You are on page 1of 21

STRATEGI P

STRATEGI ENGAWASAN B
PENGAWASAN ANK
BANK
YANG E
YANG FEKTIF**
EFEKTIF
S. Batunanggar 

I. Pendahuluan

Meskipun masa krisis yang dihadapi oleh perbankan belum dapat dikatakan
berakhir, namun tanda-tanda kehidupan telah mulai terlihat diujung lorong
yang selama ini seolah tak berujung. Krisis ekonomi Indonesia yang
berkepanjangan memang tidak semata-mata disebabkan oleh ketimpangan
sistem perbankan. Namun berbagai masalah yang dihadapi oleh sektor
perbankan telah menjadi pemicu krisis tersebut. Hasil survey pada berbagai
negara menyimpulkan bahwa terdapat suatu korelasi yang positif antara
efektivitas pengawasan bank yang dilakukan otoritas pengawas (supervisory
authority) dengan permasalahan perbankan (banking problems) yang terjadi.
Kelemahan pengawasan bank merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
bank mismanagement yang pada akhirnya menimbulkan kegagalan bank (bank
failure).i Kebanyakan kasus kegagalan bank di Indonesia menunjukkan bahwa
campur tangan pemilik bank dalam operasi bank dan kejahatan perbankan
(banking fraud) yang dilakukan oleh pemilik dan pengurus bank merupakan
penyebab utama kebangkrutan suatu bank, disamping dampak krisis keuangan
yang telah mewabah di kawasan Asia sejak pertengahan tahun 1997.

Sejalan arus reformasi, telah terjadi perubahan dramatis pada sektor perbankan
nasional. Dalam kurun dua tahun terakhir telah 54 bank -- yang sakit akibat
wabah krisis dan virus mismanagement tersebut -- dihukum mati karena sudah
tak layak hidup dan membahayakan sistem perbankan. Bank-bank sisanya
diharapkan dapat disehatkan kembali melalui program rekapitalisasi dan
restrukturisasi. Dalam rangka memperkuat kerangka peraturan (regulatory
framework), akhir-akhir ini Bank Indonesia (BI) telah memberlakukan berbagai
ketentuan baru perbankan. Langkah itu sejalan dengan penyempurnaan
peraturan di bidang perbankan yakni: Undang-Undang (UU) Perbankan

* Dimuat dengan (sedikit revisi) dalam PENGEMBANGAN PERBANKAN, Insitut Bankir Indonesia,
Edisi No.78 JULI-AGUSTUS 1999. Dengan judul ‘Strategi Pengawasan Bank yang Efektif di
Indonesia’.

Pengawas Bank, Urusan Pengawasan Bank I, Bank Indonesia, Jakarta. Alumnus MBA Program,
School of Management and Finance, University of Nottingham, England (1996); E-mail address:
batunanggar@hotmail.com.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan pandangan institusi.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

No.10/1998 dan UU Bank Indonesia No.23/1999 baru yang antara lain


menetapkan mengenai kemandirian BI.

Perubahan yang telah dan akan terjadi secara teramat cepat tersebut harus
ditanggapi secara cepat pula. Agar organisasi tetap survive dan mampu
mencapai sasarannya secara efektif, maka perubahan itu perlu didaptasi dan
diantisipasi melalui perubahan paradigma, strategi, tehnik dan alat-alat yang
diadopsi.

Memasuki milenium ketiga, terdapat berbagai issu strategis bagi bank-bank


dalam rangka mempertahankan kelangsungan usahanya. Selain menghadapi
berbagai masalah internal yang pelik seperti tingginya non performing loans
(NPLs), negative spreads, dan kekurangan modal (capital deficiency), bank-
bank akan menghadapi banyak tantangan dari lingkungan industri (business
environment) yang terus berubah dan akan ditandai dengan tingkat kompetisi
yang semakin ketat dengan masuknya bank-bank asing ke dalam sistem
perbankan nasional (baik melalui pembukaan jaringan/kantor baru maupun
melalui akuisisi terhadap dan aliansi strategis dengan bank-bank domestik),
likuiditas yang semakin ketat dengan akan distopnya keran kredit likuiditas BI
dalam rangka the lender of last resort, dan semakin diketatkannya pengawasan
bank oleh BI antara lain melalui adopsi kebijakan transparansi dan penegakan
hukum (law enforcement).

Dengan perubahan struktur perbankan dan berlakunya Undang-undang


No.23/1999 itu, tugas BI dibidang pengawasan bank dalam rangka mewujudkan
sistem perbankan yang sehat jelas menjadi semakin berat dan kompleks. Terkait
dengan topik ini, timbul beberapa pertanyaan mendasar. Apakah strategi
pengawasan bank yang ditempuh oleh BI selama ini sudah efektif. Jika belum
apakah strateginya yang tidak tepat atau pelaksanaannya yang tidak konsisten?
Apakah strategi pengawasan yang ditempuh sudah tepat untuk kondisi spesifik
perbankan Indonesia? Lalu apa saja kelemahan yang perlu diperbaiki dan
kebijakan yang perlu ditempuh?. Tulisan singkat ini mencoba membahas
pertanyaan-pertanyaan tersebut.ii

Tulisan ini disajikan dalam lima materi pokok yakni: pertama, alasan dan
tujuan pengawasan bank; kedua, pilar dan prinsip pengawasan bank yang
efektif sebagai kerangka pemikiran; ketiga, kebijakan dan strategi pengawasan
bank di Indonesia beserta kelemahan utamanya; keempat, proyeksi
perkembangan perbankan dimasa mendatang dan tantangan pengawasan bank;
dan terakhir, pemikiran mengenai perlunya reorientasi paradigma dan
pendekatan untuk mendukung strategi pengawasan bank yang efektif di
Indonesia.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 2


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

II. Pengawasan Bank: Apa dan Mengapa?

Bank memiliki posisi khusus sebagai lembaga kepercayaan (trust) karena bisnis
utamanya adalah menghimpun dana (funding) dari dan meminjamkannya
(lending) kepada masyarakat. Jika kepercayaan tersebut terganggu, dapat
terjadi rush (bank run) yang pada akhirnya dapat menyeret seluruh sistem
perbankan kejurang krisis. Karena itulah mengapa bank dan lembaga keuangan
perlu diatur dan diawasi secara berhati-hati.

Pengawasan bank bertujuan untuk menciptakan dan memelihara sistem


perbankan yang sehat, tumbuh secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian
nasional. Sejalan dengan perkembangan sistem pengawasan bank dan lembaga
keuangan yang diadopsi di negara-negara maju, sejak awal tahun 90an di
Indonesia mulai diterapkan suatu konsep yang dikenal dengan pengawasan
bank yang berhati-hati (prudential supervision). Prudential supervision adalah
suatu metode pengawasan yang digunakan untuk mencegah bank-bank dan
lembaga keuangan mengambil risiko-risiko yang berlebihan (unacceptable
risks) sehingga dapat membahayakan kepentingan para kreditur (penyimpan
dana) dan stabilitas sistem keuangan. Dalam hal ini bukannya bank-bank tak
diperkenankan mengambil risiko sama sekali, namun tujuannya adalah untuk
menjamin bahwa risiko yang dihadapi bank-bank adalah 'wajar' (acceptable),
artinya risiko tersebut dapat dicover oleh alat pengaman (buffers) yang dimiliki
bank. Untuk itu, otoritas pengawasan bank menetapkan seperangkat ketentuan
yang mencakup permodalan, likuiditas, integritas lembaga dan manajemennya,
dan ketentuan kehati-hatian lainnya yang meliputi batas maksimum pemberian
kredit, posisi devisa netto, kualitas asset dan kecukupan provisi dan sebagainya.

III. Pilar dan Prinsip Pengawasan Bank

Berikut ini diuraikan sekilas kerangka dasar dan prinsip pengawasan bank
sebagai acuan.

a. Tiga Pilar Pengawasan Bank

Pengawasan itu pada intinya selalu bertumpu pada tiga elemen dasar yaitu:
pertama, adanya acuan atau standar yang harus dipenuhi; kedua, review
atau perbandingan antara kondisi aktual dengan standar; dan ketiga, koreksi
atas penyimpangan. Fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh otoritas
pengawasan (supervisory authority) pun demikian juga adanya.
Pengawasan bank pada dasarnya dibangun atas tiga pilar utama yakni
pertama, kebijakan atau peraturan (policy or regulation guidelines) sebagai
rambu-rambu; kedua, sistem pemantauan (monitoring system) untuk
memastikan dipatuhi atau dilanggarnya rambu-rambu yang ditetapkan; dan
ketiga, penerapan sanksi (law enforcement system) jika terjadi pelanggaran
atau penyimpangan dari bingkai rambu-rambu kehati-hatian dimaksud.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 3


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

Model-model pengawasan dari satu negara ke negara lainnya memiliki


perbedaan yang mendasar, baik dalam hal pengaturan (regulation) dan
pendekatan atau tehnik pengawasan. Perbedaan-perbedaan tersebut
mencerminkan faktor-faktor historis, politik dan filosofis suatu negaraiii.
Pada kebanyakan negara, bank sentral banyak terlibat dalam pengawasan
bank, baik sebagai pengawas tunggal atau dengan membagi tanggung jawab
dengan lembaga atau badan lain. Di beberapa negara, pengawasan bank-
bank ditangani oleh suatu badan di luar bank sentral yang juga mengawasi
lembaga-lembaga keuangan lainnya dengan berperan sebagai “mega
regulator”. Negara-negara Scandinavia merupakan contoh dimana suatu
"mega regulator" diluar bank sentral yang mengawasi bank-bank,
perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, dan manajer investasi (fund
managers). Canada juga mengarah ke jalan ini dengan 'the Office of
Superintendent of Financial Institutions (OSFI) yang mengawasi bank-bank
dan perusahaan asuransi. Singapura merupakan salah satu contoh bank
sentral yang bertindak sebagai "mega regulator".

Akhir-akhir ini pemisahan pengawasan lembaga keuangan dari bank sentral


menjadi trend di negara-negara maju. Inggris memisahkan fungsi
pengawasan bank dari Bank of England tahun 1996, disusul oleh Australia
pada tahun 1997. Tampaknya Indonesia juga akan mengikuti trend ini
seperti telah ditetapkan dalam UU BI No.23/1999 yang baru, dimana
pengawasan lembaga keuangan di Indonesia paling lambat pada tahun 2002
harus diserahkan kepada suatu lembaga pengawas jasa keuangan (LPJK).
LPJK itu merupakan megaregulator yang bertugas mengawasi sistem
perbankan dan seluruh lembaga keuangan non-bank termasuk pasar modal.
Terdapat dua kubu yang bertentangan (pros and cons) berkenaan dengan
issu pemisahan tersebut, namun hal tersebut bukan menjadi fokus tulisan
iniiv.

Praktek pendekatan pengawasan bank di masing-masing negara sangat


tergantung pada kekuatan infrastruktur legal dan akunting. Di negara-
negara yang tidak memiliki infrastruktur legal yang tidak memadai dan
praktek akunting yang kurang baik, para pengawas bank umumnya tidak
dapat bersandar pada data yang diberikan oleh bank-bank. Konsekuensinya,
lembaga pengawas bank harus mencurahkan banyak sumberdaya untuk
mendeteksi kejahatan (fraud) dan praktek akunting yang tidak benar.

b. Tujuh Prinsip Pokok Pengawasan Bank yang Efektif

Meskipun berbeda dalam pendekatan dan fokusnya, pengawasan bank harus


mengacu pada prinsip-prinsip-prinsip pokok pengawasan bank yang efektif
(The Core Principles for Effective Banking Supervision) yang telah

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 4


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

ditetapkan oleh The Basel Committee on Banking Supervision (Komite


Basel).v Pada September 1997 untuk diterapkan secara internasional.

Prinsip-prinsip pokok tersebut terdiri dari duapuluh lima persyaratan


minimum agar sistem pengawasan bank efektif; yang dikelompokkan dalam
tujuh aspek yakni: pertama, prekondisi bagi pengawasan bank yang efektif;
kedua, perizinan dan struktur; ketiga, persyaratan dan peraturan kehati-
hatian (prudensial); keempat, metode pengawasan bank yang
berkesinambungan; kelima, persyaratan informasi; keenam, wewenang
formal pengawas; dan ketujuh, perbankan lintas-batas (cross-border
banking). Esensi dari prinsip-prinsip tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Prinsip-Prinsip Pokok Pengawasan Bank yang Efektif

1. Prekondisi bagi pengawasan bank yang efektif Prinsip pertama ini


menekankan perlunya suatu kerangka sasaran dan tanggung jawab yang jelas,
dapat dicapai dan konsisten bagi badan-badan yang terlibat dalam pengawasan
bank.
2. Perizinan dan struktur – memfokuskan pada proses perizinan, struktur
kepemilikan dan lingkup bisnis dari bank-bank dan grup perbankan.
3. Persyaratan dan peraturan-peraturan kehati-hatian (prudensial) -
menekankan perlunya mengidentifikasi berbagai tipe risiko yang dihadapi bank,
dan metode-metode untuk menjamin bahwa risiko-risiko tersebut dipantau dan
dikendalikan secara tepat. Pengembangan dan penegakan (enforcement) dari
pengawas atas pedoman-pedoman prudensial merupakan bagian integral dari
proses ini. Kebijakan tersebut harus meliputi kecukupan modal (capital
adequacy), cadangan kerugian kredit (loan loss reserves), konsentrasi asset,
likuiditas, manajemen risiko dan kontrol-kontrol intern, yang dapat bersifat
kuantitatif dan/atau kualitatif.
4. Metode pengawasan bank yang berkesinambungan (on going
banking supervision) – menetapkan harus dilaksanakan pemeriksaan (on-site)
dan pengawasan (off-site). Pengawasan bank meliputi analisa atas laporan-laporan
dan kondisi dari bank-bank dan entitas terafiliasinya atas dasar konsolidasi dan
juga individual. Disini ditekankan pentingnya validasi data secara independen dan
perlunya berhubungan dengan manajemen bank untuk menjamin bahwa operasi
bank dimengerti sepenuhnya oleh pengawas.
5. Persyaratan-persyaratan informasi. Setiap bank harus memelihara
catatan-catatan yang memadai yang dihasilkan sesuai dengan kebijakan akunting
yang konsisten sehingga memungkinkan pengawas untuk memperoleh pandangan
yang obyektif atas kondisi keuangan dan profitabilitas bank. Bank-bank harus
menerbitkan laporan keuangan berkala yang secara obyektif mencerminkan
kondisinya.
6. Wewenang formal pengawas. Pengawas harus memiliki wewenang yang
memadai untuk melakukan tindakan korektif jika bank gagal memenuhi standar-
standar prudensial, atau jika kepentingan para deposan terancam.
7. Cross-border banking. Prinsip-prinsip ini menilai peranan supervisor negara
asal (home) dan setempat (host), dan menekankan perlunya pengawasan secara
konsolidasi atau global dan wewenang untuk bertukar informasi dengan para
pengawas lainnya.
Sumber : Diadaptasi dari BIS,The Core Principles for Effective Banking Supervision,
September 1997.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 5


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

IV. Kebijakan Perbankan di Indonesia: Evolusi, Sistem dan Strategi


1. Evolusi Kebijakan Perbankan

Kebijakan pengawasan bank di Indonesia telah berevolusi sejalan dengan


perkembangan kebijakan moneter dan perbankan yang telah ditempuh
selama ini. Secara umum, implementasi kebijakan perbankan tersebut dapat
dikelompokkan kedalam enam periode utama sesuai jiwa dan sasaran dari
masing-masing kebijakan dimaksud.vi

Yang pertama, periode rehabilitasi ekonomi dan stabilisasi moneter (1968-


1972);

Kedua, stabilisasi moneter (1973-1983);

Ketiga, deregulasi perbankan (1983-1988) dengan kebijakan deregulasi Juni


(Pakjun) 1983 yang berintikan pembebasan suku bunga, penghilangan pagu
kredit dan penerapan instrumen moneter tidak langsung.;

Keempat, liberalisasi perbankan (1988-1990) dengan Paket Kebijakan


Oktober (Pakto) 1988 yang esensinya meliputi kebijakan penurunan
likuiditas minimum dari 15% menjadi 2%, kemudahan pendirian bank
umum, bank campuran dan bank perkreditan rakyat (BPR);

Kelima, regulasi perbankan prudensial (1991-1997) dengan Paket Kebijakan


Februari (Pakfeb) 1991 dan paket lanjutannya yang bertujuan untuk
meningkatkan ketahanan dan kesehatan sistem perbankan melalui
pengendalian risiko usaha bank sesuai standar internasional. Pakfeb
meliputi pemenuhan modal minimum (CAR) 8%, penyisihan penghapusan
aktiva produktif (PPAP), batas maksimum pemberian kredit (BMPK), posisi
devisa neto, dan tingkat kesehatan bank. Pada tahun 1995 diterapkan
kebijakan self-regulatory banking untuk mendorong kedewasaan perbankan
dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk menetapkan
kebijakan, prosedur operasional intern berdasarkan prinsip kehati-hatian
meliputi: kebijakan perkreditan, audit intern, transaksi derivatif.

Dan, keenam, kebijakan stabilisasi moneter dan restrukturisasi perbankan


(1997-sekarang).

2. Sistem Pengawasan Bank di Indonesia

Pada prinsipnya, pengawasan bank di Indonesia juga didasarkan pada tiga


pilar yakni pengaturan, monitoring kondisi bank melalui pengawasan dan
pemeriksaan dan penerapan sanksi (cease and desist order) dengan sistem
penegakan hukum yang secara ringkas disajikan dalam Tabel 2 berikut.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 6


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

Tabel 2. Fungsi Pengawasan Bank


FUNGSI TUJUAN SARANA
Pengaturan Menetapkan kebijakan Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
(Regulation)1 dan ketentuan sebagai Surat Keputusan (Menteri
aturan (rules of the game) Keuangan/Direksi BI), dan Surat Edaran
yang wajib dipatuhi oleh BI/Peraturan Bank Indonesia
bank-bank.
Pemantauan 1. Laporan-laporan yang wajib
(Monitoring)2 disampaikan oleh bank-bank kepada
BI.
Pengawasan Mengecek kepatuhan Laporan-laporan keuangan periodik
(off-site bank-bank terhadap termasuk yg dipublikasikan di surat
supervision) ketentuan yang berlaku kabar; laporan pelaksanaan ketentuan
dan untuk memastikan kehati-hatian: BMPK, PDN dan
bahwa tidak terdapat transaksi derivatif; rencana kerja
Pemeriksaan rekayasa atau kejahatan tahunan, lap. tahunan, lap. Dewan
(on-site (fraud) dalam operasi komisaris; laporan rutin lainnya
examination)3 bank serta untuk menilai 2.Sistem deteksi dini
kinerja dan kondisi bank
secara menyeluruh. Tingkat kesehatan bank; Analisa
kondisi bank
3.Pemeriksaan setempat
Penerapan Memastikan ketaatan Menerapkan sanksi administratif dan
Sanksi bank, pemilik dan atau pidana kepada bank, pemilik dan
(Law pengurusnya terhadap pengurus bank yang terbukti melanggar
enforcement) peraturan perundang- undang-undang.
undangan yang berlaku.
Sumber: Disarikan dari berbagai ketentuan BI

3. Strategi Pengawasan Bank yang Diadopsi Bank Indonesia

Secara organisasional BI telah memiliki suatu visi, misi dan strategi yang
jelas untuk setiap fungsi pokok (core functions)nya yang dituangkan dalam
suatu arah jangka panjang (grand strategy) 20 tahun kedepan yang
dinamakan strategic thrusts BI4. Strategic thrusts tersebut dituangkan
kedalam rencana strategis (strategic plan) untuk setiap lima tahun.

Untuk mewujudkan visinya, sebagai center of excellence, khususnya


dibidang pengawasan bank BI mengadopsi dua strategi umum. Pertama,
mendorong perkembangan struktur industri perbankan yang sehat yang
ditempuh melalui dua cara yakni pengembangan perbankan yang didasarkan
pada penelitian (reseach based) dan konsultasi perbankan (banking
1Dengan berlakunya Undang-undang BI No.23/1999, seluruh peraturan perbankan yang selama ini
ditetapkan oleh pemerintah akan ditetapkan oleh BI dengan sebutan Peraturan Bank Indonesia
(PBI). Demikian juga, proses perizinan usaha bank yang meliputi kelembagaan, kepemilikan dan
kepengurusan bank menjadi wewenang penuh BI.
2Fungsi supervisi off-site dan on-site dilakukan secara simultan dan berkesinambungan.

3Pemeriksaan langsung terhadap kegiatan usaha bank secara rutin dimana frekuensi dan lama

pemeriksaan tergantung pada kondisi dan masalah yang dihadapi oleh masing-masing bank.
4Rencana Strategis Bank Indonesia, 1994/95-1998/99.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 7


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

consultancy). Kedua, meningkatkan dan mengembangkan kemampuan


pengawasan bank yang ditempuh melalui dua cara yakni pengembangan
pengawas/pemeriksa spesialis dan pengembangan sistem informasi
perbankan.

Sejalan dengan implementasi Pakfeb 1991, pengawasan bank di Indonesia


oleh BI mulai diarahkan ke pendekatan risiko (risk-driven supervision).
Salah satu alat pengawasan yang telah dikembangkan dan digunakan oleh
pengawas untuk menganalisis kondisi bank dikenal sebagai CAMEL
(Capital, Asset Quality, Management, Earnings, Liquidity) system yang
mengacu pada sistem USAvii. Penilaian faktor manajemen meliputi aspek
organisasi dan manajemen umum serta manajemen risiko yang terdiri dari
risiko-risiko: pasar, likuiditas, operasional, hukum dan pemilik/pengurus
bank. Dengan CAMEL system tersebut, dilakukan penilaian kondisi dan
tingkat kesehatan suatu bank secara rutin. Sistem ini ditujukan sebagai suatu
alat deteksi dini (early warning system) atas masalah yang dihadapi bank
baik yang aktual maupun potensial. Dengan berhasilnya identifikasi masalah
bank secara dini, diharapkan dapat dilakukan tindak lanjut pengawasan dan
pembinaan bank yang diperlukan (cease and desist order).

Struktur organisasi pengawasan bank di BI juga telah berevolusi sejalan


dengan perkembangan kebijakan perbankan dan perubahan lingkungan
operasional BI. Evolusi tersebut dapat dibagi kedalam tiga fase yakni:
pertama, (1988-1994) unit kerja pengawasan dan pemeriksaan yang terpisah
serta pembagian tugas pengawasan bank berdasarkan jenis bank; kedua
(1994-1997) penggabungan unit kerja pengawasan dan pemeriksaan
(dedicated team) dengan spesialisasi pengawas; dan ketiga (1998- sekarang)
pemisahan kembali unit kerja pengawasan dan pemeriksaan bank tanpa
spesialisasi pengawas dan pemeriksa. Masing-masing struktur tersebut
memiliki kelebihan dan kelemahan.viii

V. Kelemahan Utama Kebijakan dan Strategi Perbankan Indonesia

Upaya perbaikan mensyaratkan penilaian obyektif atas kekurangan dan


kelebihan yang dimiliki saat ini serta tantangan dan peluang masa depan.
Merujuk pada tiga pilar utama dan prinsip-prinsip pokok pengawasan bank
yang efektif diatas, dapat diidentifikasi beberapa kelemahan utama kebijakan
dan sistem pengawasan bank di Indonesia yang dapat dibagi menjadi dua yakni
kelemahan kebijakan (policy issues) dan masalah organisasional
(organizational issues).

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 8


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

1. Permasalahan Kebijakan (Policy Issues)

Setidaknya terdapat lima kelemahan mendasar dari kebijakan perbankan


yang ditempuh selama ini yakni: lisensi yang tidak selektif, rendahnya law
enforcement, masalah campur-tangan dan independensi, ketidak-efektifan
self-regulatory policy dan moral hazard yang akan diuraikan berkut ini.

a) Kebijakan perizinan (licensing) yang tidak selektif. Dengan


diberlakukannya kebijakan deregulasi perbankan Oktober 1988,
perizinan bank menjadi terlalu longgar. Kebijakan 'bebas masuk' (free
entry) dimaksud tidak dibarengi dengan kebijakan 'bebas-keluar' (free-
exit), bahkan cenderung bercorak kebijakan yang 'gampang-masuk-sulit-
keluar' (easy to entry difficult to exit). Demikian halnya dengan
persyaratan menjadi pemilik dan pengurus bank tanpa melalui uji
'kompetensi dan integritas' (fit and proper test) yang memadai.
Akibatnya, banyak diantara pemilik dan pengurus bank yang tidak
kompeten dan bermoral buruk bebas bercokol dalam sistem perbankan.
Mereka itu ibarat benalu atau bahkan 'vampire' yang menggerogoti asset
bank untuk kepentingan pribadi dan kelompok usahanya.

b) Penetapan kebijakan yang belum sepenuhnya berdasarkan penelitian


(research-based policies). Pengawasan bank cenderung kurang efisien
dan efektif karena belum didukung oleh riset yang berkualitas dan
kemampuan analitis yang berfokus pada perkembangan umum dalam
struktur sistem keuangan, trend dari lembaga-lembaga keuangan, pasar
keuangan dan keterkaitan antara keduanya.

c) Rendahnya penegakan hukum (law enforcement). Ketentuan


perundang-undangan yang ada secara jelas dan tegas telah mengatur
mengenai sanksi atas pelanggaran dibidang perbankan. Sayangnya,
penegakan hukum terhadap bank-bank atau pemilik dan pengurus bank
yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan relatif rendah.
Umumnya, para bankir nakal (bad bankers) oleh BI dimasukkan dalam
suatu "daftar hitam" yang populer dikenal sebagai "Daftar Orang
"Rusak"/Tercela (DOR/DOT)." Bagi seorang bankir opportunis yang
bermoral buruk tidak menjadi masalah masuk dalam DOT asalkan dia
telah menguras asset bank. Terlebih lagi, pengajuan para bankir yang
diduga terlibat dalam kasus pidana perbankan hingga saat ini belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Memang banyak pihak
menyadari bahwa salah satu masalah nasional yang mendasar adalah
penegakan hukum yang belum sepenuhnya berjalan dengan benar karena
indikasi pengaruh kepentingan politik dan, tentu saja, uang.

d) Kurangnya independensi BI dan adanya campur tangan pihak lain.


Terdapat indikasi bahwa kebijakan perbankan yang ditetapkan oleh BI --

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 9


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

baik dalam perumusannya maupun dalam pelaksanaannya -- diintervensi


oleh pihak lain untuk kepentingan kelompok tertentu. Hal itu tidak
mengherankan karena salah satu penyakit kronis nasional yang
mewabah adalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang belum
terberantas secara tuntas. Intervensi tersebut disatu sisi terjadi akibat
status lembaga BI yang secara juridis adalah pembantu yang berada
dibawah kendali pemerintah, dan disisi lain banyaknya tekanan politis
dari pihak-pihak tertentu. Akibatnya, beberapa kebijakan strategis yang
ditempuh selama ini cenderung ditujukan untuk kepentingan pihak
tertentu sehingga menimbulkan distorsi.

e) Implementasi self--regulatory banking tidak efektif. Kebijakan untuk


mendorong kedewasaan dan tanggung-jawab pengurus dalam
pengelolaan bank dalam bentuk self-regulatory banking -- kebijakan
perkreditan (PPKPB), audit intern, dan transaksi derivatif -- yang
diterapkan sejak tahun 1995, pada umumnya tidak efektif. Hal tersebut
terutama disebabkan oleh ketiadaan sanksi yang tegas dan lemahnya law
enforcement.

f) Moral Hazard. Longgarnya saringan menjadi pemilik dan pengurus bank


dan ketidakefektifan pengenaan sanksi (cease and desist order) akibat
lemahnya penegakan hukum telah menimbulkan banyak penyalahgunaan
bank (moral hazard) oleh para pemilik, pengurus dan pejabat bank
untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Rendahnya pemahaman
para pelaku pasar (baca para nasabah dan bankir) atas tanggung-
jawabnya juga merupakan faktor pendorong timbulnya moral hazard.
Disamping itu, program penjaminan pemerintah atas simpanan
masyarakat di bank dapat menimbulkan moral hazard karena tidak
mendidik kedewasaan dan rasa tanggung-jawab para penabung
(deposan) dan juga manajemen bank.

2. Permasalahan Organisasional (Organizational Issues)

Permasalahan dibidang organisasional meliputi kelemahan organisasi BI di


bidang pengawasan bank dan kelemahan manajemen bank-bank yang
diawasi.

a) Kelemahan Organisasi Pengawasan Bank

Kelemahan organisasi dibidang pengawasan bank yang tampaknya belum


terpecahkan secara tuntas mencakup :

Implementasi strategi yang kurang konsisten. Secara konseptual,


strategi pengawasan bank yang diadopsi BI tersebut diatas pada
dasarnya telah tepat (proper) dalam artian kesesuaian (suitability),

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 10


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

kelayakan (feasibility) maupun akseptabilitas (acceptability)nyaix.


Sayangnya, strategi tersebut dinilai kurang efektif dalam mencapai
sasaran karena kurang diterapkan secara konsisten. Disamping itu,
fokus konsultansi perbankan yang ditempuh (periode 1994-1998)
dinilai kurang tepat karena pendekatan pengawasan di negara-negara
maju sekalipun otoritas pengawas selalu menghindarkan diri untuk
tidak bertindak prescriptive atau sebagai konsultan bagi bank-bank
yang diawasinya. Pendekatan ini telah mulai dirubah sejak
reorganisasi bidang perbankan BI pertengan tahun 1998.

Struktur organisasi yang kurang menunjang. Sejak reorganisasi


bidang perbankan tahun 1997, satuan kerja pengawasan dan
pemeriksaan -- yang sebelumnya tergabung dalam satu urusan dan
dibagi dalam dedicated teams -- dipisahkan kembali menjadi empat
satuan kerja, masing-masing dua urusan pengawasan dan dua urusan
pemeriksaan bank. Beberapa kelemahan dari reorganisasi tersebut
adalah ketidak seimbangan beban tugas antar satuan kerja (urusan)
dan antara jumlah pengawas dengan jumlah bank yang diawasi dan
masalah koordinasi dan efisiensi.

Kompetensi sumberdaya manusia yang kurang memadai. Kualitas


dan kuantitas para pengawas (dan pemeriksa) bank belum
sepenuhnya sesuai dengan tuntutan tugas pengawasan dan
pemeriksaan bank yang semakin berat dan kompleks. Pendekatan
dalam pengembangan sumberdaya manusia di BI khususnya dibidang
perbankan yang selama ini lebih diarahkan ke 'generalist', bukannya
ke 'spesialist' sehingga SDM yang ada kurang mampu merespons
perkembangan operasi perbankan yang begitu cepat dan semakin
kompleks. Disamping itu, strategi pengembangan SDM perbankan
yang berkesinambungan (continual development) dan terspesialisasi
(specialized supervisors) yang telah ditetapkan pada tahun 1994
belum diimplementasikan secara konsisten kurangnya komitmen
organisasi.

Sistem informasi yang belum komprehensif dan terintegrasi. BI telah


memiliki database dan sistem informasi perbankan (banking
information system) untuk memantau dan menganalisa kondisi dan
trend keuangan bank. Namun demikian, pemanfaatan sistem
informasi tersebut sebagai dasar pengambilan keputusan belum
optimal karena belum terintegrasi dalam suatu jaringan (network)
yang dapat didownload secara online oleh manajemen.

Pendekatan pengawasan bank yang belum sepenuhnya berorientasi


pada risiko. Proses penilaian risiko usaha bank oleh pengawas belum

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 11


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

menyentuh risiko usaha bank secara menyeluruh dan mendalam.


Kebijakan penilaian dan pengendalian risiko pasar (market risk),
belum diatur secara tegas dan belum diperhitungan dalam kerangka
pemenuhan modal minimum (capital adequacy)x. Kelemahan
penilaian manajemen risiko ini menyebabkan sistem deteksi dini
belum sepenuhnya efektif.

b) Kelemahan Manajemen Bank

Selain kelemahan-kelemahan yang disebutkan diatas, juga terdapat


kelemahan yang melekat (inherent weaknesses) dalam manajemen bank
yang sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan strategi pengawasan
yang ditempuh oleh Bank Indonesia. Kelemahan-kelemahan tersebut
bermuara pada empat aspek utama yakni: pertama, belum efektifnya
implementasi self-regulatory policy pada bank-bank yang diindikasikan
oleh kelemahan manajemen risiko dan kelemahan internal control;
kedua, adanya intervensi pemilik dalam operasional bank; ketiga,
pengurus bank yang kurang kompeten dan tidak independen; dan
keempat, rendahnya integritas pemilik dan pengurus bank. Kelemahan-
kelemahan manajemen bank tersebut disisi lain merupakan suatu
indikasi belum efektifnya pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank
Indonesia yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah dibahas pada
aspek kebijakan diatas.

VII. Perubahan dan Tantangan

Pasar dan lembaga-lembaga keuangan telah berkembang dengan laju yang


cepat dan tak terduga. Evolusi ini telah didorong oleh reformasi undang-
undang dan perubahan peraturan yang dramatis. Sistem perbankan dan
keuangan di Indonesia telah berubah secara mendasar. Ada beberapa faktor
mendasar yang telah dan akan merubah sosok perbankan nasional. Saat ini
perubahan struktur perbankan nasional ditandai dengan: pertama, penurunan
jumlah bank akibat likuidasi dan pembekuan usaha bank serta merger dan
akuisisi; kedua, pembersihan sistem perbankan dari pelaku yang tidak 'fit and
proper'.

Perbankan nasional dimasa mendatang antara lain akan diwarnai oleh


beberapa corak utama yakni: pertama, penambahan jumlah bank asing atau
kepemilikan asing dalam perbankan nasional; kedua, penggabungan usaha
(merger) dan akuisisi serta megamerger bank milik negara, bank-bank take-
over dan bank-bank besar lainnya; ketiga, aliansi strategis antara bank asing
dengan bank nasional. Ketiga faktor tersebut akan mendorong inovasi produk
perbankan dan penggunaan tehnologi inovatif serta tumbuhnya konglomerasi

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 12


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

keuangan. Keempat, tingkat persaingan yang semakin tinggi sebagai dampak


dari tiga faktor pertama. Dan yang kelima, munculnya perbankan syariah
sebagai lembaga pembiayaan alternatif yang saat ini mulai didorong
pertumbuhannya. Disamping itu, masalah komputer tahun 2000 (Y2K) juga
merupakan issu strategis bagi perbankan. Peningkatan ukuran, cakupan dan
kompleksitas organisasi perbankan membuat tugas pengawasan untuk
melindungi keamanan dan kesehatan bank menjadi semakin sulit.

Disisi lain, melihat perkembangan dinegara-negara maju, persaingan antar


lembaga keuangan semakin meningkatnya akibat mengaburnya perbedaan
antara lembaga keuangan, bank umum, bank investasi dan asuransi. Meskipun
fenomena ini belum terlihat di Indonesia namun perlu diantisipasi. Disamping
itu, arus globalisasi telah semakin meluas, tidak hanya pada sektor perbankan
dan pasar uang tapi juga pada perekonomian merupakan trend utama yang
menjadi tantangan pengawas bank.

VIII. Strategi Pengawasan Bank yang Efektif untuk Indonesia

Agar efektif, pendekatan dan model pengawasan bank yang diadopsi haruslah
sesuai dengan kondisi spesifik suatu negara. Beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam penetapan pendekatan dan fokus pengawasan
meliputi: kesiapan infrastruktur legal dan akunting, efektivitas law
enforcement, tingkat pemahaman pelaku pasar terhadap sistem keuangan,
dan tingkat kompetensi dan integritas (fit and proper) para pemilik dan
pengurus bank pada umumnya. Agaknya untuk kasus perbankan Indonesia,
faktor-faktor tersebut belum cukup memadai. Disamping itu, arah
perkembangan sistem keuangan nasional dan aturan-aturan internasional
mengenai perbankan juga harus diperhatikan..

BI dinilai perlu untuk menyesuaikan strategi pengawasan bank yang


diadopsinya selama ini. Pertimbangannya adalah: pertama, adanya kelemahan
melekat dalam strategi tersebut antara lain pendekatan yang kurang tepat dan
pelaksanaannya yang kurang konsisten; kedua, karena kurang sesuai
diterapkan untuk kondisi dan karakteristik sistem perbankan saat ini karena
perubahan kebijakan perbankan dalam tahun terakhir ini.; dan ketiga,
mengadaptasi perkembangan pendekatan pengawasan bank yang ditempuh
oleh otoritas pengawas bank di negara-negara maju sejalan dengan
perkembangan (trend) industri keuangan dan perbankan dunia.

Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut diajukan suatu reorientasi


paradigma dan pendekatan pengawasan bank yang lebih terfokus sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 3 berikut :

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 13


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

Tabel 3. Reorientasi Paradigma dan Pendekatan Pengawasan Bank


(Shifting Banking Supervision Paradigm and Approach)
ORIENTASI
ELEMEN/ASPEK SAAT INI (LAMA) MASA MENDATANG (BARU)
KEBIJAKAN (POLICIES)
Penetapan Kurang didasarkan pada hasil Didasarkan pada penelitian yang
Peraturan dan penelitian yang mendalam kuat (strong research-focus) dan
Kebijakan dan kurang melibatkan mepertim-bangkan pendapat para
partisipasi para pakar. pakar (expert opinion).
Pendekatan Orientasi pd proses (process- Orientasi pd kebijakan (policy-
kebijakan oriented) driven)
Kurang berorientasi pada Orientasi pada pasar (market-
pasar oriented)
Pengawasan Bank Kurang berorientasi pada Orientasi pada risiko (Risk-based)
risiko
Fokus pengawasan Lebih terfokus pd Mengintensifkan pemeriksaan dan
pengawasan tdk langsung mengefektifkan pengawasan
(off-site sup.) dan kurang (balanced-supervision).
intensifnya pemeriksaan (on-
site sup.)
Hubungan BI sebagai pembina bank BI sbg pengawas (supervision) dan
pengawas dan bank (banking consultancy focus) penerapan sanksi (CDO).
Penegakan hukum belum terlaksana secara Penerapan sanksi secara konsisten
(law enforcement) konsisten dan konsekuen dan konsekuen untuk
sehingga menimbulkan moral meminimalkan moral hazard.
hazard.
ORGANISASI
Strategi Implementasi kurang Implementasi secara konsisten;
konsisten; tidak ada evaluasi evaluasi efektivitas secara periodik
efektivitasnya
Struktur Mesin birokrasi Dinamis; pengembangan team-
work
Sistem dan Kurang memadai (less Pengembangan sistem yg canggih
prosedur developed) dan belum dan terintegrasi (well developed
terintegrasi. and integrated)
Pengembangan alat-alat
pengawasan (tools of supervision).
Sumber daya Pengetahuan dan keahlian Pengembangan kompetensi dan
manusia (Staffs umum (generalist spesialisasi (specialist supervisors)
and Skills) supervisor)
Budaya Organisasi Belum sepenuhnya Pengembangan budaya organisasi
(Style and Shared mendukung organisasi yang yang mendukung dan gaya
values) efektif. kepemimpinan yang efektif.
Citra Organisasi Cenderung menurun dimata Memperkuat citra organisasi sbg
(Organizational pasar dan publik. lembaga yang kompeten dan
Image) independen dimata pasar dan
publik.
Sumber: Batunanggar, S., "Shifting Banking Supervison Paradigm and Approach", unpublished

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 14


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

Pendekatan pengawasan (termasuk peneriksaan) bank di masa mendatang


pada intinya perlu difokuskan pada tiga empat aspek yakni: pertama,
penilaian risiko-risiko usaha bank secara mendalam; kedua, pengintesifan
pemeriksaan untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai
kondisi suatu bank; ketiga pengembangan kemampuan para pemeriksa dan
pengawas menjadi spesialis yang menguasai secara mendalam mengenai
aspek-aspek utama operasional bank seperti transaksi forex dan pasar uang,
asset and liability management, dan electronic data processing. Disamping
itu, perlu juga dikembangkan keterampilan penyidikan atau investigasi
dibidang perbankan. Terakhir, untuk meminimalkan moral hazard dan
distorsi dalam sistem, perlu diterapkan law enforcement secara konsisten
dan konsekuen dalam bentuk pengenaan sanksi baik administratif maupun
pidana bagi bankir yang terbukti melanggar peraturan.

Disamping pendekatan diatas, setidaknya terdapat sepuluh agenda strategis


yang dipandang perlu segera dilakukan oleh BI untuk menunjang efektivitas
strategi tersebut diatas.

1. Memberdayakan disiplin pasar sebagai benteng terdepan (first


line of defense).

Akhir-akhir ini, badan-badan pengawas (regulatory bodies) internasional


semakin menyadari bahwa para pelaku pasar (market discipline)
menduduki peranan terdepan dalam memelihara ketahanan sistem
keuangan terhadap tekanan gejolak dan krisis. Karenanya, para pengawas
dan pakar dari berbagai negara-negara maju tersebut sepakat
menempatkan para pelaku pasar sebagai pertahahanan lini pertama (first
line of defense) dalam mengatasi dan mengantisipasi krisis keuangan
yang telah dan akan terjadi. Baru-baru ini, Komite Basel menerbitkan
consultative paper kerangka pemenuhan modal (capital adequacy) yang
baru untuk menggantikan ketentuan yang lama (1988 Accord). Kerangka
permodalan yang baru tersebut berintikan tiga pilar: persyaratan modal
minimum, proses penilaian pengawasan, dan penggunaan disiplin pasar
(market discipline) secara efektif. Sejalan dengan konsep ini, perlu
ditingkatkan pemahaman masyarakat, khususnya para nasabah
pengguna jasa perbankan, terhadap sistem keuangan secara
terencana dan berkesinambungan dalam rangka menunjang sistem
perbankan yang sehat. Akhir-akhir ini, Financial Service Authority
(FSA), otoritas pengawas lembaga keuangan Inggris, mengembangkan
suatu program pendidikan nasabah (customer education) sebagai suatu
strategi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap sistem
keuangan.xi Tujuan akhir dari program tersebut adalah untuk membantu
nasabah dalam memilih dan mengelola aktivitas keuangannya secara
lebih baik. Untuk itu, ditempuh dua upaya yakni: pertama, pendidikan

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 15


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

untuk pemahaman keuangan (financial literacy) bagi individu; dan


kedua, penyediaan saran dan informasi konsumen (customer
information service) tanpa bersikap prescriptive.

2. Memperkuat kerangka pengawasan bank (supervisory


framework) Dalam hal ini langkah-langkah yang perlu dilakukan
meliputi:

a. Menetapkan peraturan dan ketentuan perbankan yang sesuai


berdasarkan suatu penelitian yang mendalam dan
mempertimbangkan pandangan para pakar dan pelaku pasar sebelum
mengimplementasikannya (research-based policies);

b. Memperketat perizinan bank. Medan usaha perbankan adalah risiko.


Karenanya harus dijamin bahwa bank sebagai lembaga kepercayaan
harus sehat (sound) dan dimiliki serta dikelola orang yang benar-
benar fit and proper. Sehubungan dengan itu, kebijakan perizinan
bank perlu dirubah dari 'bebas-masuk-sulit-keluar (free entry,
difficult to exit) menjadi 'sulit masuk gampang-keluar' (selective entry
and free exit). Jika kondisi suatu bank dinilai telah membahayakan
kelangsungan usahanya dan sistem perbankan, maka harus segera
ditempuh resolusi yang realistis yakni dengan pembekuan atau
pencabutan izin usahanya

3. Memperkuat organisasi pengawasan bank, melalui :

a. Reorganisasi dan pemilihan struktur organisasi yang dinamis sesuai


dengan strategi yang diadopsi. Pemilihan struktur organisasi,
tentunya perlu disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan elemen
organisasi lainnya khususnya strategi yang diadopsi dan sumberdaya
yang dimiliki. Seyogianya, struktur harus mengikuti strategi
(structure follows strategy).

b. Pengembangan sistem dan prosedur pengawasan dan pemeriksaan


termasuk alat-alat pengawasan (tools of supervision) khususnya
berkaitan dengan penilaian manajemen risiko bank.

c. Peningkatan kualitas dan kuantitas para pengawas/pemeriksa dengan


pengembangan kemampuan menjadi spesialis dibidang-bidang
tertentu seperti forex and money market, electronic data processing,
ALMA, dan investigasi perbankan.

d. Peningkatan efektifitas pengawasan bank dengan mengembangkan


banking monitoring system yang mengarah pada day-to-day
supervision dan mengembangkan indikator (determinants) yang
dapat berfungsi sebagai sistem deteksi dini (early warnings system)

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 16


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

krisis perbankan serta mengintesifkan pemeriksaan (on-site) untuk


memperoleh data yang akurat dan obyektif mengenai kondisi usaha
bank.

e. Mengadopsi kerangka kebijakan pengawasan bank yang berlaku


secara internasional khususnya Basle Accord serta metode dan
tehnik-tehnik yang telah dikembangkan oleh otoritas pengawasan
internasional lainnya yang berorientasi pada pasar (market oriented).
Sejalan dengan ini, perlu lebih ditingkatkan penelitian, surbey dan
studi banding agar dapat dikembangkan model-model dan tehnik
yang sesuai diterapkan untuk kondisi perbankan Indonesia.

f. Penggunaan tenaga akuntan publik sebagai tenaga alternatif


pemeriksa bank (strategic outsourcing) dengan pertimbangan
ketersediaan sumberdaya di BI dan obyektivitas hasil pemeriksaan.

4. Menegakkan penerapan sanksi (law enforcement). Law


enforcement merupakan salah satu pilar utama pengawasan bank, karena
itu perlu ditegakkan secara konsisten untuk meminimalkan moral
hazard dan distorsi terhadap sistem.

5. Menerapkan kebijakan likuidasi bank secara konsekuen. Moral


hazard dan bank insolvency merupakan dua permasalahan yang saling
terkait. Penjaminan simpanan nasabah (deposit guarantee) dan
pemberian bantuan likuiditas pada bank-bank yang kesulitan likuiditas
dan insovent dapat menimbulkan moral hazard. Sebagai resolusi atas
permasalahan ini, Edgar Meister, Direksi Deutsche Bundesbank, dalam
salah satu simposium baru-baru ini menyatakan dengan gamblang:
"Allow Banks to Fail".xii Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa
pengawas bank harus mencoba untuk menghindarkan dua skenario
sekaligus yakni dampak serius dari bank insolvencies dan terjadinya
moral hazard. Krisis di Asia Tenggara menunjukkan bahwa jaminan
pemerintah dan harapan atas bantuan luar negeri -- yang hampir selalu
terlambat diperoleh -- dapat mengarah pada kekacauan (misalignment)
dalam suatu situasi krisis. Senada dengan itu, Tietmeyer, rekan Meister di
Bundesbank, berpesan : "Do not display too much money in the shop
windows). Masalah moral hazard hanya akan dapat dicegah dengan
menekankan dan mensyaratkan bahwa tanggungjawab berada tangan
para pelaku pasar, dan dengan membatasi intervensi badan-badan
pemerintah. Dengan meniadakan moral hazard juga akan meningkatkan
stabilitas sistem dan meningkatkan manajemen krisis. Berkaitan dengan
program penjaminan pemerintah simpanan masyarakat di bank,
Indonesia merupakan satu contoh yang ekstrem. Tidak ada negara di
seantero dunia ini yang menjamin seluruh dana masyarakat di bank

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 17


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

seratus persen. Hal ini dinilai tidak mendidik masyarakat dan investor
untuk berhati-hati dalam tindakan investasi yang dilakukannya. Bagi
bank, kebijakan tersebut tidak mendidik mereka untuk menerapkan
manajemen risiko, yang merupakan salah satu aspek terpenting dalam
operasional bank, secara konsisten. Sehubungan dengan itu, perlu segera
didesain organisasi dan skema jaminan simpanan (deposit guarantee)
untuk dikelola oleh lembaga yang independen sebagaimana telah
dicanangkan dalam undang-undang.

6. Mengadopsi model pengawasan yang antisipatif (forward


looking) and innovatif.

Menempuh kebijakan yang berfokus pada riset (research focus).


Otoritas pengawasan bank harus menjadi lembaga yang lebih policy-
driven, bukan process-oriented. Dalam hal ini kemampuan analitis
merupakan hal yang tugas yang sentral, yang mengharuskan BI untuk
mengembangkan kemampuan riset keuangan. Adalah mengherankan
jika pengawasan dan pengaturan perbankan tidak diasosiasikan
dengan suatu fokus penelitian yang kuat (strong research focus).
Penelitian, kebijakan dan pengawasan yang baik sangat terkait erat.
Dalam sistem keuangan yang dinamis, pengawasan bank cenderung
tidak efektif dan menimbulkan ketidakefisiensian yang signifikan jika
tidak didukung oleh riset yang berkualitas dan kemampuan analitis
yang berfokus pada perkembangan umum dalam struktur sistem
keuangan, trend dari lembaga-lembaga keuangan, pasar keuangan
dan keterkaitan antara keduanya. Karakteristik produk-produk dan
instrumen keuangan baru harus dipahami dan langkah inisiatif harus
dilakukan di bidang pengukuran dan manajemen risiko.

Mengadopsi pengawasan berorientasi risiko (risk-based


supervision). Model pengawasan yang sesuai saat ini dan masa
mendatang harus berorientasi pada risiko (risk-based) sebagaimana
telah pernah diajukan penulis pada majalah ini edisi Juli-Agustus
1998xiii. Sejalan dengan itu, pengawasan bank masa depan perlu
diarahkan pada analisis kompetisi sebagai dampak dari konsolidasi
perbankan. Kompetisi pasar perlu dipelihara agar nasabah menerima
produk dengan kualitas terbaik. Selanjutnya, analisis kesehatan bank
perlu diarahkan pada pendekatan konsolidasi dan global sebagai
respons terhadap tumbuhnya konglomerasi keuangan yang
tampaknya akan semakin meningkat dimasa mendatang. Hanya
dengan melakukan langkah-langkah tersebut para pengawas dapat
selaras dengan perkembangan baru dalam sistem perbankan dan
mampu merespons secara tepat.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 18


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

7. Pembaharuan Budaya dan Citra Organisasi. Budaya organisasi


dan citra lembaga sangat berperan dalam menunjang efektivitas sasaran.
Reformasi fundamental di bidang perbankan tidak hanya perlu dilakukan
dibidang perangkat keras (hardwares), tetapi juga jiwa atau spiritnya.
Sejalan dengan itu, penyempurnaan metode pengawasan bank harus
diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk mengurangi beban
pengaturan. Hingga saat ini para pemeriksa bank bertindak dengan spirit
polisi keuangan yang berupaya untuk menangkap bankir-bankir yang
melakukan pelanggaran. Memasuki milenium ketiga, era tersebut
diharapkan berakhir, dan perlu digantikan dengan suatu 'pengawasan
bernilai-tambah' (value-added supervision). Selanjutnya, citra dan
kredibilitas BI yang cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir
ini, perlu dibangun kembali melalui penciptaan lingkungan kerja dan
budaya organisasi yang menunjang, public relation yang responsif dan
kepemimpinan yang efektif. Langkah ini ini menjadi sangat relevan
sejalan dengan upaya menegakkan independensi BI. Dalam hal ini,
peranan pemimpin menjadi issu sentral, karena pembaharuan
paradigma, budaya dan citra organisasi harus dimulai dari atas, bukan
sebaliknya.

8. Menegakkan independensi BI Agar tugas pokok dan tanggung-jawab


yang diamanatkan oleh undang-undang (baca:rakyat) dapat terlaksana
secara efektif, BI memang harus bebas dari segala macam campur
tangan. Namun perlu diingat bahwa independensi yang telah BI peroleh
itu baru bersifat jurudis formal yang masih perlu diperjuangkan.
Independensi itu ibarat benteng (first line of defense) yang tidak
menjamin keamanan dari serangan musuh. Untuk mempertahankan diri
tentunya perlu dimiliki mekanisme dan alat pertahanan diri sebagai
second line or inner defense. Karena pada hakekatnya independensi itu
bukan "hadiah" tetapi buah dari suatu perjuangan melalui kesungguhan,
kerja keras, integritas dan konsistensi dari organisasi beserta seluruh
anggotanya. Hal ini tentunya mensyaratkan dukungan dan komitmen
pimpinan puncak yang bersikap amanah dan ksatria.

9. Mengefektifkan kerjasama antar lembaga baik domestik


maupun internasional Untuk mewujudkan sistem perbankan yang
sehat itu memerlukan kerjasama dan koordinasi yang efektif dengan
lembaga-lembaga terkait baik domestik maupun internasional. Namun
sudah menjadi fenomena umum bahwa koordinasi dan kerjasama antar
lembaga sulit dilaksanakan secara efektif. Bahkan telah menjadi suatu
kultur buruk pada lembaga atau organisasi besar dimana kooordinasi
antar satuan kerja menjadi suatu hal yang terlalu mahal untuk dapat
terlaksana secara baik. Kendala ini perlu dipecahkan dengan membangun
kesadaran dan komunikasi yang baik serta dengan mengedepankan

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 19


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

kepentingan masyarakat dari kepentingan pribadi, golongan bahkan


organisasi. Hal ini memang sulit, tetapi harus terus diupayakan secara
sungguh-sungguh.

IX. Penutup

Pengawasan bank itu dibangun atas tiga pilar: regulasi, monitoring dan sanksi.
Bila dianalogikan sebagai manusia: regulasi itu adalah badan, monitoring itu
sebagai kepala (akal, mata dan telinga), dan penegakan hukum (sanksi) menjadi
hati nuraninya. Agar efektif, kondisi ketiga elemen yang terintegrasi tersebut
harus senantiasa dipeliaga agar sehat (sound) dan difungsikan secara tepat
(proper). Sistem perbankan itu sendiri dapat diibaratkan sebagai suatu
bangunan yang bersendikan tiga pilar itu. Jika salah satu pilarnya lemah atau
kurang kokoh, maka dia akan mudah rubuh dan gampang dimasuki atau
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Perbankan nasional dimasa mendatang antara lain akan diwarnai dengan corak
baru antara lain konsolidasi dan megamerger, innovasi produk dan tehnologi,
kompetisi yang tinggi dan tumbuhnya bank syariah. Perubahan struktur industri
perbankan dan perkembangannya dimasa mendatang mengharuskan BI agar
mereposisi strategi (strategic repositioning) dan mereorientasi paradigma
(shifting paradigm) dan pendekatannya khususnya dibidang pengawasan bank
Hal ini telah disadari oleh BI. Deputi Gubernur BI, Dr. Subarjo Joyosumarto,
dalam berbagai kesempatan sering mengemukakan perlunya perubahan
paradigma tersebut. BI telah bertekad untuk menegakkan independensi,
kompetensi dan kewibawaan sebagai bank sentral sehingga mampu menangani
berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapinya menyongsong milenium
ketiga ini.

Perlu disadari bahwa "keberhasilan sebagai lembaga pengawas bank tidak akan
berjalan dengan sendirinya dengan reorganisasi atau pemisahan fungsi
pengawasan dari bank sentral" seperti pendapat seorang pejabat pengawasan
bank di Reserve Bank of Australia yang kini telah dipisahkan ke lembaga baru,
APRAxiv. Keberhasilan itu merupakan produk yang dikembangkan dari suatu
filosofi orientasi-pasar yang fleksibel. Hanya dengan menjadi suatu lembaga
yang berintegritas tinggi, dinamis, policy-driven, berkemampuan riset yang
kuat, forward looking, dan market friendly serta senantiasa belajar (learning
organization) pada akhirnya akan berhasil melaksanakan tugas yang
diamanatkan oleh rakyat melalui konstitusi dan menjadi lembaga yang
kompeten dan independen. Tentunya, kita semua berharap agar BI dapat
mewujudkan harapan itu menjadi kenyataan (to make it happens). [SB]

End Notes

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 20


S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank yang Efektif

i Batunanggar, S.,"Bank Mismanagement", Gema Korps Bank Indonesia, Desember 1992.


ii Tulisan ini didasarkan pada analisis dan observasi penulis.

iii Ellis, Ross, "Prudential Supervision of Financial Institutions", Reserve Bank of Australia
Bulletin.
iv Lihat Charles Goodhart and Dirk Schoenmaker, "Institutional Separation between
Supervisory and Monetary Agencies", in Goodhart, CAE, The central Bank and the
Financial System, Macmillan, London, 1995; Briault, Clive, "The Rationanale for A Single
National Financial Services Regulator, FSA Occasional Paper Series, No.2, May 1999.
v The Basle Committee on Banking Supervision dibentuk oleh Gubernur bank sentral
negara-negara the Group of Ten tahun 1975. Komite biasanya bertemu di the Bank for
International Settlements (BIS) di Basle, Swiss yang menjadi markas Sekretariat.

vi Batunanggar, S. "Strategic Management in Action: The Case of Bank Indonesia", MBA


Dissertation, School of Management and Finance, University of Nottingham, England
1996, page 21-23.
vii Montgomery, John, The Indonesian Financial System: Its Contribution to Economic
Performance, and Key Policy Issues, Working Papers, International Monetary Fund, April
1997.

viii Pada dasarnya, desain struktur dedicated team dengan specialized supervisors memiliki
lebih banyak keunggulan dibandingkan dengan struktur saat ini. Kekhawatiran akan
adanya potensi kolusi antara pengawas dengan yang bank diawasi -- yang menjadi salah
satu alasan utama menggantikan struktur tersebut -- sebenarnya dapat diminimalisir
dengan rotasi tugas secara rutin khususnya ditingkat manajemen, mengintensifkan
internal kontrol, menciptakan budaya organisasi yang mendukung dan ditunjang dengan
kepemimpinan yang efektif dan berintegritas tinggi.

ix Batunanggar, S. Op.cit. page 94.


x Batunanggar, S., "Camel BOE dan BI: Suatu Perbandingan", Gema Korps Bank Indonesia,
Februari 1998.
xi FSA, Consumer Education, A strategy for promoting public understanding of the financial
system, Discussion Paper, May 1999.

xii Meister, Edgar, "Allow Banks to Fail", Statement delivered at symposium at University of
Frankfurt, February 1999.
xiiiBatunanggar, S. "Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam
Aplikasinya di Indonesia", Pengembangan Perbankan, Edisi No.72, Juli-Agustus 1998.

xivGray, B.L., Achieving Effective Supervision, RBA Bulletin, Dec.1997.

PENGEMBANGAN PERBANKAN JULI-AGUSTUS NO.78 1999 21

You might also like