You are on page 1of 10

Nama: Yudhistira

NIM : 0803005033
KLS : A

Tugas Hukum Adat Bali


Soal :
Cari kasus tentang ( Kekerabatan ) : Hukum keluarga, Perkawinan, Perwarisan, Hukum
perhutangan dan ( Tata Masyarakat ) : Persekutuan, Hukum tanah yang berkaitan
dengan tanah, Hukum pelanggaran, dan, serta berikan solusinya.

a. Kasus Hukum Keluarga

Contoh :

Desa Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari
struktur desa tradisional, sehingga menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik
dari struktur desa tersebut tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku
turun-temurun. Keunggulan dari desa adat Penglipuran ini terletak pada struktur fisik desa
yang serupa seragam dari ujung utama desa sampai ke bagian hilir desa.

Selain keseragaman tatanan spesifik dari struktur desa tradisional, desa yang terletak pada
ketinggian 700 meter dari permukaan laut ini juga memiliki sejumlah aturan adat dan tradisi
unik lainnya. Salah satunya, pantangan bagi kaum lelakinya untuk beristri lebih dari satu atau
berpoligami. Lelaki Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami yakni hanya
memiliki seorang istri. Pantangan berpoligami ini diatur dalam peraturan (awig-awig) desa
adat. Dalam bab perkawinan (pawos pawiwahan) awig-awig itu disebutkan, krama Desa
Adat Penglipuran tan kadadosang madue istri langkung ring asiki. Artinya, krama Desa Adat
Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Jika ada lelaki Penglipuran
yang telah menikah naksir wanita lain lagi, maka cintanya harus dikubur sedalam-dalamnya.
Sebab kalau melanggar aturan ini, akibatnya terkena sanksi adat. Sanksinya adalah jika ada
lelaki Penglipuran beristri yang coba-coba merasa bisa berlaku adil dan menikahi wanita lain,
maka lelaki tersebut akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu.
Karang artinya tempat dan memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan
sebutan untuk tempat bagi orang yang berpoligami. Karang Memadu merupakan sebidang
lahan kosong di ujung Selatan desa.

Penduduk desa akan membuatkan si pelanggar itu sebuah gubuk sebagai tempat tinggal
bersama istrinya. Dia hanya boleh melintasi jalan-jalan tertentu di wilayah desa. Artinya,
suami-istri ini ruang geraknya di desa akan terbatas. Tak cuma itu, pernikahan orang yang
berpoligami itu juga tidak akan dilegitimasi oleh desa, upacaranya pernikahannya tidak
dipimpin oleh Jero Kubayan yang merupakan pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan
upacara adat dan agama. Implikasinya, karena pernikahan itu dianggap tidak sah maka orang
tersebut juga dilarang untuk bersembahyang di pura-pura yang menjadi emongan (tanggung
jawab) desa adat. Mereka hanya diperbolehkan sembanyang di tempat mereka sendiri.

b. Kasus Tentang Perkawinan

Contoh :

Diketahui ada sepasang suami istri, dimana pihak perempuannya bernama Ni Wayan
Astariani dan pihak laki – lakinya bernama I Wayan Karyadika. Pasutri yang
melangsungkan perkawinan ini dilakukan dengan menyiapkan kesepakatan atau pernyataan
tertulis dan melangsungkan perkawinannya pada tahun 2002. Perkawinan ini dilakukan
karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal di keluarganya masing
-masing, sehingga tak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa atau nyentana.

Solusinya adalah Terkait dengan tanggungjawab pasangan suami istri ( pasutri ) yang
melaksanakan sistem perkawinan pada gelahang, bahwa setiap pasutri yang melangsungkan
perkawinan pada gelahang harus mempunyai cara tersendiri dalam merumuskan dan
mengungkapkan kesepakatan tentang konsekwensi yang menyertai pelaksanaan perkawinan
tersebut. Tetapi pada prinsipnya, semua kesepakatan itu baik yang tertulis maupun lisan
dibuat oleh kedua belah pihak dengan substansi bahwa keturunan mempelai nantinya
diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh kedua orangtua
mempelai.

Untuk menghindari masalah - masalah yang mungkin muncul di kemudian hari terkait
dengan pilihan bentuk perkawinan ini, diperlukan masyarakat adat Bali untuk menggalang
pasikian pasubayan ( kesepakatan bersama ) tentang bentuk perkawinan Pada Gelahang, agar
bentuk perkawinan seperti ini dapat diterima dengan terbuka seperti halnya perkawinan biasa
dan nyentana. Penggalangan ini sepatutnya dimotori oleh Pemprov Bali, Majelis Desa
Pakraman dan Parisada Hindu Dharma Indonesia PHDI Prov. Bali untuk menumbuhkan
persepsi yang sama mengenai format kesepakatan keluarga, terutama terkait dengan
pelaksanaan tanggung jawab, kedudukan keturunan, pelaksanana upacara, format akte dan
lain - lain di seluruh Bali.

c. Kasus Waris

Contoh :

Sebidang tanah seluas 0,300 Ha di desa Tamung Kab. Klungkung Bali adalah milik I.G.
Made Tugeg. Tanah tersebut dipinjamkan kepada masyarakat sekitarnya. Oleh masyarakat
desa itu, tanah tersebut dimanfaatkan untuk pendirian Pura Dalem Rajapati. Tahun 1950,
Tugeg meninggal dunia, Tanah seluas 0,300 Ha tersebut beralih tangan kepada 3 orang anak
laki-lakinya yang masih hidup. Beberapa waktu kemudian, Ni Gusti Rai Muklek, istri Tugeg
meninggal pula. Beralihnya pemilikan tanah kepada anak-anak Tugeg: Arya, Wisma dan
Darsana, adalah sesuai dengan Hukum Adat Waris di Bali.

Meski tanah tersebut beralih tangan, 3 orang anak Tugeg tersebut (Sekehe 3) tidak
menempati tanah waris itu. Buku C dari Desa Takmung, tetap mencatat Sekehe 3 adalah
pemilik sah tanah persil No. 22 pipil No. 179 warisan Tugeg tersebut Ipedapun dibayar oleh
Sekehe tiga. Oleh karena tidak ditempati pemiliknya, orang lain dapat dengan mudah
menguasai tanah tersebut adalah Mantera, seorang pensiunan polisi menguasaitanah milik
sekehe 3. Mantera memanfaatkan lahan itu untuk ditanami pohon kelapa, pisang dan
tanaman lainnya. Menurut Mantera, tanah itu adalah tanah laba pura, ia berhak
memanfaatkannya sehingga teguran dari sekehe 3, tidak dihiraukannya. Ketidakpedulian
Mantera tersebut memaksa Sekehe 3 mengajukan tuntutan pada Mantera melalui Pengadilan
Negeri Klungkung.

Solusi :
Mantera, Tergugat dalam perkara ini menyatakan banding atas putusan hak milik. Setelah
memeriksa perkara dan berkas perkara ini, Hakim Banding menemukan fakta bahwa ternyata
Pengadilan Negeri telah memeriksa tiga orang saksi tanpa disumpah. Pertimbangan yang
mendasarinya adalah karena ketiganya masih mempunyai hubungan keluarga dengan pihak
Penggugat. Kades Takmung, Diarsa adalah paman Penggugat dan Tergugat. Saksi Tergugat,
Seregeg dan Serejig, tidak jelas mana saudara kandung dan yang sepupu dari Tergugat.
Antara Berita Acara sidang disatu pihak dan jawaban Tergugat tanggal 6 Mei 1990 serta
Daftar Silsilah dilain pihak terdapat perbedaan / pertimbangan. Saudara sepupu tidak berhak
mengundurkan diri, sebagai saksi, sehingga saudara sepupu haruslah disumpah.

d. Kasus Hukum Perhutangan

Contoh :

Di Minahasa dikenal suatu perjanjian yang istimewa yaitu yang disebut ngaran atau
mengaranan anak yang artinya dimana satu pihak (pemelihara) menanggung pihak lain
(terpelihara) lebih-lebih selam masa tuanya, dan pemelihara atau penanggung menaggung
pemakaian dan pengurusan harta bendanya. Mirip ngaranan di Minahasa adalah
mahidangraga yang dijumpai di Bali yaitu mengikatkan diri sendiri berserta harta kekayaan
di bawah asuhan orang lain dan orang ini wajib mengurus segala sesuatu setelah ia
meninggal dunia, misalnya pengurusan pembakaran mayat dan sebagai imbalannya ia berhak
mewarisi harta peninggalan.

e. Kasus Persekutuan

Contoh :

Berdasar Perda No 9 Tahun 2000 Tanggal 21 Desember 2000 tentang RTRWP Kalimantan
Selatan ditetapkan alih fungsi Hutan Produksi seluas 66 ribu ha yang terdiri dari milik PT
Kodeco Timber (seluas 57 ribu ha) dan milik PT Inhutani II (seluas 9000 ha) yang terletak di
Das Sampanahan yang berstatus hutan lindung dengan luas 46 ribu ha sebagai Hutan
Produksi Terbatas. Tukar guling lahan hutan yang sudah diproduksi oleh PT Kodeco di Das
Batulicin dengan Hutan Lindung di daerah Das Sampanahan seluas 46.270 ha menjadi hutan
Produksi. Namun dilain pihak, ada yang merasa dirugikan atas pengalihan fungsi tersebut.
Warga Meratus merasa pengalihan alih fungsi lahan akan mengganggu kehidupan warga
sekitar. Tidak hanya warga sekitar, alih fungsi ini mendapat protes oleh banyak kalangan
seperti LSM: LPMA, AMAN, dan WALHI. Akhirnya warga meratus dan LSM-LSM
bersekutu untuk menggugat pengalihan fungsi lahan ini ke pengadilan.

Solusinya, seharusnya pemerintah daerah sebelum mengeluarkan peraturan hendaknya secara


kekeluargaan membicarakan pengalihan fungsi ini terlebih dahulu kepada warga sekitar
melalu kepala desa (perangkat desa). Namun karena Perda sudah dikeluarkan, perlu adanya
upaya hukum yang dilakukan LSM dan warga melalu jalur pengadilan.

f. Kasus Sengketa Tanah

Contoh :

Dalam mengimplementasikan UUPA tidak mesti ditemukan adanya kompetisi dengan


hukum adat masyarakat setempat, karena antara UUPA dan hukum adat akan berfungsisaling
melengkapi (interkomplementer) dan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dalam
upaya mengisi kekosongan hukum yang ada, jadi tampak adanya sinergi antara sistem hukum
nasional dan sistem hukum adat. Selayaknya hal itu juga dapat memberi rasa keadilan akan
eksistensi terhadap hak ulayat sebagai hak adat masyarakat hukum adat setempat. Dalam
kenyataannya beberapa kasus sengketa tanah (ulayat) yang ada dan terus terjadi di Bali
sampai saat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA sebagai hukum negara
(state law) di satu sisi dan hukum adat sebagai hukum rakyat (folks law) di sisi lain, yaitu
adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan perlindungan hak ulayat sebagai hak adat
dalam arti hak untuk hidup di dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan
hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam lembaga adat, yang berdasarkan
hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu,
khususnya mengenai penguasaan dan pemilikan hak atas tanah ulayat oleh persekutuan
hukum yang disebut desa adat. Contoh kasus tanah ulayat, kasus Loloan Yeh Poh di Banjar
Tegal Gundul Desa Adat Canggu yang tampak terjadi conflict of interest antara investor
sebagai pemegang sertifikat HGB menurut hukum negara (UUPA) dan masyarakat hukum
adat sebagai pemegang hak ulayat menurut hukum adat. Tetapi, sampai sekarang belum
tampak ada benang merahnya walaupun usaha penarikan ke arah itu sudah ada.
Semua itu sangat tergantung pada komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak
terutama dari pemerintah daerah dalam memaknai konseptual “pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya” yang secara
normatif telah mendapa pengakuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti
Tap MPR No. IX/MPR/2001, Pasal 18 B (2) UUD 1945, Pasal 2 (9) UU N0. 32/2004, UUPA
No.5/1960, UU No. 5/1994, Permendagri No. 3/1997, Permenneg Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999, Keppres RI No. 34/2003, Perda Provinsi Bali No. 3/2001 Jo No.3/2003,
keputusan Bupati Ba¬dung No. 637 Tahun 2003 berkaitan kawasan limitasi, awig-awig desa
adat. Namun, semua pernyataan pengakuan tersebut belum diikuti upaya perlindungan
hukum dengan sungguh-sungguh secara empiris, sehingga proses pengukuran ulang HGB di
atas loloan belum dapat menyelesaikan kompetisi sistem hukum yang ada, karena tidak
menyentuh materi kasusnya, yaitu kawasan suci bagi umat Hindu khususnya yang secara
tradisi (turun - temurun) telah memanfaatkan tempat tersebut untuk melakukan kegiatan
keagamaan. Oleh karena itu bagaimana selayaknya pemerintah daerah mencermatinya sesuai
dengan misi yang diembannya menurut peraturan perundangundangan tersebut?
Solusi:
Pertama, penyelesaian masalah harus menyentuh materi kasusnya, dan netralitas sangat
dipertaruhkan untukmenghindari adanya kesan yang bersifat memihak (pengelonan menurut
Sudargo Gautama) berkaitan dengan adanya conflict of interest, dan sebaliknya mampu
merefleksikan nilai kepastian hukum di satu sisi dengan melakukan inventarisasi dan analisis
terhadap norma hukum tertulis, dan di sisi lain dapat menjamin rasa keadilan dengan
melakukan inventarisasi dan memahami norma hukum tidak tertulis masyarakat hukum adat.
Akhirnya berani mengambil keputusan secara objektif, tepat dan cerdas dari hasil kajian yang
dilakukan, sehingga semua kepentingan dapat diayomi. Oleh Rawls disebut keadilan sebagai
fairness.Kedua, pemerintah daerah sekarang harus menjadikan masalah pertanahan dan
kekayaan alam sebagai salah satu isu strategis yang diprioritaskan penataannya, yaitu
hendaknya membuka peluang bagi upaya penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-
hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam yang selama ini terabaikan, sehingga nantinya
adanya sinergi norma dan kepentingan, dan akhirnya fungsi hukum sebagai sarana
pengintegrasi dapat diwujudkan. dalam upaya menciptakan interaksi yang bersifat saling
menguntungkan lebih-lebih Bali tetap diminati sebagai tempat berinvestasi, sebagai dampak
gerakan Balinisering terdahulu. Ketiga, dalam perspektif pluralisme hukum, yaitu dengan
adanya lebih dari satu tertib hukum yang berlaku dalam suatu wilayah sosial, dengan
diferensiasi & ldquo, weak legal pluralism dan strong legal pluralism & rdquo;, sehingga
untuk mencegah kompetisi antara sistem hukum negara dan sistem hukum adat, selayaknya
digunakan pluralisme hukum dalam perspektif strong legal pluralism, artinya semua sistem
hukum yang ada sama kedudukan dan tidak ada hierarki, sehingga tidak ada anggapan bahwa
hukum negara lebih kuat daripada hukum adat atau sebaliknya. Keempat, sifat dinamis
masyarakat hukum adat dan hukum adatnya kalau dimaknai secara tepat akan mampu
berintegrasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang makin mengglobal, sehingga semua
aktor yang terkait harusmampu memilah hak-hak tradisional yang dapat direlokasi dan
dimodifikasi sesuai konsep kekinian, dan yang mana samasekali tidak boleh dimodifikasi dan
harus dilestarikan sesuai konsep ajeg Bali.
Sehingga, dalam upaya member perlindungan hukum pada hak-hak tradisional terhadap
tanah ulayat masyarakat hukum adat tidak menafikan kepentingan pihak lain, seperti
investor, sehingga perlindungan hukum secara preventif perlu mendapat pengutamaan,
karena sejak awal dalam pembuatan bentuk keputusan, masyarakat hukum adat akan selalu
dilibatkan. Juga, diperlukan komitmen untuk melindungi nilai kesucian yang melekat pada
hak ulayat yang justru berpotensi dieksploitasi untuk mendatangkan keuntungan ekonomis
semua pihak.

g. Kasus Pelanggaran
Contoh :
Konflik kuburan di Bali sering muncul juga karena ada warga yang melanggar awig-awig.
Yang bersangkutan tidak bersedia menjalankan kewajibannya jika terkena sanksi akibat
melanggar awig-awig. Namun, sanksi harus dipilah-pilah, sesuaikan berat-ringannya
pelanggaran. Bagaimanapun, sanksi ‘tidak boleh menguburkan jenazah’ dikategorikan sanksi
sangat berat. Cari alternatif lain. Awig-awig juga harus disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Mengapa di Buleleng tidak pernah muncul masalah kuburan?
Tidak Patuhi ‘Awig-awig’ Mengapa konflik kuburan muncul di masyarakat Bali? Terjadi,
karena ketidakpatuhan krama desa. Di tiap desa pakraman sudah ada ketentuan atau awig-
awig. Yang melanggar, konsekuensinya, mendapatkan sanksi, salah satunya tidak boleh
menguburkan jenazah keluarganya. Meski sanksi ini telah diterapkan, masih banyak
ketidakpatuhan krama terhadap awig-awig.
Solusi :
Pemerintah mengambil sikap dengan memfasilitasi krama yang mendapatkan sanksi tersebut.
Ketidakpatuhan krama dan menghindar dari sanksi tak akan bisa terselesaikan hanya dengan
bantuan pemerintah. Cara satu-satunya, bertindak salah harus sanggup menerima sanksi yang
diberikan desa adat. Awig-awig merupakan komitmen warga desa adat dengan para prajuru
adat yang disahkan pejabat setempat. Namun, sosialisasi kepada warga kurang menyeluruh.
Memang ada warga yang tak mempedulikan awig-awig. Konflik kuburan tak akan terjadi
jika warga desa adat yang memang melanggar awig-awig menerima sanksi yang diberikan.
Jenis sanksi bisa dinegosiasikan yang lebih ringan dibanding sanksi tak boleh mengubur.
Adanya awig-awig dalam sebuah organisasi sangat baik. Awig-awig juga mampu
memberikan pengayoman kepada masyarakat dari tingkat bawah hingga atas. Biasanya,
otoritas lebih banyak dipegang orang yang mampu baik materi, pendidikan, maupun
wawasannya. Apa yang direncanakan dan diputuskan pemegang otoritas terkadang tak sesuai
dengan masyarakat di bawah. Kondisi masyarakat desa pakraman yang satu dan yang lain
berbeda. Ada yang sibuk sehingga tak bisa mengikuti kegiatan desa adat. Ada juga warga
desa yang tak mematuhi awig-awig lantaran malas atau nakal. Ini perlu dilakukan pemilahan,
sanki buat warga yang malas dan warga yang tak bisa melaksanakan awig-awig lantaran
terhalang kesibukan. Sebaiknya ada awig-awig yang dibuat fleksibel jangan sampai
mengikat masyarakat terjerat dengan awig-awig yang disepakati. Awig-awig perlu dibuat
dengan sasaran agar krama adat menyadari bahwa desa pakraman penting sebagai tempat
peristirahatan saat hari tua datang bahkan peristirahatan terakhir.
Kuburan hanya korban dan kambing hitam dari konflik. Membisunya kuburan adalah
jawaban dari permasalahan krusial yang muncul di masyarakat. Sumber masalah ini adalah
ego masing-masing warga. Masyarakat kurang memahami apa makna desa pakaraman.
Pakraman adalah krama dan karma sebagai sikap yang harus dilakukan tiap komunitas sosial
yang memakai moral sebagai pijakan dalam menjalankan hak dan kewajiban demi
terwujudnya kehidupan yang paras-paros, segalak-seguluk, selulung-sebayantaka. Adat yang
dijiwai agama, maka substansi agama yang harus dipahami secara benar terlebih dahulu.
Dengan alasan apa pun tak akan ada pamrih misalnya tentang kuburan. Kuburan perlu
diposisikan sebagai simbol etika dan moral saat kita masih hidup. Komunikasi dari lembaga
adat ke masyarakat sebagai tindakan preventif sebelum terjadi konflik. Konflik sering
muncul di tengah kurangnya komunikasi.
Di seluruh Bali, ada dua desa pakraman di masing-masing kabupaten sebagai tempat
penelitian Pershada antara lain Desa Pakraman Buleleng dan Keramas Gianyar. Jadi ada
sekitar 16 desa pakraman (setra) yang diteliti di seluruh Bali. Di Buleleng tidak pernah
terjadi masalah penguburan jenazah. Kenyataannya disebabkan beberapa hal, adanya
ketentuan tentang kewajiban warga terhadap desa pakraman (ayah-ayahan dan pawedalan)
maupun tentang kacuntakan yang relatif luwes. Jika terjadi kematian warga, yang wajib
cuntaka hanyalah keluarga dekat. Yang lainnya, walaupun dalam satu banjar, tidak wajib
menjalankan kacuntakan. Di Desa Pakraman Buleleng ada beberapa banjar. Setra tersebar di
beberapa banjar. Penguburan janazah tidak harus dilaksanakan di banjar sendiri, tetapi dapat
dilaksanakan di setra yang ada di lain banjar, yang penting ada pemberitahuan kepada prajuru
desa.
Hal ini sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap kecuntaka, baik terhadap warga di banjar
sendiri maupun warga lainnya di sekitar setra tempat penguburan jenazah. Bagi krama desa
yang tinggal di luar Buleleng, ada peraturan yang luwes. Mereka tak harus datang saat
kegiatan berlangsung. Krama desa tersebut diminta untuk bisa memberikan dana punia,
mereka pun tak dibenci oleh warga lokal di Buleleng. Setra Pengalu dan Setra Cicing ada di
Desa Pakraman Keramas. Zaman dulu Setra Pengalu dimanfaatkan untuk mengubur jenazah
pengalu yang kebetulan meninggal di desa pakraman setempat dan tak diketahui identitasnya.
Pengalu merupakan pedagang keliling dari desa satu ke desa lainnya yang memakai kuda
sebagai sarana transportasi. Proses penguburan seorang pengalu yang meninggal dan
pelaksanaan upacara ngaben di bawah tanggung jawab Desa Pakraman Keramas dan
koordinasi bendesa setempat. Saat ini, Setra Pengalu tidak dimanfaatkan untuk mengubur
pengalu, melainkan dimanfaatkan untuk mengubur jenazah yang dikenal dengan sebutan
“Mr. X” dan orang-orang yang berasal dari desa pakraman setempat, namun karena dianggap
telah melakukan pelanggaran adat berat dan yang bersangkutan tidak menyadari
kekeliruannya, maka oleh desa pakraman dia diberhentikan (kasepekang) sebagai warga
desa. Setra Cicing, sesuai namanya, pada zaman dulu dimanfaatkan mengubur anjing liar dan
binatang yang mati karena terbunuh dan sakit. Sekarang setra ini masih ada namun kegiatan
menguburkan bangkai anjing dan binatang lain di setra tersebut tak pernah lagi dilakukan

You might also like