You are on page 1of 17

Apakah masyarakat sipil?

Apakah masyarakat sipil? masyarakat sipil adalah sebuah konsep strategis yang terletak di
bagian-lintas alur penting dari perkembangan intelektual dalam ilmu-ilmu sosial. Untuk
memperhitungkan keragaman konsep, CCS mengadopsi definisi kerja awal yang dimaksudkan
untuk membimbing kegiatan penelitian dan pengajaran, tetapi tidak berarti harus ditafsirkan
sebagai pernyataan kaku:

    Masyarakat sipil mengacu pada arena aksi kolektif uncoerced kepentingan sekitar bersama,
tujuan dan nilai-nilai. Secara teori, bentuk-bentuk kelembagaan yang berbeda dari mereka
negara, keluarga dan pasar, meskipun dalam praktek, batas antara negara, masyarakat sipil,
keluarga dan pasar seringkali rumit, kabur dan dinegosiasikan. masyarakat sipil umumnya
mencakup beragam ruang, pelaku dan kelembagaan bentuk, bervariasi di tingkat mereka
formalitas, otonomi dan kekuasaan. Sipil masyarakat sering dihuni oleh organisasi seperti amal
terdaftar, pengembangan organisasi non-pemerintah, kelompok masyarakat, organisasi
perempuan, organisasi berbasis agama, asosiasi profesi, persatuan buruh, self-help kelompok,
gerakan sosial, asosiasi bisnis, koalisi dan kelompok advokasi .

Mengapa masyarakat sipil? Apa ini bunga tiba-tiba dalam masyarakat sipil semua tentang?
Beberapa orang mungkin ingat bahwa istilah ini en populer pada abad 18 dan 19, tapi sudah
lama jatuh ke tidak digunakan, dan menjadi istilah yang menarik bagi sejarawan terutama.
Untuk CCS, jawabannya adalah jelas namun penuh dengan implikasi. Untuk waktu yang lama,
para ilmuwan sosial percaya bahwa kita hidup di dunia dua sektor. Ada pasar atau ekonomi di
satu sisi, dan negara atau pemerintah di sisi lain. teori-teori besar kami berbicara kepada
mereka, dan hampir semua energi kami didedikasikan untuk menjelajahi dua kompleks
kelembagaan pasar dan negara. Tidak ada lagi sepertinya banyak masalah.

Tidak mengherankan, 'masyarakat' itu didorong ke pinggir dan akhirnya menjadi suatu
pengertian yang sangat abstrak, diturunkan sampai ke perbatasan theorising sosiologis dan
filsafat sosial, tidak cocok dengan pandangan dunia dua sektor yang telah mendominasi ilmu-
ilmu sosial selama lima puluh tahun terakhir. Demikian pula, gagasan bahwa 'sektor ketiga'
mungkin ada antara pasar dan negara entah bagaimana tersesat dalam tampilan dua-sektor di
dunia. Tentu saja, ada dan banyak lembaga swasta yang melayani tujuan-asosiasi sukarela
umum, amal, organisasi nirlaba, yayasan dan organisasi non-pemerintah-yang tidak cocok
dengan dikotomi negara-pasar. Namun, sampai baru-baru ini, lembaga ketiga-sektor seperti itu
diabaikan jika tidak diabaikan langsung oleh semua ilmu-ilmu sosial.

Seperti pendekatan sisi pendek memiliki konsekuensi bencana bagi pemahaman kita tentang
bagaimana perekonomian dan masyarakat berinteraksi, yang ketidakmampuan ilmu-ilmu sosial
untuk memprediksi dan memahami jatuhnya komunisme di Eropa tengah dan timur hanyalah
salah satu dari banyak contoh. Salah satu peristiwa yang paling penting dari abad ke-20 luput
dari perhatian ilmu sosial mainstream sampai setelah terjadi. Melihat ke belakang, kita dapat
melihat bagaimana kejadian-kejadian di Eropa tengah dan timur memang penting dalam
membawa topik masyarakat sipil untuk perhatian para ilmuwan sosial di Barat.

peneliti CCS akan mencapai kesimpulan yang sama untuk cara di mana ilmu-ilmu sosial biasanya
mendekati 'pembangunan' di Selatan. Sudah terlalu lama kita telah mengadakan praduga
tentang "'pasar dan'" negara yang independen tampaknya masyarakat dan budaya setempat.
Perdebatan tentang masyarakat sipil akhirnya adalah tentang bagaimana budaya, pasar dan
negara berhubungan satu sama lain.

Kekhawatiran tentang masyarakat sipil, namun tidak hanya relevan ke Eropa tengah dan timur
dan dunia berkembang. Hal ini sangat banyak bunga ke Uni Eropa juga. Dialog Sipil diprakarsai
oleh Komisi di tahun 1990-an adalah upaya pertama oleh Uni Eropa untuk memberikan
lembaga-lembaga masyarakat-dan tidak hanya pemerintah dan bisnis-suara di meja pembuatan
kebijakan di Brussels. Uni Eropa, seperti lembaga-lembaga internasional lainnya, memiliki jalan
panjang dalam mencoba untuk mengakomodasi kepentingan yang sering berbeda dari
organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat. Ada peningkatan pengakuan bahwa
pemerintah internasional dan nasional harus terbuka kepada lembaga-lembaga masyarakat
sipil.

Satu bisa mencapai kesimpulan yang sama tentang Kerajaan Serikat, di mana transisi
masyarakat pasca-industri untuk menampilkan banyak pertanyaan penting tentang kohesi
sosial dan partisipasi sosial di negara yang semakin heterogen dan beragam. Apa peran yang
akan dimainkan lembaga-lembaga masyarakat sipil, apa fungsi dari amal dan filantropi di
Britania lebih beragam, dan apa yang akan menjadi dampak desentralisasi pada sektor
sukarela?

Terakhir diperbaharui: 1 Maret 2004www.lse.ac.uk

Masyarakat Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama Di Indonesia


Terlahirnya  istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato
Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten
Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “ istilah masyarakat madani”
sebagai terjemahan  “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium  nasional
dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. Istilah
masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran  Prof. Naquib al-
Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru
ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia  termasuk seorang
Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani
dalam sejarah islam pada  artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.[1]

Dewasa ini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, mula-mula terbatas di
kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Tetapi
perkembangannya  menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh
tokoh-tokoh pemerintahan  dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto,
Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.[2] 

Masyarakat madani atau yang disebut orang barat Civil society mempunyai prinsip
pokok pluralis, toleransi dan human right termasuk didalamnya adalah demokrasi.
Sehingga masyarakat madani dalam artian negara menjadi suatu cita-cita bagi negara
Indonesia ini, meskipun sebenarnya pada wilayah-wilayah tertentu, pada tingkat
masyarakat kecil, kehidupan yang menyangkut prinsip pokok dari masyarakat madani
sudah ada.   Sebagai bangsa yang pluralis dan majemuk, model masyarakat madani
merupakan  tipe ideal suatu mayarakat Indonesia demi terciptanya integritas sosial
bahkan integritas nasional.

Memencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak
sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena  adanya hambatan psikologis untuk
menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya
pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi
kehidupan social dan politik bangsa kita. Namun banyak orang memadankan istilah ini
dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani).
Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya
yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada  tradisi Arab-Islam sedang  civil
society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda
apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.[3] 

Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau
‘kota”, sehingga masyarakat madani bias berarti masyarakat kota atau perkotaan .
Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis,
tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk
sebuah kota. Dari sini kita paham  bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat
yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang
cocok dengan orang kota,yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris
diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan
dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti  peradaban atau
kebudayaan tinggi. [4]

Pemetaan tentang civil society pernah dilakukan oleh Michael W. Foley dan Bob
Edwards yang Penggunaan istilah masyarakat madani  dan civil society di Indonesia
sering disamakan  atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna
diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal
dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.

Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah  Civil Society dari sudut
konsep sosiologis. Yaitu, dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi  sebagai tipe
sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai
dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan
suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon
untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H.
Marshall. Atau dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi.
Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik  (sosiologi politik,
antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society  menjadi
wilayah kajian filsafat yang menekankan  pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini
menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara
konsep  durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas 
bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber
dan individualism Durkheim.[5] 

menghasilkan Civil Sosiety I dan Civil Society II. Namun dalam perkembangannya ,
terdapat analisis yang  mencakup dari kedua aspek (civil Society I dan II), hingga
menghasilkan kombinasi atau tipe Civil society III.

Dalam wacana civil society I di Indonesia  lebih menekankan aspek horizontal dan
biasanya dekat dengan aspek budaya. Civil society di sini erat dengan “civility” atau
keberadaban dan “fraternity”. Aspek ini dibahas pemikir masyarakat madani atau
madaniah yang mencoba melihat relevansi konsep tersebut (semacam “indigenisasi”)
dan menekankan toleransi antar agama. Analis utama dalam kelompok ini adalah
Nurcholish Madjid yang mencoba melihat civil society berkaitan dengan masyarakat 
kota madinah pada jaman Rosulullah.Menurut Madjid, piagam madinah merupakan
dokumen politik pertama  dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar
pluralisme dan toleransi, sementara toleransi di Eropa (Inggris ) baru dimulai dengan
The Toleration Act of 1689.[6] Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari
kelompok yang menggunakan “civil society’ dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir
utamanya. Perdebatan utamanya terletak pada bentuk masyarakat ideal dalam civil
society tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan “Islam cultural”
namun contoh masyarakat Madinah kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia.
[7]

Selain civil society dan masyarakat madani, konsep masyarakat warga atau kewargaan
digunakan pula oleh  Ryaas Rasyid dan Daniel Dhakidae. Wacana dalam civil Society
II  memfokuskan pada aspek “vertical” dengan mengutamakan otonomi masyarakat
terhadap negara dan erat dengan aspek politik. Dalam civil society II, istilah “civil” dekat
dengan “citizen’ dan “liberty”. Terjemahan yang diIndonesiakan adalah Masyarakat
warga atau masyarakat kewargaan dan digunakan oleh ilmuwan politik . Pemahaman
civil society II intinya  menekankan asosiasi diantara individu (keluarga) dengan negara
yang relatif otonom dan mandiri. Namun, terdapat perdebatan apakah partai politik 
atau konglomerat termasuk disini atau apakah semua organisasi yang non-negara
merupakan civil society. Jadi civil society II dapat bermakna beragam dan ada pula
yang mndefinisikan “civil society’ sebagai “the third sector” yang berbeda dari
pemerintah dan pengusaha.[8]

Pembahasan civil society III merupakan upaya untuk mempertemukan civil sosiey I dan
civil society II. Kombinasi antara Civil society I dan II yang menjadi civil society III telah
dibahas oleh Afan Gaffar di bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju demokrasi
(1999). Dibahas pula oleh Paulus Wirutomo dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang
berjudul  Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi. Konsep civil
society III ini yang dirasa relevan dengan masyarakat Indonesia dimana keadaan
vertical (antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi dan partisipasi  erat kaitannya
dengan situasi horizontal atau SARA. Kedua aspek tersebut mengalami represi dan
sejak reformasi 1998 muncu ke permukaan dan membutuhkan perhatian dalam proses
re-integrasi.[9]

Maka dari itu, perspektif masyarakat madani di Indonesia dapat dirumuskan secara
sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratif, dengan
landasan taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa.
Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan juga
pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamaddun). Sebab
toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).[10]

Di sini pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat
kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru
hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak
boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negative”, hanya ditilik dari kegunaannya
untuk menyingkirkan  fanatisme. Pluralisme harus difahami sebagai ‘pertalian sejati
kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu
keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme
pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.[11]

Di Indonesia, pluralisme dalam keberagamaan dapat dibagi menjadi 3 jaman


perkembangannya, yaitu:

Pluralisme cikal-bakal. Yang di maksud istilah ini adalah pluralisme yang  relative stabil,
karena kemajemukan suku dan masyarakat pada umumnya masih berada dalam taraf
statis. Mereka hidup dalam lingkungan  yang relative terisolasi  dalam batas-batas
wilayah  yang tetap, dan belum memiliki mobilitas yang tinggi karena teknologi 
komunikasi dan transportasi  yang mereka miliki belum  memadai. Agama-agama suku
hidup dalam claim dan domain yang terbatas, tidak berhubungan  satu dengan lainnya.
Keadaan seperti ini tidak banyak berubah sampai datang  pengaruh agama yaitu
agama Hindu dan Budha dengan tingkat peradabannya masing-masing.

Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13 ketika agama
islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul dengan kedatangan
agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun Protestan) pada kira-kira abad
15. konflik dan peperangan mulai terjadi diantara kerajaan islam di pesisir dengan sisa-
sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Ketika penjajah dating dengan konsep
“God, Gold, and Glory”, persaingan antara Islam dan Kristen terus berlangsung hingga
akhir abad 19.

Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak dominasi
Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya “negara” Nederland Indie.
Kenyataan negara ini  menjadi  sebuah kesatuan organic yang memiliki satu pusat
pemerintah yang mengatur kehidupan berdasarkan hukum dan pusat  kekuasaan  yang
riil. Pluralisme SARA memang diperlemah, disegregasikan, , dan dibuat
terfragmentasikan demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya mansipasi
SARA pun terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan
1945.[12]

 [1] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik hermeneutis Masyarakat madani Nurcholish


Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.

 [2] Ibid.
 [3] Achmad Jainuri, Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan kasus tentang sikap
Budaya, Agama, dan Politik, kata pengantar untuk Sufyanto, Op.Cit.

 [4] Mulyadhi Kertanegara, Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam, media
Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.

 [5] A. Qodri Abdillah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta(Kajian Historis-
Normatif), dalam Ismail dan Mukti, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

 [6] Iwan Gardono Sujatmiko, Wacana Civil Society di Indonesia, Jurnal sosiologi edisi
No.9, 2001, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

 [7] Ibid.

 [8] Ibid.

 [9] Ibid.

 [10] Sufyanto, Op., Cit.

 [11] Munawar-Rachman, Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Islam dan Kristen,


dalam Th. Sumartana (ed.), Op., Cit.

 [12] Th. Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Dialog; Refleksi tentang Hubungan antar
Agama di Indonesia, dalam Sumartana (ed.), ibid.

Masyarakat sipil
Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas
[Sunting] Definisi
Ada berbagai definisi masyarakat sipil dalam pengertian pasca-modern. London School of
Economics Pusat Masyarakat Sipil definisi bekerja adalah ilustrasi:
Masyarakat sipil mengacu pada arena aksi kolektif uncoerced kepentingan sekitar bersama,
tujuan dan nilai-nilai. Secara teori, bentuk-bentuk kelembagaan yang berbeda dari mereka
negara, keluarga dan pasar, meskipun dalam praktek, batas antara negara, masyarakat sipil,
keluarga dan pasar seringkali rumit, kabur dan dinegosiasikan. masyarakat sipil umumnya
mencakup beragam ruang, pelaku dan kelembagaan bentuk, bervariasi di tingkat mereka
formalitas, otonomi dan kekuasaan. masyarakat sipil sering dihuni oleh organisasi seperti amal
terdaftar, pengembangan organisasi non-pemerintah, kelompok masyarakat, organisasi
perempuan, organisasi berbasis agama, asosiasi profesional, serikat buruh, kelompok self-help,
gerakan sosial, asosiasi bisnis, koalisi dan kelompok advokasi .
- [1]
[Sunting] Asal
Dari perspektif sejarah, makna sebenarnya dari konsep masyarakat madani telah berubah dua
kali dari bentuk aslinya, klasik. Perubahan pertama terjadi setelah Revolusi Perancis, yang
kedua selama jatuhnya komunisme di Eropa.
[Sunting Sejarah pra-modern]
 Artikel ini ditulis seperti refleksi pribadi atau esai dan mungkin memerlukan pembersihan.
Harap membantu memperbaikinya dengan menulis ulang dalam gaya ensiklopedia. (Oktober
2008)

 Artikel ini mungkin memerlukan mengedit salinan untuk tata bahasa, gaya, kohesi, nada, atau
ejaan. Anda dapat membantu dengan mengedit itu. (Oktober 2008)

Konsep masyarakat sipil dalam memahami republik pra-modern klasik biasanya terhubung ke
Abad Pencerahan di abad ke-18. Namun, memiliki banyak sejarah tua dalam bidang pemikiran
politik. Secara umum, masyarakat sipil telah disebut sebagai sebuah asosiasi politik yang
mengatur konflik sosial melalui penerapan peraturan yang menahan warga negara dari
merugikan satu sama lain. [2] Pada periode klasik, konsep itu digunakan sebagai sinonim untuk
masyarakat yang baik, dan melihat sebagai dibedakan dari negara. Misalnya, Socrates
mengajarkan bahwa konflik dalam masyarakat harus diselesaikan melalui argumen publik
menggunakan 'dialektika', suatu bentuk dialog yang rasional untuk menemukan kebenaran.
Menurut Socrates, argumen publik melalui 'dialektika' adalah penting untuk memastikan
'kesopanan' dalam polis dan 'kehidupan yang baik' dari orang-orang. [3] Untuk Plato, negara
ideal adalah masyarakat yang adil di mana orang-orang yang mengabdikan diri kepada umum
baik, praktek kebajikan sipil kebijaksanaan, keberanian, moderasi dan keadilan, dan melakukan
peranan pekerjaan yang mereka paling cocok. Itu adalah tugas 'Filsuf raja' untuk menjaga
orang-orang di kesopanan. Aristoteles mengira polis adalah 'asosiasi asosiasi' yang
memungkinkan warga untuk berbagi dalam tugas berbudi luhur yang berkuasa dan yang
memerintah. [2] politike koinonia Nya sebagai komunitas politik.
Konsep Societas Civilis adalah Romawi dan diperkenalkan oleh Cicero. Wacana politik di periode
klasik, tempat-tempat penting pada gagasan tentang "masyarakat yang baik 'dalam menjamin
perdamaian dan ketertiban di kalangan masyarakat. Para filsuf pada periode klasik tidak
melakukan pembedaan antara negara dan masyarakat. Sebaliknya mereka menyatakan bahwa
negara merupakan bentuk masyarakat sipil dan 'kesopanan' mewakili kebutuhan dari warga
negara yang baik [2]. Selain itu, mereka menyatakan bahwa manusia pada dasarnya rasional
sehingga mereka secara kolektif dapat membentuk sifat dari masyarakat yang mereka milik .
Selain itu, manusia memiliki kapasitas untuk secara sukarela berkumpul untuk penyebab umum
dan memelihara perdamaian di masyarakat. Dengan memegang pandangan ini, kita dapat
mengatakan bahwa para pemikir politik klasik mengesahkan genesis masyarakat sipil dalam arti
aslinya.
Abad Pertengahan melihat perubahan besar dalam topik yang dibahas oleh para filsuf politik.
Karena pengaturan politik yang unik feodalisme, konsep masyarakat sipil klasik praktis
menghilang dari diskusi utama. Sebaliknya percakapan didominasi oleh masalah perang yang
adil, sebuah keasyikan yang akan bertahan sampai akhir Renaissance.
Tiga Puluh Tahun Perang dan Perjanjian Westphalia berikutnya menandakan kelahiran sistem
negara-negara berdaulat. Perjanjian mendukung negara sebagai unit politik yang berbasis
teritorial memiliki kedaulatan. Akibatnya, penguasa mampu menerapkan kendali dalam negeri
oleh emasculating para bangsawan feodal dan berhenti mengandalkan yang terakhir untuk
pasukan bersenjata. [4] Hencefore, penguasa bisa membentuk tentara nasional dan
menggunakan birokrasi profesional dan departemen fiskal, yang memungkinkan mereka untuk
mempertahankan kontrol langsung dan otoritas tertinggi atas rakyat mereka. Dalam rangka
untuk memenuhi pengeluaran administrasi, monarki menguasai ekonomi. Hal ini melahirkan
absolutisme [5] Sampai pertengahan abad kedelapan belas, absolutisme adalah ciri khas Eropa.
[5].
Sifat absolut negara adalah sengketa pada periode Pencerahan. [6] Sebagai konsekuensi alami
dari Renaissance, Humanisme, dan revolusi ilmiah, para pemikir Pencerahan mengangkat
pertanyaan mendasar seperti "Apa legitimasi tidak memberi keturunan?", "Mengapa
pemerintah dilembagakan? "," Mengapa harus beberapa manusia memiliki hak dasar lebih dari
yang lain ",? dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan ini membawa mereka untuk membuat
asumsi tertentu tentang sifat dari pikiran manusia, sumber otoritas politik dan moral, alasan di
balik absolutisme, dan bagaimana untuk bergerak melampaui absolutisme. Para pemikir
Pencerahan percaya kebaikan yang melekat dari pikiran manusia. Mereka menentang aliansi
antara negara dan Gereja sebagai musuh kemajuan manusia dan kesejahteraan karena aparat
koersif negara mengekang kebebasan individu dan Gereja legitimasi penguasa oleh positing
teori asal-usul ilahi. Oleh karena itu, keduanya dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat.

Sangat dipengaruhi oleh kekejaman Perang Tiga Puluh Tahun, para filsuf politik dari waktu
menyatakan bahwa hubungan sosial harus memesan dengan cara yang berbeda dibandingkan
dengan kondisi hukum alam. Beberapa upaya mereka mengakibatkan munculnya teori kontrak
sosial yang diperebutkan hubungan sosial yang ada sesuai dengan sifat manusia. Mereka
berpendapat bahwa sifat manusia dapat dipahami dengan menganalisis realitas objektif dan
kondisi hukum alam. Jadi mereka mendukung bahwa sifat manusia harus dicakup oleh kontur
negara dan hukum positif didirikan. Thomas Hobbes menggarisbawahi perlunya sebuah negara
yang kuat untuk menjaga kesopanan dalam masyarakat. Bagi Hobbes, manusia dimotivasi oleh
kepentingan diri sendiri (Graham 1997:23). Selain itu, kepentingan diri ini sering bertentangan
di alam. Oleh karena itu, dalam keadaan alamiah, ada kondisi perang semua melawan semua.
Dalam situasi seperti itu, hidup "sendirian, miskin, keji, kasar dan pendek" (Ibid: 25). Setelah
menyadari bahaya anarki, manusia menjadi sadar akan kebutuhan mekanisme untuk
melindungi mereka. Sejauh yang menyangkut Hobbes, rasionalitas dan kepentingan membujuk
manusia untuk menggabungkan dalam perjanjian, untuk menyerahkan kedaulatan kepada
kekuasaan umum (Kaviraj 2001:289). Hobbes menyebut kekuasaan umum, negara, Leviathan.
Teori kontrak sosial dari Thomas Hobbes yang ditetapkan dua jenis hubungan. Salah satunya
adalah vertikal, antara Leviathan dan orang-orang, sehingga kedua mengajukan diri untuk yang
pertama. Sistem kedua adalah bidang hubungan horizontal di antara rakyat. Dalam sistem itu,
orang-orang, di bawah pengawasan Leviathan, terpaksa membatasi hak-hak alami mereka
dengan cara yang tidak akan membahayakan hak orang lain. Sistem pertama menunjukkan
negara dan yang kedua mewakili masyarakat sipil. Dalam paradigma Hobbes, pembentukan
masyarakat sipil menyebabkan pembentukan pemerintahan, negara, dan hukum. Oleh karena
itu, dalam pandangannya, negara adalah penting untuk mempertahankan kesopanan antara
manusia. kedaulatan demikian, konsep Hobbes tentang 'kondisi alamiah' dan 'negara'
menyebabkan perkecambahan kemudian realisme yang didefinisikan sifat hubungan antara
negara dan masyarakat sipil.
John Locke memiliki konsep yang sama dengan Hobbes tentang kondisi politik di Inggris. Itu
adalah periode Revolusi Agung, ditandai oleh perjuangan antara hak ilahi dari Crown dan hak-
hak politik DPR. Hal ini dipengaruhi Locke untuk menempa teori kontrak sosial sebuah negara
terbatas dan masyarakat yang kuat. Dalam pandangan Locke, manusia juga memimpin sebuah
kehidupan unpeaceful dalam kondisi alamiah. Namun, dapat dipertahankan pada tingkat sub-
optimal dengan tidak adanya sistem yang memadai (Brown 2001:73). Dari perhatian utama,
orang-orang berkumpul untuk menandatangani kontrak dan merupakan otoritas publik umum.
Namun demikian, Locke berpendapat bahwa konsolidasi kekuasaan politik dapat diubah
menjadi otokrasi, jika tidak ditempatkan di bawah pembatasan handal (Kaviraj 2001:291). Oleh
karena itu, Locke dua perjanjian yang ditetapkan pemerintah dengan kewajiban timbal balik.
Dalam perjanjian pertama, orang-orang yang tunduk kepada otoritas publik umum.
kewenangan ini memiliki kekuatan untuk menetapkan dan memelihara hukum. Perjanjian
kedua berisi keterbatasan kewenangan, i. e., negara tidak memiliki kekuatan untuk mengancam
hak-hak dasar manusia. Sejauh yang menyangkut Locke, hak-hak dasar manusia adalah
kelestarian hidup, kebebasan dan properti. Selain itu, ia berpendapat bahwa negara harus
beroperasi dalam batas-batas hukum sipil dan alam.
Baik Hobbes dan Locke telah ditetapkan sistem, di mana hidup berdampingan secara damai di
antara manusia bisa dipastikan melalui pakta sosial atau kontrak. Mereka menganggap
masyarakat sipil sebagai komunitas yang memelihara kehidupan sipil, dunia di mana hak-hak
sipil dan kebajikan berasal dari hukum alam. Namun, mereka tidak memegang bahwa
masyarakat sipil adalah wilayah yang terpisah dari negara. Sebaliknya, mereka
menggarisbawahi ko-eksistensi negara dan masyarakat sipil. Pendekatan sistematis Hobbes dan
Locke (dalam analisis mereka terhadap hubungan sosial) yang sangat dipengaruhi oleh
pengalaman di masa mereka. upaya mereka untuk menjelaskan sifat manusia, hukum-hukum
alam, kontrak sosial dan pembentukan pemerintah telah menantang teori hak ilahi. Berbeda
dengan ilahi kanan, Hobbes dan Locke menyatakan bahwa manusia dapat merancang tatanan
politik mereka. Gagasan ini membawa dampak besar pada pemikir dalam periode Pencerahan.
Para pemikir Pencerahan berpendapat bahwa manusia adalah rasional dan dapat membentuk
nasib mereka. Oleh karena itu, tidak perlu suatu otoritas mutlak untuk mengontrol mereka.
Kedua Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant mengemukakan bahwa orang-orang pecinta
perdamaian dan perang adalah penciptaan rezim absolut (Burchill 2001:33). Sejauh yang
menyangkut Kant, sistem ini cukup efektif untuk mencegah dominasi suatu kepentingan
tunggal dan memeriksa tirani mayoritas (Alagappa 2004:30).
[Sunting] Sejarah modern
G.W.F. Hegel benar-benar mengubah makna masyarakat sipil, yang memunculkan suatu
pemahaman liberal modern sebagai bentuk masyarakat pasar dibandingkan dengan lembaga-
lembaga negara bangsa modern. [7] Berbeda dengan para pendahulunya, pemikir terkemuka
dari masyarakat sipil dianggap Romantisisme sebagai wilayah yang terpisah, sebuah sistem
"kebutuhan", yang berdiri untuk kepuasan kepentingan individu dan milik pribadi. Hegel
menyatakan bahwa masyarakat sipil telah muncul pada periode tertentu kapitalisme dan
melayani kepentingan-kepentingannya: hak perorangan dan hak milik pribadi (Dhanagare
2001:169). Oleh karena itu, dia menggunakan istilah bahasa Jerman "Gesellschaft bürgerliche"
untuk menunjukkan masyarakat sipil sebagai "masyarakat sipil" - bola diatur oleh kode sipil. [7]
Bagi Hegel, masyarakat sipil mewujudkan kekuatan yang bertentangan. Sebagai wilayah
kepentingan kapitalis, ada kemungkinan konflik dan ketimpangan di dalamnya. Oleh karena itu,
pengawasan konstan dari negara adalah penting untuk mempertahankan tatanan moral dalam
masyarakat. Hegel dianggap negara sebagai bentuk tertinggi kehidupan etis. Oleh karena itu,
keadaan politik yang memiliki kapasitas dan wewenang untuk memperbaiki kesalahan
masyarakat sipil. Alexis de Tocqueville, setelah membandingkan Perancis despotik dan Amerika
demokratis, diperebutkan Hegel, meletakkan berat pada sistem asosiasi sipil dan politik sebagai
penyeimbang baik individualisme liberal dan sentralisasi negara. Oleh karena itu, persepsi Hegel
tentang realitas sosial pada umumnya diikuti oleh Tocqueville yang membedakan antara
masyarakat politik dan masyarakat sipil. [7]
Ini adalah tema yang diambil lebih lanjut oleh Karl Marx. Bagi Marx, masyarakat sipil adalah
basis '' di mana kekuatan-kekuatan produktif dan hubungan sosial yang sedang berlangsung,
sedangkan masyarakat politik adalah 'superstruktur'. [7] setuju dengan hubungan antara
kapitalisme dan masyarakat sipil, Marx menyatakan bahwa yang terakhir mewakili kepentingan
kaum borjuis (Edwards 2004:10). Oleh karena itu, negara sebagai superstruktur juga mewakili
kepentingan kelas yang dominan, di bawah kapitalisme, ia mempertahankan dominasi borjuasi.
Oleh karena itu, Marx menolak peran positif negara diajukan oleh Hegel. Marx berpendapat
bahwa negara tidak bisa menjadi pemecah masalah netral. Sebaliknya, ia menggambarkan
negara sebagai pembela kepentingan kaum borjuis. Ia menganggap negara dan masyarakat sipil
sebagai lengan eksekutif borjuis, sehingga keduanya harus melenyap (Brown 2001:74).
Pandangan negatif tentang masyarakat sipil diperbaiki oleh Antonio Gramsci (Edwards
2004:10). Entah berangkat dari Marx, Gramsci tidak menganggap masyarakat sipil sebagai
berbatasan dengan basis sosio-ekonomi negara. Sebaliknya, masyarakat sipil Gramsci terletak di
suprastruktur politik. Dia menggarisbawahi peran penting dari masyarakat sipil sebagai
kontributor dari modal budaya dan ideologis yang diperlukan untuk kelangsungan hidup
hegemoni kapitalisme (Ehrenberg 1999:208). Daripada berpose sebagai masalah, seperti dalam
konsepsi Marxis sebelumnya, Gramsci dilihat masyarakat sipil sebagai situs untuk masalah-
masalah. Setuju dengan Gramsci, New Waktu ditugaskan masyarakat sipil peran penting dalam
mempertahankan orang-orang terhadap negara dan pasar dan menegaskan akan demokratis
untuk mempengaruhi negara (Ibid: 30). Pada saat yang sama, para pemikir Neo-liberal
menganggap masyarakat sipil sebagai situs perjuangan untuk menumbangkan rezim komunis
dan otoriter (Ibid: 33). Dengan demikian, masyarakat sipil jangka menempati tempat penting
dalam wacana politik Kiri Baru dan Neo-liberal.
[Sunting sejarah] Post-modern
Cara pasca-modern pemahaman masyarakat sipil pertama kali dikembangkan oleh oposisi
politik di negara-negara blok Soviet Eropa Timur pada 1980-an. Dari waktu yang berasal praktek
dalam bidang politik dengan gagasan masyarakat sipil, bukan masyarakat politik. Namun, pada
1990-an dengan munculnya organisasi-organisasi non pemerintah dan Gerakan Sosial Baru
(NSMs) dalam skala global, masyarakat sipil sebagai sektor ketiga menjadi kunci medan
tindakan strategis untuk membangun 'alternatif sosial, dan tatanan dunia.' Selanjutnya ,
penggunaan postmodern gagasan masyarakat sipil menjadi dibagi menjadi dua utama: sebagai
politik masyarakat dan sebagai sektor ketiga - selain dari kebanyakan definisi.
The Washington konsensus tahun 1990-an, yang melibatkan dikondisikan pinjaman oleh Bank
Dunia dan IMF untuk negara-negara berkembang utang-penuh, juga menciptakan tekanan bagi
negara-negara di negara-negara miskin menyusut. Hal ini pada gilirannya menyebabkan
perubahan-perubahan praktis untuk masyarakat sipil yang berlangsung untuk mempengaruhi
perdebatan teoritis. Awalnya persyaratan baru menyebabkan penekanan lebih besar pada
`masyarakat sipil" sebagai obat mujarab, menggantikan pelayanan negara dan kepedulian sosial
[8], Hulme dan Edward menyarankan bahwa kini dilihat sebagai `peluru ajaib." Beberapa
ilmuwan pembangunan politik memperingatkan bahwa pandangan ini menciptakan bahaya
baru. Misalnya, dalam `Ayo Whaites Masyarakat Sipil Lurus 'berpendapat bahwa sering
dipolitisir dan berpotensi memecah belah sifat masyarakat sipil yang diabaikan oleh beberapa
pembuat kebijakan.
Pada akhir 1990-an masyarakat sipil dipandang kurang sebagai obat mujarab di tengah
pertumbuhan gerakan anti-globalisasi dan transisi di banyak negara demokrasi, melainkan
masyarakat sipil semakin dipanggil untuk membenarkan legitimasi dan mandat demokratis. Hal
ini menyebabkan penciptaan oleh PBB dari panel tingkat tinggi pada masyarakat sipil [1]. Teori
masyarakat sipil pasca-modern kini sebagian besar kembali ke posisi yang lebih netral, tetapi
dengan perbedaan ditandai antara studi tentang fenomena dalam masyarakat lebih kaya dan
menulis di masyarakat sipil di negara berkembang. masyarakat sipil di kedua daerah ini,
bagaimanapun, sering dilihat sebagai counter-poise dan melengkapi daripada alternatif dalam
kaitannya dengan negara [8] atau seperti yang dinyatakan pada tahun 1996 Whaites artikelnya,
`negara dilihat sebagai prakondisi dari sipil masyarakat "[2]
[Sunting] Demokrasi
Literatur tentang hubungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik yang demokratis
telah berakar dalam tulisan-tulisan liberal awal seperti Alexis de Tocqueville [7] Namun mereka
dikembangkan secara signifikan oleh teoretikus abad ke-20 seperti Gabriel Almond dan Sidney
Verba, yang mengidentifikasi peran. budaya politik dalam tatanan demokrasi sebagai sesuatu
yang vital. [9]
Mereka berpendapat bahwa elemen politik banyak organisasi sukarela memfasilitasi kesadaran
yang lebih baik dan warga negara yang lebih tepat, yang membuat pilihan suara yang lebih baik,
berpartisipasi dalam politik, dan terus pemerintah lebih akuntabel sebagai hasilnya. [10]
Anggaran dasar organisasi ini sering dianggap mikro-konstitusi karena mereka membiasakan
peserta untuk formalitas pengambilan keputusan demokratis.
Baru-baru ini, Robert D. Putnam telah membuktikan bahwa bahkan organisasi non-politik
dalam masyarakat sipil sangat penting untuk demokrasi. Hal ini karena mereka membangun
modal sosial, kepercayaan dan nilai-nilai bersama, yang ditransfer ke ranah politik dan
membantu terus masyarakat bersama-sama, memfasilitasi pemahaman tentang keterkaitan
antara masyarakat dan kepentingan di dalamnya. [11]
Namun, yang lain mempertanyakan bagaimana demokrasi masyarakat sipil sebenarnya.
Beberapa telah mencatat bahwa para aktor masyarakat sipil kini memperoleh jumlah yang luar
biasa dari kekuatan politik tanpa ada pemilihan atau penunjukan langsung mereka [12] [8]
Akhirnya, sarjana lain telah berargumen. Bahwa, karena konsep masyarakat sipil terkait erat
dengan demokrasi dan representasi, dalam harus gilirannya dihubungkan dengan ide-ide
kebangsaan dan nasionalisme. [13]
[Sunting] Globalisasi
Istilah masyarakat sipil saat ini sering digunakan oleh para kritikus dan aktivis sebagai referensi
untuk sumber perlawanan terhadap, dan domain dari kehidupan sosial yang perlu dilindungi
terhadap, globalisasi. Hal ini karena dilihat sebagai bertindak di luar batas dan di wilayah yang
berbeda [14]. Namun, sebagai masyarakat sipil dapat, di bawah banyak definisi, termasuk dan
dibiayai dan diarahkan oleh orang-orang bisnis dan institusi (khususnya donor terkait dengan
Eropa dan negara-negara Utara) yang mendukung globalisasi, ini adalah menggunakan
diperdebatkan [15] Perkembangan yang pesat dari masyarakat sipil pada skala global. setelah
jatuhnya sistem komunis adalah bagian dari strategi neo-liberal terkait dengan konsensus
Washington. [8] Beberapa penelitian juga telah diterbitkan, yang berhubungan dengan isu-isu
yang belum terselesaikan tentang penggunaan istilah sehubungan dengan dampak dan daya
konseptual dari sistem bantuan internasional (lihat misalnya Tvedt 1998).
Di sisi lain, orang lain melihat globalisasi sebagai sebuah fenomena sosial yang memperluas
lingkup nilai-nilai liberal klasik, yang pasti menyebabkan peran yang lebih besar bagi masyarakat
sipil dengan mengorbankan lembaga negara politik berasal.

Seorang Masyarakat Sipil Sesungguhnya


? Eva Cox
Broadcast: Selasa, 7 November, Radio Nasional.

Biar saya meletakkan nilai-nilai saya di atas meja: Saya percaya kita bertanggung jawab untuk satu sama
lain, serta diri kita sendiri. Aku bertindak untuk orang lain sehingga saya bisa hidup dengan diriku
sendiri. Posisi ini bertentangan dengan beberapa berceloteh tentang politik perbedaan dengan
postmodernis yang tampaknya menyangkal bahwa kita bisa mengidentifikasi ketidakadilan, atau bahwa
kita dapat bertindak untuk mencegahnya. Saya percaya bahwa adalah terserah kita, kita semua, untuk
membuat pikiran kita tentang dunia yang kita inginkan dan untuk mengambil tanggung jawab beberapa
untuk membuat dunia ini terjadi.

Para pembuat agenda politik saat ini fokus pada pasar yang mengecualikan sosial. kelalaian ini
meninggalkan ruang bagi penjaja minyak ular sosial, seperti Kontrak Newt Gingrich 'dengan Amerika,
yang menawarkan solusi mudah untuk masalah-masalah sosial yang muncul.

Baik mendorong komunis untuk kontrol pusat maupun laissez-faire dari kekuatan pasar, dapat bekerja
sendiri. Kedua model ini gagal karena mereka secara dramatis tidak lengkap, bermata satu, dan tidak
mengakui bahwa masyarakat lebih dari ranah publik dan ekonomi. Kita tidak bisa melakukan tanpa
beberapa bentuk jajahan. Dan tidak dapat kita menjalankan seluruh masyarakat dengan menggunakan
kehendak kolektif, tapi marketeers bersaing di kepala-pada pertempuran sebenarnya menghancurkan
masyarakat.

Batas-batas teori yang paling besar adalah mereka meninggalkan sebagian besar aspek sosial dan swasta
karena dianggap menjadi bidang perempuan.

Ada teori besar relatif sedikit oleh perempuan. Tapi satu wanita yang aku sering kembali, adalah Hannah
Arendt, seorang filsuf Yahudi Jerman yang juga melarikan diri Hitler. Her dissenting dilihat, termasuk
yang pada kondisi manusia sering diabaikan karena mereka berbeda dari tulisan laki-laki lazim waktu itu.

versi Hannah Arendt menjadi sepenuhnya manusia melibatkan tiga jenis tindakan manusia. Dia melihat
kehidupan keluarga dan bekerja sebagai dibayar hanya dua dari tiga bagian dari syarat Manusia. Bagian
ketiga adalah vita activa, kehidupan publik, di mana kita bersama menciptakan lingkungan sipil. Hal ini
membuat kita unik manusia sebagai manusia hanya memiliki kemampuan untuk berpikir dan
perdebatan kolektif dan tindakan. Hilangnya salah satu dari tiga bagian dari kondisi manusia atau
penekanan yang berlebihan pada satu apapun, menciptakan masalah.

Apakah kita hidup untuk bekerja, atau bekerja untuk hidup? Bagaimana kita mengalokasikan waktu dan
sumber daya lainnya? Jika kita mengambil tiga dewan Arendt aspek kondisi manusia, termasuk vita
activa, maka kita perlu menemukan waktu.

Jika kita perlu waktu untuk kehidupan publik, serta keluarga dan bekerja, maka kita perlu melihat
kebijakan publik, komitmen sosial dan pilihan pribadi. Waktu berhubungan dengan jam kerja dan nilai-
nilai kita tempatkan pada dibayar dan bekerja tanpa dibayar. Hal ini menimbulkan masalah apakah
tekanan ada pada pekerjaan dan keluarga bertentangan dengan masyarakat sipil aktif.

masyarakat sipil juga masyarakat sipil, yaitu, kita sebagai warga negara harus mengambil tanggung
jawab beberapa untuk mengubah apa yang tidak kita sukai. Ada perdebatan luas tentang
kewarganegaraan berlangsung. Banyak dari apa yang tertulis melibatkan klaim tentang hak-hak individu
dan bahkan kelompok. Tapi apa yang terjadi ketika orang-konflik hak? Apakah kita melupakan
ketegangan yang tak terelakkan antara hak dan tanggung jawab dan mencari kebebasan individu?
Bisakah kita mempertahankan kohesi sosial dan kemungkinan otonomi individu? Pertanyaan-
pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh kita semua sebagai peserta aktif dalam masyarakat sipil.

Dimulai dengan proposisi bahwa masyarakat kita semakin tidak saudara, kuliah ini akan melacak sering
terlupakan namun pasukan kuat yang menghubungkan kita sebagai makhluk sosial. Kekuatan ini -
kepercayaan, resiprositas dan kebersamaan - bertahan dalam kehidupan kita sehari-hari tetapi tidak
tercermin dalam kebijakan publik dan oleh karena itu kehilangan tanah.

Ada terlalu banyak dari kita yang merasa pesimis tentang masa depan, yang merasa masyarakat, secara
bertahap datang terpisah. Ide sosial adalah kehilangan tanah dengan konsep persaingan, dan pasar uang
yang menggantikan pemerintah. Aspek-aspek sosial kemanusiaan menghilang dan entah bagaimana kita
dibiarkan dengan gambar lebih atomised individu bersaing dalam suatu proses tak berujung
ketidakpercayaan.

Kepercayaan sangat penting bagi kehidupan sosial kita. Tanpa mempercayai niat baik dari orang lain,
kita mundur ke birokrasi, peraturan dan tuntutan hukum lebih dan ketertiban. Kepercayaan adalah
berdasarkan pengalaman positif dengan orang lain dan tumbuh dengan penggunaan. Kita harus percaya
bahwa orang lain akan pada dasarnya manusia yang wajar.

Distrust dimulai dari atas maupun bagian bawah. Saya telah mengumpulkan beberapa hasil survei yang
menunjukkan bahwa kepercayaan pada pemerintah dan bisnis besar adalah rendah dan mungkin
mengurangi. Suatu kompilasi survei akademik dari ANU, menunjukkan setengah populasi pemerintah
yang dipercaya untuk melakukan hal yang benar pada tahun 1969, namun proporsi yang telah
menjatuhkan sepertiga pada tahun 1993.
1993 Jajak pendapat AMR Quantum Monitor Sosial menunjukkan tiga perempat setuju bahwa bisnis
terlalu peduli dengan laba; dan lebih dari 90% setuju bahwa tanpa regulasi Permerintahan, bisnis akan
mengambil keuntungan dari konsumen.

Dalam survei lain, dua ekonom, Glen Withers dan David Throsby, menemukan bahwa kita bahkan
mungkin bersedia membayar lebih banyak pajak untuk membayar masyarakat yang lebih beradab.

Sementara Australia selalu memiliki tradisi panjang tanggapan bajingan muda pada otoritas, sekarang
kerangka kerja telah berubah. Sekarang pemerintah sendiri yang tampaknya sinis terhadap kemampuan
mereka untuk pantas kita percaya. Beberapa tampak aktif neraka-membungkuk pada tingkat kami
mengkonfirmasi ketidakpercayaan dan menyarankan bisnis dapat menawarkan layanan yang lebih baik
daripada yang bisa sektor publik.

Retorika distrusting pengeluaran pemerintah secara umum kepada semua pihak kami saat ini politik,
tetapi beberapa partai sungguh-sungguh. Mereka politisi yang percaya pada teori yang diimpor dari
kekuatan pasar ingin kita percaya bisnis yang lebih dan pemerintah kurang. Jika bagian dari pengertian
kita dari kesejahteraan adalah iman kita di pemerintah, pencemaran dari pelayanan publik oleh
pemerintah kita sendiri mengurangi rasa kenyamanan dan kepercayaan. Dan jajak pendapat
menunjukkan bahwa orang tidak percaya bisnis yang baik.

pembangunan sosial Australia telah, dari kami narapidana awal, terkait erat dengan pemerintah.
tindakan kolektif menciptakan surga orang yang bekerja itu, dan keyakinan kami dalam struktur egaliter.
Jadi mengatakan kepada kami tidak percaya kepada pemerintah, tumpahan agar tidak mempercayai
tetangga kita atau bahkan tidak mempercayai diri kita sendiri.

Kami kehilangan kepercayaan ketika kita memasuki rumah parlemen dan kebanyakan lembaga-lembaga
publik kita melalui pintu masuk keamanan, dan kita melihat penjaga pribadi melindungi tempat-tempat
umum. Kami kehilangan kepercayaan ketika kita terlalu takut untuk menggunakan transportasi umum,
berjalan di jalan-jalan, atau bicara dengan orang asing.

Kita perlu membangun toko kepercayaan dan goodwill sebagai bagian dari modal sosial kita - sebuah
istilah kolektif untuk ikatan yang mengikat kita. Ketidakpercayaan bisa stres dan patah ikatan kami.
Sebuah akumulasi modal sosial meningkatkan kualitas kita untuk hidup dan menyediakan dasar untuk
pengembangan modal keuangan dan manusia. Dengan tingkat modal sosial yang memadai kita dapat
menikmati manfaat dari sebuah masyarakat yang benar-benar sipil.

Eva Cox adalah komentator terkemuka pada kebijakan sosial yang kuliah di Ilmu Sosial di Universitas
Teknologi, Sydney. Hal ini saya ekstrak dari Kuliah Boyer untuk tahun 1995 disiarkan pada bulan
November di Radio Nasional Dicetak ulang dengan izin.
Foley, Michael W., 1945 -
Edwards, Bob, 1958 -
The Paradox Masyarakat Sipil
Jurnal Demokrasi - Volume 7, Nomor 3, Juli 1996, hlm. 38-52

The Johns Hopkins University Press

Michael W. Foley dan Bob Edwards - The Paradoks Masyarakat Sipil - Jurnal Demokrasi 7:03 Jurnal
Demokrasi 7,3 (1996) 38-52 The Paradoks Masyarakat Sipil Michael W. Foley & Bob Edwards Argumen
masyarakat "sipil," sebagai Michael Walzer panggilan itu, sebenarnya satu set argumen kompleks, yang
tidak semuanya kongruen. Dalam pastiche kasar yang telah menjadi versi yang diterima secara umum,
jaringan "padat asosiasi sipil" adalah kata untuk mempromosikan stabilitas dan efektivitas pemerintahan
yang demokratis melalui kedua efek dasar pada "warga negara" kebiasaan hati "dan kemampuan
asosiasi untuk memobilisasi warga atas nama menyebabkan publik. Emergent masyarakat sipil di
Amerika Latin dan Eropa Timur dikreditkan dengan perlawanan yang efektif kepada rezim otoriter,
demokratisasi masyarakat dari bawah, sementara menekan authoritarians untuk perubahan.
masyarakat sipil demikian, dipahami sebagai wilayah asosiasi sukarela swasta, dari komite
lingkungannya untuk kelompok kepentingan kepada perusahaan filantropis dari segala macam, telah
datang untuk dilihat sebagai bahan penting dalam kedua demokratisasi dan kesehatan demokrasi
mapan. Jadi diringkas, argumen menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Beberapa definisi
ini, yang timbul dari cara-cara yang berbeda di mana masyarakat sipil telah diterapkan di berbagai waktu
dan tempat. Apakah itu, misalnya, termasuk bisnis ("pasar") serta organisasi-organisasi sukarela, atau
apakah merupakan pasar yang terpisah, ...
Proyek MUSE ® - Lihat Citation

    * MLA
    * APA
    * Chicago
    * Endnote

Foley, Michael W., 1945 - dan Edwards, Bob, 1958 -. "The Paradox Masyarakat Sipil." Jurnal Demokrasi
7,3 (1996): 38-52. Proyek MUSE. [Perpustakaan name], [Kota], [Negara] singkatan. Mei 18. 2010
<http://muse.jhu.edu/>.
Selalu memeriksa referensi Anda untuk keakuratan dan melakukan koreksi yang diperlukan sebelum
menggunakan. Perhatikan nama-nama pribadi, kapitalisasi, dan tanggal. Konsultasikan Anda
perpustakaan atau klik di sini untuk informasi lebih lanjut tentang mengutip sumber-sumber.
Foley, Michael W., 1945 - & Edwards, Bob, 1958 -. (1996). Paradoks masyarakat sipil. Jurnal Demokrasi 7
(3), 38-52. Diakses 18 Mei 2010, dari database MUSE Proyek.

You might also like