You are on page 1of 24

MAKALAH

KELOMPOK
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

Suntoro (12030090028); Akhmad Yunani (12030090029); Ali Subhan (12030090032);


Ratna Ekawati (12030090044)
RINGKASAN
Frasa “daya saing”, “keunggulan bersaing”, “competitiveness“ menjadi buzzword pada
akhir dekade ini. Wacana daya saing disandangkan pada skala mikro yakni perusahaan
atau organisasi, skala negara, dan bahkan regional. Berbagai macam ukuran daya saing
dikembangkan untuk setiap skala tersebut. Apapun skalanya, daya saing merupakan
kemampuan untuk memberikan produk atau service yang memenuhi standar kualitas
baik untuk pasar lokal maupun kelas dunia pada tingkat harga yang bersaing dan
menghasilkan return yang cukup untuk menutup seluruh sumber daya yang diserap
dalam memproduksi produk atau service tersebut.

Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mengukur daya saing. Pada hakekatnya
penciptaan produk merupakan proses menciptkan nilai bagi pelanggan dan ini melibatkan
berbagai pihak yang terangkai dalam sebuah rantai nilai, daya saing dapat dibangun
melalui kolaborasi antar entitas yang tergabung dalam rantai nilai tersebut. Untuk itu,
kinerja rantai pasok merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengukur daya saing.

Dua pendekatan dalam mengukur kinerja rantai pasok sering digunakan; pengukuran
kinerja tunggal yang fokus pada biaya, dan pengukuran yang mendasarkan pada
perspektif sumber daya, output, dan fleksibilitas. Perspektif sumber daya menekankan
pada upaya efisiensi pengelolaan sumber daya, perspektif output menekankan pada
pemenuhan kebutuhan pelanggan terhadap produk/service, dan persepktif fleksibilitas
menekankan pada kemampuan menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan.
Persepktif pengukuran tersebut akan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan model
Balanced Scorecard, yang memungkinkan setiap perspektif dirangkai menjadi sebuah
pengukuran komprehensif perusahaan. Oleh karena itu, setiap perspektif dalam
pengukuran kinerja rantai pasok harus dikelola sehingga kinerja secara keseluruhan dapat
menempatkan perusahaan pada kemampuan memberikan service lebih baik diantara
diantara banyak perusahaan dalam industri dengan tingkat pengembalian yang mampu
mempertahankan perusahaan pada posisi tersebut.

Pendahuluan
Keunggulan bersaing dan daya saing sebagai salah satu bidang kajian, baik skala
global, regional, nasional bahkan lokal, industri maupun perusahaan, telah banyak
mendapat perhatian dari kalangan ahli sehingga banyak definisi diberikan
terhadap istilah tersebut. Tidak ada definisi generik yang mengikat dan setiap
definisi sangat tergantung pada interpretasi masing-masing peneliti. Porter
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

menyimpulkan bahwa daya saing nasional sebagai didasarkan pada keunggulan


industri tertentu suatu negara terhadap negara lain. Daya saing negara berbasis
spesialisasi industri ini dapat dijumpai pada contoh negara-negara industri; AS,
Jepang, Jerman, dan Inggris. AS memiliki keunggulan untuk sektor teknologi
informasi, perfilman, dan jasa keuangan. Tetapi untuk produk-produk permesinan
dan mobil, AS merupakan importir terbesar di dunia. Sementara itu, Jepang unggul
untuk sektor manufaktur produk-produk elektronik, kamera, fotokopi, mesin, dan
mobil, tetapi lemah untuk sektor jasa keuangan, piranti lunak, dan bioteknologi.
Jerman, hampir sama dengan Jepang, unggul pada sektor manufaktur, terutama
produk-produk mesin, mobil mewah, dan kimia, namun juga lemah pada sektor
jasa keuangan, piranti lunak, dan konsultansi (Haake 2002).

Waheeduzzaman dan Ryans menyimpulkan bahwa daya saing dapat dipandang


sebagai akibat, hasil, dan alat untuk mencapai tujuan, dan sebagaimana suatu
keindahan, definisi, pengukuran, dan pemahaman tentang daya saing sangat
tergantung pada sudut pandang pengamatan (Waheeduzzan dalam Henricsson,
2005). Untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan memantau berbagai
inisiatif daya saing, diperlukan sebuah kerangka pikir sehingga daya saing dapat
diukur dan dipahami (Henricsson, 2005).

Dalam konteks regional, daya saing merujuk pada suatu kondisi dimana dunia
bisnis didorong untuk bersaing sesuai dengan industrinya, dan kemampuan
menciptakan nilai di dalam regional tersebut (Begg 1999). Menurut Begg, faktor-
faktor yang berpengaruhi terhadap kinerja daerah perkotaan merupakan turunan
dari ekonomi nasional atau supranasional, atau sering merupakan sesuatu yang
bersifat dari atas ke bawah (top down).

Pada prinsipnya, mewacanakan daya saing harus dapat menjawab pertanyaan


apakah daya saing itu sendiri, dan bagaimana memperoleh posisi tersebut, serta

2
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

bagaimana mengukurnya. Mengingat banyak pemikiran dan perspektif yang


berkembang terkait daya saing, makalah ini hanya akan mengangkat wacana daya
saing dari perspektif rantai pasok.

Konsep Daya Saing


Porter menyatakan bahwa keberhasilan memberikan value yang lebih besar
kepada pelanggan dibanding pesaing dapat terbangun melalui kontribusi seluruh
aktivitas baik inti maupun pendukung dalam penciptaan nilai akhir produk. Nilai
tambah, atau “margin”, menurut Porter, merupakan perbedaan antara nilai total
dengan keseluruhan biaya untuk melaksanakan aktivitas penciptaan nilai (Porter,
1985). Konsep daya saing dari Porter sangat monumental dan menjadi rujukan
utama wacana tentang daya saing, dengan kerangka berpikir generic value chain
yang menjadi pijakan utama dalam pembahasan strategi bersaing, sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 1 pada halaman berikut.

Daya saing oleh Hatzichronoglou, didefinisikan sebagai kemampuan suatu


perusahaan, industri, daerah, negara, atau kawasan untuk menghasilkan
pendapatan oleh faktor produksi dan utilisasi faktor tersebut secara
berkesinambungan (Maskell 1999). Dalam konteks organisasi, banyak teori dan
konsep tentang daya saing organisasi. Menurut Heywood dan Kenley, teori dan
konsep daya saing mencakup tiga hal (Heywood, 2008):
- definisi tentang daya saing,
- perspektif untuk memperolehnya,
- pendekatan yang digunakan.

3
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

Gambar 1. Generic value chain


Sumber: Porter, 1985.
Ada paling sedikit dua definisi tentang daya saing perusahaan; pertama berbasis
pasar (market-based position), dimana definisi daya saing sangat menekankan
aspek pemasaran, atau posisi pasar, yakni sebagai kemampuan organisasi untuk
mencapai kinerja superior dibanding organisasi lain yang menawarkan nilai yang
mirip dalam pasar [(Hamel, 1994), (Gatignon, 1997), (Han, 1998)]. Sementara itu,
Chi (dalam Shafaei) mendefinisikan indeks daya saing dalam 9 item; kapabilitas
melakukan forecasting, kapabilitas inovasi, kapabilitas pemasaran, kualitas produk
dan jasa, ketentuan layanan, citra dan tanggung jawab perusahaan, kemampuan
menanamkan dan mengolah talent, dan penggunaan teknologi informasi yang
efektif, data finansial, dan kemampuan mengelola proses bisnis global global
(Shafaei, 2009). Untuk konteks keseluruhan, daya saing juga bisa didefinisikan
sebagai kemampuan perusahaan atau negara untuk menyajikan produk atau
service yang memenuhi standar kualitas pasar baik lokal maupun skala global pada
tingkat harga yang kompetitif dan memberikan return yang cukup untuk sumber
daya yang terserap untuk menciptakan produk atau service tersebut
(http://www.businessdictionary.com/definition/competitiveness.html). Jadi,

4
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

setiap perspektif pembahasan daya saing selalu mengedepankan perbandingan


antar perusahaan dengan rival/kompetitor, melibatkan berbagai sumber daya,
berorientasi pasar/pelanggan, dan unsur profit/return bagi perusahaan.

Bagaimana Membangun Daya Saing?


Banyak kajian akademik maupun tinjauan praktis diajukan sebagai “resep” untuk
mencapai posisi perusahaan yang memiliki daya saing. Paling tidak, ada empat
pendekatan yang dapat digunakan untuk membangun daya saing perusahaan,
yakni pendekatan preskriptif (atau sering disebut pendekatan terencana),
pendekatan pembelajaran, pendekatan posisi dalam persaingan, dan pendekatan
yang fokus pada perspektif sumber daya, kompetensi, dan kapabilitas (McKiernan,
1997).

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencapai keunggulan bersaing dalam


industri. Untuk memahami dan kemudian mengukur daya saing, setiap kajian
harus terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berpengaruh
terhadap daya saingnya. Henricsson dkk mendefinisikan daya saing dengan
mendasarkan pada kebutuhan stakeholders utama dalam industri: investor,
pengguna produk, karyawan, aspek sosial dan lingkungan, sehingga kriteria
pengukurannya juga berbeda dengan konsep keunggulan daya saing tradisional
yang menekankan pada produktivitas dan profitabilitas sebagai tolok ukurnya
(Henricsson dkk, 2005). Pearce dan Robinson (Pearce, 1997) mengklasifikasikan
faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing berdasarkan level kelompok:
lingkungan makro, lingkungan industri, dan lingkungan perusahaan/operasional.

Melalui proses belajar, perusahaan juga hendaknya memanfaatkan kedekatan


hubungannya dengan pemasok, pelanggan, dan bahkan juga pesaingnya untuk
membangun daya saing tersebut. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh

5
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

kapabilitas yang dimiliki perusahaan seperti sumber daya, kelembagaan, dan


struktur sosial budaya perusahaan (Maskell, 1999).

Kembali ke konsep Generic Value Chain dari Porter, masalah supply chain sangat
krusial bagi perusahaan dan penanganan yang baik akan dapat menjadikan
perusahaan unggul dalam bersaing. Tantangan terberat membangun daya saing
melalui rantai pasok adalah bagaimana mengharmoniskan setiap entitas dalam
rantai nilai dalam memberikan layanan yang lebih daripada yang diberikan
pesaing.

Manajemen Rantai Pasok


Dunia kini telah berubah secara masif, terutama karena kemajuan teknologi yang
pesat. Cakupan, skala, dan kecepatan proses rantai pasok merupakan momentum
revolusioner, dan bisnis yang bisa memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut
untuk mengelola rantai pasoknya menjadi pemimpin bisnis, katakan seperti
Toyota, Wal-Mart, Dell, dan banyak lagi perusahaan kelas dunia maupun lokal.
Manajemen rantai pasok (Supply Chain Management-SCM) menjadi sebuah
wacana mutakhir yang hangat dibicarakan baik di komunitas akademis maupun
praktis.

Seperti halnya gerbong kereta, SCM telah banyak didefinisikan dan diredefinisi
dalam berbagai versi. Pada akhirnya, definisi ini sangat tergantung pada cara
pandang masing-masing. Penyedia teknologi menjual software SCM yang
terintegrasi dengan fungsi-fungsi perencanaan bisnis yang canggih, penyedia 3PL
menawarkan kemampuan outsource-nya dengan memadukan SCM dan distribusi,
dan konsultan menjual jasanya SCM dengan kekayaan intelektualnya.

Lalu, apakah SCM itu? “Ajaran” tentang SCM terpotret sebagai perpaduan dari 3
elemen: deskripsi, preskripsi, dan tren (Storey, 2006). Manajemen pasokan dapat
dipandang sebagai ranah terkini baik oleh kalangan praktis maupun akademis.

6
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

APICS mendefinisikan SC sebagai jejaring global untuk menyampaikan produk atau


serivice dari mulai bahan mentah sampai kepada pelanggan akhir melalui arus
informasi, distribusi fisik, dan kas (APICS, 2008). APICS, asosiasi profesi bidang
produksi dan operasi, menyoroti aspek praktis manajemen rantai pasok dan secara
praktis pun telah disadari benar tentang perlunya network (kolaborasi) global.
Seiring dengan proposisi dari praktisi, akademisi juga menekankan pentingnya
kolaborasi antar entitas dalam manajemen rantai pasok. Bowersox menandaskan
bahwa SCM mencakup seluruh perusahaan yang berkolaborasi untuk meningkat-
kan posisi strategis dan untuk mendongkran efisiensi operasi (Bowersox, 2007).

SCM bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan sekaligus merupakan salah


satu strategi yang bisa dikembangkan organisasi. Ini bisa dilakukan dengan
kolaborasi inter dan antar organisasi yang membentuk rantai nilai yang akan
diberikan kepada pelanggan. Dalam SCM, empat elemen mengalir sepanjang
rantai yang terbentuk, baik upstream maupun downstream; material, produk
akhir, service dan informasi. Bolstorff menyatakan bahwa rantai nilai merupakan
proses makro terintegrasi antara marketing, disain, pasokan, dan pelanggan
(Bolstorff, 2007). Bolstorff dalam hal ini menekankan betapa pentingnya
kolaborasi antar entitas, baik dalam sistem organisasi maupun di luar organisasi.
Ini sejalan dengan pemikiran Porter dalam model Generic Value Chain, dimana
kolaborasi antara aktivitas inti dengan aktivitas pendukung akan sangat
menentukan apakah perusahaan dapat memberikan nilai yang lebih tinggi
daripada nilai yang diberikan pesaing atau tidak.

SCM menjadi isu kritis saat ini; kala situasi ekonomi dunia memberikan peluang
sedemikian besar untuk mengembangkan rantai pasok, namun di sisi lain teknologi
baru selalu menjadi faktor pemungkin bagi rekayasa proses bisnis dan jejaring
yang lebih baik (Bruzzone, 2002). Teknologi memungkinkan pengembangan
jejaring rantai nilai tak mengenal batas dan waktu lagi, dan ini tentu saja akan

7
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

dengan mudah meluluhkan segala bangunan yang telah disusun dalam kerangka
rantai pasok dan harus senantiasa direkayasa ulang. Dari sisi pelanggan, saat ini
mereka juga semakin cerdas dan pandai. Mereka tidak lagi mau menerima produk
dengan standar masa lalu. Bagi rantai pasok, pergeseran kebutuhan pelanggan
tersebut mencerminkan dua hal: semakin ketatnya persaingan, dan semakin
tingginya ketidakpastian (Pujawan, 2004).

Bagaimana arus material dan produk beserta service dan informasi terkait dalam
model rantai pasok? Gambar 2 dan gambar 3 menjelaskan hal ini, khususnya untuk
perusahaan manufaktur.

Gambar 2. Model tipikal rantai pasok dalam perusahaan manufaktur

Pada gambar 2 terlihat bahwa untuk menyerahkan produk kepada pengguna akhir
(pelanggan) diperlukan serangkaian proses yang melibatkan berbagai entitas baik
di dalam maupun dengan entitas di luar organisasi. Kolaborasi yang dapat
membentuk sebuah sistem rantai pasok yang harmonis dapat mewujudkan kinerja
rantai pasok secara keseluruhan yang efisien secara operasi, dinamis dan adaptif
memenuhi kebutuhan dan selera pelanggan yang juga semakin demanding, dan

8
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

tentu saja memberikan return yang cukup atas penyerapan sumber daya yang
dilibatkan dalam proses penciptaan nilai pelanggan.

Gambar 3. Jejering rantai pasok terintegrasi


Sumber: Bowersox, 2007

Gambar 3 di atas menunjukkan pentingnya membangun sebuah sistem


terintegrasi yang menekankan pada kapasitas, informasi, kompetensi inti, modal,
dan sumber daya, untuk mengalirkan produk, service, finansial, pengetahuan dan
informasi dalam rangka memberikan nilai lebih kepada pelanggan.

Mengukur Kinerja Rantai Pasok


Kinerja (performansi) organisasi sering menjadi ranah literatur manajemen
strategik, namun demikian pengungkapan dalam perspektif ekonomi, keuangan,
dan akuntansi akan lebih melengkapi kajian dan menarik untuk dibahas. Kinerja
organisasi mencakup tiga area spesifik dalam perusahaan: (a) kinerja keuangan
(profits, return on assets, return on investment, dsb.); (b) kinerja pasar (sales,
market share, dsb.); dan (c) shareholder return (total shareholder return, economic

9
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

value added, dsb.) (Richard, 2009). Ukuran kinerja seharusnya komprehensif,


mencakup tiga aspek utama melengkapi ukuran finansial; pasar, proses internal,
dan pembelajaran dan pertumbuhan (Kaplan, 2007).

Kinerja merupakan hasil akhir dari aktivitas yang dilakukan. Dalam mengevaluasi
kinerja, penekanan dilakukan pada penilaian perilaku organisasi saat ini terhadap
upaya menggapai efisiensi dan efektivitas. Pengukuran kinerja yang baik haruslah
(Ghosh, 2006):
• relevan terhadap tujuan strategis organisasi dan akuntabel bagi individu yang
konsern di bidang itu.
• fokus pada output yang terukur
• dapat diuji.

SCM telah menjadi komponen utama dalam strategi bersaing dengan menekankan
pada peningkatan produktivitas dan profitabilitas organisasi. Literatur tentang
SCM yang mengupas tentang strategi dan teknologi untuk mengelola rantai pasok
secara efektif sangat banyak. Akhir-akhir ini, pengukuran kinerja organisasi telah
menarik perhatian baik bagi peneliti maupun praktisi. Peran pengukuran dalam
keberhasilan organisasi tidaklah berlebihan mengingat hal ini berpengaruh
terhadap strategi, taktik, dan rencana dan pengendalian operasi. Pengukuran
kinerja memegang peran penting dalam penentuan tujuan, evaluasi kinerja, dan
penetapan program masa yang akan datang. Sementara itu, pengukuran kinerja
SCM masih menjadi bahasan yang masih menjadi curahan baik peneliti maupun
praktisi (Gunasekaran, 2004).

Dalam ekonomi, utilitas merupakan ukuran kinerja utama sebuah sistem. Oleh
karena itu, pengukuran kinerja suatu produk memiliki berbagai karakteristik atau
atribut. Beberapa karakteristik pengukuran kinerja dijelaskan oleh Beamon (dalam
Beamon, 1999) meliputi inclusiveness (mengukur seluruh aspek terkait),

10
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

universalitas (memungkinkan pembandingan pada berbagai kondisi operasi),


mesurability (data dapat diukur), dan konsistensi (pengukuran selaras dengan
tujuan organisasi). Evaluasi pengukuran kinerja sebaiknya dilengkapi dengan
benchmark agar dapat diidentifikasi peluang-peluang peningkatan kinerja.

Pengukuran kinerja rantai pasok salah satunya adalah dengan mencermati kinerja
logistik suatu perusahaan (Kleijnen 2003), yang mencakup:
- tingkat pemenuhan, yaitu persentase pesanan yang bisa dipenuhi tepat waktu
(tidak melebihi batas waktu yang diinginkan pelanggan),
- tingkat pesanan dikonfirmasi, persentase pesanan yang dipenuhi berdasarkan
negosiasi, yaitu waktu yang disetujui untuk ditunda dengan alasan yang bisa
diterima oleh pelanggan.
- responsi penundaan, perbedaan antara jadwal pengiriman yang diminta (d)
dengan jadwal pengiriman dinegosiasikan (i), dihitung dalam hari kerja. Jadwal
pengiriman diminta dihitung secara integer positif (pengiriman lebih awal
dinotasikan dengan nilai d negatif). Penghitungan juga dilakukan dengan
frekuensi nilai penundaan sehingga bisa dilakukan estimasi berdasakan
distribusi statistik pesanan-pesanan yang terlambat dipenuhi.
- persediaan, yakni total persediaan barang dalam proses (Work In Process-
WIP). Nilai WIP dinotasikan sebagai persentase dari total penjualan bulan
sebelumnya (ditulis m). Semakin kecil nilai ini, semakin baik dari sisi keuangan.
Namun sebaliknya, WIP yang kecil dapat beresiko tidak terpenuhinya pesanan
dan kehilangan pelanggan.
- penundaan, waktu pemenuhan dikurangi waktu dijanjikan. Persentasi tingkat
pemenuhan kurang dari 100 berdampak pada beberapa penundaan. Ukuran ini
menentukan jumlah penundaan sebenarnya, sedangkan response penundaan
hanya mengukur probabilitas penundaan.

11
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

Contoh lain, di Hewlett Packard, pengukuran kinerja ditekankan pada penilaian


kinerja seluruh perusahaan yang tergabung dalam rantai pasok, berupa:
- tingkat pemenuhan, persentase permintaan yang dipenuhi dari persediaan
yang ada,
- rasio penjualan terhadap persediaan, yakni rasion perputaran persediaan, dan
- penjualan.
Dari kedua contoh diatas, jelaslah bahwa pengukuran kinerja rantai pasok harus
dilakukan secara multiple (Kleijnen 2003).

Kinerja rantai pasok juga sering diukur berdasarkan dua indikator utama: biaya dan
kombinasi biaya dan tanggapan pelanggan (Beamon 1999). Biaya mencakup biaya
persediaan dan biaya operasi (cost focused). Pendekatan ini sering disebut sebagai
songle supply chain performance measures. Tanggapan pelanggan mengukur lead
time, probabilitas kekurangan persediaan, dan tingkat pemenuhan. Kinerja
umumnya dinotasikan sebagai suatu fungsi tujuan dari suatu model, yakni
maksimisasi atau minimisasi pada berbagai kendala operasional.

Pengukuran kinerja rantai pasok berdasarkan biaya dan tanggapan pelanggan


memiliki kelemahan, terutama dalam hal-hal sebagai berikut:
- pengukuran kinerja rantai pasok tunggal. Kelemahan utama pendekatan ini
berkaitan dengan karakteristik pengukuran inclusiveness. Agar memenuhi
unsur inklusif ini, pengukuran harus melibatkan seluruh aspek rantai pasok.
Contoh, jika perusahaan dapat beroperasi pada biaya yang rendah,
konsekuensinya adalah adanya potensi lemahnya respon terhadap pelanggan,
atau tidak fleksibelnya pemenuhan fluktuasi permintaan.
- biaya sebagai ukuran rantai pasok tunggal. Kelemahan dalam perspektif ini
adalah adanya kesenjangan relevansi antara kategori biaya, penyimpangan
biaya (khususnya overhead), dan tidak fleksibel, seperti laporan yang terlalu
lambat untuk dievaluasi. Disamping itu, ada dua kelemahan yang jarang

12
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

terungkap dari pengukuran ini yang berkaitan dengan biaya persediaan: biaya
daluwarsa (obsolence) dan rework karena perubahan operasi.
- tujuan strategis dan pengukuran kinerja rantai pasok. Setiap tujuan strategik
akan berdampak pada jenis biaya yang harus dibebankan. Memproduksi
produk kualitas tinggi dengan biaya murah dihadapkan pada biaya kualitas,
memproduksi produk tepat waktu sesuai pesanan berdampak pada biaya
keterlambatan, sedangkan memproduksi produk berkualitas untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan di masa depan terkendala oleh biaya kualitas dan
fleksibilitas.

Sistem pengukuran kinerja rantai pasok yang ada saat ini memang belum bisa
memenuhi kebutuhan karena sangat tergantung pada aspek biaya sebagai alat
ukur utama (atau bahkan satu-satunya), tidak inklusif, dan sering tidak selaras
dengan tujuan strategis perusahaan. Sumber daya, output yang diinginkan, dan
fleksibiltas merupakan variabel utama bagi keberhasilan rantai pasok (Beamon
1999). Oleh karena itu, sistem pengukuran rantai pasok harus menekankan pada
tiga ukuran kinerja tersebut.

Sebuah pendekatan baru dalam pengukuran kinerja rantai pasok yang sudah
menempatkan aspek fleksibilitas, yakni seberapa sigap sistem rantai pasok
merespon ketidakpastian, disamping dua perspektif yang sudah ada di atas. Dalam
perspektif baru ini, ketiga ukuran kinerja rantai pasok disebut sebagai sumber
daya, output, dan fleksibilitas, dan masing-masing tujuannya dapat diurai dalam
dua tabel pada halaman berikut. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pelanggan
dan fleksibilitas telah mengakomodir kepentingan dari sisi pelanggan dan
perubahan lingkungan dalam mengukur kinerja rantai pasok. Perspektif pelanggan
jelas mengedepankan bagaimana kepentingan pelanggan terakomodir dalam
sistem rantai pasok dan memberikan layanan tingkat tinggi, sementara fleksibilitas
merupakan kemampuan sistem merespon perubahan lingkungan yang memang

13
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

penuh dengan ketidakpastian. Sedangkan unit pengukuran untuk setiap jenis


pengukuran tercantum dalam tabel 2, digunakan secara simultan untuk
mengetahui kinerja rantai pasok.
Tabel 1. Tujuan pengukuran kinerja rantai pasok
Tipe Tujuan Rasional
pengukuran

Sumber daya Efisiensi tingkat tinggi


Pengelolaan sumber daya yang efisien merupakan
aspek kriti untuk profitabilitas.
Output Layanan pelanggan Output yang tidak diterim menyebabkan pelanggan
tingkat tinggi pindah ke pesaing.
Fleksibilitas Kemampuan merespon Dalam lingkungan tak dapat diprediksi, rantai pasok
perubahan perubahan harus mampu merespon perubahan.
lingkungan

Tabel 2. Unit pengukuran kinerja rantai pasok


Tipe pengukuran Unit pengukuran
Sumber daya Total cost Inventory
Distribution cost ROI
Manufacturing cost
Output Sales On-time deliveries
Profit Backorder/stockout
Fill rate Customer response time
Fleksibilitas Sistem rantai pasok yang fleksibel, yakni kemampuan sistem
mengakomodasi fluktuasi volume dan jadwal dari pemasok, pabrikan,
dan pelanggan.

Pendekatan Balanced Scorecard kiranya dapat lebih menggambarkan bagaimana


pengukuran kinerja rantai pasok secara komprehensif dilakukan.

Balanced Scorecard
Balanced Scorecard (BSC) dikembangkan dengan latar belakang bahwa ukuran
finansial saja tidak cukup untuk mengevaluasi kinerja manajemen. Ukuran-ukuran
finansial, seperti ROI, pertumbuhan pendapatan, biaya retensi pelanggan,
pendapatan dari produk baru, pendapatan per karyawan, dan sebagainya,
belumlah cukup karena hanya mencerminkan hasil di masa lalu. Indikator-

14
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

indikator ini perlu dilengkapi dengan pengukuran pendorong penciptaan kinerja


keuangan di masa yang akan datang, atau sering disebut lead indicators, yang
meliputi pendapatan gabungan, kedalaman hubungan denga stakeholder,
kepuasan pelanggan, pengembangan produk baru, diversifikasi, dan juga kontrak-
kontrak yang dilakukan (Craig 2005). Balanced Scorecard ini dapat digunakan juga
untuk mengukur kinerja rantai pasok, seperti diungkapkan oleh Beamon bahwa
indikator-indikator yang menunjukkan tingkat pencapaian setiap titik rantai pasok
untuk sebuah atau beberapa produk dapat berbentuk indikator finansial maupun
non finansial (Beamon 1999).

Berbagai konsep pengukuran kinerja sebenarnya telah banyak diimplementasikan,


namun lebih banyak menyoroti sisi finansial. Balanced Scorecard (BSC) bisa
menjadi sebuah alternatif pengukuran kinerja karena metoda ini tetap menyoroti
sisi pengukuran finansial sebagai ikhtisar kritis kinerja manajemen dan bisnis,
tetapi juga melibatkan aspek-aspek kinerja lain seperti pelanggan, proses internal,
karyawan, dan kinerja sistem secara terintegrasi dan terukur secara finansial
dalam jangka panjang (Kaplan, 1996).

BSC merupakan sebuah sistem manajemen kinerja yang dapat digunakan oleh
organisasi apapun jenisnya, untuk menyelaraskan visi dan misinya dengan
kebutuhan pelanggan dan operasional bisnis, mengelola dan mengevaluasi strategi
bisnis, memantau peningkatan efisiensi operasi, membangun kapasitas
organisasional, dan mengomunikasikan kemajuan bisnis kepada seluruh karyawan.
Metode ini juga memungkinkan perusahaan mengukur kinerja keuangan dan sisi
pelanggan, operasi, dan kapasitas organisasional (Rohm 2005).

BSC merupakan sebuah model yang mengaitkan antara strategi bisnis dengan
pengukuran kinerjanya dalam konteks pengendalian kinerja bisnis (Koning 2007).
Pendekatan BSC dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:

15
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

− Bagaimana penampilan perusahaan dimata para pemegang saham? (perspektif


keuangan).
− Bagaimana pandangan para pelanggan terhadap perusahaan? (perspektif
pelanggan).
− Apa yang menjadi keunggulan perusahaan? (Perspektif proses internal).
− Apa perusahaan harus terus menerus melakukan perbaikan dan menciptakan
nilai secara berkesinambungan? (Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan).

BSC menyajikan sebuah kerangka kerja untuk perumusan manajemen strategis


dengan menerjemahkan tujuan strategis perusahaan kedalam sekumpulan tujuan
yang terintegrasi dengan indikator kinerja, yang oleh Kaplan dan Norton
dikelompokkan dalam keempat perspektif tersebut dan kerangka kerjanya
tergambar dalam gambar 4 kerangka kerja BSC berikut.

Gambar 4. Kerangka kerja BSC untuk menerjemahkan strategi kedalam terminologi


operasional
Sumber: Kaplan dan Norton (2007).

16
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

Masing-masing perspektif pengukuran berdasarkan kerangka kerja tersebut dapat


diuraikan sebagai berikut:

- Pengukuran keuangan
Ukuran ini menunjukkan apakah strategi, implementasi, dan eksekusi perusahaan
mendukung perbaikan mendasar. Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian
dalam BSC karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi
yang terjadi akibat keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil. Dalam
perspektif BSC, Nightingale merumuskan ukuran keuangan berupa cash flow ROI,
pendapatan residual, persentase pendapatan dari inovasi, residual cash flow, dan
pertumbuhan pendapatan (Nightingale 2001).

Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan fokus dari tujuan-
tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran perspektif
keuangan dibedakan pada masing-masing tahap dalam siklus bisnis, yang oleh
Kaplan dan Norton dibedakan menjadi tiga tahap; tumbuh, bertahan, dan panen.
Setiap tahap memiliki tiga motif keuangan yang menjadi landasan dalam
perumusan strategi bisnis, dan ketiganya membutuhkan ukuran keuangan yang
berbeda. Tiga motif tersebut adalah perpadudan antara hasil dan pertumbuhan,
pengurangan biaya atau peningkatan produktivitas, dan utilisasi aset.

Dalam konteks rantai pasok, kinerja keuangan dapat diwujudkan dalam bentuk
nilai yang melekat pada material/komponen, misal untuk WIP dalam bentuk nilai
tambah persediaan, peningkatan profit dari SCM, pangsa pasar, dan berbagai
ukuran kinerja keuangan lainnya (Kleijnen, 2003).

- Pengukuran dari sisi pelanggan


Kaplan dan Norton menjelaskan perspektif ini sebagai cara menciptakan nilai bagi
pelanggan, bagaimana memenuhi kebutuhan pelanggan, dan mengapa pelanggan
bersedia membayarnya. Dalam perspektif ini, perusahaan mengidentifikasi

17
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

pelanggan dan segmen pasarnya, dan menetapkan ukuran kinerja unit bisnis untuk
setiap target pasar. Dapat dikatakan bahwa bagian ini merupakan jantung
scorecard, karena sekali perusahaan gagal memenuhi kebutuhan pelanggan, bisnis
akan ditinggal pelanggan. Menurut Kaplan dan Norton, ukuran kunci dalam
perspektif ini mencakup pangsa pasar, loyalitas pelanggan, akuisisi pelanggan,
kepuasan pelanggan, dan profitibilitas pelanggan.

Pangsa pasar menunjukkan proporsi penguasaan pasar oleh perusahaan dalam


industri (dalam bentuk jumlah pelanggan, nilai belanja, atau jumlah penjualan
dalam unit). Akuisisi pelanggan mengukur jumlah pelanggan baru yang berhasil
diperoleh perusahaan, loyalitas pelanggan merupakan ukuran untuk mengevaluasi
bagaimana perusahaan mempertahankan atau mengelola hubungan jangka
panjang dengan pelanggan. Sedangkan kepuasan pelanggan mengukur tingkat
kepuasan pelanggan berdasarkan kriteria kinerja tertentu, dan profitabilitas
pelanggan mengukur tingkat keuntungan dari setiap pelanggan, yakni selisih
bersih manfaat yang diperoleh terhadap biaya yang dikeluarkan untuk
mempertahankan pelanggan. Perlu diingat bahwa dalam rantai pasok, pelanggan
sebuah perusahaan dimungkinkan menjadi pemasok bagi perusahaan lain dalam
rantai pasok.

Dalam konteks SCM, perspektif ini dapat berupa tingkat pemenuhan produk
(untuk produksi massa) atau kesesuaian dengan spesifikasi produk untuk produk
yang made to order. Dalam beberapa kasus, tingkat pemenuhan yang dikonfirmasi,
penundaan pengiriman, dan juga WIP meski secara internal WIP ini adalah
termasuk dalam pengukuran kinerja internal (Kleijnen, 2003).

- Proses bisnis internal


Dalam perspektif ini perusahaan mengidentifikasi proses internal yang kritis dalam
memenuhi tuntutan pemangku kepentingan (shareholders) dan pelanggan.

18
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

Pengukuran ini fokus pada proses internal yang memberikan dampak paling besar
terhadap kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan keuangan perusahaan.
Kaplan dan Norton mengidentifikasi ada tiga prinsip proses bisnis dalam
perspekftif ini: inovasi, operasi, dan layanan pasca penjualan. Pemikiran ini sejalan
dengan model rantai nilai dari Porter (1990). Ada beberapa ukuran yang bisa
digunakan: produktivitas, kualitas, teknologi, penggunaan kapasitas, waktu
penyerahan, biaya administrasi atau pendapatan total, penyerahan tepat waktu,
waktu tunggu, dan lain-lain. Dalam perspektif BSC, Nightingale merumuskan
ukuran proses bisnis internal berupa waktu proses keseluruhan, pengurangan
pemborosan, dan penyerahan tepat waktu (Nightingale 2001).

Literatur tentang manajemen rantai pasok dan logistik juga menyoroti pentingnya
pelanggan dan proses bisnis internal sebagi tolok ukur kinerja bisnis. Lai dkk
mengemukakan bahwa kinerja manajemen rantai pasok dalam industri
transportasi logistik diukur berdasarkan perspektif para pihak dalam rantai pasok
industri ini: efektivitas layanan terhadap pengirim, efektivitas layanan terhadap
penerima, dan efisiensi operasi dalam penyediaan layanan tersebut (Lai 2004).

Kleijnen menemukan lima tolok ukur kinerja dalam sistem manajamen rantai
pasok suatu perusahaan multinasional: (1) tingkat pemenuhan (fill rate), (2)
tingkat pemenuhan yang dikonfirmasi (confirmed fill rate), (3) penundaan yang
diperbolehkan (response delay), (4) persediaan, dan (5) penundaan aktual
(Kleijnen 2003). Tingkat pemenuhan merupakan persentase order yang dipenuhi
tepat waktu. Jadi dalam hal ini tidak ada penundaan pemenuhan pesanan. Tingkat
pemenuhan dikonfirmasi merupakan persentase order yang dipenuhi berdasarkan
waktu yang disepakati, dan pemenuhannya tidak melebihi batas waktu yang
disepakati. Penundaan yang diperbolehkan merupakan perbedaan antara waktu
pemenuhan order yang diminta dengan waktu yang disepakati. Persediaan
menggambarkan jumlah barang dalam proses, umumnya dinotasikan sebagai

19
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

persentase dari penjualan. Penundaan aktual merupakan selisih antara waktu


pemenuhan order yang sebenarnya terhadap waktu pemenuhan yang dijanjikan.
Jika tingkat pemenuhan kurang dari 100% maka terjadi penundaan. Oleh karena
itu, penundaan aktual dalam hal ini merupakan jumlah keseluruhan penundaan
yang terjadi. Utilisasi sumber daya juga sering menjadi rujukan istilah untuk
menjabarkan perspektif proses bisnis internal dalm SCM.

- Pembelajaran dan pertumbuhan


Ini merupakan perspektif yang memungkinkan perusahaan menjamin tersedianya
kapasitas untuk operasional bisnis jangka panjang sebagai prasyarat untuk tetap
hidup dalam jangka panjang. Dalam perspektif ini, perusahaan tidak hanya
menaruh perhatian pada apa yang harus dilakukan dan bagaimana membangun
pengetahuan dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan, tapi juga bagaimana
mempertahankan efisiensi dan produktivitas proses bisnis yang dapat
menciptakan nilai bagi pelanggan. perspektif ini mensyaratkan perlunya
identifikasi infrastruktur yang harus dibangun perusahaan untuk pertumbuhan dan
perbaikan jangka panjang. Dalam konteks rantai pasok, pembelajaran dan
pertumbuhan diarahkan pada upaya inovasi rantai pasok, dan teknologi informasi
sangat penting perannya di sini.

Secara keseluruhan, kinerja rantai pasok sebagai salah satu pengungkit daya saing
dapat dijelaskan pada gambar pada halaman berikut. Dalam gambar tersebut
terlihat bahwa kolaborasi dan harmonisasi kapasitas, informasi, kompetensi inti,
modal, dan SDM beserta hubungan yang kuat dan saling menguntungkan antara
pemasok dengan perusahaan (melalui Supplier Relationship Management-SRM)
dan antara perusahaan dengan pelanggan (melalui Customer Relationship
Managemen-CRM) dapat menentukan apakah pesaing eksisting baru dapat
memberikan nilai lebih baik bagi pelanggan atau tidak. Bagi pesaing baru,

20
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

kolaborasi tersebut akan dapat menciptakan dinding bagi perusahaa yang akan
memasuki pasar.

Dalam gambar
Gambar tersebut
5. Model terlihat
kinerja SC sebagaibahwa kolaborasi
pengungkit dan harmonisasi kapasitas,
daya saing

Apapun alat atau model pengukuran kinerja rantai pasok, pada akhirnya kinerja
rantai pasok sangat ditentukan oleh kolaborasi antar titik dalam rantai pasok
tersebut, sebagaimana tercermin pada gambar 5 di atas, untuk memberikan
produk terbaik, unggul dan memiliki nilai paling tinggi dibanding pesaing.

Kesimpulan
1. Daya saing merupakan salah satu ukuran untuk menyatakan kemampuan
perusahaan dalam memberikan nilai unggul bagi pelanggan. Nilai pelanggan itu
sendiri terbentuk melalui proses yang melibatkan banyak entitas bisnis yang
membentuk model rantai pasok.
2. Daya saing dapat diukur dari berbagai perspektif, salah satunya adalah
perspektif manajemen rantai pasok, dimana nilai pelanggan yang unggul akan

21
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

dapat terbangun jika seluruh titik dalam rantai pasok berkolaborasi membuat
dan menyerahkan produk sesuai dengan keinginan dan harapan pelanggan.
3. Pengukuran kinerja rantai pasok menekankan pada tiga tipe pengukuran:
sumber daya berkaitan dengan efisiensi operasi, output berkaitan dengan
operasi, dan fleksibilitas untuk mengakomodir perubahan-perubahan yang
terjadi baik pada titik pasokan, pabrikasi, maupun pelanggan.
4. Balanced Scorecard merupakan salah satu model pengukuran kinerja yang bisa
diadopsi untuk mengukur kinerja rantai pasok. Dalam konteks SCM, model
Balanced Scorecard untuk mengelompokkan perspektif pengukuran kinerja,
sementara kriteria-kriteria teknis tetap menggunakan model-model
pengukuran yang relevan, termasuk alat-alat penilaian keuangan dan operasi.

BIBLIOGRAPHY
APICS. (2008). Overview of Supply Chain Management. VA: APICS-The Association of
Operations Management.

Beamon, Benita M. (1999). Measuring Supply Chain Performance. International Journal of


Operations & Production Management, Vol. 19 No. 3, pp. 275-292.

Begg, Iain (1999). Cities and Competitiveness. Urban Studies, vol. 36 No. 5-6 , pp. 795-809.

Bolstorff, Peter dan Robert Rosenbaum (2007). Supply Chian Management Excellence; a
Handbook for Dramatic Improvement Using the SCOR Model. NY: Amacom.

Bowersox, Donald J., David J. Closs, dan M. Bixby Coocker (2007). Supply Chain Logistics
Management, 2nd ed. NY: McGraw-Hill.

Bruzzone, Agustino (2002). Introduction to the Special Issue: Supply Chain Management.
SIMULATION, Vol. 78, Issue 5 , pp. 283-284.

Craig, Justin dan Ken Moores (2005). Balanced Scorecards to Drive the Strategic Planning
of Family Firms. Family Business Review, Vol. XVIII No. 2, pp. 105-123.

Gatignon, H. dan Xuereb J.M. (1997). Strategic orientation of the firm and new product
performance. Journal of Marketing Research, Vol. 34, No. 1, pp. 77-90.

22
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

Ghosh, Samir dan Subrata Mukherjee (2006). Measurement of corporate performance


through Balance Scorecard: an Overview. Vidyasagar University Journal of
Commerce, Vol. 11, pp. 60-70.

Gunasekaran, A., C. Pattel, Ronald E., dan McGaughey (2004). A framework for supply
chain performance measurement. International Journal of Production Economics,
vol. 87, pp. 333-347.

Haake, Sven (2002). National Business System and Industry-specific Competitiveness.


Organization Studies, pp. 711-736.

Hamel, Gary dan C.K. Prahalad (1994). Competing for the Future. Harvard Business
Review, ed. July-August , pp. 1-9.

Jin Han, K., Namwoon Kim, dan Rajendra K. Srivastava (1998). Market Orientation and
Organizational Performance: Is Innovation a Missing Link? The Journal of
Marketing, Vol. 62, No. 4, pp. 30-45.

Henricsson, J.P.E. dan Stefan Ericcsson (2005). Measuring Construction Industry


Competitiveness: A Holistic Approach. The Queensland University of Technology
Research Week International Conference (pp. 4-17). Brisbane: Queensland
University of Technology.

Heywood, Christopher dan Russel (2008). The sustainable competitive advantage model
for corporate real estate. Journal of Corporate Real Estate, Vol. 10, No. 2, 85-109.

I Nyoman Pujawan (2004). Assessing supply chain flexibility: a conceptual framework and
case study. International Journal of Integrated Supply Management, Vol. 1, No. 1,
pp. 79-97.

Kaplan, Robert S. dan David P. Norton (1996). The Balanced Scorecard: Translating
Strategy into Action. Boston: Harvard Business School.

Kaplan, Robert S. dan David P. Norton (2007, July-August). Using the Balanced Scorecard
as a Stratey Management System. Harvard Business Review-Managing for the
Long Term , pp. 1-14.

Kleijnen, Jack P.C. dan Martin Smith (2003). Performance metrics in supply chain
management. Journal of the Operational Research Society, vol. 11 No. 11 , 1-8.

de Koning, Henk dan Jeroen de Mast (2007). The CTQ Flowdown as a Conceptual Model of
Project Objectives. Quality Management Journal, vol. 14 issue 2,pp. 19-28.

23
KINERJA RANTAI PASOK SEBAGAI PENGUKUR DAYA SAING

Lai, Kee-Hung, E.W.T Ngai, dan T.C.E. Tang (2004). An empirical study ofsupply chain
performance in transport logistics. International Journal of Production Economics ,
321-331.

Maskell, Peter dan Anders Malmberg (1999). The Competitiveness of Firms and Regions:
‘Ubiquitification’ and the Importance of Localized Learning. European Urban and
Regional Studies, Vol. 6, No. 1, pp. 9-25.

McKiernan, P. (1997). Strategy past; strategy futures. Long Range Planning, Vol. 30, pp.
690-708.

Nightingale, D. (2001). Strategic Measurement in the Lean Enterprise. -: Massachusset


Institute of Technology.

Porter, Michael E. (1985). Competitive Advantage; Creating and Sustaining Superior


Performance. N.Y.: The Free Press.

Richard, Pierre J. dan Timothy M. Devinney (2009). Measuring Organizational


Performance: Towards Methodological Best Practice. Journal of Management, Vol.
35, No. 3, pp. 718-804.

Rohm, Howard dan Larry Halbach (2005). Developing and Using Balanced Scorecard
Performance Systems. -: Balanced Scorecard Institute.

Shafaei, Rasoul (2009). An analytical approach to assessing the competitiveness in the


textile industry. Journal of Fashion Marketing and Management, Vol. 13 No. 1, pp.
20-36.

Storey, John dan Caroline Emberson (2006). Supply chain management: theory, practice
and futur challenge. International Journal of Operations & Production
Management, Vol. 26, No. 7, pp. 754-774.

24

You might also like