You are on page 1of 19

ISRAILIYAT

Oleh: Moh. Syafi’i WS al-Lamunjani

A. PENDAHULUAN

Israiliyat merupakaan isu yang berkaitan erat dengan Tafsir bi al-Ma’tsur (Tafsir
berdasarkan Hadits dan Riwayat). Keberadannya diselah-selah penafsiran al-Qur’an bisa
menimbulkan perusakan ajaran Islam tanpa disadari oleh umat, khususnya Israiliyat yang
merusak aqidah.

Israiliyat sebenarnya kisah yang bersumber dari literatur Ahli Kitab, yang kebanyakan
yang bersumber dari orang Yahudi, atau orang Islam yang dahulunya pernah memeluk agama
tersebut. Beberapa shahabat yang beragama tersebut adalah Ka’b al-Akhbar, Wahb bin Munabbih
dan lain-lain.

Sebenarnya para shahabat yang masuk Islam itu tidak menyampaikan cerita bohong.
Sebab selama mereka memeluk agama itu, kisah-kisah itulah yang mereka punya. Ketika ada
ayat al-Qur’an menyinggung kisah yang sama, mereka pun memberikan komentar berdasarkan
apa yang mereka baca dari kitab-kitab mereka sebelumnya.

Kalaupun ada kebohongan, bukan terletak pada para shahabat, melainkan kebohongan
tersebut sudah ada sejak lama dalam agama mereka.

Dalam mayoritas buku-buku tafsir tidak terlepas dari Israiliyat. Bahakan Muhammad
Rasyid Ridha, yang menyusun Tafsir al-Manar, yang dikenal sabagai mufassir yang sangat
menentang Israiliyat. Namaun menurut al-Dazahabi, ternyata dalam tafsirnya terdapat banyak
riwayat yang bersumber dari Israiliyat.

Sebagian mereka ada juga ulama’ yang jujur dalam membicarakan Israiliyat ini. Di
antaranya adalah Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Bilau menyebutkan Israiliyat untuk dapat diketahui
masyarakat, mana Israiliyat yang tidak boleh dipercayai. Sehingga mereka tidak terpengaruh
dengan tafsiran yang berkenaan Israiliyat tersebut.

1
Israiliyat perlu dipahami dengan pemahaman yang betul-betul, sehingga tidak
terperosok pada kesalahan-kesalahan dalam penafsiran.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan tentang definisi Israiliyat, sebab-sebab masuknya
Israiliyat, pembagian Israiliyat dan hukum meriwayatkan Israiliyat.

B. DEFINISI ISRAILIYAT

Secara etimologi Israiliyat (‫ )إﺳراﺌﯿﻟﯿﺎت‬merupakan bentuk jamak dari kata Israiliyah


(‫)إﺳراﺌﯿﻟﯿ ﺔ‬, yang dinisbahkan pada Israil (‫)إﺳراﺌﯿﻞ‬,1 yang dalam bahasa Ibrani, isra berarti hamba
atau pilihan, dan il berarti Allah.2 Israil ini tidak lain adalah julukan Nabi Ya’qub bin Ishaq,3
bapak dari keturunan-keturunan dari 12 anak. Kepadanya dinisbahkan pada Yahudi, lalu
dikatakan Bani Israil.4 Ini sesuai dengan nash-nash sebagai berikut:

            

“Sesungguhnya Al Quran ini menjelaskan kepada Bani lsrail sebahagian besar dari (perkara-
perkara) yang mereka berselisih tentangnya.”5

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra., “Bahwa sekelompok orang Yahudi telah
datang pada Nabi, lalu beliau bertanya pada mereka, ‘Tahukah anda sekalian bahwa
sesungguhnya Israil itu adalah Nabi Ya’qub?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Lalu Nabi berdo’a:
‘Ya Allah, Saksikanlah pengakuan mereka.” (HR. Abu Daud).

Menurut al-Dzahabi, secara terminologi Israilayat adalah kisah-kisah yang pada asalnya
diriwayatkan orang Yahudi. Namun para ulama’ tafsir dan hadits menggunakanya juga lebih luas
daripada kisah-kisah Yahudiyah. Maksudnya, setiap sesuatu yang masuk ke dalam tafsir dan
hadits yang sumber periwayatannya kembali pada sumber orang Yahudi, Nasrani dan yang lain.

1
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits (Kairo: Maktabah Wahbah,
1990), hal. 13.
2
Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), Jilid. 3,
hal. 237.
3
Loues Ma’luf , al-Munjid fi al-A’lam (Bairut: Dar al-Masyriq, 1998), hal. 44.
4
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 13.
5
Surat al-Naml: 76.
2
Bahkan sebagian ahli tafsir dan ahli hadits lebih memperluas lagi definisi Israiliyat ini, sehingga
meliputi cerita-cerita yang disusupkan oleh musuh-musuh Islam baik dari Yahudi atau lainnya ke
dalam tafsir dan hadits, yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber cerita
lama, akan tetapi semua itu merupakan bikinan musuh-musuh Islam.6

Tidak jauh dari apa yang dikatakan oleh al-Dzahabi, Ahmad Khalil mengatakan, bahwa
Israiliyat adalah kisah-kisah dan riwayat-riwayat dari Ahli Kitab, baik yang berhubungan dengan
ajaran mereka ataupun yang tidak berhubungan dengannya.7

Sedangkan Sabir Tu’aimah (pakar tafsir Mesir) mendefinisikan Israiliyat sebagai


seluruh manuskrip berbentuk buku yang ditinggalkan Bani Israil (dikenal nama Yahudi), yang
terdiri dari tradisi satu generasi ke genarasi berikutnya dan diramu dari berbagai sumber,
termasuk kitab perjanjian lama; sampai munculnya Nabi Isa a.s. dan kemudian Islam.8 Sepertinya
Sabir Tu’aimah lebih mebatasi pengertian Israiliyat terbatas dari peninggalan orang-orang
Yahudi saja.

Mayoritas ulama’ mengatakan, kisah-kisah selain dari Islam walaupun bukan dari
Yahudi juga disebut Israiliyat. Ini disebabkan karena kebanyakan kisah-kisah di luar Islam
bersumber dari orang-orang Yahudi. Di samping itu, orang-orang Yahudi terkenal dengan
kebatilannya, memusuhi dan sangat membenci Islam. Ini di tegaskan dalam al-Quran:

        

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-
orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.”9

Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Israiliyat adalah setiap sesuatu yang
masuk baik itu ke dalam tafsir maupun hadits yang sumber periwayatannya dari orang Yahudi,
Nasrani dan yang lain. Sedangkan periwayatan orang Yahudi lebih dominan dalam hal ini.

6
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 13-14.
7
Ahmad Khallil, Dirasat fi al-Qur’an (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), hal. 133.
8
Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, jilid. 3, hal. 237.
9
Surat al-Maidah: 82.
3
C. SEBAB-SEBAB MASUKNYA ISRAILIYAT KE DALAM TAFSIR

Sesungguhnya masuknya Israiliyat ke dalam tafsir tidak lepas dari kebudayaan


masyarakat Arab Jahiliyah. Diantara penduduk Arab itu terdapat masyarakat Yahudi yang
pertama kali memasuki Jazirah Arab.10 Al-Dzahabi mengutip dari kitab Tarikh al-Yahudi fi Bilad
al-Arab, bahwa hijrah kubra mereka pada tahun 70 M., karena ada siksaan dan desakan dari
Titus, seorang panglima Rumawai.11

Di samping itu, orang Arab Jahiliyah mengadakan perjalanan menuju barat dan timur.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

       

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim
dingin dan musim panas.”12

Orang Quraisy biasa Mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam
pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. dalam perjalanan itu mereka
mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya.

Kemudian setelah datang Islam, yang pada waktu itu pusat pertahanan adalah Madinah.
Di dalam Masjid Nabawi, Rasulullah mengadakan majlis ta’lim untuk mengajar para shahabat.
Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat kelompok-kelompok Yahudi, seperti Bani Qainuqa’,
Bani Quraidhah, Bani al-Nadlir, dan lain-lain. Di lain kesempatan orang-orang Islam dan orang-
orang Yahudi mengadakan pertemuan dalam rangka pertukaran ilmu dan pengetahuan, bahkan
sampai dalam perdebatan tentang agama. Dari sinilah banyak dari ahli ilmu Yahudi masuk
Islam.13 Orang-orang Ahli Kitab yang masuk Islam ini ada yang memang betul-betul atas dasar
kayakinan mereka, bahwa agama yang benar adalah Islam. Namun di sisi lain ada yang memang
ingin menghancurkan Islam dari dalam. Penyelusupan ini awalnya sedikit, kemudian menjadi
banyak dan meluas. Secara tidak sengaja kemudian menjadi tipu daya dan terencana.14

10
Ahmad Khalil, Manahij al-Tajdid (Kairo; Dar al-Ma’rifah, 1961), hal. 277.
11
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 15.
12
Surat al-Quraisy: 1-2.
13
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 16.
14
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Quir’an al-‘Adhim, aliah bahasa: Abdul Hayyi,
Berinteraksi dengan al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 494.
4
Israiliyat mempengaruhi penafsiran al-Qur’an sejak pada zaman para shahabat. Ketika
Rasulullah masih hidup, para shabat masih berpegang pada penjelasan Rasulullah dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah Rasulullah wafat, jika para shahabat memerlukan
penafsiran ayat yang berkenaan dengan kisah-kisah masa lalu, sedangkan penjelasan Rasulullah
tidak ada dalam masalah itu, mereka menanyakan kepada para shahabat yang dahulunya
beragama Yahudi dan Nasrani.15

Ibnu Khaldun mengatakan, masuknya Israiliyat kedalam tafsir disebabkan karena orang-
orang Arab bukanlah ahli dalam bidang sesuatu mengenai pengetahuan. Apabila mereka
mempunyai keinginan besar untuk menegetahui sesuatu persoalan yang sunguh menggelitik jiwa
manusia, seperti sebab-sebab tercipanya alam semesta, permulaan penciptaan dan lainnya mereka
menanyakan kepada orang-orang pandai dari Ahli Kitab. Dari golangan Ahli Kitab itulah mereka
memperoleh informasi ilmu.16

Menurut para mufassir, unsur Israiliyat pada zaman shahabat masih relatif sedikit,
karena tidak menyentuh perseolan hukum dan aqidah. Para shahabat dalam menerima unsur
Israiliyat sangat selektif; mereka membandingkannya dengan keterangan yang ada dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah. Jika merasa bertentangan, penafsiran melalui riwayat Israiliyat mereka
tolak. Namun dalam menerima kisah-kisah Israiliyat pada zaman tabi’in melai mengendor, dan
hal ini berlanjut pada zaman berikutnya.17 Sehingga banyak dalam kitab-kitab tafsir banyak yang
mengandung banyak unsur Israiliyat. Keadaan semacam ini lebih sulit ketika mufassir dalam
mengutip suatu riwayat untuk menafsirkan ayat tidak mencantumkan sanad riwayat itu saendiri.
Akibatnya sulit untuk dibedakan antara riwayat yang benar-benar dari Rasulullah dan dari
Israiliyat.

Sebagian besar kisah Israiliyat diriwayatkan oleh dari empat orang: Abdullah bin Salam
(w. 43 H), Ka’b al-Ahbar (w. 32 H), Wahb bin Munabbih (w. 110 H), dan Abdul Malik bin
Abdul Aziz bin Juraij (w. 150). Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai
Ahli Kitab tersebut; ada yang menolak dan ada pula yang menerima. Perbedaan pendapat yang

15
Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, jilid. 3, hal. 237.
16
Ibnu Khaldun, Mukaddimah, alih bahasa: Ahmadi Thaha, Mukaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2006), h. 551.
17
Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, jilid. 3, hal. 237.
5
paling besar adalah mengenai Ka’b al-Ahbar.18 Sedangkan Abdullah Mahmud Syahatah
menyebutkan, bahwa tidak sah riwayat yang berhubungan dengan Yahudi yang diriwayatkan
oleh Wahb bin Munabbih, dan yang berhubungan dengan Nashrani yang diriwayatkan oleh Ibnu
Juraij.19 Akan tetapi banyak ulama’ yang mengatakan bahwa Ibnu Juraij adalah orang yang dapat
dipercaya kejujurannya. Diantaranya adalah al-’Ijli yang mengatakan bahwa Ibnu Juraij orang
mekah yang tsiqah, Ibnu Mu’in mengatakan bahwa dia tsiqah pada setiap yang diriwayatkan,
Yahya bin Sa’id mengatakan dia shaduq, dan begitu juga dengan Ibnu Hibban yang
mencantumkan namanya dalam al-Tsiqat.20

Sedangkan Abdullah bin Salam, Ka’b al-Ahbar, dan Wahb bin Munabbih adalah orang
orang yang adil dan jujur menurut Zarqani, dengan alasan:21

1. Abdullah bin Salam adalah termasuk diantara orang terbaik di kalangan shahabat.
Bahkan dia telah dijanjikan surga. Dari Muadz berkata, saya mendengar bahwa
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya dia (Ibn al-Salam) termasuk sepuluh orang
yang dijamin masuk surga.” (HR. Tirmidzi).

Al-Quran juga telah mensinyalirnya:

“Katakanlah, terangkanlah kepadaKu, Bagaimanakah pendapatmu jika al-Quran itu


datang dari sisi Allah, dan kalian mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil
mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang tersebut dalam) al-Quran lalu
beriman dan kalian menyombongkan diri."22

Yang dimaksud dengan seorang saksi dari Bani Israil ialah Abdullah bin salam. ia
menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad setelah memperhatikan bahwa di
antara isi Al Quran ada yang sesuai dengan Taurat, seperti ketauhidan, janji dan
ancaman, kerasulan Muhammad, adanya kehidupan akhirat dan sebagainya.

18
Mana; al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Bairut: al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’, 1973),
hal. 355.
19
Abdullah Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imam Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo: Al-Majlis
al-A’la li Ri’ayah al-Funun wa al-Adab wa al-Ulum al-Ijtima’iyah, 1963), hal. 183.
20
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 87-88.
21
Muhammad Abdul Adhim, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid. II, hal.
27
22
Surat al-Ahqaf: 10.
6
2. Wahb bin Munabbih adalah seorang tabi’in yang tsiqah, dan luas ilmunya. Dia banyak
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, dan periwayatannya terdapat dalam shahihain.
Diriwayatkan bahwa di antara ibadahnya selama 20 tahun dia shalat fajar dengan
wudhu’ shalat isya’.

3. Ka’b al-Ahbar adalah seorang tabi’in yang mulia. Dia masuk Islam pada masa
kekhilafahan Abu Bakar. Sedangkan periwayatannya terdapat pada shahih Bukhari dan
lainnya.

Kitab-kitab yang banyak memuat riwayat-riwayat Israiliyat adalah Tafsir al-Thabari


oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari; Tafsir Ibnu Katsir oleh Ibnu Katsir al-
Dimasyqi; Tafsir al-Khazin oleh Alaudin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin
Umar bin Khalil al-Syaihi.

D. PEMBAGIAN ISRAILIYAT

Israiliyat dibagi menjadi tiga kategori:23

1. Israiliyat berdasarkan kategori kebeneranan dan tidaknya.

2. Israiliyat berdasarkan kategori kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan agama Islam.

3. Israiliyat berdasarkan kategori temanya.

1. Israiliyat Berdasarkan Kategori Kebeneranan dan Tidaknya

Menurut kebenaran dan tidakanya Israiliyat terbagi menjadi dua macam, yaitu shahih,
dhaif dan palsu.

- Shahih

Seperti kisah Israiliyat yang datang membenarkan apa yang ada dalam al-Qur’an
mengenai sifat-sifat Rasulullah. Alllah berfirman:

23
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 35.
7
           

  

“Hai Nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”24

Sifat ini telah disebutkan dalam Taurat dan para penelaah Taurat telah menyatakan
secara terus terang mengenai hal itu. Ibnu katsir menyebutkan hadits di bawah ini dalam
tafsirnya:25

Dari Atha’ bin Yassar bahwa ia (Athaa’) telah bertemu dengan Abdullah bin Amr lalu ia
berkata kepadanya, ”Beritahukanlah kepadaku tentang sifat Rasulullah dalam Taurat!’
Abdullah berkata, ’Baik. Demi Allah, beliau tersifati dalam Taurat seperti dalam
sifatnya dalam al-Quar’an, ’Wahai Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu sebagai
saksi, pemberi kabar gembira, dan pemberi peringatan serta sebagai tempat berlindung
bagi kaum buta huruf, engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Namamu adalah al-
Mutawakkil(nama lain Rasulullah), bukan sebagai orang yang berperangai kasar dan
bukan berwatak keras. Allah tidak akan mencabut nyawanya, sehinga dengannya telah
meluruskan agama-Nya yang bengkok dengan mengatakan, ’Tidak ada Ilah kecuali
Allah, dengannya Ia membuka hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mata (hati) yang
buta.’ Atha’ berkata, ’Saya telah bertemu Ka’b al-Ahbar, lalu saya bertanya kepadanya
tentang hal itu maka tidaklah ia (Ka’b; mantan Yahudi) menyalahi satu huruf pun.”
(HR. Bukhari).

- Dhaif

Seperti legenda gunung ”Qaf” yang mengitari langit dan Bumi. Ini se-akan-akan dari
khurafat Bani Israil yang sebagian mufassir mengambilnya dari Ahli Kitab.
24
Surat al-Ahzab: 45-46.
25
Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), Jilid. 1, hal. 253.
8
- Palsu

Israiliyat seperti ini dapat ditemui dalam tafsir al-Thabari pada surat Shad ayat 34.
Dalam tafsirnya dia memuat tentang kisah Nabi sulaiman yang meminum arak hingga
hilang kesadarannya. Dalam kondisi seperti itu dia melihat cincinnya lalu
melemparkannya ke laut dan dimakan oleh seekor ikan hingga hilanglah seluruh
kerajaannya, karena kekuasaannya terdapat pada cincin itu.

Ibnu Katsir mengomentari kisah ini, ”Riwayat ini diperoleh dari Ahli Kitab, sedangkan
di antara mereka ada yang tidak mengakui (mempercayai) kenabian Nabi Sulaiman.

2. Israiliyat Berdasarkan Kategori Kesesuaian atau Ketidaksesuaian dengan Agama Islam

Menurut kategori ini, Israiliyat dibagai menjadi tiga macam: Israiliyat yang sesuai
dengan ajaran agam Islam, Israiliyat yang berbeda dengan ajaran syariat Islam dan Israiliyat
yang didiamkan oleh syariat Islam; yang tidak terdapat pada suatu pernyataan yang mendukung
ataupun yang membantahnya.26

- Israiliyat yang Sesuai dengan Ajaran Agam Islam

Contoh untuk hal ini adalah:

Dari Abu Sa’id al-Khdri r.a., bahwa Rasulullah bersabda, “Bumi pada hari kiamat
mejadi sepotong roti yang digenggam Allah yang Maha Perkasa dengan tangan-Nya,
sebagaimana salah seorang di antara kamu menggenggam sepotong roti dalam
bepergian, sebagai persinggahan bagi penduduk surga.’ Lalu, datanglah seorang
Yahudi seraya berkata, ”Semoga Allah memberkatimu wahai Abu Qasim (kunyah,
sebutan Rasulullah). Maukah kamu saya beritahukan tentang persinggahan penduduk
(ahli) surga?” Rasulullah menjawab, ”Ya”. Orang Yahudi itu berkata, ”Bumi itu
menjadi sepotong roti (sebgaimana yang dikatan Rasulullah). Lalu Rasullah menoleh
kepada para shahabat, kemudian tertawa sampai terliahat gigi gerhamnya.”27

26
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 36.
27
Imam Al-Bukhari, Shahih al Bukhari bi Hasyiyah al Sanady, (Beirut: Dar Sha’ab, tt), Jilid. 8, hal. 108
9
- Israiliyat yang Berbeda dengan Ajaran Syariat Islam

Contoh dalam hal ini adalah apa yang dinisbahkan orang-orang Yahudi kepada Nabi
Harun A.S. dalam kitab Safrul Kuruj, bahwa dialah yang membuat anak sapi jantan
untuk Bani Israil, untuk mengajak mereka menyembahnya.28

- Israiliyat yang Didiamkan oleh Syariat Islam; yang tidak Terdapat pada Suatu
Pernyataan yang Mendukung ataupun yang Membantahnya.

Contoh dalam hal ini adalah apa yang ditulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya29 dari cerita
Israiliyat seputar rincian sapi betina Bani Israil yang bermula dari membunuhnya
seorang lelaki demi pamannya, kemudian tuntutannya terhadap orang lain atas
keputusannya, penyembelihan sapai betina, penghidupan kembali orang yang terbunuh
itu dengan sapi betina yang disembelih, dan pemberitahuan dari orang yang hidup
kembali tentang orang yang membunuhnya.

3. Israiliyat Berdasarkan Kategori Temanya.

Menurut kategori ini, Israiliyat terbagi menjadi tiga macam: Israiliyat yang berkaitan
dengan aqidah, Israiliyat yang berkaitan dengan hukum dan Israiliyat yang berhubungan dengan

nasihat, hikmah, kisah dan sejarah.30

- Israiliyat yang Berkaitan dengan Akidah.

Contoh dalam hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukahari:31

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., ia mengatakan, ”Telah datan seorang pendeta Yahudi
kepada Rasulullah, lalu berkata, ’Hai Muhammad, sesungguhnya kami dapati bahwa
Allah menjadikan pada langit berada pada satu jari, bumi pada satu jari, pepohaonan
pada satu jari, air dan tanah pada satu jari, dan seluruh makhluk (selain itu) pada satu

28
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 37.
29
Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, jilid. 1, hal.109.
30
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 38.
31
Ibid.
10
jari, lalu ia mengatakan, ’Akulah Sang Maha Raja.’ Maka tertawalah Rasulullah
sampai terlihat gigi gerhamnya, memebenarkan perkataan pendeta tearsebut.
Kemudian Rasulullah membaca firman Allah:

          

       

”Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal


bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.”32

- Israiliyat yang Berkaitan dengan Hukum

Contoh dalam hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari:

Dari Abdullah bin Amr r.a. berkata, ”Bahwa orang-orang Yahudi datang kepada
Rasulullah dengan membawa seorang pria dan seorang wanita dari kalangan mereka
yang keduanya telah berzina. Rasulullah bertanya pada mereka, ’Bagaimanakah
kalaian memperlakukan mereka di antara kalian yang telah berzina?’ Mereka
mengatakan, ’Kami mencoreng wajah keduanya dan memukul mereka.’ Lalu belia
bertanya lagi, ’Apakah kalian tidak menemukan dalam Taurat (hukum) rajam?’ Mereka
menjawab, ’Kami tidak mendapatkan sesuatu pun (dari hukum rajam). Maka
berkatalah Abdullah bin Salam, ’Kalian telah berdusta, bawakan Taurat, lalu bacalah
Taurat itu jika kalian benar (jujur).’ Lalu seseorang diantara mereka meletakkan
telapak tangnnya pada catatan Tauratnya menutupi ayat rajam. Maka serta merta
orang tersebut membaca ayat yang berada di sebelum dan sesudah ayat yang terletak
di bawah telapak tangannya, serta tidak membaca ayat rajam. Lalu (Abdullah bin
Salam) mengangkat tangan orang itu dari (menutupi) ayat rajam, seraya bertanya,

32
Surat al-Zumar: 67.
11
’Apa ini?’ Maka ketika dia meliahat itu, mereka mengatakan, ‘Ia adalah ayat rajam.’
Rasulullah lalu memerintahkan untuk merajam kedua orang yang telah berzina itu.
Mereka kemudian dirajam.

Ibnu Umar berkata, saya meliahat pria pezina itu mencondongkan tubuhnya ke arah
wanita pezina itu untuk melindunginya dari batu-batu (yang dilemparkan ke
kepalanya).” (HR. Bukhari)

- Israiliyat yang Berhubungan dengan Nasihat, Hikmah, Kisah dan Sejarah

Contoh dalam hal ini adalah israiliyat yang termaktub dalam tafsiran ayat ini:

            

”Buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah
kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu; Sesungguhnya
mereka itu akan ditenggelamkan.”33

Seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya34 tentang Israiliyat dalam cerita
pembuatan kapal Nabi Nuh a.s., tentang kayunya, panjangnya 80 hasta dan lebarnya 50
hasta, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi padanya.

E. HUKUM MERIWAYATKAN KISAH ISRAILIYAT

Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum periwayatan kisah-kisah Israiliyat:

1. Melarang secara Mutlak

Dalam hal ini sebagian ulama’ yang melarang secara mutlak mengacu ayat-ayat al-
Quran dan hadits-hadits shahih. Di antaranya adalah:

33
Surat Hud: 37
34
Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, jilid. 2, hal. 444.
12
          

“…karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali
pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu)
kepada seorangpun di antara mereka (Ahli Kitab).”35

Al-Qur’an secara terang-terangan melarang kita menanyakan kepada Ahli Kitab tentang
kisah-kisah dahulu, rincian kisah-kisah mereka, tempat-tempatnya dan peristiwa-peristiwanya.36

               

 

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”37

Ayat ini memberikan kepada kita sebuah konsep Qur’ani yang ilmiah dalam memeriksa,
menyaring dan mengecek berita jika sumbernya dari orang-orang fasik. Lalu, bagaimana terhadap
berita yang datang kepada kita dari orang-orang kafir?

Sesungguhnya oarang-orang Yahudi dalam riwayat Israiliyat, mereka senantiasa lihai


dalam bualan dan mengubah-ngubah berita, dan mereka tidak dapat dipercaya dalam konteks
sejarah, berita, maupun riwayat. Kebanyakan yang keluar dari mulut mereka mengandung
karekter kontradiksi, klaim, distori dan mitos.38

           

35
Surat al-Kahfi: 22.
36
Shalah Abdul Fattah al-Khaldi, Ma’a Qishash al-Sabiqin fi al-Qur’an, alih bahasa: Abdullah, Kisah-
kisah al-Qur’an; Perjalanan dari Orang-orang Dahulu (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), jilid. I, hal. 42.
37
Surat al-Hujurat: 6.
38
Shalah Abdul Fattah al-Khaldi, Ma’a Qishash al-Sabiqin fi al-Qur’an, hal. 46-47.
13
”Diantara mereka (orang-orang Yahudi) ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab
(Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga .”39

Mereka itu adalah kaum pembual, mereka membual atas nama Allah dan memalsukan
atas nama-Nya.

“Orang-orang (Yahudi) yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada


Kami, supaya Kami jangan beriman kepada seseorang rasul, sebelum Dia mendatangkan kepada
Kami korban yang dimakan api". Katakanlah: "Sesungguhnya telah datang kepada kamu
beberapa orang Rasul sebelumku membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa
apa yang kamu sebutkan, Maka mengapa kamu membunuh mereka jika kamu adalah orang-
orang yang benar".40

Sedangkan dalam hadits, Ibnu Abbas berkata, “Wahai kaum muslimin, mengapa kalian
bertanya pada Ahli Kitab tentang sesuatu, sedangkan kitab Suci kalian yang diturunkan kepada
Rasul-Nya telah memberitakan kabar-kabar Allah SWT? Allah telah memberitahukan pada
kalian bahwa Ahli Kitab telah mengganti dan mengubah kitab Allah SWT, kemudian mereka
menulis Kitab dengan tangannya sendiri, dan berkata, “Ini datang dari Allah.”41

Ayatullah Baqir mengatakan, penjelasan-penjelasan dari Taurat dan Injil tidak bisa
dijadikan sandaran. Karena didalamnya mengalami penyimpangan, juga terdapat pandangan-
pandangan mengenai akhlak yang tidak diakaui kebenarannya dalam Islam. Al-Qur’an sendiri
jelas-jelas menerangkan pada beberapa ayat tentang adanya penyimpangan yang terjadi pada Ahli
Kitab. Lantas bagaimana mungkin cerita mereka dapat dibenarkan.42

Sedangkan Yusuf Qardhawi mengomentari tulisan Ibnu Katsir saat dia (Ibnu Katsir)
menulis dalam tafsir ayat 51-56 dari surat al-Anbiya’,

“Yang kami tempuh dalam tafsir ini adalah menjauhkan diri dari banyak kisah-kisah Israiliyat,
karena ia hanya membuang-buang waktu dan karena kebanyakan darinya hanya mengandung
kedustaan yang disebarkan pada mereka.”

39
Surat al-Baqarah: 78.
40
Surat Ali Imran: 183.
41
Imam Al-Bukhari, Shahih al Bukhari bi Hasyiyah al Sanady Shahih, jilid. 3, hal. 181.
42
Ayatullah Muhammad Baqir, Ulum al-Qur’an, alih bahasa: Nashirul Haq, Salman Fadhilah, (Jakarta:
Al-Huda, 2006), hal. 437.
14
Alangkah baiknya jika Ibnu Katsir menjauhkan diri dari seluruh berita Israiliyat itu,
tidak hanya sejumlah banyak darinya saja. Karena yang sedikit darinya, dosa lebih besar dari
manfaatnya.43

2. Membolehkan secara Mutlak

Dalam hal ini, sebagian ulama’ yang membolehkan secara mutlak (dalam merujuk atau
mengutip dari Ahli Kitab) juga memberikan argumen-argumen dari al-Qur’an dan hadits-hadits
shahih. Diantaranya adalah:

        

“...Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat),
maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu orang-orang yang benar".44

Menurut mereka, ini merupakan bukti bahwa boleh merujuk pada Ahli Kitab.

            

“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.”45

Allah telah membolehkan Rasulullah untuk bertanya pada Ahli Kitab, tentunya begitu
juga dengan umatnya untuk bertanya pada mereka. Sedangkan dalam hadits Rasulullah bersbda:

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil tanpa halangan.”46

Begitu juga Imam Ahmad meriwayatkan tentang perginya Rasulullah ke Kanisiyah dan
mendapatkan seorang Yahudi yang sedang mebaca Taurat, kemudian mensifati Rasulullah.
Untuk memperkuat pendapat ini, mereka merujuk juga pada para shahabat, seperti Abu Hurairah,

43
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Quir’an al-‘Adhim, hal. 500-501.
44
Surat Ali Imran: 93.
45
Surat Yunus: 94.
46
Imam Al-Bukhari, Shahih al Bukhari bi Hasyiyah al Sanady, jilid. 1, hal. 416.
15
Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan lainnya yang bertanya pada para shahabat yang masuk Islam dari
kalangan Ahli Kitab.

3. Membuat Persyaratan dalam Meriwayatkan

Di antara ulama’ ada yang memberikan syarat dalam meriwayatkan kisah-kisah


Israiliyat. Sepertinya mereka mengambil jalan tengah dari dua pendapat tersebut di atas, dan ini
menurut penulis adalah pendapat yang terbaik dalam memberikan solusi hukum. Diantara mereka
adalah Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah.

Dalam hal ini, Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah membagi Israiliyat menjadi tiga:47

1. Jika kita mengetahui kebenarannya sesuai dengan ajaran kita (Islam), maka ia adalah
benar. Akan tetapi dalam hal ini (cukuplah ajaran kita sebagai pegangan), sedangkan
kisah-kisah Israiliyat hanya untuk istisyhad (bukti adanya saja).

2. Jika kita mengetahui tentang kedustaannya (menyalahi ajaran Islam), maka kita harus
menolakanya.

3. Kisah-kisah yang didiamkan; cerita yang tidak ada keterangan kebenaran dan
pertentangan dalam Islam, maka kita tidak mempercayai dan tidak mendustakan.

Sedangkan pandangan al-Biqa’i (w. 881 H) tidak jauh dari Ibnu Katsir dan Ibnu
Taimiyah, dia mengatakan, boleh cerita-cerita tersebut dimuat dalam tafsir al-Qura’an selama
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bilau mengingatkan bahwa cerita itu dimuat hanya
sebagai istitsna’ saja,48 bukan untuk dijadikan dasar aqidah dan bukan pula dijadikan dasar
hukum.

F. PENUTUP

Israiliyat merupakan kisah-kisah berkaitan erat dengan warisan Yahudi. Kisah-kisah


tersebut tersebar melalui berbagai macam cara masuk ke dalam Islam melalui orang-orang Ahli
Kitab. Mereka menyusupkan berita-berita Israiliyat yang mungkar ke dalam ajaran Islam.

47
Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, jilid. I, hal. 11. juga lihat, Muhammad Husain al-
Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 52
48
Abu Anwar, Ulumul Qur’an (Pekan Baru: Amzah, 2002), hal. 110
16
Sehingga cerita-cerita tersebut mampu bertengger dalam buku-buku Islam, terutama al-Quran dan
al-Hadits.

Konfirmasi atau kehati-hatian terhadap setiap berita, fenomena dan dinamika sebelum
memberikan penilaian padanya adalah merupakan seruan dakawah Islamiyah dan merupakan
konsep Islam yang teliti. Apalagi dalam menerima berita dari orang-orang Ahli Kitab yang
memang berusaha mengahancurkan Islam dari dalam. Mereka seakan-akan berusaha memerangi
Islam dengan senjata lain, yaitu senjata budaya.

Bisa dikatakan cela bagi mufassirin adalah mereka yang tidak menoreksi terlebih dahulu
kutipan kisah-kisah Israiliyat yang mereka ambil, padahal di dalamnya kemungkinanan besar
terdapat kisah-kisah yang batil. Karena itu orang yang mengutip kisah kisah Israiliyat
hendakanya meninggalkan kisah-kisah yang sudah jelas kebohongannya.

Dalam kisah-kisah Israiliyat ini dibolehkan meriwayatkannya untuk istisyhad selama


diketahui kebenarannya dalam Islam. Namun Jika ia menyalahi ajaran Islam, maka harus ditolak.
Sedangkan kisah-kisah yang tidak diketahui sesuai atau tidak dengan Islam, maka sebaiknya
didiamkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Adhim, Muhammad Abdul, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.)

Al-Bukhari, Imam, Shahih al Bukhari bi Hasyiyah al Sanady, (Beirut: Dar Sha’ab, tt)

al-Dimasyqi, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Bairut: Dar al-Fikr, 1997)

al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits (Kairo: Maktabah


Wahbah, 1990)

al-Khaldi, Shalah Abdul Fattah, Ma’a Qishash al-Sabiqin fi al-Qur’an, alih bahasa: Abdullah,
Kisah-kisah al-Qur’an; Perjalanan dari Orang-orang Dahulu (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999)

al-Qathan, Mana’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Bairut: al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’,


1973)

Anwar, Abu, Ulumul Qur’an (Pekan Baru: Amzah, 2002)

Baqir, Ayatullah Muhammad, Ulum al-Qur’an, alih bahasa: Nashirul Haq, Salman Fadhilah,
(Jakarta: Al-Huda, 2006)

Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, alih bahasa: Ahmadi Thaha, Mukaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2006)

Khalil, Ahmad, Dirasat fi al-Qur’an (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.)

-----------, Manahij al-Tajdid (Kairo; Dar al-Ma’rifah, 1961)

Ma’luf, Loues, al-Munjid fi al-A’lam (Bairut: Dar al-Masyriq, 1998)

Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal ma’a al-Quir’an al-‘Adhim, aliah bahasa: Abdul Hayyi,
Berinteraksi dengan al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2000)

Syahatah, Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo: Al-
Majlis al-A’la li Ri’ayati al-Funun wa al-Adab wa al-Ulum al-Ijtima’iyah, 1963)

18
Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),
Jilid. 3.

19

You might also like