Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Niat adalah ruh perbuatan dan inti sarinya.1 Perbuatan
tanpa niat bagaikan jasad mati tanpa ruh, sedangkan niat adalah
ibadah yang disyariatkan yang memiliki pengaruh dalam amal
perbuatan dan dengan perbuatan tersebut muncul sebuah hukum
yang dapat dibangun di atasnya. Niat adalah dasar dari
perbuatan, baik kaedahnya dan ukuran yang dapat membedakan
atnara sah, rusak, diterima dan ditolak. Perbuatan bisa dikatakan
sah jika niatnya juga sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya
jelek, maka perbuatannya juga dikatakan jelek, tentunya hal ini
sangat menentukan kesesuaian dengan balasan yang akan
diterima di dunia dan di akhirat.
Niat berlaku dalam berbagai bab-bab fikih seperti dalam
transaksi perdagangan dan kepemilikan, tetapi oleh Ibnu Nujaim,
niat dijadikan pada perbuatan ukhrowyah sebagi kaidah pertama
dari beberapa kaidah-kaedah fikih besar lainnya, yakni kaedah "la
tsawaba illa bi niyyatin" (tidak ada pahala kecuali dengan niat).2
Dan jika terdapat hukum-hukum kebiasaan adat (perbuatan
sehari-hari) semuanya tergantung pada niatnya, sehingga niat
sangat penting untuk diutamakan dalam segala perbuatan dan
menjadikannya sebagai rukun pertama.
1
19, al-Furqan ayat 62, al-Qoshash ayat 19, al-Baqarah ayat 233
dan 228, Surat Hud ayat 88. Di dalam ayat-ayat tersebut al-iradah
diungkapkan dalam makna yang berbeda-beda dalam konteks
berbagai macam al-qushud wa al-tasharrufat (tujuan dan
perbuatan). Keinginan (iradah) untuk merenugi kekuasaan Allah
SWT, rasa menghendaki akhirat dan perbaikan umat dan
menunaikan hak-hak wajib baik itu bersifat finansial dan lainnya,
semuanya tergantung pada niat dan tujuan. Dengan memformat
perbuatan seperti ini menjadikannya bersifat syar’iyah berakibat
pada pengaruh (efeknya) dan di bangun di atasnya hukum-hukum
yang terkait dengannya.
Niat juga diungkapkan dengan kata al-ibtigo’ (tujuan,
sasaran atau target). Misalnya di dalam al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 94, at-Tahrim ayat 1, al-Qashash ayat 55, dan Ala ‘Imran
ayat 5 dan ayat 85, dan di dalam surat al-Ra’d ayat 22 dan al-Isra’
ayat 28. Di dalam ayat-ayat tersebut al-ibtigo’ muncul sebagai hal
() dan sifat (), dalam konteks larangan maupun perintah.
Sehubungan dengan ini al-ibtigo’ mengandung makna al-iradah
dan al-qashdu. Inilah kemudian menjelaskan bahwa sebab semua
perbuatan yang diperintah maupun yang dilarang adalah niat.
Perbuatan yang diperintahkan membutuhkan niat, perbuatan
yang dilarang pun juga membutuhkan niat.
3 Redaksi Arab dari hadis akan menyusul:…………lihat Bukhari Juz VII, hal: 231bab 23.
4 HR. Bukhori 1, Muslim 1908 dan di didalam kutubus sittah dan al-Muwatta'
5 HR. Baihaqi dalam Syi'bil Iman dan lainnya mengatkan ini Dhoif, lihat pula dalam kitab Fathul
Baari 1/11
6 Ibn Manzhur, Lisanul 'Arab, (Beirut: Daar Ihya at Turats al-'Arabi), 14 : 343;
Mu'jam al-Wasith, 2 : 965.
Dalam Kamus Al Munawwir, berarti maksud hati; hajat;
berniat sungguh-sungguh; menjaga; melindungi; berpindah
tempat alias hijrah; pergi jauh; menyampaikan;
melemparkan.7 Sedang Dalam Ensiklopedi Al Qur’an
diuraikan kata ”an-nawa” pada ayat 95 Q.S. al-An’âm,
menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa kenamaan,
menjelaskan bahwa an nawa mempunyai dua arti; at-
tahawwul min dârin ilâ dârin, dan at-tamar. Dalam istilah
sehari-hari an nawa banyak digunakan untuk pengertian
maksud atau tujuan. Hasil perubahan arti kata ini menjadi
maksud dan tujuan lebih dekat kepada arti pertama karena
bepergian ke suatu negeri tertentu tidak terlepas dari
tujuannya.
A. Niat Sebagai Syarat Diterimanya Perbuatan
Ada dua syarat yang harus dipenuhi supaya amal perbuatan
diterima oleh Allah swt, yang pertama adalah dengan adanya niat
yang ikhlas dan benar. Dan yang kedua adalah perbuatan atau
pekerjaan tersebut harus nampak jelas, yakni sesuai dengan yang
disyariatkan oleh-Nya, bukan bid'ah. Ibnu mas'ud berkata "
Perkataan tidak akan berguna tanpa adanya perbuatan,
perkataan dan perbuatan tidak akan berarti apa-apa tanpa
adanya niat, dan perkataan perbuatan serta niat tidak akan
bermanfaat jika bertentangan dengan Sunnah Rosulullah yang
Shohihah.8
3
bid’ah atau bukan.
Kemunculan silang pendapat tersebut sangat baru, karena
belum dikenal pada masa sahabat dan tabi’in. Memang umumnya
para ulama tidak mensyaratkan pelafalan niat, andaikan ada yang
berpendapat demikian itu semata-mata muncul dari kalangan
muta-akh-khirin fuqaha’ Hanafiyah dan Syafi’iyah. Namun
pendapat mereka ini dikoreksi oleh para fuqaha’ yang focus
meneliti seputar masalah tersebut.9
12ًخِليل
َ ل ِإْبَراِهيَم
ّ خَذ ا
َ حِنيفًا َواّت
َ ن واّتَبَع ِمّلَة ِإْبَراِهيَم
ٌسِح
ْ جَهُه ل َوُهَو ُم
ْ سَلَم َو
ْ ن َأ
ْ ن ِدينًا ّمّم
ُس
َحْ ن َأ
ْ َوَم
11 (Hadist riwayat Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu
Majah no. 14 dari hadits Aisyah) dalam Al-Kutub at-Tis’ah, (Syirkah ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib,
1996).
12 Q.S. An Nisa' : 125.
13 Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm…, hal. 13.
14 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1992), I : 616.
5
Dari uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya peran niat
dalam amal. Niat itu harus ikhlas, tetapi ikhlas semata tidak
cukup menjamin diterimanya amal, selagi tidak sesuai dengan
ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah. Sebagaimana tidak
akan diterimanya amal yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan syariat, selagi tidak disertai dengan ikhlas; sama
sekali tidak ada bobotnya dalam timbangan amal.
16 Hadist ini di riwayatkan oleh Bukhari, Kitab Bad'ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul
Iman no. 54, ada beberapa tempat dalam Shahih-nya, seperti kitab Al-'Itq, dan lainnya; Muslim,
Kitabul Imarah, Bab Innamal A'malu bin Niyyat, no. 1907; Abu Dawud dalam Sunan-nya,
Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma 'Uniya Bihi at Thalaq wan Niyat, no. 2201; At-Tirmidzi
dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja'a fi Man Yuqatilu Riya'an Wa
liddunya, no. 1647; An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Niyyah fil
Wudhu' no. 59-60; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An-Niyyah, no. 4227
dan sebagainya. Selengkapnya lihat Al-Kutub at-Tis’ah, (Syirkah ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib,
1996).
17
7
(...kemudian mereka dibangkitkan menurut niat mereka...)
Karena peranan niat dalam mengarahkan amal
menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama
menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini,
yang merupakan kaidah yang luas. Kaidah umum dari hadist
di atas adalah yang berbunyi :
المـور بمقـاصدها
9
Seperti iman kepada Allah dan mengagungkan-Nya, takut
akan siksanya, harap akan pahala yang diberikan-Nya,
tawakkal atas anugerah-Nya, melakukan tasbih dan tahlil
untuk-Nya, membaca al-Qur’an dan semua jenis zikir
lainnya yang berorientasi pada al-qurbat. Perbuatan-
perbuatan tersebut tidak membutuhkan niat-niat
pengkhususan, karena karakter dari perbuatan-perbuatan
tersebut hanya dapat ditujukan kepada Allah SWT. Selain
Allah tidak berhak atas perbuatan qurbat tersebut,
sehingga seseorang tidak harus berniat untuk melakukan
tasbih, zikir atau menyembah Allah. Akan tetapi amalan-
amalan ini membutuhkan niyat al-qashd dan iradati
wajhullah, sehingga sebagai bagian dari ibadah, amalan-
amalan ini perlu dibarengi dengan niyat ikhlas, al-
mahabbah dan ta’zim kepada Allah, mengharapkan pahala
dari-Nya, takut akan siksa-Nya, maka niyat ini menjadi
keharusan yang ditentukan. Jika seseorang melakukan
amalan qurbat semacam ini, dia dalam keadaan lupa, atau
terucap di lisannya sedang ia tidur, atau terucap dari lisan
seorang gila atau mabuk, semua ucapan dalam keadaan
tadi bukan ibadah. Demikian pula kalau seseorang ingin
dilihat dalam perbuatannya atau menuntut pujian dan
sanjungan, maka dalam keadaan seperti ini pahalnya
menjadi berkurang, sejalan dengan berkurangnya
keikhlasan mereka.