You are on page 1of 22

PRAGMATISME KOALISI PARTAI

Oleh : Rum Rosyid, Untan Pontianak


Pendahuluan
Istilah pragmatisme sebetulnya hanya dikenal dalam ilmu filsafat, dan jarang
diperbincangkan dalam ranah politik. Menurut pengertiannya, pragmatisme berarti aliran
yang beranggapan bahwa kebenaran adalah apa yang bernilai praktis dalam pengalaman
hidup manusia. Ia merupakan instrumen dalam pencapaian-pencapaian tujuan, manfaat
(Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 877). Maka, sesuatu dilakukan sejauh memberi
manfaat, kegunaannya bagi saya atau kelompok-ku. Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat dipahami bahwa para elite politik tak jarang terjebak dalam koalisi pragmatisme.
Koalisi partai yang saat ini terbentuk semakin terkesan pragmatis. Pasalnya, karakter
partai-partai yang ada hanya sebatas seberapa besar pembagian kekuasaan yang mereka
dapatkan bila berada dalam suatu koalisi. Demikian, pandangan pengamat politik
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi di sela-sela diskusi dengan topik
Koalisi dan Capres 2009, di Jakarta, Sabtu (16/5/09).

"Elite politik yang ada senang bermain akrobat politik, sehingga mereka menunjukkan
pragmatisme. Misalnya, komunikasi politik yang dilakukan antara PDI-P dan Demokrat,
padahal kita tahu sebelumnya, keduanya kontra pada waktu kampanye kemarin. PDI-P
tidak menyetujui program BLT dan kenaikan BBM yang SBY terapkan. Ternyata, itu
hanya skenario PDI-P semata, guna menurunkan posisi tawar Prabowo," katanya.
Bukti pragmatisme, katanya, juga terlihat dari sebagian besar elite partai, seperti PDI-P
dan Golkar, yang tidak bisa menyatukan suaranya dalam koalisi. Sebab, satu pihak ingin
bergabung dengan partai incumbent dan pihak lain ingin menjadi oposisi, dengan harapan
bisa mengalahkannya.

Koalisi pragmatisme berarti koalisi yang dibangun berdasarkan manfaat, kegunaan untuk
elite politik saja. Terbentuk sebuah koalisi bukanlah atas dasar kepentingan rakyat
banyak, tetapi atas dasar kepentingan para petinggi partai politik peserta koalisi.
Sasarannya tidak lain adalah kekuasaan semata, bagi-bagi jatah kursi menteri di kabinet.
Tak heran, partai-partai yang sebelumnya sangat bertolak belakang baik asas, visi dan
misi partai, dalam hitungan detik runtuh seketika. Hal itu terkondisikan oleh sikap elite
partai politik yang lebih mengedepankan kekuasaan, kursi menteri ketimbang
kepentingan rakyat banyak, misalnya partai-partai yang berasaskan religius seperti PKS,
PPP yang akhirnya lebih memilih koalisi dengan partai demokrat (nasionalis) ketimbang
partai yang se-asas. Bagi mereka figur SBY, yang adalah capres dari partai demokrat
periode 2009-2014 sangat signifikan. Ide koalisi agamis-nasionalis pun bermunculan,
yang sebetulnya didasarkan pada pragmatisme politik.

Sebuah pertanyaan kunci layak dilayangkan. Apakah, geliat politik yang sudah kian
mengkristal, atau dalam bahasa Prof Kuntowijoyo, berupa "gejala- gejala" perpaduan
kekuatan politik, dengan warna "sekuler" dan "religius", yang terwakilkan dalam
kampanye pemilu lalu, sungguh sebagai sebuah gerakan kultural yang bersentuhan
dengan sivilisasi politik nasional, atau sekadar sebuah persenyawaan politik (kekuasaan)
yang sebenarnya tidak teruji mampu membawa perubahan konstruktif bagi masa depan
Indonesia. "Pragmatisme religius" secara sepintas mendedahkan optimisme sosio-politik
di tengah kondisi perpecahan sosial yang masih mengurung Indonesia. Tetapi jika
dicermati, sebenarnya masih ada kecemasan sosial yang tidak kalah serius. Rakyat
sedang menghadapi teka-teki besar. Rakyat, di hadapan pembauran politik sekarang,
seolah memperoleh "obat penenang" mujarab bahwa persoalan bangsa hampir pasti dapat
diselesaikan karena ada "integrasi" kekuatan politik, atau dalam bahasa Muhammad Ali,
"ada semacam proses kreatif" demi melampaui perilaku dikotomik yang telah
mencelakakan Indonesia dalam kurun-kurun sejarah lalu.

Munculnya sikap pragmatis dalam koalisi partai, karena mereka dihadapkan pada
kenyataan bahwa tidak ada partai yang menang mutlak sehingga dengan penuh percaya
diri mereka mengajukan calon presiden. Karena itu, realita mengharuskan mereka untuk
berkoalisi. Mau tidak mau, beberapa partai bersatu tanpa memperhatikan lagi sekat-sekat
ideologis yang ada. Visi dan misi serta platform partai yang digembar-gemborkan dalam
kampanye Pemilu seolah tidak berarti apa-apa. Partai Bulan Bintang (PBB) berkoalisi
dengan Partai Demokrat. PNUI berkoalisi dengan Partai Golkar. PBR dengan PAN. PPP
mendukung PDIP dalam pencalonan presiden kendati akhirnya mengajukan calon
presiden sendiri. PKB, yang nyata-nyata memendam dendam kepada Partai Golkar
karena dianggap telah menjatuhkan pemerintahan Abdurrahman Wahid, akhirnya
berkoalisi juga. Golkar yang dulunya dikecam habis-habisan sebagai partai Orde Baru,
malah sekarang dirangkul oleh banyak partai atau orang-orang yang dulu mengecamnya.
Alasannya, juga pragmatisme politik.

Oposisi Setengah Hati


Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kembali mengumumkan posisi PDIP
sebagai partai oposisi di parlemen. Dulu, PDIP merangkul Golkar, PDS, dan PPP dalam
Koalisi Kebangsaan. Seiring perubahan peta politik, koalisi itu pun melempem.
Kini hanya tinggal PDIP dan PDS yang tersisa dari unsur Koalisi Kebangsaan setelah
Golkar dan PPP membanting stir menjadi partai pendukung pemerintah.

Koalisi untuk oposisi yang sudah lama bergulir di parlemen sampai sekarang juga belum
menunjukkan kinerja yang produktif dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ketika
harga BBM dinaikkan pada Maret dan Oktober 2005, pengaruh oposisi tidak sekuat
pengaruh partai pro-pemerintah yang sempat menamakan diri Koalisi Kerakyatan. Ketika
bergulir usulan pengajuan hak interpelasi tentang telekonferensi, oposisi juga tidak
berhasil membendung manuver partai propemerintah yang berupaya menggagalkan
interpelasi.

Oposisi yang diproklamasikan oleh PDIP kembali ditantang dengan adanya usulan hak
angket kasus impor beras yang sekarang sedang bergulir di parlemen. Setelah 11 menteri
dipanggil ke Istana, apakah oposisi masih memberikan harapan untuk meloloskan niat
pelaksanaan hak angket. Optimisme itu mulai meredup ketika sejumlah menteri yang
bertemu di Istana berhasil melobi partai masing-masing untuk membatalkan hak angket.
Kuat dugaan bahwa usulan hak angket akan mental di paripurna yang akan digelar 24
Januari 2006.
PPP misalnya, berpeluang tak mendukung hak angket setelah Menteri Koperasi dan
UKM Suryadharma Ali berhasil mendesak Hamzah Haz. Menteri lain yang berhasil
menjalankan amanat Istana antara lain Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman
Suparno dan Menteri Pertanian Anton Apriantono. Lantas, masihkah ada harapan oposisi
yang digalang PDIP bisa berjalan efektif? Oposisi di Indonesia boleh dibilang 'mahluk
baru' yang lahir mendadak. Oposisi baru bergulir seiring dengan euforia reformasi pasca-
1998.

Tetapi sampai sekarang oposisi yang sejati belum ada buktinya. Banyak masalah
memang, termasuk bahwa tidak ada format oposisi yang ideal yang siap untuk
diterapkan. Partai yang bertekad menjadi barisan oposisi juga tidak berpijak pada
landasan ideologi atau format visi-misi yang sama sehingga sangat sulit membangun
kekuatan oposisi yang solid. Selain itu, oposisi masih dipahami sebatas mengeritik atau
menolak kebijakan pemerintah yang tidak populis tanpa disertai solusi kebijakan
alternatif yang bisa ditawarkan kepada pemerintah.

Dalam kasus penolakan kenaikan harga BBM misalnya, partai yang menentang kebijakan
itu tidak memiliki format kebijakan alternatif yang aplikatif. Akibatnya, oposisi hanya
dipahami sebatas menentang atau mengkritisi pemerintah tanpa ada tawaran jalan keluar
yang konkret. Dengan demikian oposisi politik dimanfaatkan sebagai strategi politik
untuk mendapat dukungan publik sekaligus meruntuhkan citra lawan. Dengan kata lain,
oposisi dalam praktek adalah 'politik oposisi'.

Sulitnya Menjadi Oposisi


Ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa oposisi di Indonesia masih sulit dijalankan.
Pertama, di Indonesia hampir pasti tidak ada partai ideologis. Oposisi mengandaikan
adanya basis yang kokoh yang menyatukan unsur dalam oposisi. Basis yang paling klasik
adalah ideologi. Oposisi mensyaratkan adanya ideologi yang kuat. Dengan ideologi itu,
kekuatan oposisi bisa bekerjasama membangun kekuatan yang kompak. Masalahnya,
partai politik di Indonesia hampir pasti tidak memiliki ideologi yang mapan. Akibatnya,
sangat sulit membangun kerjasama antarpartai. Bahkan di internal partai juga perpecahan
sulit dijembatani karena tidak adanya ideologi yang kuat yang bisa menjadi 'jiwa
bersama'.

Kedua, partai politik terjebak pragmatisme. Pragmatisme tidak memerlukan pemikiran


yang matang dan ideologi yang kokoh. Pragmatisme hanya memperhitungkan
keuntungan praktis yang ada di depan mata. Uang dan kursi kekuasaan seringkali
menjadi tawaran yang menarik bagi kaum pragmatis. Partai politik kita kebanyakan
terjebak dalam pragmatisme ini. Ini risiko dari tidak adanya ideologi yang mapan.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini sangat tidak mungkin mengharapkan adanya
oposisi murni. Golkar dan PPP hengkang dari Koalisi Kebangsaan adalah cermin dari
pragmatisme itu. Atau kader Golkar yang melompat ke pangkuan Yudhoyono-Kalla pada
saat Golkar (di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung) mengusung Wiranto-Wahid dalam
pilpres 2004.

Ketiga, konspirasi politik. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan legislatif merupakan
satu kekuatan politik konspiratif yang saling mendukung, seia-sekata. Terobosan
reformasi ingin mendobrak model demokrasi semu seperti ini yang tidak membiarkan
adanya saling mengawasi (check and balances). Perubahan itu persis yang ingin dicapai
di era reformasi ini. Tetapi dalam praktik, konspirasi itu ternyata tidak hilang. Pemerintah
dan legislatif masih saling mendukung tanpa adanya kekritisan dalam konteks fungsi
pengawasan. Konspirasi model ini tentu potensial menghambat kerja oposisi. Dengan
kata lain, tidak ada oposisi yang berjalan dengan efektif kalau partai pro-pemerintah di
parlemen menjadi mesin politik yang tidak kritis dengan dalih 'right or wrong is our
president'.

Koalisi Parpol : memenangi perebutan kekuasaan


Pragmatisme kekuasaan terlihat ketika platform partai yang abstrak Pemilu 2004 tidak
otomatis berubah menjadi platform kelima pasang capres dan cawapres, walaupun
dicalonkan partai atau gabungan partai. Ketika suara partai atau partai- partai dalam
pemilu legislatif tidak menjamin perolehan suara pasangan capres dan cawapres untuk
lolos pada putaran pertama pilpres, muncul logika bahwa sang capres dan pasangan
cawapresnya memiliki potensi lebih besar mendulang suara ketimbang yang diperoleh
partai dalam pemilu legislatif. Gejala tersebut menyebabkan lembaga partai direduksi
pada ketokohan capres dan cawapresnya sehingga mereka gagal merumuskan platform
kekuasaan yang hendak dijalankannya jika nanti terpilih. Sementara transisi ideologi
dalam pilpres 2004 telah mengubah nilai sakral ke orientasi pragmatis, namun bisa
mendorong romantisme nilai-nilai sakral yang mudah dimanipulasi bagi kepentingan
pragmatis memobilisasi partisipasi rakyat seperti terlihat dari fatwa haram memilih
pemimpin perempuan dan peneguhan beberapa capres sebagai representasi simbol-simbol
Islam dan kesantrian.

Koalisi yang sedang digagas sejumlah parpol guna menghadapi pemilu presiden tidak
dibangun dari persamaan nilai atau cita-cita perjuangan partai. Koalisi lebih didasarkan
pada kepentingan yang amat pragmatis, yaitu memenangi perebutan kekuasaan pada
pemilu presiden 8 Juli 2009. Bangunan koalisi seperti itu dikhawatirkan akan sulit
membangun pemerintahan yang kuat dan efektif. Pemerintahan tetap akan disibukkan
oleh pembagian kekuasaan dibandingkan melaksanakan program kerja. Demikian
disampaikan pemerhati politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit, Direktur Eksekutif
Reform Institute Yudi Latif, Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen
Indonesia, peneliti The Indonesia Institute Cecep Effendi, dan Direktur Eksekutif Indo
Barometer M Qodari, secara terpisah akhir pekan(26/4).

Pernyataan itu mereka sampaikan menanggapi mulai jelasnya peta koalisi menghadapi
pilpres. Partai Demokrat kemungkinan besar akan bergabung dengan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) sudah jelas menunjukkan arah koalisi bersama Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Sekilas, koalisi yang dibangun PDI-P, Hanura, dan Gerindra punya kesamaan latar
belakang, yaitu nasionalis sekuler. ”Namun, sebenarnya ada perbedaan latar belakang,
prinsip, dan nilai di antara mereka. Koalisi itu lebih disatukan kepentingan, yaitu
kegagalan pada Pemilu 2004 dan perasaan sakit hati karena merasa dicurangi pada
pemilu,” kata Arbi.

Hal serupa terlihat dalam koalisi yang dibangun Demokrat dengan PKS dan PKB. ”Jika
dilihat secara ideologi, cukup aneh PKS bisa bersatu dengan PKB,” kata Yudi
menambahkan. Pragmatisme dalam pembangunan koalisi, lanjut Yudi, makin terlihat dari
mudahnya perubahan sikap, seperti yang diperlihatkan Partai Golkar. ”Karena gagal
bernegosiasi dengan Partai Demokrat, Golkar lalu mendekati PDI-P. Ini sinyal kuat jika
koalisi lebih dibangun berdasarkan pertimbangan transaksional, dalam arti materi dan
kekuasaan”.

Kecemasan sosial ini serentak mendapatkan aksentuasi kontekstualitasnya. Fenomena


integrasi "sekuler" dan "religius" menuju "pragmatisme religius" mencemaskan saat
ditempatkan dalam ruang proses politik dengan poros utama pemilihan presiden lalu.
Apakah pilpres 2004 lalu sungguh menjadi ruang pencapaian optimal dan konstruktif
pengintegrasian "sekuler" dan "religius". Atau, sebaliknya hanya sebuah kamuflase yang
menyembunyikan terbentuknya "perkoncoan" kekuasaan yang membenamkan Indonesia
menuju kesuraman historis. Apalagi, Pemilu 2004 tidak dapat dipercaya mampu
membalikkan keadaan keterjepitan sosial, politik, dan ekonomi yang dialami Indonesia
kini.

Pemilu 2004 belum mencukupi untuk mencapai soliditas "kesepakatan" bersama dalam
membangun Indonesia (bandingkan tajuk Kompas, 7/7/2004 Pemilu Tidak
Menyelesaikan Persoalan Mendasar). Penguasa terus melontarkan verbalisme politik
dalam argumentasi utopis yang dapat menghanyutkan rakyat. Tetapi, realitas sosial
dengan telanjang menghidangkan kebenaran, integrasi "sekuler" dan "religius" tetap
berputar-putar pada poros utama, yaitu kekuasaan. Oleh karena itu, ketika "sekuler" dan
"religius" (pragmatisme religius) ditaruh, dibaca, apalagi diekspresikan dalam perspektif
pertarungan politik pilpres 2004, gagasan cemerlang yang meledakkan energi kultural
publik Indonesia langsung mengalami penyempitan dan pembusukan. Kasarnya, para
politisi yang sempat membaca gagasan Kuntowijoyo dan Muhammad Ali seolah
mendapat "angin segar", mendapatkan semacam justifikasi intelektual atas proyek politik
mereka.

Prof Kuntowijoyo mengumumkan idealisme intelektual yang jujur berkait pragmatisme


religius yaitu, "semua urusan mempunyai dimensi rasional, ketuhahan, dan kemanusiaan"
dan "semua urusan dikelola secara rasional dengan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan".
Tetapi, di seberang samudra kecendekiaan itu, para penggila kekuasaan akan
memperlakukannya sebagai barikade intelektual konsolidasi kekuasaan. Melihat hal ini,
ada beberapa isu yang perlu dicermati.

Pertama, hubungan antar agama di mana campur tangan pemerintah mulai menggurita,
karena menjadi bagian dari strategi merawat dukungan. Fenomena ini diperkirakan akan
terus berkembang, bahkan akan merasuk ke UNDANG-UNDANG, peraturan pemerintah
tingkat pusat maupun daerah. Ujungnya, akan terjadi dominasi kelompok tertentu dan
diskriminasi atas kelompok yang lain, pada tingkat paling basis, yaitu konstitusi dan UU.
Kedua , kemiskinan dan antri. Dua kata ini akan terus saling berkait dan selama tidak ada
perubahan strategi ekonomi yang signifikan, kata ini mungkin akan bertambang, yaitu
kematian, disamping gizi buruk. Penguasaan sumberdaya alam oleh asing akan segera
disusul dengan efisiensi melalui regenerasi mesin dan mengabaikan tenaga kerja
manusia. Yang terjadi kemudian adalah pengangguran luar biasa. Imbasnya mudah
diduga; kemiskinan, antri, gizi buruk dan bahkan kematian.

Ketiga , penguasaan sumberdaya alam. Orientasi ekonomi pemerintahan ini tampaknya


sejak awal memang dirancang mengikuti arus besar ekonomi dunia, yaitu neoliberal.
Pada batas waktu tertentu, Indonesia mungkin tidak akan memiliki sumberdaya alam
yang dikelola sendiri, melainkan seluruhnya akan di”borong”kan kepada modal asing
dengan masa kontrak sangat panjang dengan pengelolaan efisien untuk menggenjot
keuntungan.

Keempat , gerakan Islamis. Pemerintahan sekarang ini, terutama SBY, tidak saja diduga
kuat memiliki pemahaman yang sejalan dengan Islamis, dan juga tiga partai lingkaran
utama di atas, melainkan SBY tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan
gerakan Islam. Sehingga apapun yang menguntungkannya akan diambil, bahkan dalam
hak yang prinsipil sekalipun seperti hak untuk beragama dan berkeyakinan. Jika tidak ada
keberanian untuk mengubah orientasi pemerintahan sekarang atas gerakan Islamis,
mereka akan segera masuk lebih dalam ke dalam keseluruhan badan negara dan
pemerintahan ini.

Kembali pada persoalan mendasar; saat tercipta sinergi antar kekuatan, tidak saja
"sekuler" dan "religius", tetapi juga seperti "sosialis" dan "sosial-demokratik", apakah
gejala itu serta-merta ada dalam jalur "terobosan kreatif" dengan wacana tunggal operasi
penyelamatan nation-state Indonesia. Sebuah pemandangan paling dominan dalam
pilpres tahap pertama lalu, apa yang mau dicapai dengan peminangan tokoh-tokoh NU.
Apakah gerakan itu menyentuh idealisme kebangsaan kita, yaitu terciptanya integrasi
kultural atau hanya bersinggungan dengan persoalan pengumpulan dukungan politik.
Jawaban atas pertanyaan ini kian nyata dalam kondisi pasca- pembentukan koalisi.
Mungkin terlalu dini jika mengatakan, perkawinan politik yang sudah terjadi antara
"sekuler" dan "religius" menuju pragmatisme religius serentak mengusung pesan
kehidupan masa depan Indonesia.

Kuatnya pertimbangan memenangi kekuasaan dalam pembangunan koalisi, menurut


Tommy Legowo, juga terlihat dari tiadanya pembahasan program di antara mereka yang
berkoalisi. ”Misalnya, PDI-P dan partai yang mungkin diajaknya berkoalisi belum pernah
terdengar membahas apakah program penghapusan kemiskinan akan dilakukan lewat
program kedermawanan pemerintah seperti bantuan langsung tunai, atau dengan
meningkatkan kapasitas masyarakat,” katanya.

Koalisi Pragmatis : inkosistensi system Presidensial


Pragmatisme menjadi isu yang menarik dalam pemilu legislatif 9 April. Apalagi sikap
tersebut dilakukan hanya untuk meraih kekuasaan atau suara dalam parlemen. Pilihannya
hanya dua, suara terdongkrak atau merosot turun. Bisikan untuk meraih kekuasaan
sangatlah besar. Hasrat untuk berkuasa menjadi pendorong utama para politikus untuk
berkompetisi. Semangat untuk menaikkan strata sosial yang diukur melaui harta begitu
kuat. Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa korupsi sangat amat sulit di berantas di
negeri ini.

PKS, lanjut Tommy, juga belum terdengar menyatakan keputusan bergabung dengan
Demokrat berarti mereka mendukung seluruhnya program partai itu, termasuk dalam
usaha untuk keluar dari krisis global. Pragmatisme dalam membangun koalisi ini,
menurut Tommy, antara lain diakibatkan oleh banyaknya partai dan tiadanya pihak yang
dapat memenangi pemilu dengan mutlak. Cecep Effendi mempertanyakan manfaat
koalisi model itu, terutama kejelasan program yang betul-betul dibuat untuk kepentingan
rakyat. ”Sampai sekarang belum jelas koalisinya, kapan bikin program bersama,”
katanya. Menurut Cecep, harus ditunggu apakah program yang ditawarkan sebuah parpol
menjelang pemilu legislatif lalu masih bisa tecermin dalam koalisi.

Pasalnya, setiap parpol dalam kampanye pemilu legislatif lalu telanjur menawarkan
program yang bisa jadi berseberangan dengan calon mitra koalisinya. Bisa jadi ada visi-
misi penting dari sebuah parpol yang akhirnya tidak tersepakati saat berkoalisi.
”Misalnya, ada partai yang mengatakan akan membuat pendidikan gratis dan ketika
masuk dalam koalisi ternyata tidak masuk dalam program mereka,” kata Cecep.

Atmosfer panasnya Pemilu juga menyelubungi tiap atap instansi-instansi independen


seperti instansi pendidikan, khususnya kampus/perguruan tinggi. Beberapa mahasiswa
yang belum kelar mengurus study-nya, malahan mencoba mengurus rakyat dengan
mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Tak jarang juga, banyak mahasiswa yang
memiliki posisi penting di lingkungan organisasi kampus memanfaatkan moment Pemilu
kali ini dengan cara menjalankan kontrak politik. Mereka (Mahasiswa dan Caleg)
membuat kesepakatan; jika mau berkampanye atas nama Caleg yang bersangkutan dan
nanti menang, maka si Caleg akan memberikan sebuah gedung sekretariat atau imbalan
lain yang sepantasnya. Bukan cuma mahasiswa saja yang melibatkan diri dalam politik
praktis, para pengajar (dosen) di kampus/perguruan tinggi pun juga ikut melibatkan diri.
Di Universitas Khairun, ada seorang dosen yang melakukan kampanye di dalam kelas,
disela-sela proses belajar-mengajar dengan cara membagikan foto caleg yang
didukungnya kepada para mahasiswa.

Kuntowijoyo ”menggambarkan” kondisi perpolitikan negeri ini dalam novelnya Mantra


Penjinak Ular (Penerbit Kompas: 2000). Kebenaran-kebenaran fiksional tentang politik
yang ditampilkan dalam novel ini terasa hangat. Ulasan singkat tentang novel ini ditulis
oleh Tri Subhi A dalam majalah Sabili No. 19 TH. XVI 9 APRIL 2009/13 RABIUL
AKHIR 1430. Tri Subhi A menuliskan: ”Hal pertama yang sangat berpengaruh dalam
perpolitikan kita ialah kekuatan yang sering dinamakan Mesin Poltik. Mesin Politik ini
yang biasanya mempertahankan keterbelakangan rakyat untuk kepentingan kelompoknya.
Mereka tak segan melakukan penipuan, manipulasi dan cara-cara curang guna meraih
kemenangan dalam pemilihan. Kuntowijoyo menggambarkan tingkah mesin politik ini
sebagai berikut: Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan
waktu pelaksanaan pemilihan singkat saja, umpamanya tiga hari, sehingga hanya orang-
orang pilihan Mesin Politik yang akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling
terorganisir, orang-orangnya pasti lulus ujian, dan mesin politik itu weruh sak durunge
winarah (tahu sebelum kejadian) karena ada rekayasa. Menang sebelum pemilihan (hlm
91)”. Meski latar pada novel ini zaman Orde Baru, cerita yang disajikan masih tetap
relevan untuk dibahas. Sekretaris Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
Masykurudin Hafidz menilai, aspirasi rakyat direduksi dengan hanya dijadikan modal
dalam tawar-menawar kekuasaan. Seharusnya paparan rancangan program kebijakan
sebagai sarana negosiasi mendahului proses tawar-menawar tersebut. Masyarakat pemilih
yang telah memberikan suara dalam pemilu legislatif mesti sejak awal mengetahui
rencana program sebagai landasan proses koalisi. Langkah itu merupakan wujud
pendidikan politik rakyat yang dilakukan partai politik serta menjadi catatan janji yang
bakal ditagih nanti.

Dengan kata lain, menurut Qodari, koalisi parpol idealnya memang didasari kesamaan
ideologi atau platform politik. Hanya saja, saat ini koalisi lebih didasari pada upaya
memenuhi syarat pencalonan serta kalkulasi untuk menang dalam pilpres. Semestinya,
parpol berani mengajak parpol lain yang punya platform sama, serta tidak perlu mengajak
parpol lain yang platformnya berbeda. Kenyataannya, hal sebaliknya yang kerap
dilakukan. ”Tujuannya meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya,” kata Qodari.
”Koalisi pragmatis ini merupakan dampak langsung dari sistem politik kita yang lebih
bersifat parlementer. Padahal, pemerintahan kita bersifat presidensial,” tambah Yudi.
Ketidakkonsistenan dalam penggunaan sistem presidensial membuat pemerintahan lima
tahun ke depan tidak akan banyak berubah dibandingkan sekarang. Kabinet akan
dibentuk berdasarkan perhitungan pembagian kekuasaan dan bukan keahlian.
”Pemerintah juga tetap akan disibukkan oleh tawar-menawar dengan parlemen. Padahal,
eksekutif seharusnya tinggal melaksanakan, tak perlu tawar-menawar,” ucapnya.
(Kompas, 27/04/2009).

Dalam tilikan yang lebih teoretis, Pragmatisme PKS bukanlah karena ingin menutupi
hidden agenda politik Islamis dan bukan semata pragmatisme yang banal. Melainkan
lebih karena produk aturan main politik demokrasi yang dibangun dan di
institusionalisasikan di negeri ini selama 10 tahun terakhir. Harus diingat bahwa partai-
partai politik tidak bermain di ruang kosong, melainkan dalam sebuah bingkai bernama
institusi demokrasi. Menurut sejarawan ekonomi Amerika dan pemenang Hadiah Nobel
Ekonomi 1990, Douglas C. North, institusi adalah tatanan untuk mengatur perilaku
manusia. Institusi memiliki dua fungsi pokok. Pertama, institusi menyediakan aturan
berperilaku. Dalam bingkai institusi (dalam hal ini demokrasi), perilaku partai politik
menjadi teratur dan mudah diprediksi. Institusi yang stabil, dengan demikian, memotivasi
aktor politik untuk berperilaku rasional dan terprogram. Kedua, institusi berfungsi
menfasilitasi distribusi kepentingan secara lebih adil. Artinya, dalam institusi yang stabil,
aktor politik akan terdorong untuk saling bekerja sama.

Di sisi lain, survei yang diselenggarakan oleh Indo Barometer awal Desember 2008,
bahwa publik Indonesia tidak silau dengan asas sebuah partai, apakah itu berasaskan
Agama atau sekuler. Publik lebih menakar kinerja sebuah partai politik dalam
memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan rakyat sebagai indikator kredibilitas serta
kelayakan partai untuk didukung. Namun, apalah artinya sebuah hasil survei jika
pragmatisme brutal matrealistis telah berkuasa dalam diri. Lebih lanjut, North membagi
institusi ke dalam dua jenis, yaitu institusi formal dan informal. Yang pertama merujuk
pada aturan main yang terkodifikasi, misalnya konstitusi, hukum, hingga kontrak.
Sedangkan yang kedua merujuk pada sistem yang mengatur perilaku tapi tidak
terkodofikasi. Contohnya budaya, agama, dan ideologi.

Dalam analisis North, baik yang formal maupun informal, institusi memiliki fungsi sama.
Keduanya memiliki hubungan saling melengkapi. Institusi formal membantu institusi
informal supaya lebih efektif. Misalnya, undang-undang biasanya merupakan formalisasi
nilai budaya dan agama di masyarakat. Sebaliknya, institusi informal membantu mencari
jalan bila institusi formal tidak berfungsi dengan baik. Beberapa politikus ternama,
terindikasi tidak setia dengan partai karena mengetahui kekuatan partai lain yang
dipinangnya lebih ”menjanjikan”. Dari dulu, mantan aktivis mahasiswa banyak yang
tertarik masuk ke parlemen. Banyak dari mereka sudah jadi anggota dewan, dan karena
ada keinginan untuk berbuat untuk masyarakat dan bangsa, menyusullah generasi aktivis
di bawah mereka yang tertarik untuk melenggang ke sana. Tidak ada yang salah dengan
itu. Teori North ini cukup akurat untuk menjelaskan pragmatisme PKS. Pragmatisme itu
bukan upaya menutupi agenda tersembunyi dan bukan pula karena PKS tidak lagi peduli
pada ideologi partai dakwah. Pragmatisme lebih merupakan buah institusionalisasi sistem
demokrasi. Sebab sebenarnya perilaku partai politik tidaklah hanya didorong oleh
ideologi, melainkan juga dipengaruhi aturan main, yaitu sistem demokrasi.

Namun yang tetap perlu diperhatikan adalah jangan sampai idealisme yang dulu pernah
diucapkan dimana-mana menjadi mentah ketika sudah duduk di kursi empuk, juga ber-
AC. Sebagai contoh, di sebuah daerah ada caleg yang pernah berjanji di depan
konstituennya untuk sering mendatangi mereka kalau sudah terpilih. Tapi, nyatanya
sekalipun tidak terlaksana. Di kota lain ada juga yang mengeluh pada caleg sekarang
yang berniat untuk mencalonkan kembali, “lebih bagus bapak ndak usah lagi calon di
sini, karena bapak juga ndak pernah ke sini. Padahal dulu waktu kampanye katanya akan
sering-sering ke sini.” Itu baru beberapa suara saja yang terekam betapa masyarakat yang
dulunya diiming-imingi dengan macam-macam menjadi kecewa karena para aleg itu lupa
pada janjinya. Pepatah “lupa kacang akan kulitnya” tepat sekali dalam kasus ini. Jika ini
yang terjadi, maka kemana larinya idealisme mereka yang dulu pernah berkoar-koar
untuk membela kaum mustadh’afin, kaum tertindas, kaum marjinal, proletar, marhaen,
atau massa rakyat.

Budiman Sudjatmiko dengan keberaniannya melawan rezim Orde Baru saat itu pernah
ditangkap karena dituding sebagai aktor kerusuhan 27 Juli didepan gedung DPP PDI.
Sebelum menjadi Ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (RPD), ia menjadi ketua umum
Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kemudian bergabung di Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Padahal, kini PDIP tengah membina hubungan mesra dengan Partai
Golkar yang saat reformasi dijadikan musuh bersama para mahasiswa dan pemuda, tak
terkecuali Budiman Sudjatmiko.
Lain lagi cerita tentang Pius Lustrilanang, salah satu aktivis yang pernah manjadi korban
penculikan pada 4 Februari 1997 oleh Tim Mawar dari pasukan elite KOPASSUS itu kini
bergabung dengan Prabowo Subianto di Partai Gerindra. Banyak orang kaget, pasalnya
Prabowo dianggap orang yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bayak pihak
mempertanyakan, mengapa korban penculikan kok memilih bergabung dengan
”penculiknya”. Juga Dita Indah Sari mantan Ketua Umum Papernas (Partai Pembebasan
Nasional) kini berlabuh ke Partai Bintang Reformasi (PBR). Ade Daud Nasution, dari
PBR loncat pagar ke Partai Amanat Nasional (PAN). Permadi dari PDIP bergabung
dengan Gerindra. Tingkah para elite politik negeri ini seperti dagelan (komedi-red) yang
sama sekali tidak lucu. Perilaku mereka telah membuat bingung para pemilih yang hanya
ditempatkan sebagai penonton. Pada saat kampanye berlangsung, rakyat dilibatkan.
Namun saat pentas tersebut usai, rakyat tidak merasakan manfaat apa-apa.

Risiko Koalisi Pragmatis : menuju koalisi deontologi


Sejumlah pakar dan pengamat politik menyampaikan pandangannnya mengenai
fenomena koalisi pragmatis.Pemerhati politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit,
menilai koalisi yang sedang digagas sejumlah parpol guna menghadapi pemilu presiden
tidak dibangun dari persamaan nilai atau cita-cita perjuangan partai. Senada dengan Arbi,
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, dan Direktur Eksekutif Indo Barometer
M Qodari memandang koalisi lebih didasarkan pada kepentingan yang amat pragmatis
yaitu menjadi pemenang. Pemerintahan tetap akan disibukkan oleh pembagian kekuasaan
dibandingkan melaksanakan program kerja.

Pernyataan ini mengemuka saat peta koalisi menghadapi pilpres mulai. Partai Demokrat
kemungkinan besar akan bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
sudah jelas menunjukkan arah koalisi bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Menurut Arbi, sekilas, koalisi yang dibangun
PDI-P, Hanura, dan Gerindra punya kesamaan latar belakang, yaitu nasionalis sekuler.
Namun, sebenarnya ada perbedaan latar belakang, prinsip, dan nilai di antara mereka.
Koalisi itu lebih disatukan kepentingan, yaitu kegagalan pada Pemilu 2004 dan perasaan
sakit hati karena merasa dicurangi pada pemilu.

Hal serupa terlihat dalam koalisi yang dibangun Demokrat dengan PKS dan PKB. Yudi
memaparkan, "Jika dilihat secara ideologi, cukup aneh PKS bisa bersatu dengan PKB,"
Pragmatisme dalam pembangunan koalisi, lanjut Yudi, makin terlihat dari mudahnya
perubahan sikap, seperti yang diperlihatkan Partai Golkar. Kuatnya pertimbangan
memenangi kekuasaan dalam pembangunan koalisi, menurut Tommy Legowo, juga
terlihat dari tiadanya pembahasan program di antara mereka yang berkoalisi. Faktanya,
PDI-P dan partai yang mungkin diajaknya berkoalisi belum pernah terdengar membahas
apakah program penghapusan kemiskinan akan dilakukan lewat program kedermawanan
pemerintah seperti bantuan langsung tunai, atau dengan meningkatkan kapasitas
masyarakat. Adapun PKS, menurut peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen
Indonesia, juga belum terdengar menyatakan keputusan bergabung dengan Demokrat.
Dengan demikian, berarti mereka mendukung seluruhnya program partai itu, termasuk
dalam usaha untuk keluar dari krisis global.

Mengingat koalisi pragmatisme yang dipertontonkan oleh para elite partai politik ternyata
tidak memberi keuntungan bagi rakyat, sudah saatnyalah pemerintahan yang akan datang
beserta elite partai politik perlu membuat sebuah gebrakan baru dalam perpolitikan
negeri ini dengan membangun koalisi deontologisme. Istilah deontologis berasal dari
bahasa yunani, deon (keharusan, kewajiban). Jadi, secara harafiah istilah ini semacam
teori tentang kewajiban (tugas). Ia menunjuk pada tanggung jawab, komitmen, perintah
moral, dan gagasan mengenai kewajiban sebagai keharusan sosial (Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, hlm.158).
Merujuk pada pengertian tersebut, maka koalisi deontologis berarti koalisi yang dibentuk
oleh sejumlah partai politik atas dasar kesepatakan bersama. Dalam koalisi tersebut,
setiap partai peserta koalisi merasa memiliki kewajiban, tanggung jawab, komitmen
berdasar nilai moral dalam membangun pemerintahan yang kuat, kompeten. Dengan itu,
konsekuensi apa pun yang terjadi dalam koalisi deontologis harus diterima dengan rendah
hati, lapang dada oleh partai peserta koalisi. Yang menarik bahwa dalam koalisi
deontologis ini para pembantu presiden seperti menteri diangkat secara langsung, bebas,
oleh presiden. Maka, para menteri tidak harus berasal dari partai peserta koalisi, tetapi
lebih diutamakan profesionalisme, keahlian dalam bidang yang akan digeluti oleh sang
mentri ketimbang kader-kader partai politik yang hanya mampu mengumbar janji tanpa
aksi nyata.

Pragmatisme religius bertolak dari realitas politik kita yang tidak lagi memiliki kekuatan
dominan pada satu arus politik saja. Jika membandingkan keadaan sekarang dengan masa
kejayaan Golkar dulu, mereka tidak perlu melakukan integrasi politik dengan siapa pun
karena kekuatan mutlak ada dalam genggaman mereka. Tetapi dalam pemilu, kekuatan
politik sudah terbelah ke sana kemari. Konsekuensinya, tidak ada satu kekuatan politik
yang dapat memenangi kursi presiden Indonesia tanpa melakukan kerja sama politik yang
tegas.
Fenomena integrasi "sekuler" dan "religius" menuju pragmatisme religius hanya sebuah
gerakan politik kekuasaan dengan sebuah ketidakpastian soal integrasi kreatif untuk masa
depan Indonesia(Max Regus, 2004). Kita mahfum, dalam politik, kategorisasi atau
pembauran (integrasi), tidak pernah mutlak, tidak ada tempat di sana. Soalnya, yang
menguatkan sinergi itu cuma gumpalan kepentingan klan-klan politik yang
menggelandang koalisi dalam kancah politik. Integrasi itu akan selalu bergerak dalam
prinsip tunggal, "kalau saya memberi ini, saya harus mendapatkan itu!" Jika begitu,
tidakkah akhirnya pragmatisme religius akan menjadi topeng kekuasaan di hadapan
rakyat Indonesia.

Ketika politik nasional tidak memiliki kekuatan dominan pada satu tangan kekuasaan,
maka jalan koalisi harus ditempuh. "Religius" (kekuatan politik agamis) memiliki
magnetika khas dalam peta politik Indonesia. Sebab, kekuatan politik dengan nuansa
agama menyediakan basis massa signifikan dalam membangun format kekuasaan.
"Religius", dipinang sejumlah kekuatan politik (sekuler) juga sebaliknya, bukan karena
pertimbangan keberdayaan kultural, tetapi lebih pada perhitungan basis massa
pendukung. Namun, "politik itu selalu memesonakan". Di sini, "religius" bisa terbuai
dalam gelimangan "motivasi" kekuasaan belaka. Keduanya, baik "religius" maupun
"sekuler" bergerak dalam arus yang sama, kekuasaan. Publik politik pasti amat
menghormati gagasan Prof Kuntowijoyo dan penajaman Muhammad Ali soal
pragmatisme religius. Tetapi, ada sebuah jebakan mematikan, di mana fenomena yang
sedang bergerak ke muka ini sebetulnya hanya sebuah "sinkretisme destruktif" saat
kekuasaan menjadi "perekat" integrasi.

Kita masih membutuhkan diskusi dan penjelasan rasional, tidak saja "romantik" terhadap
fenomena yang mulai mengkristal ini. Adakah sebuah optimisme sosial atau lonceng
kematian, ketika peta politik kekuasaan Indonesia di masa depan dikendalikan kekuatan
"pragmatisme religius".

Dalam hal ini, koalisi deontologis antara sejumlah partai politik lebih mengedepankan
pencapaian kebaikan bersama seluruh rakyat Indonesia ketimbang bagi-bagi jabatan
menteri di kabinet (koalisi pragmatisme). Koalisi yang terbangun merasa mempunyai
tanggung jawab, pesan moral, kewajiban mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ia
mempunyai keharusan untuk membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Baginya,
rakyat bukan semata-mata sarana mencapai kekuasaan (pemilu), melainkan sebagai
tujuan utama yaitu menyejahterakan rakyat.

Peran Strategis Partai Politik


Sejak jatuhnya Orde Baru dan datangnya era multipartai, maka parpol memiliki posisi
dan peran yang amat strategis, dalam proses pengambilan keputusan publik. Parpol diberi
peluang untuk menyuguhkan orang-orangnya untuk dipilih menjadi anggota parlemen di
pusat dan daerah, dan tak kalah strategisnya juga menyuguhkan kandidat presiden-wakil
presiden dan para kandidat pasangan kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten/
kota. Parpol juga diberi kebebasan menggalang kekuatan dari pusat hingga ke desa-desa
manakala tak ada lagi massa mengambang. Realitas politik menunjukan bahwa sebagian
besar partai politik tidak menjalankan fungsinya secara maksimal.

Partai politik masih menerapkan pragmatisme politik semata ketimbang mengimplemen-


tasikan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Kondisi ini terutama terlihat jelas dalam tahapan
kampanye, dimana sosialisasi dan pendidikan politik sangat minim sekali (bahkan nyaris
tidak ada). Partai politik masih berparadigma konvensional, yang menempatkan
kampanye sebagai ajang unjuk kekuatan ketimbang wahana penyampaian wacana politik
dalam rangka pendidikan politik bagi masyarakat. Dalam beragam kesempatan, sejumlah
elit selalu memekikkan kepentingan bangsa. Artinya, wacana kesejahteraan rakyat, demi
kemajuan bangsa, serta dalam rangka memenuhi kepentingan yang lebih besar,
menyeruak di seantero panggung politik. Namun, melihat realitas dinamika politik, sulit
rasanya memercayai sikap dan pernyataan politik dari para elit tersebut. Bahkan kuat
dugaan kita, gejolak DPT hanyalah sebagai reaksi kekalahan, sementara proses koalisi
semata-mata guna memenuhi hasrat dari sejumlah elit yang ingin berkuasa.Kondisi ini
menunjukan adanya mal-fungsi dari partai politik, dalam hal ini fungsi partai politik
sebagai sarana sosialiasi dan pendidikan politik tidak berjalan. Begitupula halnya dengan
realisasi dari fungsi partai politik sebagai peredam dan pengatur konflik. Partai politik
belum bisa menempatkan diri sebagai sebuah institusi politik yang inklusif yang
menampung aspirasi masyarakat dan mendeteksi secara dini potensi dan gejala
munculnya konflik dalam masyarakat.

Bahkan, kerap kali partai politik terlibat langsung dalam konflik atau menjadi biang
keladi munculnya sebuah konflik dalam masyarakat. Dan kondisi ini terlihat jelas dalam
tahapan kampanye, dimana terjadi konflik terbuka antar partai yang memunculkan
konflik antar kelompok masyarakat. Mal-fungsi dan partai politik (terutama dalam
fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik serta sarana peredam dan
pengatur konflik) ini terjadi sebagai akibat dari; pertama, kemunculan partai yang lebih
disebabkan oleh eufona politik semata, bukan dilandasi oleh kebutuhan dan pemikiran
politik yang dewasa. Hal ini menyebabkan partai-partai tersebut cenderung emosional
dan reaktif dalam berpolitik.

Kedua, sebagian besar partai politik tidak memiliki visi, misi, platform, dan program
yang jelas. Ini merupakan dampak turunan dari kemunculan partai politik itu sendiri yang
dilandasi oleh euforia politik. Akibatnya tidak ada wacana politik yang dapat ditawarkan
kepada masyarakat, hanya konvoi dan arak-arakan saja. Dalam kaitan itu, partai politik
tidak melakukan pendewasaan politik tetapi melakukan pembodohan politik kepada
masyarakat. Menarik mencermati pembentukan koalisi “besar” yang ditopang oleh PDIP,
PG, Gerindra, Hanura. Koalisi ini tidak berhasil merumuskan apa-apa selain adanya
gerakan bersama di DPR. Buktinya, koalisi ini pecah sebelum berbentuk khususnya
dalam pengajuan calon presiden dan wakil presiden. PG dan Hanura mencalonkan Jusuf
Kalla dan Wiranto sebagai paket capres dan cawapres. Dan besar kemungkinannya PDIP
dan Gerindra akan mengusung Mega dan Prabowo. Bahkan boleh dibilang, koalisi besar
dibentuk hanyalah sebagai gerakan “anti” SBY. Tiga partai, kecuali PG, selama ini
dikenal sangat kritis terhadap kinerja pemerintahan SBY-JK. Dan pascapecah kongsi
dengan PD, PG pun ikut dalam barisan ini. Jika koalisi besar mampu merunut jalan-jalan
bagi kemajuan bangsa, yang lebih baik dari yang dilakukan pemerintahan saat ini,
niscaya akan didukung oleh rakyat.
Ketiga, struktur dan infrastruktur politik yang dimiliki oleh sebagian besar partai politik
(baru) sangat tidak memadai bagi terealisasinya fungsi-fungsi dari partai politik. Hal ini
dimungkinkan karena usianya yang masih relatif muda, dibutuhkan waktu yang panjang
untuk mematangkan dan menguatkan struktur dan infrastruktur partai politik sehingga
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Keempat, sebagian partai politik masih cenderung memiliki pemikiran politik yang
kurang dewasa, terutama menempatkan pemilu sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan
semata. Pemilu hanya dilihat sebagai alat untuk mendapatkan jatah kursi di legislatif.
Fungsi lain dari pemilu diabaikan begitu saja. Akibatnya, partai-partai politik terjebak
pada pragmatisme dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh
kekuasaan. Mal-fungsi dari partai politik tersebut pada akhirnya akan mengurangi
kualitas dari penyelenggaraan pemilu, terutama berkaitan dengan pendidikan dan
pendewasaan politik masyarakat.
Agenda politik dari elit partai pascapemilu legislatif adalah pertarungan menuju kursi
presiden dan wakil presiden. Maka, masing-masing petinggi partai, kini, terus bergerilya
dengan membangun koalisi, untuk maksud menjadi mengajukan kandidat dalam pilpres
nanti. Dinamika politik, baik di internal maupun di eksternal partai terus berdenyut
kencang bahkan menjurus pada friksi-friksi yang cukup tajam. Ancaman perpecahan pun
membayangi sejumlah partai.
Mengejar atau mempertahankan kekuasaan merupakan hal yang wajar dalam dunia
politik. Namun yang menjadi soal adalah perihal cara atau modus yang dipakai dalam
rangka menggapai impian dimaksud. Secara kasat mata kita menyaksikan banyak cara
yang dilakukan oleh para elit justru kurang fair, tidak proporsional, dan cenderung kurang
berfaedah. Saling serang dengan cara yang tak berdasar adalah contohnya.
Kita tidak boleh lupa bahwa politik pada dasarnya bertujuan baik ; yaitu sebagai jalur
demi menggapai cita-cita bersama. Dan untuk menggerakkan mesin politik dimaksud,
dibutuhkan kekuasaan yang kepadanya melekat hak dan kewajiban dalam membaharui
tatanan hidup bersama. Jadi kekuasaan tak lain dan tak bukan adalah alat bersama.
Memburu kekuasaan semata bukanlah sikap politik yang cerdas. Kekuasaan bukanlah
segala-galanya. Gerak politik yang justru memburu kekuasaan dengan memakai kaca
mata kuda adalah gerak politik anti nalar. Tak heran, pola pikir elit yang justru
mengabaikan kompleksitas konteks penderitaan rakyat. Logika formal untuk menjawab
kegelisahan rakyat menjadi kabur. Tidak ada hukum kausal antara aspirasi rakyat dan
kehadiran elit. Pembentukan koalisipun identik dengan perilaku sesat pikir. Jalur di jalan
pintas. Pembicaraan yang lepas konteks. Memanipulasi emosi rakyat. Membangun
retorika politik ketimbang intelektualitas sejati. Tidak ada pencerahan politik.

Munculnya Parpol-parpol Prospektif


Parpol -parpol telah berkiprah dalam dua kali pesta demokrasi (1999 dan 2004), telah
menunjukkan kecenderungannya masing-masing. Partai-partai yang ada sambunganya
dengan zaman Orde Baru, artinya telah ada persiapan panjang, ternyata masih amat eksis:
Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Tetapi muncul parpol-parpol yang prospektif, semacam Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Ada pula parpol yang kelihatannya massanya tidak akan
berkembang jauh, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituen utamanya
kaum Nadhliyyin serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang basis pendukung
tradisionalnya kalangan Muhammadiyah.

Tapi ada lagi fenomena yang cukup mengejutkan, muncul sebagai kekuatan politik utama
dalam Pemilu 2004, yakni Partai Demokrat melambung bersama popularitas Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara parpol-parpol lain kelihatan masih tergagap-
gagap menyesuaikan diri. Pergeseran seperti itu, masih tetap membias dalam praktek
politik multi partai era reformasi, sekelompok orang beramai-ramai mendirikan partai
politik, dengan rumusan flaform yang begitu ideal, tetapi kenyataannya dari sekitar 10
partai politik yang mampu mencapai tujuan untuk memposisikan elit-nya di sejumlah
lembaga legislatif di tanah air, secara praksis ikut-ikutan terjebak dalam menjalankan
fungsi-fungsi keterwakilannya. Belum lagi menyebut peranan partai politik itu sendiri,
platform kemudian hanya menjadi rumusan ideal di atas kertas, tanpa ada lagi
korelasinya dengan program pencapaiannya.
Ramai-ramai berprogram menjelang pelaksanaan pemilu, semata hanya untuk tujuan
mengakses kader-kadernya dalam pencapaian tujuan partai politik, pasca pemilu aktivitas
partai politik ikut menurun kalau tidak dikatakan terhenti padahal idealnya sejarah partai
politik didirikan untuk menjalankan fungsi-fungsinya, sementara untuk pencapaian tujuan
adalah sasaran antara. Partai politik idealnya harus bergerak secara terus menerus untuk
menjalankan aktivitasnya untuk menjalankan fungsi-fungsinya untuk mengakses
problematika sosial yang dihadapi masyarakatnya, untuk dapat diartikulasikan dan
diperjuangkan para wakil-wakilnya di parlemen. Pakar ilmu politik ternama dari
Universitas Indonesia Miriam Budiardjo mengemukakan setidak-tidaknya ada empat
fungsi partai politik, yaitu; (1) sebagai sarana komunikasi politik; (2) sebagai sarana
sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekruitmen politik; dan (4) sebagai sarana pengatur
konflik.

Peran Partai Politik: rakyat sebagai Subyek dan Obyek


Peluang yang besar pada parpol dalam menentukan merah-birunya perpolitikan nasional
dan lokal, seharusnya tidak boleh dibaca hanya dari satu sudut pandang. Kacamata
pandang negatif dan ini sesuai dengan subyektivitas parpol, cenderung melihat segala
sesuatunya (stake holder), apalagi rakyat (yang abstrak itu) sebagai obyek yang
ditentukan. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi bila ada pejabat puncak parpol yang
mengatakan bahwa upaya pemenangan pemilu lebih merupakan urusan teknis yang
dilakukan pada bulan-bulan menjelang pemilu.

Kalau pemilu masih jauh, maka parpol seyogyanya berkonsentrasi ke masalah-masalah


lain yang tidak ada kaitannya dengan apakah kegiatannya populer atau tidak di mata
rakyat atau konstituen. Masalah-masalah lain yang dimaksud, antara lain bagaimana
mengisi pundi-pundi parpol, untuk kelak maju pemilu. Tidak salah pandangan demikian,
tetapi tentunya amat berisiko mungkin akan mempercepat kematiannya. Kacamata
pandang positif adalah sebaliknya. Rakyat atau konstituen adalah subjek. Cara pandang
model begini tidak mentang-mentang.

Sehingga parpol akan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak semata mobilisasi, tetapi
kaderisasi, mengingat parpol bertangungjawab atas suplai sumber daya manusia, untuk
disodorkan sebagai penentu kebijakan publik. Kalau demikian, maka profesionalisme
parpol diutamakan. Parpol memang hanya alat politik para elite atau aktor politik yang
ada di dalamnya, tetapi seyogyanya ia didesain bukan temporer tetapi jangka panjang
(abadi) sehingga parpol tidak terbajak justru oleh elitenya sendiri.

Idealnya, keberadaan partai politik dibedakan atas dua peranan; yaitu “tujuan” di satu
sisi, dan “fungsi” pada sisi yang lain, meskipun kenyataannya pem-bedaan itu semakin
dikaburkan. Tujuan partai politik, adalah sarana untuk mencapai kedudukan atas
dukungan pengikut dan pendukungnya. Sementara fungsi partai politik adalah untuk
memperjuangkan aspirasi bagi kesejahteraan para pengikut dan pendukungnya, yang
telah mempercayakan kepadanya melalui pemberian suara dalam pelaksanaan pemilu.
Jika pembedaan antara tujuan dan fungsi itu coba disepadankan dengan realitas dalam
praktek politik, maka berdasar kesimpulan empiris terutama dalam tradisi politik ke-
Indonesia-an kontemporer ternyata peranan partai politik mengalami pergeseran.
Para elit dan pelaku politik lebih mengedepankan tujuan partai politik ketimbang pada
fungsinnya, yang justru dijadikan hal yang kesekian. Akibatnya, rakyat pemilih sebagai
konstituen pemegang kedaulatan atas pilihan politik diposisikan semata untuk di
eksploitir sebagai alat legitimasi atas posisi kedudukan yang diraih elitnya.
Dalam prakteknya, partai politik lebih berorientasi tujuan daripada proses. Pembuktian
terhadap kenyataan seperti itu, semakin nyata di Indonesia dimasa kepemimpinan era
orde baru, dengan politik massa mengambang (floating mass). Pada masa itu, pilihan
rakyat didasarkan atas order dari kekuasaan yang dimobilisasi secara sistemik melalui
otoritas kekuasaan single majority, maupun dengan praktek mobilisasi massa dengan
jargon-jargon verbal yang mengawang-awang. Misalnya melalui praktek money politic
untuk upaya pemenuhan kebutuhan rakyat secara jangka pendek, serta upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat secara jangka panjang dalam bentuk harapan-harapan yang terlalu
sulit untuk menunggu realisasi sebagai pembuktiannya.

Berebut kursi legislative


Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan bukanlah untuk kemuliaan kekuasaan itu
sendiri. Secara konseptual, kekuasaan adalah instrumen untuk mencapai dua tujuan. Ia
dapat digunakan sebagai instrumen untuk perubahan atau sebaliknya sebagai alat untuk
melestarikan status quo. Kalau kita sepakat dengan konseptualisasi seperti ini, demokrasi
sebagai mekanisme untuk memperoleh kekuasaan juga tidak luput dari kemungkinan dua
tujuan ini. Ia dapat menjadi suatu mekanisme yang melahirkan harapan, tetapi sekaligus
dapat mengubah dirinya menjadi ”ibu” keputusasaan.
Sepertinya ada sikap institusi yang kurang peduli terhadap capresnya. Hakikatnya hal ini
lebih disebabkan para pe-tinggi partai yang sudah merasa aman berhasil menduduki kursi
legislatif. Tim sukses capres-cawapres rupanya mencium suasana jiwa caleg terpilih ini.
Mereka yang sudah lolos pemilu 5 April tidak peduli terhadap pemilu capres-cawapres
lantaran calon terpilih legislatif merasa nasibnya sudah aman untuk duduk di kursi
DPR/DPRD. Pada tingkat individu banyak disuarakan oleh para kandidat legislatif seolah
mereka berjuang sendirian saja untuk mengumpulkan suara dalam rangka meraih kursi
legislatif. Mereka beranggapan bahwa penentuan nomor urut lebih ditentukan kelihaian
lobi dan jumlah duit daripada dedikasi aktivis terhadap parpolnya. Karena itu saat
terpilih, mereka merasa bahwa kemenangannya adalah merupakan jerih payahnya sendiri
dalam mengumpulkan suara pemilih.

Dalam hal ini, caleg yang tidak terpilih dianggap tim sukses masa bodoh terhadap kerja
tim sukses. Diasumsikan, mereka merasa habis arang besi binasa, dana dan tenaga sudah
dikuras untuk memenangkan kursi legislatif, tapi yang tersisa adalah capek dan utang
bekas biaya kampanye. Sungguh tidak sederhana memanaj partai politik, walaupun
kuncinya sama-sama mereka ketahui dan pahami yakni keterbukaan atau transparansi
dalam mengelola partai. Pragmatisme yang sifatnya personal sebagaimana dikemukakan
di atas, juga merasuk pada parpol sebagai institusi. Kekuasaan sebagai target yang harus
dicapai oleh parpol dijadikan sasaran utama tanpa peduli terhadap ideologi, norma dan
malah etika. Kisah tentang keputusan musyawarah parpol yang berasaskan Islam meng-
giring ketua parpolnya untuk jadi "penunggu lamaran", dan taat asas untuk terus menerus
menunggu lamaran dicawapreskan, menunjukkan betapa harga diri pimpinan parpol (dan
kemudian membawa jatuh martabat parpolnya) sudah demikian rendah di hadapan
pemain politik.

Pergeseran dari harapan menjadi keputusasaan dalam sistem politik yang demokratis
tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi dalam suatu proses panjang. Secara hipotetis, ia
akan muncul ke permukaan jika peta kekuasaan tergambar sangat dinamis, sedangkan
peta kemiskinan terbingkai dalam lukisan statis. Kasus Indonesia dalam satu dasawarsa
terakhir menunjukkan adanya kecenderungan untuk membenarkan kalimat hipotetis ini
melalui dua indikasi berikut. Pertama, tidak ada satu pun basis kekuatan politik partai
yang dapat berkuasa tanpa melakukan koalisi. Kasus kejatuhan pemerintahan Gus Dur,
disusul dengan kekalahan Megawati pada Pemilu 2004, dan dilanjutkan oleh SBY
melalui pembentukan kabinet ”presidensial dengan gaya parlementer”, kesemuanya
memberikan ”pelajaran” betapa dinamisnya peta politik negeri ini. Tidak hanya di tataran
nasional, di tingkat lokal situasi serupa bisa juga ditemukan. Beberapa pemilihan kepala
daerah telah dilakukan melalui ”koalisi melawan akal sehat”. Dinamika peta koalisi
politik yang ”irasional secara ideologis” ini bahkan semakin tinggi pada musim
kampanye sekarang. Pembicaraan ”tingkat tinggi” tentang pembentukan koalisi di antara
partai-partai tertentu sesungguhnya telah menghilangkan basis perbedaan ideologis di
antara mereka.

Secara sekilas pembicaraan ”tingkat tinggi” lintas ”ideologi” untuk pembentukan koalisi
itu memang dapat saja menyampaikan pesan bahwa elite partai telah berperilaku sebagai
”negarawan” yang lebih memprioritaskan ”kepentingan rakyat yang lebih luas” daripada
kepentingan ideologi partainya. Namun, pada saat yang sama, pola pembentukan koalisi
lintas ideologi itu dapat juga menyampaikan pesan yang sangat bertolak belakang. Ia juga
merefleksikan pragmatisme politik nonideologis yang sangat luar biasa oleh para elite
partai. Dalam upaya mendapatkan kekuasaan, ideologi bagi para elite partai hanyalah
hiasan aksesori yang tidak harus terus dipakai.

Kedua, tidak ada perubahan yang sangat mendasar dalam peta kemiskinan kita. Debat
tentang seberapa besar jumlah angka kemiskinan sesungguhnya tidak relevan untuk
menyatakan peta kemiskinan telah mengalami perubahan di negeri ini. Sesungguhnya,
hampir tidak ada peta geografis Indonesia yang tidak luput dari rendahnya kualitas
pembangunan manusia. Beberapa wilayah geografis itu, seperti Aceh dan Papua, bahkan
memiliki kantong-kantong geografis yang menggambarkan persoalan kemiskinan yang
masif. Laporan resmi tentang target pembangunan milenium yang harus dicapai
Indonesia pada 2015 sesungguhnya mengindikasikan perjuangan yang sangat berat untuk
mengubah peta kemiskinan ini. Beberapa target itu antara lain menurunkan proporsi
penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar AS per hari menjadi
setengahnya. Angka resmi pemerintah untuk jumlah penduduk miskin di bawah 1 dollar
AS ini pada 2004 sebesar 36,15 juta.
KEPUSTAKAAN
Achmad An'am Tamrin Demokrasi “voorskot”: strategi resistensi terhadap politik uang,
Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politika
Achwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010
Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009,
http://www.hmifebugm.com
Admin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010
admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme,
Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/
Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSS
Jakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.
Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:
Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.net
Alfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007
ariedjito, Orde (paling) Baru , Wednesday, 07 May 2008
Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.
Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis,
17/07/2008 08:49 WIB
Dimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October
2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/
Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita,
27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/id
Ediwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme,
ediwahyu.multiply.com/journal
Endrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga
Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010
Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.com
Makmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01
Kompas
Marinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)
Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/
Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm
M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan
Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.

Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik ‘09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's Weblog
NU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu
Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009
Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia",
Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83
Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/
Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.
Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15
October.
Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.
VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah
format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009,
10:05 WIB
Wishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, Jakarta
Wemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33
Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy"
SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24
Pebruari 2006
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009
Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta
2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in
Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.
Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada
Bab I)
Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret
1998.
Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada
Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen
Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth,
Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah), Ekonomi Orde Baru: The
Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold,
The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.
Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic
Transformation.
Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI
dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,
Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of
Southeast Asian Studies, 1977.
Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.
Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),
Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika,
1995.
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu
Sosial & FIS-UI, 1980.
Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia
Press, 1971.
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar
Maju, hlm 264.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.
Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.
Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.
Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS,
Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and
Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
Max Weber. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya
pada Bab I)
Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12
Maret 1998.
Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi)
pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AM
http://adetaris.multiply.com
Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication
Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster
University Press
Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political
Economy of the Mass Media. New York:Pantheon
Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward
Arnold
Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader.
London:Sage Publication
Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage
Public
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS
Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
London:Longman
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold
Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge
Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books
Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge
Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius
Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press
Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana
di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan
Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth
Publishing Company
Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global.
Jakarta:YOI
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan
modern. Jakarta:Gramedia
Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of
Knowledge. London:Routledge
Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil
Blackwall
Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory.
London:Sage Publications
Mills, Sara. 1991. Discourse. London:Routledge
Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon
Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass
Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication
Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher
Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse.
London:Sage Publication
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press
Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the
Mass Media. New York:Longman
Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia.
Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth
PC
Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development
and Pressure for Change. New York:Routledge
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,
Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH
Publishing Co, 1976
Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics.
London: Cornell University Press, 1976.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan
pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI,
1987.
Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES,
1992.
Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982

You might also like