You are on page 1of 51

Tinjauan Kritis Theologis Terhadap Buku “The Purpose

Driven Life” Bagian 1 (oleh : Denny Teguh Sutandio)


Tinjauan Kritis Theologis Terhadap Buku “The Purpose Driven Life”

oleh : Denny Teguh Sutandio

Pendahuluan

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang
salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan
datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan
mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan
telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi
dongeng.”

(2 Timotius 4:2-4)

D unia di mana kita hidupi saat ini adalah dunia postmodern yang mempopulerkan suatu
filsafat relativisme dengan meng‘absolut’kan anti-absolutisme. Memang adalah suatu
kontradiksi yang tidak masuk akal, tetapi herannya manusia di dunia postmodern mau
dibodohi oleh filsafat ini, bahkan banyak yang tergila-gila. Budaya relativisme telah
meracuni dunia postmodern ini dan bahkan menggerogoti keKristenan pada khususnya.
KeKristenan sudah diracuni dengan filsafat relativisme dengan meniadakan apa yang absolut,
sebaliknya meng‘absolut’kan apa yang sebenarnya tidak absolut. Ini yang saya sebut sebagai
pembalikan posisi dari manusia berdosa. Selain filsafat relativisme, keKristenan pun sedang
diracuni dengan filsafat-filsafat lain yang terus-menerus melawan Alkitab, tetapi banyak
orang Kristen tidak menyadarinya. Salah satunya adalah filsafat humanisme yang dibungkus
di dalam Gerakan Zaman Baru supaya kelihatan “bersahabat” di mata orang dunia dan orang
Kristen khususnya. Di dalam filsafat ini, seperti ide humanisme lainnya, manusia lah yang
menjadi pusat segala sesuatu dan Allah disingkirkan. Tidaklah heran, manusia dengan
kehebatannya mengagungkan diri yang sebenarnya tidak layak, lalu mengatakan dengan
berani, “we are gods (kita adalah ‘allah’)”

Kalau dunia begitu tergila-gila dengan filsafat pantheisme (mengajarkan bahwa segala
sesuatu adalah “allah”) ini, maka tentu tidak ketinggalan dengan banyak orang “Kristen” di
abad postmodern. Mereka dengan mudahnya ditipu oleh banyak “hamba Tuhan” di dalam
gereja-gereja kontemporer yang pop dengan khotbah-khotbah, “Anda bisa melakukan
apapun, karena Anda adalah ‘allah’ (You can do anything because you are ‘god’)” Atau
slogan ini terlalu kelihatan, maka mereka menggantinya dengan samar-samar melalui
berbagai cerita, novel, bahkan buku renungan sekalipun untuk meninabobokan keKristenan
dengan utopia bahwa manusia itu ada dalam pikiran Allah, begitu berharga, bahkan ada yang
berani mengatakan bawah Allah “membutuhkan” manusia, sehingga Ia mau mati bagi
manusia. Ajaran-ajaran inilah yang terus-menerus didengungkan oleh banyak “hamba
Tuhan”, dan anehnya, banyak orang “Kristen” bisa ditipu dengan mudahnya oleh mereka.
Mereka menggunakan cara-cara licik untuk menjebak banyak orang Kristen untuk menjauh
dari Tuhan secara perlahan dan mulai memuja diri. Berbagai training pengembangan pribadi
baik dari John Robert Powers, Andrie Wongso dengan idenya Success is My Right, dll
meskipun telah “memberkati” banyak orang, tetapi beridekan Gerakan Zaman Baru,
humanisme dan pantheisme yang tidak disadari oleh banyak orang “Kristen”. Apakah cukup
sampai di sini ? TIDAK. KeKristenan juga mempunyai ide baru yang mirip yaitu apa yang
dipaparkan dan dicetuskan oleh “theologia” Arminian (lawan theologia Reformed/Calvinis)
yang sama-sama menekankan manusia sebagai pusat dan Allah sebagai “hamba” manusia
(meskipun tidak berani mengatakan terus terang). Di dalam arus “theologia” ini, para
penganutnya mengajarkan bahwa keselamatan itu memang dikerjakan Allah, tetapi itu
tergantung manusia, kalau manusia mau percaya, maka Allah baru menyelamatkannya. Allah
memang memilih manusia, tetapi di dalam kekekalan Ia melihat terlebih dahulu siapakah
manusia yang beriman kepada-Nya, barulah Ia pilih (foreknowledge of God). Ini semua sama
sekali bukan ajaran Alkitab dan bukan keKristenan, tetapi laris di dalam kalangan
keKristenan (khususnya banyak kaum Injili yang “memuja” pendapat ini). Mengapa bisa laris
? Karena manusia pada umumnya suka disanjung, dipuja, apalagi banyak orang “Kristen”
sekarang yang sudah diracuni oleh relativisme dan humanisme pun sangat senang apabila
mereka dipuja, tetapi kalau ditegur, mereka akan marah dan langsung mengatakan, “Jangan
menghakimi !”, padahal perkataannya ini pun sendiri menghakimi, sungguh suatu kontradiksi
yang aneh !

Hal ini sudah diprediksi oleh Rasul Paulus di dalam 2 Timotius 4:3-4 bahwa, “akan sampai
waktunya orang tidak mau lagi menerima ajaran yang benar. Sebaliknya, mereka akan
menuruti keinginan mereka sendiri, dan mengumpulkan banyak guru guna diajarkan hal-
hal yang enak didengar di telinga mereka. Mereka akan menutup telinga terhadap yang
benar, tetapi akan memasang telinga terhadap cerita-cerita dongeng.” (Bahasa Indonesia
Sehari-hari) Di sini, Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) lebih tepat
mengartikan bahwa akan datang saatnya orang suka mendengarkan ajaran-ajaran yang enak
didengar di telinga mereka. Kalau kita mau kaitkan ayat ini dengan realita banyak ajaran
“Kristen” yang simpang siur, maka sejujurnya ajaran yang mengenakkan telinga ini adalah
ajaran humanisme dari buku The Purpose Driven Life yang ditulis oleh Dr. Rick Warren
(buku best-seller ala dunia). Di dalam buku ini, Rick Warren seolah-olah memaparkan
ajaran-ajarannya yang kelihatannya “Alkitabiah” dengan mengutip ribuan ayat bahkan
dengan terjemahan-terjemahan yang berbeda, seolah-olah ingin membuktikan bahwa dia
adalah “ahli” ayat Alkitab, padahal banyak ayat Alkitab yang dikutipnya adalah bagian-
bagian yang dilepaskan dari konteks Alkitab seluruhnya. Dalam hal ini, metode eisegese
dalam penafsiran Alkitab lah yang dipakai oleh Rick Warren, di mana di dalam kepala
Warren, ia sudah memiliki serangkaian ide-ide humanis, lalu ide-ide itu dicari dukungannya
di dalam Alkitab, supaya kelihatan “Alkitabiah”. Itulah eisegese yang merupakan metode
penafsiran Alkitab yang salah.

Lalu, bagaimana sikap kita ? Diam atau masa bodoh ? Tidak. Alkitab di dalam 2 Timotius
4:2, sebelum Paulus memaparkan realita akan adanya kecenderungan manusia menjadi
pragmatis, maka ia memperingatkan Timotius untuk tetap memberitakan Injil/Firman, bersiap
sedia dalam segala situasi, menegur dan menasehati jemaat dengan kesabaran dan
pengajaran. Di sini, Paulus memaparkan tiga prinsip. Pertama, memberitakan Firman. Suka
atau tidak suka, senang atau tidak senang, Firman Tuhan atau Injil harus terus-menerus
diberitakan dengan bertanggungjawab. Ini yang Paulus dan Tuhan Yesus sendiri perintahkan
(Matius 28:19). Tidak ada kompromi, ketika ada ajaran sesat menyerang, keKristenan tetap
harus memberitakan suara kenabian yang mengajak orang Kristen untuk kembali hanya
kepada Alkitab, karena hanya di dalam Alkitab, terdapat satu-satunya wahyu Allah yang
mutlak. Kedua, bersiap sedia dalam segala situasi. Berwaspada adalah satu tindakan yang
penting setelah memberitakan Firman. Ketika kita terus-menerus memberitakan Firman,
tetapi tingkat kewaspadaan kita berkurang atau bahkan hilang, maka kita sedang berada di
dalam suatu kebahayaan akan menjadi penyesat. Berita Injil harus disertai dengan
pemahaman yang integral akan theologia dan Alkitab (theologia sistematika), sehingga kita
memiliki sense of warning. Lalu, kita yang sudah memiliki kewaspadaan ini, kita pun juga
harus bersiap sedia menghadapi ajaran sesat dari luar. Ketiga, menegur dan menasehati
jemaat dengan kesabaran dan pengajaran. Kalau kita sudah berwaspada menghadapi ajaran
sesat, lalu apakah kita tinggal diam dan acuh tak acuh terhadap jemaat Tuhan ? TIDAK.
Alkitab mengatakan bahwa kita harus menyatakan apa yang salah kepada jemaat, bisa
berkaitan dengan doktrin, konsep berpikir, perbuatan, perkataan, dll dengan kesabaran dan
pengajaran. Meskipun dunia kita membenci apa yang dinamakan “teguran” (lalu memfitnah
dengan mengatakan bahwa kita sedang “menghakimi”nya), kita tetap diperintahkan Paulus
untuk tetap menegur yang salah. Menegur adalah sebuah tindakan dari hamba Tuhan atau
orang Kristen yang kuat imannya yang mengasihi orang Kristen yang lemah imannya
sehingga yang lemah iman dapat dikuatkan dan diperingatkan oleh yang kuat imannya,
sehingga jemaat dibangun bersama di dalam pengenalan akan Kristus Yesus sebagai Kepala.
Menegur ini dilakukan dengan kesabaran dan pengajaran. Artinya, kita harus menegur jemaat
dengan semangat cinta kasih, yang tidak langsung memvonis lalu mengkutuk kesalahan
mereka. Tetapi, juga tidak berarti kasih yang kita tunjukkan adalah kasih yang berkompromi
lalu mengiyakan apa yang jemaat lakukan dengan salah. Menegur dengan kasih adalah
menegur yang memberikan pengajaran yang bertanggungjawab/mendidik. Kasih yang tidak
mendidik adalah kasih yang munafik/pura-pura, sebaliknya pengajaran yang tanpa disertai
kasih adalah penghakiman yang tidak menyadarkan orang lain. Kedua hal ini harus diajarkan
secara seimbang. Untuk alasan inilah, saya terbeban untuk menerbitkan suatu makalah
meninjau secara kritis dari sudut pandang Alkitab dalam kerangka pikir theologia Reformed
Injili yang konsisten dan bertanggungjawab terhadap buku The Purpose Driven Life karya
Rick Warren. Di dalam makalah ini, saya tidak akan 100% mengkritik keras atau
menghakimi buku ini, tetapi bagian-bagian yang bagus dan sesuai dengan Alkitab saya akan
katakan itu bagus dan bagian-bagian yang bertentangan dengan Alkitab akan saya katakan
salah. Semua pandangan ini hanya dapat diukur dari standart kebenaran Alkitab dalam
kerangka theologia Reformed Injili yang konsisten.

Semua hal-hal yang dipaparkan dalam makalah ini sudah dipikirkan dengan
bertanggungjawab penuh kepada Allah dan firman-Nya, Alkitab. Oleh karena itu, sebelum
kita masuk ke dalam tinjauan kritis terhadap buku ini, maka saya akan memberikan konsep-
konsep yang benar tentang arti hidup yang sejati sesuai dengan Alkitab pada Bab 1, lalu
dilanjutkan dengan konsep penafsiran Alkitab yang beres pada Bab 2, kemudian mulai Bab 3,
saya akan mulai mengadakan tinjauan kritis theologis terhadap buku ini.

Biarlah melalui makalah yang kurang sempurna ini boleh membawa berkat bagi jemaat-
jemaat Tuhan agar mereka boleh disadarkan dari dosa-dosa mereka dan kembali kepada
Alkitab saja sebagai satu-satunya kebenaran Allah yang mutlak dan tidak mungkin bersalah
dalam naskah aslinya. Soli Deo Gloria. Sola Scriptura. Solus Christus.

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah
kemuliaan sampai selama-lamanya!”

(Roma 11:36)

Bab 1

Arti Hidup Sejati Menurut Alkitab


“ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi
makhluk yang hidup.”

(Kejadian 2:7)

1.1 Arti Hidup Menurut Perspektif Dunia

Dunia di mana kita hidupi hari ini sedang mengalami krisis makna hidup. Berbagai cara
manusia berusaha untuk mencoba menemukan makna hidupnya, dari menyiksa diri
(beraskese), sampai hidup hedonis yang melampiaskan semua kesenangan hawa nafsunya.
Mereka pada intinya ingin mengerti makna hidup untuk selanjutnya makna itu bisa mereka
jalani dengan baik. Oleh karena itu, marilah kita melihat sekelumit tentang definisi hidup
dalam perspektif dunia kita.

1. Hidup Adalah Perjuangan

Pertama, dunia kita melihat hidup adalah suatu perjuangan. Di dalam suatu perjuangan,
dibutuhkan kekuatan untuk mengerjakannya. Tidaklah heran, manusia di dunia suka berjuang
meskipun banyak dari mereka tidak mengerti motivasi dan tujuan dari apa yang
diperjuangkannya. Yang mereka ketahui bahwa hidup ini adalah hanya untuk berjuang, terus
berjuang agar mencapai apa yang diidam-idamkan. Oleh karena itu, di dunia ini sangatlah
laris promosi training motivasi dari para motivator dari sekelas Anthony Robbins sampai
Andrie Wongso dengan idenya Success is My Right. Para motivator ini terus memberikan
motivasi bagi para peserta seminarnya dan manusia dunia ini agar mereka yang merasa down
boleh ditingkatkan kembali semangatnya, tetapi rupa-rupanya semangat ini tidak bersumber
dari Allah, sehingga motivasi peningkatan semangat ini adalah untuk kepentingan diri
(humanisme) dan tujuannya pun untuk kemuliaan diri (meskipun di dalam beberapa buku
“rohani” sekalipun, tujuan motivasi ini untuk “kemuliaan Tuhan”). Inilah jiwa atheisme
praktis di dalam diri manusia yang berakar dari humanisme ditambah semangat pantheisme
dan Gerakan Zaman Baru yang diindoktrinasikan melalui berbagai training motivasi dan
pengembangan pribadi. Perjuangan yang dilandasi oleh semangat ingin mencapai cita-cita
dan self-centered ini tentu tidak akan menemukan makna hidup sejati dan tentunya juga
makna perjuangan sejati, karena yang menjadi landasannya adalah kepentingan diri yang
sebenarnya makhluk yang terbatas.

2. Hidup Adalah Kesempatan

Kedua, dunia kita yang terus mau berjuang, adalah dunia yang juga mengidentikkan hidup
adalah kesempatan. Mereka menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, oleh
karena itu mereka memakai setiap kesempatan yang ada untuk meraih apa yang mereka
inginkan. Di sini, dunia kita mengaitkan hidup dengan waktu yang ada. Di dalam setiap
waktu/kesempatan, mereka mau mengerjakan apa yang diinginkan oleh mereka, entah itu
baik atau jahat menurut pandangan Alkitab, mereka tidak seberapa mempedulikannya. Bagi
mereka, apa yang diinginkannya harus dicapai di dalam setiap kesempatan. Misalnya, orang
yang dulunya hidup miskin ingin menjadi kaya, maka dia bukan hanya berjuang untuk meraih
uang, tetapi juga menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk meraih yang dicita-citakan.
Tidak heran, beberapa dari mereka sampai-sampai menggunakan kesempatan untuk meraih
yang dicita-citakan dengan hal-hal yang buruk, contohnya, dengan korupsi, dll. Di sini, letak
kegagalan dunia kita yang semakin jauh dari Allah, yaitu memandang setiap
waktu/kesempatan adalah untuk dirinya sendiri.

3. Hidup Untuk Kerja

Ketiga, hidup adalah kesempatan direalisasikan oleh banyak manusia sekarang dengan
bekerja. Bagi banyak orangtua (termasuk banyak orangtua “Kristen”), kerja adalah segala
sesuatu. Manusia dapat disebut manusia ketika mereka sudah bisa berdikari sendiri atau
bekerja untuk mendapatkan uang sendiri tanpa tergantung dengan orangtua. Akibatnya, sejak
kecil, anak-anak sudah ditanamkan konsep bahwa hidup itu untuk bekerja, sekolah untuk
bekerja, dll. Tidak heran, cukup banyak anak yang masih kecil, misalnya SD atau SMP sudah
bisa bekerja, misalnya, menjadi artis, model, dll. Akhirnya, fokus hidup sudah dialihkan dari
Tuhan kepada kerja. Itulah tipu daya iblis yang bekerja di abad postmodern ini dengan
menyingkirkan Allah dari hidup manusia. Akibatnya, mereka yang memandang hidup adalah
kerja, akan memandang setiap kesempatan hanya untuk bekerja, dan aktivitas-aktivitas yang
menurut mereka “tidak penting”, misalnya bahkan pergi ke gereja, persekutuan, makan,
minum, tidur, dll, adalah sesuatu yang tidak penting, sehingga mereka rela mengorbankan
banyak waktu untuk bekerja. Yang paling celaka adalah seorang ayah/suami/kepala keluarga
yang memiliki konsep bahwa hidup untuk bekerja pasti berdampak kepada keluarganya, di
mana istri akan mengalami kekurangan perhatian dari sang suami, dan anak-anak pun
mengalami kekurangan perhatian dari ayah mereka, sehingga akhirnya keluarga ini akan
menjadi berantakan dan berakhir kepada perceraian. Perceraian ini bisa terjadi salah satunya
karena terlalu mementingkan pekerjaan sebagai fokus hidup manusia. Akibat lainnya dari
konsep ini adalah mengerjakan segala sesuatu dengan keterpaksaan. Artinya, hidup orang ini
akan diikat oleh pekerjaannya, baik di kantor maupun di rumah. Sehinga, tidak heran, orang
ini lama-kelamaan akan menjadi stress, depresi dan akhirnya, jika tidak kuat lagi, akan bunuh
diri.

4. Hidup Adalah Uang

Keempat, orang yang sudah memfokuskan hidupnya pada bekerja, maka dapat dipastikan
banyak dari mereka juga memfokuskan hidupnya pada uang. Konsep ketiga dan keempat ini
sangat berkaitan erat. Seorang yang memandang hidup adalah hanya untuk uang, maka segala
sesuatu diukur dari segi apakah yang dilakukannya itu dapat mendapatkan uang/profit bagi
dirinya. Inilah jiwa pragmatis (utilitarian) dan materalis yang dianut oleh banyak manusia
postmodern ini (bahkan di dalamnya banyak orang “Kristen”). Bagi mereka, yang penting
adalah mereka mendapatkan uang sebanyak-banyaknya bahkan kalau perlu “mengorbankan
orang lain”. Tidak heran, bisnis Multi Level Marketing (MLM), asuransi, dll laku keras,
karena manusia sedang dikunci oleh uang/materi yang fana sifatnya. Profesi dokter pun tidak
luput dari fokus hidup manusia yaitu uang. Dokter bukan bekerja untuk kepentingan pasien
lagi, tetapi untuk uang. Tidak usah heran, mengapa banyak dokter tidak langsung
memberikan obat kepada pasien yang sedang sakit, tetapi dokter tersebut memberikan obat
secara bertahap (banyak dari mereka bukan beralasan medis), maksudnya, kalau pasien itu
sudah habis meminum obat yang satu, maka mereka akan kembali lagi dan si dokter pasti
mendapatkan pemasukan uang lagi melalui kedatangan si pasien tersebut. Bahkan yang lebih
celaka, banyak pendidik, dosen, dll mengajar bukan karena panggilan-Nya di dalam hidup
mereka, tetapi karena uang atau menimba pengalaman. Maka, jangan heran, banyak
guru/dosen baik yang mengaku diri “Kristen” berani mengajari anak-anak muridnya secara
tidak bertanggungjawab, misalnya ada seorang dosen “Kristen” saya secara tidak
bertanggungjawab mengatakan, “science itu tidak ada hubungannya dengan religion”.
Apakah pendeta juga tidak bisa demikian ? BISA. Banyak “hamba Tuhan” terutama di dalam
banyak gereja-gereja kontemporer yang populer saat ini juga memfokuskan hidupnya pada
uang dan profit pribadi. Jangan heran, di abad postmodern ini, yang dipentingkan bukan lagi
pengertian/pengetahuan yang beres, tetapi feeling, lalu gereja-gereja pun berlomba-lomba
menyediakan sarana-sarana yang dapat memenuhi feeling banyak orang “Kristen. Caranya ?
Mudah, memanggil “pendeta-pendeta” yang “pintar” berkhotbah, bercerita lucu, lalu
mengkhotbahkan kemakmuran (meskipun banyak dari mereka menolak bahwa gerejanya
mengajarkan kemakmuran, tetapi yang lebih aneh lagi, slogan gerejanya mengandung unsur
kemakmuran), dll. Zaman kita adalah zaman di mana sedang musim cho gereja (cari untung
melalui gereja). Motivasinya, jelas, para “hamba Tuhan” gereja tersebut “melayani Tuhan”
demi uang, agar bisa sukses, kaya, dll. Lalu, kesuksesannya untuk apa ? Jelas untuk profit
pribadi, meskipun di depan mimbar selalu dipromosikan untuk “pekerjaan Tuhan”. Saya
sudah terlalu banyak menemukan “hamba Tuhan” model ini dan ibu saya sendiri sudah
banyak sekali mengalami hal ini dan menceritakannya kepada saya.

Adalah suatu kebodohan yang luar biasa, jika manusia diciptakan segambar dan serupa
dengan Allah bisa mau diperbudak oleh uang yang adalah benda mati. Uang yang seharusnya
ditundukkan oleh manusia, malahan sekarang dibalik, lalu uang menjadi tuan yang
memerintah manusia. Ini namanya pembalikan posisi, yang merupakan salah satu ciri
masuknya dosa ke dalam diri manusia. Tidak heran, yang sebenarnya sangat penting,
misalnya membaca Alkitab, bersekutu dengan-Nya, dll, dianggap oleh manusia dunia
menjadi tidak penting, dll, dan lebih aneh lagi jika ada seorang “Kristen” berjiwa pragmatis
dan relativis mengatakan bahwa itu semua tergantung pada masing-masing orang, lalu kita
tidak boleh memaksa mereka. Saya mengira anggapan ini sama sekali bukan anggapan
seorang “Kristen” meskipun mengaku diri “Kristen”, aktif di dalam persekutuan gereja
sekalipun. Seorang yang cuek dengan orang lain sama sekali bukan ciri orang Kristen sejati.

5. Hidup itu Biasa Saja

Prinsip kelima dari definisi hidup yang dunia sedang ungkapkan yaitu hidup itu biasa saja,
jadi jalani sebagaimana adanya. Inilah jiwa pragmatisme dunia kita yang muncul melalui
definisi hidup yang biasa saja. Hidup yang biasa saja menandakan bahwa di dalam diri
manusia sudah tidak ada lagi makna hidup sejati, sehingga hidup ini hanya dijalani tanpa arah
dan tujuan yang pasti sesuai dengan firman-Nya. Tidak usah heran, ketika manusia dunia
hanya mengerti hidup ini hanya biasa saja, maka mayoritas mereka menggunakan dan
mengisi hidup mereka hanya untuk kepuasan diri mereka saja. Salah satu iklan rokok
mengatakan, enjoy aja. Itu yang sedang dunia tawarkan bahwa yang penting itu enjoy, suka-
suka bertindak apapun, yang penting happy, senang, gembira, dll. Hidup yang serba gembira
ini sangat berbahaya, karena hidup yang gembira tidak mengerti sesungguhnya apa itu
penderitaan, kesusahan, dll. Tidak heran, banyak orang “Kristen” yang sudah diindoktrinasi
bahwa menjadi “Kristen” pasti kaya, sukses, dll, ketika ada penganiayaan datang, mereka lah
yang pertama kali langsung menghujat Tuhan, karena kondisi yang serba pleasure
sebenarnya tidak mengerti hidup itu sesungguhnya.

6. Hidup Adalah Penderitaan

Kalau pada poin kelima, dunia kita mengartikan hidup itu sebagai sesuatu yang biasa saja,
lalu bisa bertindak seenaknya sendiri, maka pada poin keenam, sebagai kebalikannya,
beberapa manusia dunia yang ekstrim mengatakan bahwa hidup itu penderitaan. Di dalam
hidup itu pasti menderita, entah itu ditinggal oleh seseorang yang dikasihi yang telah
meninggal, putus pacar, dll. Pokoknya, tidak ada hidup tanpa penderitaan. Inilah wajah dunia
kita yang hopeless yang mencari makna hidup tetapi akhirnya kehilangan hidup itu sendiri,
karena terlepas dari jalan yang Allah telah tetapkan. Itulah akibat dari menaruh pengharapan
kepada dunia ciptaan yang terbatas dan berdosa ini. Tetapi, apakah kalau kita menaruh
pengharapan kepada Tuhan pasti kaya dan tidak menderita ? TIDAK. Kita jangan terlalu
ekstrim. KeKristenan hendaknya jangan terlalu ekstrim menekankan dua kubu, yaitu terlalu
mementingkan kesuksesan hidup, yang lainnya menekankan penderitaan terus-menerus.
KeKristenan harus seimbang, menyeimbangkan antara penderitaan karena nama Tuhan
dengan pengharapan sesudah penderitaan yaitu hidup kekal bersama-Nya.

7. Hidup Untuk Orang Lain

Terakhir, hanya sedikit manusia bisa memiliki tujuan hidup demi orang lain. Artinya,
meskipun definisi hidup yang terakhir ini masih kurang, tetapi setidaknya, defisini hidup ini
masih lebih baik dari definisi hidup dari nomer satu sampai dengan 6 yang self-centered.
Pada konsep terakhir ini, manusia memandang hidupnya dipersembahkan bagi orang lain.
Contohnya, banyak pelukis, komposer musik, dll melakukan segala sesuatu demi orang lain,
sehingga tidak heran nama-nama mereka cukup dikenal di dalam zamannya maupun zaman
sesudah mereka meninggal dunia. Johan Sebastian Bach, G. F. Hendel, Leonardo da Vinci,
dll adalah orang-orang yang telah bersumbangsih bagi dunia karena mereka mementingkan
orang lain ketimbang diri. Mungkin saja mereka mau rugi mengorbankan waktu, tetapi yang
penting orang lain mendapatkan kepuasan dari hasil kerugiannya. Tentu itu berbeda dengan
semangat manusia di abad postmodern yang lebih mementingkan profit pribadi dengan
mengorbankan orang lain.

1.2 Arti Hidup Menurut Perspektif “Kristen” yang Palsu

Lalu, sekarang ini, kita akan beralih kepada arti hidup menurut perspektif “Kristen” yang
seolah-olah kelihatan lebih “rohani”, tetapi sebenarnya palsu. Mereka berani menggunakan
istilah “Kristen” untuk menjelaskan makna hidup, padahal istilah itu hanya sekedar topeng
untuk menyelimuti ide humanisme, pantheisme dan pragmatisme di dalam dirinya. Itulah
yang kita lihat di dalam buku The Purpose Driven Life karya Rick Warren.

Dari judul bukunya saja, kita sudah menemukan ide yang sudah saya jelaskan tadi, yaitu
istilah “Kristen” dijadikan topeng (dengan cara mengutip ribuan ayat Alkitab yang
kebanyakan di luar konteks asli) untuk menyelimuti esensi sebenarnya yaitu humanisme,
pantheisme, materalisme dan pragmatisme. Tentu, di dalam metode penafsiran Alkitab,
Warren menggunakan tafsiran-tafsiran Alkitab yang semau gue menurut seleranya pribadi
tanpa memperhatikan konteks, bahasa asli dan terjemahan-terjemahan Alkitab yang lebih
tepat. Itulah metode eisegese dalam penafsiran Alkitab yang salah, tetapi laris dalam
masyarakat “Kristen” (khususnya yang bertheologia Injili non-Reformed). Hal ini akan
banyak disinggung dan diuraikan secara tuntas pada bab kedua makalah ini. Kembali, apakah
hidup kita digerakkan tujuan ? Kalau benar demikian, sebenarnya ada tiga pertanyaan penting
yang perlu dipertanyakan. Pertama, siapa yang mengarahkan tujuan itu. Kedua, apakah
tujuan yang diarahkan itu ? dan ketiga, tujuan siapa yang dituju ? (atau untuk apa tujuan itu ?)
Jelas, di dalam buku The Purpose Driven Life, meskipun menggunakan nama “Tuhan”,
sebenarnya yang mengarahkan tujuan itu adalah diri manusia itu sendiri, tujuan itu adalah
berkenaan dengan cita-cita manusia yang hebat dan mulia (tanpa Allah) lalu tujuan itu
membawa kemuliaan bagi diri manusia sendiri (persis terbalik dari Roma 11:36 yang
mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia, bagi Dia lah
kemuliaan selama-lamanya). Inilah jiwa humanisme sekuler (atau sekularisme) tetapi yang
masih memperalat “Tuhan” agar kelihatan “rohani”. Inilah jiwa manusia berdosa.

1.3 Arti Hidup Sejati Menurut Alkitab

Lalu, apa kata Alkitab tentang hidup sejati ? Pada bagian awal Bab 1 ini, saya sudah
mengutip Kejadian 2:7, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu
tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu
menjadi makhluk yang hidup.” (Terjemahan Baru LAI) atau terjemahan Alkitab BIS
memberikan pengertian yang lebih jelas, “Kemudian TUHAN Allah mengambil sedikit
tanah, membentuknya menjadi seorang manusia, lalu menghembuskan napas yang
memberi hidup ke dalam lubang hidungnya; maka hiduplah manusia itu.” Kata “nafas
̂ ̂ yang berarti tiupan atau hembusan atau nafas
hidup” berasal dari bahasa Ibrani, neshamah
yang vital/sangat penting/berkenaan dengan hidup. Kata Ibrani ini juga dipakai di dalam
Amsal 20:27 untuk kata “Roh manusia” (Terjemahan Baru LAI) atau “hati nurani manusia”
(Alkitab BIS). Lalu kata “makhluk yang hidup” (TB-LAI) diterjemahkan a living soul oleh
King James Version (KJV) yang berarti jiwa/makhluk yang hidup. Kata “soul” dalam KJV
ini diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani nephesh yang artinya makhluk yang bernafas. Dari
Kejadian 2:7 inilah, kita mendapatkan satu prinsip hidup sejati dari Alkitab, yaitu hidup sejati
adalah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Sumber Hidup. Kalau Allah tidak
menghembuskan nafas hidup-Nya ke dalam hidung manusia, maka manusia tidak dapat
menjadi makhluk yang hidup. Nafas hidup-Nya itulah sumber hidup bagi hidup manusia yang
mengakibatkan manusia bisa bernafas dan itulah yang disebut makhluk yang hidup. Arti
hidup manusia yang sejati tidak didapat dari manusia itu sendiri yang sendiri merupakan
makhluk yang dicipta, tetapi dari Allah sebagai Sang Pencipta. Ketika kita ingin mengerti apa
arti hidup sejati belajarlah dan bertanyalah kepada Allah karena Ia yang menciptakan kita
pasti mengetahui apa arti hidup itu, dan jangan sekali-kali bertanya kepada para psikolog,
eksistensialis, dll yang sendirinya juga adalah sesama manusia. Sungguh suatu kebodohan
manusia dunia ini ketika mereka yang ingin mengerti arti hidup tidak langsung bertanya
kepada Sang Sumber Hidup, tetapi bertanya kepada sesama manusia yang sama-sama
berdosa dan terbatas. Itulah kegagalan psikologi dan eksistensialis yang tidak kembali kepada
Allah.

Tetapi tahukah kita bahwa hidup manusia yang pada awalnya telah diciptakan Allah begitu
mulia sehingga manusia langsung bercakap-cakap dengan Allah ternyata dirusak oleh
manusia sendiri dengan meragukan eksistensi Allah. Itulah dosa. Dosa bukan dimulai ketika
Hawa memetik buah pengetahuan yang baik dan jahat yang dilarang oleh Allah, tetapi dosa
dimulai ketika manusia mulai meragukan kebenaran Allah. Usaha meragukan kebenaran
Allah menjadi cikal bakal iblis terus mencobai manusia dan akhirnya manusia pertama jatuh
ke dalam dosa yang mengakibatkan manusia setelah Adam dan Hawa ikut mewarisi dosa asal
(original sin), di samping ada dosa aktual yang dilakukan oleh masing-masing pribadi
manusia. Ketika dosa masuk ke dalam manusia, hidup manusia mulai kehilangan arah.
Kehilangan arah ini ditandai dengan keinginan manusia terus melawan Allah dan ini mulai
nampak ketika Kain yang membenci dan menaruh dendam kepada adiknya, Habel karena
persembahan Kain tidak diterima oleh Tuhan, sedangkan persembahan adiknya diterima oleh
Tuhan. Lalu, dilanjutkan dengan kejadian-kejadian dan tindakan-tindakan manusia yang
membuat Tuhan menyesal, sampai-sampai Tuhan mengatakan, “Ketika dilihat TUHAN,
bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu
membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah
menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” (Kejadian 6:5-6) Tetapi
yang menarik, di dalam setiap kejahatan yang manusia lakukan, Tuhan tetap menyediakan
sekelompok sisa (remnant) yang masih setia kepada Tuhan. Dua ayat setelah Kejadian 6:6,
yaitu pada ayat 8, Alkitab mengatakan, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata
TUHAN.” Nuh bisa mendapatkan anugerah Tuhan, itu semata-mata karena kedaulatan-Nya
saja, bukan karena kehendak Nuh yang ingin mencari Tuhan. Allah yang berdaulat adalah Ia
yang berkehendak menyatakan anugerah-Nya kepada siapapun menurut kedaulatan-Nya,
bukan menurut perbuatan baik manusia tersebut. Itulah Reformed theology. Nuh yang
mendapatkan kasih karunia Tuhan di antara manusia-manusia berdosa di zamannya berusaha
mempertanggungjawabkan anugerah-Nya itu dengan hidup beres dan menaati Tuhan dan
firman-Nya. Lalu, akibat ketaatannya itu dari membangun bahtera sampai keluar dari bahtera
dan mendirikan mezbah bagi Tuhan, maka Tuhan berjanji di dalam Kejadian 8:21-22, “Aku
takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya
adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup
seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim
menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.” Bisa
saja, pada waktu itu, Nuh tidak menaati Tuhan, lalu berdalih dengan seribu macam alasan,
akibatnya Nuh itu mati bersama orang-orang sezamannya. Tetapi puji Tuhan, Nuh yang kita
kenal di dalam Alkitab adalah Nuh yang meresponi anugerah Allah dengan tepat dan taat
mutlak kepada-Nya. Di situlah, Nuh mendapatkan makna hidup sejati, yaitu ketika ia kembali
taat kepada-Nya. Banyak orang dunia hari-hari ini berpikir bahwa menjadi Kristen itu susah,
karena apa saja tidak boleh, lalu mereka berpikir bahwa kalau tidak menjadi Kristen itu lebih
enak. Itu adalah kesalahan besar. Saya bertanya, kalau kita hidup di zaman Nuh, apakah kita
ingin menjadi seperti Nuh atau orang-orang sezamannya ? Kalau orang-orang dunia pasti
memilih menjadi seperti orang-orang yang hidup di zaman Nuh yang mengejek Nuh ketika
Nuh membangun bahtera, mereka berpesta pora, mabuk-mabukan, dll. Lalu, mereka
menganggap diri hebat, bebas, dan itulah hidup yang mereka cari. Tetapi benarkah
demikian ? Setelah bencana air bah yang menyapu bersih orang-orang di zaman itu, kecuali
Nuh, maka mereka baru sadar bahwa hidup itu hanya sementara dan hidup yang tidak
kembali kepada Allah akan sia-sia adanya, tetapi Nuh meskipun dirinya dihina ketika
membangun bahtera pada waktu kemarau, tetapi ia mengerti hidup itu sesungguhnya karena
ia kembali taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah itulah kunci utama kita menemukan
hidup sejati. Tetapi kesalehan seperti Nuh itu sebentar saja terjadi di dalam sejarah,
selanjutnya orang-orang setelah Nuh banyak bermunculan dan mereka banyak yang jahat dan
memberontak terhadap Tuhan. Oleh karena itu, Allah yang Berdaulat memilih bangsa Israel
menjadi bangsa pilihan-Nya. Kepada mereka, Allah mewahyukan Taurat untuk memimpin
dan mengatur perilaku mereka agar berkenan kepada-Nya. Tetapi, bagaimana faktanya,
apakah mereka semua menuruti perintah Taurat ? TIDAK. Mereka memang menghafal
semua yang tertulis di dalam Taurat, tetapi itu hanya menguasai bidang rasio saja, dan tidak
benar-benar mengerti artinya. Itulah sebabnya, mereka semakin mengerti Taurat, bukan
semakin mengerti esensi Taurat, tetapi lebih menekankan fenomena upacara sesuai Taurat.
Bahkan ada yang melarang orang berjalan beberapa kilometer di hari Sabat, dll. Taurat yang
sebenarnya baik malahan dibuat tidak baik oleh para ahli Taurat yang menganggap diri ahli di
bidang Taurat (itulah namanya ahli Taurat, ahli di bidang Taurat, ahli pula untuk memelintir
hal-hal esensi di dalam Taurat). Mereka berpikir dengan hidup berbuat baik seperti yang
Taurat perintahkan, mereka akan menemukan arti hidup dan keselamatan sejati. Dari Surga,
Allah tidak tinggal diam, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk
mengembalikan fungsi hidup sebagaimana pada waktu Ia menciptakan manusia. Kristus
datang untuk menebus dosa manusia dan mengembalikan makna hidup sejati. Ketika Ia
berinkarnasi dan turun menjadi manusia tanpa meninggalkan natur Ilahinya, Ia mengajarkan
prinsip-prinsip penting tentang makna hidup. Mari kita menelusuri satu per satu di dalam
Injil.

Pertama, hidup itu berpusat kepada firman Allah. Hal ini tercantum di dalam Matius 4:4,
“Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar
dari mulut Allah.” (dikutip dari Ulangan 8:3) Hidup manusia bukan sekedar makan, minum,
bersenang-senang, tetapi hidup manusia itu berasal dari Allah, atau lebih tepatnya dari setiap
firman Allah. Di sini, Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa manusia itu hidup tidak
memerlukan roti sama sekali, tetapi Ia mengatakan bahwa manusia tidak hanya memerlukan
roti saja untuk hidup. Kata “hanya” atau “saja” dalam ayat ini berarti kita masih
membutuhkan roti atau makanan jasmani untuk menyambung hidup, tetapi poin penting atau
esensinya bukan terletak pada roti atau sesuatu yang jasmaniah, tetapi firman Allah itulah
yang esensi dan terpenting yang menjamin hidup kita menjadi bermakna. Dengan kata lain,
firman Allah itu menjadi Sumber Hidup kita yang paling hakiki. Firman Allah menjadi
penuntun, pemimpin dan pengoreksi hidup kita ketika kita ingin berbuat dosa. Firman Allah
menjadi batas dan penghakim bagi kita, sehingga kita tidak keluar dari jalan-Nya,
sebagaimana yang pemazmur katakan di dalam Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita
bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Lalu, di dalam pasal yang sama di ayat 1-10,
“Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat
TUHAN. Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang
mencari Dia dengan segenap hati, yang juga tidak melakukan kejahatan, tetapi yang
hidup menurut jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya. Engkau sendiri telah menyampaikan
titah-titah-Mu, supaya dipegang dengan sungguh-sungguh. Sekiranya hidupku tentu
untuk berpegang pada ketetapan-Mu! Maka aku tidak akan mendapat malu, apabila aku
mengamat-amati segala perintah-Mu. Aku akan bersyukur kepada-Mu dengan hati jujur,
apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang adil. Aku akan berpegang pada ketetapan-
ketetapan-Mu, janganlah tinggalkan aku sama sekali. Dengan apakah seorang muda
mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.
Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari
perintah-perintah-Mu.” Firman-Nya itu sangat berarti bagi hidup pemazmur. Hal ini sangat
berbeda total dengan banyak paradigma hidup yang dianut oleh banyak orang yang mengaku
diri “Kristen” apalagi “melayani Tuhan” lalu alergi mendengar kata “Tuhan” disebutkan di
luar gereja. Kalau di dalam Mazmur 119:9, pemazmur mengatakan bahwa orang muda dapat
mempertahankan kelakuan yang bersih ketika firman-Nya menjaga hidup mereka, tetapi
dunia kita mengajarnya secara bertolak belakang, yaitu ketika psikologi mengajar mereka
tentang makna “hidup”, maka tidak heran, banyak orang muda yang belajar psikologi (tanpa
belajar firman-Nya) berakhir tragis, misalnya bunuh diri, stress, dll. Ketika manusia mencoba
menemukan makna hidup di luar firman-Nya, manusia tidak pernah menemukannya, karena
hidup sejati pasti berpusat kepada Allah dan firman-Nya sebagai Sumber Hidup.

Kedua, hidup yang tidak kuatir. Di dalam Matius 6:25, Tuhan Yesus mengajarkan, “Karena
itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu
makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak
kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih
penting dari pada pakaian?” Hidup manusia sudah ada di tangan-Nya, karena Ia lah yang
mengaturnya, tetapi seringkali di dalam hidup, manusia seringkali kuatir akan makanan,
minuman, pakaian, dll, mengapa ? Karena mereka diajar bukan kembali kepada Allah, tetapi
kembali kepada dirinya sendiri sebagai pusat hidup. Ketika Allah menjadi pusat hidup
manusia, maka manusia tidak perlu menguatirkan hidupnya. Perhatikan kalimat terakhir di
dalam ayat 25 bahwa hidup itu lebih penting daripada makanan. Mengapa demikian ? Karena
kalau kita kekurangan makanan, kita bisa mencarinya kembali, tetapi kalau kita kekurangan
makna hidup, bisakah kita mencarinya di dalam dunia ini tanpa kembali kepada Allah ?!
TIDAK. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus berkata bahwa kita tidak perlu kuatir. Lalu,
apa solusi yang Tuhan Yesus berikan agar manusia tidak perlu lagi menguatirkan hidupnya ?
Di dalam ayat 31-33, Ia mengajarkan, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata:
Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan
kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi
Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah
dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan
kepadamu.” Anak-anak Tuhan tidak perlu kuatir, karena kalau mereka kuatir, mereka sama
halnya dengan bangsa-bangsa (manusia) yang tidak mengenal Allah. Orang yang hidupnya
terus kuatir sebenarnya meragukan kedaulatan dan pemeliharaan Allah di dalam hidupnya.
Tetapi tidak berarti dengan menggunakan kalimat ini, lalu kita berkata bahwa kita tidak perlu
bekerja, karena semuanya diberikan Tuhan. Itu anggapan yang konyol. Kita tidak perlu kuatir
di dalam hidup karena kita percaya bahwa Tuhan itu memelihara hidup anak-anak-Nya
dengan berkecukupan, meskipun demikian Tuhan tetap menuntut kita untuk terus bekerja
(lihat ayat 34 yang sering dilupakan, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok,
karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk
sehari.”) Kalau kita tidak perlu kuatir, tidak berarti kita tidak memiliki kesusahan apapun,
tetapi Kristus berkata bahwa kesusahan itu masih tetap ada, tetapi biarkanlah kesusahan itu
cukup untuk sehari jangan ditambahi dengan kekuatiran yang tidak perlu. Tuhan sangat
mengerti benar apa yang diperlukan manusia, sehingga Kristus memerintahkan kita untuk
pertama-tama mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, baru setelah itu Ia akan
menambahkan berkat-Nya. Jangan menggunakan ayat ini lalu mengajarkan bahwa percaya
kepada Tuhan Yesus pasti kaya, diberkati, hidup lancar, dll. Itu bidat/sesat. Ayat 33, kata
“akan ditambahkan kepadamu” itu adalah bonus atau akibat setelah kita mempercayakan diri
kepada-Nya dengan mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (mengutamakan-Nya sebagai
Tuhan dan Raja dalam hidup kita). Jangan sembarangan menafsirkan Alkitab.

Ketiga, hidup manusia sejati adalah hidup seperti anak kecil (rendah hati). Matius 18:1-6
mengajarkan prinsip ini, “Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan
bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?" Maka Yesus memanggil
seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: "Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil
ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa
merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan
Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia
menyambut Aku." "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini
yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada
lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Di sini, Tuhan Yesus menggabungkan
konsep “bertobat” dengan menjadi seperti anak kecil. Apa artinya ? Pada waktu itu, para
murid sedang berebut kekuasaan ingin menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Surga,
sehingga Kristus harus menegur mereka dan mengatakan bahwa seorang yang masuk Surga
adalah seorang yang bertobat, artinya tidak lagi mementingkan hal-hal duniawi yang
merupakan citra manusia lama dan segera memperbaharui hidup dengan mementingkan apa
yang Tuhan inginkan. Kedua, setelah bertobat, mereka harus menjadi seperti anak kecil yang
memiliki kerendahan hati. Anak kecil meskipun seringkali dihina oleh masyarakat sebagai
manusia yang kurang pengalaman, tetapi dipakai oleh Kristus untuk menghina mereka yang
katanya sudah berpengalaman, berpendidikan, dll, tetapi sombong dan tidak rendah hati lagi.
Yang masuk ke dalam Kerajaan Surga bukan konglomerat, presiden, pembesar negara,
pendeta, dll, tetapi mereka yang hidup seperti anak kecil (childlike) yang memiliki
kerendahan hati (bedakan dengan childish, yaitu sifat kekanak-kanakan, sifat ini tidak disukai
oleh Tuhan). Hidup seperti anak kecil (childlike) adalah hidup yang mulia. Ketika kita belajar
hidup menjadi seperti anak kecil, maka kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Orang-
orang yang suka menyombongkan diri sebagai “penghuni surga” lalu “bersaksi” bahwa
dirinya berkali-kali naik turun “surga”, berhati-hatilah, kalau ia tidak bertobat, mungkin ia
nanti pasti menjadi penghuni neraka. Tidak berarti karena kita telah berbuat baik, maka kita
masuk Surga. Tolong baik-baik mengerti ayat ini. Kita bisa rendah hati, itu semua karena
Roh Kudus yang menggerakkan kita untuk berbuat baik dan rendah hati. Jadi, kembali,
anugerah Allah yang mendahului semua respon manusia, baru setelah anugerah ini
dinyatakan, Allah pula lah yang mengaktifkan kehendak manusia untuk berbuat baik bagi
kemuliaan-Nya.

Keempat, hidup manusia sejati adalah hidup kudus. Kekudusan hidup diajarkan oleh Tuhan
Yesus di dalam Matius 18:8-9 yang berkaitan dengan penyesatan, “Jika tanganmu atau
kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu
masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua
tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu
menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke
dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan
bermata dua.” Hidup sejati adalah hidup yang kudus. Bagi Tuhan Yesus, percuma saja
“masuk ke dalam hidup” (TB-LAI) atau “hidup dengan Allah” (BIS) dengan kedua
tangan/kaki yang utuh tetapi salah satu berbuat dosa, lebih baik hidup dengan Allah dengan
sebelah tangan/kaki. Ayat ini jangan ditafsirkan dengan sembarangan. Saya sempat membaca
ada seorang pria Katolik di Filipina setelah membaca ayat ini lalu memotong kaki dan
tangannya. Ini namanya penafsiran Alkitab terlalu harafiah. Itu salah.

Kelima, hidup yang rela membayar harga demi Kristus. Di dalam Matius 19:29, Tuhan Yesus
mengajarkan, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya,
saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau
ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang
kekal.” Orang-orang dunia pasti kesulitan membaca ayat ini, karena mereka pasti berpikir
bahwa kalau kita kehilangan sesuatu, pasti kita tidak bisa hidup. Tetapi tidak demikian,
Tuhan kita Yesus Kristus mengajarkan hal yang paradoks yang bertentangan dengan pola
pikir kita. Kristus mengatakan bahwa justru ketika berani membayar harga demi nama
Kristus, maka di saat itulah kita nantinya akan mendapatkan kemuliaan kekal dan hidup sejati
(kata “hidup sejati” ditambahkan di dalam Alkitab BIS. Roma 8:18-21 sungguh menguatkan
kita ketika kita di dalam bahaya penderitaan karena nama Kristus, “Sebab aku yakin, bahwa
penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan
dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat
anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-
siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah
menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan
dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan
anak-anak Allah.” Inilah pengharapan anak-anak Tuhan di mana mereka akan menerima
mahkota kemuliaan setelah mereka menderita aniaya. Itulah paradoks. Hidup sejati adalah
hidup yang rela menyangkal diri sendiri dan hidup 100% bagi Kristus. Ini tidak berarti kita
harus menjadi pendeta lalu meninggalkan profesi kita. Tidak ! Hidup yang 100% bagi Kristus
adalah hidup yang men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidupnya, mungkin hidup itu terasa sulit,
kita akan diejek sok suci, sok religius, dll, tetapi kita harus setia untuk tetap men-Tuhan-kan
Kristus, karena di dalam Dialah ada hidup sejati (Yohanes 1:4 ; 14:6).

Keenam, hidup sejati adalah hidup yang beriman. Di dalam Yohanes 3:15-16, Tuhan Yesus
bersabda, “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-
Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal.” (Alkitab BIS mengartikannya, “supaya semua orang yang
percaya kepada-Nya mendapat hidup sejati dan kekal. Karena Allah begitu mengasihi
manusia di dunia ini, sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan mendapat hidup sejati dan
kekal.”) Sungguh menarik, kedua ayat ini. Seringkali kita mengaitkan kedua ayat ini hanya
untuk mengungkapkan kasih Allah yang begitu besar kepada kita. Itu tidak salah. Tetapi ayat
ini juga bisa mengajarkan tentang makna hidup yang sejati hanya ada ketika kita beriman di
dalam Kristus yang berinkarnasi menebus dan menyelamatkan manusia yang berdosa. Di
dalam iman itulah kita bisa menemukan hidup. Sebagaimana Roma 1:17b mengatakan,
“Orang benar akan hidup oleh iman.” (TB-LAI) atau “Orang yang percaya kepada Allah
sehingga hubungannya dengan Allah menjadi baik kembali, orang itu akan hidup!” (BIS)
Orang dunia seringkali membalik konsep ini dan mengatakan bahwa orang hidup itu harus
beriman, tetapi Alkitab dengan konsepnya yang pasti dapat dipercaya mengatakan bahwa
justru ketika beriman di dalam Kristus, manusia pilihan-Nya bisa hidup. Mengapa demikian ?
Karena hidup sejati adalah hidup yang terlebih dahulu beriman di dalam-Nya dengan
menyerahkan seluruh keberadaan hidup kita kepada-Nya dan menjadikan-Nya sebagai Tuhan
dan Raja di dalam hidup kita. Ketika kita percaya kepada sesuatu, di situ kita berani
menyerahkan apapun kepada yang kita percayai. Demikian juga kita percaya di dalam-Nya,
maka kita juga rela menyerahkan apapun yang ada pada diri kita untuk dikuasai oleh-Nya,
karena kita percaya bahwa Allah itu adalah Allah yang Mutlak dan pasti dapat dipercayai.

Terakhir, hidup sejati adalah hidup yang berpengharapan dan menuju kepada kekekalan. Hal
ini diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Yohanes 10:27-28, “Domba-domba-Ku
mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku
memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai
selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.”, Yohanes
11:25,26, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup
walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak
akan mati selama-lamanya.” dan Yohanes 12:25, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia
akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia
akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” Di dalam Yohanes 12:25, Alkitab BIS
mengartikan dengan lebih jelas, “Orang yang mencintai hidupnya akan kehilangan
hidupnya. Tetapi orang yang membenci hidupnya di dunia ini, akan memeliharanya
untuk hidup sejati dan kekal.” Apakah dengan ayat ini, kita harus bersama-sama membunuh
tubuh jasmani kita supaya kita bisa hidup kekal ? Lalu, apakah kita tidak boleh mencintai diri
kita ? TIDAK. Kata “mencintai nyawanya” itu dari bahasa aslinya dapat diartikan
mengasihani diri atau menganggap diri berguna, hebat, dll, sehingga ketika kita berlaku
demikian, maka justru yang terjadi bukan kita semakin hidup, tetapi malahan kita semakin
kehilangan nyawa atau makna hidup sejati kita. Sebaliknya, ketika kita membenci (tidak
mencintai) nyawa kita (atau dapat diterjemahkan menyangkal diri kita—bandingkan Matius
16:24), maka yang didapat bukan kehilangan nyawa tetapi kita akan menerima dan
menemukan makna hidup sejati dan kekal. Ini namanya paradoks. Dunia kita tidak akan
mengerti konsep ini sampai suatu saat Roh Kudus mencerahkan pikirannya. Puji Tuhan, kita
adalah salah satu dari antara mereka yang boleh mendapatkan anugerah Tuhan. Inilah
indahnya menjadi orang Kristen dapat mengerti paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang
terus menuju kepada pengharapan akan kekekalan. Akibatnya, di dalam hidup ini, kita tidak
perlu dipusingkan dengan hal-hal yang tidak penting, misalnya kekayaan duniawi, kedudukan
yang dihormati, dll, itu semua sampah, sama seperti yang diungkapkan Paulus bahwa
pengenalannya akan Kristus membuat dia rela menganggap sampah pada semua yang ia
anggap kebanggaan pada masa dulunya. Beranikah kita seperti Paulus menganggap sampah
semua kemegahan dan kehebatan dunia yang berdosa ini lalu kembali hidup yang berfokus
kepada pengharapan akan kekekalan ? Renungkanlah.

Setelah kita merenungkan ketujuh poin makna hidup menurut ajaran Tuhan Yesus, sudahkah
kita berani menentukan fokus hidup sejati yaitu kepada dan di dalam Kristus itu sendiri ?
Biarlah kita mulai mengambil keputusan untuk segera men-Tuhan-kan Kristus di dalam
hidup kita dan menentukan tujuan hidup kita berpijak dari firman Allah, bergantung kepada
pimpinan Roh Kudus dan murni untuk memuliakan-Nya selama-lamanya. Soli Deo Gloria.
Amin.

Bab 2

Bagaimana Menafsirkan Alkitab Dengan Bertanggungjawab ?

D unia postmodern adalah dunia yang sarat dengan semangat relativisme yang
“memutlakkan” kerelatifan, sehingga apapun yang manusia lakukan itu cenderung tidak
diikat oleh apapun, atau bebas sebebas-bebasnya. Bahkan, salah satu bidang, misalnya
penafsiran (hermeneutika) pun dipakai untuk melampiaskan kesewenang-wenangan manusia
abad postmodern ini. Tidak heran, lalu muncul berbagai penafsiran yang tidak sesuai dengan
hakekat penafsiran yang sejati, karena manusia ingin menginterpretasikan segala sesuatu
menurut keinginan berdosanya. Ini ternyata tidak hanya terjadi di dunia saja, tetapi juga
masuk dan merambah ke dalam dunia keKristenan. Prinsip hermeneutika menjadi masalah
yang cukup pelik, tetapi herannya hal ini tidak begitu dirasa oleh banyak orang yang
mengaku diri “Kristen”, mengapa ? Karena mereka sebenarnya tidak begitu peduli dengan
hal-hal teori, melainkan lebih mementingkan hal-hal yang praktis. Tidak heran, di abad
postmodern yang sarat dengan relativisme ini, banyak orang yang mengaku diri “Kristen”
berkata, “Percuma teori saja, yang penting prakteknya.” Di satu sisi, perkataan ini memang
menegur kita yang terlalu rasional dalam bertheologia, tetapi di sisi lain, perkataan ini
memiliki satu motivasi yang terselubung, yaitu MALAS BELAJAR THEOLOGIA/TEORI.
Inilah kecenderungan banyak orang Kristen yang mengaku diri memiliki “spiritualitas”,
tetapi sebenarnya spiritisme (kedua hal ini dibedakan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, kalau
spiritualitas sejati berkait dengan kerohanian yang dari Allah sejati, sedangkan spiritisme
adalah “kerohanian” yang berasal dari setan).

Pada Bab 2 ini, saya akan memberikan sedikit teori mengenai bagaimana menafsirkan
Alkitab dengan bertanggungjawab. Mungkin sekali seolah-olah bab 2 ini tidak ada sangkut
pautnya dengan Bab 1, tetapi menurut saya, Bab 2 ini harus ada, mengingat buku The
Purpose Driven Life adalah seperti sebuah renungan 40 hari yang tentu mengutip banyak ayat
Alkitab, tetapi sayangnya banyak ayat Alkitab yang dikutip di luar konteks yang ada (tidak
memenuhi hakikat penafsiran Alkitab yang beres). Pertama-tama, kita akan melihat alasan
perlunya penafsiran Alkitab. Kemudian, presuposisi apa yang harus ada sebelum menafsirkan
Alkitab. Lalu, kita akan melihat kondisi penafsiran Alkitab yang sekarang beredar di
kalangan keKristenan, dan terakhir kita akan mencoba mempelajari bagaimana kaidah-kaidah
penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab.

2.1 Mengapa Perlu Ada Penafsiran Alkitab ?

Pertanyaan paling utama, di dalam bagian ini adalah mengapa Alkitab perlu ditafsirkan ?
Kalau kita mau bersikap jujur terhadap diri sendiri, maka setiap hari kita mau tidak mau
menafsirkan sesuatu, baik itu buku, perkataan seseorang, dll. Di dalam jurusan Sastra Inggris,
saya mempelajari pelajaran Discourse Analysis, sebuah analisa wacana, baik dalam bentuk
perkataan, bacaan, dll. Di dalam percakapan sekalipun, kita sering mengalami
miscommunication, diakibatkan kekurangmengertian kita di dalam menanggapi perkataan
orang lain. Kekurangmengertian kita itu pasti akibat dari tafsiran kita akan perkataan orang
lain. Di dalam pelajaran tersebut, saya belajar tentang Speech Act yang dibagi menjadi tiga
hal, pertama, Locutionary Act, kedua, Illocutionary Act dan ketiga Perlocutionary Act. Lalu,
juga ada istilah Illocutionary Force yang berarti maksud orang yang berbicara agar orang lain
dapat mengerti dan meresponi apa yang dikatakan oleh si pembicara dengan tepat. Misalnya,
Ani berkata kepada Budi, “Saya lapar.” Ini dikategorikan sebagai Illocutionary Act yang
berarti bahwa perkataan Ani tidak sedang memberikan informasi kepada Budi bahwa Ani
lapar, tetapi ada maksud Ani dalam mengatakan hal tersebut, yaitu supaya Budi membelikan
dia makanan atau menyiapkan makanan bagi Ani. Maksud Ani inilah yang disebut
Illocutionary Force. Kalau di dalam kehidupan sehari-hari, kita menafsirkan sesuatu dan bisa
terjadi miscommunication, maka Alkitab pun mau tidak mau tidak lepas dari penafsiran
ketika kita membacanya. Lalu, apakah tafsiran kita terhadap Alkitab itu bisa salah ? Tentu
bisa, seperti yang saya kemukakan di dalam pelajaran Discourse Analysis tadi khususnya
contoh Ani dan Budi di atas, di mana Budi bisa saja salah menafsirkan perkataan Ani lalu
hanya mengangguk-angguk saja tanpa meresponi perkataan Ani dengan tepat. Kemudian,
bagaimana supaya tidak terjadi miscommunication ? Hanya satu, yaitu bertanya langsung
kepada yang berbicara (dalam hal ini, Ani) agar pendengar (dalam hal ini, Budi) dapat
mengerti yang diucapkan oleh yang berbicara. Demikian pula, supaya tidak terjadi
misinterpretation terhadap Alkitab, kita perlu memahami kaidah-kaidah tafsiran Alkitab.

Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan langsung dari Allah melalui sarana para nabi
dan rasul-Nya. KeKristenan khususnya theologia Reformed mempercayai ketidakbersalahan
Alkitab baik dari segi sejarah maupun pesan (inerrancy and infallibility of the Bible) di dalam
naskah asli/autographanya. Mengapa harus naskah aslinya tidak bersalah ? Karena naskah
asli itu yang asli langsung diwahyukan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya. Lalu, apakah
berarti terjemahan-terjemahan yang kita pakai sekarang mengandung kesalahan dan tidak
dapat dipercaya seperti naskah aslinya ? Kita percaya bahwa naskah asli Alkitab sudah tidak
ada, mengapa ? Itu adalah kedaulatan Allah yang mengizinkan segala sesuatu terjadi. Tetapi
kalau mau ditafsirkan, naskah asli Alkitab sudah tidak ada, mungkin ada kedaulatan Allah
sengaja membiarkannya dengan maksud agar orang Kristen tidak memberhalakan naskah asli
tersebut, karena manusia cenderung mengeramatkan hal-hal yang dianggap “suci” (misalnya,
kain kafan Tuhan Yesus dikeramatkan, lalu tempat Tuhan Yesus dilahirkan di Betleham
dikeramatkan dan dibangun gereja, dll), padahal itu tidak sesuai dengan Alkitab.
Memberhalakan sesuatu atau menganggap sesuatu yang “suci” sekalipun sebagai “ilah” itu
melanggar Titah Pertama di dalam Dasa Titah (10 Perintah Allah) yang mengatakan,
“Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja.” (Keluaran 20:3 ; Bahasa
Indonesia Sehari-hari) Kembali, karena naskah asli kita sudah tidak ada dan yang ada pada
kita sekarang hanyalah naskah-naskah terjemahan Alkitab, maka kita perlu mengerti satu
prinsip yaitu ketika Alkitab diterjemahkan dari bahasa Ibrani (PL) dan Yunani (PB) ke dalam
bahasa-bahasa lokal, maka pasti ada suatu gap bahasa, kebudayaan, dll.

Pertama, adanya gap bahasa. Misalnya, di dalam bahasa Yunani, kata “kebenaran” diartikan
aletheia (=Truth) dan dikaiosunē (=Righteousness), sedangkan di dalam bahasa Indonesia,
kata dikaiosunē (dalam Perjanjian Baru) mayoritas diterjemahan kebenaran, 9 ayat
diterjemahkan sebagai keadilan (Kisah Para Rasul 17:31 ; Roma 3:25,26 ; Efesus 5:9 ; 1
Timotius 6:11 ; 2 Timotius 2:22 ; Ibrani 1:9 ; 2 Petrus 1:1 dan Wahyu 19:11) dan 1 ayat
diterjemahkan sebagai kebaikan/yang baik (Titus 3:5). Sedangkan kata aletheia terdapat di
dalam 97 ayat Alkitab Perjanjian Baru, hanya 8 ayat Alkitab di dalam PB yang tidak
diterjemahkan sebagai kebenaran, di antaranya : 4 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai
jujur (Matius 22:16 ; Markus 12:14 ; Roma 2:2 ; Filipi 1:18), 3 ayat di dalam PB
diterjemahkan sebagai sungguh/sesungguhnya (Lukas 22:59 ; Kisah 4:27 ; 10:34) dan 1 ayat
di dalam PB diterjemahkan sebagai tulus (Markus 5:33). Kata “kebenaran” di dalam bahasa
Indonesia bisa memiliki begitu banyak arti di dalam bahasa Yunani, demikian pula kata
“kasih” yang dalam bahasa Yunani memiliki 4 kata yang berbeda, yaitu Agape, Philia,
Storge dan Eros. Kalau kita tidak menyelidiki Alkitab sampai ke bahasa aslinya, kita akan
kehilangan begitu banyak berkat Firman Tuhan yang dilimpahkan-Nya kepada kita. Banyak
orang Kristen mengira bahwa studi Alkitab sampai ke bahasa asli atau menggunakan
terjemahan bahasa lain (misalnya, Inggris, Mandarin, dll) adalah terlalu akademis. Anggapan
ini adalah anggapan yang sama sekali tidak bertanggungjawab.

Kedua, adanya gap budaya. Ketika di dalam Roma 16:16, Paulus berkata, “Bersalam-
salamlah kamu dengan cium kudus. Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.”,
maka beberapa kelompok sekte sesat di dalam “keKristenan”, yaitu children of “God”
menafsirkan ayat ini lalu diterapkan ke dalam anggota jemaat gereja. Mengapa Paulus
memerintahkan jemaat Roma untuk saling berciuman kudus ? Apakah ini budaya free-sex ala
Alkitab ? TIDAK ! Kata holy kiss diterjemahkan secara harafiah sebagai cium kudus, tetapi
̄ yang akar katanya dari phileō yang merupakan
kata kiss di sini dari bahasa Yunani philema
kasih persaudaraan. Jadi, cium kudus ini berarti cium sebagai tanda persaudaraan, bukan
berdasarkan kasih birahi atau eros. Lalu, ketika Paulus berkata kepada Timotius di dalam 1
Timotius 5:23, “Janganlah lagi minum air saja, melainkan tambahkanlah anggur sedikit,
berhubung pencernaanmu terganggu dan tubuhmu sering lemah.”, apakah itu berarti
bahwa anggur diperintahkan Paulus untuk diminum terus-menerus oleh Timotius dan kita
juga? TIDAK ! Pada waktu itu, anggur dianggap sebagai obat. Begitu pula halnya dengan
kata “minyak” di dalam Yakobus 5:14, “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit,
baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta
mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.” yang jangan sembarangan ditafsirkan
bahwa itu adalah minyak urapan seperti yang digembar-gemborkan oleh Pariadji/Tiberias.
Kata “minyak” di sini dalam bahasa Yunaninya elaion berarti olive oil atau minyak zaitun
dan minyak ini adalah sebagai obat. Itu adalah budaya setempat, jangan dipaksakan ke dalam
budaya lain, termasuk Indonesia, lalu mengoleskan sembarangan minyak, yang penting
minyak menurut Alkitab, itu salah. Kemudian, kata “Kerajaan Allah” di dalam Injil Matius
hanya digunakan sebanyak 6x, sedangkan kata “Kerajaan Surga” dipakai sebanyak 34x di
dalam Injil Matius (menurut Alkitab terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia/LAI),
mengapa ? Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman
mengungkapkan, “Alasannya, orang-orang Yahudi yang berusaha untuk menghindari nama
Allah, telah memakai kata sorga sebagai ganti nama Allah ; …” (Hoekema, 2004, p 57).
Kalau kita tidak mengerti perbedaan kedua kata ini, kita tidak akan mengerti keseluruhan
berita utama di dalam Injil Matius yang menekankan Kristus adalah Raja dan IA merekrut
kita sebagai umat pilihan-Nya untuk menjadi anggota warga Kerajaan Surga yang melayani-
Nya. Contoh lain, di dalam 1 Korintus 14:34, “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-
orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan
Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan
diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.” Seorang teman “Kristen” saya
menafsirkan ayat ini dan tanpa pikir panjang langsung berkomentar bahwa Paulus itu
melakukan diskriminasi. Inilah akibat tidak mempelajari gap budaya di dalam Alkitab.
Perempuan tidak boleh berbicara di dalam surat Korintus ini dikarenakan di dalam kota
Korintus, perempuan diidentikkan dengan pelacur, karena banyak perempuan bekerja sebagai
pelacur. Oleh karena itu, Paulus melarang perempuan berbicara.

Ketiga, adanya gap latar belakang. Semua kitab di dalam Alkitab ketika ditulis pasti memiliki
latar belakang tertentu. Kalau kita tidak memahami dengan jelas, latar belakang setiap kitab,
maka kita akan kehilangan makna aslinya yang akhirnya itu juga tidak membawa berkat bagi
kita sebagai pembaca di masa sekarang. Seringkali banyak orang Kristen menganggap kitab-
kitab di dalam Alkitab ditulis untuk kita di masa sekarang, lalu mereka mengabaikan konteks
dan latar belakang yang ada. Oleh karena itu, Alkitab perlu ditafsirkan karena adanya gap
latar belakang antara penulis kitab di dalam Alkitab dengan kita sebagai pembaca di masa
sekarang. Misalnya, ketika Paulus di dalam Roma 10:13, “Sebab, barangsiapa yang berseru
kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Banyak hamba Tuhan Injili memakai ayat ini
ketika memberitakan Injil dan menyuruh orang yang diinjili untuk berseru kepada nama
Tuhan saja, nanti orang tersebut akan diselamatkan. Ini akibat dari mengabaikan latar
belakang di dalam kitab Roma. Kecenderungan banyak hamba Tuhan yang dipengaruhi oleh
Arminianisme/mayoritas theologia Injili adalah mengabaikan latar belakang yang ada dan
langsung menyampaikan relevansi Alkitab terhadap kehidupan masa sekarang. Ini kesalahan
di dalam penafsiran Alkitab. Kembali, Kitab Roma ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat
di Roma yang sedang mengalami penganiayaan oleh Romawi yang pada waktu itu melarang
orang Kristen menyembah Allah selain Kaisar Romawi, jika melanggar, akan dihukum mati.
Oleh karena itu, Paulus menyerukan kepada jemaat di Roma bahwa barangsiapa yang berseru
kepada Tuhan, tentu dengan resiko mati, akan diselamatkan. Nah, kalau ayat ini dilepaskan
dari konteksnya, akan berakibat fatal, lalu Injil yang diberitakan adalah “injil” murahan,
seperti yang banyak diberitakan di dalam banyak gereja kontemporer yang pop di mana
banyak “injil” palsu yang diberitakan, misalnya, yang miskin setelah percaya kepada
“Kristus” pasti kaya, dll.

2.2 Prinsip-prinsip Dasar (Umum) Dalam Penafsiran Alkitab

Penafsiran Alkitab atau lebih dikenal dengan hermeneutika Alkitab bukanlah salah satu
bidang di dalam theologia sistematika yang diajarkan di sekolah theologia yang berdiri
sendiri, tetapi hermeneutika ini pasti berkaitan dengan semua theologia sistematika lainnya,
misalnya Doktrin Allah, Doktrin Alkitab, Doktrin Kristus, dll dan tentu dipengaruhi juga oleh
berbagai hal dalam diri manusia sebagai si penafsir Alkitab. Oleh karena itu, marilah kita
menyelidiki prinsip-prinsip dasar apa saja yang perlu diperhatikan di dalam menafsirkan
Alkitab.

1. Dipengaruhi oleh presuposisi dan iman

Presuposisi atau praanggapan adalah suatu pola pikir manusia sebelum dia memiliki
anggapan tertentu. Misalnya, sebelum dia menyatakan bahwa X adalah seorang pencuri,
mungkin sekali dia sudah memiliki presuposisi yang mengakibatkan dia berhati-hati dalam
memperhatikan si X. Jadi, presuposisi seseorang menentukan tindakan selanjutnya dari orang
tersebut. Begitu pula, di dalam menafsirkan Alkitab, pengaruh presuposisi ini tidak bisa
dilepaskan, karena presuposisi ini nantinya pasti mengakibatkan si penafsir Alkitab dapat
menafsir Alkitab dengan baik atau malahan buruk dan menyesatkan. Di dalam istilah atau
konsep presuposisi ini, unsur iman termasuk di dalamnya. Konsep iman yang dari titik awal
sudah tidak beres, maka seluruh penafsiran Alkitab yang dihasilkannya pun tidak beres,
meskipun mengutip ribuan ayat Alkitab. Perhatikan, kutipan ribuan ayat Alkitab tidak
menjamin seorang pengkhotbah atau hamba Tuhan benar-benar mengerti presuposisi dasar
Alkitab sesungguhnya, mungkin sekali si pengkhotbah ini kurang persiapan di dalam
berkhotbah lalu mengutip banyak ayat Alkitab di luar konteks aslinya. Kembali, mengapa
iman menjadi kriteria pertama dalam mempengaruhi penafsiran Alkitab ? Karena iman itu
adalah anugerah Allah kepada umat pilihan-Nya. Iman sejati pasti menentukan penafsiran
Alkitab yang beres. Tetapi masalahnya, iman itu sendiri kadang kala disalahmengerti sebagai
tindakan manusia, sehingga dari konsep iman yang salah pasti mengakibatkan konsep
penafsiran Alkitab yang salah (metode eisegese yang berarti mencocok-cocokkan ide
manusia dengan dukungan ayat Alkitab). Mari kita selidiki dengan teliti kaitan antara doktrin
Kristen di dalam theologia sistematika dengan konsep penafsiran Alkitab.

Pertama, doktrin Alkitab. Penafsiran Alkitab tentu tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan
akan doktrin Alkitab si penafsir Alkitab. Misalnya, seorang yang mempercayai
ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah asli/autographanya (ini prinsip yang benar,
theologia Reformed), maka si penafsir Alkitab akan memandang Alkitab sebagai satu-
kesatuan yang menyeluruh, sehingga bagian Alkitab yang tidak seberapa jelas di dalam kitab
tertentu akan dijelaskan di dalam bagian kitab lainnya sehingga membentuk totalitas Alkitab
yang dapat dipercaya keotentikannya. Sebaliknya, jika di dalam diri si penafsir Alkitab,
timbul suatu keraguan akan ketidakbersalahan Alkitab, lalu mempercayai bahwa Alkitab itu
sepenuhnya karya manusia dan tidak diinspirasikan Allah (pandangan “theologia” liberal),
maka sudah tentu si penafsir Alkitab ini akan menganggap semua data di Alkitab khususnya
berkaitan dengan kelahiran Anak Dara Maria, hal-hal supranatural yang diberitakan oleh
Alkitab, dll adalah karangan manusia belaka. Misalnya, ketika di dalam Alkitab diceritakan
bahwa Musa membelah Laut Teberau, dan lautnya kering, maka para penafsir Alkitab yang
liberal akan mengartikannya dengan menggunakan rumus-rumus fisika yang pada akhirnya
menolak terjadinya hal supranatural tersebut. Lain pula halnya, ketika si penafsir Alkitab
memiliki kepercayaan bahwa Alkitab itu bukan firman Allah, tetapi berisi firman Allah
(pandangan theologia Neo-Orthodoks dari Karl Barth dan Emil Brunner) yang mengajarkan
bahwa Alkitab hanya salah satu kunci manusia memahami firman Allah, yang penting adalah
pengalaman pribadi dalam mendengar suara Allah. Pandangan ini akan mengakibatkan si
penafsir Alkitab menganggap Alkitab itu hanya salah satu firman Allah dan yang penting
baginya adalah pengalaman pribadi mendengar suara Allah. Tidaklah heran, banyak gereja
kontemporer yang pop saat ini dipengaruhi oleh theologia Neo-Orthodoks yang muncul
setelah Perang Dunia I, lalu menganggap bahwa Alkitab itu tidak perlu ditafsirkan dengan
metode yang sulit-sulit, karena Alkitab itu bukan buku akademis, sehingga marilah masing-
masing orang dengan pengalaman pribadinya menafsirkan Alkitab. Meskipun pernyataan ini
tidak berani diungkapkan oleh mereka, tetapi secara implisit mereka mengakui dengan bulat
di samping mengakui ketidakbersalahan Alkitab secara akademis dan perkataan. Seorang
apologet Reformed ternama, Dr. Cornelius Van Til di dalam bukunya The Defense of the
Faith mengatakan bahwa banyak theolog Injili mempercayai Alkitab itu firman Allah, tetapi
sayangnya mereka tidak benar-benar mempercayainya, lalu mulai membuktikan keberadaan
Allah bukan dari Alkitab, tetapi dari bukti-bukti ilmiah dan rasio manusia. Lalu, tidak heran
ketika Mazmur 1:3 bisa ditafsirkan seenaknya lalu mengajarkan bahwa orang yang percaya
kepada Tuhan pasti berhasil. Ini adalah akibat dari kepercayaan Neo-Orthodoks yang
dimodernkan oleh banyak gereja kontemporer yang pop yang tidak memperhatikan kaidah
penafsiran Alkitab.

Kedua, doktrin Allah. Setelah penafsiran Alkitab berkaitan dengan doktrin Alkitab, maka
hermeneutika pun berkaitan juga dengan doktrin Allah. Theologia Reformed yang
dipengaruhi oleh John Calvin menekankan akan kedaulatan Allah (the Sovereignty of God),
Allah yang berada di dalam diri-Nya sendiri, Allah yang tidak bergantung pada apa dan
siapapun, Allah yang tidak berubah, dll. Iman Reformed sangat menentukan sekali terhadap
metode penafsiran Alkitab yang lebih mendekati Alkitab (metode eksegese). Kedaulatan
Allah yang dipercaya oleh Reformed akan sangat menentukan dan memimpin arah penafsiran
Alkitab yang para theolog Reformed dan penganut theologia Reformed kerjakan. Misalnya,
ketika Kejadian 6:6, Allah bersabda, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah
menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.”, maka para penganut
theologia Reformed yang menekankan kedaulatan Allah akan menafsirkan dan mengajarkan
bahwa Allah itu adalah Allah yang Berdaulat sehingga Ia tak mungkin menyesal (lalu
“mengubah” rencana yang sudah ditetapkan-Nya), maka ketika ayat ini berkata, “maka
menyesallah TUHAN”, maka sesungguhnya perkataan ini dimengerti dalam cara pandang
manusia, bukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan tafsiran ini, maka konsep ini akan sinkron
dengan keseluruhan bagian Alkitab lainnya (misalnya, Mazmur 93:2, dll). Sedangkan para
penganut theologia Arminian yang sama sekali menolak kedaulatan Allah dan lebih
menekankan kehendak bebas manusia, ketika membaca Kejadian 6:6 di atas, lalu
menafsirkan bahwa Allah itu dapat mengubah rencana-Nya ketika manusia gagal mematuhi-
Nya. Masalah yang selanjutnya terjadi, presuposisi mereka dengan mudah dapat dijatuhkan,
ketika Mazmur 93:2 berkata, “takhta-Mu tegak sejak dahulu kala, dari kekal Engkau ada.”
Kata “kekal” tidak dapat diartikan lain, kecuali selama-lamanya dan tidak berubah. Kalau
Allah itu adalah Allah yang kekal, apakah Ia dapat mengubah rencana-Nya yang telah Ia
tetapkan sebelum dunia dijadikan ? Kalau Allah yang kekal dapat mengubah rencana-Nya,
lalu apa bedanya Allah yang adalah Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya ? Ini suatu
ketidakmungkinan dan kesalahan paradigma di dalam bertheologia dan memahami Alkitab.
Di sini, kegagalan sangat fatal dari para penganut theologia Arminian (kebanyakan Injili)
dalam bertheologia secara mendasar dengan tidak membedakan secara kualitas antara Allah
sebagai Pencipta yang tidak terbatas (kekal) dan manusia sebagai ciptaan yang terbatas.

Lalu, doktrin Allah ini akan membuat jalur perbedaan yang sangat tajam antara para penganut
theologia Reformed yang menekankan supremasi Allah dan penundukan manusia dengan
para penganut theologia Arminian yang sama-sama mengagungkan supremasi Allah dan
manusia (meskipun tidak secara eksplisit mereka ungkapkan). Para penganut theologia
Reformed yang menekankan kedaulatan Allah akan melihat seluruh bagian Alkitab sebagai
bagian yang Kristo-sentris (berpusat kepada Kristus), sehingga manusia harus taat mutlak
kepada-Nya. Ini ditegaskan di dalam jawaban pertanyaan nomer satu dalam Katekismus
Singkat Westminster (salah satu pengakuan iman Reformed) yang berkata, “Tujuan utama
manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya.” (Meade : 2004, p.
1) Meskipun Rick Warren di dalam bukunya The Purpose Driven Life mengungkapkan hal
yang sama dengan konsep Reformed ini, tetapi jika kita terus meneliti satu per satu, maka
dapat disimpulkan bahwa buku ini bukan buku yang berdasarkan sentralitas Alkitab dan
kedaulatan Allah, tetapi lebih ke arah human-centered, meskipun Warren menyangkali
pernyataan ini. Sebaliknya, konsep theologia Arminian yang human-centered sudah kelihatan
dari cara penafsiran Alkitabnya yang mencari-cari ayat-ayat Alkitab sekehendak hatinya
cenderung kurang memperhatikan konteksnya untuk mendukung bahwa manusia memiliki
“supremasi” untuk menolak atau menerima anugerah Allah. Misalnya, banyak theolog Injili
dengan aliran theologia Arminian yang dianutnya memahami Alkitab bukan dari presuposisi
kedaulatan Allah, tetapi kehendak bebas manusia, sehingga meskipun jelas-jelas Alkitab
mengajarkan tentang anugerah Allah, mereka pasti menafsirkannya dengan tetap menekankan
kehendak bebas manusia, contoh, meskipun Allah memberikan anugerah kepada manusia,
manusia tetap harus meresponinya, karena kalau tidak, manusia tersebut tidak dapat
diselamatkan. Inilah gaya penafsiran Alkitab yang keliru. Pandangan theologia Arminian ini
diadaptasi dari konsep pemikiran Semi-Pelagianisme yang merupakan “jalan tengah” dari
ajaran Pelagius (yang mengajarkan bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa) dan Augustinus
(manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa). Bapa Gereja Augustinus telah lama berperang
melawan Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme, tetapi rupa-rupanya humanisme terus
berjaya, dan sampailah kepada paham Arminianisme.

Ketiga, doktrin keselamatan (Soteriologi). Doktrin keselamatan dapat mempengaruhi posisi


penafsiran Alkitab seseorang. Misalnya, seorang penganut theologia Reformed yang
memegang kepercayaan bahwa anak-anak Tuhan sejati tidak mungkin kehilangan
keselamatannya akan mengerti keseluruhan Alkitab lebih teliti dan bertanggungjawab.
Yohanes 3:16 ; 10:27-29 ; Roma 8:33-35 adalah bagian-bagian Alkitab yang mengajarkan
secara ketat akan kepastian jaminan Kristen tentang keselamatan (tanpa mengabaikan konteks
aslinya). Sedangkan para penganut theologia Arminian dan Katolik Roma yang mempercayai
perbuatan baik lebih penting daripada iman akan mengutip ayat-ayat Alkitab menurut
kehendak mereka untuk mendukung ajaran mereka. Hal ini akan dibahas pada poin 2.3
tentang problematika penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan.

Keempat, doktrin Kristus (Kristologi). Kristologi juga dapat mempengaruhi penafsiran


Alkitab. Misalnya, seorang penganut theologia Reformasi dan Reformed yang menganut
paham dwi-natur sifat Kristus, yaitu 100% Allah dan 100% manusia akan menafsirkan
Alkitab dengan kedua pandangan ini. Dan hal ini jelas dibuktikan Alkitab secara eksplisit
yaitu di dalam Yohanes 1:1 dan Roma 1:3-4. Tetapi para penganut theologia non-Reformasi,
misalnya theologia Orthodoks (Syria) yang menekankan kemanusiaan Yesus dan menolak
keilahian-Nya, maka mereka akan mengutip Yohanes 1:1 secara sebagian yaitu dengan
menghilangkan pernyataan, “Firman itu adalah Allah.” Hal ini dikhotbahkan seorang
pemimpin gereja yang dulunya beragama mayoritas di Indonesia, lalu kemudian menjadi
“pendeta” yang sekarang ingin membawa keKristenan kembali kepada agama dahulunya agar
menurutnya, keKristenan boleh diterima oleh agama dahulunya. Seorang penganut Orthodoks
Syria ini akan kebingungan dalam menafsirkan Roma 1:4 yang menyebutkan Tuhan Yesus
itu juga bernatur Ilahi selain bernatur manusia. Dengan kata lain, mereka akan berkontradiksi
dan melawan diri sendiri jika menjumpai ayat-ayat Alkitab yang tidak cocok dengan
formulasi doktrin mereka.

Kelima¸ doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Pneumatologi, baik dengan konsep yang benar
maupun salah, sama-sama mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab. Theologia Reformasi
dan Reformed yang percaya 100% bahwa Roh Kudus adalah Pribadi Ketiga Allah Trinitas
yang berperan melahirbarukan umat pilihan-Nya untuk percaya di dalam Kristus dan
menyempurnakan mereka serupa seperti Kristus kelak akan menafsirkan Yohanes 15:26
dengan mengatakan bahwa Roh Kudus datang untuk memuliakan Kristus dan juga Yohanes
16:8 bahwa Roh Kudus datang untuk menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan
penghakiman. Hal ini sinkron dengan keseluruhan berita Alkitab. Misalnya, di dalam 1
Korintus 12:3, “Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang
berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada
seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.”, 1
Petrus 1:2 yang mengajarkan, “yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana
Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan
menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin
melimpah atas kamu.” Jadi, apa yang Tuhan Yesus ucapkan di dalam Injil Yohanes tentang
Roh Kudus juga diajarkan dengan konsep yang sama persis oleh para rasul-Nya, baik Paulus,
maupun Petrus, dll. Inilah kekonsistenan seluruh berita Alkitab yang tidak mungkin
berkonflik (berkontradiksi) dengan dirinya sendiri. Puji Tuhan. Lalu, kalau ada theologia
Kristen yang non-Reformasi, misalnya, dipengaruhi oleh Arminian yang human-centered,
akan mengatakan secara implisit bahwa Roh Kudus bisa diatur manusia, sehingga manusia
seolah-olah dapat memerintah Roh Kudus. Kemudian, mereka mengklaim kepada Roh Kudus
jika mereka tidak dapat berkarunia lidah. Yang paling aneh lagi, seorang penganut
Karismatik Katolik yang tidak bisa berbahasa roh akan mengomel kepada Maria ibu Yesus
untuk membujuk Tuhan Yesus untuk memberikan karunia roh tersebut. Sungguh aneh dan
ajaran ini sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitab. Konsep yang tidak
beres ini nantinya akan mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab dengan sengaja mencocok-
cocokkan konsepnya yang salah itu agar bisa diterima oleh masyarakat Kristen umum. Ambil
contoh, banyak pemimpin gereja dari kalangan gereja kontemporer yang pop sangat suka
mengutip Yoel 2:28-32, “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan
mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan
perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-
terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan. Juga ke atas hamba-hambamu laki-
laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu. Aku akan mengadakan
mujizat-mujizat di langit dan di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap.
Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum
datangnya hari TUHAN yang hebat dan dahsyat itu. Dan barangsiapa yang berseru
kepada nama TUHAN akan diselamatkan, sebab di gunung Sion dan di Yerusalem akan
ada keselamatan, seperti yang telah difirmankan TUHAN; dan setiap orang yang
dipanggil TUHAN akan termasuk orang-orang yang terlepas.” lalu menafsirkan bahwa
zaman inilah zaman Roh Kudus, maka mari kita menantikannya. Ini adalah tafsiran yang
dicocok-cocokkan. Tafsiran ini salah di titik pertama, yaitu sengaja mengabaikan referensi
yang ada di bawah bagian Alkitab yang menunjukkan kedua ayat ini merupakan nubuat yang
nantinya digenapi di dalam peristiwa Pentakosta, Kisah Para Rasul 2:1-16, lalu Petrus
mengutip Yoel 2:28-32 di dalam khotbah perdananya di dalam Kisah Para Rasul 2:17-21.

Keenam, doktrin gereja (ekklesiologi). Ekklesiologi sebagai theologia sistematika yang boleh
saya kategorikan sebagai hal praktis pun dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya,
gereja-gereja Reformed yang mengakui adanya baptisan anak (infant baptism) akan
memandang seluruh Alkitab secara totalitas yang mengajarkan secara berkesinambungan
akan perjanjian (covenant) Allah. Meskipun istilah “baptisan anak” tetapi secara implisit
istilah ini nampak jelas dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kisah
Para Rasul 16:33 mengatakan, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan
membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.”
Konteks ayat ini jelas, bahwa setelah kepala penjara itu menjumpai para tahanan yang masih
ada di dalam penjara padahal penjara pada waktu itu sudah rusak, maka ia bertanya kepada
Paulus dan Silas tentang apa yang harus ia perbuat supaya ia selamat. Kemudian, Paulus dan
Silas memberitakan tentang Injil Kristus, yang disusul dengan pembaptisan kepala penjara
ini. Di dalam ayat ini, dikatakan bahwa kepala penjara ini beserta keluarganya memberi diri
dibaptis. Kata “keluarga” tentu juga mencakup anak-anak. Tidaklah mungkin, anak-anak
tidak dibaptis, jikalau anak-anak tidak turut dibaptis, maka Alkitab akan mengecualikannya,
tetapi faktanya tidak demikian. Mengapa gereja-gereja Reformed melaksanakan baptisan
anak ? Karena baptisan bukan tanda orang masuk Surga atau diselamatkan, tetapi baptisan
adalah konfirmasi seseorang percaya kepada (di dalam) Tuhan Yesus. Seorang yang sudah
percaya di dalam Kristus meskipun tidak sempat dibaptis (mungkin alasan kesehatan yang
sangat buruk atau kasus penjahat di sebelah salib Tuhan Yesus), nyawanya tetap bersama-
Nya di Surga. Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh bebas untuk tidak perlu dibaptis. Baptisan
pasti berkaitan erat dengan keselamatan (soteriologi). Kalau baptisan adalah konfirmasi,
maka pasti sebelum baptisan, ada karya Allah yang membuat orang yang dibaptis ini
akhirnya dapat mempercayai Kristus. Itulah karya Roh Kudus. Anak-anak pun (yang
termasuk umat pilihan Allah) juga diselamatkan bukan melalui “iman” pribadi, tetapi melalui
anugerah Allah yang telah memberikan iman kepada mereka. Sehingga theologia Reformed
dengan tegas menyatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia, sehingga
manusia murni diselamatkan melalui anugerah Allah, dan oleh karena itulah, anak-anak perlu
dibaptis tanpa perlu menunggu pengakuan iman yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan
kelompok Anabaptis yang berkembang dan mempengaruhi gereja-gereja kontemporer yang
pop dewasa ini dengan menolak baptisan anak karena menurut mereka, anak-anak tidak dapat
mengakui imannya secara sadar adalah pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara prinsip Alkitab tentang perjanjian (covenant).

Demikian pula halnya dengan konsep Perjamuan Kudus. Gereja-gereja Reformed mengikuti
tradisi dari John Calvin menganggap bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol
kematian Kristus tetapi juga memiliki makna karena ada berkat Kristus di dalamnya. Ini
berbeda dengan konsep Luther yang mengajarkan bahwa Kristus menyertai/menaungi
Perjamuan Kudus (disebut dengan paham consubstansiasi ; hampir mirip dengan pandangan
Katolik Roma : transubstansiasi yang mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus
langsung berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang
membedakan antara form dan matter) dan konsep Zwingli yang mengajarkan bahwa
Perjamuan Kudus hanya lambang dan tidak memiliki makna. (Tong, 1991, pp 65-67) Paham
Katolik Roma akan Perjamuan Kudus (transubstansiasi) diangkat kembali ke permukaan oleh
seorang “pendeta” bernama Yesaya Pariadji lalu mengajarkan bahwa roti dan anggur
Perjamuan Kudus bukan sekedar lambang, lalu Pariadji mengutip perkataan Tuhan Yesus
sendiri, “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat,
memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata:
"Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap
syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari
cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak
orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28) lalu mengajarkan bahwa roti itu benar-
benar tubuh Kristus dan anggur adalah darah Kristus, oleh karena itu Perjamuan Kudus
berkhasiat dan “berkuasa” karena ada tubuh dan darah Kristus yang tercurah di kayu salib. Ini
tafsiran Alkitab yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini akan dibahas pada poin 2.3.

Ketujuh, doktrin akhir zaman (eskatologi). Eskatologi menurut Prof. Anthony A. Hoekema,
Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman adalah “sebuah paham yang integratif
dengan seluruh bagian Alkitab.” (Hoekema, 2004, p 3). Eskatologi ini menurut beliau dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu eskatologi yang telah ditegakkan (inaugurated eschatology)
dan eskatologi yang akan datang (future eschatology) (Hoekema, 2004, p 1 dan 2). Di dalam
bukunya, beliau memaparkan bahwa konsep paradoks yang ada di dalam eskatologi ini
menyangkut suatu paradoks antara eskatologi yang sudah dan akan terjadi (ketegangan antara
yang sudah terjadi dengan yang belum terjadi). Inilah konsep eskatologi yang dipegang oleh
theologia Reformed yang lebih mendekati Alkitab. Kemudian, theologia Reformed
mempercayai bahwa Kerajaan Allah bukanlah kerajaan secara literal dalam arti Kerajaan itu
terjadi secara nyata melalui wilayah/teritori tertentu di dalam suatu bangsa, tetapi Kerajaan
Allah adalah kerajaan rohani. Di dalam paham eskatologinya, theologia Reformed berpaham
amillenialisme. Sedangkan, para penganut theologia Injili yang mayoritas cenderung
Arminian akan berpaham premillenialisme yang bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu
premillenialisme historis dan premillenialisme dispensasionalis yang berusaha membagi
sejarah/zaman menjadi 3, yaitu zaman Allah Bapa (sebelum kedatangan Kristus pertama),
zaman Allah Anak (pada waktu Kristus berinkarnasi) dan terakhir, zaman Roh Kudus
(setelah kebangkitan Kristus dan sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya). Konsep
pembagian zaman ini (dispensasionalisme) sudah salah di titik awal yaitu berusaha
memisahkan peran masing-masing Pribadi Allah Trinitas, sehingga seolah-olah di zaman
sebelum kedatangan Kristus pertama, hanya Allah Bapa yang berperan (sedangkan Allah
Anak dan Roh Kudus “pensiun” alias tidak berperan), nanti pada giliran Kristus berinkarnasi,
maka Allah Anak yang berperan (sedangkan Allah Bapa dan Roh Kudus “pensiun”), dan
terakhir, setelah kebangkitan Kristus, Allah Roh Kudus lah yang berperan (sedangkan Allah
Bapa dan Anak “pensiun”). Konsep ini sudah menyeleweng dari kebenaran Alkitab. Dengan
kata lain, paham premillenialisme memandang Kerajaan Allah ini hadir secara literal di bumi
ini, lebih tepatnya di kota Yerusalem, sehingga tidak heran di kalangan Kristen, muncul
istilah Kristen Zionis, ini karena pengaruh premillenialisme yang ekstrim yang tidak
diajarkan oleh Alkitab. Sebaliknya, kelompok liberal yang menganut paham
postmillenialisme yang mengajarkan bahwa Kerajaan Allah itu sudah terjadi akan
menafsirkan Alkitab dengan konsep liberalnya dan akan menutup mata akan fakta-fakta
Alkitab tentang Kerajaan Allah di masa akan datang, lalu konsep ini akan mengakibatkan
mereka sendiri tidak memiliki pengharapan yang pasti di masa akan datang. Inilah
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Di satu sisi, terlalu menekankan akhir zaman,
padahal keliru (paham premillenialisme), sedangkan di sisi lain, terlalu menyepelekan akhir
zaman, sehingga jatuh ke dalam paham postmillenialisme yang mengakibatkan para
penganutnya berada di dalam kondisi tak berpengharapan.

2. Dipengaruhi oleh perasaan hati

Perasaan hati atau mood manusia dapat berubah-ubah setiap saat tergantung situasi dan
kondisi. Masalah yang banyak terjadi, banyak manusia dengan perasaan hati yang berbeda
pun diterapkan dalam menafsirkan Alkitab. Tidak heran, misalnya, seorang pria yang putus
cinta akan sangat senang membaca Alkitab khususnya bagian Mazmur dan Amsal yang
menguatkannya bahwa meskipun pacarnya meninggalkannya, Tuhan tetap besertanya, dan
orang yang sama akan melewatkan membaca kitab Kidung Agung yang mengajarkan tentang
cinta.

3. Dipengaruhi oleh kondisi sekitar

Terakhir, penafsiran Alkitab juga dipengaruhi oleh kondisi sekitar. Ini adalah pengaruh yang
amat sangat buruk. Di dalam keKristenan, ada dua contoh ekstrim yang mencoba
menafsirkan Alkitab dengan pengaruh dari lingkungan/kondisi sekitar. Misalnya, pertama,
gereja-gereja kontemporer yang pop yang gemar sekali cho gereja (atau mencari untung di
gereja) akan mencomot ayat Alkitab sekehendak hatinya (2 Korintus 9:6, “Camkanlah ini:
Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak,
akan menuai banyak juga.”) untuk mendukung pengajaran mereka misalnya tentang
perpuluhan yang akan dikembalikan berlipat kali ganda. Ayat ini dilepaskan dari ayat-ayat
selanjutnya, ayat 7, yang mengajarkan, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut
kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi
orang yang memberi dengan sukacita.” Kalau ayat 7 ini dibacakan, maka jemaat akan
berpikir beratus kali untuk memberikan persembahan. Jadi, untuk mendapatkan profit
sebanyak-banyaknya dari persembahan jemaat, maka ayat 7 dengan sengaja tidak dibacakan,
agar jemaat dapat memberikan uang sebanyak-banyaknya. Ini namanya gereja yang
memperhatikan demand dari jemaat (hukum supply and demand di dalam gereja). Inilah
corak gereja materialisme di abad postmodern ini. Di sisi lain, banyak gereja-gereja Protestan
mainline yang mengaku berlabel “Reformed” (sebenarnya : no-formed atau de-formed) sudah
mendegradasi fondasi theologia yang Alkitabiah dan menggantinya dengan “theologia”
religionum atau social “gospel”. Akibatnya, paham ini akan mempengaruhi cara mereka
menafsirkan Alkitab yang cocok dengan paham mereka. Mereka akan menafsirkan Yohanes
14:6 bukan dengan menekankan finalitas Alkitab. Kemudian, saya pernah membaca sebuah
artikel yang ditulis oleh “pendeta” macam ini dengan mengutip Yohanes 17:21, “supaya
mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di
dalam Engkau,…” lalu menafsirkan bahwa orang Kristen dan orang-orang non-Kristen
seharusnya bersatu sama seperti Kristus dan Bapa bersatu. Ini tafsiran yang sangat tidak
bertanggungjawab. Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang di dalam bukunya Theologia Abu-abu,
Pluralisme Agama (Edisi Revisi) mengetengahkan fakta tentang seorang “theolog” pluralis
dari gereja Presbyterian, Taiwan, Choan-Seng Song yang menggunakan pendekatan
penafsiran yang berhubungan dengan isu-isu sosial untuk mendukung “Theologia”
Transposisinya. Berikut penuturan beliau,

“Song juga menggunakan metode penafsiran radikal dalam membangun Teologi


Transposisinya yang liberal dan yang anti finalitas Yesus. Song memulai usahanya dengan
menggunakan cerita-cerita rakyat dan fakta-fakta mengenai keprihatinan sosial, kemudian
mensinkronisasikannya dengan Alkitab untuk membangun Teologi Transposisinya… Dalam
hal ini, Alkitab berperan hanya untuk mendukung konsep yang telah dibangunnya dari
kesimpulan awalnya mengenai situasi kondisi sosial yang pincang. Sistem hermeneutika
Song, dikenal dengan istilah penafsiran yang situasional mengenai isu-isu sosial (Socio-
Critical Interpretation). Penafsiran kritik sosial dapat diartikan : ‘tertarik kepada bentuk
yang kelihatan untuk menyatakan suatu penafsiran yang alamiah dalam kerangka pikir dari
suatu tradisi mengenai asumsi sosial dan praktiknya. Penafsiran teks-teks Alkitab mengenai
perbudakan, kaum perempuan, kaum miskin. Contohnya ialah Teologi Pembebasan dan
Hermeneutika Feminisme.’… Dengan kata lain, Song membangun Teologi Transposisinya
dengan dasar penafsiran kritik sosial yang lahir dari keprihatinan sosial di Asia. Song
sangat prihatin dengan isu-isu sosial-politik di Asia…” (Lumintang, 2004, pp 335, 337)

Dengan jelas, semua ayat Alkitab dijadikan pendukung bukan sumber bagi pembentukan
“Theologia” model ini yang justru melawan Alkitab. Ini adalah “gereja” yang bercorak
humanisme di dalam era postmodern. Kedua contoh ini dapat mewakili apa yang Alkitab
telah nubuatkan di dalam 2 Timotius 3:1-2, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir
akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi
hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi
pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih,
tidak mempedulikan agama,” Kalimat “manusia akan mencintai dirinya sendiri” adalah ciri
dari humanisme dan kalimat “menjadi hamba uang” adalah ciri dari materialisme.

2.3 Problematika Penafsiran Alkitab di Kalangan KeKristenan


Setelah kita melihat prinsip-prinsip umum di dalam penafsiran Alkitab, marilah kita mencoba
mempelajari banyak problematika yang terjadi berkenaan dengan penafsiran Alkitab di
kalangan keKristenan abad postmodern yang dipengaruhi oleh theologia sistematika yang
salah.

Problematika utama yang terjadi di dalam penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan yang
terjadi pada abad postmodern ini adalah pengaruh humanisme yang meninggikan potensi diri
manusia dan merendahkan kedaulatan Allah. Pengaruh ini mulai muncul di dalam zaman
Renaissance sampai abad postmodern ini meskipun dengan cara yang sedikit berbeda, tetapi
memiliki esensi yang sama yaitu humanisme. Pada Abad Pertengahan (Medieval), di mana
ilmu pengetahuan mendapat prioritas, maka seluruh ilmu pengetahuan berkiblat ke arah
Yunani, mengikuti pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat alam
semesta (Geosentris). Yang paling celaka, pada saat itu, gereja hanyut ke dalam filsafatnya
Aristoteles. Tidak heran, ketika pertama kali, Nicolaus Copernicus mengemukakan bahwa
matahari lah yang menjadi pusat alam semesta (Heliosentris), maka gereja Katolik marah dan
menghukumnya, karena gereja Katolik mengikuti pandangan Aristoteles ditambah
argumentasi yang dicomot dari Yoshua 10:12a-13b, “Lalu Yosua berbicara kepada TUHAN
pada hari TUHAN menyerahkan orang Amori itu kepada orang Israel; ia berkata di
hadapan orang Israel: "Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas
lembah Ayalon!" Maka berhentilah matahari dan bulanpun tidak bergerak, sampai
bangsa itu membalaskan dendamnya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah tertulis
dalam Kitab Orang Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit dan lambat-lambat
terbenam kira-kira sehari penuh.” Apakah Geosentris itu benar atau Heliosentris ? Dengan
bijaksana, Ir. Stanley I. Sethiadi di dalam artikelnya : “TEORI GEOSENTRIS VERSUS
TEORI HELIOSENTRIS” di http://www.sahabatsurgawi.net mengungkapkan,

Sesungguhnya kalau teori Geosentris dianggap salah, maka teori Helio sentris juga sama
salahnya. Tidak ada alasan apapun untuk menganggap bahwa bumi atau matahari adalah
pusat alam semesta. Untuk menggam barkan gerakan bulan atau satelit buatan terhadap
bumi, paling logis ialah menganggap bahwa bumi diam dan bulan yang menge lilingi bumi.
Untuk menggambarkan gerakan planet-planet, paing logis menganggap bahwa matahari
diam dan planet-planet berputar mengelilingi matahari. Tetapi untuk menggambarkan
gerakan bintang- bintang dalam glaxy Bima Sakti sangat tidak logis untuk mengambil
matahari sebagai pusat Bima Sakti. Lebih logis menganggap bahwa ditengah-tengah Bima
Sakti ada sumbu imaginair. Semua bintang-bintang dalam gugusan Bima Sakti berputar
mengelilingi sumbu imaginair ini. Tetapi untuk menggamparkan gerakan galaxy-galaxy
dalam cluster of galaxies, tidak logis mengambil sumbu imaginair ini. Mungkin haru diambil
sumbu imaginair lain yang lebih besar. Dan sebagainya dan sebagainya.

Jadi sesungguhnya Copernicus tidak lebih benar dari Yoshua. Untuk menggambarkan
gerakan matahari dan bulan terhadap orang-orang yang sedang bertempur waktu itu,
Yoshua sangat logis menganggap bahwa matahari dan bulan yang bergerak dan bumi yang
diam.

Ilmu pengetahuan bisa berubah dan relatif sifatnya, tetapi hanya satu yang tak mungkin
berubah, itulah firman Allah. Kesalahan fatal penafsiran terhadap Yoshua 10:12a-13b adalah
hanya mengambil sedikit ayat untuk mendukung ide filsafat Aristoteles yang memegang
Geosentris yang dianut oleh gereja-gereja Katolik Roma. Dari sini, mulai muncul
penyelewengan penafsiran Alkitab, yang nantinya berimbas pada doktrin/ajaran gereja
Katolik Roma yang akhirnya didobrak oleh Dr. Martin Luther dengan 95 dalilnya yang
ditempel di depan pintu gereja Wittenberg. Oleh karena itu, problematika penafsiran Alkitab
sangat erat kaitannya dengan pengaruh theologia sistematika atau paradigma dasar. Mari kita
akan menelusuri beberapa paradigma dasar atau theologia sistematika yang tidak
bertanggungjawab yang mempengaruhi penafsiran Alkitab.

Pertama, Doktrin Alkitab (Bibliologi). Berikut ini saya akan menyajikan salah satu contoh
problematika penafsiran Alkitab yang tidak bertanggungjawab yang diambil dari
http://www.ekaristi.net :

Tanya : Alkitab adalah satu-satunya sumber autoritas Firman Allah

Jawab : Rom 10:17: Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman
Kristus.

Iman kita biasanya tidak dimulai ketika kita membaca Alkitab. Iman biasanya lahir dan
berkembang melalui apa yang kita dengar dari orang lain (orang tua kita, keluarga, teman,
dll). Penyebaran iman melalui oral adalah yang dimaksudkan pada ayat ini. Alkitab
mengatakan pada kita bahwa iman kita datang dari pendengaran terhadap Firman Allah.
Alkitab dibaca dan digunakan untuk mengajar, tapi Alkitab bukanlah satu-satunya sumber
wahyu Allah.

Komentar saya :

Bukankah Alkitab yang dikutip di sini jelas mengajarkan bahwa iman timbul dari
pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus ? Ayat 17 di dalam Roma 10 ini sudah
amat jelas, tetapi dasarnya para theolog Katolik Roma menyangkali finalitas firman Kristus
dan iman yang beres di dalam Allah, maka mereka berusaha memelintir ayat 17 yang sangat
begitu jelas dengan argumentasi-argumentasi “akademis” mereka yang pada akhirnya
mengarahkan pembaca untuk menolak finalitas Alkitab (perhatikan pernyataan, “Alkitab
bukanlah satu-satunya sumber wahyu Allah.”) Benarkah iman tidak dimulai dari membaca
Alkitab ataukah iman lahir dan berkembang melalui apa yang kita dengar dari orang lain ? Di
dalam theologia Reformed, manusia telah ditanamkan suatu benih agama di mana setiap
manusia mau tidak mau pasti memiliki iman di dalam konsep Allah (belum tentu menyembah
Allah yang sejati). Iman ini yang Pdt. Dr. Stephen Tong sebut sebagai iman natural/alamiah.
Jadi, tidaklah benar bahwa iman itu timbul dan berkembang dari luar diri kita, karena jika
iman timbul dan berkembang dari luar diri kita, maka ketika orang lain yang kita sandari
tersebut mati, maka iman kita juga akan beralih kepada orang lain lagi. Itu namanya self-
centered faith yang sama sekali ditolak oleh Alkitab. Iman di dalam Roma 10:17 adalah iman
di dalam Kristus yang merupakan anugerah Allah hanya kepada umat pilihan-Nya. Iman ini
merupakan suatu tindakan Roh Kudus yang mengaktifkan karya penebusan Kristus ke dalam
hati umat pilihan-Nya yang belum menerima Kristus. Yang paling aneh, si “apologet”
Katolik yang tidak mengakui Alkitab sebagai sumber otoritas ini malahan mengutip bukti
ketidakpercayaannya dari Alkitab (yang tidak dipercayainya). Sungguh, suatu kontradiksi
yang aneh.

Kedua, Doktrin Allah. Tentang Doktrin Allah, saya akan mengutip kekonyolan pernyataan
doktrinal dari Jusufroni yang mengajar tentang Allah Trinitas.

“Keimanan agama Kristen berakar-bertumbuh dan berkembang dari agama Yahudi, dimana
memiliki keyakinan monoteisme yang ketat, suatu kewajiban umat PL mengucapkan
syahadat (pengakuan iman)-nya; SHEMA’ YIS’RA’EL ADONAI ELOHEINÛ ADONAI
EKHAD (Dengarkanlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu
Esa!)─Ulangan 6:4.”

“Mat. 4:10b; Mark. 12:29; Yoh. 17:3; Yoh. 5:44; I Kor. 8:4b dan banyak lagi ayat-ayat yang
lain menunjukkan keesaan Allah dalam PL dan PB.” (http://www.besorahonline.com)

Komentar saya :

1. Tafsiran terhadap Ulangan 6:4 yang tidak bertanggungjawab.

Benarkah Allah yang dipercaya oleh orang Yahudi adalah Allah yang hanya satu pribadi
(monotheisme) ? Kata “dxa ‘echad” tidak hanya berarti satu (one) tetapi bisa juga berarti
united (dipersatukan). Mengapa “Abuna” Jusufroni begitu yakin bahwa Allah orang Yahudi
adalah Allah yang hanya berpribadi satu ? Perlu diketahui Kitab Ulangan ditulis oleh Nabi
Musa untuk mengingatkan kembali bangsa Israel agar mereka tidak berbalik kepada ilah-ilah
palsu, sehingga Musa menegaskan pernyataan bahwa Allah bangsa Israel itu hanya satu
(dalam arti, tidak ada dewa dewi lainnya yang boleh disembah sebagai “Allah”). Kalau ayat
ini ditafsirkan bahwa mutlak hanya satu pribadi Allah, itu jelas salah tafsiran. “Pendeta” yang
dengan sombongnya mengaku bergelar Doktor ini masih tidak mengerti bagaimana
menafsirkan Alkitab dengan baik ! Semua ayat-ayat Perjanjian Lama yang dipakai oleh
“Abuna” Jusufroni misalnya, Keluaran 20:3, 4, 5a ; Yesaya 44:6b ; 45:5a, 6b ; 46:9c tidak
sedang mengajarkan bahwa Allah itu hanya satu pribadi, tetapi merupakan peringatan-
peringatan dari nabi-nabi Tuhan untuk menegaskan ulang bahwa tidak ada dewa-dewi lain
yang boleh disembah sebagai “Allah” kepada bangsa Israel, sehingga mereka (para nabi
Tuhan) dengan gigih memperjuangkan bahwa Allah itu satu-satunya yang layak disembah.
Perhatikan Kitab Kejadian 1:1-3, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi
belum berbentuk dan kosong ; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah : “Jadilah terang.” Lalu terang
itu jadi.” Kata “Allah” yang digunakan dalam Kejadian 1:1 dalam bahasa Ibraninya, “Myhla”
(‘elohiym) yang berbentuk/berintensif plural (plural intensive) dengan pengertian tunggal.
Kemudian, kata “Roh Allah” menggunakan bahasa Ibrani, “xwr ” (ruwach) yang
berarti Spirit of God, the third person of the triune God, the Holy Spirit, coequal, coeternal
with the Father and the Son (Roh Allah, pribadi ketiga dari Allah Trinitas, Roh Kudus, sama
kedudukan dan sama kekalnya dengan Bapa dan Anak). Kemudian, di dalam Kejadian 1:26,
firman Tuhan berkata, “Berfirmanlah Allah : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, …” Bagaimana “Abuna” Jusufroni menafsirkan kata “Kita” dalam
Kejadian 1:26 ? Jelas, kata “Kita” bukanlah sesuatu yang tunggal/singular, tetapi bentuk
jamak/plural. Lalu, siapakah “Kita” yang dimaksud ? Apakah berarti Allah menciptakan
manusia bekerja sama dengan para malaikat ? TIDAK. Allah tak pernah menciptakan kita
sesuai dengan gambar dan rupa Allah (dan malaikat) {Kejadian 1:27}, lalu siapakah “Kita”
yang dimaksud ? Jelas, Allah yang memiliki tiga Pribadi dalam satu Esensi, yaitu Allah Bapa
dan Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Dan perlu diperhatikan semua ayat-ayat dalam
Perjanjian Lama yang Jusufroni kutip selalu menggunakan kata dalam bentuk plural yang
bermakna tunggal yaitu “Myhla” (‘elohiym).

2. Kutipan ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang tidak memperhatikan ayat-ayat sebelum
dan sesudahnya.
Injil Yohanes 17 jangan hanya dimengerti dalam ayat 3 saja, tetapi dalam seluruh perikop. Di
ayat 21, Tuhan Yesus menyatakan bahwa Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (adanya
kesatuan antara Allah Bapa dan Allah Anak). Lagi, 1 Korintus 8 ada dalam konteks di mana
orang-orang Kristen di Korintus sedang meributkan masalah makan daging persembahan
berhala. Nah, pada ayat 4b-5, Paulus memberikan jawaban bahwa mereka tidak perlu takut
karena Allah itu lebih besar dari berhala-berhala dunia (tidak ada berhala di dunia), dan Allah
itu Allah yang Esa. Tetapi jangan dipotong, karena ayat 6, menjelaskan bahwa Bapa itu
Allah, Anak Allah yaitu Tuhan Yesus juga adalah Tuhan (Yunani : κυριοςkurios ; Indonesia :
Tuhan/Tuan/pemilik). Tuhan Yesus bernatur 100% Allah dan 100% manusia, sehingga Ia
bisa berinkarnasi menjadi manusia tanpa menghilangkan natur Ilahinya (dwi natur Kristus).
Kalau di zaman Perjanjian Lama, para nabi Tuhan ketika disuruh oleh Tuhan menyampaikan
berita firman kepada bangsa Israel, mereka selalu berseru, “Beginilah firman Tuhan semesta
alam,…” atau “Tuhan berfirman, …”, dll, tetapi ketika Tuhan Yesus datang ke dalam dunia,
Ia tidak menggunakan kata-kata tadi, melainkan langsung menggunakan otoritas-Nya dengan
mengatakan, “Aku adalah,…”, “Aku berkata kepadamu, …” Tidak ada satu nabi Tuhan yang
diutus-Nya berani mengucapkan “Aku” untuk menggantikan firman Allah, tetapi Tuhan
Yesus melakukannya, karena Ia memang adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia !

Ketiga, Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology). Berkaitan dengan hal ini, saya
akan mengutip pengajaran dari School of Ministry (SOM) Bethany yang diambil dari silabus
“Salvation/Keselamatan” yang diterbitkan oleh GBI Bethany, Surabaya,

MANUSIA TERDIRI DARI ROH, JIWA DAN TUBUH

1. Roh Manusia

Elemen manusia yang sadar akan Allah, sanggup menyembah Allah dan sebagai pelita
Tuhan. Zak. 12:1 ; Yoh. 4:25. Roh manusia terdiri dari Intuisi (pemahaman Ilahi), Iluminasi
(pengertian Firman Allah), Instruksi (nasehat dan bimbingan) dan persekutuan dengan
Allah.

Pada waktu manusia jatuh dalam dosa, roh manusia putus hubungannya dengan Allah.
Efesus 2:1-3. Dalam kelahiran baru, manusia dipulihkan fungsi rohnya. Yoh. 3:3-7 ; Roma
8:16 ; Titus 3:5.

2. Jiwa Manusia

Elemen ini membuat manusia mempunyai kesadaran akan diri sendiri. Kej. 2:7, Allah
menghembuskan nafas sehingga manusia menjadi nyawa yang hidup. Jiwa manusia (Psuche)
adalah tempat kedudukan dari kepribadian dan diri (ego) manusia.

Jiwa manusia terdiri dari pikiran, perasaan, keinginan, memory, imajinasi, rasa ingin tahu
dan suara hati. Fungsinya terbatas pada bidang mental semata. Dibutuhkan kuasa Roh Allah
untuk merobohkan tembok pemisah dan mengangkat manusia dari pengaruh duniawi. Roma
8 ; 1 Kor. 2 ; Gal. 5.

3. Tubuh Manusia
Manusia mempunyai satu tubuh yang dapat berinteraksi dengan dunia sekitar. Panca indera
merupakan jendela jiwa. Tubuh harus diserahkan kepada allah untuk menjadi bait-Nya. 1
Kor. 6:19 ; Roma 6:11.

Bagi manusia yang belum dilahirkan baru tubuh menjadi hamba dosa. Roma 6:17. Bagi
yang telah percaya dan lahir baru tubuh ini menjadi rumah Roh Kudus. Immanuel, Allah
berdiam di dalam kita. (Silabus SOM Bethany “Salvation/Keselamatan” p. 30)

Komentar saya :

Di dalam pandangan Karismatik/Pentakosta yang banyak menganut paham trikotomi sengaja


memisahkan antara roh dan jiwa manusia, bahkan ada seorang dokter yang mengaku juga
diundang berkhotbah di beberapa gereja/persekutuan doa Karismatik/Pentakosta
mengungkapkan bahwa Ibrani 4:12 mengungkapkan “fakta” bahwa antara jiwa dan roh itu
berbeda. Lagi-lagi, ayat ini tidak sedang membicarakan perbedaan antara jiwa dan roh, tetapi
tentang kuasa Firman. Inilah penafsiran Alkitab yang terlalu dicocok-cocokkan. Kembali
kepada pernyataan yang ada di dalam buku SOM ini.

1. Pernyataan, “Pada waktu manusia jatuh dalam dosa, roh manusia putus
hubungannya dengan Allah. Efesus 2:1-3.” tidak bertanggungjawab.

Efesus 2:1-3, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-
dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu
mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara
orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka,
ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan
pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai,
sama seperti mereka yang lain.” Kata “roh” dalam bahasa Yunaninya pneuma yang identik
dengan breath/nafas yang terdapat di dalam Kejadian 2:7 yang oleh penulis buku SOM ini
dikategorikan sebagai jiwa manusia (bukan roh manusia), padahal antara jiwa dan roh
manusia tidak ada perbedaan. Benarkah ketika manusia jatuh dalam dosa, hanya roh manusia
putus hubungannya dengan Allah ? Pantas saja, banyak orang “Kristen” hari ini mengaku diri
bebas dari segala dosa (tidak berdosa lagi), karena menurutnya yang berdosa itu hanya roh.
Ini jelas salah. Penafsiran model ini membuktikan si penulis buku SOM ini tidak mengerti
dasar iman Kristen, tetapi berani menulis buku. Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajar
bahwa yang berdosa itu hanya roh manusia. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh
potensi hidup manusia sudah rusak total. Itulah yang John Calvin sebut sebagai kerusakan
total (Total Depravity). Kerusakan total diibaratkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai noda
teh yang tumpah pada baju kita yang mengakibatkan warna baju yang tadinya putih menjadi
pudar (tetapi baju tersebut bukan menjadi tidak berwarna lagi).

2. Pernyataan “Jiwa manusia terdiri dari pikiran, perasaan, keinginan, memory,


imajinasi, rasa ingin tahu dan suara hati.” tidak bertanggungjawab.

Benarkah suara hati dikategorikan sebagai jiwa manusia ? Mari kita menyelidiki lebih teliti.
Amsal 20:27 (Terjemahan Baru) mengatakan, “Roh manusia adalah pelita TUHAN, yang
menyelidiki seluruh lubuk hatinya.”, Alkitab terjemahan King James Version
menerjemahkan, “The spirit of man is the candle of the LORD, searching all the inward
parts of the belly.” Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Hati
nurani manusia merupakan terang dari TUHAN yang menyoroti seluruh batin.” Jelaslah,
hati nurani tidak termasuk jiwa manusia, tetapi identik dengan roh manusia.

Kata “jiwa” dan “roh” manusia dipakai secara bergantian di dalam Alkitab baik PL dan PB.
Mari kita selidiki. Bilangan 5:14, “dan apabila kemudian roh cemburu menguasai suami
itu, sehingga ia menjadi cemburu terhadap isterinya, dan perempuan itu memang telah
mencemarkan dirinya, atau apabila roh cemburu menguasai suami itu, sehingga ia
menjadi cemburu terhadap isterinya, walaupun perempuan itu tidak mencemarkan
̂
dirinya,” Kata “roh” ini dalam bahasa Ibraninya ruach berarti wind, breath, dll. Kata yang
sama dipakai di dalam Kejadian 2:7, di mana kata “nafas” dalam bahasa Ibraninya neshamaĥ ̂
identik dengan wind, breath, dll. Di dalam Imamat 26:16, kata “jiwa” diterjemahkan sebagai
heart oleh King James Version (KJV). Dengan kata lain, kata “hati” atau “hati nurani” identik
baik dengan kata “jiwa” (Imamat 26:16) maupun dengan kata “roh” (Amsal 20:27).
Kemudian, kata “jiwa” di dalam Yakobus 5:20 diterjemahkan oleh KJV sebagai soul yang
berasal dari bahasa Yunani psuche yang juga bisa berarti spirit (Yunani : pneuma).

Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano (2005) di dalam booklet Doktrin Manusia
dan Dosa pada halaman 6-7 memaparkan empat contoh yang menunjukkan penggunaan
kedua kata antara jiwa (Ibrani : nepes ; Yunani : psuchē) dan roh (Ibrani : ruah ; Yunani :
pneuma) yang saling bergantian :

1 Kata “jiwa” dan “roh” dipakai secara bergantian :

a. Kej. 41:8 (bdk. Mzm 42:6)

· “his spirit was troubled” (New American Standard Bible/NASB) — “Gelisahlah


hatinya” (LAI)

· My soul is in despair” (NASB) — “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku…”

b. Mat. 20:28 (bdk. Mat. 27:50)

· “memberikan nyawa-Nya” (psuchē)

· “menyerahkan nyawa-Nya” (pneuma)

c. Yoh. 17:27 (bdk. Yoh. 13:21)

· “jiwaku terharu” (psuchē)

· “terharu” (terjemahan seharusnya “roh-Nya terharu” — pneuma)

2 Kata ruah dan pneuma dipakai untuk menyebut nyawa/jiwa binatang (Pkh. 3:21 ;
Why. 16:3).

3 Kata nepes dan psyche dipakai pada diri Allah (Yes> 42:1 ; Ibr. 10:39 ; bdk. Mat.
12:18).

4 Keadaan rohani manusia yang paling tinggi dihubungkan dengan “jiwa” (Mrk.
12:30 ; Luk. 1:46 ; Ibr. 6:19 ; Yak. 1:21).
Keempat, Doktrin Kristus (Kristologi). Berikut ini saya akan mengutip pernyataan doktrinal
dari seorang “pemimpin gereja” Kemah Abraham, Jusufroni,

Secara pribadi saya ingin bertanya, yakinkah Anda bahwa kebenaran Kristus itu ditemukan
atau suatu pernyataan ? Jangan sekali-kali mengatakan telah kutemukan kebenaran dalam
Kristus. Memangnya siapa kita? Akulah jalan kebenaran dan hidup, tak seorangpun sampai
kepada Bapa kalau tidak melalui Aku. Tolong camkan kata-kata itu. Murid-Nya tidak
berkata Yesuslah jalan kebenaran dan hidup, tapi Yesuslah yang menyatakan diri-Nya dan
bukan murid yang menemukan. Kalau pun kita mencoba mencari kebenaran agama,
sebenarnya sampai saat ini belum menemukan. Kita baru coba-coba. Apalagi, kita
mengatakan inilah kebenaran agamaku, yang diabsolutkan. Begitu diabsolutkan menolak
kebenaran orang lain. Karena itu lahirlah penderitaan yang kita rasakan sekarang ini.
Mengapa terjadi bentrok itu ? Karena mereka merasa sudah menemukan kebenaran.
(Majalah Narwastu, Juni 2000)

Komentar saya :

1. Tafsiran Yohanes 14:6 yang tidak bertanggungjawab.

Perhatikan alur pikirannya. Jusufroni mengatakan bahwa Tuhan Yesus yang mengatakan
bahwa Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup, tak seorangpun sampai kepada Bapa kalau
tidak melalui Dia. Itu benar dan terdapat dalam Yohanes 14:6. Lalu, lebih lanjut, Jusufroni
mengemukakan pernyataan bahwa bukan murid-Nya yang mengemukakan hal ini, tetapi
Kristus sendiri, jadi, “kalau kita mencoba mencari kebenaran agama, sebenarnya sampai saat
ini belum menemukan. Kita baru coba-coba.” Sungguh tidak masuk akal. Memang benar
bahwa Allah di dalam Pribadi Tuhan Yesus Kristus menyatakan diri-Nya dan
memproklamirkan diri-Nya sebagai jalan dan kebenaran dan hidup itu, sehingga barangsiapa
yang mau datang kepada Bapa harus melalui diri-Nya. Ini berarti ada finalitas karya Kristus
yang tak mungkin dijumpai pada para pendiri agama apapun ! Kalau demikian, memang
bukan murid Kristus yang mengatakan hal ini, tetapi akibat dari pernyataan ini, para murid-
Nya sadar dan akhirnya mengerti Tuhan yang selama ini diikuti-Nya adalah benar dan sejati.
Akibat adanya konfirmasi Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan menuju kepada Bapa di
Surga, maka para murid Kristus dan kita sebagai orang Kristen percaya kepada-Nya. Sama
seperti kita baru bisa mengasihi Allah, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Tanpa
adanya campur tangan dan anugerah Allah yang intervensi ke dalam dunia, maka mustahil
manusia yang berdosa bisa mencari dan mengasihi Allah ! Begitu kan logikanya. Kalau
sampai si Jusufroni mengatakan bahwa dirinya masih meraba-raba dan mencoba-coba,
bukankah berarti “kesaksiannya” selama ini adalah palsu/bohong tatkala dia menjadi
“Kristen” dan bahkan “pendeta” ?! Kalau memang Jusufroni benar-benar bertobat dan rela
menyerahkan diri menjadi pendeta yang bertanggungjawab, maka dia tak sampai
mengeluarkan pernyataan yang tidak bertanggungjawab ini !

2. Pernyataan, “Begitu diabsolutkan menolak kebenaran orang lain.” yang tidak


bertanggungjawab.

Apakah dengan mengabsolutkan suatu kebenaran yang benar-benar benar berarti menolak
kebenaran orang lain ? YA, BENAR ! Lalu, apa yang salah dengan pemikiran ini ? Ambil
contoh, seorang guru dengan tegas mengajarkan bahwa 1+1+2 (hal yang absolut), lalu,
bolehkah murid-muridnya mengatakan bahwa sang guru mengajarkan hal-hal yang terlalu
absolut dan bisa menolak “kebenaran” orang lain yang mengatakan bahwa 1+1=3 atau 4 atau
5 atau terserah ?! Tidak bertanggungjawab, bukan ? Sama halnya dengan pandangan ini.
Tuhan Yesus sudah berkali-kali memperingatkan bahwa karena diri-Nya, barangsiapa yang
mengikut-Nya pasti mengalami aniaya dan kita dituntut untuk juga menderita bersama
Kristus dengan sukacita (1 Petrus 4:14). Demi Kerajaan Allah dan hidup kekal, kita pasti mau
menderita, karena ada janji pengharapan bagi mereka yang setia mengikut Kristus (otomatis
karena pimpinan dan pemeliharaan Allah melalui Roh Kudus). Ada harga yang harus dibayar
ketika kita mengikut Kristus dan berperang bagi Kerajaan Allah, tidak ada kompromi ala
dunia, harus berperang melawan setan dan kroni-kroninya ! Sesuatu yang absolut (dalam arti
hanya Alkitab) pasti menolak kebenaran orang lain pun sedang menunjukkan bahwa
“kebenaran” orang lain yang ditolak oleh Alkitab itu adalah suatu hal yang relatif dan siapa
yang membela pernyataan ini (bahwa yang absolut menolak “kebenaran” orang lain) pun
merupakan pengajaran yang relatif !

3. Pernyataan, “Mengapa terjadi bentrok itu ? Karena mereka merasa sudah menemukan
kebenaran.” Yang tidak bertanggungjawab.

Menurut pandangan Jusufroni, bentrok dan konflik terjadi karena mereka merasa sudah
menemukan kebenaran, padahal pernyataan ini menurut Jusufroni “tidak benar”. Benarkah
pandangan ini ? Kebenaran sejati (Alkitab) memang membutuhkan pengorbanan untuk
dibenci oleh orang-orang dunia, karena orang-orang dunia di luar Kristus adalah orang-orang
yang berdosa yang berasal dari dunia, sedangkan umat pilihan Allah adalah orang-orang yang
sama-sama berdosa (tetapi telah ditebus oleh Kristus) dan tinggal di dalam dunia, tetapi
berasal dari Surga/umat pilihan Allah (Yohanes 17:16) ! Tetapi tidak berarti ketika kita
sedang menyatakan suatu kebenaran Alkitab, itu bisa menghina orang lain, sehingga
terciptalah konflik. Ingatlah, konflik terjadi bukan karena orang-orang Kristen
memperjuangkan kebenaran Alkitab, tetapi munculnya orang-orang Islam maupun Kristen
yang radikal yang berusaha menghancurkan yang lain dengan kekerasan (peperangan dengan
fisik). Peperangan sejati bukan peperangan fisik/daging, tetapi peperangan rohani melawan
ajaran-ajaran yang sesat dengan hanya berpedoman Alkitab sebagai standart mutlak !
Seharusnya, kalau mereka masih menganggap diri manusia dan berhati nurani, mereka sadar
dan kembali kepada Kristus, karena tanpa Kristus dan pengorbanan/penumpahan darah-Nya,
tidak ada pengampunan dosa (Ibrani 9:22)! Tetapi akibat dosa, maka hati nurani manusia pun
menjadi terpolusi oleh dosa, sehingga mereka tidak mampu kembali kepada Kristus, kecuali
melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan dan mencerahkan pikiran dan hatinya
sehingga mereka dapat percaya kepada Kristus.

Kelima, Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Pada bagian ini, saya akan mengutip dua hal
tentang pengajaran tentang bahasa roh dari Sekolah Orientasi Melayani/School of Ministry
(SOM) dari Gereja Bethany Indonesia (dulu : GBI Bethany),

HARUSKAH KITA BERBAHASA LIDAH

Dalam 1 Kor. 14:18, Paulus berkata : “Aku mengucap syukur kepada Allah bahwa aku
berkata-kata dengan bahasa Roh lebih dari pada kamu semua.” Paulus berani bersaksi
bahwa ia berkata-kata dengan bahasa lidah lebih dari orang-orang Korintus berarti begitu
ia bangun dari tempat tidur langsung berbahasa lidah, pergi tidur berbahasa lidah, dalam
perjalanan, dalam pekerjaan, dalam kehidupan sehari-hari bahkan setiap saat ia berbahasa
lidah. Paulus berbahasa lidah dalam frekuensi waktu yang cukup banyak…

Kita akan lihat beberapa alasan mengapa setiap orang Kristen harus berbahasa lidah :
Alasan 1…

Alasan 5 : Dengan berdoa dalam bahasa lidah kita dapat berdoa untuk sesuatu permohonan
yang kita tidak ketahui (Enable us to pray for the unknown)

Roma 8:26, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita
tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita
kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.”

Kadang-kadang tatkala menghadapi persoalan yang amat berat dan secara akal sudah tidak
terpecahkan dan sudah tidak ada jalan keluar lagi dan kita tidak tahu apa yang harus kita
doakan dan mohonkan kepada Allah, saat itulah Roh akan membantu kelemahan kita
apabila kita mulai berbicara dengan bahasa lidah…

Yang terakhir adalah : Mengapa Paulus berkata bahwa “bahasa Roh adalah tanda untuk
orang yang tidak beriman ?” 1 Kor. 14:22. Yang jelas Paulus tidak bermaksud mengatakan
bahwa orang yang berkata-kata dengan bahasa Roh itu orang yang tidak beriman, karena
ayat-ayat sebelumnya Paulus menunjukkan bahasa-bahasa Roh itu penting untuk berkata
rahasia kepada Allah dan penting untuk membangun diri sendiri, dan Paulus suka kalau
semua orang berbahasa Roh seperti dia yang berbahasa Roh lebih dari semua orang
Korintus.

Yang dimaksudkan Paulus adalah : Jika ada seorang tidak percaya atau mempersoalkan
bahkan menolak dan menentang bahasa Roh, itu adalah “tanda” bahwa mereka adalah
orang yang tidak mempunyai iman. Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika
menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada
pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible). (Buletin SOM Bethany “Roh
Kudus”, pp 32-40)

Komentar saya :

Dari sekelumit pembahasan ini, mari kita akan memperhatikan problematika penafsiran
Alkitab dari theologia ini :

1. Penafsiran 1 Korintus 14:18.

Dengan menafsirkan 1 Korintus 14:18, yang sengaja tidak mengutip ayat 19, penulis buku
SOM ini mengutarakan, “Paulus berani bersaksi bahwa ia berkata-kata dengan bahasa lidah
lebih dari orang-orang Korintus berarti begitu ia bangun dari tempat tidur langsung
berbahasa lidah, pergi tidur berbahasa lidah, dalam perjalanan, dalam pekerjaan, dalam
kehidupan sehari-hari bahkan setiap saat ia berbahasa lidah. Paulus berbahasa lidah dalam
frekuensi waktu yang cukup banyak…” Ayat ini dengan semena-mena ditafsirkan, padahal di
dalam ayat selanjutnya, ayat 19, Paulus mengungkapkan, “Tetapi dalam pertemuan Jemaat
aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain
juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.” Memang Paulus bisa berbahasa Roh,
tetapi ia mengungkapkan bahwa itu hanya untuk membangun dirinya sendiri, sedangkan di
ayat 19, ia mulai membicarakan bahwa yang penting itu adalah untuk membangun Jemaat,
sehingga ia lebih suka mengucapkan atau berkhotbah tentang 5 kata yang dapat dimengerti
untuk mengajar orang ketimbang berpuluh-puluh ribu bahasa roh yang tidak diketahui.
Perhatikan terjemahan King James Version pada ayat 19 ini, “Yet in the church I had rather
speak five words with my understanding, that by my voice I might teach others also, than
ten thousand words in an unknown tongue.” Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari
menerjemahkan, “Namun, di dalam pertemuan-pertemuan untuk menyembah Tuhan, saya
lebih suka memakai lima perkataan yang dapat dimengerti orang daripada memakai
beribu-ribu perkataan dalam bahasa yang ajaib. Saya lebih suka begitu supaya saya dapat
mengajar orang.” Kata “understanding” dalam bahasa Yunaninya nous berarti intellect,
mind, dll. Jadi, kata “pengertian” bisa mencakup intelek, pikiran, dll. Dengan kata lain, di
dalam pertemuan jemaat atau ibadah, Paulus lebih suka mengajar orang lain dengan hal-hal
doktrinal yang bisa dimengerti bahasanya supaya iman jemaat dapat dibangun ketimbang
berpuluh-puluh ribu bahasa yang tidak dapat dingerti (unknown tongue). Kalau ayat 18
ditafsirkan bahwa Paulus setiap saat berbahasa lidah, bisakah Anda membayangkan bahwa
mungkinkah Paulus menuliskan wahyu Allah melalui surat-suratnya ? Jelas, ini sebuah
penafsiran yang dicocok-cocokkan. Kalau memang menurut penulis buku SOM ini, Paulus
setiap saat berbahasa Roh, mengapa rasul-rasul Kristus lainnya, seperti Yohanes, Petrus, dll
tidak dilaporkan setiap saat berbahasa Roh ? Jelas, ini suatu ketidakkonsistenan penafsiran
Alkitab ala penulis buku SOM. Penafsiran Alkitab ini disebut eisegese (menafsirkan Alkitab
sekehendak hatinya asal cocok dengan pola pikir yang telah ia tetapkan dahulu).

2. Penafsiran Roma 8:26.

Penulis buku SOM ini mengungkapkan 7 alasan orang “Kristen” harus “berbahasa roh”, salah
satunya adalah alasan 5 yang menyatakan, “Dengan berdoa dalam bahasa lidah kita dapat
berdoa untuk sesuatu permohonan yang kita tidak ketahui (Enable us to pray for the
unknown)” Lalu, untuk mendukung pengajaran ini, ia mengutip Roma 8:26 dengan
penafsirannya, “Kadang-kadang tatkala menghadapi persoalan yang amat berat dan secara
akal sudah tidak terpecahkan dan sudah tidak ada jalan keluar lagi dan kita tidak tahu apa
yang harus kita doakan dan mohonkan kepada Allah, saat itulah Roh akan membantu
kelemahan kita apabila kita mulai berbicara dengan bahasa lidah…” Dengan sangat jelas,
ayat 26 di dalam Roma 8 ditafsirkan seenaknya sendiri. Perhatikan. Roma 8:26 tidak sedang
berbicara tentang doa dalam bahasa roh. Ayat ini berarti Roh Allah yang Mahakudus itu
membantu kita berdoa kepada Bapa. Jadi, urutannya adalah : kita berdoa kepada Allah Bapa
di dalam nama Tuhan Yesus melalui Roh Kudus. Tetapi herannya, beberapa pemimpin gereja
Karismatik/Pentakosta mengajarkan berdoa di dalam Roh itu berarti berdoa dengan
menggunakan bahasa “roh”, lalu banyak jemaat mereka (termasuk para pemimpin gereja
mereka yang tidak mengerti) kalau berdoa bukan kepada Bapa tetapi kepada Roh Kudus, ini
pembalikkan ordo/urutan. Kembali, Roh Kudus membantu kita berdoa kepada Bapa karena
kita tidak mengerti bagaimana berdoa supaya doa kita diperkenan Allah (doa yang tidak
diperkenan Allah : doa yang egois, sombong, doa minta kaya, dll), oleh karena itu Roh Kudus
lah yang membantu kelemahan kita sehingga doa-doa kita disampaikan oleh Roh Kudus
kepada Allah Bapa. Lalu, jika Roh membantu kelemahan kita ketika kita mulai berbicara
dengan bahasa lidah, tafsiran ini terlalu dicocok-cocokkan, mengapa ? Karena di dalam
kelemahan-Nya dalam natur manusia, Tuhan Yesus ketika berdoa di Taman Getsemani, Ia
berdoa kepada Bapa sama sekali tidak menggunakan bahasa roh, apakah berarti Roh Kudus
tidak menolong-Nya ? Apakah berarti kita tidak boleh sama sekali berbahasa lidah ? TIDAK.
Bahasa Roh sejati masih ada sampai sekarang, karena itu adalah suatu hal yang supranatural
yang melebihi kemampuan rasio manusia, TETAPI tidak berarti karena itu hal yang
supranatural lalu tidak ada standardnya. Tidak semua hal supranatural itu benar dan
bertanggungjawab, oleh karena itu hanya Alkitablah yang harus menjadi standard untuk
menguji hal-hal yang supranatural.
3. Penafsiran 1 Korintus 14:22.

Tentang bahasa roh yang adalah karunia untuk orang yang tidak beriman (1 Korintus 14:22),
penulis buku SOM ini mengungkapkan, “Yang dimaksudkan Paulus adalah : Jika ada
seorang tidak percaya atau mempersoalkan bahkan menolak dan menentang bahasa Roh, itu
adalah “tanda” bahwa mereka adalah orang yang tidak mempunyai iman. Jadi “bahasa
Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak
mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to
the Bible).” Perhatikan. Ayat ini jelas menyimpang dari konteksnya, mengapa ? Ayat 22 tidak
bisa dilepaskan dari ayat sebelumnya. Di ayat 20, Paulus sudah memperingatkan jemaat
Korintus untuk tidak seperti anak-anak di dalam pemikiran mereka, karena mereka lebih
melihat fenomena yang kelihatan “wah” dan “supranatural” tanpa melihat esensi yang lebih
penting (yaitu mendengarkan Firman). Lalu, di ayat 21, dengan mengutip Yesaya 28:11-12,
Tuhan berkata melalui Paulus, “Oleh orang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh
mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun demikian mereka
tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan.” Di dalam Yesaya 28:11-12, Yesaya
menuliskan bahwa kepada para pemimpin Yerusalem, Allah menggunakan bahasa-bahasa
yang tidak mereka mengerti untuk menghukum mereka, “Sungguh, oleh orang-orang yang
berlogat ganjil dan oleh orang-orang yang berbahasa asing akan berbicara kepada bangsa
ini. Dia yang telah berfirman kepada mereka: "Inilah tempat perhentian, berilah
perhentian kepada orang yang lelah; inilah tempat peristirahatan!" Tetapi mereka tidak
mau mendengarkan.” Oleh karena itulah, di dalam ayat 22, Paulus mengajarkan, “Karena
itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk
orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan
untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman.” Lalu, penulis buku
SOM ini menyimpulkan, “Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak
ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada
pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible).” Posisi Alkitab sebagai satu-
satunya yang layak dipercaya digeser menjadi bahasa roh menjadi patokan yang mendasar
untuk mengukur iman seseorang, padahal di dalam Roma 10:17, Alkitab berkata, “Jadi,
iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Alkitab tidak
pernah berkata bahwa iman timbul dari bahasa roh, tetapi dari pendengaran oleh firman
Kristus ! Tetapi herannya, dengan menggantikan posisi finalitas Alkitab, penulis buku SOM
ini mengatakan bahwa pengajarannya adalah pengajaran yang “kembali kepada Alkitab”.
Sungguh, suatu kontradiksi yang aneh.

Keenam, Doktrin Keselamatan (Soteriologi). Berikut adalah contoh konkrit tentang kesalahan
tafsiran Alkitab yang diambil dari website “apologetika” sebuah pelayanan gereja Katolik
(http://www.ekaristi.net).

Tanya : Pendapat Gereja Katholik tentang pentingnya perbuatan adalah salah satu
penemuan buatan mereka.

Jawab : Filipi 2:12-13 : Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu
tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku
masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang
mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.

Umat di Filipi diminta untuk menuruti pesan St. Paulus untuk mengerjakan keselamatan
mereka dengan takut dan gentar. Apa bedanya dengan kita, jika kita benar-benar adalah orang
Kristen Perjanjian Baru ? Tingkah laku kita penting, karena dengan itulah Allah akan
menghakimi kita. Ayat ini seharusnya membuat kita merasa gentar sehingga kita terus
menerus melakukan keinginan Bapa dalam segala hal. St. Paulus atau penulis-penulis
Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu
dikhawatirkan seperti yang banyak diajarkan oleh pengkhotbah-pengkhotbah pada masa
sekarang.

Komentar saya :

Tafsiran terhadap Alkitab yang dilakukan secara semena-mena ini membuktikan penulis di
website ini tidak mengerti benar Alkitab. Filipi 2:12-13 sangat digemari oleh para theolog
Arminian dan Katolik yang anti-kedaulatan Allah. Coba kita akan menyelidiki dengan teliti.
Memang benar, di dalam Filipi 2:12-13, Paulus memerintahkan jemaat di Filipi untuk
mengerjakan keselamatan. Ayat ini tidak sedang mengajarkan bahwa karena keselamatan itu
mudah hilang, sehingga Paulus perlu mengingatkan jemaat di Filipi untuk mengerjakan
keselamatan. Tafsiran model ini adalah tafsiran yang dicocok-cocokkan (eisegese) yang tidak
sinkron dengan seluruh berita Alkitab. Meskipun Filipi 2:12-13 dikutip keseluruhan, tetapi
fokusnya sering dilihat hanya pada ayat 12, dan bukan pada ayat 13. Mengapa demikian?
Karena di ayat 13 mengajarkan bahwa Allah lah yang mengerjakan kehendak baik manusia
sehingga manusia bisa berbuat baik dan ajaran ini tidak cocok dengan ajaran Arminian dan
Katolik Roma. Itu masalahnya. Saya tidak berarti menyalahkan 100% bahwa perbuatan itu
tidak penting. Perbuatan baik itu penting tetapi bukan yang terutama, karena perbuatan baik
adalah respon kita yang telah mendapatkan anugerah Allah melalui iman di dalam Kristus.
Kita harus berbuat baik demi mewujudnyatakan cinta kasih dan terang Kristus ke dalam
dunia kita yang berdosa. Tetapi tidak berarti perbuatan baik lebih penting dari iman, sehingga
seolah-olah melalui perbuatan baik, “Allah” dipuaskan. Inilah yang ditekankan oleh banyak
theolog Katolik Roma dengan “theologia” naturalnya dan banyak theolog Injili dengan
presuposisi human-centerednya. Apalagi pernyataan yang mengatakan, “St. Paulus atau
penulis-penulis Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan kepastian keselamatan yang
tidak perlu dikhawatirkan seperti yang banyak diajarkan oleh pengkhotbah-pengkhotbah
pada masa sekarang.” adalah pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
Alkitabiah. Pernyataan ini adalah pernyataan yang dibuat-buat dan dicocok-cocokkan serta
membuktikan penulis artikel ini tidak mengerti pengajaran Alkitab. Benarkah Paulus dan para
rasul Perjanjian Baru tidak pernah mengajarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu
dikhawatirkan ? Ini pandangan keliru. Pandangan ini dengan mudah dapat dijatuhkan. Di
dalam Yohanes 3:16, Tuhan Yesus memberikan janji kepastian keselamatan bahwa
barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Apakah hidup yang kekal itu ? Hidup yang tidak dapat binasa, hidup selama-lamanya
bersama Bapa di Surga. Apakah dengan ini berarti janji Tuhan Yesus itu palsu dan bohong
belaka hanya untuk mengelabui Nikodemus pada waktu itu yang sedang “stres” ? Lalu, saya
akan memberikan argumentasi theologis di dalam hal ini. Keselamatan adalah murni 100%
adalah anugerah Allah, tidak ada satu unsur jasa baik manusia. Jangan percaya kepada
theologia Injili yang mengaku juga mempercayai keselamatan adalah anugerah Allah, tetapi
menyangkali kedaulatan Allah yang memimpin manusia pilihan-Nya sehingga tidak mungkin
kehilangan keselamatan. Itu bohong belaka. Sekali lagi, theologia Reformed saja yang berani
menegaskan kedaulatan Allah dan anugerah Allah secara konsisten. Keselamatan sejati
adalah anugerah Allah, seperti yang dipaparkan Paulus di dalam Efesus 2:8-9, “Sebab
karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi
pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan
diri.” Gereja Katolik Roma dan Arminian mungkin saja menyetujui kedua ayat ini, tetapi
dengan perspektif yang menyimpang dari konteks Alkitab ini, yaitu dengan mengajarkan
bahwa meskipun keselamatan itu adalah anugerah Allah, kita sebagai manusia harus
menerima keselamatan itu dan berbuat baik supaya diperkenan Allah. Ini sama saja bohong
dan kontradiksi dengan pendapat sendiri. Ketika theologia Reformed berani menegaskan
bahwa keselamatan sejati hanya melalui anugerah Allah di dalam iman, maka itu berarti
keseluruhan proses keselamatan ada di tangan Allah secara pribadi (bukan di tangan
manusia), yaitu mulai dari rencana keselamatan yang ditetapkan oleh Allah Bapa dengan
memilih sebagian orang untuk diselamatkan, penggenapan keselamatan di dalam Pribadi
Allah Anak, Tuhan Yesus Kristus dan penyempurnaan karya keselamatan melalui karya Roh
Kudus yang melahirbarukan umat pilihan Allah Bapa untuk beriman di dalam Kristus Yesus.
Itulah karya Allah Tritunggal di dalam keselamatan. Tidak ada satu theologia Kristen yang
berani merumuskan theologia sistematika ini, kecuali theologia Reformed ! Lalu,
keselamatan yang telah disempurnakan melalui karya Roh Kudus dengan melahirbarukan
umat pilihan-Nya dan memberi mereka iman di dalam Kristus, lalu diterima oleh umat
pilihan-Nya dan terus dikerjakan. Mengerjakan keselamatan tidak berarti mempertahankan
keselamatan supaya tidak hilang, tetapi berarti mewujudnyatakan keselamatan itu sehingga
orang lain dapat melihat perbuatan baik kita dan memuliakan Bapa di Surga (Matius 5:16).
Kembali, perbuatan baik kita yang dikaruniai dari Allah, dilakukan oleh Allah, berorientasi
hanya untuk kemuliaan Allah (Roma 11:36). Prinsip Soli Deo Gloria (=kemuliaan hanya bagi
Allah selama-lamanya) tidak ada pada theologia Katolik Roma, Orthodoks, Arminian, dll,
tetapi hanya pada theologia Reformasi dan Reformed yang konsisten. Tidak ada satu arus
theologia Kristen yang memiliki perspektif Kristo-sentris dan kedaulatan Allah (theology
from above) kecuali theologia Reformed. Ini bukan fanatisme iman, tetapi realita yang
mungkin membuat para penganut theologia lainnya akan marah, membenci, dll, itu tidak
menjadi masalah. Kembali, kalau memang “benar”, para penganut theologia Katolik Roma
dan Arminian mempercayai bahwa keselamatan Kristen itu tidak pasti, saya akan bertanya,
lalu, Allah yang menganugerahkan keselamatan itu juga bisa mengambil keselamatan
sekehedaknya sendiri, itu berarti Allah tersebut bukan Allah yang diajarkan oleh Alkitab
karena Allah tersebut adalah Allah yang plin-plan, seenaknya sendiri (tidak beda dengan
manusia yang suka plin-plan, ini membuktikan “Allah” palsu ini merupakan proyeksi dari
pikiran manusia yang berdosa seperti yang diajarkan oleh Ludwig Feuerbach). Entah,
mungkin saja “Allah” seperti itu yang dipercayai oleh para penganut theologia Katolik Roma
dan Arminian. Itu jelas bukan Allah yang Alkitab ajarkan. Inilah kelemahan fatal para
penganut theologia Katolik Roma dan Arminian.

Ketujuh, Doktrin Gereja (Ekklesiologi). Salah satu hal di dalam doktrin gereja yang akan kita
selidiki adalah tentang minyak urapan dan Perjamuan Kudus. Berikut kutipan ajaran dari
Bapak Yesaya Pariadji dari Tiberias yang mengemukakan ajaran tentang minyak urapan dan
Perjamuan Kudus.

Tuhan Yesus menegaskan :

HANYA ORANG YANG PUNYA ROH MARTIR YANG DIBERI


KUASA MEMBENTUK PERJAMUAN KUDUS YANG BENAR

I. Kita angkat Roti : Yang akan dibentuk menjadi Tubuh Kristus.


“Inilah roti yang turun dari Sorga, inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib.”
Artinya: Karena Perjamuan Kudus adalah korban Tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu
salib, itulah sebabnya hanya orang yang punya Roh Martir yang diberi kuasa membentuk
Perjamuan Kudus yang benar. Kalau orang masih minta-minta, minta-minta perpuluhan, itu
tandanya orang itu tidak mempunyai Roh Martir sehingga Perjamuan Kudusnya hanya
sekedar lambang saja, tidak ada kuasa Allah. Roh Martir adalah orang yang menyerahkan
segala miliknya, nyawa dan darahnya. Gereja Tiberias dibangun karena kami bisa
menyerahkan segala milik kami, nyawa dan darah kami agar banyak orang diselamatkan,
agar Gereja penuh kuasa.

1. Pertama: Yang memberikan keselamatan, yang memberikan hidup kekal di dalam


Sorga. Dasar Firman Allah di dalam Yohanes 6:51 & 58… Artinya: Keselamatan hanya
melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima Perjamuan Kudus yang benar. Di luar
Yesus tidak ada keselamatan dan hidup yang kekal di Sorga (Yohanes 3:16).

2. Kedua: Untuk menyempurnakan tubuhku agar sehat sempurna. Untuk


menyempurnakan jiwa dan rohku dan agar dibangkitkan pada akhir zaman. Dasar Firman
Allah di dalam Yohanes 17:23 demikian: “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku
supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus
Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.” Yohanes
6:54 demikian: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup
yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman”.

3. Ketiga: Inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib yang tertikam,
tertombak, agar kami tidak terkapar di meja operasi, agar kami tidak terkapar di rumah sakit,
agar kami tidak lumpuh, agar kami tidak pikun, tidak koma, dan tidak terkapar di rumah sakit
atau ruang ICU. Aku tolak kanker, aku tolak tumor. Dasar Firman Allah di dalam Yesaya
53:3-5 …

(Buletin Gereja Tiberias NO. 883 Minggu TGL. 06 NOVEMBER 2005)

Komentar saya :

Semua ayat Alkitab banyak yang ditafsirkan sekehendak hati Pariadji sendiri. Mari kita akan
menyelidiki satu per satu.

1. Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan, “hanya orang yang punya Roh
Martir yang diberi kuasa membentuk Perjamuan Kudus yang benar.”

Pernyataan ini adalah tafsiran Pariadji sendiri yang mengaku langsung dari “Tuhan Yesus”,
yang lebih aneh lagi, yang langsung dari “tuhan yesus” tidak ditemukan pengajarannya di
dalam Alkitab, ini Tuhan Yesus atau “tuhan yesus” ? Dari pernyataan ini, sangat jelas bahwa
orang yang punya “roh martir” yang dimaksudkannya adalah Pariadji sendiri. Baca
pernyataan selanjutnya, “Gereja Tiberias dibangun karena kami bisa menyerahkan segala
milik kami, nyawa dan darah kami agar banyak orang diselamatkan, agar Gereja penuh
kuasa.” Kalimat ini mirip dengan kalimat klenik atau syarat-syarat yang diperlukan untuk
memperoleh kuasa supranatural. Gereja dibangun bukan untuk memperoleh kuasa, tetapi
untuk memuliakan Kristus. Dari konsep gereja saja, Pariadji tidak mengerti totalitas
pengajaran Alkitab, lalu berani mengklaim diri memiliki “roh martir”. Sungguh, suatu
pernyataan orang yang aneh.

2. Pernyataan yang mengajarkan bahwa perjamuan kudus itu “memberikan


keselamatan, yang memberikan hidup kekal di dalam Sorga.” adalah pernyataan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus sebegitu
berkuasanya sehingga dapat memberikan keselamatan. Sepertinya, Pariadji harus membaca
seruan Petrus di dalam Kisah Para Rasul 4:12, “Dan keselamatan tidak ada di dalam
siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain
yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ayat ini tidak
mengatakan bahwa keselamatan ada di dalam minyak urapan atau perjamuan kudus.
Ditambah pernyataannya, “Keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan
menerima Perjamuan Kudus yang benar.” Dengan mengutip Yohanes 6:51 dan 58. Kedua
ayat yang dikutip oleh Bapak Pariadji sama sekali tidak mengajarkan tentang kanibalisme,
lalu orang percaya disuruh untuk benar-benar menguyah daging Tuhan Yesus. Tidak.
Penggunaan kata “roti” di dalam kedua ayat ini memang menunjuk Perjamuan Kudus, tetapi
yang dimaksudkan dengan “roti” adalah daging atau hidup-Nya sendiri yang diserahkan dan
mereka harus menerima-Nya supaya mereka memperoleh hidup. Hidup dan keselamatan
sejati didapat ketika mereka menerima-Nya sebagai Tuhan dan satu-satunya
Juruselamat, bukan karena menerima Perjamuan Kudus. Dengan pernyataan Bapak
Pariadji bahwa keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima
Perjamuan Kudus adalah pernyataan yang secara implisit menghina karya penebusan Kristus
di kayu salib dan menggantinya dengan hanya menerima Perjamuan Kudus yang “benar”
(keselamatan di dalam Kristus menurut Bapak Pariadji tidak cukup hanya percaya, tetapi juga
harus menerima Perjamuan Kudus yang “benar”), padahal konsep Perjamuan Kudus yang
dipromosikan oleh Bapak Pariadji adalah konsep yang salah (bandingkan 1 Korintus 11:23-
31 ; ayat 27 di dalam pasal ini sering diabaikan oleh banyak pemimpin gereja kontemporer
yang pop).

3. Kutipan Yohanes 6:54 yang seenaknya sendiri.

Fungsi perjamuan kudus yang dipaparkan Bapak Pariadji, “Untuk menyempurnakan tubuhku
agar sehat sempurna. Untuk menyempurnakan jiwa dan rohku dan agar dibangkitkan pada
akhir zaman.” Lalu, ia mengutip Yohanes 6:54. Pernyataan “makan daging dan minum
darah” tidak bermakna secara literal. Perhatikan pernyataan yang diungkapkan oleh Albert
Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible, “Except ye eat the flesh … - He did not
mean that this should be understood literally, for it was never done, and it is absurd to
suppose that it was intended to be so understood… His body was offered on the cross, and
was raised up from the dead and received into heaven. Besides, there is no evidence that he
had any reference in this passage to the Lord’s Supper… The plain meaning of the passage
is, that by his bloody death - his body and his blood offered in sacrifice for sin - he would
procure pardon and life for man;” (=Dia tidak bermaksud bahwa ayat ini dimengerti secara
literal, … Di samping itu, tidak ada bukti bahwa, bahwa Dia menunjukkan referensi apapun
di dalam bagian ini terhadap Perjamuan Tuhan…Arti sederhana dari bagian ini, bahwa
melalui darah kematian-Nya—tubuh dan darah-Nya diserahkan sebagai pengorbanan bagi
dosa…) Untuk mendukung ajarannya yang kacau, Bapak Pariadji dengan sengaja mencocok-
cocokkan ayat yang di luar konteks/makna aslinya supaya cocok dengan pandangan
Perjamuan Kudus-nya yang “menyelamatkan” dan “mujarab”.

4. Tafsiran Yesaya 53:3-5 yang seenaknya sendiri.

Fungsi “perjamuan kudus” ala Pariadji adalah untuk menyembuhkan penyakit. Berikut
pernyataannya, “Inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib yang tertikam,
tertombak, agar kami tidak terkapar di meja operasi, agar kami tidak terkapar di rumah
sakit, agar kami tidak lumpuh, agar kami tidak pikun, tidak koma, dan tidak terkapar di
rumah sakit atau ruang ICU. Aku tolak kanker, aku tolak tumor. Dasar Firman Allah di
dalam Yesaya 53:3-5 …” Kembali, ini adalah sebuah pelecehan implisit terhadap makna asli
Perjamuan Kudus. Memang, pengorbanan Kristus di kayu salib mampu mematahkan segala
belenggu penyakit, tetapi itu bukan poin penting. Bapak Pariadji tidak bisa membedakan
mana yang esensi (utama) dan mana yang tambahan (akibat dari esensi), akibatnya, dengan
tidak bertanggungjawab, dirinya mencocok-cocokkan semua ayat Alkitab sesuai kehendak
hatinya ditambah ada perkataan bahwa “tuhan yesus” langsung berkata kepadanya (biar
kelihatan “rohani dan alkitabiah”). Herannya, Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 11:23-31
tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang makna Perjamuan Kudus yang mujarab untuk
menyembuhkan penyakit. Ini problematika Bapak Pariadji dalam menafsirkan Alkitab,
mencari ayat-ayat Alkitab yang mendukung ajarannya dan sengaja meninggalkan 1 Korintus
11:23-31 yang jelas-jelas tidak mengajarkan tentang kemujaraban Perjamuan Kudus.

Kedelapan, Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi). Pada bagian terakhir, saya akan mengutip
pengajaran eskatologi dari SOM Bethany yang nantinya mempengaruhi penafsiran Alkitab
versi mereka. Berikut pengajarannya,

“Ada dua jenis Kebangkitan Tubuh :

KEBANGKITAN I :

Kebangkitan orang-orang benar sebelum Millenium berakhir untuk memperoleh HIDUP.

KEBANGKITAN II :

Kebangkitan orang-orang jahat sesudah Millenium berakhir untuk memperoleh HUKUMAN.

(Dan. 12:3 ; Yoh. 5:28-29 ; Wah. 20:4-6 ; Wah. 20:11-15). Jadi ada jarak 1000 tahun antara
kedua kebangkitan tersebut.” (Silabus SOM Bethany “Second Coming/Kedatangan Tuhan”,
p. 46)

Komentar saya :

1 Penafsiran Daniel 12:3 yang tidak bertanggungjawab

Pertama, Daniel 12:3, “Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya
cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-
bintang, tetap untuk selama-lamanya.” Ayat ini sengaja dicomot untuk mendukung ajaran
adanya dua kali kebangkitan tubuh, padahal ayat ini tidak mengindikasikan pengajaran ini.
Ayat ini hanya mengindikasikan tentang adanya orang-orang yang bijaksana yang adalah
orang-orang yang takut akan Allah akan menjadi sinar yang menerangi orang-orang dunia,
sehingga orang-orang pilihan-Nya yang belum bertobat boleh dipimpin dan diterangi oleh
sinar itu lalu mereka boleh kembali kepada Allah.

2 Penafsiran yang parsial atas Wahyu 20:4-6, 11-15

Untuk menafsir Kitab Wahyu, kita harus memperhatikan prinsipnya yaitu di dalam Kitab
Wahyu, terkandung banyak perkataan simbolis atau simbol-simbol yang tidak dapat
ditafsirkan secara harafiah. Berikut kutipan paparan tentang kelemahan penafsiran ayat-ayat
ini dari Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman,
“… penafsiran premillenialisme terhadap ayat 4 hingga 6 bukanlah satu-satunya
kemungkinan ; beberapa bukti telah diberikan bahwa 20:4-6 tidak berbicara tentang
kebangkitan tubuh bagi orang percaya ataupun orang tidak percaya… ajaran semacam ini
didasarkan pada penafsiran secara harafiah terhadap perikop dari kitab yang sangat
bersifat simbolis, dan mengabaikan ayat-ayat lain (seperti Yoh. 5:28-29 dan Kis. 24:15)
bahwa kebangkitan orang percaya dan tidak percaya akan terjadi secara bersamaan…

Perhatikanlah kalimat “orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu.”
(ayat 12)… Coba amati lebih jauh pernyataan bahwa laut menyerahkan orang-orang mati
yang ada di dalamnya (ayat 13)…Sudah tentu Hades, yaitu dunia orang mati, mencakup
semua orang yang telah mati, bukan hanya orang-orang tidak percaya yang telah mati.

Dalam ayat 12 kita membaca tentang kitab yang dibuka. Menurut bagian terakhir dalam
ayat 12, kitab tersebut berisi catatan tentang apa yang setiap orang telah lakukan. Tetapi
tidak ada indikasi bahwa kitab-kitab tersebut hanya berisi tentang penghukuman. Kitab
kehidupan, yang disebut dalam ayat 12 dan 15, umumnya dimengerti sebagai daftar orang-
orang pilihan…” (Hoekema : 2004, pp. 327-329)

Kita telah melihat problematika penafsiran Alkitab yang berintikan humanisme dan
terimplikasi praktis di dalam paradigma dasar atau theologia sistematika mereka yang
akhirnya mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alkitab. Lalu, bagaimana kita dapat
menafsirkan Alkitab dengan bertanggungjawab ? Kita akan membahasnya pada poin 2.4.

2.4 Penafsiran Alkitab yang Dapat Dipertanggungjawabkan (Penggabungan Antara


Theologia Sistematika dan Theologia Biblika)

Pada bagian terakhir, kita akan membahas bagaimana menafsirkan Alkitab dengan prinsip-
prinsip yang bertanggungjawab sehingga kita dapat menghindarkan diri dari kesengajaan
(atau ketidaksengajaan) mencoba mencomot ayat Alkitab di luar konteks yang ada. Lalu,
pertanyaan yang muncul, apakah berarti kita harus mati-matian membela prinsip-prinsip
tersebut, sehingga tanpa prinsip-prinsip tersebut kita tidak mungkin mengerti Alkitab ?
Kemudian, bagaimana dengan ibu-ibu yang tidak pernah sekolah tinggi yang tinggal di desa,
apakah mereka juga perlu sekolah theologia/Alkitab untuk memahami Alkitab ? Salah satu
prinsip Alkitab itu jelas, sehingga ibu-ibu yang tidak berpendidikan tinggi sekalipun dapat
memahaminya. Tetapi jangan menyempitkan arti kejelasan Alkitab ini, sehingga kita yang
mengenyam pendidikan tinggi, kita malas mempelajari Alkitab, lalu sembarangan
menafsirkan Alkitab dengan berpedoman bahwa Alkitab itu jelas. Kalau Tuhan
menganugerahkan kita kemampuan dan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi,
sebaiknya kita mempergunakannya untuk mempelajari firman-Nya terlebih dahulu.

Pada bab ini, saya akan membagi ke dalam dua prinsip, pertama, prinsip pembentukan pola
paradigma yang bertanggungjawab (theologia sistematika), dan kedua disusul dengan prinsip-
prinsip penafsiran Alkitab sesuai dengan theologia sistematika yang telah disusun.

Pertama, kita akan membahas tentang pengajaran-pengajaran theologia sistematika sebelum


kita masuk ke dalam prinsip mengerti Alkitab. Pengajaran theologia sistematika ini hanya
mungkin diintegrasikan dengan cara penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab ketika
pengajaran ini dibangun di atas pengertian theologia Reformed yang konsisten.

1. Doktrin Alkitab (Bibliologi)


Di dalam theologia Reformed, Alkitab dipercaya adalah satu-satunya wahyu Allah yang
tertinggi dan final (2 Timotius 3:16) yang tidak mungkin bersalah dalam naskah
asli/autographa-nya (infallibility and inerrancy of the Bible). Hal ini berakar dari semboyan
Reformasi dari Dr. Martin Luther, yaitu Sola Scriptura (hanya Alkitab). Theologia Reformed
juga mempercayai bahwa Doktrin Alkitab (Bibliologi) sebagai Prolegomena atau doktrin
yang mendasari semua doktrin Kristen. Jadi, semua pembahasan doktrin dari suatu arus
theologia Kristen dilihat dari bagaimana arus theologia Kristen itu memandang Alkitab.
Ketika kaum liberal mempercayai bahwa Alkitab itu murni buatan manusia, maka seluruh
doktrin yang mereka bangun juga berdasarkan konsep kebersalahan Alkitab, sehingga tidak
heran para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” yang bersumber dari “theologia”
liberal mendewakan humanisme dan kontekstualisasi yang salah agar kepercayaan Kristen
dapat dikompromikan dengan mudah (menghilangkan esensi Kristen). Selain prolegomena,
theologia Reformed juga mempercayai adanya suatu pengertian yang holistik dari Alkitab, di
mana seluruh kitab-kitab di dalam Alkitab dari PL sampai dengan PB adalah kitab-kitab yang
memberikan penjelasan yang menyeluruh dan saling melengkapi, sehingga ketika kita
menemukan adanya kekurangjelasan dalam satu kitab tertentu, kita dapat membuka bagian
kitab lainnya untuk mendapatkan penjelasannya. Ketika theologia Reformed memegang
pendapat ini, maka jarang sekali para theolog Reformed membuat spekulasi theologia hanya
dari satu bagian Alkitab, biasanya mereka akan mengintegrasikannya dengan seluruh berita di
dalam kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk penjelasan bagian ini akan dijelaskan pada Bab 4
ini pada prinsip kedua.

2. Doktrin Allah

Tentang doktrin Allah, theologia Reformed dengan sangat konsisten mengajarkan prinsip
kedaulatan Allah (the Sovereignty of God) dengan memegang prinsip bahwa segala sesuatu
adalah dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah saja kemuliaan sampai selama-lamanya (Roma
11:36). Oleh sebab itu, theologia Reformed dapat disebut sebagai theology from above yang
berusaha melihat segala sesuatu BUKAN dari perspektif manusia berdosa, tetapi dari
perspektif Allah di dalam Alkitab. Itu sebabnya, di dalam seluruh arus theologia Kristen,
hanya theologia Reformed yang lebih mendekati Alkitab (tidak berarti theologia Reformed
identik dengan Alkitab), karena kekonsistenan theologia Reformed dalam melihat segala
sesuatu. Kalau ada orang “Kristen” yang tidak pernah belajar theologia sama sekali, lalu
berani mengatakan bahwa theologia Reformed itu sombong dan tidak mengasihi, berhati-
hatilah terhadap orang “Kristen” yang sok tahu ini. Kembali, mengapa theologia Reformed
berani menegakkan kedaulatan Allah secara konsisten di dalam seluruh arus pemikirannya ?
Karena hanya theologia Reformed melihat Allah sebagai Allah, Tuhan, Pencipta dan Pemilik
seluruh alam semesta dan manusia adalah ciptaan-Nya yang hanya merupakan derivasi
(turunan) dari atribut Allah yang dapat dikomunikasikan (communicable attribute), misalnya,
adil, kasih, jujur, baik, dll. Allah adalah Tuhan yang memiliki dunia ini, sehingga Ia berdaulat
dan berhak mengatur dan memimpin hidup manusia sesuai dengan apa yang dikehendaki-
Nya. Di sini, posisi manusia hanya taat mutlak akan pimpinan-Nya. Perbedaan ini disebut
oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai perbedaan kualitatif (qualitative difference). Perbedaan
kualitatif ini memang bersumber dari Alkitab, tetapi hanya dapat digali oleh theologia
Reformed. Oleh karena itu, tidak usah heran, banyak theolog atau hamba Tuhan yang
bertheologia Injili (yang cenderung Arminian, lawan Reformed/Calvinisme) yang akhirnya
dapat dengan mudah diperdaya oleh Gerakan Zaman Baru—GZB (New Age Movement) yang
beridekan humanisme dan pantheisme, sehingga dengan berani mengajarkan bahwa di dalam
diri manusia terkandung unsur positif, bahkan ada seorang pemimpin gereja Karismatik yang
berani mengajarkan bahwa manusia adalah little gods (ilah-ilah kecil). Lalu, seorang direktur
dari John Robert Power di Surabaya ternyata adalah seorang “penginjil” perempuan di
sebuah gereja Karismatik “terbesar” di Surabaya. Mereka bisa masuk ke dalam racun GZB
ini karena doktrin Allah mereka tidak kuat dan begitu kacau, karena mereka secara implisit
mempercayai bahwa Allah bisa berubah atau mengubah rencana-Nya sesuai kondisi manusia.

3. Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology)

Theologia Reformed yang konsisten mengajarkan bahwa manusia itu diciptakan segambar
dan serupa dengan Allah yang menurunkan sifat-sifat Allah yang kasih, suci, baik, adil, jujur,
dll (atribut-atribut Allah yang dapat dikomunikasikan), sehingga manusia dapat berpotensi
menjadi seperti Allah (tetapi tetap sebagai makhluk yang terbatas, diciptakan dan berdosa).
Lalu, theologia Reformed mempercayai bahwa manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa
(pandangan dikotomi), di mana kedua hal ini saling berhubungan dan menyatu. Ketika tubuh
dan jiwa dipisahkan, maka manusia itu pasti mati. Tetapi saya sangat heran, ada seorang
“pemimpin gereja” yang melakukan bisnis “minyak urapan” hobi “bersaksi” bahwa
roh/jiwanya turun naik “surga” (tentu, terlepas dari tubuhnya). Ini jelas tidak sesuai dengan
prinsip Alkitab, jangan percaya akan hal yang aneh ini. Mengenai penjelasan pandangan
dikotomi, Anda dapat membaca sendiri buklet Doktrin Manusia dan Dosa yang ditulis oleh
Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano (Momentum, 2005). Kembali, di dalam
theologia Reformed yang mempercayai ketidakbersalahan Alkitab secara konsisten, manusia
yang telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah ini telah jatuh ke dalam dosa dan
dosa ini mengakibatkan seluruh potensi diri manusia menjadi rusak total (Total Depravity),
sehingga tidak ada satu inci diri manusia yang tidak berdosa (Roma 3:23). Dosa inilah
mengakibatkan hubungan antara manusia dengan Allah terputus, begitu pula hubungan antara
manusia dengan alam, binatang dan sesama manusia juga terputus. Tidak heran, di dalam
dunia ini muncul berbagai macam masalah, mulai dari timbulnya penyakit yang aneh,
bencana banjir, tanah longsor, tsunami, dll, itu semua akibat dosa. Tetapi tidak berarti setiap
penyakit, bencana alam pasti dari dosa. Yang saya maksudkan adalah dosa mengakibatkan
penyakit, bencana alam, dll. Dosa ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu dosa asal
(original sin) yang diwariskan dari Adam (Roma 5:12-14), lalu ada dosa aktual, yaitu dosa
yang kita kerjakan sendiri. Dalam kondisi ini, manusia hanya memiliki satu kecenderungan :
tidak bisa tidak berdosa (artinya ingin terus-menerus berdosa).

4. Doktrin Keselamatan (Soteriologi)

Konsep anugerah adalah konsep utama yang telah ditegakkan dari Paulus, Bapa gereja
Augustinus, Dr. Martin Luther sampai John Calvin dan mempengaruhi semua theologia
Reformasi dan Reformed. Di dalam hal ini, John Calvin, dengan memegang prinsip dari
Paulus, menegakkan konsep kedaulatan Allah lah yang dengan lebih tepat mengartikan
konsep hanya anugerah (sola gratia) ketimbang Luther. Mengapa ? Karena di dalam
theologia Reformed, konsep anugerah langsung dikaitkan dengan kedaulatan Allah,
sebaliknya di dalam theologia Reformasi agak kurang menekankan kaitan anugerah Allah
dengan kedaulatan Allah, sehingga beberapa gereja Lutheran mulai mengkompromikan
theologia mereka dengan theologia Injili yang Arminian. Mengapa menurut saya, theologia
Reformed saja yang lebih tepat memahami anugerah Allah ? Karena hanya theologia
Reformed mengaitkan konsep kedaulatan Allah dengan anugerah Allah ditambah
ketidakmampuan manusia secara total, sehingga manusia pasti membutuhkan-Nya. Konsep
anugerah ini jelas mempengaruhi doktrin keselamatan dan kehidupan Kristen sehari-hari. Di
dalam doktrin keselamatan, theologia Reformed mempercayai bahwa sebelum dunia
dijadikan, Allah telah memilih kita tanpa memandang jasa baik kita, tetapi murni atas
kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat (Efesus 1:3-6). Lalu, setelah Allah memilih kita untuk
menerima keselamatan yang telah direncanakan-Nya, Bapa mengutus Putra untuk
menggenapkan karya keselamatan itu dengan mati di kayu salib untuk menebus dosa
manusia, kemudian Roh Kudus diutus untuk menyempurnakan karya keselamatan itu dengan
mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya dengan
memberikan iman di dalam Kristus. Hanya theologia Reformed yang konsisten mengajarkan
peranan setiap Allah Tritunggal di dalam proses keselamatan. Lalu, Allah yang memulai
keselamatan ini akan menjaga umat pilihan-Nya sampai akhir sehingga mereka tidak pernah
mungkin dapat meninggalkan Kristus untuk selama-lamanya. Konsep ini jelas konsisten
dengan seluruh berita Alkitab (Yohanes 3:16 ; 6:40,44,47 ; 10:27-30 ; Roma 8:33-35). Tetapi
herannya konsep ini ditolak mentah-mentah oleh theologia Injili yang cenderung Arminian
dan juga theologia Katolik Roma yang mengatakan bahwa ketika orang tersebut murtad,
maka keselamatannya bisa hilang. Ini jelas tidak konsisten, mengapa ? Kembali,
problematika kekekalan keselamatan berkaitan erat dengan kekekalan diri Allah dan
pemeliharaan-Nya. Kalau pandangan Arminian yang mengatakan bahwa keselamatan umat
pilihan Allah bisa hilang akibat murtad itu adalah pandangan yang “benar”, maka kaum
Arminian secara implisit ingin mengajarkan konsep Deisme (yang mengajarkan bahwa
setelah Allah menciptakan dunia ini, maka Ia tidak memelihara dunia ini) dan dengan jelas
merendahkan posisi Allah di bawah posisi manusia yang “berotoritas”. Mengapa demikian ?
Karena dengan mengatakan bahwa keselamatan umat pilihan Allah bisa hilang, otomatis
sedang menghina Allah bahwa Ia tak sanggup lagi berbuat apa-apa terhadap keselamatan
umat pilihan-Nya ketika mereka memilih untuk murtad. Ini tentu bukan Allah sejati tetapi
“ilah” buatan para theolog Arminian dan Katolik yang tidak lebih dari suatu idealisme utopia
yang tidak pernah diajarkan oleh Alkitab, tetapi mirip seperti pandangan L. Feuerbach bahwa
“Allah” itu diciptakan menurut gambar dan rupa manusia. Di dalam kehidupan Kristen
sehari-hari, konsep anugerah harus menjadi konsep yang tertanam di dalam hati dan pikiran
kita, sehingga apapun yang telah Ia berikan kepada kita baik itu kepintaran, kemampuan
berbicara, dll, itu murni adalah anugerah Allah, lalu pergunakanlah itu hanya bagi kemuliaan-
Nya saja.

5. Doktrin Kristus (Kristologi)

Theologia Reformed mengikuti pandangan dari Rasul Paulus sendiri (Roma 1:3-4), para bapa
gereja yang setia, Luther dan John Calvin memegang pernyataan bahwa Kristus itu bernatur
100% Allah dan 100% manusia (dwi natur/dua sifat di dalam satu Pribadi Kristus yang tidak
terbagi, terpecah, tercampur). Hal ini telah dirumuskan dalam pengakuan iman gerejawi yang
bertanggungjawab, baik Chalcedon, dll. Tetapi yang agak berbeda, theologia Reformed
memiliki pandangan lain terhadap pribadi Kristus yang tidak dianut oleh arus theologia
Kristen apapun, yaitu Kristus itu sebagai Nabi, Imam dan Raja. Sebagai Nabi (di atas segala
nabi), Ia memberitakan firman Allah tentang kerajaan Allah kepada manusia dan kedatangan-
Nya membuktikan Kerajaan Allah telah hadir di bumi ini (Kerajaan Allah pada waktu
sekarang/yang telah ditegakkan), sebagai Imam (di atas segala imam), Ia mengorbankan diri-
Nya sendiri sebagai penebusan dosa bagi umat manusia yang berdosa (Ia berbeda dengan
para imam di dalam Perjanjian Lama yang mengorbankan binatang sebagai korban penebus
dosa) dan sebagai Raja, Ia memerintah alam semesta ini sebagai Tuhan yang berdaulat dan
berkuasa penuh (Matius 28:18) serta Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya untuk
mendirikan Kerajaan-Nya (Kerajaan Allah yang akan datang).

6. Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi)


Roh Kudus BUKAN Kuasa Allah, tetapi Roh Kudus adalah Pribadi Allah sendiri yaitu
Oknum/Pribadi Ketiga dari Allah Trinitas. Di dalam ordo/urutan keselamatan, Roh Kudus
berfungsi mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya
sehingga mereka bisa percaya di dalam Kristus dan bertobat. Tanpa ada karya Roh Kudus ini,
tak mungkin manusia dapat beriman dan mengaku Kristus sebagai Tuhan (1 Korintus 12:3).
Menghujat Roh Kudus sama halnya dengan menghujat fungsi dan peranannya, oleh karena
itu tindakan ini tidak ada ampun (Matius 12:32). Lalu, theologia Reformed seperti Alkitab
juga mempercayai bahwa Roh Kudus diutus untuk, “menginsafkan dunia akan dosa,
kebenaran dan penghakiman” (Yohanes 16:8). Kalau ada orang yang berani mengajar
tentang Roh Kudus, tetapi terlepas dari (bahkan bertentangan total dengan) prinsip ini,
berhati-hatilah terhadap para pengajar itu, karena dapat dipastikan mereka adalah para
pengajar palsu meskipun berjubah “Kristen” bahkan “pendeta” atau “pemimpin gereja”.

7. Doktrin Gereja (Ekklesiologi)

Gereja bukanlah gedungnya, tetapi orang-orangnya. Jadi, ketika orang-orang Kristen disebut
Bait Roh Kudus/Allah (1 Korintus 3:16), maka gereja yang merupakan kumpulan orang-
orang pilihan Allah pun dapat disebut Bait Allah tetapi dengan pengertian theologis. Kalau
gereja bukanlah gedungnya, maka kita tidak perlu berlomba-lomba membangun gedung
gereja sebagus dan semewah mungkin, tetapi kita tidak perlu jatuh ke dalam ekstrim lainnya,
yaitu membiarkan bangunan gereja tidak terawat, berdebu, bau, dll. Kedua hal itu sama-sama
salah. Gereja dapat dibagi menjadi dua, yaitu, gereja yang kelihatan (visible church), gereja
yang kelihatan dalam bentuk gedung, misalnya, GRII, GKA, GKRI, GKT, GKI, GBI, dll dan
kedua, gereja yang tidak kelihatan (invisible church) yang meliputi semua orang Kristen
sejati dari berbagai zaman, tempat dan kondisi. Lalu, kalau gereja adalah kumpulan orang-
orang pilihan Allah, apakah berarti semua anggota gereja pasti diselamatkan ? Kalau gereja
itu dalam pengertian gereja yang tidak kelihatan (orang-orang Kristen sejati), maka pasti
diselamatkan, tetapi jika dalam pengertian keanggotaan formal gereja yang kelihatan, maka
mereka belum tentu diselamatkan (karena banyak orang yang pergi ke gereja bahkan
mengaku diri “melayani tuhan” terbukti bahwa mereka bukan termasuk umat pilihan Allah).

Di dalam doktrin gereja, theologia Reformasi dan Reformed menegaskan bahwa gereja yang
sehat adalah gereja yang mengerjakan dua tugas yaitu mengajar doktrin dan melakukan
sakramen (dalam hal ini, hanya dua, yaitu Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus saja).
Khususnya, di dalam theologia Reformed, mandat gereja dibagi menjadi tiga, yaitu mandat
theologis (mengajar doktrin kepada jemaat-jemaat gereja), mandat Injil (memberitakan Injil)
dan mandat budaya (anak-anak Tuhan menjadi garam dan terang bagi masyarakat dunia di
dalam setiap aspek hidup, baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dll). Di dalam
theologia Reformed, gereja-gereja Reformed menjalankan baptisan anak (infant baptism)
dengan paradigma dasar bahwa baptisan bukan hal yang menyelamatkan, tetapi respon
terhadap anugerah Allah yang mendahului iman seseorang. Prinsip ini konsisten di dalam
seluruh Alkitab, di mana di dalam PL, Allah mengadakan perjanjian (covenant) melalui sunat
sejak kecil (tanpa perlu mempertanyakan apakah anak kecil itu beriman dahulu atau belum),
maka di dalam PB, perjanjian itu berupa baptisan. Selain itu, gereja-gereja Reformed
memegang sistem pemerintahan gereja Presbyterial/Presbyterian. Prof. Dr. Louis Berkhof di
dalam bukunya Teologi Sistematika : Doktrin Gereja mengungkapkan tentang sistem
pemerintahan gereja Reformed ini,

Gereja Reformed tidak mengklaim bahwa sistem mereka mengenai pemerintahan Gereja
ditentukan oleh setiap detilnya oleh Firman Tuhan, tetapi gereja Reformed menekankan
bahwa prinsip dasarnya diperoleh secara langsung dari Alkitab. Mereka tidak mengklaim
adanya jus divinum secara rinci, tetapi hanya untuk prinsip dasar yang umum saja dari
sistem ini, dan mereka siap untuk mengakui bahwa banyak hal-hal khusus ditentukan oleh
pertimbangan kebijaksanaan manusia…

Berikut ini kita lihat prinsip-prinsipnya yang paling mendasar :

1. Kristus adalah Kepala Gereja dan Sumber dari Segala Otoritas

…Reformed mempertahankan pendapat bahwa Kristus satu-satunya Kepala Gereja…

Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Kristus adalah Kepala atas segala sesuatu. Ia adala
hTuhan dari alam semesta, bukan sekedar sebagai Pribadi kedua dalam Tritunggal, tetapi
jjuga dalam keadaan-Nya sebagai Pengantara, Mat 28:18 ; Ef 1:20-22 ; Flp 2:10,11 ; Why
17:14 ; 19:16.Dalam pengertian yang sangat khusus, Ia adalah Kepala Gereja di mana
Gereja adalah tubuh-Nya…Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kristus adalah Kepala
Gereja, bukan saja dalam hubungannya yang vital dengan Gereja, tetapi juga sebagai
Legislator dan Raja. Dalam pengertian organik dan vital, Ia adalah Kepala yang utama,
walaupun tidak secara eksklusif, dari Gereja yang tidak nampak yang membentuk tubuh-Nya
secara spiritual. Ia juga kepala bagi Gereja yang nampak bukan hanya dalam pengertian
organik saja, tetapi juga dalam pengertian bahwa Ia adalah pemegang otoritas dan
memerintah atasnya, Mat 16:18,19 ; 23:8,10 ; Yoh 13:13 ; 1 Kor 12:5 ; Ef 1:20-23 ;
4:4,5,11,12 ; 5:23,24…

2. Kristus Melaksanakan Otoritas-Nya dengan Memakai Firman Kerajaan-Nya.

Pemerintahan Kristus tidaklah persis sama dengan pemerintahan raja-raja dunia. Ia tidak
memerintah Gereja dengan paksaan, tetapi secara subjektif melalui Roh-Nya yang bekerja
dalam Gereja dan secara objektif melalui Firman Tuhan sebagai standar otoritas… Karena
Kristus adalah satu-satunya Penguasa Gereja yang berdaulat, maka firman-Nya adalah
satu-satunya hukum dalam arti yang paling mutlak. Karena itu semua kekuasaan tiranis
tidak boleh ada dalam Gereja…

3. Kristus sebagai Raja Melimpahkan Kekuasaan kepada Gereja.

…sebagai tambahan para pejabat Gereja menerima suatu kuasa yang diperlukan oleh
mereka untuk melaksanakan tugas mereka dalam Gereja milik Kristus. Mereka memiliki
kuasa yang umum yang dilimpahkan kepada Gereja, dan juga menerima otoritas dan kuasa
sebagai pejabat langsung dari Kristus. Mereka adalah wakil, bukan sekedar sebagai
pelaksana atau delegasi dari jemaat…

4. Kristus Memperlengkapi para Pelaksana yang Ditunjuk untuk Melaksanakan


Hal-hal Khusus.

Kendatipun Kristus memberikan kuasa kepada Gereja secara keseluruhan, Ia juga


menghendaki agar pelaksanannya dilakukan oleh orang-orang tertentu secra khusus.
Mereka harus memelihara doktrin, ibadah dan disiplin. Para pejabat Gereja adalah wakil
bagi umat yang dipilih berdasarkan pemungutan suara. Tetapi, bukan berarti bahwa mereka
menerima otoritas dari umat. Sebab panggilan ini adalah panggilan batiniah yang diberikan
oleh Tuhan sendiri. Dari Tuhan juga para pejabat itu menerima otoritas, dan kepada-Nya
mereka harus bertanggungjawab…

5. Kekuatan Gereja Terutama Terletak pada Pemerintahan dalam Gereja Lokal.

… (Berkhof, 1997, pp. 57-63)

8. Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi)

Terakhir, theologia Reformed memegang konsep Amillenialisme di dalam doktrin Akhir


Zamannya. Di mana, pernyataan “Kerajaan 1000 Tahun” bukan dimengerti secara harafiah,
tetapi simbolis. Oleh karena itu, theologia Reformed sangat berhati-hati dalam menafsirkan
Kitab Wahyu, karena kitab ini berisikan simbol-simbol yang ditulis oleh Rasul Yohanes
untuk dikirimkan kepada jemaat-jemaat Kristen yang mengalami penganiayaan. Di dalam
Doktrin Akhir Zaman, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. membagi dua konsep kerajaan
Allah dan Eskatologi yaitu Kerajaan Allah dan Eskatologi yang telah ditegakkan dan
Kerajaan Allah dan Eskatologi yang akan datang. Inilah paradoksikal di dalam iman Kristen
yang sungguh iman. Kerajaan Allah yang telah ditegakkan adalah Kerajaan Allah yang hadir
ketika Kristus berinkarnasi ke dalam dunia sampai Ia mati dan bangkit yang membuktikan
kemenangan-Nya atas kuasa dosa, iblis dan maut, lalu Kerajaan Allah ini terus berlangsung
sampai akhir (Kerajaan Allah yang akan datang), di mana anak-anak-Nya akan menikmati
berkat yang telah dijanjikan-Nya yaitu tidak ada air mata, tidak ada penyakit, dll. Konsep
paradoks ini berimplikasi di dalam kehidupan Kristen yaitu mendorong kita untuk tidak
terlena dalam menikmati berkat-berkat pemeliharaan Allah yang telah diberikan-Nya pada
zaman sekarang, lalu mendorong kita juga untuk giat bagi pekerjaan Allah meskipun harus
menderita aniaya, karena kita memiliki pengharapan yang pasti bahwa Allah pasti
mengalahkan iblis dan dunia yang jahat ini.

Kedua, kita akan melanjutkan dengan prinsip penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab
sesuai prinsip-prinsip theologia sistematika di atas.

Berikut adalah prinsip-prinsip dalam penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab.

1 Memperhatikan Konteks yang Ada

Kalau kita membaca buku apapun hendaklah kita memperhatikan konteks penulisan buku itu
supaya kita tidak sembarangan menafsirkan maksud penulis yang sebenarnya. Apalagi ketika
kita mulai membaca dan menafsirkan Alkitab, prinsip pertama yang tidak boleh dilupakan
adalah memperhatikan konteks yang ada. Setiap ayat dan pasal di dalam suatu kitab di dalam
Alkitab memiliki banyak konteks. Misalnya, ketika di dalam Ibrani 4:12, penulis Ibrani
mengajarkan, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang
bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-
sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.”, jangan
langsung gegabah menafsirkan bahwa penulis Ibrani mengajarkan tentang pemisahan antara
jiwa dan roh. Konteks penulisan ayat ini adalah tentang begitu dahsyatnya kuasa Firman
Allah sehingga mampu menembusi kedalaman manusia. Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev.
Julio Kristano di dalam buklet Doktrin Manusia dan Dosa (2005) memaparkan, “Penulis
Surat Ibrani di dalam bagian ini sebenarnya lebih menekankan daya dan kuasa firman yang
menembus jauh ke dalam sehingga manusia tidak dapat bersembunyi.” (p. 7)
2 Memperhatikan Latar Belakang Penulisan Kitab

Setelah kita memperhatikan konteks yang ada, selanjutnya kita harus juga memperhatikan
latar belakang penulisan masing-masing kitab di dalam Alkitab, karena setiap kitab ditulis
oleh para penulis dengan latar belakang tertentu, misalnya di dalam penganiayaan, dll. Saya
akan memberikan dua contoh. Contoh pertama, Roma 10:9 berkata, “Sebab jika kamu
mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu,
bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan
diselamatkan.” Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ayat ini dengan mudah
dicomot oleh banyak penginjil untuk dijadikan dasar dalam memberitakan Injil, lalu berkata,
“Ayo coba katakan Yesus, Yesus, maka kamu akan diselamatkan.” Ini adalah penafsiran
Alkitab yang dipaksakan. Benarkah arti ayat ini ? Lalu, apakah Paulus bertentangan dengan
Tuhan Yesus di dalam Matius 7:21 mengajarkan, “Bukan setiap orang yang berseru
kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang
melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” ? Ini akibatnya menafsirkan Alkitab tanpa
melihat latar belakang. Surat Roma ditulis oleh Rasul Paulus untuk dikirimkan kepada
jemaat-jemaat Kristen di Roma yang mengalami penganiayaan dan penderitaan, di mana pada
waktu itu mereka diancam jika mereka menyembah Allah di luar Kaisar yang dianggap
sebagai “Allah”, mereka akan dibunuh. Oleh karena itu, mengapa di dalam ayat 9 di dalam
Roma 10 ini, Paulus mengatakan bahwa jika mereka mengaku dengan mulut mereka bahwa
Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hati mereka, mereka akan diselamatkan, karena
dengan menyebut Yesus sebagai Tuhan, mereka pasti menerima resiko hukuman mati dari
Kerajaan Romawi.

Kedua, Rasul Paulus berkata di dalam Galatia 1:6-7, “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas
berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan
mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang
mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. ” Lalu,
muncul pertanyaan “injil lain” apakah yang Paulus maksudkan ? Kalau kita memperhatikan
latar belakangnya, maka kita akan mengerti mengapa Paulus menulis kedua ayat tersebut.
Dari buku Handbook the Bible, kita dapat mengerti latar belakang ini,

“…Tidak lama setelah kunjungan pertama Rasul Paulus, guru-guru Yahudi yang lainnya
tiba di Galatia. Rasul Paulus mengajarkan bahwa untuk dapat menerima pengampunan
Allah dan karunia hidup baru diperlukan pertobatan dan iman. Tetapi guru-guru itu
bersikeras mengharuskan orang bukan Yahudi yang telah bertobat agar disunat juga dan
menaati hukum Yahudi — dengan kata lain harus menjadi orang Yahudi — untuk dapat
diselamatkan…” (“Handbook to the Bible,” 2002)

Dengan kata lain, “injil lain” ini adalah “injil” palsu yang diberitakan oleh guru-guru Yahudi
dengan Yudaismenya.

3 Memperbandingkan Berbagai Terjemahan Alkitab (Khususnya dengan bahasa


Ibrani dan Yunani)

Setelah mempertimbangkan konteks dan latar belakang, sekarang kita akan mencoba masuk
ke dalam tahap ketiga yaitu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab (dari berbagai
bahasa, entah itu Indonesia, Mandarin, Jawa, Madura, Batak, Inggris, Latin, dll). Mengapa ini
perlu dilakukan ? Karena kita mempercayai ketidakbersalahan Alkitab hanya di dalam naskah
asli/autographanya, sehingga terjemahan-terjemahan yang disalin dari Alkitab mengandung
beberapa kelemahan arti (meskipun tidak 100% mempengaruhi isi Alkitab). Kita sebagai
orang Kristen harus tetap percaya bahwa terjemahan-terjemahan Alkitab dijaga oleh Tuhan
sehingga tidak menyimpang dari arti aslinya, tetapi karena keterbatasan terjemahan, kita tetap
perlu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab untuk mendapatkan makna aslinya
yang lebih jelas, khususnya memperbandingkan langsung dengan terjemahan asli Alkitab
dalam bahasa Ibrani (PL) maupun bahasa Yunani (PB). Misalnya, Paulus di dalam Roma
1:16 berkata, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil
adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama
orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (TB), di dalam terjemahan Alkitab Bahasa
Indonesia Sehari-hari (BIS), “Saya percaya sekali akan Kabar Baik itu, karena kabar itu
adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan semua orang yang percaya; pertama-tama
orang Yahudi, dan bangsa lain juga.” dan Alkitab terjemahan King James Version (KJV)
mengartikannya, “For I am not ashamed of the gospel of Christ: for it is the power of God
unto salvation to every one that believeth; to the Jew first, and also to the Greek.”
Terjemahan Baru dan BIS dalam hal ini kurang jelas mengartikan maksud dari “mempunyai
keyakinan yang kokoh dalam Injil”, sedangkan KJV lebih tepat menerjemahkannya, “For I
am not ashamed of the gospel of Christ:…” (=Sebab aku tidak malu akan Injil Kristus).
Kata “ashamed” lebih sesuai dengan kata dalam bahasa Yunaninya epaischunomai yang
berarti to feel shame for something (merasa malu akan sesuatu). Dari perbedaan kata ini, kita
dapat menemukan makna yang mendalam yaitu Paulus yang berkeyakinan kokoh ini benar-
benar tidak malu akan Injil Kristus, meskipun harus mengalami penganiayaan sekalipun,
karena hal ini senada dengan ungkapan Paulus sendiri di dalam suratnya yang kedua kepada
Timotius pasal 1 ayat 12, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak
malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa
memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.”

Contoh kedua, di dalam Roma 3:23, Paulus berkata, “Karena semua orang telah berbuat
dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” (TB) Alkitab BIS menerjemahkannya,
“Semua orang sudah berdosa dan jauh dari Allah yang hendak menyelamatkan mereka.”
dan Alkitab KJV menerjemahkannya, “For all have sinned, and come short of the glory of
God;” Kata “kehilangan kemuliaan Allah” di dalam Terjemahan Baru (TB) dapat
mengakibatkan tafsiran yang aneh yaitu kemuliaan Allah benar-benar hilang dalam diri
manusia, ini adalah pandangan dari theologia Lutheran yang mengajarkan bahwa peta teladan
Allah sudah hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Padahal arti sebenarnya, bukan
“kehilangan kemuliaan Allah” tetapi “jauh dari Allah” (BIS) atau “come short of the glory of
God” (KJV) yang berasal dari bahasa Yunaninya hustereō yang berarti fall short (=tidak
mencukupi), fall, lack (=kekurangan), dll. Dalam hal ini, theologia Reformed yang
ditegakkan oleh John Calvin tepat sekali mengartikan bahwa ketika manusia jatuh ke dalam
dosa, peta teladan Allah tidak hilang, tetapi hanya rusak total atau mengurangi kemuliaan
Allah. Di sini, theologia Reformed menunjukkan ketelitiannya di dalam menafsirkan Alkitab.

4 Memperhatikan Bentuk Sastra/Genre yang Digunakan

Kemudian, setelah membandingkan berbagai terjemahan Alkitab, kita juga harus


memperhatikan bentuk sastra atau genre yang dipakai di dalam setiap kitab di dalam Alkitab.
Setiap kitab di dalam Alkitab memiliki keunikan tersendiri, di mana ada yang berisi nyanyian
(seperti Mazmur), puisi (Amsal), cerita, surat pastoral (Roma, Galatia, Efesus, dll), simbol-
simbol (Wahyu), dll. Masing-masing bentuk ini harus diperlakukan dengan tepat, sehingga
tidak terjadi kebingungan. Jika kita menafsirkan kitab Wahyu, janganlah menggunakan
pendekatan yang harafiah/literal (seperti para penganut
Premillenialisme/Dispensasionalisme). Itu akan berakibat fatal dan kita akan salah langkah
untuk nantinya mengerti simbol-simbol seperti kuda merah (Wahyu 6:4), dll yang adalah
suatu kebahayaan jika kita menafsirkan hal ini benar-benar kuda berwarna merah. Misalnya,
kalau kita menggunakan penafsiran literal untuk menafsirkan kitab Wahyu khususnya dalam
menafsirkan tentang angka 666 di dalam Wahyu 13:18, maka pengajaran yang dihasilkan
adalah langsung mewaspadai setiap angka 666 baik di dalam plat nomor kendaraan, label
harga, dll dan mencap itu adalah antikristus. Angka 666 adalah bilangan manusia, jadi, angka
ini dapat menunjuk kepada pribadi tertentu. Kalau di dalam konteks penulisan Rasul Yohanes
ini, maka angka 666 menunjuk kepada “Kerajaan Romawi dan penyembahan Kaisar”
(“Handbook to the Bible,” 2002) Yang jelas, angka 666 ini menunjuk kepada antikristus. Pdt.
Thomy J. Matakupan pernah menafsirkan ayat ini sebagai berikut : angka 6 menunjuk kepada
manusia (karena manusia diciptakan oleh Allah pada hari keenam) dan angka 6 ini
disebutkan tiga kali yang menunjukkan Allah (Allah Trinitas), maka angka ini berarti
manusia yang ingin menjadi seperti Allah, atau lebih tepatnya Antikristus yang menggantikan
posisi Kristus sebagai Allah. Apakah ini menunjuk kepada suatu pribadi tertentu, misalnya,
Paus, dll ? Alkitab tidak membicarakannya, karena Yohanes menulis kitab Wahyu bukan
hanya untuk orang-orang di zaman sekarang, tetapi dikhususkan untuk orang-orang Kristen
pada waktu itu.

5 Memperhatikan Kaitan Antara Satu Kitab Dengan Kitab-kitab Lain

Setelah itu, kita juga memperhatikan kaitan erat antara satu kitab dengan kitab lainnya.
Mengapa ? Karena kita percaya bahwa Alkitab itu tidak mungkin bertentangan satu dengan
yang lainnya dan Alkitab itu menafsirkan dirinya sendiri. Kedua konsep ini mengarahkan kita
untuk mencoba membandingkan satu kitab yang diselidiki dengan kitab lainnya. Misalnya,
ketika di dalam Yakobus 2:14-26, ditemukan kata intinya yaitu “iman”, maka kita dapat
membandingkan pengertian kata ini dengan kitab-kitab yang ditulis oleh rasul lainnya,
misalnya Paulus (Efesus 2:8-10), Petrus (1 Petrus 5:9 ; 2 Petrus 1:1), penulis Ibrani (Ibrani
11:1), dll, lalu dengan kitab-kitab PL (Kejadian 12 dan 17) dan diintegrasikan dengan seluruh
kitab di dalam Alkitab. Kalau kita ingin mengerti konsep Injil ketika kita menyelidiki surat
Roma, maka kita harus memperbandingkan pengertian Injil di dalam Roma dengan surat-
surat Paulus lainnya, misalnya Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, dll, lalu dikaitkan dengan
surat-surat pastoral dari Petrus (1 dan 2 Petrus), Rasul Yohanes, dll, ditambahkan tipologi
Injil di dalam PL. Jadi, di dalam menyelidiki dan memperbandingkan dengan kitab-kitab lain
di dalam Alkitab, pertama-tama kita harus memperbandingkannya dengan kitab yang ditulis
oleh penulis yang sama (misalnya ketika kita menyelidiki Surat Roma, kita dapat
memperbandingkannya dengan Surat Galatia, Efesus, Filipi, dll), kemudian juga
memperbandingkan dengan surat-surat yang ditulis oleh penulis yang berbeda (misalnya, 1
dan 2 Petrus, surat 1, 2, dan 3 Yohanes, Kitab Wahyu, dll), ditambah juga
memperbandingkannya dengan kitab-kitab di dalam Perjanjian Lama dan akhirnya kita dapat
mengintegrasikan semuanya dalam pengertian yang lebih dalam dan jelas. Apakah ini untuk
keperluan akademis ? Tidak. Ini sangat penting agar kita dapat mengerti Alkitab bukan secara
parsial/sebagian, tetapi menyeluruh/holistic, dan kita nantinya dapat mengaplikasikan ke
dalam kehidupan Kristen kita sehari-hari.

6 Memperhatikan Tafsiran-tafsiran Alkitab yang Ada

Keenam, kita juga memperhatikan tafsiran-tafsiran Alkitab yang telah ditulis oleh para
penafsir Alkitab yang bertanggungjawab. Hal ini diletakkan pada prinsip keenam, karena ini
hanya sebagai pembanding dan juga penambah pengetahuan bagi kita saja. Apakah ini
mutlak perlu ? Tidak, tetapi tetap perlu untuk dibaca dan diperbandingkan. Kita tidak boleh
mengambil dua sikap ekstrim, yaitu, pertama, menolak semua tafsiran Alkitab yang pernah
ditulis baik oleh para bapa gereja, theolog dan para penafsir Alkitab, karena kita percaya
bahwa Roh Kudus lah yang menafsirkan Alkitab. Di sisi lain, kita juga tidak boleh terus-
menerus mempercayai 100% terhadap buku-buku tafsiran Alkitab yang ada meskipun ditulis
oleh para theolog dan penafsir Alkitab tersohor, lalu kita kelihatan akademis karena suka
mengutip pendapat orang lain. Buku-buku tafsiran Alkitab itu baik, tetapi tidak boleh
menggantikan posisi Alkitab sebagai wahyu Allah yang tidak bersalah. Saya akan
memberikan contoh, Paulus di dalam Roma 1:17 berkata, “Orang benar akan hidup oleh
iman.” Kalau sepintas kita membaca pernyataan ini, kita dapat menafsirkan bahwa orang
benar yang hidup akan hidup oleh imannya, tetapi benarkah tafsiran demikian ? Albert
Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengungkapkan, “The Syriac renders it in a
similar manner, “The just by faith shall live.”” Artinya, orang benar melalui iman baru
dikatakan hidup. Kalau kita kurang memperhatikan beberapa tafsiran Alkitab seperti ini, kita
akan kehilangan makna ini.

7 Mengaplikasikan ke dalam Kehidupan Kristen Sehari-hari

Terakhir, penafsiran Alkitab bukan hanya untuk kepentingan akademis di seminari theologia,
tetapi juga untuk diaplikasikan. Percuma saja kita mahir di dalam menafsirkan Alkitab
sampai menyelidiki bahasa asli Alkitab, tetapi di dalam tafsiran itu kita lupa untuk
mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah kelemahan dari banyak buku
tafsiran Alkitab yang ditulis hanya untuk menambah pengetahuan theologis, penemuan
ilmiah, sastra, dll tanpa mengaplikasikannya ke dalam kehidupan Kristen sehari-hari.
Hermeneutika tanpa implikasi adalah suatu kesia-siaan, karena ketika kita menafsirkan
Alkitab, kita ingin terus-menerus belajar tentang firman dan kebenaran-Nya yang terus-
menerus mengoreksi dan menuntun jalan hidup kita.

Setelah kita mempelajari cara dan prinsip penafsiran Alkitab, marilah kita bukan hanya
menambah pengetahuan saja, tetapi setiap anak Tuhan diharapkan dapat mengaplikasikannya
ke dalam kehidupan sehari-hari agar nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Soli Deo
Gloria. Solus Christus

You might also like