You are on page 1of 10

Tentang Niat dalam Ibadah

Pendahuluan
Niat adalah ruh perbuatan dan inti sarinya.1 Perbuatan
tanpa niat bagaikan jasad mati tanpa ruh, sedangkan niat adalah
ibadah yang disyariatkan yang memiliki pengaruh dalam amal
perbuatan dan dengan perbuatan tersebut muncul sebuah hukum
yang dapat dibangun di atasnya. Niat adalah dasar dari
perbuatan, baik kaedahnya dan ukuran yang dapat membedakan
atnara sah, rusak, diterima dan ditolak. Perbuatan bisa dikatakan
sah jika niatnya juga sah, begitu juga sebaliknya, jika niatnya
jelek, maka perbuatannya juga dikatakan jelek, tentunya hal ini
sangat menentukan kesesuaian dengan balasan yang akan
diterima di dunia dan di akhirat.
Niat berlaku dalam berbagai bab-bab fikih seperti dalam
transaksi perdagangan dan kepemilikan, tetapi oleh Ibnu Nujaim,
niat dijadikan pada perbuatan ukhrowyah sebagi kaidah pertama
dari beberapa kaidah-kaedah fikih besar lainnya, yakni kaedah "la
tsawaba illa bi niyyatin" (tidak ada pahala kecuali dengan niat).2
Dan jika terdapat hukum-hukum kebiasaan adat (perbuatan
sehari-hari) semuanya tergantung pada niatnya, sehingga niat
sangat penting untuk diutamakan dalam segala perbuatan dan
menjadikannya sebagai rukun pertama.

Pandangan Al-Qur'an Tentang Niat


Dalam istilah sehari-hari, kata an-nawa (‫ )الننننوى‬banyak
digunakan untuk pengertian “maksud” atau “tujuan”. Al-Raghib
al-Asfahani mengatakan bahwa an-niiyyah (‫ )النية‬berasal dari kata
an-nawa (‫ )النوى‬Dia mengartikan an-nawa itu dengan ‫ثوجه القلب نحو‬
‫( العمل‬tekad hati untuk melakukan perbuatan tertentu). Dalam al-
Qur'an banyak disinggung masalah niat dalam beberapa redaksi
dan istilah yang beragam, walaupun niat tidak disebutkan secara
langsung, tetapi substansinya adalah niat, tujuan dan keikhlasan.
Firman Allah swt dalam al-quran surat al-Bayyinah ayat ke-5
dan Surat al-Zumar ayat 2 dan 11, Surat al-A’raf ayat 29, Surat al-
Gofir ayat 14 dan 65, dan Surat Luqman ayat 32 . Di dalam ayat-
ayat ini al-ikhlash diformulasikan dengan redaksi kata perintah
dalam konteks menjelaskan keadaan dan sifat Nabi dan kaum
mukminin. Kedua keadaan tersebut kembali kepada niat dan
berbagai implikasinya. Tujuan keikhlasan tidak akan terwujud
kecuali dengan menolak kemusyrikan.
Niat juga diungkapkan dengan menggunakan istilah al-
iradah. Hal ini dapat dilihat di dalam al-Quran Surat al-Isra’ ayat
1 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaq-qi’in, hal: III/123 dengan judul an-niyyat ruh al-‘amal
wa lubbuhu”.
2 liaht Al-asybah wa an-nadhoir oleh Ibnu Nujaim al-mishro al-hanafy hal 34.

1
19, al-Furqan ayat 62, al-Qoshash ayat 19, al-Baqarah ayat 233
dan 228, Surat Hud ayat 88. Di dalam ayat-ayat tersebut al-iradah
diungkapkan dalam makna yang berbeda-beda dalam konteks
berbagai macam al-qushud wa al-tasharrufat (tujuan dan
perbuatan). Keinginan (iradah) untuk merenugi kekuasaan Allah
SWT, rasa menghendaki akhirat dan perbaikan umat dan
menunaikan hak-hak wajib baik itu bersifat finansial dan lainnya,
semuanya tergantung pada niat dan tujuan. Dengan memformat
perbuatan seperti ini menjadikannya bersifat syar’iyah berakibat
pada pengaruh (efeknya) dan di bangun di atasnya hukum-hukum
yang terkait dengannya.
Niat juga diungkapkan dengan kata al-ibtigo’ (tujuan,
sasaran atau target). Misalnya di dalam al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 94, at-Tahrim ayat 1, al-Qashash ayat 55, dan Ala ‘Imran
ayat 5 dan ayat 85, dan di dalam surat al-Ra’d ayat 22 dan al-Isra’
ayat 28. Di dalam ayat-ayat tersebut al-ibtigo’ muncul sebagai hal
() dan sifat (), dalam konteks larangan maupun perintah.
Sehubungan dengan ini al-ibtigo’ mengandung makna al-iradah
dan al-qashdu. Inilah kemudian menjelaskan bahwa sebab semua
perbuatan yang diperintah maupun yang dilarang adalah niat.
Perbuatan yang diperintahkan membutuhkan niat, perbuatan
yang dilarang pun juga membutuhkan niat.

Pandangan Sunnah Tentang Niat


Niat baik redaksi mapun maknanya muncul pada hadis
Nabi. Dalam hadis tersebut Ralullah saw menjadikan niat3
sebagai salah satu syarat sahnya suatu perbuatan, perbuatan
tiada nilainya jika tanpa disertai dengan niat, sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh Umar Bin Khattab, Nabi bersabda " Inna
maa al-a'maalu bin niyat….."(perbuatan itu tergantung pada
niatnya…….).4 serta hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,
Nabi bersabda " Inna maa yaba'tsu an-naasa ala niyyatihim"
(manusia dinilai dengan niatnya"5 dan masih banyak hadits yang
lain yang membicarakan tentang pentingnya niat.
Dalam Lisân al-’Arab dan Mu’jam al-Wasîth, niat adalah
bentuk masdar dari kata kerja ”nawâ-yanwî” berati kehendak
hati untuk mengerjakan suatu perkara.
‫لُمْوِر‬
َُ ‫ن ا‬
َ ‫عَلى َأْمٍر ِم‬
َ ‫ب‬
ِ ‫عْزُم الَقْل‬ ْ ‫ َيْنِو‬- ‫َنَوى‬6
َ ‫ي ِنّيًة َو ُهَو‬

3 Redaksi Arab dari hadis akan menyusul:…………lihat Bukhari Juz VII, hal: 231bab 23.
4 HR. Bukhori 1, Muslim 1908 dan di didalam kutubus sittah dan al-Muwatta'
5 HR. Baihaqi dalam Syi'bil Iman dan lainnya mengatkan ini Dhoif, lihat pula dalam kitab Fathul
Baari 1/11
6 Ibn Manzhur, Lisanul 'Arab, (Beirut: Daar Ihya at Turats al-'Arabi), 14 : 343;
Mu'jam al-Wasith, 2 : 965.
Dalam Kamus Al Munawwir, berarti maksud hati; hajat;
berniat sungguh-sungguh; menjaga; melindungi; berpindah
tempat alias hijrah; pergi jauh; menyampaikan;
melemparkan.7 Sedang Dalam Ensiklopedi Al Qur’an
diuraikan kata ”an-nawa” pada ayat 95 Q.S. al-An’âm,
menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa kenamaan,
menjelaskan bahwa an nawa mempunyai dua arti; at-
tahawwul min dârin ilâ dârin, dan at-tamar. Dalam istilah
sehari-hari an nawa banyak digunakan untuk pengertian
maksud atau tujuan. Hasil perubahan arti kata ini menjadi
maksud dan tujuan lebih dekat kepada arti pertama karena
bepergian ke suatu negeri tertentu tidak terlepas dari
tujuannya.
A. Niat Sebagai Syarat Diterimanya Perbuatan
Ada dua syarat yang harus dipenuhi supaya amal perbuatan
diterima oleh Allah swt, yang pertama adalah dengan adanya niat
yang ikhlas dan benar. Dan yang kedua adalah perbuatan atau
pekerjaan tersebut harus nampak jelas, yakni sesuai dengan yang
disyariatkan oleh-Nya, bukan bid'ah. Ibnu mas'ud berkata "
Perkataan tidak akan berguna tanpa adanya perbuatan,
perkataan dan perbuatan tidak akan berarti apa-apa tanpa
adanya niat, dan perkataan perbuatan serta niat tidak akan
bermanfaat jika bertentangan dengan Sunnah Rosulullah yang
Shohihah.8

Keadaan (Mahal) Niat


Konsensus para ulama bahwa tempat niat adalah di hati (al-
qalbu). Karena niat yang dimaknai al-qashdu dan al-‘azmu (tujuan
dan tekad) untuk melakukan sesuatu perbuatan sumbernya
adalah al-qalbu. Inilah inti dari makna hadis innama al-a’malu bi
an-niyyat,tidak satu pun di antara para ulama membantahnya.
Silang pendapat justru terjadi pada apakah niat itu harus
dilafalkan, apakah pelafalan itu termasuk dalam bingkai hukum
syarat atau sunnah. Dengan cara sir atau jahr, dalam semua
ibadah atau sebagiannya, atau apakah pelafalan itu termasuk
7 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir Arab Indonesia, cet. XIV
(Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997).
8 Jamiul ulum wal hukmi fi syarhi khomsina haditsan min jawamiil kalim oleh Ibnu Rojab al-
Hambali ra, hal; 9

3
bid’ah atau bukan.
Kemunculan silang pendapat tersebut sangat baru, karena
belum dikenal pada masa sahabat dan tabi’in. Memang umumnya
para ulama tidak mensyaratkan pelafalan niat, andaikan ada yang
berpendapat demikian itu semata-mata muncul dari kalangan
muta-akh-khirin fuqaha’ Hanafiyah dan Syafi’iyah. Namun
pendapat mereka ini dikoreksi oleh para fuqaha’ yang focus
meneliti seputar masalah tersebut.9

Tujuan Dari Niat Dalam Ibadah


Tujuan dari niat ibadah ada dua perkara, pertama:
membedakan antara ibadah dengan adat (tamyiz al-‘ibadat ‘an
al-‘adat), misalnya duduk di masjid untuk istirahat atau I'tikaf, hal
ini dapat dibedakan dengan niatnya. Contoh lain: menyerahkan
harta apakah akad hibah, hadiyah, atau wadi’ah, atau ditujukan
untuk taqarrub (medekatkan diri pada Allah) seperti zakat,
sodakah biasa atau sebagai kaffarat. Jika semua ini masih dalam
ketidakpastian, maka niat sangat berperan untuk memastikan
jenis perbuatan tersebut.
Kedua adalah membedakan antara peringkat ibadah yang
satu dengan ibadah yang lainnya (tamyiz mzrztib zl-‘ibadat
ba’dhuha min ba’dhin) , misalnya dengan adanya perbedaan
ibadah yang wajib, sunnah dan lain-lain yang disyariatkan dalam
agama. Antara lain perbuatan shalat ada yang fardhu dan
Sunnah, apakah bersifat qadha’ atau ada’.

Niat Yang Ikhlas Dasar Diterimanya Amal


Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan
segala keburukan, nafsu, dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas
karena Allah dalam setiap amal, agar amal itu diterima di sisi
Allah. Ibnu Rajab mengemukakan bahwa setiap amal shalih
mempunyai dua syarat, yang tidak akan diterima kecuali
dengan keduanya; pertama, niat yang ikhlas dan benar.
Kedua, sesuai dengan sunnah, mengikuti contoh Nabi SAW.10
Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud,
sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi SAW.
"Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada
9 Lihat misalnya al-Muhazzab karya ……………………………
10 Lihat Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, tahqiq oleh Syu'aib Al Arnauth dan
Ibrahim Bajis, (Mu'assassah ar-Risalah, 1419H), h. 12.
niatnya." Inilah yang menjadi timbangan batin. Dan dengan
syarat kedua, kebenaran lahir akan terwujud, sebagaimana
disebutkan dalam sabda beliau :
11 ‫عَلْيِه َأْمُرَنا َفُهَو َرّد‬
َ ‫س‬
َ ‫ل َلْي‬
ً ‫عَم‬
َ ‫ل‬
َ ‫عِم‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َم‬
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.
Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa
ayat, di antaranya:

12ً‫خِليل‬
َ ‫ل ِإْبَراِهيَم‬
ّ ‫خَذ ا‬
َ ‫حِنيفًا َواّت‬
َ ‫ن واّتَبَع ِمّلَة ِإْبَراِهيَم‬
ٌ‫س‬ِ‫ح‬
ْ ‫جَهُه ل َوُهَو ُم‬
ْ ‫سَلَم َو‬
ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫ن ِدينًا ّمّم‬
ُ‫س‬
َ‫ح‬ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫َوَم‬

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang


ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun
mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus.

Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya,


mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan
iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Sedangkan
berbuat baik berarti dalam beramal mengikuti apa yang
disyariatkan Allah, dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya
berupa petunjuk dan agama yang haq.13
Dua syarat ini, bila salah satunya tidak terpenuhi, maka
amal ini tidak sah. Jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena
Allah, dan benar mengikuti petunjuk Nabi SAW. Lahirnya
ittiba', dan batinnya ikhlas. Bila salah satu syarat ini hilang,
maka amal itu akan rusak. Bila hilang keikhlasan, maka orang
itu akan jadi munafik dan riya' kepada manusia. Sedangkan
bila hilang ittiba', artinya tidak mengikuti contoh Nabi SAW
maka orang itu sesat dan bodoh (jahil).14

11 (Hadist riwayat Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu
Majah no. 14 dari hadits Aisyah) dalam Al-Kutub at-Tis’ah, (Syirkah ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib,
1996).
12 Q.S. An Nisa' : 125.
13 Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm…, hal. 13.
14 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1992), I : 616.

5
Dari uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya peran niat
dalam amal. Niat itu harus ikhlas, tetapi ikhlas semata tidak
cukup menjamin diterimanya amal, selagi tidak sesuai dengan
ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah. Sebagaimana tidak
akan diterimanya amal yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan syariat, selagi tidak disertai dengan ikhlas; sama
sekali tidak ada bobotnya dalam timbangan amal.

B. Waktu Niat dan Tempatnya


Menukil kesepakatan ulama, Ibnu Taimiyyah
mengemukakan bahwa waktu niat itu di awal melakukan
ibadah atau perbuatan. Niat tempatnya di hati, bukan
diucapkan dengan lisan. Bila yang diucapkan lisan seseorang
berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka yang
diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafalkan.
Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat,
sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu
tidak cukup. Demikian menurut kesepakatan para imam kaum
Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan
dan kehendak yang pasti.15 Orang Arab biasa mengatakan:
‫خْيٍر‬
َ ‫ل ِب‬
ُ ‫كا‬
َ ‫َنَوا‬

(Allah menunjukkan kepada kamu kebaikan)

Talafudz (melafalkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh


Nabi SAW, juga tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun,
baik melalui periwayatan yang shahih, dhaif, maupun mursal.
Tidak seorangpun sahabat yang meriwayatkan, dan tidak ada
seorang tabi'in pun yang menganggap baik masalah ini, dan
tidak pula dilakukan oleh empat Imam Madzhab yang mashur.

15 Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyyah, Majmû’ Fatâwâ, Juz XXVI : 21-24.


C. Kaidah-kaidah Niat

ُ‫عَمننال‬ْ‫ل‬ َ ‫ ِإّنَمننا ا‬: ‫ل‬


ُ ‫لن َيُقنْو‬ِ ‫لا‬ َ ‫سْو‬ُ ‫ت َر‬ َ :‫ل‬
ُ ‫سِمْع‬ َ ‫ب َقا‬ِ ‫طا‬ ّ‫خ‬ َ ‫ن ال‬ ِ ‫عَمَر ْب‬
ُ ‫ص‬ ٍ ‫حْف‬ َ ‫ي‬ ْ ‫ن َأِب‬َ ‫ن َأِمْيِر الُمْؤِمِنْي‬
ْ‫ع‬ َ
‫سْوِلِه‬
ُ ‫ل َو َر‬ ِ ‫جَرُتُه ِإَلى ا‬ ْ ‫سْوِلِه َفِه‬
ُ ‫ل َو َر‬ِ ‫جَرُتُه ِإَلى ا‬
ْ ‫ت ِه‬ ْ ‫ن َكاَن‬ ْ ‫ئ َما َنَوى َفَم‬ ٍ ‫ل اْمِر‬ ّ ‫ت َو ِإّنمَا ِلُك‬ِ ‫ِبالّنيَا‬
16ِ‫جَر ِإَلْيه‬ َ ‫جَرُتُه ِإَلى َما َها‬
ْ ‫حَها َفِه‬ُ ‫ َأِو اْمَرَأٍة َيْنِك‬،‫صْيُبَها‬
ِ ‫جَرُتُه ِلُدْنَيا ُي‬ْ ‫ت ِه‬ ْ ‫ن َكاَن‬ْ ‫َو َم‬

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab


radhiyallahu'anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya amal-
amal itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya
seseorang itu hanya akan mendapatkan balasan sebagaimana
niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan
Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan
RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk
kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya, atau karena
seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya
akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan."
Tidak diragukan lagi, niat itu merupakan neraca bagi
sahnya suatu perbuatan. Niat merupakan kehendak yang
pasti, sekalipun tidak disertai dengan amal. Maka dari itu,
kadang-kadang kehendak ini merupakan niat yang baik lagi
terpuji, dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela.
Hal ini tergantung dari apa yang diniatkan, dan juga
tergantung kepada pendorong dan pemicunya; apakah untuk
dunia ataukah untuk akhirat? Apakah untuk mencari keridhaan
Allah, ataukah untuk mencari keridhaan manusia?
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

…‫عَلى ِنّياِتِهْم‬ َ ‫…ُثّم ُيْبَعُثْو‬17


َ ‫ن‬

16 Hadist ini di riwayatkan oleh Bukhari, Kitab Bad'ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul
Iman no. 54, ada beberapa tempat dalam Shahih-nya, seperti kitab Al-'Itq, dan lainnya; Muslim,
Kitabul Imarah, Bab Innamal A'malu bin Niyyat, no. 1907; Abu Dawud dalam Sunan-nya,
Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma 'Uniya Bihi at Thalaq wan Niyat, no. 2201; At-Tirmidzi
dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja'a fi Man Yuqatilu Riya'an Wa
liddunya, no. 1647; An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Niyyah fil
Wudhu' no. 59-60; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An-Niyyah, no. 4227
dan sebagainya. Selengkapnya lihat Al-Kutub at-Tis’ah, (Syirkah ash-Shahr li Barâmij al-Hâsib,
1996).
17

7
(...kemudian mereka dibangkitkan menurut niat mereka...)
Karena peranan niat dalam mengarahkan amal
menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama
menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini,
yang merupakan kaidah yang luas. Kaidah umum dari hadist
di atas adalah yang berbunyi :

‫المـور بمقـاصدها‬

(Segala perkara tergantung dari tujuan niatnya)

Setiap amal perbuatan, baik dalam hubungannya dengan


Allah maupun dengan sesama makhluk, nilainya ditentukan
oleh niat serta tujuan dilakukannya. Dalam perbuatan ibadah
misalnya, niat karena dan untuk Allah adalah merupakan inti
yang menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah, di samping
merupakan pembeda tingkatan suatu ibadah, apakah ibadah
fardu, sunat, atau mubah, juga dapat merupakan pembeda
antara satu ibadah dengan ibadah yang lain dan anatara
ibadah dan bukan ibadah atau amal kebiasaan.
Sedangkan dalam perbuatan yang hubungannya dengan makhluk,
seperti mu’amalah, munakahat, jinayah dan sebagainya, niat
adalah merupakan penentu; apakah perbuatan tersebut
mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya tidak bermuatan ibadah.
Dalam amal kemasyarakatan dapat diketahui dengan tanda-
tanda, petunjuk-petunjuk (qarînah) yang ada, apakah perbuatan
tersebut karena Allah atau karena manusia.
Niat di samping sebagai alat penilai perbuatan, juga dapat
merupakan ibadah tersendiri seperti dapat dipahami dari hadist
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrânî dari Sahl ibn Sa’d :

‫نية المؤمن خير من عمله‬

(Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya


(yang tanpa niat)

Dari kaidah umum di atas, para ulama menderivasinya


menjadi banyak kaidah-kaidah turunannya, yaitu sebagai
: berikut
‫إن المنوي مننن العمننل إمننا أن يكننون عبننادة محضننة ل‬.1
‫ وإمننا أن يكننون جنسننه ممننا يشننبه‬،‫يلتبننس بالعننادات‬
18‫العادات‬
(Niat perbuatan sebagai ibadah mahdhah dan jenis ibadah
yang menyerupai adat kebiasaan, tidak boleh
dicampuradukkan dengan adat kebiasaan)
Terkait dengan statemen kaidah di atas, maka niat
disyariatkan untuk beberapa hal berikut :
Pertama, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah
yang lain. Misalnya seseorang yang memerdekakan seorang
hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan),
ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya? Atau
seseorang mengerjakan shalat 4 rakaat; apakah diniatkan shalat
dhuhur, shalat sunnat atau shalat Ashar? yang membedakannya
adalah niatnya. Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah
yang sama adalah niat.

Kedua, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan


(adat). Misalnya duduk di masjid; apakah duduk istirahat, apakah
untuk i'tikaf, Menafkahkan harta dapat dikategorikan sebagai
nafkah wajib, hadiah atau tali asih, dan bisa juga sebagai zakat
wajib atau sedekah sunat. Begitu juga dengan penyembelihan
hewan yang dapat dikategorikan sebagai kurban, sembelihan,
pesta, atau jamuan untuk para tamu, kesemuanya sangat
bergantung pada niatnya. Yang membedakan antara ibadah dan
kebiasaan adalah niat.19
‫القربات التي ل لبس فيها ل تحتاج إلى نييية‬.2
20‫الضافة لله تعالى‬
(al-Qurbat (perbuatan-perbuatan untuk mendekatkan diri
kepada Allah) yang tidak ada kekacauan dan kesamarann
di dalamnya tidak membutuhkan adanya niat khusus)

18 Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 54.


19 Shâlih ibn Ghânim as-Sadlân, AL-Qawâid al-Fiqhiyyah…, hal. 54; Lihat juga Imam
Nawawi, Syarah Arba'in, hal. 8; Abul Abbas Kholid Syamhudi, “Peran Niat Dalam Amal” dalam
http://muslim.or.id/artikel/fiqh-dan-muamalah/peran-niat-dalam-amal-2.html,
acessed on 18 Maret 2008.
20 Al-Qurofi, Al-Amniyah fi idraki al-niyah, hal: 5, al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Naza’ir, hal:
12.

9
Seperti iman kepada Allah dan mengagungkan-Nya, takut
akan siksanya, harap akan pahala yang diberikan-Nya,
tawakkal atas anugerah-Nya, melakukan tasbih dan tahlil
untuk-Nya, membaca al-Qur’an dan semua jenis zikir
lainnya yang berorientasi pada al-qurbat. Perbuatan-
perbuatan tersebut tidak membutuhkan niat-niat
pengkhususan, karena karakter dari perbuatan-perbuatan
tersebut hanya dapat ditujukan kepada Allah SWT. Selain
Allah tidak berhak atas perbuatan qurbat tersebut,
sehingga seseorang tidak harus berniat untuk melakukan
tasbih, zikir atau menyembah Allah. Akan tetapi amalan-
amalan ini membutuhkan niyat al-qashd dan iradati
wajhullah, sehingga sebagai bagian dari ibadah, amalan-
amalan ini perlu dibarengi dengan niyat ikhlas, al-
mahabbah dan ta’zim kepada Allah, mengharapkan pahala
dari-Nya, takut akan siksa-Nya, maka niyat ini menjadi
keharusan yang ditentukan. Jika seseorang melakukan
amalan qurbat semacam ini, dia dalam keadaan lupa, atau
terucap di lisannya sedang ia tidur, atau terucap dari lisan
seorang gila atau mabuk, semua ucapan dalam keadaan
tadi bukan ibadah. Demikian pula kalau seseorang ingin
dilihat dalam perbuatannya atau menuntut pujian dan
sanjungan, maka dalam keadaan seperti ini pahalnya
menjadi berkurang, sejalan dengan berkurangnya
keikhlasan mereka.

You might also like