pagunya dalam APBN-P 2008.

• Realisasi subsidi energi (BBM & Listrik) sebesar Rp223,0 triliun, atau

Rp35,9 triliun (19,2%) di atas pagunya dalam APBN-P 2008 yang

disebabkan terutama oleh lebih tingginya volume konsumsi BBM,

depresiasi nilai tukar rupiah, dan lebih tingginya realisasi harga minyak

mentah sampai dengan bulan Oktober 2008.

(ii) Realisasi transfer ke Daerah sebesar Rp292,6 triliun, hampir sama dengan

pagunya dalam APBN-P2008.

c. Realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp.55,5 triliun, atau Rp39,0 triliun

(41,3%) lebih rendah dari rencananya dalam APBN-P 2008. Pencapaian

realisasi tersebut utamanya dipengaruhi oleh :

• Realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (neto) sebesar Rp85,9 triliun,

atau Rp31,9 triliun (27,1%) lebih rendah dari targetnya dalam APBN-P

sebagai akibat tidak kondusifnya pasar obligasi sebagai imbas dari krisis
keuangan global, sehingga Pemerintah menghentikan penerbitan SBN

sejak bulan November 2008.

Adanya kelebihan pembiayaan (SILPA) sebesar Rp51,3 triliun, karena lebih

rendahnya realisasi Defisit APBN-P 2008. Dana SILPA tahun 2008 tersebut akan

dapat digunakan untuk membiayai kegiatan 2008 yang diluncurkan ke tahun

2009 (untuk PNPM dan KPU) serta membiayai defisit APBN 2009.

Pertumbuhan Ekonomi Perkapita

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 yang mencapai 4,5%

membuat pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2009 naik menjadi Rp

24,3 juta (US$ 2.590,1) dibandingkan tahun 2008 yang sebesar Rp 21,7 juta

(US$ 2.269,9).

Demikian disampaikan oleh Deputi Neraca dan Bidang Analisis Statistik

SlametSutomo di kantornya, Jakarta, Rabu (10/2/2010).

"PDB per kapita merupakan PDB (atas dasar harga berlaku) dibagi

dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Pada tahun 2009 angka PDB per

kapita diperkirakan mencapai Rp24,3 juta (US$ 2.590,1) dengan laju

peningkatan sebesar 12,0 persen dibandingkan dengan PDB per kapita tahun

2008 yang sebesar Rp21,7 juta (US$ 2.269,9)," tuturnya.

Dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5% di 2009, maka

nilai PDB Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2009 mencapai Rp 2.177

triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masing-masing sebesar Rp

2.082,3 triliun dan Rp 1.964,3 triliun.


Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun 2009 naik sebesar

Rp662,0 triliun, yaitu dari Rp4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar

Rp5.613,4 triliun pada tahun 2009.

Selama tahun 2009, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan.

Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang

mencapai 15,5 persen, diikuti oleh Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 13,8

persen, Sektor Konstruksi 7,1 persen, Sektor Jasa-jasa 6,4 persen, Sektor

Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 5,0 persen, Sektor Pertambangan

dan Penggalian 4,4 persen, Sektor Pertanian 4,1 persen, dan Sektor Industri

Pengolahan 2,1 persen, serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,1

persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2009 mencapai 4,9 persen

yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang

besarnya 4,5 persen.

Pengangguran

Badan Pusat Statistik (BPS) per hari ini mencatat ada sekira 1,1 juta

orang yang menjadi pengangguran baru di Indonesia. Jumlah tersebut

merupakan jumlah anak yang tamat sekolah (perguruan tinggi) namun belum

bisa diterima bekerja.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans)

mengungkapkan, angka pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Ia

melansir laporan Badan Pusat Statistik pada Mei 2001, yang menyatakan angka

pengangguran di Indonesia capai 8,59 juta orang atau sekitar 7,41% dari 116

juta orang total angkatan kerja.


Dari angka itu, Muhaimin menjelaskan, tercatat jumlah penganggur

dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi mulai dari D-1 hingga S-1 mencapai

1,36 juta orang atau sekitar 15,84 persen penganggur. "Hal inilah yang menjadi

salah satu penyebab rendahnya tingkat produktivitas bangsa Indonesia,"

katanya.

Muhaimin menyebutkan, penyebab terjadinya pengangguran adalah

kesempatan kerja yang tidak cukup mampu menyerap angkatan kerja yang ada,

serta kurang berfungsinya pasar kerja. Ia menambahkan, dalam kondisi seperti

itu, terdapat lowongan pekerjaan yang belum terisi di satu pihak, dan terdapat

tenaga kerja yang belum bekerja di lain pihak.

Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak

bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama

seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang

layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau

para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang

mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam

perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan

pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan

timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.


PDRB

Tabel ini adalah daftar ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia yang

disusun menurut produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita atas dasar

harga berlaku. Data di sini adalah data untuk tahun 2008 yang dihasilkan oleh

Badan Pusat Statistik.

No Propinsi PDRB (ribu rupiah)


— Indonesia 21.678
1 Kalimantan Timur 101.858
2 Jakarta 74.065
3 Riau 53.264
4 Kepulauan Riau 40.746
5 Papua 26.615
6 Bangka Belitung 19.350 KESIMPULAN
7 Sumatra Seulatan 18.725
8 Aceh 17.124
9 Papua Barat 17.084 Dapat disimpulkan
10 Jawa Timu 16.757
bahwa kemiskinan merupakan
11 Sumatra Utara 16.403
12 Kalimantan Tengh 15.725 masalah yang kompleks yang
13 Sumatra Barat 14.955
14 Jawa Barat 14.723 memerlukan penanganan lintas
15 Jambi 14.226
16 Bali 14.199 sektoral, lintas profesional dan
17 Kalimantan Selatan 13.206
18 Banten 12.757 lintas lembaga. Departemen
19 Sulawèsi Utara 12.610
Sosial merupakan salah satu
20 Sulawèsi Tengah 11.540
21 Kalimantan Barat 11.394 lembaga pemerintah yang telah
22 Jawa Tengah 11.184
23 Yogyakarta 10.985 lama aktif dalam program
24 Sulawèsi Selatan 10.909
25 Sulawèsi Tenggara 10.686 pengentasan kemsikinan.
26 Lampung 10.078
27 Bengkulu 8.799 Dalam strateginya Depsos
28 Nusa Tenggara Barat 8.080
29 Sulawèsi Barat 7.535
30 Gorontalo 6.068
31 Nusa Tenggara Timu 4.769
32 Maluku 4.747
33 Maluku Utara 4.019
berpijak pada teori dan pendekatan pekerjaan sosial. Strategi penanganan

kemiskinan dalam persepektif pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan

keberfungsian sosial si miskin (dalam arti individu dan kelompok) dalam

kaitannya dengan konteks lingkungan dan sistuasi sosial. Dianalogikan dengan

strategi pemberian ikan dan kail, maka strategi pengentasan kemiskinan tidak

hanya bermatra individual, yakni dengan: (a) Memberi ikan; dan (b) Memberi kail.

Lebih jauh lagi, pekerjaan sosial berupaya untuk mengubah struktur-struktur

sosial yang tidak adil, dengan: (c) Memberi keterampilan memancing; (d)

Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan; dan (e) Mengusahakan

perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan hasil memancing tersebut.

TUGAS MATA KULIAH PEREKONOMIAN KAL-BAR DAN PERBATASAN

“TEORI KEMISKINAN”

NAMA MAHASISWA: JIMI FREDIKSON (B01107016)


FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

2010

You might also like