KARYA NUSYA KUSWANTIN (Kajian Sosiologi feminisme)
Oleh: Hardhani Chandra Mahardika NIM: 062144022
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI PRODI SASTRA INDONESIA 2010 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai anggapan terhadap perempuan telah mengakar di masyarakat umum, misalnya: perempuan itu lemah, mudah emosi, dan bisanya hanya di dapur. Namun tampaknya para perempuan sudah mulai berusaha memperjuangkan haknya agar disamakan dengan laki-laki. Perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya ini dilakukan melalui berbagai cara, mulai gerakan besar maupun perorangan dengan berbagai media. Di dalam dunia sastra, banyak sekali karya sastra yang mengangkat tema feminisme, sehingga munculah aliran kritik sastra baru yang disebut kritik sastra feminis. Dalam perkembangan karya sastra, perempuan sering dimunculkan sebagai focus pembicaraan. Akhirnya sebuah karya sastra, khususnya yang berupa novel dapat mengenalkan kehidupan perempuan dengan segala tantanngan dan permasalahan yang ada di lingkungan. Dalam kenyataannya realita kehidupan telah membuka tabir bahwa unsur feminisme telah terkotak sebagai dasar pembagian fungsi antara jenis kelamin dalam berbagai segi. Dengan anggapan tersebut akhirnya kaum perempuan bangkit dan timbulah suatu gerakan yang disebut feminisme yang menghendaki kesamaan hak dan kewajiban (Endrasanti, 2006:1). Dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin dapat dilihat bahwa pengarang berusaha menyampaikan gagasan-gagasan feminisme. Kisah Lasmi diceritakan melalui tuturan Tikno, suami Lasmi yang berprofesi sebagai guru, sedangkan Lasmi sendiri di mata suaminya adalah wanita yang cerdas dan berpikiran progresif. Kegemarannya membaca buku membuat dirinya memiliki wawasan berpikir yang luas, berani melawan arus, berjuang dalam hal kesetaraan perempuan dan pria, dan memiliki cita-cita luhur untuk memajukan pendidikan dan pengatahuan warga kampungnya. Pada mulanya Lasmi berjuang sendiri dengan mendirikan TK dan sekolah menjahit, namun ketika akhirnya ia mencari seorang guru jahit, ia bertemu dengan Sumaryani seorang kader Gerwani. Melalui Sumaryani lah akhirnya Lasmi ikut menjadi kader Gerwani karena di mata Lasmi Gerwani adalah organisasi perempuan yang mempunyai cita-cita luhur seperti dirinya yaitu berjuang demi kesetaraan perempuan. Tokoh Lasmi dalam novel karya Nusya Kuswantin tersebut digambarkan memiliki peranan yang cukup penting di berbagai bidang, terutama di bidang pendidikan dan politik. Penulis memilih novel Lasmi karya Nusya Kuswantin ini dengan alasan bahwa isi yang terkandung di dalam novel tersebut mengangkat tema ketidakadilan gender dan anggapan-anggapan negatif yang telah mengakar di masyarakat tentang perempuan. Penulis juga berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya peran perempuan di berbagai bidang sudah tidak dapat diragukan lagi. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang peranan perempuan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin. Sedangkan teori yang digunakan yaitu teori sosiologi feminisme.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana tokoh dan penokohan tokoh perempuan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin? b. Bagaimana peran perempuan di bidang pekerjaan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin? c. Bagaimana peran perempuan di bidang pendidikan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin? d. Bagaimana peran perempuan di bidang keluarga dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan tokoh perempuan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin. b. Mendeskripsikan peran perempuan di bidang pekerjaan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin. c. Mendeskripsikan peran perempuan di bidang pendidikan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin. d. Mendeskripsikan peran perempuan di bidang keluarga dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis a. Memberikan wawasan dan pengetahuan baru bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. b. Memberikan pandangan-pandangan tentang teori pengkajian sastra terhadap karya sastra di Indonesia.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Penelitian ini bermanfaat untuk memperluas khasanah keilmuan bidang kritik sastra di masyarakat dan dapat memberikan inspirasi bagaimana seharusnya kaum laki-laki bersikap terhadap kaum perempuan. b. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis tentang konsep, peranan dan kedudukan perempuan. BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Telah banyak penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas tentang feminisme, diantaranya: Suwarti (2009) penelitiannya berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang: Kajian Feminis”. Hasil penelitiannya adalah marginalisasi perempuan, subordinasi perempuan, stereotipe perempuan, kekerasan terhadap perempuan serta jender dan beban kerja. Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, atau kultur dan bahkan negara. Subordinasi perempuan terjadi karena Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak dapat tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Stereotipe terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Kekerasan terhadap perempuan terjadi adalah bentuk pemerkosaan terhadap perempuan termasuk pemerkosaan dalam perkawinan, tindakan pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga, pelecehan terhadap perempuan, dan kekerasan terselubung. Adapun jender dan beban kerja adalah adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, serta dikategorikan sebagai bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Marfika Santiasih Isma (2005) dengan judul penelitiannya Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono. Hasil penelitian ini membahas tiga tokoh utama wanita memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang emansipasi. Ada yang mendukung ada pula yang kurang mendukung. Tokoh Nenek kurang mendukung karena latar belakang budaya/adat. Tokoh Ibu mendukung emansipasi karena latar belakang pangalaman masa lalu semasa beliau masih kecil.Tokoh Gading mendukung emansipasi wanita karena latar belakang lingkungan keluarganya yang demokratis dan berwawasan modern. Kedua tokoh, Ibu dan Gading, sama-sama mendukung emansipasi wanita karena alasan bahwa wanita berhak untuk maju dan memperoleh hak yang sama seperti kaum laki-laki. Tri Handayani (2006) dengan judul penelitiannya Peranan Tokoh “Candi” dalam novel Biru Karya Fira Basuki. Hasil penelitiannya yaitu a). Tokoh Candy digambarkan sebagai wanita mandiri yang mampu mencukupi keluarganya tanpa bergantung pada orang lain. b). Tokoh Candy menampilkan stereotipe yang memenuhi atau tidak memenuhi sistem patriarkal. Stereotipe yang ditampilkan oleh pengarang dalam masyarakat yaitu mempunyai peranan sebagai wanita kariryang berfprofesi sebagai model dan sebagai penghibur laki-laki yang keduanya digambaran memiliki sikap, tindakan, dan pemikiran berbeda dengan nilai baku masyarakat. Heri Aprilianto (2005) dengan judul penelitiannya Tokoh Utama Wanita, dalam Pandangan Gender pada Novel Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto. Hasil penelitiannya yaitu: a). Tokoh utama wanita dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto adalah Sumirah. Sumirah memiliki sifat mudah tergoda atau dirayu, tidak mudah melupakan kebaikan orang lain, menghargai orang lain, dan tidak ingin orang lain khawatir atau sedih, takut menyinggung perasaan orang lain, dan pekerja keras. b).Jenis gender tokoh utama wanita dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto meliputi sebagai berikut. (1) Gender difference, seperti terlihat pada saat Sumirah menjadi penjual bir di hotel karena disuruh oleh suaminya. (2) Gender gap yaitu adanya perbedaan dalam hubungan berpolitik dan bersikap antara laki-laki dan perempuan, seperti terlihat pada saat Sumirah diperlakukan semena-mena oleh lurah di desanya. (3) Genderization, seperti terlihat pada saat Sumirah menjadi penjual bir di hotel, karena sebagai seorang wanita mempunyai sifat yang ulet, terampil dan teliti, maka oleh suaminya ia di suruh menjual bir di hotel. (4) Gender identity, seperti terlihat pada saat Sumirah merasa bersalah karena belum bisa membantu Totti memasak dan membersihkan rumah. Sebagai seorang perempuan ia mempunyai peran domestik yaitu memasak dan membersihkan rumah. c) Ketidakadilan gender yang dialami tokoh utama wanita dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto adalah: ketidakadilan yang berupa stereotip, marginalisasi perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan subordinasi pekerjaan perempuan. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Feminisme dan Sastra Perjuangan emansipasi wanita saat ini masih aktif diperjuangkan oleh sebagian wanita. Mereka memperjuangkan emansipasi wanita karena masih merasakan ketidakadilan gender dengan kaum laki-laki. Gerakan perjuangan ketidakadilan gender ini sering disebut dengan gerakan feminisme. Ratna (2007, 184) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya. Feminisme dalam dunia sastra menghasilkan representasi mengenai perbedaan gender yang memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa laki- laki dan perempuan memiliki nilai yang berbeda. Perempuan sering menjadi feminis dengan menjadi sadar akan, dan mengkritik, kekuasaan misrepresentasi simbolis atas perempuan. Jackson & Jones (2009: 332). Karya sastra berupa novel, puisi, maupun cerpen dapat dikaji menggunakan pendekatan feminisme, asalkan ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan (Djajanegara, 2000: 51). Dalam proses pengkajian sastra feminis, ada beberapa pendekatan feminisme yang dapat digunakan untuk menunjang penelitiannya. Gross menguraikan lima hal yang membuat teori-teori tentang persamaan sebelumnya. Pertama, Wanita menjadi subyek dan objek ilmu pengetahuan. Dengan menciptakan ilmu pengetahuan menjadi absah. Kedua, semua metode, prosedur, anggapan, dan teknik teori-teori sebelumnya dipertanyakan. Ketiga, dengan mempergunakan teori otonomi, kaum feminis tidak Cuma mengembangkan perspektif-perspektif mengenai wanita dan isu-isunya, tetapi juga tentang sederet topik yang luas, dengan memasukkan teori-teori lain. Keempat, teori-teori feminis tidak hanya menegaskan alternatif-alternatif, tetapi berkarya melalui teks-teks patriarkis. Teori-teori itu tidak lagi menyalahkan atau menerima tulisan-tulisan yang disampaikan. Tulisan-tulisan yang ada tersebut kini dianalisis, diuji, dan dipertanyakan. Pada akhirnya, teori feminis menekankan institusi-instistusi sosial dan tindakan sosial, dengan memberikan kerangka-kerangka alternatif (Gross dalam Jane & Helen, 2002: 20-21).
2.2.2 Beberapa Pendekatan Feminisme
Beberapa pendekatan dalam kerangka feminisme meliputi pendekatan feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Namun ada juga konsep-konsep lebih baru yang memisahkan diri dari pendekatan-pendekatan sebelumnya namun tetap terfokus pada ketidakadilan gender, yaitu konsep feminisme kultural dan feminisme pasca struktural.
2.2.2.1 Feminisme Liberal
Dalam tradisi feminisme-liberal, penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya, yaitu menambah kesempatan- kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama masa revolusi Prancis dan masa pencerahan di Eropa barat. Perubahan-perubahan sosial besar-besaran tersebut menyediakan baik argumen-argumen politik maupun moral, untuk gagasan-gagasan mengenai “kemajuan, kontrak, sifat dasar, dan alasan” yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional (Kandal, 1985:5). Asumsinya, apabila wanita diberi akses yang sama untuk bersaing, mereka akan berhasil. Kaum feminis liberal secara khusus mengabaikan suatu analisis yang sistematis mengenai faktor-faktor struktural, dan menganggap bahwa rintangan- rintangan sosial dapat diatasi oleh usaha-usaha individual dan campur tangan pemerintah. Mereka juga mengabaikan cara-cara bagaimana diskriminasi sosial dan institusional bisa mempengaruhi pilihan-pilihan individual, sehingga menciptakan pola ketidakadilan.
2.2.2.2 Feminisme Marxis
Kaum feminisme Marxis tradisional mencari asal penindasan terhadap wanita dari permulaan pemilikan kekayaan pribadi. Penyebab penindasan wanita dihubungkan dengan tipe organisasi sosial, khususnya tatanan perekonomian. Sistem kelas yang berdasarkan pemilikan pribadi, secara inheren bersifat menindas, dan kaum lelaki kulit putih mempunyai kedudukan-kedudukan istimewadi dalamnya. Unsur kunci yang membedakan feminisme Marxis dariteori-teori feminis lain terletak pada anggapannya, bahwa kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan utama. Penindasan kelas khususnya dikaitkan dengan cara kapitalisme menguasai wanita dalam kedudukan- kedudukan yang direndahkan. Di dalam sistem-sistem kapitalisme, wanita telah dipergunakan sebagai suatu cadangan tenaga kerja yang tidak dibayar di rumah- rumah, wanita menyediakan suatu pelayanan gratis untuk para kapitalis yang menjadi pajak tersembunyi bagi upah yang diterima kaum pekerja. Lagipula, wanita melakukan reproduksi angkatan kerja di dalam rumah sebagai ruang pribadi tersebut. Wanita juga merupakan konsumenyang membeli produk-produk kapitali; dengan cara demikian, memperkuat terhadap mereka sendiri Wanita ditekan karena adanya struktur ekonomi. Kaum feminis Marxis beranggapan, bahwa hanya setelah penindasan ekonomi dipecah-pecahkan, penindasan patriarkis bisa dihapuskan. Karena itu, agar masyarakat berubah, dituntut perubahan radikal dalam struktur ekonomi dan penghancuran ketidaksamaan yang berdasarkan kelas. Fokusnya di sini ialah pada faktor-faktor struktural mengenai penindasan sebagai lawan dari kesempatan-kesempatan individual.
2.2.2.3 Feminisme Radikal
Di dalam perspektif feminisme radikal, digambarkan bahwa wanita ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis, yaknipenindasan-penindasan yang paling mendasar. Penindasan berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme, dan kelas-isme terjadi secara signifikan dalam hubungannya dengan penindasan patriarkis. Agar wanita terbebas dari penindasan, perlu mengubah masyarakat yang berstruktur patriarkis. Unsur pokok patriarki dalam analisis feminis radikal, adalah kontrol terhadap wanita melalui kekerasan. Carole Shefield (dalam Jane & Helen, 2002: 28) menegaskan bahwa kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap wanita oleh laki-laki, menggambarkan kebutuhan sistem patriarki untuk meniadakan kontrol wanita atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri. Kekerasan ini terjadi dalam bentuk-bentuk serangan seksual, incest, pemukulan dan pelecehan seksual terhadap wanita oleh laki-laki.
2.2.2.4 Feminisme Sosialis
Di kalangan feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas dianggap merupakan penindasan utama. Suatu bentuk penindasan tidaklah mencontoh penindasan lain sebelumnya. Feminisme sosialis meliputi: Pemusatan dan pengarahan kembali, oleh feminisme terhadap pendekatan historis Marxian...untuk memahami struktur penindasan wanita, terutama dalam kaitannya dengan struktur jenis kelamin, keluarga, dan hierarki pembagian kerja seksual. (Eisenstein dalam Jane & Helen, 2002: 29)
Di dalam kerangka feminis sosialis cara-carapemecahan masalah untuk
perubahan, meliputi perubahan-perubahan sosial radikal intuisi-instuisi masyarakat. Buku Juliet Mitchel, women’s Estate (1971), telah meletakkan dar- dasar untuk feminisme sosialis. Di dalamnya, iamenggambarkan politik-politik penindaan sebagai suatu konsekuensi, baik dari penindasan patriarkat maupun penindasan kelas. Ia memperkenalkan konsepsi-konsepsi inti feminis sosialis, untuk menganalisis dimensi-dimensi penindasan, seperti produksi, reproduksi, sosialisasi, dan seksualitas. Heidi Hartman (1981), feminis terkemuka lainnya di dala kerngka sosialis, menyataka bahwa basis patriarki adalah pembagian kerja seksual, yang benar- benar ada pada semua masyarakat. Basis material patriarki –kontrol atas buruh wanita—membuat laki-laki bisa mengontrol akses wanita kepada sumber-sumber produktif. Sebagai memelihara anak, wanita memproduksi hubungan-hubungan sosial matriarkat, termasuk hubungan antar generasi laki-laki/perempuan. Melalui proses sosialisasi keluarga ini, kemitraan patriarki dan kapitalisme diabsahkan. Kapitalisme menjalin kekuatan dengan patriarki untuk mendominasi buruh wanita dan seksualitas, melalui penguatan dan pengembangan ideologi yang merasionalisasikan penindasan wanita. Ada kemungkinan bahwa feminisme sosialis itu “tak kurang dari pertemuan aliran-aliran feminisme Marxis, feminisme radikal, dan pemikiran psikoanalisis yang lebih kuat” (Tong, 1989:73). Mitchell dan Hartmann mengajukan suatu pendekaan sistem-dwi rangkap (a dual systems approach), untuk menganalisis kesejajaran penindasan patriarki dan kapitalisme. Jagger (1983) menjebatani wawasan pengertian Marxis dan persepektif-persepektif radikal, melalui konsep alienasi. Kaum Marxis berpendapat bahwa pekerjaan merupakan aktifitas sentral manusia yang menjadi teralienasi di bawah kapitalisme, saat buruh dipisahkan dari kontrol atas pekerjaan mereka. Alienasi tersebut meluas pada pekerjaan spesifik berdasarkan jenis kelamin yang dipengaruhi baik patriarki maupun kapitalisme. Wanita teralienasi dari tubuh- tubuh mereka, pekerjaan reproduksi mereka dan peran-peran keibuan mereka. (Jane & Helen, 2002: 21-31). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi dan feminisme. Teori-teori feminisme baik feminisme liberal, feminisme Marxis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis yang dianggap mendukung, digunakan untuk menunjang penelitian ini. Suatu teori integratif mengenai penindasan wanita sebaiknya diambil dari menyambung-nyambungkan potongan-potongan kecil dengan mengingat keterampilan tradisional wanita. Potongan-potongan kecil seperti itu merupakan konsep-konsep yang bermanfaat bagi model-model feminis yang mempersatukannyasehingga menjadi suatu susunan teoritis yang kuat (Jane & Helen, 2002: 53)
2.2.3 Sosiofeminis
Dalam Sofia (2009: 22), kritik sastra sosiofeminis menekankan peran-
peran yang diberikan untuk perempuan di masyarakat. Hal ini dapat dipahami bahwa perempuan memiliki peran-peran tertentu dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai bidang. Soekamto (2002:243) menjelaskan bahwa hubungan- hubungan sosial pada masyarakat, merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Sementara Mosse (2002:5) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat, kaum pria dan wanita memiliki peran gender yang berbeda. Terdapat perbedaan pekerjaan yang dilakukan mereka di dalam masyarakat disebabkan oleh berbagai macam faktor, mulai dari lingkungan alam, hingga cerita dan mitos-mitos yang digunakan untuk memecahkan teka-teki perbedaan jenis kelamin. Mengapa perbedaan itu tercipta dan bagaimana dua orang berlainan jenis dapat berhubungan baik satu dengan yang lainnya dan dengan sumber daya alam sekitarnya. Penelitian peranan perempuan ini merupakan penerapan dari wacana images of women (citra perempuan). Images of women merupakan suatu jenis sosiologi yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan. Penelitian images of women dilakukan untuk dua kegunaan yang berbeda. Di satu pihak penelitian images of women digunakan untuk mengungkap hakikat representasi stereotipe yang menindas yang diubah ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan. Di pihak lain, penelitian images of women digunakan untuk memberikan peluang berpikir tentang perempuan untuk membandingkan bagaimana perempuan telah direpresentasikan dan bagaimana seharusnya perempuan dipresentasikan (Ruthven dalam Sofia, 2009:22-23). Peranan perempuan dapat dilihat melalui pencitraan. Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indra yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Sementara itu, pencitraan merupakan kumpulan citra (the colection of images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indra yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi harfiah maupun secara kias ( Abrams dalam Sofia, 2009:24).
2.2.4 Peranan Perempuan
Perempuan harus punya peran ganda yaitu dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, kedua peran wanita tersebut harus dijalankan secara seimbang. Hal tersebut tidak bisa lepas dari kodrat dan kultur yang ada. Saat ini pekerjaan tidak lagi didominasi oleh laki-laki, namun kaum perempuan sudah banyak yang merambah pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Misalnya saja sopir busway di Jakarta, ada beberapa kaum perempuan yang bekerja di sini. Tiga hal yang mencangup peranan, yaitu: a). Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. b). Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c). Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Perlu disinggung perihal fasilitas-fasilitas bagi peranan individu (role-facilities). Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas kepada individu untuk dapat menjalankan peranan (Soekamto dalam Handayani, 2006: 17-18).
2.2.4.1 Teori tentang Peran Wanita dalam Pekerjaan
Peran-peran pengasuhan bagi wanita merupakan dimensi-dimensi yang tumpang tindih, baik pekerjaan yang dibayar maupun tak dibayar. Sebagai juru rawat, juru rawat pembantupekerja sosial, guru pertama masa kanak-kanak dan pekerjaan pengasuh anak, sebagai ibu dan sebagai anak perempuan, wanita memikul tanggung jawab atas pemeliharaan emosi dan fisik orang-orang lain. Para periset kualitatif telah menguraikan, “lipatan kehidupan wanita bergerak dari pengasuh di dalam rumah mereka ke pengasuh ke dalam angkatan kerja atau sukarela. “kehidupan wanita tidaklah terdiri atas susunan yang mudah dilihat, bagian-bagian ruangan tersendiri”, tetapi lebih merupakan jalinan aktivitas yang saling tergantung ( Jane & Helen, 2002: 112-113) Corley dan Mauksch memeriksa status dan peranan juru rawat berijasah, serta menyimpulkan, “ kehadiran juru rawat secara sosial akan disangkutpautkan dengan pada jenis kelamin perempuan” (1988:135). Mereka mengaitkan perawatan dengan stereotipe wanita yang memiliki komitmen tinggi terhadap pelayanan dan perawatan pasien, disertai komitmen yang rendah terhadap karir. Mereka menguji gagasan mengenai komitmen di kalangan juru rawat meningkat, tanggung jawab pihak-pihak lain, termasuk dokter, administrasi, dan sebagainya berkurang. Bagi juru rawat, komitmen merupakan suatu gagasan yang diromantisasi, yang membebaskan hal-hal lainnya dari kesalahan-kesalahan atas upah yang rendah (wanita melakukan hal ini karena mereka ingin melakukannya, atau kesalahan atas perlakuan klien (merupakan tanggung jawab juru rawat untuk memelihara emosi dan aspek-aspek sosial perawatan kesehatan, atau juru rawat dapat memenuhi perbandingan-perbandinganperawat/pasien atau dokter/pasien). (Jane & Helen, 2002:113). Selain pekerjaan-pekerjaan yang dibayar, para wanita juga ikut berpartisipasi dalam dunia pekerjaan sukarela (volunter). Doris Gold (dalam Jane &Helen, 2002: 122) mengenai pekerjaan volunter. Ia menilai sebab-sebab yang sadar dan tak sadar bagi wanita, untuk berpartisipasi dalam aktivitas- aktivitassemacam itu, yang berasal dari pengkondisian sosial, diskriminasi struktural, serta kisah panjang pelayanan wanita di dalam gerejadan keluarga tanpa imbalan ekonomi atau otoritas.
2.2.4.2 Teori tentang Peran Wanita dalam Pendidikan
Pendidikan sekolah merupakan suatu proses pembelajaran dimana ada pendidik dan peserta didik yang bertujuan untuk memanusiakan manusia dan mendewasakan manusia tanpa adanya diskriminasi gender. Dalam setiap situasi pendidikan sekolah tersebut, murid-murid wanita dan pria terbuka pada buku- buku teks, bahan-bahan dan sikap guru secara halus dapat mempengaruhi pemikiran mereka tentang diri mereka sendiri serta masyarakat mereka. Sebagai pendidik, wanita juga melakukan beragam peran sebagai administrator dan guru yang mencerminkan pola-pola feminisasi. (Jane & Helen, 2002: 144). Wanita memiliki sikap yang lebih lemah lembut daripada laki-laki, hal ini membuat wanita bisa diterima karena dianggap mampu memberikan pengajaran di sekolah. Ketika wanita memasuki profesi pengajaran, kesesuaian peran-peran tersebut menyebabkan diterimanya wanita sebagai pekerja pendidikan (Jane & Helen, 2002:159). 2.2.4.3 Teori tentang Peran Wanita dalam Keluarga Fakih (2001:11) memaparkan bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konsruksi cultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai “kodrat wanita” dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya adalah gender. Menurut kondisi normatif, pria dan wanita mempunyai status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, wanita mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari pada pria dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh norma sosial dan nilai sosial budaya yang masih berlaku di masyarakat. Norma social dan nilai sosial budaya tersebut, di antaranya di satu pihak, menciptakan status dan peranan wanita di sektor domestik yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan peranan pria di sektor publik yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan pencari nafkah. Laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga dapat saling tukar- menukar pekerjaan rumah sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Perempuan dapat menggantikan pekerjaan laki-laki dalam hal tertentu. Misalnya membantu mengetikkan tugas kantor suami. Sebaliknya, suami dapat menggantikan peran istri dengan memasak di dapur. BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi Feminisme dengan metode analisis, interpretatif, dan deskriptif. Metode analisis digunakan untuk menganalisis novel dan mencari data. Kemudian data tersebut diinterpretasikan. Metode interpretatif digunakan untuk menafsirkan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut (Aminudin, 1991:123). Penelitian deskriptif mencoba untuk memaparkan konsep-konsep pemikiran tentang perempuan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin.
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data tertulis berupa novel Lasmi karya Nusya Kuswantin yang diterbitkan oleh Kaki Langit Kencana tahun 2009. Novel ini berjumlah 232 halaman dengan ukuran 11,5 x 19 cm, dengan sampul depan berwarna merah dengan gambar abstrak seorang wanita yang sedang duduk. Data yang dipakai dalam penelitian ini berupa paparan bahasa, kata, atau kalimat yang terdapat di dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin. Data merupakan data penting yang diambil dari isi novel sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Adapun proses pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membaca teks sastra (dalam hal ini adalah novel Lasmi karya Nusya Kuswantin). 2. Menganalisis dan mengklarifikasikan peran perempuan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin 3. Membuat kesimpulan hasil analisis novel Lasmi karya Nusya Kuswantin.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data pada novel Lasmi karya Nusya Kuswantin adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk mengolah data yang telah dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian dan mendeskripsikan teks-teks yang bermuatan peran perempuan dalam novel Lasmi karya Nusya Kuswantin, kemudian disusul dengan analisis. DAFTAR PUSTAKA
Kuswantin, Nusya. 2009. Lasmi. Jakarta: Kaki Langit Kencana
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis, Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Citra Pustaka http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses pada tanggal 1 Mei 2010 Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka. Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher Handayani, Tri. 2006. Peranan Tokoh “Candi” dalam Novel Biru Karya Fira Basuki (Kajian Feminisme). Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JBSI UNESA. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ollenburger, C. Jane dkk. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta Jackson, Stevi dkk. 1998. Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.