You are on page 1of 14

CATATAN1

ATAS

KUA – PPAS PROVINSI JAWA TIMUR 2011

I. Pengantar

Sesuai dengan mekanisme perencanaan pembangunan dan perencanaan anggaran


daerah, Pemerintah Provinsi Jawa Timur setiap tahun harus merumuskan Kebijakan
Umum APBD. Posisi Kebijakan Umum APBD Tahun 2011 merupakan basis legislasi
APBD 2011 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan,
khususnya Permendagri 37 tahun 2010 tentang pedoman penyusunan APBD 2011.

Kebijakan Umum APBD 2011 juga menjadi kerangka menjaga keserasian kebijakan
pusat dan daerah, khususnya upaya menjaga kebijakan desentralisasi anggaran (fiscal
decentralization) agar tetap dalam kerangka prinsip dan tujuan yang otonomi daerah.
Kebijakan di bidang keuangan daerah meliputi tiga aspek penting yaitu: kebijakan
Pendapatan daerah (revenue policy), kebijakan pembelanjaan keuangan daerah
(Expenditure policy) dan kebijakan pembiayaan daerah.

Ketiga hal tersebut mempunyai nilai yang sangat penting karena masing-masing
harus dapat bersinergi. Idealnya expenditure policy adalah merupakan kebijakan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping diharapkan dalam jangka waktu
tertentu mampu berdampak pada meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan
revenue policy seharusnya dapat mendukung berbagai kebijakan belanja daerah akan
tetapi peningkatannya tidak menambah beban kepada masyarakat, khususnya
kelompok masyarakat miskin.

II. Permasalahan Dokumen

Di dalam penyusunan KUA APBD, seringkali masih dijumpai di banyak daerah


(Propinsi, Kabupaten dan Kota) ketidakakuratan penyajian data terkait asumsi-asumsi
1
Catatan ini disusun oleh Ismail Amir dan Madekhan Ali untuk Bahan diskusi bersama BANGGAR DPRD Jatim.

1
kebijakan makro dan mikro pembangunan. KUA disusun tanpa identifikasi masalah-
masalah mendasar dan aktual dalam masyarakat. Akibatnya, antara kebutuhan
masyarakat daerah dan arah, kebijakan anggaran sering tidak konsisten. Akibatnya
Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS hanya sekedar memenuhi syarat administratif
(azas normatif) saja.

Di dalam KUA APBD 2011 Jawa Timur, beberapa permasalahan akurasi dokumen
antara lain:

1. Target kinerja ekonomi 2011 hanya secara jelas disajikan 2 indikator


(pertumbuhan ekonomi dan inflasi), sementara beberapa komponen pokok
dalam asumsi ekonomi seperti TPT, Angka Penyerapan Tenaga Kerja, Angka
Kemiskinan tidak diuraikan. Bila mengandalkan pada proyeksi kinerja utama
pembangunan dalam RPJMD, tentu banyak yang harus direvisi bila mengacu
pada kondisi perekonomian saat ini.

Asumsi Indikator Makro Perekonomian


KUA Perubahan APBD Jawa Timur 2011

No Asumsi Indikator Pencapaian Kondisi Sem I KUA Jawa Asumsi


Kinerja Jawa Jawa Timur Timur 2011
Nasional
Timur 2009 2010
2011

1 Pertumbuhan 5,01%. 6,53% 6,51 %. 6,3 persen


Ekonomi
(5,10?)

2 Inflasi 3.62 6,83 persen 5,05 5,3


persen persen

3 TPT 5,05 persen 4,91 persen 7,3 persen

4 Kesempatan Kerja 2 juta TK

5 Angka 16,68 persen (15,26 persen 11,5 - 12,5%


Kemiskinan

2
2. Tiga arah Kebijakan Pendapatan Daerah tidak menggambarkan keterkaitan
yang erat dengan berbagai asumsi dan proyeksi perekonomian 2011 di Bab 2
(KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH) dan Bab 3 (ASUMSI-ASUMSI
DASAR DALAM PENYUSUNAN RAPBD 2011),
3. Rencana kerja Intensifikasi peningkatan Pendapatan Asli Daerah sebagian
besar salinan dari KUA APBD tahun 2010.
4. Rumusan Strategi dan Prioritas Pembangunan 2011 tidak memiliki focus
kebijakan yang jelas, hanya mengandalkan uraian umum dari RPJMD 2009-
2014.
5. Lima target kinerja utama pembangunan untuk Tahun 2011 tidak eksplisit
dikemukakan, kecuali pertumbuhan ekonomi 2011 yang direvisi 6,51 dari
RPJMD sebesar 5,5%,

6. Pada hal IV-56 terdapat uraian “Secara detail, uraian penjabaran 9 agenda
kedalam 18 Prioritas Pembangunan serta program dan kegiatan pada RKPD
2010, dan fokus untuk masing-masing agenda dan prioritas sebagaimana
matrik terlampir”. Adanya penulisan RKPD 2010 yang semestinya RKPD 2011
mengesankan bahwa bagian ini merupakan salinan langsung KUA 2010.
Selain itu ”matrik terlampir” juga tidak ditemukan.

3
Lima persoalan di atas seyognya menjadi perhatian tersendiri untuk
mendapatkan dokumen publik perencanaan pembangunan Jawa Timur yang memadai,
dengan kualifikasi:

1. Mampu memberi informasi yang jelas bagi semua stakeholders daerah


terkait arah kebijakan dan prioritas pembangunan untuk tahun 2011.
2. Mampu memberi informasi yang jelas bagi semua stakeholders daerah
terkait sumberdaya yang dimiliki (potensi) dan kendala yang akan
dihadapi pemerintah provinsi untuk melaksanakan kebijakan dan
prioritas pembangunan 2011.
3. Mampu memberi informasi yang jelas bagi semua stakeholders daerah
strategi yang ditempuh di dalam mendayagunakan sumberdaya dan
memecahkan kendala yang ada.
4. Mampu memberi informasi yang jelas bagi semua stakeholders daerah
tentang program-program prioritas, serta hasil yang akan diperoleh
diwaktu-waktu yang akan datang.

III. Asumsi Makro Ekonomi

Untuk menjaga agar KUA 2011 Prov. Jawa Timur berkesesuaian dengan kondisi
perekonomian daerah dan kinerja pembangunan, maka penyusunan Kebijakan Umum
APBD 2011 didasarkan pada asumsi-asumsi makro seperti tingkat pertumbuhan
ekonomi, inflasi, investasi, kesempatan kerja dan lain-lain dan asumsi – asumsi mikro
seperti pengangguran, kemiskinan dan berbagai permasalahan pelayanan dasar
(Pendidikan, kesehatan, infrastuktur dasar) masyarakat yang terjadi di daerah.

Berdasarkan asumsi situasi daerah pada tahun 2009, 2010 dan proyeksi tahun
2011, maka disusunlah berbagai arah kebijakan APBD 2011 dengan target: .
Sebagaimana disampaikan dalam Rancangan KUA APBD 2011, terdapat sejumlah
Asumsi optimistik terkait Indikator Makro Ekonomi Jatim, seperti:

4
1. Instrumen makro ekonomi menunjukkan tren yang semakin baik. Pertumbuhan
triwulan II 2010 dibandingkan dengan Triwulan II 2009 (y-o-y) mencapai 6,53%.
2. Total investasi semester pertama 2010 sebesar Rp 92,9 Triliun atau menyentuh
angka 58,1 persen dari target sepanjang tahun yang dipatok Rp 160 triliun.
3. Terbentuknya 8.506 koperasi wanita sampai dengan tahun 2010 dan
direncanakan penambahan modal terhadap kopwan berprestasi sebesar Rp. 25
Juta per unit diharapkan akan mampu menghidupkan transaksi ekonomi lokal
untuk meningkatkan ketahanan ekonomi lokal.
4. Intermediasi sektor perbankan diharapkan akan distimulasi pula oleh kebijakan
Bank Indonesia yang meningkatkan simpanan dalam bentuk Giro Wajib
Minimum (GWP) dari 5% menjadi 8%, Kebijakan LDR yang dikaitkan dengan
GWP yang berada pada range 78 -100%.

Berdasarkan asumsi demikian memang di satu sisi cukup memberikan harapan


dan keyakinan bahwa kinerja pembangunan Jatim 2011 akan lebih baik dari tahun-
tahun sebelumnya. Namun untuk memenuhi harapan tersebut cukup relevan
dipertimbangkan beberapa permasalahan kekinian, baik dalam lingkup internal maupun
ektsternal kebijakan Jatim di tahun 2011, seperti:

1. Memang data BPS Jatim terakhir menyatakan bahwa pertumbuhan triwulan II


2010 dibandingkan dengan Triwulan II 2009 (y-o-y) mencapai 6,53%. Hal ini
pararel dengan trend perkembangan ekonomi di tingkat nasional dimana
menurut ADB, perekonomian Indonesia sepanjang 2010 diproyeksi bisa
menembus angka 6,3 persen. Namun demikian, konsekuensi dari laju
pertumbuhan ekonomi yang begitu besar sering diikuti oleh naiknya inflasi. Bila
Pemprov. Jatim mentargetkan pertumbuhan ekonomi 6,51% (di atas target
nasional 6,3%) dengan tingkat inflasi 5,05% (di bawah target nasional 5,3%),
maka upaya pengendalian inflasi harus menjadi salah satu fokus pemerintah
daerah.
2. Pengendalian inflasi terutama diperuntukkan agar proyeksi 6,53 pertumbuhan
ekonomi jatim benar-benar “berkualitas” bagi masyarakat lapisan bawah

5
(pedesaan). Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa penentu konfigurasi inflasi
sekurang-kurangnya disebabkan tiga sumber penting. Yakni, faktor moneter
(khususnya nilai tukar), harga minyak internasional, dan pasokan/distribusi
pangan. Di Jawa Timur, tentu yang paling sesuai adalah dengan
mempertimbangkan faktor yang terakhir yaitu pasokan dan distribusi pangan.
Dengan kata lain, dengan target tingkat inflasi 5,05% (meningkat dibanding
2009), sektor yang paling rentan terhadap dampak inflasi adalah pertanian.
3. Oleh karena itu Tim Pemantauan dan Pengendalian Harga (TPPH) Provinsi
Jawa Timur pada tahun 2011 perlu mengoptimalkan kinerjanya dalam memantau
dan mengendalikan stabilitas harga komoditas pada tahun 2011. Salah satu
upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan koordinasi dengan Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah lain yang memiliki potensi inflasi
tinggi, terutama Surabaya, Malang, Tuban, Sumenep, Probolinggo,
Tulungagung, Kediri, Jember, Madiun, maupun Jawa tengah. Dengan adanya
koordinasi tersebut, diharapkan dapat meningkatkan sinergi atau koordinasi
antara TPID/TPPH dalam mengendalikan inflasi, melalui arus informasi yang
lebih faktual dan akurat mengenai pasokan komoditas lintas wilayah.

4. Dirintisnya 8.506 unit koperasi wanita sampai dengan tahun 2010 dan
direncanakan penambahan modal terhadap kopwan berprestasi sebesar Rp. 25
Juta per unit tentu bisa menjadi salah satu lokomotif pemberdayaan masyarakat
terutama kaum perempuan. Hal yang penting dicatat adalah “maintenance” dari
usaha Koperasi ini tidak bisa mengandalkan aspek permodalan saja, apalagi
menggantungkan stimulus fiscal daerah, semestinya permodalan koperasi
wanita pada tahun 2011 lebih diarahkan pada upaya intermediasi perbankan.
Untuk itu dibutuhkan pendampingan yang sangat serius dari Dinas terkait,
terutama mengingat sisi kritis dalam pembentukan Koperasi wanita setidaknya
ditemukan:

6
a. Pendekatan pembentukannya mau tidak mau terkait dengan skema
proyek pemerintah, sehingga bisa saja kualitas persiapannya kurang
matang, hanya mengejar target pengguliran bantuan.
b. Imbas dari persoalan pertama, adalah adanya segregasi social di tingkat
bawah/desa karena beberapa pihak merasa ditinggalkan dan tidak
merasa memiliki koperasi ini, sangat mungkin hal ini akan mengakibatkan
persaingan negatif dengan lembaga sejenis yang dibentuk proyek
pemerintah yang lain seperti BKM – PNPM dan berakibat pada politicking
Pemerintah Desa.
c. Kurangnya pemetaan sumberdaya di tingkat bawah menyebabkan banyak
koperasi yang tidak memiliki misi usaha yang jelas dan terjebak sekedar
menjadi koperasi simpan pinjam dengan pinjaman terbesar untuk
kebutuhan konsumtif masyarakat.

5. Kita bisa berharap intermediasi sektor perbankan akan meningkat seiring


kebijakan Bank Indonesia yang meningkatkan simpanan dalam bentuk Giro
Wajib Minimum (GWM) dari 5% menjadi 8%, Kebijakan LDR (Loan to Deposit
Ratio) yang dikaitkan dengan GWM yang berada pada range 78 -100%. Namun
yang patut diwaspadai adalah: Meski bisa memaksa pihak Bank memacu
penggelontoran kredit besar-besaran, namun mereka akan cenderung memilih
posisi aman karena khawatir tingkat likuiditas berkurang. Dalih yang sering
diungkapkan adalah: sector riil belum siap menyerap kredit. Apalagi terbukti
bahwa struktur kredit perbankan masih didominasi oleh kredit konsumsi
masyarakat seperti pembelian barang tahan lama dan mesin, masa liburan dan
tahun ajaran baru anak sekolah, pembelian rumah dan kendaraan bermotor.
Akibatnya daripada berisiko tinggi dengan kredir UMKM, lebih baik menyalurkan
kredit pada kredit investasi dan kredit konsumsi yang relative aman.

7
IV. Angka Kemiskinan Dan Pengangguran

Persentase penduduk miskin turun dari 18,51 persen pada tahun 2008 menjadi
16,68 persen pada tahun 2009, dan angka sementara 2010 pada KUA APBD 2011
tercatat turun lagi menjadi 15,26%. Hal ini pararel dengan menurunnya angka
pengangguran dimana tahun 2009 sebesar 5,05 persen dan 4,91 persen. Kondisi
demikian masih juga harus dicermati terutama pada konteks persoalan ketimpangan
produktifitas penduduk dan struktur tenaga kerja jawa Timur.

1. Produktifitas penduduk yang dicerminkan oleh struktur peranan PDRB Jatim


masih didominasi oleh sector industry pengolahan dan sector Perdagangan,
Hotel dan Restoran. Sementara sektor pertanian dengan jumlah tenaga kerja
terbesar yang terserap tingkat produktivitasnya dari tahun ke tahun masih sangat
rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sektor lainnya. Akibatnya
memang sebagian besar penduduk miskin Jawa Timur adalah mereka yang
bekerja di sector pertanian.
2. Sayangnya di dalam KUA 2011 tidak terdapat arah kebijakan untuk
meningkatkan Nilai Tukar Petani. Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) tahun 2009
sebesar 98,19. Angka NTP ini mengalami penurunan sebesar 2,27% bila
dibandingkan NTP tahun 2008 sebesar 100,47. Angka indeks NTP tersebut
dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan petani Jawa Timur relatif lebih
rendah, apabila dibandingkan pada tahun dasar (2007=100). Dengan angka
indeks itu pula, berarti indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh
rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian, relatif lebih tinggi
dibandingkan indeks harga hasil produksi pertanian. Lugasnya, kemiskinan
dengan tingkat daya beli semakin rendah dialami petani dan meski PDRB
Perkapita Jatim semakin meningkat namun masih bersifat semua karena hampir
tidak dinikmati sebagaian masyarakat Jatim yang hidup di pedesan.
Sebagaimana pada tabel di bawah ini:

8
3. Pada bulan Maret 2010 tahun berjalan 2010, Tingkat Pengangguran Terbuka di
Jawa Timur mencapai 4,91 persen atau sekitar 1.012.000 jiwa. Berita baik
demikian tentu harus pula dipertimbangkan dengan dominannya pekerja informal
daripada pekerja formal di Jatim. Sebagaimana di dilaporkan dalam KUA APBD
2011, dari 19.3 juta tenaga kerja yang terserap dalam lapangan kerja, hanya 5,1
juta tenaga kerja atau 27% yang bekerja di sektor formal, sementara sisanya
73% bekerja di sektor informal (lebih tinggi dari angka Nasional: 62%). Oleh
karena itu, bisa dikatakan bahwa penurunan tingkat pengangguran terbuka di
Jawa Timur masih semu. Realitasnya, tidak menutup kemungkinan angka
penduduk miskin di daerah dengan penduduk sekitar 35 juta jiwa ini jauh lebih
besar dari apa yang menjadi landasan perumusan KUA APBD 2011.

9
V. Kebijakan Keuangan Daerah

Pendapatan daerah

Proyeksi Pendapatan Daerah Pada Rancangan APBD Tahun Anggaran 2011


adalah sebagai berikut :
a. Pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) direncanakan sebesar Rp.
6.743.918.154.290,00 atau naik 31,10 persen dari proyeksi murni 2010
sebesar Rp. 5.143.999.228.183,00
b. Pos Dana Perimbangan yang pada 2010 murni diproyeksikan Rp.
2.214.004.796.214,00 maka pada 2011 diproyeksikan sebesar Rp.
2.075.970.175.285,00 atau turun 6,23 persen terdiri dari DAU Rp.
1.212.934.765.000,00, dan Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Rp.
863.035.410.285,00.
c. Pos Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah pada PAPBD 2010
diproyeksikan sebesar Rp. 39.409.541.000,00 maka pada tahun 2011
diproyeksikan sebesar Rp. 24.800.000.000,00 atau turun 37,07 persen.

Dengan demikian, maka pada Tahun anggaran 2011, proyeksi pendapatan


daerah adalah sebesar Rp. 8.844.688.329.575,00 atau mengalami kenaikan sebesar
Rp. 1.447.274.764.178,00 dari proyeksi murni 2010 yang diproyeksikan sebesar Rp.
7.397.413.565.397,00.

Sebagaimana pada tabel di bawah ini, peningkatan pendapatan dalam proyeksi


KUA APBD 2011 pada satu sisi patut diapreasi. Sementara bila dipersandingkan
dengan data kinerja pendapatan daerah di tahun-tahun sebelumnya maka bisa dicatat;
1. Proyeksi peningkatan pendapatan daerah Jatim tahun 2011 sebesar 1,09%
dibanding dengan proyeksi 2010, jauh lebih rendah peningkatan pendapatan
daerah pada 2009 – 2010 yang mencapai 10,9%.
2. Semestinya mengacu pada tingkat pertumbuhan pendapatan lima tahun
terakhir, maka proyeksi pertumbuhan pendapatan daerah 2011 semestinya

10
pada angka 10% sebagai posisi pertumbuhan rata-rata selama lima tahun
terakhir.

2009 R % KUA P 2010   KUA 2011  


PENDAPATAN 7,827,694,815,532.5 10.6 8,681,762,524,538.0 8,844,688,329,575.0
DAERAH 0 % 0 10.9% 0 1.9%
PENDAPATAN 5,708,040,337,081.5 72.9 6,232,606,843,785.0 71.8 6,743,918,154,290.0
ASLI DAERAH 1 % 0 % 0 76.2%
PAJAK DAERAH 4,891,816,302,939.0 85.7 5,182,150,000,000.0 5,517,000,000,000.0
0 % 0 83.1% 0 81.8%
RETRIBUSI 75,609,005,674.0 53,628,567,100.0 56,340,559,100.0
DAERAH 0 1.3% 0 0.9% 0 0.8%
HSL
245,170,822,805.0 246,000,000,000.0
PENGL.KEKADA 227,446,225,641.3 4.0%
0
3.9%
0
3.6%
YG DIPSHK 1
LAIN - LAIN
751,657,453,880.0 924,577,595,190.0
PENDAPATAN 513,168,802,827.2 9.0%
0
12.1%
0
13.7%
YANG SAH 0
DANA 2,093,556,408,980.0 2,405,046,139,753.0 2,075,970,175,285.0
27% 28% 23.5%
PERIMBANGAN 0 0 0
Bagi hasil pajak / 957,077,058,980.0 45.7 1,135,129,174,753.0 863,035,410,285.0
47.2% 41.6%
bukan pajak 0 % 0 0
Dana alokasi 1,118,478,350,000.0 53.4 1,212,934,765,000.0 1,212,934,765,000.0
50.4% 58.4%
umum 0 % 0 0
Dana alokasi 18,001,000,000.0 56,982,200,000.0
0.9% 2.4% 1.2%
khusus 0 0
LAIN - LAIN
26,098,069,470.9 44,109,541,000.0 24,800,000,000.0
PENDAPATAN 9
0.3%
0
0.5%
0
0.28%
YG SAH
Hibah 17,600,000,000.0 24,800,000,000.0
    39.9% 100.0%
0 0
Dana
penyeimbang / 15.6 26,509,541,000.0
60.1%   0.0%
Penyesuaian 4,065,150,000.0 % 0
otsus 0
Bantuan dana
dari pemerintah 0.0%   0.0%   0.0%
pusat  
Sumbangan 22,032,919,470.9 84.4
  0.0%   0.0%
Bantuan/ Hibah 9 %

3. Rendahnya proyeksi peningkatan pendapatan daerah demikian tentu tidak


konsisten dengan optimisme perekonomian Jawa Timur pada tahun 2011
yang tergambar dalam berbagai asumsi kebijakan, dan tengara faktor internal
dan eksternal Jawa Timur.
4. Sekaligus, proyeksi pertumbuhan ini tentu masih dipandang sangat pesimis,
cenderung bermain aman dan tidak banyak menstimulasi kinerja aparat
pengumpul pendapatan daerah. Target pendapatan daerah juga semestinya
dikaitkan dengan arah kebijakan khusus yang dikenakan pada kinerja BUMD.

11
Di dalam KUA 2011, jelas disadari bahwa BUMD sebagai unit bisnis
Pemerintah Provinsi Jawa Timur diharapkan akan menjadi agen
pembangunan yang turut serta dalam memainkan transaksi-transaksi
ekonomi yang salah satu kinerja terukurnya adalah mampu meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah dari pemanfaatan aset yang dipisahkan. Ini menjadi
strategis, ketika sampai saat ini Pajak Kendaraan Bermotor serta Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor masih menjadi primadona PAD Provinsi Jawa
Timur. Langkah-langkah riil yang harus dilakukan oleh BUMD adalah adanya
grand design bisnis plan yang terukur dengan ukuran skala ekonomi yang
mampu dioptimalkan dari kepemilikan aset, kemampuan kapitasi serta
peluang ekonomi yang ada.

TREN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH

25%

19.1%
20%
16.6% 16.3%
15%
10.8% 10.6% 10.9%
10%

5%

1.9%
0%
2005 R 2006 R 2007 R 2008 R 2009 R KUA P KUA 2011
2010

12
Belanja Daerah

Sebagaimana pada tabel berikut, belanja daerah Jatim mengalami penurunan


-10,8%. Pada tahun 2010 belanja daerah mencapai sebesar Rp. 10,3 Triliun, namun
pada proyeksi Tahun 2011 Rp. 9,2 Triliun. Penurunan terutama terjadi pada alokasi
Belanja Tidak Langsung, sementara Belanja Langsung mengalami sedikit kenaikan.

APBD R 2009 APBD P 2010 KUA APBD 2011


BELANJA
7,602,038,807,526 10,392,857,462,533.0 9,266,683,750,075
.88 14.5% 0 36.7% .00 -10.8%
BELANJA DAERAH
4,318,899,232,507.5 4,903,502,972,154.0
Belanja Tidak 7 56.8% 6,102,232,679,813.00 58.7% 0 52.9%
Langsung
1,075,189,345,905.0 1,548,816,358,151.0
Belanja pegawai/ 0 14.1% 1,446,496,159,246.00 13.9% 0 16.7%
personalia
0.004 0.007
296,035,973.00 % 768,950,921.00 % 5,288,211,780.00 0.057%
Belanja Bunga

Belanja Subsidi
540,816,991,822.57 7.1% 611,916,042,000.00 5.9% 798,584,800,000.00 8.6%
Belanja hibah
Belanja bantuan 72,471,414,349.00 1.0% 136,838,580,000.00 1.3% 2,100,000,000.00 0.0%
sosial
Bagi hasil kpd 1,883,301,032,340.0 2,060,885,718,036.0
prop/kab/kota & 0 24.8% 2,276,849,161,949.00 21.9% 0 22.2%
pemdes
Belanja bantuan 746,137,792,100.00 9.8% 1,571,693,100,000.00 15.1% 437,662,010,765.00 4.7%
keuangan
686,620,018.00 0.0% 57,670,685,697.00 0.6% 50,165,873,422.00 0.5%
Belanja tidak terduga
3,283,139,575,019.3 4,363,180,777,921.0
1 43.2% 4,290,624,782,720.00 41.3% 0 47.1%
Belanja Langsung
Belanja pegawai 483,186,940,619.00 14.7%
/personalia
1,962,652,642,711.3
Belanja barang & 1 59.8%
jasa
837,299,991,689.00 25.5%
Belanja modal

Bila dikaitkan dengan rumusan arah kebijakan Belanja daerah 2011, maka bisa dicatat
sebagai berikut:

1. Menurunnya belanja tidak langsung lebih disebabkan oleh penurunan drastic


alokasi belanja bantuan social dan belanja bantuan keuangan. Penurunan patut
dipehitungkan relevansinya dengan kebijakan belanja daerah khususnya

13
menstimulasi pertumbuhan ekonomi baik melalui percepatan pembangunan
infrastruktur, sektor usaha ekonomi produktif, maupun di bidang pelayanan dasar
lainnya. Penurunan komponen belanja bantuan keuangan apakah tidak
kontradiktif dengan upaya Pemprov Jawa Timur untuk melakukan percepatan
pembangunan di kabupaten atau wilayah yang relative tertinggal (marginalized)
dari wilayah yang lain.
2. Meski terlihat dalam Belanja Langsung mengalami sedikit peningkatan, namun
peningkatan tersebut harus pula dipertimbangkan dengan prioritas kebijakan
2011. Sayangnya di dalam KUA APBD 2011, belum terdapat fokus kebijakan
pembangunan 2011, kecuali mengacu pada RPJMD. Oleh karena itu, persoalan
besarnya belanja langsung dan besarnya volume belanja untuk kegiatan rutin
aparatur (ex administrasi umum) setidaknya bisa menjadi pangkal tolak upaya
efisiensi anggaran yang dicanangkan pada KUA APBD 2011.
3. Persoalan riel selama paling tidak tiga tahun terakhir dalam pengelolaan
keuangan Jawa Timur adalah besarnya proyeksi belanja daerah tidak diimbangi
dengan tingginya kinerja penyerapan anggaran. Oleh karena itu, bila tidak mau
dikatakan adanya reformasi birokrasi yang stagnan, tentu Pemprov harus banyak
berbenah. Sebab, penyerapan anggaran yang lambat adalah cermin dari karut-
marutnya birokrasi.

14

You might also like