Professional Documents
Culture Documents
1. Pendahuluan
2. Realitas di Lapangan
1. Pendidikan Budi Pekerti di Rumah
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan dapat dikatakan
sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai. Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral
dan budi pekerti para pemimpin bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku
buruk sebagian siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di Indonesia.
Tawuran pelajar tidak hanya ada di kota-kota besar, tetapi merambah juga sampai ke
pelosok-pelosok. Bahkan perilaku seks bebas dan lunturnya tradisi, budaya, tata nilai
kemasyarakatan, norma etika dan budi pekerti luhur merambah ke desa-desa. Krisis yang
terjadi ini salah satu indikator penyebab terbesarnya adalah kegagalan dari dunia pendidikan
baik pendidikan formal, nonformal maupun informal. Padahal ketiga sektor tersebut
memegang peranan yang sangat penting dalam rangka membentuk anak berbudi pekerti
luhur. Aris Muthohar dalam bukunya Tata Krama di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
mengatakan tentang pentingnya ketiga lembaga tersebut menanamkan nilai-nilai tata karma
budi pekerti luhur. Jika ketiga lembaga ini saling mengisi, diharapkan akan dapat membentuk
anak yang berbudi pekerti luhur.
Untuk memaparkan ketiga lembaga yang berkaitan dengan pembentukan budi pekerti
luhur ini, berikut ini akan dijelaskan satu persatu. Sebagai tempat awal seorang anak
memperoleh pendidikan, berikut ini akan disajikan realita pendidikan budi pekerti di rumah
sebagai lembaga pendidikan informal. Untuk memaparkan pendidikan budi pekerti di
rumah/keluarga, harus dilihat dahulu kenyataan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 11 juta
anak putus sekolah dan 6 juta di antaranya menjadi pekerja anak. Dari 6 juta pekerja anak,
sekitar 2 juta anak bekerja dalam kondisi yang sangat membahayakan baik fisik maupun
mental.
Jika dilihat dari prosentase jumlah anak yang ada di Indonesia, baru sekitar 12 persen
yang dapat mengikuti program wajib belajar. Selebihnya tidak memperoleh kesempatan
belajar yang selayaknya. Dapat dibayangkan jumlah yang tersisa masih sekitar 88 persen
justru menjadi pekerja anak untuk membantu ekonomi keluarga. Jika mereka membantu
orang tua berarti mereka sendiri tidak mempunyai kesempatan belajar di rumah, khususnya
belajar penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Akibat tuntutan kebutuhan hidup keluarga yang sangat mendesak, jangankan memberi
pendidikan bagi anak, masalah kesehatan dan keselamatan kerja bagi anak pun menjadi hal
yang diabaikan orang tua. Orang tua tidak peduli jika anaknya dieksploitasi dengan upah
yang sangat murah, bahkan yang sangat parah, orang tua justru kadang melanggar HAM anak
dengan menyiksa anak kandung sendiri jika bekerja tidak mencapai target.
Umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya adalah para orang
tua yang bekerja. Orang tua bekerja dengan waktu yang cukup panjang meninggalkan
anaknya di rumah di bawah asuhan para pembantu rumah tangga yang juga sering kali sangat
rendah tingkat pendidikannya (RCTI, November 2002).
Saat pulang dari bekerja, para orang tua sudah sangat lelah. Anak-anak pun sudah
tertidur ditemani pembantu rumah tangga. Akibatnya, orang tua/keluarga semacam ini pun
tak pernah sempat menanamkan nilai-nilai positif, khususnya nilai budi pekerti yang luhur.
Kalaupun ada keluarga yang memiliki kesadaran yang cukup tinggi dengan menanamkan
nilai-nilai positif, khususnya nilai-nilai agama sejak dini yang notebene sudah termasuk nilai
akhlak/budi pekerti di dalamnya, dapat dikatakan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Anak-anak yang berbahagia memperoleh kesempatan seperti ini di keluarganya dibandingkan
dengan yang tidak memperolehnya bagai segelas air di danau. Sudah barang tentu
problematika yang muncul dari danaulah yang mencuat. Padahal sudah seharusnya ataupun
merupakan hak anak untuk memperoleh itu semua?
Penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat kurang sebagai
akibat dari himpitan ekonomi. Semua sibuk memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup.
Kontrol sesama masyarakat menjadi kurang, bahkan tidak ada. Semua serba individualistis.
Kondisi kacau di masyarakat seperti ini justru yang amat berpengaruh pada
penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur. Keluarga yang anaknya terbebas/tak
terpengaruh sisi negatif lunturnya nilai-nilai budi pekerti seperti narkoba, tawuran, seks
bebas, dan lain-lain tidak peduli pada tetangga/keluarga lain yang secara kebetulan
mengalaminya, yang terpenting keluarga sendiri terlebih dahulu.
Sementara itu, penanaman nilai-nilai budi pekerti di sekolah, untuk saat ini memang
sudah mengalami kemunduran. Data empiris membuktikan bahwa para guru pun sudah
merasa enggan menegur anak didik yang berlaku tidak sopan di sekolah. Anak didik sering
kali berperilaku tidak sopan terhadap guru, melecehkan sesama teman, bahkan ada sekolah
yang tidak berani mengeluarkan anak didik yang sudah jelas-jelas menggunakan narkoba.
Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kurikulum mulok sampai
saat ini memang tidak berdiri sendiri. Materi tersebut diintegrasikan ke dalam dua mata
pelajaran, yaitu PPKn dan agama. Kalaupun pada akhirnya diintegrasikan pula ke dalam
enam mata pelajaran lainnya, yaitu matematika, IPA, IPS, Kesenian, Bahasa Indonesia, dan
Olahraga, rasanya masih kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah amat mahal dan
langka di masa kini.
3. Permasalahan
1. Mengapa pada masa sekarang ini moral dan budi pekerti anak demikian
merosot?
2. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan budi
pekerti yang baik?
3. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan moral
dan budi pekerti bagi anak didik?
4. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang bermoral dan
berbudi pekerti yang baik?
5. Apa saja usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan merosotnya moral
dan budi pekerti yang baik pada anak?
Dari sejumlah identifikasi masalah di atas, pembahasan akan lebih dikonsentrasikan pada
permasalahan nomor 2, 3, dan 4 sebagai berikut:
1. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti
yang baik ?
2. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan moral dan budi
pekerti bagi anak didik ?
3. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang bermoral dan berbudi
pekerti yang baik ?
4. Analisa SWOT
a. Kekuatan Pendukung: Tersedianya Kebijakan Makro
Upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak dapat dilakukan atas
dasar adanya kekuatan yang mendukung, yaitu: di samping telah dituangkan dalam Sistem
Pendidikan Nasioanal UU No.2/89. Bab II Pasal 4 yaitu untuk mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, keseharan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Juga terdapat pada perundang-undangan yang lain yaitu:
Hal ini sejalan dengan pendapat pemikir Islam sekaligus pendidik Al-Ghazali yang
dalam salah satu bukunya menyoroti sistem pendidikan Islam. Ia mengatakan bahwa budi
pekerti itu akan kuat jika banyak dipraktikkan, dipatuhi, dan diyakini sebagai suatu yang baik
dan direstui. Jika saja kesadaran menanamkan nilai-nilai agam muncul pada setiap orang tua
di masyarakat, dengan menyingkirkan jauh-jauh rasa pesimistis dalam menghadapi tantangan
dari luar, diharapkan kemerosotan moral dan budi pekerti akan dapat diatasi sedikit demi
sedikit namun serempak.
Dalam agama Islam ada beberapa kata mutiara yang dapat dijadikan pegangan setiap
orang untuk memulai suatu kebaikan, diantaranya:
Usaha yang dilakukan oleh para penentu kebijakan (decision maker) pun sangat
populis, artinya mengena di hati masyarakat. Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu
Yahya Muhaimin mengatakan bahwa selama ini pihaknya sudah berupaya melakukan
antisipasi teknis dalam rangka pembentukan karakter dan daya nalar anak didik yang diyakini
dapat menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti. Diantaranya ialah pembentukan
karakter yang berbudi pekerti. Diantaranya ialah pembentukan karakter yang berbudi pekerti
luhur sejak tingkat sekolah dasar (SD).
Berdasarkan pada masalah yang timbul akibat dari merosotnya nilai-nilai moral dan budi
pekerti anak dan setelah dianalisis berdasarkan realitas di lapangan, dijumpai beberapa
temuan sebagai berikut:
a. Peran aktif orang tua atau keluarga sangat dituntut dalam upaya
menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
b. Sekolah telah mencoba memasukkan materi moral dan budi pekerti ini secara
terpadu (integrated) ke dalam setiap mata pelajaran. Namun, tentu saja hal ini masih
belum efektif dan belum maksimal, mengingat tidak semua guru mampu
mengaplikasikannya.
c. Peran masyarakat masih sangat kurang bahkan tidak ada usaha sama sekali
untuk turut menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak, terutama
dalam bentuk control. Namun, upaya penanaman agama sejak usia dini telah
disiapkan oleh masing-masing keluarga.
d. Pemerintah belum maksimal menangani dan menanggulangi kemerosotan
moral dan budi luhur pekerti anak. Hal ini diakibatkan oleh kondisi/ekonomi negara
saat ini.
e. Era globalisasi dengan ciri teknologi yang terus berkembang pesat turut
memberi andil terjadinya kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
7. Saran dan Rekomendasi
a. Pemerintah diharapkan lebih serius menangani kemerosotan moral dan budi pekerti
anak, tidak hanya sebatas menetapkan kebijakan. Hal ini dapat dilakukan dengan (a)
mengalokasikan anggaran pelatihan bagi para guru dalam melakukan integrasi
materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran, (b) memasukan
kembali materi moral dan budi pekerti menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
b. Bagi orang tua yang berkecukupan diharapkan tidak hanya mengejar materi dan
karier, tetapi diharapkan, lebih memberikan perhatian kepada anak-anak mereka,
yaitu dengan cara memberikan penanaman nilai-nilai agama sejak dini. Sementara
itu, bagi orang tua yang kurang mampu diharapkan tidak terlalu membebani anak
dengan tuntutan bekerja, sementara mengabaikan hak mereka untuk mendapatkan
pendidikan, khususnya pendidikan moral dan budi pekerti.
c. Kepada organisasi keagamaan diharapkan turut peduli dengan upaya
penanggulangan kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
d. Seluruh lapisan masyarakat melakukan kontrak sosial agar kemerosotan moral dan
budi pekerti tidak semakin bertambah.
Daftar Pustaka
Budiarjo, Syukur. “Kurikulum” dan “Manusia di Balik Senjata”, Kompas. Jumat, 24 Mei
2002.
Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Disadur oleh Muhadjir Darwin).
Jogjakarta: Hanindita.
Eric, Lanerjan. The Publik Sector: Concepts, Models, and Aprroaches. London: Sage
Publication, 1991.
Muthohor, M. Aris. Tata Krama di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: SIC, 2001.
Tarwiyah, Tuti, dkk. “Masalah Hak Azasi Anak dalam Pendidikan”, Makalah Seminar Kelas
Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, 2002.
Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.