Professional Documents
Culture Documents
ATAS
I. Pengantar
Kebijakan Umum APBD 2011 juga menjadi kerangka menjaga keserasian kebijakan
pusat dan daerah, khususnya upaya menjaga kebijakan desentralisasi anggaran (fiscal
decentralization) agar tetap dalam kerangka prinsip dan tujuan yang otonomi daerah.
Kebijakan di bidang keuangan daerah meliputi tiga aspek penting yaitu: kebijakan
Pendapatan daerah (revenue policy), kebijakan pembelanjaan keuangan daerah
(Expenditure policy) dan kebijakan pembiayaan daerah.
Ketiga hal tersebut mempunyai nilai yang sangat penting karena masing-masing
harus dapat bersinergi. Idealnya expenditure policy adalah merupakan kebijakan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping diharapkan dalam jangka waktu
tertentu mampu berdampak pada meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan
revenue policy seharusnya dapat mendukung berbagai kebijakan belanja daerah akan
tetapi peningkatannya tidak menambah beban kepada masyarakat, khususnya
kelompok masyarakat miskin.
1
kebijakan makro dan mikro pembangunan. KUA disusun tanpa identifikasi masalah-
masalah mendasar dan aktual dalam masyarakat. Akibatnya, antara kebutuhan
masyarakat daerah dan arah, kebijakan anggaran sering tidak konsisten. Akibatnya
Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS hanya sekedar memenuhi syarat administratif
(azas normatif) saja.
Di dalam KUA APBD 2011 Jawa Timur, beberapa permasalahan akurasi dokumen
antara lain:
2
2. Tiga arah Kebijakan Pendapatan Daerah tidak menggambarkan keterkaitan
yang erat dengan berbagai asumsi dan proyeksi perekonomian 2011 di Bab 2
(KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH) dan Bab 3 (ASUMSI-ASUMSI
DASAR DALAM PENYUSUNAN RAPBD 2011),
3. Rencana kerja Intensifikasi peningkatan Pendapatan Asli Daerah sebagian
besar salinan dari KUA APBD tahun 2010.
4. Rumusan Strategi dan Prioritas Pembangunan 2011 tidak memiliki focus
kebijakan yang jelas, hanya mengandalkan uraian umum dari RPJMD 2009-
2014.
5. Lima target kinerja utama pembangunan untuk Tahun 2011 tidak eksplisit
dikemukakan, kecuali pertumbuhan ekonomi 2011 yang direvisi 6,51 dari
RPJMD sebesar 5,5%,
6. Pada hal IV-56 terdapat uraian “Secara detail, uraian penjabaran 9 agenda
kedalam 18 Prioritas Pembangunan serta program dan kegiatan pada RKPD
2010, dan fokus untuk masing-masing agenda dan prioritas sebagaimana
matrik terlampir”. Adanya penulisan RKPD 2010 yang semestinya RKPD 2011
mengesankan bahwa bagian ini merupakan salinan langsung KUA 2010.
Selain itu ”matrik terlampir” juga tidak ditemukan.
3
Lima persoalan di atas seyognya menjadi perhatian tersendiri untuk
mendapatkan dokumen publik perencanaan pembangunan Jawa Timur yang memadai,
dengan kualifikasi:
Untuk menjaga agar KUA 2011 Prov. Jawa Timur berkesesuaian dengan kondisi
perekonomian daerah dan kinerja pembangunan, maka penyusunan Kebijakan Umum
APBD 2011 didasarkan pada asumsi-asumsi makro seperti tingkat pertumbuhan
ekonomi, inflasi, investasi, kesempatan kerja dan lain-lain dan asumsi – asumsi mikro
seperti pengangguran, kemiskinan dan berbagai permasalahan pelayanan dasar
(Pendidikan, kesehatan, infrastuktur dasar) masyarakat yang terjadi di daerah.
Berdasarkan asumsi situasi daerah pada tahun 2009, 2010 dan proyeksi tahun
2011, maka disusunlah berbagai arah kebijakan APBD 2011 dengan target: .
Sebagaimana disampaikan dalam Rancangan KUA APBD 2011, terdapat sejumlah
Asumsi optimistik terkait Indikator Makro Ekonomi Jatim, seperti:
4
1. Instrumen makro ekonomi menunjukkan tren yang semakin baik. Pertumbuhan
triwulan II 2010 dibandingkan dengan Triwulan II 2009 (y-o-y) mencapai 6,53%.
2. Total investasi semester pertama 2010 sebesar Rp 92,9 Triliun atau menyentuh
angka 58,1 persen dari target sepanjang tahun yang dipatok Rp 160 triliun.
3. Terbentuknya 8.506 koperasi wanita sampai dengan tahun 2010 dan
direncanakan penambahan modal terhadap kopwan berprestasi sebesar Rp. 25
Juta per unit diharapkan akan mampu menghidupkan transaksi ekonomi lokal
untuk meningkatkan ketahanan ekonomi lokal.
4. Intermediasi sektor perbankan diharapkan akan distimulasi pula oleh kebijakan
Bank Indonesia yang meningkatkan simpanan dalam bentuk Giro Wajib
Minimum (GWP) dari 5% menjadi 8%, Kebijakan LDR yang dikaitkan dengan
GWP yang berada pada range 78 -100%.
5
(pedesaan). Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa penentu konfigurasi inflasi
sekurang-kurangnya disebabkan tiga sumber penting. Yakni, faktor moneter
(khususnya nilai tukar), harga minyak internasional, dan pasokan/distribusi
pangan. Di Jawa Timur, tentu yang paling sesuai adalah dengan
mempertimbangkan faktor yang terakhir yaitu pasokan dan distribusi pangan.
Dengan kata lain, dengan target tingkat inflasi 5,05% (meningkat dibanding
2009), sektor yang paling rentan terhadap dampak inflasi adalah pertanian.
3. Oleh karena itu Tim Pemantauan dan Pengendalian Harga (TPPH) Provinsi
Jawa Timur pada tahun 2011 perlu mengoptimalkan kinerjanya dalam memantau
dan mengendalikan stabilitas harga komoditas pada tahun 2011. Salah satu
upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan koordinasi dengan Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah lain yang memiliki potensi inflasi
tinggi, terutama Surabaya, Malang, Tuban, Sumenep, Probolinggo,
Tulungagung, Kediri, Jember, Madiun, maupun Jawa tengah. Dengan adanya
koordinasi tersebut, diharapkan dapat meningkatkan sinergi atau koordinasi
antara TPID/TPPH dalam mengendalikan inflasi, melalui arus informasi yang
lebih faktual dan akurat mengenai pasokan komoditas lintas wilayah.
4. Dirintisnya 8.506 unit koperasi wanita sampai dengan tahun 2010 dan
direncanakan penambahan modal terhadap kopwan berprestasi sebesar Rp. 25
Juta per unit tentu bisa menjadi salah satu lokomotif pemberdayaan masyarakat
terutama kaum perempuan. Hal yang penting dicatat adalah “maintenance” dari
usaha Koperasi ini tidak bisa mengandalkan aspek permodalan saja, apalagi
menggantungkan stimulus fiscal daerah, semestinya permodalan koperasi
wanita pada tahun 2011 lebih diarahkan pada upaya intermediasi perbankan.
Untuk itu dibutuhkan pendampingan yang sangat serius dari Dinas terkait,
terutama mengingat sisi kritis dalam pembentukan Koperasi wanita setidaknya
ditemukan:
6
a. Pendekatan pembentukannya mau tidak mau terkait dengan skema
proyek pemerintah, sehingga bisa saja kualitas persiapannya kurang
matang, hanya mengejar target pengguliran bantuan.
b. Imbas dari persoalan pertama, adalah adanya segregasi social di tingkat
bawah/desa karena beberapa pihak merasa ditinggalkan dan tidak
merasa memiliki koperasi ini, sangat mungkin hal ini akan mengakibatkan
persaingan negatif dengan lembaga sejenis yang dibentuk proyek
pemerintah yang lain seperti BKM – PNPM dan berakibat pada politicking
Pemerintah Desa.
c. Kurangnya pemetaan sumberdaya di tingkat bawah menyebabkan banyak
koperasi yang tidak memiliki misi usaha yang jelas dan terjebak sekedar
menjadi koperasi simpan pinjam dengan pinjaman terbesar untuk
kebutuhan konsumtif masyarakat.
7
IV. Angka Kemiskinan Dan Pengangguran
Persentase penduduk miskin turun dari 18,51 persen pada tahun 2008 menjadi
16,68 persen pada tahun 2009, dan angka sementara 2010 pada KUA APBD 2011
tercatat turun lagi menjadi 15,26%. Hal ini pararel dengan menurunnya angka
pengangguran dimana tahun 2009 sebesar 5,05 persen dan 4,91 persen. Kondisi
demikian masih juga harus dicermati terutama pada konteks persoalan ketimpangan
produktifitas penduduk dan struktur tenaga kerja jawa Timur.
8
3. Pada bulan Maret 2010 tahun berjalan 2010, Tingkat Pengangguran Terbuka di
Jawa Timur mencapai 4,91 persen atau sekitar 1.012.000 jiwa. Berita baik
demikian tentu harus pula dipertimbangkan dengan dominannya pekerja informal
daripada pekerja formal di Jatim. Sebagaimana di dilaporkan dalam KUA APBD
2011, dari 19.3 juta tenaga kerja yang terserap dalam lapangan kerja, hanya 5,1
juta tenaga kerja atau 27% yang bekerja di sektor formal, sementara sisanya
73% bekerja di sektor informal (lebih tinggi dari angka Nasional: 62%). Oleh
karena itu, bisa dikatakan bahwa penurunan tingkat pengangguran terbuka di
Jawa Timur masih semu. Realitasnya, tidak menutup kemungkinan angka
penduduk miskin di daerah dengan penduduk sekitar 35 juta jiwa ini jauh lebih
besar dari apa yang menjadi landasan perumusan KUA APBD 2011.
9
V. Kebijakan Keuangan Daerah
Pendapatan daerah
10
pada angka 10% sebagai posisi pertumbuhan rata-rata selama lima tahun
terakhir.
11
Di dalam KUA 2011, jelas disadari bahwa BUMD sebagai unit bisnis
Pemerintah Provinsi Jawa Timur diharapkan akan menjadi agen
pembangunan yang turut serta dalam memainkan transaksi-transaksi
ekonomi yang salah satu kinerja terukurnya adalah mampu meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah dari pemanfaatan aset yang dipisahkan. Ini menjadi
strategis, ketika sampai saat ini Pajak Kendaraan Bermotor serta Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor masih menjadi primadona PAD Provinsi Jawa
Timur. Langkah-langkah riil yang harus dilakukan oleh BUMD adalah adanya
grand design bisnis plan yang terukur dengan ukuran skala ekonomi yang
mampu dioptimalkan dari kepemilikan aset, kemampuan kapitasi serta
peluang ekonomi yang ada.
25%
19.1%
20%
16.6% 16.3%
15%
10.8% 10.6% 10.9%
10%
5%
1.9%
0%
2005 R 2006 R 2007 R 2008 R 2009 R KUA P KUA 2011
2010
12
Belanja Daerah
Belanja Subsidi
540,816,991,822.57 7.1% 611,916,042,000.00 5.9% 798,584,800,000.00 8.6%
Belanja hibah
Belanja bantuan 72,471,414,349.00 1.0% 136,838,580,000.00 1.3% 2,100,000,000.00 0.0%
sosial
Bagi hasil kpd 1,883,301,032,340.0 2,060,885,718,036.0
prop/kab/kota & 0 24.8% 2,276,849,161,949.00 21.9% 0 22.2%
pemdes
Belanja bantuan 746,137,792,100.00 9.8% 1,571,693,100,000.00 15.1% 437,662,010,765.00 4.7%
keuangan
686,620,018.00 0.0% 57,670,685,697.00 0.6% 50,165,873,422.00 0.5%
Belanja tidak terduga
3,283,139,575,019.3 4,363,180,777,921.0
1 43.2% 4,290,624,782,720.00 41.3% 0 47.1%
Belanja Langsung
Belanja pegawai 483,186,940,619.00 14.7%
/personalia
1,962,652,642,711.3
Belanja barang & 1 59.8%
jasa
837,299,991,689.00 25.5%
Belanja modal
Bila dikaitkan dengan rumusan arah kebijakan Belanja daerah 2011, maka bisa dicatat
sebagai berikut:
13
menstimulasi pertumbuhan ekonomi baik melalui percepatan pembangunan
infrastruktur, sektor usaha ekonomi produktif, maupun di bidang pelayanan dasar
lainnya. Penurunan komponen belanja bantuan keuangan apakah tidak
kontradiktif dengan upaya Pemprov Jawa Timur untuk melakukan percepatan
pembangunan di kabupaten atau wilayah yang relative tertinggal (marginalized)
dari wilayah yang lain.
2. Meski terlihat dalam Belanja Langsung mengalami sedikit peningkatan, namun
peningkatan tersebut harus pula dipertimbangkan dengan prioritas kebijakan
2011. Sayangnya di dalam KUA APBD 2011, belum terdapat fokus kebijakan
pembangunan 2011, kecuali mengacu pada RPJMD. Oleh karena itu, persoalan
besarnya belanja langsung dan besarnya volume belanja untuk kegiatan rutin
aparatur (ex administrasi umum) setidaknya bisa menjadi pangkal tolak upaya
efisiensi anggaran yang dicanangkan pada KUA APBD 2011.
3. Persoalan riel selama paling tidak tiga tahun terakhir dalam pengelolaan
keuangan Jawa Timur adalah besarnya proyeksi belanja daerah tidak diimbangi
dengan tingginya kinerja penyerapan anggaran. Oleh karena itu, bila tidak mau
dikatakan adanya reformasi birokrasi yang stagnan, tentu Pemprov harus banyak
berbenah. Sebab, penyerapan anggaran yang lambat adalah cermin dari karut-
marutnya birokrasi.
14