Professional Documents
Culture Documents
Makalah:
Oleh:
Muhammad Syafi’ie WS
Nim: 070303100
1
PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI
Oleh: Moh. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2009)
A. PENDAHULUAN
Secara umum, politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam)
dan politik non-syar’i (politik non-Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa
semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam)
yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non-
syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada
pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan
hukum lainnya.
1
Soelestyali, 1987, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm. 17.
2
Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan
politik Islam, penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah al-Mawardi. Dia pernah
menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah, menjadi penyelamat berbagai
kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Orientalis barat menyebutnya “Al
Khatib of Baghdad,” Dengan demikian, khazanah intelektual Islam era kekhalifahan
Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
pemikiran keagamaan.
Melalui makalah ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan al-
Mawardi, baik tentang riwayat hidupnya, pemikiran politik al-Mawardi dan karya-
karya al-Mawardi.
Al-Mawardi hidup pada masa kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah yang sedang
mengalami berbagai gejolak dan disintegrasi. Khalifah-khalifah Abbasiyah benar-
benar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Kedudukan khalifah melemah dan dia
harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan
Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang
3
demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada
waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan
kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan
pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima
berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah.
Al-Mawardi adalah seorang ahli fiqih Madzhab Syafi’i, ahli Hadits, pemikir
politik Islam, hakim agung (Qadhi al-Qudhat) Dinasti Abasiyah, penulis yang
produktif; terutama di bidang hukum dan politik. Ia tergolong faqih terbesar pada
zamannya.2
Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Habib al-Mawardi. Lahir di kota
pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 364-450 H atau 9975-1059 M.3
Al-Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Kota Basrah
merupakan salah satu pusat pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan penting dunia
waktu itu.
Ia belajar ilmu hukum dari Abu Qasim Abdul Wahid as-Saimari, seorang
ahli hukum mazhab Syafi’i yang terkenal. Kemudian pindah ke Baghdad melanjutkan
pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al-Bafi dan Syaikh
Abdul Hamid al-Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-
ilmu agama, seperti hadits dan fiqh, filsafat, etika, sastra dan politik.
2
TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam, (Jakrata: Ichtiar Baru Van
Hoeve), Jilid V, hal. 2
3
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-politik/pemikiran-politik-
islam-klasik, 05-06-2008. lihat juga: Muhahammad Diya’ al-Din, 1960, al-Nadhriyat al-Siyasiyah al-
Islamiyah, (Kairo: al-Maktabah almisriyah), hal. 93
4
dinaikkan ke jabatan kehakiman yang paling tinggi “Qadhi Agung” di Baghdad,
jabatan yang dipegangnya dengan hormat sampai pada wafatnya.4
Al-Mawardi juga dikenal sebagai tokoh dari kalangan ahli sunnah yang
sangat gigih mempertahankan sistem politik Islam ditengah-tengah supremasi dan
kewibawaan politik yang disegani selama berabad-abad. Ia menjadi hakim yang
terkenal pada masa pemerintahan Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah al-Qadir.
Karir al-Mawardi meningkat pesat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu
ketika ia menjadi Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) penasehat raja atau khalifah
dalam bidang hukum agama dan pemerintahan.
4
Jamil Ahmad, 2003, Seratus Muslim terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm. 201
5
TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 2
5
itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, dan ghanimah (harta peninggalan dan
rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda
status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah,
masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.6
Sampai saat ini tidak ada satupun definisi negara yang diakui semua pihak.
Para ahli ilmu kenegaraan saling berbeda pendapat tentang pengertian negara. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan negara adalah organisasi
yang menaungi semua pihak dalam suatu wilayah tertentu. Yang dimaksud menaungi
pada kalimat diatas, bisa diartikan menguasai, mengayomi, mengurus, atau ketiga-
tiganya. Sedang yang dimaksud dengan semua pihak berarti semua orang (individu)
atau badan (lembaga, organisasi) yang mendiami suatu wilayah.
6
http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008
7
TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3
6
Dalam Islam negara sangat dibutuhkan manusia, dan pembentukannya
merupakan suatu kewajiaban yang bersifat syar’i (kewajiban keagamaan), bukan aqli
(kewajiban karena rasio). Dalilnya adalah ijma’ atau konsensus kaum muslimin pada
masa sahabat setelah ditinggal Rasulullah SAW, di samping itu juga kutipan beberapa
ayat dan Hadits yang menguatkannya.
7
71, yang artinya : “Allah melebihkan sebagian kamu rizki dari yang lain”. Atas dasar
inilah kemudian pemenuhan kebutuhan yang satu dipenuhi oleh yang lain. Memenuhi
semua kebutuhan itulah kemudian manusia membuat kesepakatan atas dasar
kepentingan bersama dan dipedomani oleh aturan-aturan yang membuat mereka,
yaitu syari’at agama, dalam sebuah institusi atau lembaga yang disebut negara (al-
Daulah, al-Shultanah, al-Khalifah, dsb). 9
A. Agama.
B. Penguasa Karismatik.
C. Keadilan Merata.
9
Ibid, hlm. 54-55.
10
Al-Mawardi, 1971, Adab al-Qadhi, (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad), hal. 5-6
8
Keadilan merupakan syarat yang sangat penting, sebab dengan keadilan
yang merata akan tercipta keakraban sesama warga negara, menimbulkan
rasa hormat dan ketaatan kepada pemimpin, menyemarakkan kehidupan
rakyat dan menumbuhkan karya dan prestasi masyarakat.
Dengan adanya keamanan yang kuat dan menjamin maka rakyat akat
merasa tenang dan tidak ada rasa takut. Keamanan merupakan syarat utama
berlangsungnya penyelenggaraan sebuah negara. Apabila rasa aman dan
tenang tercipta, maka rakyat pun akan semakin taat pada pimpinan.
E. Kesuburan Tanah.
9
2. Imamah (Kepemimpinan)
Pemilihan kepemimpinan kepala negara merupakan masalah yang sangat urgen dan
vital bagi eksistensi negara. Namun Islam tidak mengatur secara jelas bagaimana
suksesi kepemimpinan, sehingga mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan
Islam sendiri. Oleh karena itu, al-Mawardi sebagai seorang pemikir Islam
merumuskan gagasannya tentang pemilihan dan pengangkatan kepala negara.
Dasar pembentukan imamah kata Mawardi adalah wajib secara ijma’. Akan
tetapi, dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau hukum
agama (syari’ah). Menurutnya ada dua golongan: pertama, wajib karena
pertimbangan akal (rasio). Alasannya manusia itu adalah makhluk sosial, dan dalam
pergaulan antara mereka mungkin terjadi permusuhan, perselisihan, dan
penganiayaan. Karenanya diperlukan pemimpin yang dapat mencegah terjadinya
kemungkinan-kemungkinan itu. Jadi secara logika manusia membutuhkan
pemerintahan; kedua, wajib berdasarkan hukum agama (syari’ah) bukan karena
pertimbangan akal.12 Sebagaimana firman Allah :
(59 : )اﻟﻨﺴﺎء...ْﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮا أَﻃِﯿﻌُﻮا اﻟﻠﱠﮫَ وَأَﻃِﯿﻌُﻮا اﻟﺮﱠﺳُﻮلَ وَأُوﻟِﻲ اﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢ
11
Suyuti Pulungan, 1999, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), hal. 231
12
Ibid.
10
Al-Mawardi memakaikan baju agama kepada jabatan kepala negara di
samping baju politik. Menurutnya, Allah mengamanahkan agama disertai mandat
politik. Dengan demikian, seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama dan di
lain pihak adalah pemimpin politik.13
B. Imamah dapat dibentuk melalui pemilihan oleh ahl al-hal wa al-aqd (majlis
yang mampu memecahkan persoalan dan menetapkan kebijakan), atau al-
ikhtiyar (dewan pemilih) yang terdiri atas yang memenuhi persyaratan
tertentu.
D. Kepala negara harus berbangsa Arab dari suku Quraisy,16 termasuk wazir
tafwidh (pembantu kepala negara) dalam urusan penyusunan kebijaksanaan
13
Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES), hal. 87
14
Muhammad Azhar, 1996, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 84.
15
TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3
16
Rasulullah bersabda, ٍ اﻟْﺄَﺋِﻤﱠ ﺔُ ﻣِ ﻦْ ﻗُ ﺮَﯾْﺶ: Pemimpin dari Quraisy." (HR. Ahmad, no.19792.
Al-Arnauth mengatakan Shahih lighairih, Ibnu Hajar mengatakan Hasan dan al-Bani mengatakan
Shahih dalam Mukhtshar Irwa' al-Ghalil, no.520)
11
harus beretnis Arab, dan pengisian jabatan kepala negara dan pembantunya
yang strategis perlu ditegakkan persyaratan-persyaratan tertentu. Hak
prerogatif, bagi suku Quraisy menurutnya didukung oleh sabda Raulullah :
17
Rizwan Haji Ali, 2001, Pemberontakan terhadap Negara Islam dalam Perspektif Hukum
Islam, (Lhokseumawe: STAI Malikussaleh), hal. 51
18
Munawir Sazali, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press), hlm. 65.
12
Kedua, memiliki pengetahuan dan mampu mengetahuai siapa yang berhak
menjadi kepala negara.
Dalam pemilihan oleh Ahlu al-Aqdi wa al-Hall minimal 5 orang. Hal ini
mengacu pada dua hal, yaitu: pengangkatan Abu Bakar yang dibaiat oleh 5 orang
(Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah, Usaid ibn Hudhair, Bisyr ibn Sa’ad,
dan Salim) dan Umar ibn Khattab membentuk lembaga syura yang beranggota 6
orang, kemudian salah seorang diangkat sebagai imam.19
Sedangkan tugas yang harus diemban oleh kepala negara ada 10 hal: a.
Menjaga dasar-dasar agama yang telah disepakati ulama salaf. b. Menegakkan
keadilan, supaya yang kuat tidak menganiaya yang lemah, dan yang lemah tidak
merasa teraniaya. c. Menegakkan hukum, supaya agama Allah dan hak-hak umat
terjaga. d. Menjaga keamanan dan menjaga daerah kekuasaannya dari gangguan
musuh dan penjahat sehingga umat (rakyat) bebas dan aman baik jiwa maupun
hartanya. e. Membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. f. Jihad pada orang-
orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui
eksistensi Islam. g. Memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’,
nash dan ijtihad. h. Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif. i.
Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang
kompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang ia pegang.
j. Melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya
19
http://.poetraboemi.worpress.com/2009/04/20/al-Mawardi-biografi-dan-politiknya, 06-
12-2009
13
proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan
menjaga negara.20
Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk
cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam,
seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga
cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan ada cacat yang tidak
menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang
menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti
membedakan rasa makanan.
20
Abdul Hayyie al-Khattami, Kamaluddin Nurdin, 2000, Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Jakarta: Gema Insani Press), hal. 37
21
http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008
22
Munawir Sazali, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 66
14
A. Wazir Tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan
berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-
kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri.
Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki
jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah.
Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus
dipenuhi Wazir tafwidh, yakni: 1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka; 2.
Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at; 3. Wazir tafwidh harus
mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.
15
"Urusan mereka (kaum muslimin) diputuskan dengan musyawarah diantara
mereka." (Q.S. al-Syura: 38)
Dengan adanya proses pemilihan dan bai’at (semacam kontrak sosial), al-
Mawardi berbeda dengan sebagian pemikir Islam lainnya, seperti al-Ghazali (teolog,
sufi, filosof; 1058-1111) dan Ibnu Taimiyah (tokoh pembaharu; 1263-1328), yang
menyatakan bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan. Sedangkan al-Mawardi
berpendapat bahwa sumber kedaulatan adalah masyarakat atau rakyat.23
Sisi keunikan dari al-Mawardi yaitu teori tentang kontrak sosial (al-Bai’ah)
membahas tentang relasi keseimbangan hak dan kewajiban antara lembaga ahl al-Hal
wa al-Aqd atau Ahl al-Ikhtiyar (perwakilan rakyat) dengan Ahl al-Imamah (kepala
negara), khusus mengenai penyelenggaraan negara dan pengelolaan masyarakat.
Istilah bai’ah berasal dari definisi ba’a yang secara etimologis berarti “menjual”.
Bai’at secara terminologis mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling
berjanji dalam pelaksanaan selalu melibatkan dua pihak secara sukarela. Bai’at dapat
dipahami sebagai ungkapan perjanjian antar dua pihak yang seakan-akan salah satu
pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya dengan kesetiaan
kepada pihak kedua dengan ikhlas dalam urusannya. Dengan demikian dalam ba’iat
terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara
sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas pihak
pertama yang diterimanya. Jadi, pelaksanaan hak-hak dan kewajiban antara dua pihak
berlangsung secara timbal balik.24
23
TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3
24
Hatamar, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan
Pemikiran Politik Modern, hlm. 45.
16
Dengan demikian negara diharapkan benar-benar mengupayakan segala
cara untuk menjaga persatuan umat dan saling menolong sesama mereka,
memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh
rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama memikul
kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat,
antara yang kuat dan yang lemah dan antara kawan dengan lawan.
Oleh karena itu, kepala negara selain berhak ditaati oleh rakyatnya dan
menuntut adanya partisipasi dan loyalitas penuh mereka, sebaliknya kepala negara
mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya seperti memberikan
perlindungan, mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh tanggung
jawab.25
25
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat, hlm. 82.
17
ketaatan warga negara kepada selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan syari’at
Allah.
26
Hatamar, Laporan Penelitian: Pemikiran Polotik Al-Mawardi dan Relevansinya dengan
Pemikiran Politik Modern. hlm. 53.
18
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi (dalam kenyataan) manusia sering berselisih pendapat mengenai
(mengenai berbagai hal dan kepentingan), kecuali orang yang mendapat kasih
sayang Tuhan, dan oleh sebab itulah mereka diciptakan." (Q.S. Hud: 118)
D. KARYA-KARYA AL-MAWARDI
E. Al-Hawi (Penghimpun)
F. Al-Iqna’ (Keikhlasan)
27
Jamil Ahmad, Seratus Muslim terkemuka, hlm. 202.
28
TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 3
19
E. KESIMPULAN
Al-Mawardi hidup pada masa kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah yang sedang
lemah dan tidak berdaya. Kedudukan khalifah melemah dan ia harus membagi
kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia.
20
dengan kepala negara (eksekutif) merupakan hubungan antara dua belah pihak
peserta kontrak sosial yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak
atas dasar timbal balik.
21
REFERENSI
Al-Khattami, Abdul Hayyie, Nurdin, Kamaluddin, 2000, Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan Dalam Takaran Islam (Jakarta: Gema Insani Press)
Ali, Rizwan Haji, 2001. Pemberontakan terhadap Negara Islam dalam Perspektif
Hukum Islam, (Lhokseumawe: STAI Malikussaleh)
Azhar, Muhammad, 1996, Filsafat Politik: Perbandingan antar Islam dan Barat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada)
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-politik/pemikiran-
politik-islam-klasik, 05-06-2008.
http://blogspot.com/2008/02/politik-muslim-dan-islamisasi.htm, 05-06-2008
http://.poetraboemi.worpress.com/2009/04/20/al-Mawardi-biografi-dan-politiknya,
06-12-2009
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES
Pulungan, Suyuti, 1999, Fiqih Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada)
Sazali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press)
22
Soelestyali, 1987, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia)
TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam, (Jakrata: Ichtiar Baru Van
Hoeve), Jilid V
23