You are on page 1of 10

Definisi/Pengertian Bakteri, Ciri-Ciri Dan Peranan Bakteri

Bagi Kehidupan Manusia


Mon, 26/05/2008 - 11:37pm — godam64

Bakteri adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan tersebar luas dibandingkan
dengan organisme lainnya di bumi. Bakteri umumnya merupakan organisme uniseluler (bersel
tunggal), prokariota/prokariot, tidak mengandung klorofil, serta berukuran mikroskopik (sangat
kecil).

Bakteri berasal dari kata bahasa latin yaitu bacterium. Bakteri memiliki jumlah spesies mencapai
ratusan ribu atau bahkan lebih. Mereka ada di mana-mana mulai dari di tanah, di air, di
organisme lain, dan lain-lain juga berada di lingkungan yang ramah maupun yang ekstrim.

Dalam tumbuh kembang bakteri baik melalui peningkatan jumlah maupun penambahan jumlah
sel sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni seperti ph, suhu temperatur, kandungan garam,
sumber nutrisi, zat kimia dan zat sisa metabolisme.

Ciri-Ciri Bakteri :
- Umumnya tidak berklorofil
- Hidupnya bebas atau sebagai parasit / patogen
- Bentuknya beraneka ragam
- Memiliki ukuran yang kecil rata-rata 1 s/d 5 mikron
- Tidak mempunyai membran inti sel / prokariot
- Kebanyakan Uniseluler (memiliki satu sel)
- Bakteri di lingkungan ekstrim dinding sel tidak mengandung peptidoglikan, sedangkan yang
kosmopolit mengandung peptidoglikan

Manfaat/Kegunaan Bakteri Yang Menguntungkan Bagi Kehidupan :


1. Membantu menyuburkan tanah dengan menghasilkan nitrat
2. Pengurai sisa makhluk hidup dengan pembusukan
3. Fermentasi dalam pembuatan makanan dan minuman
4. Penghasil obat-obatan seperti antibiotik
5. Mengurai sampah untuk menghasilkan energi
6. Membantu dalam pembuatan zat-zat kimia, dll

Dampak Buruk Bakteri Yang Merugikan Bagi Kehidupan Manusia:


1. Menyebabkan penyakit bagi makhluk hidup termasuk manusia (bakteri parasit/patogen)
2. Membusukkan makanan yang kita miliki
3. Merusak tanaman dengan serangan penyakit yang merugikan (bakteri parasit/patogen)
4. Menimbulkan bau yang tidak sedap hasik aktivitas pembusukan
5. Membuat tubuh manusia kotor dipenuhi bakteri yang mengakibatkan bau badan

bPERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT (Lactobacillus plantarum)


TERHADAP MASA SIMPAN FILET NILA MERAH
PADA SUHU RENDAH
Oleh :
IIS ROSTINI, S.Pi
NIP. 132317114
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2007
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : PERANAN BAKTERI ASAM LAKTAT (Lactobacillus
plantarum) TERHADAP MASA SIMPAN FILET NILA
MERAH PADA SUHU RENDAH
PENULIS : IIS ROSTINI, S.Pi
NIP : 132317114
Jatinangor, Agustus 2007
Menyetujui :
Kepala Laboratorium
Teknologi Industri Hasil Perikanan
Evi Liviawaty, Ir., MSi
NIP 131760488
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya
ilmiah ini berjudul “Peranan Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus plantarum) terhadap
Masa Simpan Filet Nila Merah pada Suhu Rendah”
Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran yang telah
memberikan dukungan bagi penulis.
2. Ketua Program Studi Perikanan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan
dukungan bagi penulis untuk melaksanakan kegiatan ilmiah di bidang perikanan.
3. Evi Liviawaty, Ir., MSi, selaku Kepala Laboratorium Teknologi Industri Hasil
Perikanan atas masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini.
4. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata semoga apa yang telah dilaksanakan oleh penulis dapat memberikan
manfaat bagi pengembangan pengetahuan di bidang perikanan.
Jatinangor, Agustus 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Bab Halaman
Lembar Pengesahan .…………………………………………………..... ii
Kata Pengantar ………………………………………………………….. iii
Daftar Isi ………………………………………………………………… iv
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
II. PERUMUSAN MASALAH …………………………………………… 4
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Bakteri Asam Laktat (BAL) …………………………………….. 8
3.2 Filet Nila Merah ………………………………………………… 10
3.3 Masa Simpan Filet Nila Merah ………………………………….. 11
3.4 Penyimpanan pada Suhu Rendah ………………………………... 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………. 15
V. KESIMPULAN …………………………………………………………... 18
Daftar Pustaka ……………………………………………………………. 19
I. PENDAHULUAN
Nila Merah merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang
mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan karena banyak digemari oleh
masyarakat. Hal ini disebabkan nila merah memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan jenis ikan air tawar lainnya, yaitu mudah dibudidayakan,
memiliki daging yang tebal dengan rasa dan kandungan duri yang sedikit sehingga
dapat diolah menjadi berbagai produk olahan (Aswar, 1995).
Hasil pengolahan nila merah yang mulai digemari oleh masyarakat adalah
filet. Produk filet memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah dapat diolah lebih
lanjut menjadi berbagai produk olahan lain, dapat dipasarkan dalam bentuk penyajian
yang menarik, serta memudahkan dalam pengangkutan (Liviawaty, Afrianto, dan
Deden, 1998).
Seperti komoditas perikanan lainnya, filet juga mempunyai sifat yang mudah
busuk (Perishable food). Produk filet lebih rentan terhadap kontaminasi dan
penurunan mutu daripada ikan utuh, konsekuensinya adalah penanganan dan
pengolahannya membutuhkan perhatian ekstra yang melebihi komoditas olahan yang
lain (Suparno, 1992).
Proses pembusukan harus dihambat agar sebagian besar produk perikanan
khususnya filet dapat dimanfaatkan secara maksimal, salah satunya dengan
pengembangan beberapa cara pengawetan. Cara pengawetan pada filet antara lain
dengan penyimpanan pada suhu rendah dan penambahan zat aditif sebagai bahan
pengawet. Penyimpanan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup
jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini selain dapat menurunkan aktivitas
respirasi juga dapat menghambat perkembangbiakan bakteri pembusuk yang terdapat
di permukaan daging. Cara pengawetan dengan suhu rendah dibedakan menjadi dua
yaitu pembekuan dan pendinginan. Pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan
untuk beberapa tahun, sedangkan pendinginan dapat mengawetkan bahan pangan
selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan pangannya
(Winarno, 1993). Suhu yang biasa digunakan untuk penyimpanan bahan pangan pada
pendinginan adalah 5-10oC (Buckle et al., 1987)
Teknik pengawetan terhadap bahan pangan telah dilakukan di berbagai negara
maju dengan berbagai cara. Kemajuan dalam teknik ini disebabkan oleh kemajuan
dalam ilmu alam dan ilmu kimia yang merupakan dasar teknologi makanan
(Poerwosoedarmo dan Sediaoetama, 1977). Salah satu cara pengawetan produk
perikanan yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu alam adalah pengawetan ikan
secara biologis (mikrobiologis) dengan menambahkan kelompok bakteri asam laktat
sebagai bahan pengawet (Suriawiria, 1983).
Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk
merombak senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga
dihasilkan asam laktat. Sifat ini penting dalam pembuatan produk fermentasi,
termasuk fermentasi ikan. Produk asam oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat,
hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat
terhambat. Bakteri pathogen seperti Salmonella dan Staphylococcus aureus yang
terdapat pada suatu bahan pangan akan dihambat pertumbuhannya jika di dalam
bahan pangan tersebut terdapat kelompok bakteri lainnya yang tergolong bakteri asam
laktat yaitu golongan Lactobacillaceae (Fardiaz, 1992). Pemberian bakteri asam laktat
dapat menurunkan pH bahan pangan, Penurunan pH tersebut dapat memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Buckle et al., 1987). Keadaan asam akibat
penurunan pH akan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Ilyas, 1983).
Salah satu jenis bakteri asam laktat yang dapat digunakan untuk produk
perikanan adalah Lactobacillus plantarum. Jenis bakteri asam laktat ini digunakan
untuk menghambat penurunan mutu filet nila merah sehinga dapat disimpan dalam
waktu lebih lama. Menurut Jenie dan Rini (1995) Lactobacillus plantarum
mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroorganisme pathogen pada bahan
pangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan bakteri asam
laktat lainnya.
II. PERUMUSAN MASALAH
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah membusuk Hal ini dikarenakan
daging ikan merupakan substrat yang ideal untuk kehidupan dan pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk, terutama bakteri. Kandungan air yang terdapat di dalam
daging ikan cukup tinggi sehingga sangat sesuai untuk pertumbuhan bakteri (Irawan,
1995).
Salah satu produk yang mudah mengalami pembusukan karena adanya
kontaminasi dan penurunan mutu akibat serangan bakteri adalah filet. Untuk
mencegah proses pembusukan tersebut, maka perlu dikembangkan berbagai cara
pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat agar sebagian besar ikan yang
diproduksi dapat dimanfaatkan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Filet nila merah yang
disimpan pada suhu 5-10oC dapat diterima panelis hingga hari ke-7 berdasarkan batas
penerimaan terhadap bau serta dapat menghambat pertumbuhan bakteri hinnga hari
ke-7 (Liviawaty, Afrianto, dan Hamdani, 1999). Berdasarkan hasil penelitian Hawa
(2001) jumlah koloni bakteri maksimum pada filet nila merah yang disimpan pada
suhu 5-10oC pada hari ke-7 adalah 6,7x106 colony form unit/gram. Untuk
menghambat penurunan mutu dan meningkatkan daya simpan filet, maka teknologi
penanganannya perlu ditingkatkan, diantaranya adalah dengan penyimpanan pada
suhu rendah dan pemberian zat aditif sebagai bahan pengawet.
Proses pengawetan ikan dapat dilakukan secara biologis (mikrobiologis),
proses ini disebut dengan sistem ensiling. Cara ensiling sudah banyak digunakan
untuk pengawetan bahan-bahan alami secara murah, mudah, sederhana, dan aman
serta akan memperbaiki sifat-sifat organoleptik bahan pangan (Suriawiria, 1995).
Pada awalnya cara tersebut hanya dipergunakan untuk mengawetkan hijauan, tetapi
kemudian dikembangkan untuk pengawetan semua bahan alami termasuk daging,
ikan, telur, dan sayuran dengan hasil yang baik dan memuaskan (Von Hofsten dan
Wirahadikusumah, 1972).
Ensiling merupakan proses biokimia yang dilakukan oleh kelompok bakteri
laktat yaitu Lactobacillus dengan hasil akhirnya antara lain mendapatkan asam laktat
dan pH yang rendah (Nilsson dan Rydin, 1965). Asam laktat dapat bersifat
mengawetkan bahan pangan (Winarno, 1994). pH yang rendah dapat menghambat
kontaminasi mikroorganisme pembusuk, mokroorganisme pathogen serta
mikroorganisme penghasil racun akan mati (Sperling, 1968 dalam Suriawiria, 1983).
Lactobacillus juga dapat menghasilkan H2O2 akibat adanya oksigen dan berfungsi
sebagai antibakteri yang dapat menyebabkan adanya daya hambat terhadap
pertumbuhan mikroorganisme lain. Lactobacillus mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan antibiotik yang disebut bakteriosin (Suriawiria, 1983). Pada pH rendah
tersebut nilai nutrisi dan organoleptik dapat dipertahankan (Lovern 1955, Amano
1962, dan Meseck, 1969).
Menurut Von Hofsten dan Wirahadikusumah (1977) ada tiga jenis bakteri
asam laktat yang berpengaruh selama proses ensiling, yaitu Leuconostoc
mesenteroides, Streptococcus faecalis, dan Lactobacillus plantarum. Bakteri yang
mempunyai peranan penting sebagai penghasil asam laktat adalah L. plantarum.
Berdasarkan hasil penelitian Jenie dan Rini (1995) L. plantarum mempunyai daerah
penghambat terbesar terhadap Listeria monocytogenes dibandingkan dengan bakteri
asam laktat lainnya. Listeria monocytogenes merupakan bakteri pathogen yang
penting terutama pada makanan dingin seperti susu, daging sapi, sosis kering, hasil
laut dan sayur-sayuran, karena bakteri ini bersifat pathogen (Schofield, 1992). L.
plantarum merupakan spesies Lactobacillus yang mampu memproduksi H 2O2 dalam
jumlah yang tinggi (Jenie dan Rini, 1995). Lactobacillus mampu mengakumulasi
H2O2 selama penyimpanan dalam refrigerasi tanpa pertumbuhan kultur dan produksi
asam, hal ini memungkinkan aplikasi kultur laktat untuk pengawetan makanan tanpa
harus melalui proses fermentasi (Gilliland, 1985).
Berbagai cara telah dilakukan agar proses ensiling berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, terutama yang menyangkut kehadiran bakteri asam laktat di dalam
substrat. Pengontrolan substrat selama proses ensiling harus benar-benar terjamin,
antara lain dalam bentuk penambahan starter yang kaya akan Lactobacillus,
khususnya L. plantarum (Rydin dan Linggren, 1979 dalam Suriawiria, 1983). Team
peneliti ensiling di lingkungan TPI ( Tropical Product Institute) London, juga telah
melakukan penambahan biakan bakteri asam laktat murni berupa starter dalam bentuk
preparat terhadap campuran ikan dan tepung serealia sehingga proses ensiling dapat
berhasil baik.
Menurut Suriawiria (1983) starter adalah biakan pemula bakteri laktat yang
digunakan untuk pengawetan ikan secara biologis, pada umumnya terdiri dari
L. plantarum yang jumlahnya 109 cfu/gram sustrat. Menurut Raccach et al. (1979)
L. plantarum yang dapat digunakan dalam memperpanjang daya simpan jumlahnya
adalah sebanyak 108 sampai dengan 109 cfu/ml.
Berdasarkan hasil penelitian Rostini (2002), diketahui bahwa jumlah bakteri
L. plantarum 108 cfu/ml, 109 cfu/ml, dan 1010 cfu/ml berada pada fase logaritmik.
Fase logaritmik adalah fase pertambahan populasi secara teratur menjadi dua kali lipat
pada interval waktu tertentu (waktu generasi) selama inkubasi (Pelczar dan Chan,
1986). Jumlah L. plantarum 108 cfu/ml berada di awal fase logaritmik sehingga
pertumbuhannya sangat pesat, L. plantarum 109 cfu/ml berada di tengah-tengah fase
logaritmik, dan L. plantarum sebanyak 1010 cfu/ml berada di akhir fase logaritmik
menjelang fase stasioner. Karakteristik organoleptik yang meliputi kenampakan
lendir, aroma, dan tekstur pada filet dengan konsentrasi perendaman dalam larutan
biakan bakteri sebanyak 109 cfu/ml mengalami perubahan ke arah pembusukan pada
hari ke-10. Penyimpanan dilakukan di dalam lemari pendingin pada suhu antara
5-10oC.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL)
Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah
karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Efek bakterisidal dari asam laktat
berkaitan dengan penurunan pH lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga
pertumbuhan bakteri lain termasuk bakteri pembusuk akan terhambat (Amin dan
Leksono, 2001). Pada umunya mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6-8
(Buckle et al., 1987).
Bakteri asam laktat pada ikan merupakan salah satu bagian dari bakteri awal.
Pertumbuhan bakteri ini dapat menyebabkan gangguan terhadap bakteri pembusuk
dan pathogen (Bromerg, dkk., 2001). Bakteri yang termasuk kelompok BAL adalah
Aerococcus, Allococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus,
Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, dan Vagococcus (Ali
dan Radu, 1998).
Pemanfaatan BAL oleh manusia telah dilakukan sejak lama, yaitu untuk
proses fermentasi makanan. BAL merupakan kelompok besar bakteri menguntungkan
yang memiliki sifat relatif sama. Saat ini BAL digunakan untuk pengawetan dan
memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan (Chabela, dkk., 2001). BAL mampu
memproduksi asam laktat sebagai produik akhir perombakan karbohidrat, hidrogen
peroksida, dan bakteriosin (Afrianto, dkk., 2006). Dengan terbentuknya zat antibakteri
dan asam maka pertumbuhan bakteri pathogen seperti Salmonella dan E. coli akan
dihambat (Silalahi, 2000).
Efektivitas BAL dalam menghambat bakteri pembusuk dipengaruhi oleh
kepadatan BAL, strain BAL, dan komposisi media (Jeppensen dan Huss, 1993).
Selain itu, produki substansi penghambat dari BAL dipengaruhi oleh media
pertumbuhan, pH, dan temperature lingkungan (Ahn dan Stiles, 1990).
Lactobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif
dengan temperatur optimal lebih rendah dari 37 oC (Frazier dan Westhoff, 1988).
L. plantarum berbentuk batang (0,5-1,5 s/d 1,0-10 _m) dan tidak bergerak (non
motil). Bakteri ini memiliki sifat katalase negatif, aerob atau fakultatif anaerob,
mampu mencairkan gelatin, cepat mencerna protein, tidak mereduksi nitrat, toleran
terhadap asam, dan mampu memproduksi asam laktat. Dalam media agar, L.
plantarum membentuk koloni berukuran 2-3 mm, berwarna putih opaque, conveks,
dan dikenal sebagai bakteri pembentuk asam laktat (Kuswanto dan Sudarmadji,
1988).
L. plantarum mampu merombak senyawa kompleks menjadi senyawa yang
lebih sederhana dengan hasil akhirnya yaitu asam laktat. Menurut Buckle et al. (1978)
asam laktat dapat menghasilkan pH yang rendah pada substrat sehingga menimbulkan
suasana asam. L. plantarum dapat meningkatkan keasaman sebesar 1,5 sampai 2,0%
pada substrat (sarles et al., 1956). Dalam keadaan asam, L. plantarum memiliki
kemampuan untuk menghambat bakteri pathogen dan bakteri pembusuk (Delgado et
al., 2001)
Pertumbuhan L. plantarum dapat menghambat kontaminasi dari
mikrooganisme pathogen dan penghasil racun karena kemampuannya untuk
menghasilkan asam laktat dan menurunkan pH substrat, selain itu BAL dapat
menghasilkan hidrogen peroksida yang dapat berfungsi sebagai antibakteri
(Suriawiria, 1983). L. plantarum juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan
bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik (Jenie dan Rini, 1995).
3.2 FILET NILA MERAH
Nila merah merupakan salah satu jenis ikan yang berpotensi sebagai bahan
baku filet, karena memiliki daging tebal dengan sedikit duri, warna daging putih
bersih, dengan tekstur mirip ikan kakap merah (Djazuli, 2002). Nila merah juga
mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi.
Tabel 1. Komposisi Kimia Nila Merah dalam 100 gram Daging
Komposisi Berat basah (%)
Air
Protein
Lemak
Abu
Mineral
77,0
17,8
2,8
1,2
1,2
Sumber : Kusumawardhani (1988)
Filet ikan adalah lempengan daging ikan tanpa tulang yang diperoleh dengan
cara memotong daging sejajar dengan tulang belakang (Dore, 1991). Rendemen filet
yang dihasilkan biasanya antara 30% sampai dengan 40% dari bobot ikan (Liviawaty,
2001). Filet ikan dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu filet berkulit (skin-on fillet),
filet tidak berkulit (skinless fillet), filet tunggal (single fillet) yaitu lempengan daging
ikan yang disayat memanjang tulang belakang dengan bagian kulit perut dipotong
sehingga dari satu ekor ikan diperoleh dua filet tunggal, dan filet kupu-kupu (butterfly
fillet) yaitu dua filet tunggal dari seekor ikan yang dihubungkan semuanya oleh
bagian kulit perut yang tidak dipotong (Ilyas, 1983).
Penurunan mutu pada filet dapat diketahui dengan menggunakan beberapa
cara yaitu uji kimiawi, uji bakteriologis (mikrobiologis), dan uji organoleptik. Uji
organoleptik dilakukan untuk menilai sejauh mana produk menyimpang dari mutu
ikan yang masih segar dengan menggunakan panca indera dan mengamati perubahan
terhadap karakteristik organoleptik yang terdiri dari kenampakan atau rupa, warna,
aroma, rasa, dan tekstur produk.
3.3 MASA SIMPAN FILET NILA MERAH
Masa simpan atau umur simpan bahan pangan adalah waktu tenggang atau
waktu selang suatu bahan pangan dapat disimpan dalam keadaan masih dapat
dikonsumsi. Masa simpan erat kaitannya dengan proses pembusukan. Salah satu cara
untuk memperpanjang masa simpan adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah.
Penyimpanan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat reaksi kimia
aktivitas enzim pada bahan pangan serta dapat menghambat atau menghentikan
pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme (Frazier dan Westhoff, 1978). Masa
simpan bahan pangan segar relatif singkat meskipun pada suhu rendah. Relatif
singkatnya masa simpan bahan pangan disebabkan adanya bakteri psikrofilik gram
negatif dari kelompok Pseudomonas dan Achromobacter dalam jumlah besar yang
mengakibatkan terjadinya proses pembusukan karena degradasi protein, lemak dan
perubahan warna sehingga akan mempersingkat masa simpan (Reddy et al., 1975).
Filet nila memiliki masa simpan yang relatif singkat, hal ini disebabkan karena
daging ikan mengandung air yang tinggi sehingga merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroba pembusuk (Reddy dan Chen, 1975). Jumlah bakteri merupakan
suatu indikator pembusukan yang terjadi pada ikan dan ikan dikatakan busuk apabila
jumlah bakteri sudah mencapai 105 – 106 cfu/g daging (Ilyas, 1972). Jumlah bakteri
maksimum pada ikan dan kerang adalah 10 6 cfu/g (Elliot dan Michener dalam Jay,
1996). Jumlah bakteri maksimum pada filet adalah 5x10 5 cfu/g (Dewan Standarisasi
Nasional, 1995) dan 106 cfu/g (Connell, 1990). Masa simpan filet bervariasi
tergantung pada waktu pembuatan setelah ikan mati (Liviawaty, 1999) serta proses
penanganan dan penyimpanannya (Marshall, 2002).
Masa simpan erat kaitannya dengan perubahan yang terjadi pada filet, baik
perubahan fisik, biologis maupun kimiawi. Semua perubahan tersebut merupakan
rangkaian proses yang akan menyebabkan filet membusuk, sehingga tidak layak lagi
untuk dikonsumsi.
Proses pembusukan dapat dihambat secara fisik yaitu dengan pengeringan dan
pendinginan, secara kimiawi yaitu dengan penambahan larutan garam, larutan asam
serta untuk produk-produk tertentu penambahan larutan antibiotika, dan secara
biologis yaitu dengan penggunaan mikroba antagonis untuk menghambat aktivitas
bakteri pembusuk.
Bakteri antagonis adalah bakteri yang memiliki sifat berbeda dengan bakteri
yang tidak diharapkan kehadirannya. Penggunaan bakteri asam laktat sebagai mikroba
antagonis cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada
ikan. Bakteri asam laktat mampu memproduksi senyawa anti mikroba berupa asamasam
organik, bakteriosin, dan hidrogen peroksida. Perlakuan perendaman dengan
bakteri asam laktat atau produk-produk metabolitnya pada daging unggas giling
disertai penyimpanan suhu rendah 3 oC, mampu menekan pertumbuhan bakteri
pembusuk hingga hari ke-7 (Raccach dan Baker (1978).
Faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan mikroba
antagonis untuk memperpanjang masa simpan ikan adalah pH rendah (<4,5),
konsentrasi asam organik, kapasitas buffer dari substrat, kandungan hidrogen
peroksida, kompetisi nutrient dengan bakteri lain, produksi antibiotik atau bakteriosin,
dan penurunan potensi oksidasi reduksi (Jay, 1996).
3.4 PENYIMPANAN PADA SUHU RENDAH
Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan
pembusukan pada daging ikan (Hadiwiyoto, 1993). Pada suhu rendah proses
penguraian menjadi lambat, oleh karena itu biasanya untuk mempertahankan
kesegaran ikan dan cara menghambat mikroorganisme, ikan ditempatkan dalam
wadah atau ruangan yang bersuhu dingin (Irawan, 1995). Pendinginan ini hanya
bersifat menghambat pertumbuhan bukan untuk membunuh atau menghentikan
mikroorganisme sama sekali (Winarno, 1993).
Hampir semua bakteri pathogen hanya mampu memperbanyak diri dengan
laju yang lambat pada suhu di bawah 10oC, oleh karena itu makanan yang disimpan di
dalam lemari es cukup aman. Beberapa organisme ada juga yang dapat tumbuh
dengan baik pada suhu kira-kira 5oC sehingga kerisakan dapat terjadi walaupun di
dalam lemari es (Gaman dan Sherrington, 1992).
Tabel 2. Kisaran Suhu untuk Pertumbuhan Mikroorganisme
Suhu Kelompok pertumbuhan (oC)
Mikroorganisme Minimum Optimum Maksimum
Psikrofil
Mesofil
Termofil
-5-0
10-20
25-45
5-15
20-40
45-60
15-20
40-45
60-80
Sumber : Fardiaz (1992)
Mikroorganisme dapat dibedakan atas beberapa kelompok berdasarkan
kemampuannya untuk dapat tumbuh pada kisaran suhu tertentu. Penggolongan
mikroorganisme tesebut yaitu psikrofil, mesofil, dan termofil. Suhu tempat makanan
di simpan, sangat besar pengaruhnya terhadap mikroorganisme yang dapat tumbuh
serta kecepatan pertumbuhannya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penambahan bakteri asam laktat (L. plantarum) dapat menurunkan nilai pH
filet nila merah (Rostini, 2002). Penurunan nilai pH pada filet dapat memperlambat
pertumbuhan bakteri pembusuk, hal ini menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk
yang terdapat di dalam filet dapat diperlambat, sehingga penguraian protein oleh
bakteri pembusuk dapat diperlambat juga. Penurunan nilai pH yang terjadi pada filet
nila merah dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri tidak terlalu cepat karena
dihambat oleh asam laktat yang dihasilkan dari perombakan glikogen oleh L.
plantarum. Dengan terhambatnya pertumbuhan bakteri pembusuk tersebut maka masa
simpan filet nila merah akan menjadi lebih lama. Jumlah bakteri dapat mempengaruhi
karakteristik organoleptik filet nila merah karena metabolisme bakteri dapat
menyebabkan perubahan terhadap kenampakan, lendir, aroma, dan tekstur, sehingga
karakteristik organoleptik akan mudah mengalami kerusakan. Hal ini akan
mempengaruhi terhadap penerimaan filet selama masa penyimpanan.
Nilai pH filet dengan pemberian L. plantarum yang disimpan pada suhu
rendah berkisar antara 5,95-6,90 (Oktaviani, 2004). Nilai pH tersebut dapat
mendukung kemampuan bakteriosin dalam menghambat bakteri pembusuk, karena
bakteriosin sangat aktif pada pH 6,5 (Daeschel, 1990). L. plantarum masih mampu
berkembang dengan baik, dan tetap aktif mengeluarkan senyawa antimikroba
(bakteriosin) pada suhu rendah (Buchanan dan Klawitter, 1991). Karakteristik ini
merupakan keuntungan dalam memanfaatkan bakteriosin untuk memperpanjang masa
simpan filet nila pada suhu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Rostini (2002), dilihat dari jumlah bakteri dan
organoleptik, filet yang diberi L. plantarum 108 cfu/ml dapat diterima sampai hari ke9.
Jumlah bakteri, kenampakan, dan aroma filet yang diberi L. plantarum 109 cfu/ml
dapat diterima sampai hari ke-9, sedangkan lendir dan tekstur diterima sampai hari
ke-8, dan pemberian L. plantarum 1010 cfu/ml berdasarkan jumlah bakteri dan
organoleptik dapat diterima sampai hari ke-7. Hal ini berarti bahwa konsentrasi
pemberian L. plantarum dilihat dari jumlah bakteri dan karakteristik organoleptik,
pemberian L. plantarum dengan konsentrasi 108 cfu/ml menghasilkan lama
penyimpanan yang lebih lama. Berdasarkan hasil penelitian Liviawaty et al. (1999)
filet nila merah yang disimpan pada suhu 5-10oC dapat diterima sampai hari ke-7
berdasarkan batas penerimaan terhadap aroma dan serta dapat menghambat
pertumbuhan bakteri sampai hari ke-7. Dengan demikian berarti bahwa filet nila
merah yang diberi bakteri asam laktat (BAL) jenis L. plantarum memiliki masa
simpan dua hari lebih lama bila dibandingkan dengan filet yang tidak diberi L.
plantarum.
Di dukung oleh hasil penelitian Oktaviani (2004), menyatakan bahwa filet nila
merah yang direndam dengan larutan L. plantarum sebanyak 108 cfu/ml selama 5, 10,
dan 15 menit mampu mencapai masa simpan hingga hari ke-9. Hal tersebut
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk yang menjadi lebih lambat karena L.
plantarum yang diinokulasikan ke dalam filet konsentrasinya cukup padat ssehingga
terjadi persaingan dengan bakter pembusuk dalam memperebutkan nutrient pada
medium filet. Adanya proses persaingan serta terbatasnya jumlah nutrient pada
medium filet menyebabkan pertumbuhan bakteri pembusuk menjadi terhambat (Jenie
et al., 1997).
Filet yang mempunyai masa simpan hingga hari ke-9, pertumbuhan bakteri
pembusuk meningkat pesat pada hari terakhir penyimpanan (hari ke-10). Pada akhir
masa simpan, pertumbuhan L. plantarum mulai terdesak dan senyawa-senyawa
antimikrobanya sulit beraktivitas. Filet nila sebagai medium tumbuh mikroba,
mengalami penumpukkan senyawa metabolit yang merupakan hasil reaksi
metabolisme L. plantarum itu sendiri, dan pada akhirnya senyawa-senyawa metabolit
tersebut akan bersifat racun serta mengganggu keseimbangan pertumbuhan L.
plantarum. Selain itu, kandungan nutrisi sangat diperlukan oleh L. plantarum dari
medium (filet nila) sudah sangat berkurang (Fardiaz, 1992).
V. KESIMPULAN
Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Bakteri
Asam Laktat (BAL) khususnya Lactobacillus plantarum terhadap filet nila merah,
maka dapat disimpulkan bahwa :
_ BAL jenis L. plantarum memperlihatkan efektivitasnya dalam menghambat
bakteri pembusuk pada filet nila merah.
_ Perendaman filet nila merah dalam larutan L. plantarum dapat menghasilkan
penurunan nilai pH substrat sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri
pembusuk yang tidak tahan terhadap kondisi asam atau pH rendah..
_ Efektivitas BAL (L. plantarum) paling tinggi dalam memperpanjang masa
simpan filet nila merah diperoleh melalui perendaman L. plantarum dengan
konsentrasi 108 cfu/ml selama 5, 10, dan 15 menit, yaitu hingga hari ke-9.
_ Filet nila merah yang diberi bakteri asam laktat (BAL) jenis L. plantarum
memiliki masa simpan dua hari lebih lama bila dibandingkan dengan filet
yang tidak diberi Lactobacillus plantarum.
1
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta. 125 hlm.
Afrianto, E., E. Liviawaty., dan I. Rostini. 2006. Pemanfaatan Limbah Sayuran untuk
Memproduksi Biomasa Lactobacillus plantarum sebagai Bahan Edible
Coating dalam Meningkatkan Masa Simpan Ikan Segar dan Olahan.
Laporan Akhir. Unpad. 113 hlm.
Ali. G.R.R. and S. Radu. 1998. Isolation and Screening of Bacteriocin Producing
LAB from Tempeh. University of Malaysia.
Amano, K. 1962. The Influence of Fermentation on The Nutritive Value of Fish
Special Reference Fish Product of South Asia. Fish in Nutrition (FAO), 7 :
180-200.
Aswar. 1995 Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.).
Skripsi. IPB. Bogor. 605 hlm.
Bromberg, R., I. Moreno, C.L. Zaganini, R.R Delboni, V.N. Moreira, J. Oliveira, and
A.L.S. Lerayer. 2001. Characterization of Bacteriocin-Producing Lactic
Acid Bacteria Isolated from Meat and Meat Products (abs). IFT Annual
Meeting 2001. New Orleans, Lousiana.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan.
Universitas Indonesia Press. Jakarta. 365 hlm.
Connell, J.J. 1990. Control of Fish Quality. Fishing News Books. London. 222 hlm.
Dewan Standarisasi Nasional. 1995. Filet Nila Merah Beku. Jakarta. 5 hlm.
Djazuli, Nazori. 2002. Penanganan dan Pengolahan Produk Perikanan Budidaya
dalam Menghadapi Pasar Global : Peluang dan Tantangan. Makalah
Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Dore, Ian. 1991. The New Fresh Seafood Buyer’s Guide. Van Nostrand Reinhold.
New York. 280 hlm.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 320 hlm.
Frazier, W.B., and Dennis C. Westhoff. 1998. Food Microbiology. Third Edition.
McGraw-Hill, Inc. New York. 539 hlm.
Gaman, P.M., dan K.B. Sherrington. 1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 317 hlm.
2
Gilliland, S.E. 1985. Role of Starter Culture Bacteria in Food Preservation. Bacterial
Starter Culturer for Foods. CRC Press. Boca Raton, Florida. 342 hlm.
Hawa, M.P. 2001. Pengaruh Perendaman filet Nila Merah dalam Larutan Kunyit
terhadap Perubahan Karakteristik dan Lama Penyimpanan Filet pada
Suhu Rendah. Skripsi. Unpad. Jatinangor. 60 hlm.
Ilyas. 1972. Peranan Es dalam Industri Perikanan. Lembaga Penelitian Teknologi
Perikanan. Direktorat jenderal Perikanan. Jakarta. 45 hlm.
Ilyas. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Teknik Pendinginan Ikan. C.V.
Paripurna. Jakarta. 237 hlm.
Irawan, A. 1995. Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri. C.V. Aneka. Solo.
108 hlm.
Jay, M. James. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth edition. Chapman and Hall.
New York, USA. 661 hlm.
Jenie, S.L., dan Shinta E. Rini. 1995. Aktivitas Antimikroba dari Beberapa Spesies
Lactobacillus terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Makanan. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan, 7(2) : 46-51.
Kuswanto, K.R., dan Slamet Sudarmadji. 1988. Proses-proses Mikrobiologi Pangan.
PAU Pangann dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 160 hlm.
Liviawaty, E., E. Afrianto, dan H. Hamdani. 1999. Mempelajari Efek Kondisi Post
Mortem Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) terhadap Perubahan
Karakteristik Filet Selama Penyimpanan pada Suhu rendah. Lembaga
Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung. 53 hlm.
Liviawaty, E. 2001. Organoleptik Ikan. Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. 82 hlm.
Marshall, D.L., C.R. Kim, dan J.O. Heamsberger. 2002. Extended Shelf-Life of
Catfish Fillets Treated with Sodium Acetate, Monopatassium Phosphate
and Bifidobacteria. Department of Food Science and Technology,
Mississippi State University. Hlm. 21-26.
Meseck, G. 1969. Importance of Fisheries Production and Utulization in The Food
Economy. Fish in Nutrition (FAO), 7 : 23-37
Oktaviani, Dini. 2004. Efektivitas Bakteriosin dari Lactobacillus plantarum terhadap
Masa Simpan Filet Nila Merah pada Suhu Rendah. Skripsi. Unpad.
Jatinangor. 62 hlm.
Pelczar, M.J. 1958. Microbiology. McGraww-Hill Book Company, Inc. New York.
546 hlm.
3
Pelczar, M.J., dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas
Indonesia (UI-Press). Jakarta. 443 hlm.
Poerwosoedarmo dan Sediaoetama, A.D. 1977. Ilmu Gizi. Dian Rakyat. Jakarta. 254
hlm.
Raccach, M., R.C. Backer., J.M. Regenstein, E.J. Mulnix. 1979. Potential Application
of Microbial Antagonism to Extended Storage Stability of a Flesh Type
Food. Journal Food Science, 44 (1) : 43.
Salle, A. J. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Kogakusha Company, Ltd.
Tokyo. 812 hlm.
Suparno. 1992. Pembuatan Filet Ikan. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Pasca Panen
Perikanan. Pusat Penelitian Perikanan. Jakarta. Hlm. 15-19.
Suriawiria, Unus. 1986. Mikrobiologi Masa Depan Penuh Kecerahan Di Dalam
Pembangunan. Kumpulan Beberapa Tulisan dari Unus Suriawiria. Jurusan
Biologi. ITB. Bandung. Hlm. 67-68.
Suriawiria, Unus. 1995. Pengantar Mikrobiologi Umum. Angkasa. Bandung. 238 hlm.
Von Hofsten, B. dan S. Wirahadikusumah. 1972. Preservation Fish and Other
Protein Rich Products by Lactic Acid Fermentation. UNESCO/ICRO dan
Pustaka. Kuala Lumpur. 560 hlm.
Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka
 Utama. Jakarta. 416 hlm.

You might also like