You are on page 1of 9

Sejarah Asal Mula Halal Bihalal

Filosofi Idul Fitri

Tanbihun.com – Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa


tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di
Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.
Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk
dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati
dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain
Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan
secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis
berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.

Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat
Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa
berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut.
Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran
Surat Ali Imran ayat 134).

Budaya sungkem
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan
yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan
perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua,
sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari
bahasa Arab “ghafura”.

Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk
meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau
diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung
mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih
bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?

Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan
yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masingmasing, yang kemudian dilaksanakan secara
kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai),
dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).

Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan
perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam.

Sejarah halal bihalal


Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan
Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I,
yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para
punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan
tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi
Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga
mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk
agama.

Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga
masyarakat. Dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat
menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan.

Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga
masyarakat, maka tradisi halal bihalal perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada
akhir-akhir ini di negeri kita sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan
kepentingan.

Makna Idul Fitri


Ada tiga pengertian tentang Idul Fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan Idul Fitri
dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri
menyucikan jasmani dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah
SWT, Maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.

Ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah, atau naluri religius. Hal ini sesuai
dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang
melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.

Ada pula yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada keadaan di mana umat Islam
diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab,
pengertian ketiga itu dianggap yang paling tepat.

Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki Idul Fitri umat Islam
diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri
manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam Surat
Al-Ma’un ayat 1 -3 disebutkan, adalah dusta belaka kalau ada orang mengaku beragama tetapi
tidak mempedulikan nasib anak yatim. Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan
representasi dari kaum yang sengsara.

Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu wajib memberikan zakat
fitrah kepada kaum fakir miskin, dan pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum
pelaksanaan salat Idul Fitri. Aturan ini dimaksudkan, agar pada waktu umat Islam yang mampu
bergembira ria merayakan Idul Fitri jangan ada orang-orang miskin yang sedih, atau sampai
menangis, karena tidak ada yang dimakan.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-
orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta), untuk dibagikan kepada delapan asnaf
(kelompok), di antaranya adalah kaum fakir miskin.

Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri merupakan puncak dari suatu metode
pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang
suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial
yang harmonis.

Halal bi Halal saat Lebaran


Setiap hari raya idul fitri datang, tidak hanya baju baru saja yang menjadi ciri untuk menyambut
kedatangan “bulan kemenangan” setelah satu bulan berpuasa. Tetapi ada hal yang lebih dari itu.
Yaitu tradisi halal bi halal.
Halal bi halal, adalah tradisi yang hanya ada di Indonesia dan merambah ke beberapa Negara
tetangga dalam rumpun melayu, seperti Malaysia. Yang dicirikan dengan saling bersilaturrahmi
dan saling bermaaf-maafan satu sama lain.
KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam Tradisi Lebaran, Tradisi Melebur Dosa (2006), menengarai
tradisi halal bi halal itu dilakukan setelah njungkung sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan
ikhlas, hanya memburu ridho Allah, agar dosa-dosa kita (ummat Islam) diampuni.
Namun, tambah budayawan penulis buku Lukisan Kaligrafi ini, dosa yang diampuni itu hanya
yang berhubungan langsung dengan Allah. Masih ada dosa lain yang berkaitan dengan sesama
kita, antar kita, dimana ampunan Allah bergantung pada pemaafan masing-masing yang
bersangkutan. Apabila anda saya sakiti atau saya zalim dan anda tidak memaafkan saya, Allah
pun tidak akan mengampuninya sampai anda mau memaafkan saya.
“Idul fitri” sendiri diambil dari nama zakat yang wajib dikeluarkan oleh orang-orang Islam yang
mampu, sebelum ied (hari raya) tiba, yaitu zakat “fitrah”. Sementara “lebaran”, dalam pandangan
masyarakat umum, lazim dipahami sebagai sebuah perayaan yang diadakan usai (jawa: lebar)
melaksanakan puasa Ramadhan.

Unik
Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang sangat unik. Sebuah kreasi dan konstruk budaya
masyarakat Indonesia, yang tidak akan pernah dijumpai di negeri dimana Islam pertama kali
diwahyukan.
Seperti dikemukakan Suliswiyadi dalam Tradisi Saling Memaafkan lewat Halal bi Halal (2004),
secara konsep, istilah dan kegiatan halal bi halal ini tidak muncul dari Al-Qur’an dan Hadis. Jadi,
secara tegas dalam Islam, halal bi halal ini tidak ada.
Namun, Dosen Universitas Muhammadiyah Magelang ini menambahkan, jika dilihat dari rohnya
kegiatannya, Al-Qur’an dan Hadis memang memberikan landasan untuk itu. “Kelahiran tradisi
dan budaya ini tidak lepas dari unsur pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Inilah
barangkali setitik bukti rahmatan lil’alamin-nya Islam dalam realitas sosial budaya.”
Keunikan dari tradisi halal bi halal dalam idul fitri di Indonesia ini, juga dikemukakan oleh
Abdul Munir Mulkhan. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
ini melihat halal bi halal sebagai religiositas mayoritas warga negeri ini, yang berlangsung begitu
saja tanpa suatu kesadaran, yang sering melampaui akar- akar normatif dan teologis suatu ajaran
agama.
Misteri teologis, seperti yang dikemukakannya dalam Napak Tilas Kemanusiaan dalam Misteri
Mudik (2003), ini telah membuat para pemudik di Hari Raya Fitrah mengalami semacam
alkoholisme atau ekstase, yaitu suatu situasi yang secara sosiologis disebut “mabuk ketuhanan”
yang tak lagi peduli apakah sumber tekstual dan teologisnya ada.
Bukan hanya sekadar ketakpedulian akan tiadanya sumber tekstual dan teologis yang belum
jelas, bahkan meski menghabiskan banyak uang untuk merayakan tradisi halal bi halal, tradisi ini
tetap berjalan bahkan semakin terpupuk dengan baik.
Sebagai legitimasi, ajaran Islam yang dikaitkan dengan tradisi halal bi halal dengan mudik yang
harus dilalui oleh kaum urban (pelancong) ialah ajaran tentang silaturahmi (menyambung cinta-
kasih) dan ajaran untuk minta maaf bagi seseorang saat menyadari telah berbuat salah kepada
orang lain.
Mudik sendiri, bagi Abdul Munir Mulkhan, merupakan prosesi ritual maha-kolosal dan misterius
yang hanya ada di negeri seribu pulau ini; Indonesia. Menurutnya, prosesi ritual ini mengandung
banyak makna melampaui doktrin teologis. Dimana jutaan manusia bergerak serentak di hari-
hari terakhir Ramadhan seolah sedang melakukan napak tilas atas jejak atau asal-muasal
kehadirannya di dunia.
Melalui mudik, tambahnya, seolah sejarah hendak didaur ulang, disegarkan kembali, dan
dicerahkan guna memberi roh dan napas baru perjalanan sejarah satu tahun ke depan. Ritus-ritus
itu terus diulang kembali tiap akhir Ramadhan dengan harapan manusia memperoleh nilai
fitrahnya kembali.

Saling memaafkan
“Prosesi” silaturrahmi dan “ritual” saling memaafkan dalam halal bi halal, sepintas bisa
dikatakan sebagai sebuah hal yang sangat artifisial (simbolis) yang sekadar menjadi tradisi
tahunan. Padahal, dalam ajaran agama, setiap kita melakukan kesalahan baik kepada Allah (habl
min Allah) maupun kepada sesama manusia (habl min al-nass), hendaknya lah langsung
meminta maaf.
Kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, permintaan maaf itu dimanifestasikan dengan
membaca istighfar disertai komitmen yang teguh untuk tidak mengulanginya lagi. Sementara
kepada sesama, harus diwujudkan dengan meminta maaf dengan jalan bersilaturahmi dan
meminta keikhlasan untuk memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan.
Tidak akan ada yang menyangkal, tradisi silaturahmi dan saling bermaafan antarsesama adalah
hal yang sangat indah. Sebuah proses pembelajaran untuk mengakui kesalahan yang telah
dilakukan. Memaafkan kesalahan orang tidak lah gampang. Itu sebabnya, para sufi menyuruh
kepada kita, agar melatih memaafkan kesalahan orang lain secara terus-menerus.
Sifat pemaaf harus tumbuh karena ”kedewasaan rohaniah”. Ia merupakan hasil perjuangan berat
ketika kita mengendalikan kekuatan ghadhab (marah) diantara dua kekuatan: pengecut dan
pemberang. Sifat pemaaf menghias akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Dimana rohani
mereka (para Nabi dan orang-orang saleh) itu telah dipenuhi sifat Tuhan Yang Maha Pengampun
(To err is human, but to forgive is divine). (Suliswiyadi, 2004).
Berkaitan dengan tradisi saling memaafkan saat lebaran, idul fitri dalam halal bi halal, meski
sampai sekarang kesan yang muncul sebatas ritual yang lebih bersifat simbolistik belaka, namun
tidak ada salahnya untuk tetap dilanggengkan.
Harapannya, ke depan, makna artifisial dalam tradisi saling memaafkan dalam idul fitri ini akan
sirna, sehingga ia tidak lagi sekadar menjadi tren saja. Lebih dari itu, menjadi tradisi (budaya)
dan sarana untuk belajar mengakui kesalahan yang dilakukan dan belajar memaafkan kesalahan
orang lain. Tentu tidak sebatas saat lebaran atau idul fitri saja. Tetapi juga dipraktekkan secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari.

“Makna Idul Fitri/Adha”


Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini 1*} atau tepat pada hari rayanya,
seringkali kita mendengar dari para Khotib di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu
ma’nanya -menurut persangkaan mereka- ialah kembali kepada FITRAH, yakni kita kembali
kepada fitrah kita semula disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita ..?

Penjelasan mereka di atas, adalah BATIL baik ditinjau dari lughoh/bahasa ataupun
Syara’/Agama. Kesalahan tersebut dapat kami maklumi -meskipun umat tertipu- karena sebagian
dari para khotib tersebut tidak punya keahlian dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu
wajiblah bagi kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya
Allahu Ta’ala.

Pertama :

“Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz FITHRU/ IFTHAAR
artinya menurut bahasa = BERBUKA . Jadi IDUL FITHRI artinya HARI RAYA BERBUKA
PUASA. Yakni kita kembali berbuka setelah sebulan kita berpuasa. Sedangkan FITHRAH
tulisannya sebagai berikut (FA-THAA-RA-) dan (TA MARBUTHOH) bukan (FA-THAA-RA)”.

Kedua :

“Adapun kesalahan mereka menurut Syara’ telah datang hadits yang menerangkan bahwa IDUL
FITHRI itu ialah HARI RAYA KITA KEMBALI BERBUKA PUASA.

“Artinya : Dari Abi Hurairah , sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan Fithri itu ialah pada hari KAMU
BERBUKA. Dan Adha itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan”.

SHAHIH. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah
No. 1660, Ad-Daruquthni jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan sanadnya
di kitab saya “Riyadlul Jannah” No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi.

Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :

“Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu berpuasa, dan Fithri kamu ialah pada hari kamu
berbuka”.
Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :

“Artinya : Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan Adha pada hari kamu menyembelih
hewan”.

Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:

“Artinya : Dan Fithri kamu itu ialah pada hari kamu berbuka, sedangkan Adha ialah pada hari
kamu menyembelih hewan”.

Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari
raya kita kembali berbuka puasa . Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi
harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I’ed. Supaya umat
mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama.

Itulah arti Idul Fithri…! Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada
khilaf diantara mereka. Jadi artinya bukan “kembali kepada fithrah”, karena kalau demikian
niscaya terjemahan hadits menjadi : “Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci !!!.

Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang benar-benar
jahil tentang dalil-dalil sunnah dan lughoh/bahasa.

Adapun makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa puasa itu ialah pada hari kamu
semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri dan Adha, maksudnya : Waktu puasa kamu, Idul
Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum muslimin , tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-
kelompok sehingga berpecah belah sesama kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini .

Imam Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas-
sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya :

“Artinya : Bahwa shaum/puasa dan Fithri itu bersama jama’ah dan bersama-sama orang
banyak”.

Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat.
Aamiin ..!!!

HALAL BIHALAL MENURUT AL-QURAN


Halal bihalal merupakan tradisi khas masyarakat Indonesia. Sebuah tradisi yang meniscayakan
beberapa tahapan, yaitu menahan amarah, memberi maaf, dan berbuat baik terhadap orang yang
bersalah. Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan agama.
Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Petama,
melalui penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai
tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang
didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir bid-diriyah. Ketiga, melalui kesan
yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, dinamai tafsir bir-riwayah.

Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui al-Quran dengan
menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga. Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan
berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu
Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal ‘Aidin wal-Faizin.

Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram
merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.

Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang
dianjurkan untuk dtinggalkan). Nabi saw. bersabda, “Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq”
(Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).

Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya
hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan
kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal
tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.

Dalam al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks
kecaman, yaitu:

Katakanlah, ”Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59)

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini
halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (itu adalah)
kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS AL-Nahl [16]: 116-
117).

Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap
mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan haram. Jika yang mencampurbaurkan
saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh
aktivitasnya adalah haram.

Empat halal lainnya yang tersebut dalam al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu
dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu) dan Kata halal digandengkan dengan kata
thayyibah (baik).

Perhatikan keempat ayat berikut:


1. Kuluu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi) (QS. Al-Baqarah [2]: 168);

2. Wakuluu mimma razaqakumullah halalan thayyiban…(Dan makanlah makanan yang halal


lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (QS. Al-Ma’idah [5]: 88);

3. Fakuluu mimma ghanimtum halalan thayyibaan (Maka makanlah dari sebagian rampasan
perang yang telah kamu ambil itu) (QS. Al-Anfaal [8]: 69);

4. Fakuluu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah halal lagi baik dari
rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS. An-Nahl [16]: 114).

Kata makan dalam al-Quran sering diartikan “melakukan aktivitas apapun.” Ini agaknya
disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan
aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah
melakukan aktivitass, sedangkan aktivitasnya tidak sekedar halal, tetapi juga harus thayyib
(baik). Nah, jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam,
maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.

Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali,
yang dapat dirinci sebagai berikut:

- Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang


sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan);

- Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah)
dan al-mutathahirin (orang-orang yag menyucikan diri);

- Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaaqin (orang-orang yang bertaqwa) dan al-
muqsithin ( orang yang berlaku adil), dan lima kali terhdap al-muhsinin.

Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang
paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka
yang pernah melakukan kesalahn). Hal ini sesuai sekali dengan perintah al-Quran untuk
melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekedar perbuatan halal (boleh, tetapi tidak
menghasilkan kebaikan).

Dalam al-Quran surat Ali-‘Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian
hubungan;

Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun
sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah
(bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesungguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat
baik (terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan
tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah.

Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat diperoleh dari ayat-ayat al-Quran berkaitan
dengan halal-bihalal/maaf memaafkan.

Sumber :

Disunting dari buku "Wawasan al-Quran" karya M. Quraish Shihab, yang diterbitkan oleh
Mizan.

You might also like