You are on page 1of 208

1

HADIS TENTANG AKIBAT MENINGGALKAN


HUTANG DI DUNIA
(Analisis atas Sanad dan Matan)

SKRIPSI

SKRIPSI
Diajukan kepada Jurusan Ushuluddin
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh:
Amirul Bakhri
NIM 30.07.4.5.002

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2010 M. / 1431 H.
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang

berpedoman kepada al-Qur'an dan hadis. Agama Islam merupakan agama

yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia termasuk juga dalam

bermuamalah. Agama Islam tidak hanya mengatur hubungan muamalah

dengan Allah semata, akan tetapi juga mengatur hubungan muamalah sesama

manusia. Di antara muamalah sesama manusia tersebut adalah pinjam-

meminjam.

Dalam bahasa Arab penggunaan kosa kata “pinjam-meminjam“

mempunyai banyak kata di antaranya yaitu: al-dain, al-`âriyah, dan al-qardh.

Kata al-dain berasal dari kata adâna-yudînu yang berarti: menghutangi,

memberi pinjaman, kemudian kata al-`âriyah yang berasal dari kata a`âra-

yu`îru yang berarti: meminjamkan, meminjami. Sedangkan al-qardh berasal

dari kata aqradha-yuqridhu yang berarti: meminjam (uang), mengutangi.1

Al-Qurthubî mengatakan dalam kitab Tafsîr al-Qurthubî bahwa

pengertian al-dain secara istilah merupakan semua transaksi di mana salah

satu pihak membayar (memberikan) dengan tunai dan pihak yang lainnya

1
‫ ألشض‬: ْ‫ أدا‬: menghutangi, memberi pinjaman (lihat Munawir A. Fattah dan Adib Bishri,
Kamus Indonesia- Arab, Arab-Indonesia al-Bishri, cet. 1, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h.
[Arab] 214). ‫ أعبس‬: ‫ ألشض‬: meminjam (uang), mengutangi (lihat Ibid., h. [Arab] 592). ‫ ألشض‬: ‫ أعبس‬:
meminjamkan, meminjami (lihat Ibid., h. [Arab] 528).
3

(mengembalikan) dalam tempo (tenggang waktu).2 Sedangkan pengertian al-

`âriyah secara istilah menurut Ibnu Rasyîd merupakan bentuk pinjaman baik

itu berupa tanah, hewan ternak atau apapun yang jelas wujudnya dan

bermanfaat dan juga tidak terlarang. 3 Menurut Imam Ahmad, al-`âriyah

merupakan suatu pemberian (pinjaman) yang bermanfaat.4 Adapun menurut

Imam al-Syâfi‟î, al-`âriyah merupakan pinjaman yang mempunyai akad

perjanjian untuk dipertanggung-jawabkan agar diambil manfaatnya dan

pinjaman ini berupa barang yang jelas dan nanti dikemudian hari agar

dikembalikan kepada peminjam apabila telah dipergunakan barang yang

dipinjam tadi. 5 Helmi Karim juga mengatakan bahwa dalam pelaksanaan

kegiatan pinjam-meminjam di zaman sekarang, al-`âriyah diartikan sebagai

perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada

pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan

serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar

imbalan dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan

harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. 6 Adapun pengertian al-

qardh merupakan pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh

2
Al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, dkk., cet. 1, j. 3, (Jakarta: Pustaka
Azzam, April 2008), h. 837.
3
Ahmad ibn Rasyîd al-Qurthubî al-Andalusî atau yang terkenal dengan nama Ibnu
Rasyîd, Bidâyat al-Mujtahid fî Nihâyat al-Muqtashid, j. 2, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 235.
4
Muwaffiq al-Dîn `Abdullâh ibn Qudâmah al-Maqdîsî, Al-Kâfî fî Fiqhi al-Imâm Ahmad,
j. 2, cet. 1, (Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994), h. 213.
5
Abû al-`Abbâs Ahmad ibn Hamzah ibn Syihâb al-Dîn al-Ramlî yang terkenal dengan
nama al-Syâfi`î al-Shaghîr, Nihâyat al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, j. 5, (Bairut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyah, 1993), h. 117.
6
Helmi Karim, Fiqih Muamalah, cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo, Mei 2002), h. 37.
4

bagian laba.7 Menurut al-Naisâburî, al-qardh bukanlah bentuk dari (al-dain),

karena al-dain ada batas waktu peminjamannya, sedangkan al-qardh tidak

boleh ada batas waktunya. Dengan demikian dari ketiga kata yakni al-dain,

al-`âriyah, dan al-qardh, yang termasuk dalam kategori pinjam-meminjam

secara istilah hanya al-dain dan al-`âriyah, sedangkan al-qardh bukan

merupakan istilah pinjam-meminjam.

Dalam kehidupan sekarang, penggunaan kata al-dain atau hutang-

piutang dengan al-`âriyah atau pinjaman berbeda. Hal ini terjadi karena

kedua istilah kata tersebut berbeda dalam pelaksanaannya. Hutang (al-dain)

mengacu kepada pemberian izin untuk menggunakan suatu harta dengan

ketentuan akan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati misalnya

berhutang uang. Adapun pinjaman (al-`âriyah) mengacu kepada pemberian

izin untuk memanfaatkan suatu barang dan akan dikembalikan lagi sesuai

kesepakatan.8

Dalam realita kehidupan sekarang, hubungan antara harta dan hutang

sudah merupakan masalah yang universal dalam kehidupan manusia. Dalam

rangka memenuhi kebutuhannya termasuk pengembangan harta yang

dimilikinya, manusia selalu terlibat dalam hubungan hutang-piutang.

Hubungan transaksi hutang-piutang selalu saja terjadi di setiap masyarakat,

7
Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia- Arab, Arab-Indonesia al-Bishri,
h. (Arab) 592.
8
Ade Armando, dkk., Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar, j. 6, cet. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2005), h. 41.
5

tanpa membedakan tempat atau masa, dalam keadaan senang atau susah. 9

Masyarakat yang melakukan transaksi hutang-piutang merupakan bentuk

ikhtiar atau usaha mereka dalam mengembangkan atau meningkatkan

pendapatan usaha keluarga mereka atau bisa juga untuk pemenuhan

kebutuhan dalam kehidupan mereka. Dalam kehidupan zaman sekarang

banyak sekali fasilitas bagi masyarakat agar bisa memperoleh hutang, salah

satu di antaranya adalah melalui bank, baik itu bank konvensional atau bank

yang menggunakan sistem syari`ah.

Jauh sebelum kegiatan hutang-pitutang yang terjadi dalam masyarakat

sekarang terjadi, agama Islam yang merupakan agama yang memberikan

rahmat bagi seluruh alam telah mengatur tentang hutang-piutang. Dalam al-

Qur‟an surat al-Baqarah ayat 282 dijelaskan tentang bagaimana mekanisme

atau cara melakukan transaksi hutang-piutang, diantaranya adalah kewajiban

bagi kita apabila bermuamalah tidak secara tunai,10 hendaklah menuliskannya

dengan secara benar oleh si penulis. Begitu juga dengan si penulis hutang

kita, agar mematuhi hukum Allah dan tidak mengurangi hutangnya dengan

bantuan orang yang berhutang. Dibutuhkan juga saksi-saksi dalam melakukan

transaksi hutang-piutang kita yakni dua orang saksi dari orang-orang lelaki.

Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang

perempuan yang diridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang

9
Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, cet. 1,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, November 2001), h. 203.
10
Muamalah tidak tunai ialah seperti berjual-beli, hutang-piutang, atau sewa-menyewa
dan sebagainya. Lihat Yayasan Penterjemah al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Semarang: PT Tanjung Emas Inti Semarang, 1992), h. 70-71.
6

mengingatkannya. 11 Menurut al-Qurthubî dalam kitab Tafsîr al-Qurthubî

yang mengutip pendapat Ibnu `Abbâs mengatakan bahwa ayat ini (QS. Al-

Baqarah: ayat 282) khusus untuk masalah transaksi Salam (pembeliaan

barang yang diserahkan kemudian hari [pemesanan], sementara

pembayarannya diberikan dimuka) dan diturunkan pada kisah transaksi Salam

dalam masyarakat kota Madinah. Itulah asbâb al-nuzûl (sebab turunnya ayat)

ini yang kemudian oleh para ulama dicakupkan untuk seluruh transaksi yang

berbentuk hutang. Selanjutnya, dia (al-Qurthubî) juga mengatakan bahwa dari

ayat inilah beberapa ulama mengambil dalil untuk pembolehan penundaan

pembayaran dalam pinjam-meminjam seperti pendapat yang disampaikan

oleh Imam Mâlik.12 Sebab turun ayat yakni ayat 282 dalam surat al-Baqarah

tersebut tidak hanya tentang kegiatan Salam saja, menurut Hasbie al-

Shiddieqi yang mengutip pendapat al-Râbi‟ mengatakan bahwa ayat ini

diturunkan ketika seorang lelaki meminta kepada suatu golongan masyarakat

untuk menjadi saksi atas suatu peristiwa, namun tidak seorangpun yang

bersedia.13

Selain mekanisme hutang-piutang yang tertera dalam al-Qur`an, Islam

juga berbicara mengenai hal-hal lain dalam masalah hutang-piutang atau pada

kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan hutang-piutang yakni mengenai

akibat bagi seseorang yang meninggal dunia akan tetapi masih meninggalkan

11
Ibid., h. 70-71.
12
Al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, terj. Fathurrahman, h. 836.
13
Muhammad Hasbi al-Shiddieqi, Tafsir al-Qur`anul Majid al-Nur, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2000), h. 498.
7

tanggungan hutangnya di dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi

yang berbunyi sebagai berikut:

ٍ ‫ث َعن عُ َقْي ٍل َعن ابْ ِن ِشي‬


‫اب َع ْن أَِِب‬ َ ْ ْ ُ ‫َحدَّثَنَا ََْي ََي بْ ِن بُ َك ٍْْي َحدَّثَنَا الَّ ْلي‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫َن َر ُس ْوَل اهلل‬ َّ ‫ أ‬:ُ‫َسلَ َمةَ َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َر ِضى اهللُ َعْنو‬
َ
‫ضالً؟‬ ْ َ‫ َى ْل تََرَك لِ َديْنِ ِو ف‬:‫ فَ َسأ ََل‬, ‫ىف َعلَْي ِو الدَّيْ ُن‬ َّ ِ‫تى ب‬
َّ ‫الر ُج ِل الْ ُمتَ َو‬ َ ‫َكا َن يُ ْؤ‬
‫((صلُّ ْوا‬ : ‫ْي‬ ‫م‬ِ ِ‫ال لِلْمسل‬ َ َ‫ق‬ َّ
‫َّل‬ ِ‫ وا‬,‫فَاِ ْن حدِّث أَنَّو ت رَك لِ ِدينِ ِو وفَاء صلَّى‬
َ َ ْ ُْ َ َ ً َ ْ ََ ُ َ ُ
ِِ َ َ‫صا ِحبِ ُك ْم)) فَلَ َّما فَتَ َح اهللُ َعلَْي ِو الْ ُفتُ ْو َح ق‬
َ ْ ‫ ((أَنَا أ َْوََل بِاْملُْؤمن‬:‫ال‬
‫ْي‬ َ ‫َعلَى‬
‫ َوَم ْن‬,ُ‫ض ُاؤه‬ ِِ ِ ِ‫ فَمن تُو‬,‫ِمن أَنْ ُف ِس ِيم‬
َ َ‫ْي فَ ََت َك َديْناً فَ َعلَ َّى ق‬ َ ْ ‫ىف م َن الْ ُم ْؤمن‬ َُ َْ ْ ْ
14
‫تََرَك َماَّلً فَلِ ِورثَتِ ِو)) رواه البخارى‬
Artinya:

“Menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukair, menceritakan kepada


kami al-Laits dari `Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah dari Abû
Hurairah ra.: sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah laki-laki
yang meninggal dan mempunyai tanggungan hutang. Maka Rasulullah
bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (kelebihan harta) untuk
hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa
menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau
seandainya tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata
kepada kaum muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini
(jenazah yang mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan
kemenangan dengan berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya
lebih berhak terhadap kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang
siapa yang meninggal dunia dari kaum mukmin terus dia meninggalkan
hutang, maka saya yang akan menjadi penanggung hutangnya, kalau
seandainya dia meninggalkan harta benda maka untuk ahli warisnya".
(HR. al-Bukhârî).

14
Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 3, cet. 1,
(Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1992), h. 84.
8

Hadis Nabi di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî dalam kitab

Shahîh al-Bukhârî dalam bab nafaqah 15 dan bab hutang.16 Di samping itu

penulis juga melakukan pelacakan hadis tersebut dalam kitab Mu`jam

Mufahras melalui kata al-dain, yang mana penulis mencari hadisnya dengan

melalui kata asal dari al-dain yakni dâna-yadînu, 17 maka penulis pun

mendapati bahwa hadis ini tidak hanya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî,
18
akan tetapi diriwayatkan oleh banyak mukharrij yang lain di antaranya

Imam Muslim dalam kitab Shahîh Muslim dalam bab barang siapa yang

meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya, 19 Imam al-Tirmidzî dalam

kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi pada

orang yang berhutang, 20 dan Imam Ibnu Mâjah dalam kitab Sunan Ibnu

Mâjah dalam bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau barang maka

atas Allah dan Rasul-Nya.21

Menurut Imam al-Nawâwî dalam kitab Syarh Shahîh Muslim ibn al-

Hajjâj mengatakan bahwa alasan Nabi Muhammad melarang shalat jenazah

merupakan sebagai peringatan agar tidak menganggap kecil perkara hutang

dan juga bahwa hutang merupakan suatu hal yang dibenci Nabi karena bisa

15
Ibid., j. 5, h. 536.
16
Ibid., j. 3, h. 84.
17
Arent Jan Wensinck, Mu’jam Mufahras li al-Alfazh al-Ahadîts al-Nabawi, j. 2, (Leiden:
Breil, 1943), h. 164.
18
Mukharrij adalah tiap-tiap orang yang mengeluarkan hadis atau mencatat hadis. Lihat
Abdul Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadis, cet. 2, (Bandung: CV. Diponegoro, 1987), h.23.
19
Lihat Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2, (Bairut: Dâr
al-Fikr, 1992), h. 58.
20
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-Shahîh),
j. 2, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 266.
21
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, (Indonesia:
Dahlan, t.th.), h. 807.
9

menyebabkan tidak diijabahnya doa orang yang berhutang tersebut. 22 Begitu

juga menurut Ibnu `Arâbi dalam kitab al-`Âridhah yang dikutip oleh Imam al-

Mubârakfûrî dalam kitab Tuhfat al-Ahwadzî mengatakan bahwa larangan

Nabi Muhammad untuk menshalati jenazah atas orang yang meninggal dalam

keadaan berhutang merupakan sebuah peringatan agar tidak membuat susah

payah hidupnya dengan berhutang dengan demikian tidak akan

menghilangkan harta orang lain, sebagaimana adanya larangan meninggalkan

shalat yang merupakan sebuah kemaksiatan dengan demikian akan membuat

orang menjauhi pinjam-meminjam.23

Berangkat dari fenomena di atas, dirasa perlu untuk dikaji lebih jauh

mengenai hadis Nabi tentang akibat meninggalkan hutang di dunia untuk

menyelaraskan Islam sebagai agama yang membawa rahmat dengan

kehidupan masyarakat sekarang yang hidup mereka selalu bersinggungan

dengan masalah hutang-piutang. Hadis di atas menyebutkan bahwa Nabi

melarang menshalatkan jenazah yang masih mempunyai tanggungan hutang-

piutang. Sedangkan dalam realita kehidupan sekarang hutang-piutang

merupakan bentuk dari ikhtiar atau usaha masyarakat dalam mengembangkan

dan meningkatkan penghasilan mereka. Dengan demikian, penelitian yang

akan kami lakukan sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada

masyarakat tentang pemaknaan hadis Nabi tentang akibat meninggalkan

hutang di dunia untuk zaman sekarang yang mana dalam hadis itu disebutkan

22
Muhyî al-Dîn al-Nawâwî, Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj, j. 11-12, (Bairut: Dâr al-
Ma‟rifah, 1995), h. 17.
23
Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat
al-Ahwadzî, j. 4, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), h.128.
10

bahwa Nabi Muhammad tidak mau menshalati jenazah yang masih berhutang

dan belum ada yang menanggungnya.

Dalam penelitian ini, kami akan melakukan penelitian hadis Nabi

tentang akibat meninggalkan hutang di dunia dalam kitab Shahîh al-Bukhârî

dan juga kitab Shahîh Muslim serta kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-

Shahîh). Hadis dalam kedua kitab yang terakhir (kitab Shahîh Muslim dan

kitab Sunan al-Tirmidzî [Jâmi` al- Shahîh]) kami gunakan sebagai

pembanding. Walaupun kitab Shahîh al-Bukhârî ini selalu dijadikan rujukan

dalam mencari hadis Nabi karena menurut banyak ulama merupakan salah

satu kitab hadis yang paling shahih, namun menurut Imam al-Tirmidzî dalam

kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi pada

orang yang berhutang, hadis tersebut merupakan hadis yang hasan.24 Dalam

sanadnya juga terdapat sanad yang bernama al-Zuhrî. Menurut Ibnu Hajar

yang mengutip pendapat al-Âjirî dari Abû Dâwud bahwa hadis al-Zuhrî

semuanya 1200 hadis, semua hadisnya merupakan hadis yang bersanad, 200

sanad di antaranya merupakan diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah.25

Begitu juga Yahya ibn Bukair, al-Bukhârî dalam kitab al-Târîkh al-Kabîr

tidak memberikan keterangan yang jelas tentang pribadi Yahya ibn Bukair

selain bahwa beliau (Yahya ibn Bukair) pernah mendengar riwayat al-Laits.26

Begitu juga dengan matan hadis ini, menurut logika akal matan hadis ini

terdapat kejanggalan. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad yang merupakan

24
Ibid., j. 3, h. 133.
25
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolani, Tahdzîb al-Tahdzîb, j. 9, cet. 1, (Bairut: Dâr
al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994), h. 445.
26
Abû `Abdullâh Ismâ`îl ibn Ibrâhîm al-Ja`fi al-Bukhârî, Al-Târîkh al-Kabîr, j. 8,
(Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 284.
11

seorang utusan Allah yang mempunyai tugas menyempurnakan akhlak umat

Islam ketika melihat jenazah umatnya yang terkena hutang-piutang beliau

tidak mau ikut menshalatinya, pada hal salah satu kewajiban orang hidup

terhadap orang yang meninggal dunia adalah menshalatkan jenazahnya.

Dalam matan hadis ini juga terdapat perbedaan lafazh matan hadis, hal ini

dimungkinkan telah terjadi periwayatan secara makna. Di antara perbedaan

lafazh tersebut yaitu dalam riwayat al-Bukhârî dengan lafazh hal taraka

lidanihi fadhlan?,27 dalam riwayat Muslim dengan lafazh hal taraka lidanihi

min qadhâin?,28 dalam riwayat al-Tirmidzî dengan lafazh hal taraka lidanihi

min fadhlin?,29 dalam riwayat Ibnu Mâjah dengan lafazh hal taraka lidanihi

min qadhâin?.30 Dengan demikian, jika dalam penelitian hadis ini terdapat

kejanggalan, maka hadis di kitab lain pun akan mengikuti atau sebaliknya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas

dalam penelitian ini antara lain:

1. Apakah kualitas sanad dan matan hadis tentang akibat meninggalkan

hutang di dunia dalam kitab Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim dan Sunan

al-Tirmidzî [Jâmi` al- Shahîh] ?

27
Lihat Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhârî, h. 84.
28
Lihat Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, h. 58.
29
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-Shahîh),
h. 226.
30
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, h. 807.
12

2. Bagaimana memaknai kembali hadis tersebut sehingga dapat diterapkan

dalam kehidupan sekarang?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan secara komprehensif kualitas sanad dan matan hadis

tentang akibat meninggalkan hutang di dunia dalam kitab Shahîh al-

Bukhârî.

2. Untuk mengkontektualisasikan pemaknaan hadis tersebut sehingga dapat

diterapkan dalam kehidupan sekarang.

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Melihat dari rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka

penelitian ini mempunyai manfaat dan kegunaan sebagai berikut:

1. Memberikan kontribusi ilmu pengetahuan mengenai kualitas hadis tentang

akibat meninggalkan hutang di dunia kepada masyarakat.

2. Memberikan pemahaman kembali tentang makna hadis tersebut sehingga

dapat diterapkan dalam kehidupan sekarang.


13

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh pengetahuan penulis baru sedikit buku yang membahas

masalah hutang-piutang terutama yang berkaitan dengan kualitas hadis

tentang akibat meninggalkan hutang di dunia dan tentang pemahaman hadis

tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Di antara buku yang membahas masalah tersebut adalah buku yang

berjudul Halal dan Haram dalam Islam, karya Yûsuf al-Qardhâwî yang

diterjemahkan oleh Muammal Hamidy. 31 Dalam buku tersebut Yûsuf al-

Qardhâwî menyuruh umat Islam seyogyanya hidup sederhana dan tidak perlu

berhutang. Karena menurutnya, Rasulullah membenci hal tersebut dan dia

juga mengungkapkan bahwa Nabi sampai tidak mau menshalati jenazah yang

ketahuan masih berhutang dan belum ada yang menanggung hutang tersebut.

Selain buku karya Yûsuf al-Qardhâwî di atas, ada juga buku yang

berjudul Mausu’atul Ijma’ karya Sa‟di Abû Habîb yang diterjemahkan oleh

Ahmad Sahal Mahfud dan Mushthafa Bishri. Buku ini menjelaskan tentang

wajibnya pembayaran hak-hak berupa harta yang wajib atas orang mati dan

tidak ada perbedaan apakah hak itu akan dibayar oleh ahli warisnya atau

bukan. Bila hutangnya sudah dilunasi, ia terbebas dari tanggungan. 32 Dalam

buku ini juga disebutkan bahwa orang yang meninggal tetapi masih

mempunyai tanggungan hutang dan belum dilunasi, kelak di akhirat akan

diambil kebaikannya, apabila telah habis maka amal-amal buruk yang

31
Lihat Yûsuf al-Qardhâwî, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Muammal Hamidy, edisi
revisi, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 371-373.
32
Lihat Sa‟di Abû Habîb, Mausu’atul Ijma’, terj. Ahmad Sahal Machfudz dan Mushthafa
Bishri, cet. 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Oktober 1997), h. 469.
14

memberi hutang akan dilimpahkan kepadanya sampai hutangnya lunas dan

dia (yang berhutang) akan dihukum di neraka.33

Ada juga sebuah buku yang berjudul Problematika dan Penerapan

Syariat Islam dalam Undang-Undang karya Muhammad Sa‟di al-Asmâwî


34
yang diterjemahkan oleh Saiful Ibad. Dalam buku ini al-Asmâwî

mengungkapkan bahwa saksi dalam hutang-piutang yang terdapat dalam al-

Qur'an yakni dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang

perempuan itu bukan aturan yang tidak dapat diubah-ubah, karena

menurutnya kondisi sekarang sudah berbeda dengan kondisi zaman dahulu.

Oleh karena itu harus ada kreasi manusia dalam membahas masalah-masalah

muamalah sesama manusia.

Selain itu, ada juga buku Indahnya Syariat Islam karya `Alî Ahmad

al-Jarjâwî yang diterjemahkan oleh Faishal Shaleh dan kawan-kawan. 35

Dalam buku tersebut disebutkan tentang hikmah menjamin hutang seseorang

apabila seseorang yang berhutang itu tidak mampu membayar hutangnya.

Hikmah tersebut antara lain: 1) memberikan ketenangan kepada orang yang

mengutanginya, 2) menghindari perlakuan buruk saat penarikan hutang dari

orang yang ditagihnya, dan 3) akan terciptanya sikap saling mencintai dan

saling menyanyangi di antara sesama manusia.

33
Ibid., h. 534.
34
Lihat Muhammad Sa‟di al-Asmâwî, Problematika dan Penerapan Syariat Islam dalam
Undang-Undang, terj. Saiful Ibad, cet. 1, (Jakarta: Gaung Persada Press, September 2005), h. 161-
167.
35
Lihat `Alî Ahmad al-Jarjâwî, Indahnya Syariat Islam, terj. Faishal Shaleh, cet. 1,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 446.
15

Semua buku tersebut memang membahas perihal hutang-piutang,

akan tetapi belum mengungkap kualitas hadis baik dari segi sanad ataupun

matan tentang hadis akibat meninggalkan hutang di dunia beserta pemahaman

interpretasi hadis tersebut agar masyarakat memahami konteks hadis tersebut

dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini berbeda dengan apa yang telah

dilakukan oleh ulama di atas, karena dalam penelitian ini akan diungkapkan

tentang penelitian dari segi sanad dan matan beserta pemahaman hadis

tersebut dalam realitas konteks sekarang. Dengan demikian masih perlu

dilakukan penelitian tentang hadis yang membahas masalah tersebut.

F. Metode Penelitian

1. Sumber data

Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan

penelitian dengan menggunakan bahan kepustakaan (library research).

Maka teknik yang akan digunakan adalah pengumpulan data secara

literatur, yaitu penggalian bahan pustaka yang sesuai dan berhubungan

dengan objek pembahasan. Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-

analitik yaitu dengan mengumpulkan data-data yang ada, kemudian

mengadakan analisa yang interpretatif. Oleh karena itu, sumber data dalam

penelitian ini dipilah menjadi dua bagian: pertama, data primer yaitu

hadis-hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia yang terdapat

dalam berbagai kitab antara lain: kitab Shahîh al-Bukhârî, kitab Shahîh

Muslim, kitab Sunan al-Tirmidzî, dan kitab Sunan Ibnu Mâjah beserta
16

kitab syarah dari kitab-kitab tersebut yakni kitab Fath al-Bârî bi Syarh

Shahîh al-Bukhârî, kitab `Umdat al-Qâri’, kitab Syarh Shahîh Muslim ibn

al-Hajjâj, serta kitab Tuhfat al-Ahwadzî, dan juga kitab-kitab periwayat

hadis yang digunakan untuk meneliti kredibilitas para perawi seperti kitab

Al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb, kitab Dzikr Asmâ’ al-Tabi`în wa Man

Ba`dahu, kitab Tahdzîb al-Tahdzîb, dan kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’

al-Rijâl. Kedua, data sekunder yaitu kitab-kitab tafsir al-Qur'an dan juga

buku-buku yang membahas tentang masalah yang berkaitan dengan hadis

tersebut.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data

penelitian dengan cara sebagai berikut:

a. Mula-mula penulis mencari hadis dengan menggunakan metode takhrij

hadis yakni mencari hadis melalui kata-kata dalam matan hadis yaitu

kata al-dain dalam kitab Mu’jam Mufahras karya A.J. Wensinck.

Kemudian dikumpulkan hadis tentang akibat meninggalkan hutang di

dunia yang terdapat dalam berbagai kitab hadis yakni: kitab Shahîh al-

Bukhârî dalam bab nafaqah dan bab hutang, kitab Shahîh Muslim dalam

bab barang siapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya,

kitab Sunan al-Tirmidzî dalam bab apa yang terjadi pada orang yang

berhutang, dan kitab Sunan Ibnu Mâjah dalam bab barang siapa yang

meninggalkan hutang atau barang maka atas Allah dan Rasul-Nya.


17

Setelah dikumpulkan hadis tentang masalah tersebut kemudian

dikumpulkan juga syarah-syarah dari kitab-kitab hadis tersebut dan juga

dikumpulkan kitab-kitab periwayat hadis tersebut yang digunakan

untuk mengetahui kredibilitas para perawi hadis tersebut.

b. Berikutnya, dikumpulkan data-data sekunder yakni kitab-kitab tafsir al-

Qur'an yang membahas masalah yang berkaitan dengan hadis yang

diteliti tersebut dan juga buku pendukung untuk mendalami masalah

yang berkaitan dengan hadis tersebut.

3. Analisis Data

Dalam menganalisis data-data yang telah didapatkan untuk

membahas masalah tentang hadis akibat meninggalkan hutang di dunia

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Setelah data-data primer telah dikumpulkan, maka penulis melakukan

penelitian terhadap hadis tersebut dalam kitab Shahîh al-Bukhârî, kitab

Shahîh Muslim dan kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh). Dalam

melakukan penelitian hadis tersebut, penulis membagi penelitian

hadisnya menjadi dua bagian yaitu: penelitian sanad dan penelitian

matan. Dalam penelitian sanad, penulis menggunakan langkah-langkah

sebagai berikut:

1) Meneliti pribadi para periwayat dan metode periwayatannya (shîghat

al-tahammul wa al-ada').

2) Mengaplikasikan teori al-jarh wa al-ta'dil.


18

3) Meneliti tentang „llat dan Syadz.

4) Mengambil kesimpulan.

Adapun dalam penelitian matan, penulis menggunakan cara-cara

sebagai berikut:

1) Meneliti matan setelah melihat kualitas sanad.

2) Meneliti susunan lafazh berbagai matan semakna.

3) Meneliti kandungan hadis dihubungkan dengan konteks zaman

sekarang.

4) Mengambil kesimpulan.

b. Data-data sekunder seperti kitab-kitab tafsir al-Qur'an dan buku-buku

pendukung lainnya digunakan untuk membantu dalam pemaknaan

kembali hadis tersebut dalam konteks sekarang. Dengan data-data

seperti kitab-kitab tafsir al-Qur'an akan dapat diketahui apakah hadis

yang diteliti bertentangan dengan ayat al-Qur'an ataukah sebaliknya

memperkuat kandungan hadis tersebut. Dalam memahami hadis,

penulis juga menggunakan buku-buku pendukung lainnya dalam

memahami kandungan hadis tersebut agar makna kandungan hadis

tersebut menjadi lebih valid.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam menulis penelitian ini, penulis menyusunnya dengan

sistematika pembahasan sebagai berikut:


19

1. Bab pertama: pendahuluan. Dalam bab ini, penulis mengawali penelitian

ini dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,

serta sistematika pembahasan.

2. Bab kedua: metode penelitian hadis. Di bab ini terdiri dari beberapa hal

yaitu: takhrîj al-hadîts sebagai langkah awal penelitian hadis, langkah

konkret penelitian sanad dan matan hadis.

3. Bab ketiga: deskripsi hadis dan biografi rawi. Dalam bab ini penulis

berusaha mengkaji dan menganalisa hadis tentang akibat meninggalkan

hutang di dunia yang diawali dengan melakukan al-i`tibar. Dilanjutkan

dengan pengenalan biografi para perawi hadis.

4. Bab keempat: kualitas sanad dan matan. Dalam bab ini penulis melakukan

analisa hadis melalui kaedah keshahihan hadis baik dari segi sanad dan

matan hadis. Dilanjutkan dengan pemaknaan kontestualisasi hadis dalam

kehidupan masyarakat sekarang.

5. Bab kelima: penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan tentang penelitian

dari permasalahan di atas serta saran-saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan penelitian ini.


20

BAB II
METODE PENELITIAN HADIS

A. Takhrîj al-Hadîts Langkah Awal Penelitian Hadis

1. Pengertian Takhrîj al-Hadîts

Menurut bahasa, kata takhrîj adalah bentuk mashdar dari kata kharaja-

yukhriju yang berarti al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrîb (meneliti, melatih)

dan al-taujih (menerangkan, memperhadapkan). 36 Menurut Arifuddin yang

mengutip pendapat dari Mahmûd Thahhan mengatakan bahwa kata takhrîj

mempunyai beberapa arti antara lain:

a. Menjelaskan hadis pada orang lain dengan menyebutkan para periwayatnya

dalam sanad hadis dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.

b. Mengeluarkan dan meriwayatkan hadis dari beberapa kitab.

c. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya

dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya dan

menisbatkannya dengan cara menyebutkan metode periwayatan dan sanad-

sanadnya masing-masing.

d. Menunjukkan tempat hadis pada sumber-sumber aslinya, di dalamnya

dikemukakan secara lengkap dengan sanad-sanadnya masing-masing,

kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.37

Dari berbagai pengertian tentang takhîj di atas, pengertian yang terakhir

lebih dapat dikatakan sebagai takhrîj al-hadîts karena dalam pelaksanaannya

kegiatan takhrîj merupakan kegiatan yang menunjukkan letak sumber sebuah


36
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Mamahami Hadis Nabi, cet. 1, (Jakarta Timur:
Insan Cemerlang dan PT. Inti Media Cipta Nusantara, t.th.), h. 84.
37
Ibid., h. 84-85.
21

hadis yang di dalamnya dikemukakan tentang sanad-sanadnya sampai kepada

penjelasan tentang derajat sebuah hadis.

2. Metode Takhrîj al-Hadîts

Jumlah kitab hadis yang disusun oleh para ulama periwayat hadis cukup

banyak. Jumlahnya sangat sulit untuk dipastikan angkanya, sebab mukharrij al-

hadîts (ulama yang meriwayatkan hadis dan sekaligus melakukan

penghimpunan hadis) tidak terhitung banyaknya. Apalagi sebagian dari para

penghimpun itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu

kitab. Metode penyusunan kitab-kitab hadis tersebut ternyata tidak seragam.

Hal tersebut sangatlah logis karena yang lebih ditekankan dalam kegiatan

penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan

hadisnya. Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri baik

dalam penyusunan sistematikanya dan topik yang dikemukakannya oleh hadis

yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya.38 Walaupun demikian,

para ulama telah merumuskan metode takhrîj al-hadîts dengan lima metode

takhrîj untuk membantu melacak hadis Nabi dalam kitab-kitab yang ditulis

oleh para mukharrij hadis. Lima metode takhrîj tersebut antara lain yaitu:

a. Takhrîj menurut lafazh pertama hadis

Penggunaan metode ini tergantung dari lafazh pertama matan hadis.

Bagi yang akan menggunakan metode ini diharuskan untuk mengetahui

dengan pasti awal hadis yang ingin di-takhrîj. Kemudian melihat awal dari

38
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 18-19.
22

huruf pertama hadis tersebut. Misalnya ingin men-takhrîj hadis ‫ش‬١ٍ‫ِٓ غشٕب ف‬

‫ ِٕب‬, maka yang pertama dilihat adalah huruf mim dengan huruf nun

kemudian ghin, syin, dan nun ( ‫) ِٓ غشٕب‬.39

Kitab-kitab yang ditulis dengan metode pertama ini antara lain: kitab

al-Jâmi` al-Kabîr karya al-Suyûthî, kitab al-Jâmi` al-Azhar karya al-

Manâwâ dan lain sebagainya.40

b. Takhrîj menurut lafazh dari bagian sebuah hadis

Penggunaan metode ini dengan cara mengambil satu kata dari banyak

kata yang terdapat dalam sebuah hadis, dan harus merupakan kata kerja atau

kata benda. Banyak para pengarang yang menulis kitabnya dengan metode

ini melalui kata-kata yang asing (gharîb). Dengan demikian jika kata yang

ingin dicari merupakan kata yang asing, maka semakin mudah dan cepat

untuk mendapatkan hadis tersebut.41

Misalnya ingin melakukan takhrîj hadis ْ‫ٓ ا‬١٠‫ عٓ طعبَ اٌّزجبس‬ٝٙٔ ٝ‫اْ إٌج‬

ً‫ؤو‬٠ , maka yang pertama cicari adalah kata ٓ١٠‫ اٌّزجبس‬karena kata ini paling

asing di antara kata-kata yang terdapat dalam hadis tersebut. Kitab yang

menggunakan metode ini antara lain: kitab al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh

al-Hadîts al-Nabawî karya Arent Jan Wensinck.42

39
Abu Muhammad `Abd al-Mahdî ibn `Abd al-Qâdir ibn `Abd al-Hâdî, Thuruq Takhrîj
Hadîts, (Mesir: Dâr al-I`tishâm, t.th.), h. 27.
40
Ibid., h. 27-28. Lihat Mahmûd al-Thahhân, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad,
terj. Agil Husin Munawar dan Masykur Hakim, cet. 1, (Semarang: Dina Utama, 1995), h. 55-73.
41
Ibid., h. 83.
42
Ibid., h. 83-84. Lihat Mahmûd al-Thahhân, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad,
terj. Agil Husin Munawar dan Masykur Hakim, h. 74-86.
23

c. Takhrîj menurut periwayat pertama

Penggunaan metode ini dengan mengetahui periwayat yang pertama.

Periwayat pertama dalam hadis merupakan sahabat Nabi apabila hadisnya

muttashil al-isnâd. Akan tetapi bisa juga seorang tabi`in apabila hadisnya

mursal. Pengarang kitab yang menggunakan metode ini menyusun kitabnya

dengan menyusunnya melalui periwayat pertama yakni sahabat atau tabi`in.

Para pengarang tersebut meletakkan hadis-hadis Nabi setelah nama-nama

para periwayat pertama tersebut.43

Kitab-kitab yang menggunakan metode ini sangat banyak sekali,

akan tetapi kitab-kitab tersebut dapat digolongkan menjadi dua bagian kitab

yakni: Kutub al-Athrâf, di antaranya yaitu kitab Tuhfat al-Asyrâf bi Ma`rifat

al-Athrâf karya Jamâl al-Dîn al-Syâfi`î, kitab al-Nukat al-Zharâf `ala al-

Athrâf karya Ibnu Hajar dan Kutub al-Masânîd, di antaranya yaitu Musnad

Ahmad ibn Hanbal karya Ahmad ibn Hanbal.44

d. Takhrîj menurut tema hadis

Penggunaan metode ini dengan mengetahui tema dari sebuah hadis.

Dalam sebuah hadis dimungkinkan memiliki banyak tema. Dengan

demikian haruslah dicari disetiap tema tersebut. Misalnya hadis

‫زبء‬٠‫ ا‬ٚ , ‫ البَ اٌصالح‬ٚ , ‫ي هللا‬ٛ‫ اْ ِذّذا سص‬ٚ ‫بدح اْ ال اٌٗ اال هللا‬ٙ‫ ش‬: ‫ خّش‬ٍٝ‫ االصالَ ع‬ٕٝ‫ث‬

.‫ال‬١‫ٗ صج‬١ٌ‫ذ ٌّٓ اصزطبع ا‬١‫ دج اٌج‬ٚ , ْ‫َ سِضب‬ٛ‫ ص‬ٚ , ‫اٌزوبح‬

43
Ibid., h. 105.
44
Ibid., h. 106. Lihat Mahmûd al-Thahhân, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad,
terj. Agil Husin Munawar dan Masykur Hakim, h. 40-54.
24

Untuk mencari hadis di atas, maka kita mencarinya dalam bab iman,

bab tauhid, bab shalat, bab zakat, bab puasa, dan bab haji.45

Kitab-kitab yang menggunakan metode ini sangat banyak sekali, di

antaranya yaitu: kitab Kunuz al-`Amal fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af`âl karya

Muttaqî al-Hindî, kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb karya al-Mundzirî, kitab

Tafsîr al-Qur'ân al-`Azhîm karya Ibnu Katsîr dan lain sebagainya.46

e. Takhrîj menurut keadaan sifat yang muncul dalam hadis

Penggunaan metode ini adalah dengan melihat keadaan sifat yang

jelas dalam sebuah hadis. Para ulama telah mengumpulkan berbagai macam

hadis dalam satu sifat yang terdapat dalam hadis. Misalnya hadis mutawatir,

hadis qudsi, hadis masyhûr, hadis mursal. Kitab-kitab yang menggunakan

metode ini antara lain: kitab al-Azhâr al-Mutanâtsirah fî al-Akhbâr al-

Mutawâtirah karya al-Suyûthî, kitab al-Ittihâfât al-Sunnat fî al-Ahâdîts al-

Qudsiyyah karya al-Madanî, kitab al-Marâsîl karya Abû Dâwûd dan lain

sebagainya.47

Kelima metode takhrîj al-hadîts di atas membantu kita dalam mencari

hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para mukharrij

hadis. Dilihat dari keefektifan dalam mencari hadis, kami menggunakan

metode yang kedua yaitu metode takhrîj al-hadîts dengan melalui lafazh dari

hadis yakni melalui kitab al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadîts al-

Nabawî karya Arent Jan Wensinck.


45
Ibid., h. 151.
46
Ibid., h. 152.
47
Ibid., h. 243-244.
25

B. Langkah-Langkah Konkret Penelitian Hadis

Menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu Shalah, bahwa

hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi),

diriwayatkan oleh (periwayat) yang `âdil dan dhâbith sampai akhir sanad, (di

dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (`illat).48 Oleh

karena itu, agar dapat diketahui hadis Nabi itu shahih atau tidak, maka perlu

dilakukan penelitian hadis. Dalam melakukan penelitian hadis, langkah-langkah

penelitiannya diarahkan kepada dua segi yaitu penelitian sanad dan penelitian

matan.

1. Langkah-langkah penelitian sanad hadis

Sanad secara bahasa adalah apa yang disandarkan kepadanya baik itu

seperti dinding atau yang lainnya. Secara istilah ahli hadis, sanad adalah

silsilah sanad yang meriwayatkan hadis.49 Di antara langkah-langkah dalam

melakukan penelitian sanad hadis yaitu:

a. Al-I`tibar

Kata al-i`tibar merupakan (isim) masdar dari kata i`tabara. Secara

bahasa, arti al-i`tibar adalah peninjauan terhadap berbagai hal dengan

maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis.50 Menurut istilah

hadis, al-i`tibar berarti menyertakan sanad yang lain untuk suatu hadis

48
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, h. 76.
49
Badrân al-`Ainain Badrân, Al-Hadîts al-Nabawi al-Syarîf (Tarîkhuhu Wa
Mushthalâhuhu), h. 9. Lihat Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts, h. 22. Lihat A.
Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadis, h. 22.
50
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, h. 76.
26

tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat

seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain

tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada

untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.51

Adapun kegunaan al-i`tibar adalah untuk mengetahui keadaan

sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung

(corroboration) berupa periwayat yang berstatus tâbi` atau syâhid.

Pengertian tâbi` (jamaknya adalah tawabi`) ialah periwayat yang berstatus

pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Adapun pengertian

syâhid (jamaknya adalah syawâhid) ialah periwayat yang berstatus

pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi.52

Untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-i`tibar,

diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan

diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu

mendapat perhatian yaitu 1) jalur seluruh sanad, 2) nama-nama periwayat

seluruh sanad dan 3) metode periwayat yang digunakan oleh masing-

masing periwayat.53

Dalam melukiskan jalur-jalur sanad periwayatan hadis, garis-

garisnya harus jelas sehingga dapat dibedakan antara jalur sanad yang satu

dengan yang lainnya. Nama-nama periwayat yang dicantumkan dalam

51
Ibid., h. 76.
52
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52. Lihat Erfan Soebahar,
Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Kritik Mushthafa al-Siba`i Terhadap Pemikiran Ahmad
Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-Islam), cet. 1, (Jakarta Timur: Prenata Media, Agustus
2003), h. 231-232.
53
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52.
27

skema sanad harus cermat sehingga tidak mengalami kesulitan tatkala

dilakukan penelitian melalui kitab-kitab Rijal al-Hadîts (kitab-kitab yang

menerangkan keadaan para periwayat hadis). Terkadang pribadi periwayat

yang sama dalam sanad berbeda tertulis dengan nama yang berbeda, begitu

juga sebaliknya. Terkadang nama periwayat memiliki kesamaan atau

kemiripan, tetapi pribadi orangnya berlainan. Tanpa kecermatan penulis,

penelitian tentang nama-nama periwayat dapat menyebabkan kesalahan

dalam menilai sanad yang bersangkutan.54

Nama-nama periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi

seluruh nama, mulai dari periwayat pertama yakni sahabat Nabi yang

mengemukakan hadis sampai mukharijnya seperti al-Bukhârî, Muslim dan

sebagainya. Terkadang seorang mukharrij memiliki lebih dari satu sanad

untuk matan hadis yang sama ataupun yang semakna. Bila itu terjadi,

maka masing-masing sanad harus jelas tampak dalam skema.55

Adapun lambang-lambang periwayatan masing-masing periwayat

dalam sanad, penulisannya harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam

sanad yang bersangkutan. Pembuat skema sanad sering tidak

mencantumkan lambang-lambang sanad.56 Pada hal, lambang-lambang itu

merupakan merupakan bentuk-bentuk metode periwayatan yang sedang

54
Ibid., h. 52-53.
55
Ibid., h. 53.
56
Lambang-lambang sanad adalah lafadz-lafadz yang ada dalam sanad yang digunakan
oleh rawi-rawi waktu menyampaikan hadis atau riwayat. Lihat A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah
Hadis, h. 351.
28

ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan. Sering kali cacat

sebuah sanad berlindung di bawah lambang-lambang itu.57

b. Meneliti pribadi periwayat hadis

Dalam meneliti periwayat hadis beberapa yang lazim dilakukan

oleh seorang peneliti hadis yakni:58

1) Kaedah keshahihan hadis sebagai acuan.

Untuk meneliti hadis diperlukan acuan. Acuan yang

dipergunakan adalah kaedah keshahihan hadis bila ternyata hadis yang


59
diteliti bukanlah hadis mutawatir. Rumusan-rumusan tentang

keshahihan sebuah hadis sebenarnya telah muncul pada zaman Nabi

dan sahabat. Imam al-Syâfi`î, Imam al-Bukhârî, Imam Muslim dan

yang lainnya telah memperjelas rumusan-rumusan kaedah tersebut

dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan yang

mereka riwayatkan. Kemudian ulama pada zaman berikutnya

menyempurnakan rumusan-rumusan kaedah keshahihan tersebut

menjadi sebuah rumusan yang berlangsung hingga sekarang.60 Salah

seorang ulama hadis yang berhasil menyusun rumusan kaedah

keshahihan hadis tersebut adalah Abû `Amr `Utsmân ibn `Abd al-

57
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.53.
58
Lihat Ibid., h. 63-97. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah
(Kritik Mushthafa al-Siba`i Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis Dalam Fajr al-
Islam), h. 231-232.
59
Ibid., h. 64.
60
Ibid., h. 64-65.
29

Rahman ibn Shalah al-Syahrâzurî yang biasa disebut Ibnu Shalah (w.

577 H. / 1245 M.). Rumusan tersebut antara lain menyatakan bahwa

hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada

Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang `âdil dan dhâbith sampai

akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz)

dan cacat (`illat).61

Dari pengertian hadis shahih yang dikemukakan Ibnu Shalah

tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur kaedah keshahihan

hadis antara lain:

- Ketersambungan sanad sampai kepada Nabi.

- Ke-`âdil-an atau kualitas pribadi para perawi.

- Ke-dhâbith-an atau kapasitas intelektual para perawi.

- Tidak terdapat kejanggalan (syudzudz).

- Tidak terdapat cacat (`illat).

2) Segi-segi periwayat yang diteliti

Ulama hadis sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti para

pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis

61
Ibid., h. 64. Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan
Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), h. 124. Lihat Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl
al-Hadîts, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 39. Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut
Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, h. 76.
30

yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah atau alasan

ataukah ditolak.62 Kedua hal tersebut antara lain:

a) Ke-`âdil-an atau kualitas pribadi para perawi

Kata `âdil berasal dari bahasa Arab yaitu `adl. `Adl secara

bahasa berarti pertengahan, lurus atau condong kepada

kebenaran. 63 Adapun `adl secara istilah terdapat berbagai macam

perbedaan. Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, ke-`adil-an rawi

adalah suatu rawi yang harus terpercaya di dalam agamanya yakni

harus seorang muslim yang baligh, berakal, selamat dari sebab

kefasikan, mempunyai kepribadian yang baik.64 Menurut Mahmûd

al-Thahhan, diantara kriteria `âdil yakni: muslim, baligh, berakal,

bebas dari sebab kefasikan, bebas dari sebab yang menjatuhkan

martabat.65 Adapun Syuhudi Ismail mengungkapkan empat kriteria

`âdil yang merupakan hasil dari penghimpunan pendapat berbagai

macam ulama. Keempat kriteria untuk sifat `âdil tersebut antara

lain:

- Beragama Islam.

- Mukallaf yakni baligh dan berakal sehat.

62
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 66. Lihat Mahmûd al-
Thahhan, Mushthalah al-Hadîts, h. 121. Lihat Ahmâd `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts,
h. 184. Lihat Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadits wa Mushthalâhuhu, h. 126.
63
Ibid., h. 67. Lihat Ibnu Mandzûr, Lisân al-`Arab, j. 13, (Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah,
t.th.) h. 456-463. Lihat Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia- Arab, Arab-
Indonesia al-Bishri, h. 483.
64
Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts, h. 40.
65
Mahmûd al-Thahhan, Mushthalâh al-Hadîts, h. 121.
31

- Melaksanakan ketentuan agama Islam atau teguh dalam

beragama Islam.

- Memelihara muru`ah (adab kesopanan pribadi yang membawa

pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral

dan kebiasaan-kebiasaan).66

Di samping kriteria yang harus dimiliki para periwayat `âdil

tersebut, menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu

Hajar al-`Asqolânî mengatakan bahwa perilaku atau keadaan yang

merusak sifat `âdil para periwayat hadis yang termasuk berat yaitu:

- Suka berdusta.

- Tertuduh telah berdusta.

- Berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir.

- Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang itu sebagai

periwayat hadis.

- Berbuat bid`ah yang mengarah kepada fasik, tetapi belum

menjadikannya kafir.67

b) Ke-dhâbith-an atau kapasitas intelektual para periwayat

Dhâbith secara bahasa ada beberapa macam makna yakni

yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang halal dengan

sempurna.68 Adapun dhâbith secara istilah terdapat berbagai macam

66
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 67.
67
Ibid., h. 69.
68
Ibid., h. 70. Lihat Munawir A. Fattah dan Adib Bishri, Kamus Indonesia- Arab, Arab-
Indonesia al-Bishri, h. 429.
32

pendapat. Menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu

Hajar al-`Asqolânî dan al-Sakhâwî, seseorang yang dinyatakan

dhâbith adalah orang yang kuat hafalannya kapan saja dia

menghendaki. 69 Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, ke-dhâbith-an

seorang rawi adalah suatu rawi yang harus terpercaya di dalam

riwayatnya yakni harus mempunyai hafalan yang meyakinkan


70
setiap meriwayatkan hadis. Menurut Mahmûd al-Thahhan,

diantara kriteria dhâbith antara lain tidak betentangan dengan hadis

yang diriwayatkan perawi-perawi tsiqah, tidak susah dalam

hafalan, tidak jahat, tidak pelupa, bukan orang yang suka ragu-

ragu. 71 Adapun Syuhudi Ismail, dia mengungkap makna dhâbith

dengan mempertemukan berbagai pendapat para ulama, dan dia

juga memberikan rumusan mengenai maksud dari dhâbith secara

istilah sebagai berikut:

- Periwayat yang dhâbith adalah periwayat yang mempunyai

ciri-ciri yaitu: hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya,

dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya

itu kepada orang lain.

69
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah), h. 135.
70
Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts, h. 41.
71
Mahmûd al-Thahhan, Mushthalâh al-Hadîts, h. 121.
33

- Periwayat yang bersifat dhâbith adalah periwayat yang

memiliki ciri seperti yang tertera di atas, dan mampu

memahami dengan baik hadis yang dihafalnya.72

Sebagaimana sifat `âdil yang mempunyai kriteria yang

dapat merusak sifat `âdil bagi para periwayat hadis, dhâbith juga

mempunyai beberapa hal yang dapat merusak ke-dhâbith-an para

periwayat hadis seperti yang diungkapkan Syuhudi Ismail yang

mengutip pendapat Ibnu Hajar al-`Asqolânî dan `Alî al-Qâri‟ yaitu:

- Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya dari pada

benarnya.

- Lebih menonjolkan sifat lupanya dari pada hafalnya.

- Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung

kekeliruan (al-wahm).

- Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan

oleh orang-orang yang tsiqah.

- Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu

yang benar.73

Dari berbagai penilaian tentang sifat `âdil dan dhâbith di

atas, penilaian tentang sifat `âdil dan dhâbith yang disampaikan

Syuhudi Ismail lebih akomodatif, karena dia memberikan penilaian

tersebut dari hasil rangkuman berbagai macam ulama. Di samping

itu dia (Syuhudi Ismail) juga memberikan beberapa pendapat

72
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 70.
73
Ibid., h. 71.
34

tentang perilaku dan keadaan yang bisa merusak kecacatan dari

sifat `âdil dan dhâbith para periwayat hadis yang merupakan

rangkuman dari berbagai ulama.

Dalam melakukan penilaian tentang kriteria `âdil dan

dhâbith tersebut diperlukan kitab-kitab yang berkenaan dengan

biografi periwayat yaitu kitab al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb,

kitab Dzikr Asmâ’ al-Tabi`în wa Man Ba`dahu, kitab Tahdzîb al-

Tahdzîb, dan kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl. Kitab-kitab

biografi periwayat tersebut merupakan kitab yang banyak

menerangkan tentang biografi periwayat terutama dari segi jarh

dan ta`dil. Dengan demikian penulis menggunakan kitab-kitab

tersebut untuk menilai kriteria para periwayat sesuai dengan

penilaian sifat `âdil dan dhâbith di atas.

c) Seputar al-Jarh wa al-Ta’dil

Kaedah keshahihan sanad hadis tidaklah sempurna bila

tidak dibantu dengan ilmu jarh wa ta`dil, karena ilmu ini yang

membahas kritik yang berisi celaan dan pujian terhadap para

periwayat hadis. Sehingga pengetahuan tentang ilmu ini

mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam penelitian

hadis.
35

(1) Pengertian Jarh wa Ta’dil

Secara bahasa kata al-jarh merupakan isim mashdar

dari kata jaraha-yajrahu yang berarti melukai atau cacat. Baik

luka yang berkenaan dengan fisik atau non-fisik. 74 Adapun

secara istilah, al-jarh berarti tampak jelas sifat dalam diri

perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan

dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur

riwayatnya atau lemah atau bahkan tertolak riwayatnya.75

Adapun kata al-ta`dil, merupakan isim mashdar dari

kata kerja `addala yang artinya mengemukakan sifat `âdil yang

dimiliki seseorang. Menurut istilah, kata al-ta`dil berarti

mengungkapkan sifa-sifat bersih yang ada pada diri periwayat

sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi

periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya

dapat diterima.76

(2) Ulama kritikus hadis

Ulama yang ahli di bidang kritik para periwayat hadis

yang disebut al-jârih wa al-mu`addil, jumlah mereka relatif

tidak banyak, hal ini disebabkan syarat-syarat untuk menjadi

74
Ibid., h. 72. Lihat Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, cet.1, (Yogyakarta: Madani
Pustaka Hikmah, 2003), h. 27. Lihat Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, h.
120-121.
75
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 72. Lihat Suryadi,
Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, h. 27-28.
76
Ibid., h. 73. Lihat Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, h. 28-29.
36

dan diakui sebagai kritikus hadis memang tidak ringan.

Menurut Syuhudi Ismail, syarat-syarat bagi seseorang yang

dapat dikatakan al-jârih wa al-mu`addil yaitu sebagai berikut:

- Syarat-syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi yakni a)

bersifat `âdil, b) tidak bersikap fanatik terhadap aliran atau

madzhab yang dianutnya, dan c) tidak bersikap bermusuhan

dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap

periwayat yang berbeda aliran dengannya.

- Syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan

yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan:

a) ajaran Islam, b) bahasa Arab, c) hadis dan ilmu hadis, d)

pribadi periwayat yang dikritiknya, e) adat istiadat yang

berlaku, dan f) sebab-sebab yang melatar belakangi sifat-

sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.77

Adapun menurut Said Agil Munawar, dia

mengungkapkan metode atau cara menilai `âdil atau tidaknya

dan juga dapat dipercaya atau tidaknya seorang perawi. Di

antara metode yang digunakan adalah:

- Objektif dalam melakukan penilaian terhadap perawi.

- Cermat dan teliti dalam penelitiannya.

- Tetap memegang etika meskipun dalam menilai cacat rawi.

77
Ibid., h.74.
37

- Ta`dil dilakukan secara global, sedangkan dalam tajrih harus

diperinci sebab-sebab cacatnya perawi yang bersangkutan.78

Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik

hadis ada yang ketat (tasyaddud), ada yang longgar (tasahul),

dan ada yang berada dalam kedua sikap itu, yakni moderat

(tawasuth).79 Ulama yang dikenal mutasyaddid dalam menilai

ke-tsiqah-an periwayat, yang berarti menilai keshahihan hadis

yakni al-Nasâ‟i (w. 234 H. / 915 M.), `Alî ibn `Abdullâh ibn

Ja`far al-Sa`di al-Madînî atau yang dikenal dengan Ibnu al-

Madînî (w. 234 H. / 849 M.). Ulama yang dikenal mutasahhil

dalam menilai keshahihan suatu hadis yakni al-Hâkim al-

Naisabûrî (w. 405 H. / 1014 M.) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (w.

911 H. / 1505 M.), sedangkan yang dikenal sebagai mutasahhil

dalam menyatakan kepalsuan hadis yakni Ibnu al-Jauzî (w. 597

H. / 1201 M.). Ulama yang dikenal sebagai mutawashith dalam

menilai periwayat dan kualitas hadis yakni al-Dzahabî (w. 748

H. / 1348 M.).80

Dengan adanya perbedaan sikap para kritikus dalam

menilai periwayat dan kualitas hadis, berarti dalam penelitian

hadis yang dinilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi

juga para ktitikusnya.

78
Said Agil Husain Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, cet. 2,
(Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2002), h.159-160.
79
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 74. Lihat Mahmûd `Alî
Fayyâd, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, h. 59.
80
Ibid., h. 75.
38

(3) Lafazh-lafazh jarh dan ta`dil

Dalam menentukan kapasitas potensi dan kualitas rawi

dengan al-jarh dan al-ta`dil, banyak lafazh yang digunakan

para kritikus. Lafazh-lafazh tersebut mengandung pengertian

khusus dan tertentu yang disesuaikan dengan kondisi rawi

dalam penilaian kritikus.81

Di kalangan ulama hadis tidak ada kesepakatan tentang

jumlah tingkatan al-jarh dan al-ta`dil tehadap para periwayat

hadis. Ibnu al-Râzî, Ibnu al-Shalah, dan al-Nawâwî membagi

menjadi empat peringkatan untuk penilaian al-jarh dan al-

ta`dil. Sedangkan al-Dzahabî, al-`Irâqî, dan Abû Faidh al-

Harawî membagi membagi menjadi lima tingkatan. Adapun

Ibnu Hajar al-`Asqolânî, dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî membagi

menjadi enam tingkatan.82 Di antara tingkatan-tingkatan lafazh

ta`dil yang dirumuskan oleh para ulama tersebut yaitu:

(a) Ibnu Abû Hâtim al-Râzî

- Ta`dil tingkatan pertama, mempergunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang tsiqah ‫ صمخ‬, orang yang teliti ٓ‫ ِزم‬,

orang kokoh ingatannya ‫ صجذ‬, orang yang menjadi hujjah

‫ذزج‬٠

81
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, h. 43.
82
Ibid., h. 43.
39

- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafadz-lafazh

seperti: orang yang jujur ‫ق‬ٚ‫ صذ‬, orang yang dipandang

jujur ‫ق‬ٚ‫ ِذٍٗ اٌصذ‬, tidak ada cacat padanya ٗ‫ال ثأس ث‬

- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh

seperti: seorang syekh ‫خ‬١‫ش‬

- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh

seperti: orang yang shalih hadisnya ‫ش‬٠‫صبٌخ اٌذذ‬

(b) Ibnu al-Shalah

- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh

seperti: orang yang tsiqah ‫ صمخ‬, orang yang teliti ٓ‫ ِزم‬,

orang kokoh ingatannya ‫ صجذ‬, orang yang menjadi hujjah

‫ دجخ‬, orang kuat hafalannya ‫ضبثظ‬

- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang jujur ‫ق‬ٚ‫ صذ‬, orang yang dipandang

jujur ‫ق‬ٚ‫ ِذٍٗ اٌصذ‬, tidak ada cacat padanya ٗ‫ال ثأس ث‬

- Ta`dil yang ketiga menggunakan lafazh seperti: seorang

syekh ‫خ‬١‫ش‬

- Ta`dil yang keempat menggunakan lafazh seperti: orang

yang shalih hadisnya ‫ش‬٠‫صبٌخ اٌذذ‬

(c) Al-Nawâwî

- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh

seperti: orang yang tsiqah ‫ صمخ‬, orang yang teliti ٓ‫ ِزم‬,

orang kokoh ingatannya ‫ صجذ‬, orang yang menjadi hujjah


40

‫ دجخ‬, orang yang `âdil ‫ عذي‬, orang yang hafal ‫ دبفظ‬, orang

kuat hafalannya ‫ضبثظ‬

- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang jujur ‫ق‬ٚ‫ صذ‬, orang yang dipandang

jujur ‫ق‬ٚ‫ ِذٍٗ اٌصذ‬, tidak ada cacat padanya ٗ‫ال ثأس ث‬

- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh-lafazh

seperti: seorang syekh ‫خ‬١‫ ش‬, orang yang tengah-tengah

‫صظ‬ٚ , orang banyak meriwayatkan darinya ‫ عٕٗ إٌبس‬ٜٚ‫ س‬,

orang yang hadisnya didekati ‫ش‬٠‫ِمبسة اٌذذ‬

- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh

seperti: orang yang shalih hadisnya ‫ش‬٠‫صبٌخ اٌذذ‬

(d) Al-Dzahabî

- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh

seperti: orang kokoh ingatannya dan menjadi hujjah ‫دجخ‬

‫ صجذ‬, orang yang sangat tsiqah ‫ صمخ صمخ‬, orang kokoh

ingatannya dan yang teliti ٓ‫ صجذ ِزم‬, orang kokoh

ingatannya dan yang hafal ‫صجذ دبفظ‬

- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang tsiqah ‫ صمخ‬, orang kokoh ingatannya

‫ صجذ‬, orang yang teliti ٓ‫ِزم‬

- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang jujur ‫ق‬ٚ‫ صذ‬, tidak ada cacat padanya

ٗ‫ال ثأس ث‬
41

- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh

seperti: orang yang shalih hadisnya ‫ش‬٠‫ صبٌخ اٌذذ‬, orang

yang dipandang jujur ‫ق‬ٚ‫ ِذٍٗ اٌصذ‬, orang yang baik

hadisnya ‫ش‬٠‫ذ اٌذذ‬١‫ ج‬, seorang syekh ‫خ‬١‫ ش‬, orang yang

tengah-tengah ‫صظ‬ٚ , seorang syekh yang tengah-tengah

‫صظ‬ٚ ‫خ‬١‫ ش‬, orang yang bagus hadisnya ‫ش‬٠‫دضٓ اٌذذ‬

- Ta`dil tingkatan yang kelima menggunakan lafazh

seperti: orang yang jujur insya Allah ‫ق اْ شبء هللا‬ٚ‫ صذ‬,

aku berharap ia tidak cacat ٗ‫ا أْ ال ثأس ث‬ٛ‫أسج‬

(e) Al-`Irâqî

- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh

seperti: orang yang sangat tsiqah ‫ صمخ صمخ‬, orang yang

tsiqah yang kokoh ingatannya ‫ صمخ صجذ‬, orang yang sangat

kokoh ingatannya ‫ صجذ صجذ‬, orang yang tsiqah dan

menjadi hujjah ‫ صمخ دجخ‬, orang yang tsiqah dan yang

dapat dipercaya ِْٛ‫صمخ ِأ‬

- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang tsiqah ‫ صمخ‬, orang kokoh ingatannya

‫ صجذ‬, orang yang teliti ٓ‫ ِزم‬, orang yang menjadi hujjah

‫ دجخ‬, orang yang hafal ‫دبفظ‬

- Ta`dil tingkatan yang ketiga menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang shalih hadisnya ‫ش‬٠‫ صبٌخ اٌذذ‬, orang


42

yang bagus hadisnya ‫ش‬٠‫ دضٓ اٌذذ‬, orang yang hadisnya

didekati ‫ش‬٠‫ِمبسة اٌذذ‬

- Ta`dil tingkatan yang keempat menggunakan lafazh-

lafazh yaitu: orang yang dipandang jujur ‫ ِذً اٌصذق‬,

seorang syekh yang tengah-tengah ‫صظ‬ٚ ‫خ‬١‫ ش‬, seorang

syekh ‫خ‬١‫ ش‬, orang yang tengah-tengah ‫صظ‬ٚ

- Ta`dil tingkatan yang kelima menggunakan lafazh

seperti: orang yang jujur ‫ق‬ٚ‫ صذ‬, orang yang dipercaya

ِْٛ‫ ِأ‬, tidak ada cacat padanya ٗ‫ ال ثأس ث‬, orang pilihan

‫بس‬١‫خ‬

(f) Ibnu Hajar al-`Asqolânî dan al-Suyûthî

- Ta`dil tingkatan yang pertama memakai lafazh-lafazh

seperti: setsiqah-tsiqahnya orang ‫صك إٌبس‬ٚ‫ أ‬, sekokoh-

kokohnya orang ‫ أصجذ إٌبس‬, padanya puncak ketsiqahan

‫ اٌضمخ‬ٝ‫ ف‬ٝٙ‫ٗ إٌّز‬١ٌ‫ ا‬, padanya puncak kekokohan ‫ٗ اٌضجذ‬١ٌ‫ا‬

ٝ‫ ف‬ٝٙ‫ إٌّز‬, tidak ada seorangpun yang lebih kokoh

darinya ِٕٗ ‫ ال أصجذ‬, siapakah orang yang seperti fulan ِٓ

ْ‫ ِضً فال‬, fulan ditanyakan keadaannya ٕٗ‫ضأي ع‬٠ ْ‫فال‬

- Ta`dil tingkatan kedua menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang sangat tsiqah ‫ صمخ صمخ‬, orang yang

sangat kokoh ingatannya ‫ صجذ صجذ‬, orang yang sangat

menjadi hujjah ‫ دجخ دجخ‬, orang yang kokoh ingatannya,

yang tsiqah ‫ صجذ صمخ‬, orang kokoh ingatannya dan menjadi


43

hujjah ‫ صجذ دجخ‬, orang hafal, yang menjadi hujjah ‫دبفظ‬

‫ دجخ‬, orang yang tsiqah, yang terpercaya ِْٛ‫صمخ ِأ‬

- Ta`dil tingkatan ketiga menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang tsiqah ‫ صمخ‬, orang yang kokoh

ingatannya ‫ صجذ‬, orang yang kuat hafalannya ‫ ضبثظ‬,

orang yang sangat menjadi hujjah ‫دجخ‬

- Ta`dil tingkatan keempat menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang jujur ‫ق‬ٚ‫ صذ‬, orang yang dipercaya

ِْٛ‫ ِأ‬, tidak ada cacat padanya ٗ‫ ال ثأس ث‬, orang pilihan

‫بس‬١‫خ‬

- Ta`dil tingkatan kelima menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang dipandang jujur ‫ ِذً اٌصذق‬, banyak

orang yang meriwayatkan darinya ٕٗ‫ا ع‬ٚٚ‫ س‬, orang yang

tengah-tengah ‫صظ‬ٚ , seorang syekh ‫خ‬١‫ ش‬, seorang syekh

yang tengah-tengah ‫صظ‬ٚ ‫خ‬١‫ ش‬, orang yang baik hadisnya

‫ش‬٠‫ذ اٌذذ‬١‫ ج‬, orang bagus hadisnya ‫ش‬٠‫ دضٓ اٌذذ‬, orang

yang didekati ‫ ِمبسة‬, orang yang buruk hafalannya ‫ئ‬١‫ص‬

‫ اٌذفظ‬, orang yang jujur tetapi sering keliru ‫خطئ‬٠ ‫ق‬ٚ‫ صذ‬,

orang yang jujur tetapi berubah diakhir umurnya ‫ق‬ٚ‫صذ‬

ٖ‫ش ثبخش‬١‫ رغ‬, dituduh melakukan bid`ah ‫ ثجذع‬ِٝ‫ش‬٠

- Ta`dil tingkatan keenam menggunakan lafazh-lafazh

seperti: orang yang jujur insya Allah ‫ق اْ شبء هللا‬ٚ‫ صذ‬,


44

Aku berharap ia tidak cacat ٗ‫ا أْ ال ثأس ث‬ٛ‫ أسج‬, orang yang

sedikit shalih ‫ٍخ‬٠ٛ‫ ص‬, diterima hadisnya ‫ي‬ٛ‫ ِمج‬.83

Dari berbagai macam pendapat ulama tentang tingkatan

ta`dil para periwayat, pendapat Ibnu Hajar dan al-Suyûthî

menurut kami lebih tepat, karena mempunyai banyak tingkatan

yakni enam tingkatan dan juga dalam tingkatan pertama

disebutkan tingkatan yang paling tertinggi menggunakan kata

tafdhil (kata paling).

Adapun lafazh-lafazh jarh yang telah dirumuskan para

ulama yaitu:

(a) Ibnu Abû Hâtim al-Râzî, Ibnu Shalah dan al-Nawâwî

- Tajrih pada tingkatan yang pertama: seorang yang

pendusta ‫ وزاة‬, orang yang ditinggalkan hadisnya ‫ن‬ٚ‫ِزش‬

‫ش‬٠‫ اٌذذ‬, orang yang hilang hadisnya ‫ش‬٠‫را٘ت اٌذذ‬

- Tajrih pada tingkatan yang kedua: orang yang lemah

hadisnya ‫ش‬٠‫ف اٌذذ‬١‫ضع‬

- Tajrih pada tingkatan yang ketiga: bukan orang yang

kuat ٜٛ‫ش ثم‬١ٌ

- Tajrih pada tingkatan yang keempat: orang yang lunak

hadisnya ‫ش‬٠‫ٓ اٌذذ‬١ٌ

83
Lihat Ibid., h. 45-56.
45

(b) Al-Dzahabî

- Tajrih pada tingkatan yang pertama: seorang yang

pendusta ‫ وزاة‬, seorang pemalsu hadis ‫ضبع‬ٚ , seorang

penipu ‫ دجبي‬, ia memalsu hadis ‫ش‬٠‫ضع اٌذذ‬٠

- Tajrih pada tingkatan yang kedua: orang yang tertuduh

berdusta ‫ُ ثبٌىزة‬ٙ‫ ِز‬, orang yang disepakati untuk

ditinggalkan hadisnya ٗ‫ رشو‬ٍٝ‫ِزفك ع‬

- Tajrih pada tingkatan yang ketiga: orang yang

ditinggalkan ‫ن‬ٚ‫ ِزش‬, orang yang hilang hadisnya ‫را٘ت‬

‫ش‬٠‫ اٌذذ‬, bukan orang yang tsiqah ‫ش ثضمخ‬١ٌ , didiamkan

para ulama ٕٗ‫ا ع‬ٛ‫ صىز‬, orang yang ibnasa ‫ ٘بٌه‬, orang

yang gugur ‫صبلظ‬

- Tajrih pada tingkatan yang keempat: orang yang lemah

sekali ‫ف جذا‬١‫ ضع‬, orang yang lemah ٖ‫ا‬ٚ , dilemahkan para

ulama ٖٛ‫ ضعف‬, bukan apa-apa ‫ء‬ٟ‫ش ثش‬١ٌ , orang yang

sangat lemah ٖ‫ا‬ٚ ٚ ‫ف‬١‫ضع‬

- Tajrih pada tingkatan yang kelima: orang yang lunak ٓ١ٌ

, di dalamnya ada kelemahan ‫ف‬١‫ٗ ضع‬١‫ ف‬, padanya ada

cacat yang menjadi pembicaraan ‫ٗ ِمبي‬١‫ ف‬, bukan orang

yang kuat ٜٛ‫ش ثم‬١ٌ , bukan orang yang menjadi hujjah ‫ش‬١ٌ

‫ ثذجخ‬, orang yang dikenal dan diingkari ‫ رٕىش‬ٚ ‫ رعشف‬,

orang yang diperbincangkan para ulama ٗ١‫رىٍُ ف‬, orang

yang buruk hafalannya ‫ء اٌذفظ‬ٟ‫ص‬, orang yang dilemahkan


46

hadisnya ٗ١‫ف‬ ‫ضعف‬٠, orang yang diperselisihkan

hadisnya ٗ١‫اخزٍف ف‬, tidak seberapa ‫ش ثزاٌه‬١ٌ , orang yang

tidak menjadi hujjah ‫ذزج‬٠ ‫ال‬, orang yang jujur, tetapi

melakukan bid`ah ‫ق ٌىٕٗ ِجزذع‬ٚ‫ صذ‬.84

Dilihat dari pendapat tingkatan tajrih di atas, pendapat

al-Dzahabî dirasa cocok dalam penilaian jarh para periwayat

hadis. Hal ini dikarenakan banyaknya tingkatan jarh yang dia

sampaikan dan juga banyaknya macam kategori jarh dalam

tiap tingkatan.

Dengan adanya perbedaan dalam menempatkan lafazh

untuk jarh dan ta`dil, memberi petunjuk bahwa untuk

memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh lafazh al-

jarh dan al-ta`dil diperlukan penelitian, misalnya dengan

menghubungkan penggunaan lafazh itu kepada ulama yang

memakainya.

(4) Beberapa teori jarh dan ta`dil

Para kritikus hadis adakalanya sependapat dalam

menilai pendapat periwayat hadis tertentu, ada juga yang

berbeda pendapat. Selain itu adakalanya seorang kritikus dalam

menilai periwayat tertentu berbeda, misalnya pada suatu saat

84
Lihat Ibid., h. 56-62
47

dia menyatakan laisa bihi ba`s dan pada saat yang lain dia

menyatakan dha`if terhadap periwayat tertentu tersebut.85

Menurut Syuhudi Ismail, ada bebepa teori-teori yang

telah dikemukakan oleh ulama ahli jarh dan ta`dil yang perlu

dijadikan bahan oleh para peneliti hadis tatkala melakukan

kegiatan penelitian, khususnya yang berkaitan dengan

penelitian para periwayat hadis:86

(a) Al-ta`dil didahulukan atas al-jarh

Bila ada seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang

kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang

didahulukan adalah kritikan yang berisi pujian.

(b) Al-jarh didahulukan atas al-ta`dil.

Bila ada seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang

kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang

didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.

(c) Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji

dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah

kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela

disertai dengan sebab-sebabnya.

(d) Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah

orang yang tergolong dha`if, maka kritikannya tidak dapat

diterima.

85
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 77.
86
Lihat Ibid., h. 77-81.
48

(e) Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti

secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya

kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.

(f) Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami

permusuhan dalam masalah keduniaan tidak perlu

diperhatikan.

Adapun menurut Mahmûd `Alî Fayyâd, ada beberapa

pendapat tentang kontradiksi antara jarh dan ta`dil yang

dikemukakan para ulama hadis, di antaranya yaitu:

(a) Al-Râzî, al-Amidî, Ibnu Shalah mengatakan bahwa secara

mutlak jarh didahulukan dari ta`dil.

(b) Al-Khathîb al-Baghdâdî mengatakan jika yang paling

banyak mengungkapkan pendapatnya adalah dari para pen-

ta`dil, maka menjadi kuat ta`dilnya sedangkan pendapat

yang men-jarh-kan menjadi lemah karena sedikit

jumlahnya begitu juga sebaliknya.

(c) Al-Suyûthî mengatakan jika faktor penyebab jarh itu

mencederakan ke-ta`dil-an, maka pendapat yang men-jarh-

kan didahulukan dari pada pendapat yang men-ta`dil-kan

sekalipun yang men-ta`dil-kan banyak.87

Dilihat dari dari faktor penyebab tentang kontradiksi

antara ta`dil dan jarh, maka pendapat al-Suyûthî lebih dapat

87
Mahmûd `Alî Fayyâd, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, h. 79.
49

diterima, karena dinyatakan bahwa jarh didahulukan dari ta`dil

apabila jarh tersebut dapat mencederakan ta`dil dari para

periwayat tersebut. Untuk dapat dikategorikan jarh mana yang

dapat mencederakan para periwayat, dapatlah dilihat dari

penilaian tentang tingkatan jarh dari para ulama.

(5) Persambungan sanad yang diteliti

(a) Lambang-lambang metode periwayatan

Dalam penerimaan dan penyampaian suatu hadis

diperlukan lambang-lambang periwayatan hadis. Di antara

lambang-lambang periwayatan hadis antara lain yaitu:

- Al-sima` sendiri merupakan cara penerimaan hadis

dengan mendengarkan dari lafazh syekh, yaitu

mendengarkan syekh mengucapkan hadis dari kitab yang

dibacakannya atau dari hafalannya walaupun yang

mendengar sendiri menulisnya ataupun tidak. 88 Lafazh-

lafazh al-sima` antara lain: ,‫ روش دذصٕب‬,‫ لبي ٌٕب‬,‫ صّعذ‬,‫أخجشٔب‬

,ْ‫ ٌٕب فال‬89

- Al-qira`ah merupakan pembacaan murid kepada syekh

dengan cara menghafalnya dari lubuk hatinya atau dari

kitab hadis yang dibaca olehnya. Apabila murid tersebut

tidak membaca lewat hafalannya atau dari kitab yang


88
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 88.
89
Ibid., h. 90. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 37.
50

berada di tangannya akan tetapi mendengarkan dari

orang lain yang membacakan kepada syekh, maka

sesungguhnya disyaratkan kepada syekhnya agar benar-

benar hafal apa yang dibacakan olehnya atau

dimungkinkan bagi syekh tersebut agar merujuk kepada

kitab yang shahih yang dipegang oleh muridnya yang

lain yang tsiqah.90 Lafazh al-qira`ah yakni ‫ لشأ‬.

- Al-ijazah merupakan sebuah perizinan syekh kepada

muridnya untuk meriwayatkan hadis yang didengarnya

atau dalam kitab hadis yang ditulisnya walaupun murid

tersebut tidak pernah mendengar dari syekh tersebut dan

belum pernah membacakan hadis tersebut kepada


91
syekhnya. Lafazh dari al-ijazah: ٕٝ‫ ع‬ٞٚ‫اجزد ٌه اْ رش‬ .

Adapun al-ijazah yang sebenarnya merupakan suatu

ucapan syekh secara lisan dengan suara yaang jelas

kepada muridnya, adapun ketika syekh tersebut

memberikan sebuah kitab dengan tanpa ucapan tidak sah

menurut golongan yang keras.92

- Al-munawalah merupakan pemberian syekh kepada

muridnya sebuah kitab atau sebuah hadis yang tertulis

90
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 93.
91
Ibid., h. 95. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 200. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 41.
92
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 96.
51

untuk diriwayatkan dari pemberian syekhnya tersebut.93

Lafazh paling tinggi dan paling kuat dari al-munawalah

ini adalah pemberian syekh kepada muridnya sebuah

kitab atau hadis yang tertulis yaitu dengan

mengucapkan: kamu telah memiliki kitab ini dan saya

(syekh) mengizinkan kamu untuk meriwayatkan hadis

ini, maka ambillah dan riwayatkan hadis ini dari saya

(syekh), hal seperti ini dinamakan munawalah dengan

ijazah. Lafazh-lafazh al-munawalah lainnya yaitu , ‫أٔجأٔب‬

ٝٔ‫ أٔجأ‬94

- Al-mukatabah merupakan sebuah tulisan syekh atau

tulisan orang atas perintah syekh untuk menulisakan dari

syekh sebagian hadisnya kepada seseorang yang berada

di hadapannya yang menginginkan ilmu dari syekh

tersebut atau kepada seseorang yang tidak ada di

hadapannya untuk dikirimkan kepadanya tulisan

tersebut. Lafazh al-mukatabah yaitu saya izinkan kamu

untuk riwayatkan kepada orang lain.95

- Al-i`lam merupakan pemberian sebuah kabar dari syekh

kepada muridnya bahwa sesungguhnya kitab ini atau

hadis ini dari riwayat-riwayat syekh tersebut atau dari

93
Ibid., h. 97.
94
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 97. Lihat Munzier Suparta, Ilmu
Hadis, h. 202. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 42.
95
Ibid., h. 97-98. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 203. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 42.
52

hasih pendengaran (sima`) syekh tersebut dengan tanpa

memberikan ijazah secara langsung untuk memberikan

ijin meriwayatkan hadis tersebut. Lafazh dari al-I`lam

yaitu ْ‫ فال‬ٍّٕٝ‫ أع‬.96

- Al-washiyat merupakan sebuah penjelasan syekh kepada

muridnya ketika sedang bepergian atau menjelang ajal

kematiannya dengan mewasiatkan kitab kepada

seseorang yang jelas atau yang dikenal untuk

meriwayatkan hadis yang ada di kitab tersebut. Lafazh

al-washiyah yaitu ‫ فالْ ثىزا‬ٕٝ‫ دذص‬.97

- Al-wijadah merupakan penemuan murid akan sebuah

hadis yang ditulis oleh syekh yang telah dia jumpai dan

dia mengetahui bahwa hadis tersebut dari syekhnya atau

belum berjumpa dengan syekh akan tetapi murid tersebut

berkeyakinan kalau hadis yang tertulis merupakan hadis

yang shahih seperti menemukan sebagian hadis dalam

kitab yang terkenal yang ditulis oleh orang yang

terkenal.98 Lafazh al-wijadah yakni ‫جذد‬ٚ .

Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara

al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat

96
Ibid., h. 99. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 203. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 42.
97
Ibid., h. 100. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 204. Lihat Mushthafa `Azamî,
Memahami Hadis, h. 42.
98
Ibid., h. 101-102. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 43.
53

dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi.99 Menurut Syuhudi

Ismail khusus lambang yang berupa huruf `an dan `anna,

ulama telah banyak mempersoalkannya. Sebagian ulama

menyatakan bahwa hadis mu`an`an yakni hadis yang

sanadnya mengandung lambang `an dan hadis mu`annan

yakni hadis yang sanadnya mengandung lambang `anna

memiliki sanad yang putus. Sebagian ulama lainnya

mengatakan bahwa hadis mu`an`an dapat dinilai sanadnya

bersambung bila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

- Pada sanad hadis yang bersangkutan tidak terdapat tadlis

(penyembunyian cacat).

- Para periwayat yang namanya beriring dan diantarai oleh

lambang `an atau `anna telah terjadi pertemuan.

- Para periwayat yang menggunakan lambang `an atau

`anna adalah periwayat yang tsiqah.100

(b) Hubungan periwayat dengan metode periwayatannya

Keadaan periwayat dapat dibagi kepada tsiqah dan

tidak tsiqah atau dha`if. Dalam menyampaikan riwayat

hadis, periwayat yang tsiqah memiliki tingkat akurasi yang

tinggi dan karenanya dapat dipercaya riwayatnya.

Sedangkan riwayat yang tidak tsiqah dari segi akurasinya


99
Ibid., h. 88.
100
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 83. Lihat Nuruddin `Itr,
`Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, cet. 1, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 129.
54

berada di bawah riwayat yang disampaikan oleh orang yang

tsiqah.

Dalam hubungannya dengan persambungan sanad,

kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang

tidak tsiqah yang menyatakan telah menerima riwayat

dengan metode sami`na misalnya, walaupun metode itu

diakui oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang

tinggi, tetapi karena yang meyatakan lambang itu adalah

orang yang tidak tsiqah, maka informasi yang

dikemukakannya tetap tidak dapat dipercaya.101

Dengan uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwa

untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad,

maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan


102
yang digunakan perlu diteliti karena tadlis masih

mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh

periwayat yang tsiqah.

101
Ibid., h. 84.
102
Periwayat hadis yang menyatakan telah menerima hadis dari priwayat tertentu yang
sezaman dengannya, pada hal mereka tidak pernah bertemu. Boleh jadi mereka pernah bertemu,
tetapi antar mereka tidak pernah atau diragukan pernah terjadi penyampaian dan penerimaan
riwayat hadis (lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihah Hadis, h. 177).
55

(c) Meneliti syudzudz dan `illat

- Meneliti syudzudz

Makna syadz secara bahasa adalah seseorang

yang memisahkan diri dari jamaah. 103 Adapun secara

istilah, ulama berbeda pendapat tentang pengertian

syudzudz sebagai hadis. Akan tetapi ada tiga pendapat

yang menonjol tentang hadis syudzudz ini, yakni bahwa

yang dimaksud dengan hadis syudzudz adalah:

- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah,

tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang

dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang

lainnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam al-

Syâfi`î (w. 204 H. / 820 M.).

- Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah,

tetapi orang-orang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan

hadis tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh al-

Hâkim al-Naisâbûrî (w. 405 H. / 1014 M.).

- Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik

periwayatannya bersifat tsiqah maupun tidak.

Pendapat ini dikemukakan oleh Abû Ya`la al-Khalîlî

(w. 446 H.).104

103
Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 228.
104
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 85-86. Lihat Nuruddin `Itr,
`Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 228. Lihat Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, cet. 1,
(Bandung: Al-Ma`arif, 1974), h. 199.
56

Menurut Syuhudi Ismail, dari ketiga pendapat di

atas, maka pendapat Imam al-Syâfi`î merupakan

pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis

sampai saat sekarang. Salah satu langkah penelitian

yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan

adanya syudzudz suatu sanad adalah dengan

membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk

matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki

segi kesamaan.105

- Meneliti illat

Kata illat berasal dari kata `a`alla berarti

menjadikan cacat. `Illat adalah faktor abstrak yang

menodai hadis sehingga merusak keshahihannya. 106

`Illat yang disebutkan dalam salah satu unsur kaedah

keshahihan sanad hadis adalah `illat yang untuk

mengetahuinya dilakukan penelitian yang lebih cermat.

Menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu

al-Madînî dan al-Khathîb al-Baghdâdî bahwa untuk

meneliti `illat hadis, langkah-langkah yang perlu

ditempuh adalah:

105
Ibid., h. 86.
106
Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 254.
57

- Seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna

dihimpun dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan

memang memiliki mutabi` atau syahid.

- Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti

berdasarkan kritik yang telah dilakukan oleh para

ahli kritik hadis.107

(d) Menyimpulkan hasil penelitian sanad

Kegiatan menyimpulkan sanad merupakan kegiatan

akhir dari penelitian sanad hadis. Hasil penelitian berupa

natijah (konklusi). Dalam mengemukakan natijah harus

disertai argumen-argumen yang jelas.

Isi natijah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah

periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis

yang bersangkutan berstatus mutawatir, dan bila tidak

demikian maka hadis tersebut berstatus ahad. Untuk hasil

penelitian hadis ahad, maka natijah-nya mungkin berisi

pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas

shahîh atau hasan atau dha`îf sesuai dengan apa yang telah

diteliti.

107
Ibid., h. 88. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 258. Lihat Fathur
Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, h. 187.
58

2. Langkah-langkah penelitian matan

Matan secara bahasa adalah apa yang tampak, dan apa yang tertancap

dari bumi dan meninggi ke atas. Dalam ilmu hadis, matan adalah suatu

perkataan berakhir dari sanad sebuah hadis. 108 Di antara langkah-langkah

dalam penelitian matan suatu hadis yaitu:

a. Meneliti matan hadis dengan melihat kualitas sanadnya.

Dalam kegiatan penelitian hadis, ulama hadis mendahulukan

penelitian sanad atas penelitian matan. Langkah penelitian yang dilakukan

oleh ulama hadis tersebut tidaklah berarti bahwa sanad lebih penting dari

pada matan. Bagi ulama hadis, sanad dan matan merupakan bagian yang

penting dalam penelitian hadis, hanya saja penelitian matan akan

mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah

jelas-jelas memenuhi syarat sebagai sanad yang shahih. Tanpa adanya

sanad, maka suatu matan hadis tidak dapat dinyatakan sebagai hadis yang

berasal dari Nabi.109

1) Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanad

Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan

berkualitas shahih apabila sanad dan matan hadisnya sama-sama

berkualitas shahih. 110 Kualitas sanad dan matan hadis Nabi cukup

108
Badrân al-`Ainain Badrân, Al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf (Tarikhuhu Wa
Mushthalâhuhu), h. 10.
109
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 122.
110
Ibid., h. 123.
59

bervariasi, ada suatu hadis yang sanad shahih tetapi matannya dha`if

atau sebaliknya yakni sanadnya dha`if tetapi matannya shahih. Dengan

demikian, hadis yang sanadnya shahih dan matannya tidak shahih atau

sebaliknya yakni sanadnya dha`if dan matannya shahih tidak

dinyatakan sebagai hadis shahih. Apabila terjadi di dalam penelitian

hadis, sanadnya shahih tetapi matannya dha`if mungkin terjadi

beberapa faktor yang telah terjadi. Karena kaedah keshahihan sanad

hadis mempunyai tingkat akurasi yang tinggi terhadap shahih tidaknya

sebuah hadis. Di antara faktor yang menyebabkan kejadian penelitian

yang demikian yaitu:

- Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian

matan hadis, misalnya kesalahan dalam menggunakan pendekatan

ketika melakukan penelitian matan.

- Karena telah terjadi kesalahan dalam melakukan penelitian sanad

hadis.

- Karena matan yang bersangkutan telah mengalami periwayatan

secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.111

Dengan kemungkinan adanya kesalahan yang terjadi, maka

penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat

konfirmatif semata, akan tetapi memang sebuah keharusan dan sangat

penting.

111
Ibid., h. 124.
60

2) Kaedah keshahihan matan sebagai acuan

Menurut Syuhudi Ismail, unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh

suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam yaitu: terhindar

dari syudzudz (kejanggalan) dan terhindar dari `illat (cacat). 112 Akan

tetapi para ulama yang lain dalam menentukan keshahihan hadis

menggunakan tolok ukur yang bermacam-macam. Di antaranya al-

Khathîb al-Baghdâdî (w. 463 H. / 1072 M.), menurutnya seperti yang

dikutip Syuhudi Ismail bahwa suatu matan hadis dinyatakan maqbul

atau diterima apabila:

- Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur'an yang telah muhkam

(ketentuan hukum yang telah tetap).

- Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.

- Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan

ulama salaf (masa lalu).

- Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya

lebih kuat.113

Di samping itu, Ibnu al-Jauzî (w. 597 H. / 1210 M.) seperti

yang dikutip Syuhudi Ismail mengatakan bahwa setiap hadis yang

bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok

agama, maka ketahuilah bahwa hadis itu adalah hadis yang palsu.114

Selanjutnya Shalâh al-Dîn al-Dhâbî menyimpulkan bahwa tolok ukur

untuk penelitian matan ada empat macam yaitu:


112
Ibid., h. 124.
113
Ibid., h. 127.
114
Ibid., h. 128.
61

- Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an.

- Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

- Tidak bertentangan dengan akal, indera, dan sejarah.

- Susunan periwayatannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi.115

Begitu juga menurut al-Zuhrî, ada beberapa ciri yang bisa

dijadikan patokan tentang palsunya suatu matan hadis yaitu:

- Kelemahan lafazh yang terdapat dalam matan. Artinya orang yang

mengetahui betul makna ungkapan bahasa Arab ketika menjumpai

kata tertentu maka akan mengatakan bahwa kalimat seperti ini

mustahil keluar dari orang fasih, terlebih-lebih Nabi.

- Kelemahan kandungan hadis. Artinya kandungan hadis

bertentangan temuan rasional, tanpa ada kemungkinan takwil.

Misalnya, sebuah hadis “sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu

melakukan thawaf di Ka`bah tujuh kali dan shalat di Maqam

Ibrahim dua raka`at".

- Bertentangan dengan nash al-Qur'an atau hadis mutawatir. Hadis

yang mengatakan “anak hasil zina tidak akan masuk syurga hingga

tujuh turunan" bertentangan dengan ayat “seseorang tidak akan

menanggung dosa orang lain".

- Hadis yang menggambarkan bahwa para sahabat sepakat

menyembunyikan ajaran Nabi.

- Hadis yang isinya bertentangan dengan bukti-bukti sejarah.

115
Ibid., h. 128-129.
62

- Hadis yang isinya sesuai dengan pendapat madzhab periwayatnya,

sedangkan periwayat tersebut dikenal sangat fanatik terhadap

madzhabnya.

- Hadis yang mengandung informasi tentang pahala yang amat

berlebihan atas perbuatan kecil atau siksa yang amat berlebihan pula

atas dosa yang kecil.116

Dengan uraian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa walaupun

unsur-unsur kaedah keshahihan matan hadis hanya dua macam yakni

terhindar dari syudzudz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat),

tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan

dengan tolok ukur sesuai dengan keadaan matan yang diteliti. Akan

tetapi jika dilihat dari proses penilaian keshahihan matan, maka

pendapat al-Khathîb al-Baghdâdî dan Shalâh al-Dîn al-Dhâbî lebih

akomodatif untuk digunakan dalam penilaian sebuah matan hadis. Hal

ini karena di dalam pernyataan mereka menggunakan pendekatan

dengan al-Qur'an dan hadis mutawatir atau yang lebih shahih dalam

menilai hadis serta dengan pendekatan akal, indera dan sejarah

sehingga penilaian matan hadis akan menjadi relevan.

116
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, h. 74-77.
63

3) Meneliti susunan matan yang semakna

a) Terjadinya perbedaan lafazh

Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafazh pada matan

hadis yang semakna ialah karena dalam periwayat hadis telah

terjadi periwayatan secara makna. Menurut ulama hadis, perbedaan

lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna asalkan

sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu masih ditolerir.117

Akibat terjadinya perbedaan lafazh, maka metode

muqaranah (perbandingan) menjadi sangat penting. Dengan

melakukan metode muqaranah, maka akan dapat diketahui apakah

terjadinya perbedaan lafazh pada matan masih dapat ditoleransi

atau tidak.118

b) Ziyadah, Idraj dan lain-lain

Dengan metode muqaranah juga, akan dapat diketahui

kemungkinan adanya ziyadah, idraj dan lain-lain yang dapat

berpengaruh terhadap kehujahan suatu matan hadis. Dalam

penelitian matan hadis, ziyadah, idraj dan lain-lain sangat penting.

Secara bahasa, ziyadah adalah tambahan. Menurut ilmu

hadis, ziyadah pada matan ialah tambahan lafazh atau kalimat

(pernyataan) yang terdapat pada matan, tambahan tersebut

dikemukakan oleh periwayat tertentu sedangkan periwayat tertentu

117
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 131.
118
Ibid., h. 134.
64

lainnya tidak mengemukakannya. 119 Menurut Ibnu Shalâh yang

dikutip oleh Syuhudi Ismail, bahwa ziyadah itu ada tiga macam

yaitu:

- Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya

bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat

yang tsiqah juga. Ziyadah seperti ini ditolak.

- Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya

tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak

periwayat yang tsiqah juga. Ziyadah seperti ini diterima.

- Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah

lafazh yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat

lainnya yang bersifat tsiqah juga tidak mengemukakannya.120

Adapun idraj, secara bahasa merupakan isim mashdar dari

kata adraja yang artinya: memasukkan atau menghimpunkan.

Menurut pengertian secara istilah ilmu hadis, idraj berarti

memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam

suatu matan hadis. 121 Perbedaan antara ziyadah dan idraj yaitu

idraj berasal dari diri periwayat, sedangkan ziyadah (yang sesuai

syarat) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari matan hadis.

119
Ibid, h. 135.
120
Ibid., h. 137.
121
Ibid., h. 138.
65

c) Meneliti kandungan matan

(1) Membandingkan kandungan matan yang sejalan

Setelah susunan lafazh diteliti, maka langkah berikutnya

adalah meneliti kandungan matan. Dalam meneliti kandungan

matan, perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil yang

mempunyai topik masalah yang sama. Apabila ada matan lain

yang topiknya sama, maka perlu diteliti sanadnya. Apabila

sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah

dilakukan. Apabila kandungan matan yang diperbandingkan

ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan

penelitian berakhir. Dalam prakteknya, kegiatan penelitian

biasanya masih perlu dilakukan yaitu dengan memeriksa

penjelasan masing-masing matan di berbagai kitab syarah hadis

untuk diketahui lebih jauh tentang matan yang diteliti dan

hubungannya dengan dalil-dalil lain.122

(2) Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau

tampak bertentangan

Sesungguhnya tidak mungkin hadis Nabi bertentangan

dengan hadis Nabi yang lain ataupun dengan dalil-dalil dari al-

Qur'an. Sebab apa yang dikemukakan Nabi, baik berupa hadis

maupun ayat al-Qur'an sama-sama dari Allah. Namun pada

122
Ibid., h. 141.
66

kenyataannya, ada sejumlah hadis Nabi yang tampak tidak

sejalan dengan atau tampak bertentangan dengan hadis yang

lain ataupun dengan ayat al-Qur'an.

Dalam menyelesaikan matan hadis tentang hadis-hadis

yang tampak bertentangan, ulama berbeda pandangan:

- Ibnu Hazm mengatakan bahwa matan-matan hadis harus

diamalkan, karena dia menekankan perlunya penggunaan

metode istisna` (pengecualian) dalam penyelesaian itu.

- Menurut al-Syâfi`î, kemungkinan hadis-hadis yang tampak

bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang

satu bersifat global (mujmal) sedang yang satunya lagi

bersifat rinci (mufassar), mungkin yang satu bersifat umum

(`amm) sedang yang satunya lagi bersifat khusus (khas),

mungkin yang satu bersifat penghapus (nasikh) sedang yang

satunya lagi yang dihapus (mansukh).

- Shihâb al-Dîn menempuh dengan cara tajrih (mencari

argumen yang lebih kuat).

- Al-Thahâwanî menempuh cara al-nasikh dan al-mansukh.

- Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Dhâbî menempuh cara al-

jam`u, kemudian al-tajrih.

- Ibnu Hajar al-`Asqolânî menempuh empat tahap yakni al-

jam`u, al-nasikh dan al-mansukh, al-tajrih, al-tauqif


67

(menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat

menyelesaikan atau menjernihkannya).123

Dalam menyelesaikan masalah hadis yang tampak

bertentangan, pendapat dari Ibnu Hajar al-`Asqolânî lebih

akomodatif. Hal ini karena dalam praktek penelitian matan,

keempat tahap atau cara itu memang dapat memberikan

alternatif yang lebih hati-hati dan relevan dalam menyelesaikan

hadis yang tampak bertentangan.

123
Ibid., h. 138.
68

BAB III
DESKRIPSI HADIS DAN BIOGRAFI RAWI

A. Teks seluruh hadis

Hadis Nabi tentang akibat meninggalkan hutang di dunia diriwayatkan

oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dalam bab nafaqah124

dan bab hutang.125 Di samping itu penulis juga melakukan pelacakan hadis

tersebut dalam kitab Mu`jam Mufahras melalui metode takhrij dengan

melalui kata-kata dalam matan hadis tersebut yaitu kata al-dain, yang mana

penulis mencari hadisnya dengan melalui kata asal dari al-dain yakni dâna-
126
yadînu, maka penulis pun mendapati bahwa hadis ini tidak hanya

diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî, akan tetapi diriwayatkan oleh banyak

mukharrij. Berikut ini adalah seluruh teks hadis tersebut:

1. Hadis Riwayat al-Bukhârî

ٍ ‫ث َعن عُ َقْي ٍل َعن ابْ ِن ِشي‬


‫اب َع ْن أَِِب‬ َ ْ ْ ُ ‫َحدَّثَنَا ََْي ََي بْ ِن بُ َك ٍْْي َحدَّثَنَا الَّ ْلي‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫َن َر ُس ْوَل اهلل‬َّ ‫ أ‬:ُ‫َسلَ َمةَ َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َر ِضى اهللُ َعْنو‬
َ
‫ض ًال؟‬ ْ َ‫ َى ْل تََرَك لِ َديْنِ ِو ف‬:‫ فَ َسأ ََل‬,‫ىف َعلَْي ِو الدَّيْ ُن‬ َّ ِ‫تى ب‬
َّ ‫الر ُج ِل الْ ُمتَ َو‬ َ ‫َكا َن يُ ْؤ‬
‫((صلُّ ْوا َعلَى‬ ِ ِ ِ َ َ‫ واََِّّل ق‬,‫ِّث أَنَّو تَرَك لِ ِدينِ ِو وفَاء صلَّى‬ ِ‫فَا‬
َ :‫ْي‬ َ ْ ‫ال ل ْل ُم ْسلم‬ َ َ ً َ ْ َ ُ َ ‫د‬ ‫ح‬
ُ ‫ن‬
ْ
‫ْي ِم ْن‬ ِِ َ َ‫صا ِحبِ ُك ْم)) فَلَ َّما فَتَ َح اهللُ َعلَْي ِو الْ ُفتُ ْو َح ق‬
َ ْ ‫ ((أَنَا أ َْوََل بِاْملُْؤمن‬:‫ال‬ َ

124
Lihat Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 5, h.
536.
125
Ibid., j. 3, h. 84.
126
Arent Jan Wensinck, Mu’jam Mufahras li al-Alfazh al-Ahadîts al-Nabawî, h. 164.
69

ً‫ َوَم ْن تََرَك َماَّل‬,ُ‫ض ُاؤه‬ ِِ ِ ِ‫ فَمن تُو‬,‫أَنْ ُف ِس ِيم‬


َ َ‫ْي فَ ََت َك َديْناً فَ َعلَ َّى ق‬
َ ْ ‫ىف م َن الْ ُم ْؤمن‬
َُ َْ ْ
127
.‫فَلِ ِورثَتِ ِو)) رواه البخارى‬
Artinya:

“Menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukair, menceritakan kepada kami


al-Laits dari `Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah dari Abû Hurairah
ra.: sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah. laki-laki yang
meninggal dan mempunyai tanggungan hutang. Maka Rasulullah.
bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (kelebihan harta) untuk
hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa
menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau seandainya
tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada kaum
muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah yang
mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan dengan
berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak terhadap
kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang meninggal dunia
dari kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka saya yang akan
menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia meninggalkan harta
benda maka untuk ahli warisnya". (HR. al-Bukhârî).

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî di Shahîh al-Bukhârî dalam

kitab al-kafalah bab hutang juz 3 pada no hadis 2298 dan di dalam kitab al-

nafaqah juz 5 pada hadis no 5371.

2. Hadis Riwayat Muslim

‫س اْألَيْلِ ِّي ح َو‬ ٍ ُ‫ي َع ْن يُ ْون‬ ِّ ‫ص ْف َو ٍان اْأل َُم ِو‬ ٍ


َ ‫َحدَّثَنَا ُزَىْي ُر ابْ ُن َحْرب َحدَّثَنَا أَبُو‬
‫ب‬ ٍ ‫َخبَ رنَا َعْب ُد اهللِ بْ ِن وْى‬ ُ ‫ َو للَّ ْف‬-‫َح َّدثَِِن َحْرَملَةُ بْ ُن ََْي ََي‬
َ َ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬,-ُ‫ظ لَو‬
َّ ‫اب َع ْن أَِِب َسلَ َمةَ بْ ِن َعْب ِد‬
‫الر ْْحَ ِن َع ْن أَِِب‬ ٍ ‫َخب رِِن ي ونُس َعن ابْ ِن ِشي‬
َ ْ ُ ُْ ََ ْ ‫أ‬
‫تى‬ ‫ؤ‬ْ ‫ي‬
ُ ‫ن‬َ ‫ا‬‫ك‬َ ‫م‬ َّ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسل‬ َ
ِ‫َن رسوَل اهلل‬ ِ
ْ ُ َ َّ ‫ أ‬:ُ‫ُىَريْ َرَة َرض َى اهللُ َعْنو‬
َ َ

127
Lihat Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 3, h.
84 dan j. 5, h. 536.
70

‫ض ٍاء؟ فَاِ ْن‬ ِ ِِ ِ


َ َ‫ َى ْل تََرَك ل َديْنو م ْن ق‬:‫ فَيَ ْسأ َُل‬,‫ت َعلَْيو الدَّيْ ُن‬
ِ ِ ِّ‫الرج ِل الْمي‬
َ ُ َّ ‫ب‬
ِ
))‫صا ِحبِ ُك ْم‬ َ ‫((صلُّ ْوا َعلَى‬َ :‫ال‬ َ َ‫ َواََِّّل ق‬,‫صلَّى َعلَْي ِو‬ َ ً‫ث أَنَّوُ تََرَك َوفَاء‬ َ ‫ُح ِّد‬
‫ فَ َم ْن‬,‫ْي ِم ْن أَنْ ُف ِس ِي ْم‬ ِِ
َ ْ ‫ ((أَنَا أ َْوََل بِاْملُْؤمن‬:‫ال‬ َ َ‫فَلَ َّما فَتَ َح اهللُ َعلَْي ِو الْ ُفتُ ْو َح ق‬
))‫ َوَم ْن تََرَك َماَّلً فَ ُي َو لِ ِورثَتِ ِو‬,ُ‫ض ُاؤه‬ َ َ‫ْي فَتَ َرَك َديْناً فَ َعلَ َّى ق‬
ِِ ِ ِّ ‫تُو‬
َ ْ ‫ىف م َن الْ ُم ْؤمن‬
َُ
128
.‫رواه مسلم‬
Artinya:

"Menceritakan kepada kami Zuhair ibn Harb menceritakan kepada kami


Abû Shafwân al-Umawiyyi dari Yûnus al-`Ailî, dan juga telah
menceritakan kepada kami Harmalah ibn Yahya adapun lafazh dari dia,
berkata: mengkhabarkan kepada kami `Abdullâh ibn Wahab,
mengkhabarkan kepada kami Yûnus ibn Syihâb dari Abû Salamah ibn
`Abd al-Rahman dari Abû Hurairah ra.: sesungguhnya didatangkan kepada
Rasulullah laki-laki yang meninggal dan mempunyai tanggungan hutang.
Maka Rasulullah bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (tanggungan)
untuk hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan tanggungan
yang bisa menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau
seandainya tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada
kaum muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah
yang mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan
dengan berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak
terhadap kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang
meninggal dunia dari kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka
saya yang akan menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia
meninggalkan harta benda maka untuk ahli warisnya". (HR. Muslim).

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh Muslim

dalam kitab al-farâidh bab barang siapa yang meninggalkan harta maka

untuk ahli warisnya juz 2 pada hadis no 4242.

128
Lihat Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2, h. 58.
71

3. Hadis Riwayat al-Tirmidzî

‫صالِ ٍح‬ ِ
َ ‫ال َح َّدثَِِن َعْب ُد اهلل ابْ ُن‬ َ َ‫اس ق‬ ِ َّ‫ض ِل َم ْكتُ ْوُم بْ ُن اْ َلعب‬ ْ ‫َح َّدثَِِن أَبُو اْل َف‬
ٍ ‫ َعن ابْ ِن ِشي‬,‫ث ح َّدثَِِن عُ َقْيل‬
‫َخبَ َرِِن أَبُ ْو َسلَ َمةَ َع ْن أَِِب‬ ْ ‫اب أ‬ َ ْ ٌ َ ُ ‫َح َّدثَِِن الَّ ْلي‬
‫ىف َعلَْي ِو‬ َّ ِ‫تى ب‬
َّ ‫الر ُج ِل الْ ُمتَ َو‬ َ ‫ؤ‬
ْ ‫ي‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ا‬ ‫ك‬َ ‫م‬
َ
َّ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسل‬ َ
ِ‫َن رسوَل اهلل‬
ْ ُ َ َّ ‫ أ‬:‫ُىَريْ َرَة‬
ِ ِ‫ِّث أَنَّو تَرَك لِ ِدين‬ ِ‫ض ٍل؟ فَا‬ ِ ‫ ىل تَرَك لِ َدينِ ِو‬:‫ فَي ُقو ُل‬,‫الدين‬
‫اء‬
ً ‫ف‬
َ ‫و‬َ ‫و‬ ْ َ ُ َ ‫د‬ ‫ح‬
ُ ‫ن‬
ْ ْ ‫ف‬
َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َّ
‫صا ِحبِ ُك ْم)) فَلَ َّما فَتَ َح‬ ‫ى‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬ ‫ا‬‫و‬ ُّ
‫ل‬ ‫((ص‬ : ‫ْي‬ ِ ِ‫ال لِلْمسل‬
‫م‬ َ َ‫ق‬ َّ
‫َّل‬ ِ‫ وا‬,‫صلَّى علَي ِو‬
َ َ َْ َ ْ ُْ َ َْ َ
‫ىف ِم َن‬ َّ ِ‫ فَ َم ْن تُ ُو‬,‫ْي ِم ْن أَنْ ُف ِس ِي ْم‬ ِِ
َ ْ ‫ ((أَنَا أ َْوََل بِاْملُْؤمن‬:‫ال‬ َ َ‫اهللُ َعلَْي ِو الْ ُفتُ ْو َح ق‬
‫ َوَم ْن تََرَك َماَّلً فَلِ ِورثَتِ ِو)) رواه‬,ُ‫ض ُاؤه‬ َ َ‫ْي َو تََرَك َديْناً فَ َعلَ َّى ق‬
ِِ
َ ْ ‫الْ ُم ْؤمن‬
129
.‫الَتمذى‬
Artinya:

"Menceritakan kepada saya Abû al-Fadhal Maktûm ibn `Abbâs berkata:


menceritakan kepada saya `Abdullâh ibn Shâlih, menceritakan kepada
saya al-Laits, menceritakan kepada saya `Uqail dari Ibnu Syihâb, telah
mengkhabarkan kepada saya Abû Salamah dari Abû Hurairah ra.:
sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah laki-laki yang meninggal
dan mempunyai tanggungan hutang. Maka Rasulullah bertanya: apakah
dia meninggalkan sesuatu (kelebihan harta) untuk hutangnya? jika
dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa menutupi hutangnya,
Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau seandainya tidak ada yang
menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada kaum muslimin:
shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah yang mempunyai
hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan dengan berbagai
penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak terhadap kaum
mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang meninggal dunia dari
kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka saya yang akan
menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia meninggalkan harta
benda maka untuk ahli warisnya". (HR. al-Tirmidzî).

129
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh), j. 2, h. 266.
72

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzî di Sunan al-Tirmidzî

dalam kitab jenazah bab apa yang ada di balik shalat (jenazah) atas orang

yang berhutang juz 4 hadis no 1091.

4. Hadis Riwayat Ibnu Mâjah

‫ب‬ ٍ ‫ى َحدَّثَنَا َعْب ُد اهللِ بْ ِن وْى‬ ِّ ‫ص ِر‬ ِ َّ ‫َْح ُد بن عم ٍر و بن‬


ْ ‫السْرِح الْم‬
َ ُ ْ َ َ ُ ُ ْ َ ْ ‫َحدَّثَنَا أ‬
ِ ٍ ِ ِ ْ‫أ‬
ُ‫س َع ْن ابْ ِن ش َياب َع ْن أَِِب َسلَ َمةَ َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َرض َى اهلل‬ ُ ُ‫َخبَ َرِن يُ ْون‬
‫ِف‬ ِ ِ ِّ ‫ اِ َذا تُو‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّم َكا َن يَ ُق ْو ُل‬ ِ َّ ‫ أ‬:ُ‫َعْنو‬
ْ ‫ىف اْملُْؤم َن‬ َُ َ َ ‫َن َر ُس ْوَل اهلل‬
‫ َى ْل تََرَك‬:‫ فَيَ ْسأ َُل‬,‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َو َعلَْي ِو الدَّيْ ُن‬ ِ ِ ِ
َ ‫َع ْيد َر ُس ْول اهلل‬
‫((صلُّ ْوا‬
َ :‫ال‬ َ َ‫ ق‬.َ‫ َّل‬:‫صلَّى َعلَْي ِو َواِ ْن قَالُوا‬ َ .‫ نَ َع ْم‬:‫الوا‬
ِ ٍ َ‫لِ َدينِ ِو ِمن ق‬
ُ َ‫ضاء؟ فَا ْن ق‬ َ ْ ْ
ِِ َ َ‫صا ِحبِ ُك ْم)) فَلَ َّما فَتَ َح اهللُ َعلَْي ِو الْ ُفتُ ْو َح ق‬
َ ْ ‫ ((أَنَا أ َْوََل بِاْملُْؤمن‬:‫ال‬
‫ْي‬ َ ‫َعلَى‬
‫ َوَم ْن تََرَك‬,ُ‫ض ُاؤه‬ ِِ ِ ِ‫ فَمن تُو‬,‫ِمن أَنْ ُف ِس ِيم‬
َ َ‫ْي فَ ََت َك َديْناً فَ َعلَ َّى ق‬ َ ْ ‫ىف م َن الْ ُم ْؤمن‬
َُ َْ ْ ْ
130
. ‫َماَّلً فَلِ ِورثَتِ ِو)) رواه ابن ماجو‬
Artinya:

"Menceritakan kepada kami Ahmad ibn`Umar dan Ibnu al-Sarh al-Mishri,


menceritakan kepada `Abdullâh ibn Wahab, mengkhabarkan kepada saya
Yûnus dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah dari Abû Hurairah ra.:
sesungguhnya Rasulullah berkata: apabila seorang mukmin yang
meninggal pada zaman Rasulullah dan dia mempunyai tanggungan hutang.
Maka Rasulullah bertanya: apakah dia meninggalkan sesuatu (tanggungan)
untuk hutangnya? jika dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa
menutupi hutangnya, Nabi pun akan menshalatkannya. Kalau seandainya
tidak ada yang menanggung hutangnya, Nabi berkata kepada kaum
muslimin: shalatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah yang
mempunyai hutang). Maka ketika Allah memberikan kemenangan dengan
berbagai penaklukan, maka Nabi bersabda: saya lebih berhak terhadap
kaum mukmin dari diri mereka. Maka barang siapa yang meninggal dunia
dari kaum mukmin terus dia meninggalkan hutang, maka saya yang akan
130
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, h. 807.
73

menjadi penanggung hutangnya, kalau seandainya dia meninggalkan harta


benda maka untuk ahli warisnya". (HR. Ibnu Mâjah)

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dalam Sunan Ibnu Mâjah

di kitab jenazah bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau

tanggungan maka atas kepunyaan Allah juz 2 hadis no 2508.

Dari seluruh matan tentang hadis akibat meninggalkan hutang di

dunia yang ada di atas, terdapat perbedaan lafazh matan hadis. Hal ini

dimungkinkan telah terjadi periwayatan secara makna. Di antara

perbedaan lafazh tersebut yaitu dalam riwayat al-Bukhârî dengan lafazh

‫ِٕ ِٗ فَضْ اال ؟‬٠ْ ‫ًَْ٘ رَشَنَ ٌِ َذ‬, dalam riwayat Muslim dengan lafazh ‫ضب ٍء‬
َ َ‫ِٕ ِٗ ِِ ْٓ ل‬٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬
َ ‫ًَْ٘ رَ َش‬

‫ ؟‬dalam riwayat al-Tirmidzî dengan lafazh ‫ِٕ ِٗ ِِ ْٓ فَضْ ًٍ ؟‬٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬


َ ‫ ًَْ٘ رَ َش‬, dalam

َ َ‫ِٕ ِٗ ِِ ْٓ ل‬٠ْ ‫ ًَْ٘ رَشَنَ ٌِ َذ‬.


riwayat Ibnu Mâjah dengan lafazh ‫ضب ٍء ؟‬
‫‪74‬‬

‫‪B. I`tibar sanad‬‬

‫‪1. Sanad di kitab Shahîh al-Bukhârî dalam kitab al-kafalah dan al-‬‬
‫‪nafaqah‬‬

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬


‫َر ُس ْو ُل اهلل َ‬
‫قال‬

‫أَبُو ُىَريْ َرَة‬


‫عن‬

‫أَبُو َسلَ َمةَ‬


‫عن‬

‫الزْى ِرى‬ ‫ابْن ِشي ٍ‬


‫اب ُّ‬ ‫ُ َ‬
‫عن‬

‫عُ َقْي ٌل‬


‫عن‬

‫ث بْ ُن َس َع ٍد‬
‫الَّ ْلي ُ‬
‫حدثنا‬

‫َي بْ ُن بُ َك ٍْْي‬
‫ََْي َ‬
‫حدثنا‬

‫اْلبُ َخا ِرى‬


‫‪75‬‬

‫‪2. Sanad di kitab Shahîh Muslim dalam kitab al-farâidh‬‬

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬


‫َر ُس ْو ُل اهلل َ‬
‫لبي‬

‫أَبُو ُىَريْ َرَة‬


‫عٓ‬

‫أَبُو َسلَ َمةَ بْ ِن َعْب ِد َّ‬


‫الر ْْحَ ِن‬
‫عٓ‬

‫الزْى ِرى‬ ‫ابْن ِشي ٍ‬


‫اب ُّ‬ ‫ُ َ‬
‫عٓ‬

‫س اْألَيْلِ ِّي‬
‫يُ ْونُ ٍ‬

‫اخجشٔ‪ٝ‬‬ ‫عٓ‬

‫َعْب ُد اهللِ ابْن وَى ٍ‬


‫ب‬ ‫ص ْف َو ٍان اْأل َُم ِو ِّ‬
‫ي‬ ‫أَبُو َ‬
‫َُ‬
‫دذصٕ‪ٝ‬‬ ‫دذصٕب‬

‫َح ْرَملَةُ بْ ُن ََْي ََي‬ ‫ُزَىْي ر ابْن حر ٍ‬


‫ب‬ ‫ُ ُ َْ‬

‫دذصٕب‬ ‫دذصٕب‬

‫ُم ْسلِ ُم‬


‫‪76‬‬

‫‪3. Di Kitab Sunan al-Tirmidzî‬‬ ‫‪4. Di Kitab Sunan Ibnu Mâjah‬‬

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬
‫َر ُس ْو ُل اهلل َ‬
‫َر ُس ْو ُل اهلل َ‬
‫لبي‬ ‫لبي‬

‫أَبُو ُىَريْ َرَة‬ ‫أَبُو ُىَريْ َرَة‬


‫عٓ‬ ‫عٓ‬

‫أَبُو َسلَ َمةَ‬ ‫أَبُو َسلَ َمةَ‬


‫اخجشٔ‪ٝ‬‬ ‫عٓ‬

‫الزْى ِرى‬ ‫ابْن ِشي ٍ‬


‫اب ُّ‬ ‫الزْى ِرى‬ ‫ابْن ِشي ٍ‬
‫اب ُّ‬
‫ُ َ‬ ‫ُ َ‬
‫عٓ‬ ‫عٓ‬

‫عُ َقْي ٌل‬ ‫يُ ْونُ ٍ‬


‫س‬
‫دذصٕ‪ٝ‬‬ ‫اخجشٔ‪ٝ‬‬

‫ث بْ ُن َس َع ٍد‬
‫الَّ ْلي ُ‬ ‫َعْب ُد اهللِ ابْن وَى ٍ‬
‫ب‬ ‫َُ‬
‫دذصٕ‪ٝ‬‬

‫صالِ ٍح‬ ‫ِ‬


‫َعْب ُد اهلل ابْ ُن َ‬
‫دذصٕب‬ ‫دذصٕب‬

‫ص ِر ِّ‬
‫ى‬ ‫ابن َّ ِ‬
‫الس ْرِح الْم ْ‬ ‫َْحَ ُد بْ ُن عُ َم ٍر‬
‫أْ‬
‫دذصٕ‪ٝ‬‬ ‫ُْ‬
‫ض ِل َمكْتُ ْوُم بْ ُن اْ َلعبَّ ِ‬
‫اس‬ ‫أَبُو اْل َف ْ‬
‫دذصٕب‬
‫دذصٕ‪ٝ‬‬
‫الت ِّْرِم ِذى‬ ‫اج ْو‬
‫ابْ ُن َم َ‬
‫‪77‬‬

‫‪C. Skema Seluruh Sanad Hadis Tentang Akibat Meninggalkan Hutang Di‬‬
‫‪Dunia‬‬

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬


‫َر ُس ْو ُل اهلل َ‬
‫لبي‬

‫أَبُو ُىَريْ َرَة‬


‫عٓ‬

‫أَبُو َسلَ َمةَ بْ ِن َعْب ِد َّ‬


‫الر ْْحَ ِن‬
‫عٓ‬ ‫اخجشٔ‪ٝ‬‬

‫الزْى ِرى‬ ‫ابْن ِشي ٍ‬


‫اب ُّ‬ ‫ُ َ‬
‫عٓ‬ ‫عٓ‬

‫س اْألَيْلِ ِّي‬
‫يُ ْونُ ٍ‬
‫عُ َقْي ٌل‬
‫عٓ‬ ‫دذصٕ‪ٝ‬‬ ‫اخجشٔ‪ٝ‬‬ ‫عٓ‬

‫ث بْ ُن َس َع ٍد‬
‫الَّ ْلي ُ‬ ‫َعْب ُد اهللِ ابْن وَى ٍ‬
‫ب‬ ‫َُ‬ ‫ص ْف َو ٍان اْأل َُم ِو ِّ‬
‫ي‬ ‫أَبُو َ‬
‫دذصٕ‪ٝ‬‬ ‫دذصٕب‬
‫ابْن وَى ٍ‬
‫ب‬
‫دذصٕب‬
‫صالِ ٍح‬ ‫ِ‬ ‫َُ‬ ‫دذصٕ‪ٝ‬‬
‫َعْب ُد اهلل ابْ ُن َ‬ ‫ُزَىْي ر ابْن حر ٍ‬
‫ب‬ ‫ُ ُ َْ‬
‫َي بْ ُن بُ َك ٍْْي‬
‫ََْي َ‬ ‫دذصٕب‬
‫دذصٕب‬ ‫دذصٕ‪ٝ‬‬ ‫دذصٕب‬ ‫دذصٕب‬
‫َح ْرَملَةُ بْ ُن ََْي ََي‬
‫َمكْتُ ْوُم بْ ُن اْ َلعبَّ ِ‬
‫اس‬ ‫ابن َّ ِ‬
‫ص ِر ِّ‬
‫ى‬ ‫الس ْرِح الْم ْ‬ ‫ُْ‬ ‫َْحَ ُد بْ ُن عُ َم ٍر‬
‫أْ‬
‫دذصٕ‪ٝ‬‬ ‫دذصٕب‬ ‫دذصٕب‬ ‫دذصٕب‬

‫اْلبُ َخا ِرى‬ ‫الت ِّْرِم ِذى‬ ‫اج ْو‬


‫ابْ ُن َم َ‬ ‫ُم ْسلِ ُم‬
78

Penjelasan tentang skema:

Dalam mengemukakan riwayat, al-Bukhârî menyandarkan

riwayatnya kepada Yahya ibn Bukair. Nama periwayat yang disandarkan

al-Bukhârî yaitu Yahya ibn Bukair, dalam ilmu hadis disebut sebagai

sanad pertama. Dengan demikian sanad terakhir dalam riwayat al-Bukhârî

adalah Abû Hurairah yang berposisi sebagai periwayat pertama karena dia

adalah sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama riwayat hadis

tersebut. Dengan demikan, periwayat terakhir adalah al-Bukhârî. Berikut

ini adalah seluruh urutan sanad dan urutan periwayat dari hadis riwayat al-

Bukhârî:

Nama Urutan Urutan

Periwayat Sebagai Periwayat Sebagai Sanad

Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 6

Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 5

Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 4

`Uqail Periwayat 4 Sanad 3

Al-Laits ibn Sa`ad Periwayat 5 Sanad 2

Yahya ibn Bukair Periwayat 6 Sanad 1

Al-Bukhârî Periwayat 7 Mukharrij

Selanjutnya dalam riwayat Muslim, terdapat huruf ‫ ح‬dalam riwayat

sanadnya yang berarti adalah ‫ االصٕبد‬ٌٝ‫ً ِٓ االصٕبد ا‬٠ٛ‫ اٌزذ‬yang artinya


79

perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain.131 Dengan demikian,

dalam riwayat Muslim terdapat dua sanad yakni dari riwayat Zuhair ibn

Harb dan Harmalah ibn Yahya. Kedua nama periwayat tersebut dalam

ilmu hadis disebut sebagai sanad pertama. Dengan demikian, sanad

terakhir dalam riwayat Muslim adalah Abû Hurairah yang berposisi

sebagai periwayat pertama, karena dia adalah sahabat Nabi yang berstatus

sebagai pihak pertama riwayat hadis tersebut. Adapun periwayat terakhir

adalah Muslim. Berikut ini adalah seluruh urutan sanad dan urutan

periwayat dari hadis riwayat Muslim:

Nama Urutan Urutan

Periwayat Sebagai Periwayat Sebagai Sanad

Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 6

Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 5

Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 4

Yûnus al-Ailî Periwayat 4 Sanad 3

Abû Shafwân al- Periwayat 5 Sanad 2


Umawiyyi

`Abdullâh ibn Wahab Periwayat 5 Sanad 2

Zuhair ibn Harb Periwayat 6 Sanad 1

Harmalah ibn Yahya Periwayat 6 Sanad 1

Muslim Periwayat 7 Mukharrij

131
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 57.
80

Demikian juga dalam al-Tirmidzî, dia menyandarkan riwayatnya

kepada Maktûm ibn `Abbâs yang dalam ilmu hadis disebut sebagai sanad

pertama. Dengan demikian sanad terakhir dalam riwayat al-Tirmidzî

adalah Abû Hurairah yang berposisi sebagai periwayat pertama, karena dia

adalah sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama riwayat hadis

tersebut. Sedangkan periwayat terakhir adalah al-Tirmidzî. Berikut ini

adalah seluruh urutan sanad dan urutan periwayat dari hadis riwayat al-

Tirmidzî:

Nama Urutan Urutan

Periwayat Sebagai Periwayat Sebagai Sanad

Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 7

Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 6

Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 5

`Uqail Periwayat 4 Sanad 4

Al-Laits ibn Sa`ad Periwayat 5 Sanad 3

`Abdullâh ibn Shâlih Periwayat 6 Sanad 2

Maktûm ibn `Abbâs Periwayat 7 Sanad 1

Al-Tirmidzî Periwayat 8 Mukharrij

Begitu juga dalam riwayat Ibnu Mâjah, dia menyandarkan

riwayatnya kepada Ahmad ibn`Umar dan Ibnu al-Sarh al-Mishrî. Kedua

nama periwayat tersebut dalam ilmu hadis disebut sebagai sanad pertama.
81

Dengan demikian, sanad terakhir dalam riwayat Ibnu Mâjah adalah Abû

Hurairah yang berposisi sebagai periwayat pertama, karena dia adalah

sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama riwayat hadis tersebut.

Sedangkan periwayat terakhir adalah Ibnu Mâjah. Berikut ini adalah

seluruh urutan sanad dan urutan periwayat dari hadis riwayat Ibnu Mâjah:

Nama Urutan Urutan

Periwayat Sebagai Periwayat Sebagai Sanad

Abû Hurairah Periwayat 1 Sanad 6

Abû Salamah Periwayat 2 Sanad 5

Ibnu Syihâb al-Zuhrî Periwayat 3 Sanad 4

Yûnus Periwayat 4 Sanad 3

`Abdullâh ibn Wahab Periwayat 5 Sanad 2

Ahmad ibn `Umair Periwayat 6 Sanad 1

Ibnu al-Sarh al-Mishrî Periwayat 6 Sanad 1

Ibnu Mâjah Periwayat 7 Mukharrij

Dari skema di atas, dapat diketahui bahwa periwayat yang

berstatus syahid tidak ada. Hal ini disebabkan karena Abû Hurairah

(periwayat pertama) merupakan satu-satunya sahabat Nabi yang

meriwayatkan hadis ini. Adapun posisi periwayat kedua dan ketiga pun

tidak ada muttabi` (pendukung), karena kedua periwayat ini masing-

masing hanya sendiri. Pada posisi periwayat keempat bercabang menjadi


82

dua periwayat yaitu `Uqail, dan Yûnus al-Ailî. Dengan demikian,

periwayat keempat yakni `Uqail terdapat muttabi` (pendukung) yaitu

Yûnus al-Ailî. Pada posisi periwayat kelima terdapat tiga periwayat yaitu

al-Laits ibn Sa`ad, `Abdullâh ibn Wahab dan Abû Shafwân al-Umawiyyi.

Dengan demikian, periwayat kelima yakni al-Laits ibn Sa`ad terdapat

muttabi` (pendukung) yaitu `Abdullâh ibn Wahab dan Abû Shafwân al-

Umawiyyi. Pada posisi periwayat yang keenam terdapat enam periwayat

yaitu Yahya ibn Bukair, Zuhair ibn Harb, Harmalah ibn Yahya, `Abdullâh

ibn Shâlih, Ahmad ibn `Umair dan Ibnu al-Sarh al-Mishri. Dengan

demikian, periwayat keenam yakni Yahya ibn Bukair terdapat muttabi`

(pendukung) yaitu Zuhair ibn Harb, Harmalah ibn Yahya, `Abdullâh ibn

Shâlih, Ahmad ibn `Umair dan Ibnu al-Sarh al-Mishrî. Adapun periwayat

yang ketujuh yakni Maktûm ibn `Abbâs, merupakan periwayat yang tidak

ada muttabi` (pendukung) karena dia satu-satunya yang meriwayatkan

dalam periwayat ketujuh.

Mengenai lambang-lambang metode periwayatan yang digunakan

para periwayat hadis ini antara lain: ‫ دذصٕب‬, ٕٝ‫ دذص‬, ‫ اخجشٔب‬, ٝٔ‫ اخجش‬, dan ٓ‫ ع‬.

Dengan demikian, terdapat perbedaan metode periwayatan yang

digunakan oleh para periwayat dalam sanad-sanad hadis tersebut.


83

D. Biografi Periwayat Hadis

1. Biografi periwayat dalam hadis riwayat al-Bukhârî

a) Abû Hurairah

Nama lengkap beliau adalah Abû Hurairah al-Dausî al-Yamâni

seorang sahabat Nabi dan juga merupakan seorang yang hâfidz.

Terdapat berbagai macam perbedaan tentang nama Abû Hurairah dan

juga tentang nama ayahnya dalam perbedaan yang banyak. Ada yang

berkata bahwa nama Abû Hurairah adalah `Abd al-Rahman ibn

Shakhr, Ibnu Ghanam, `Aidz, Ibnu `Âmir, Ibnu `Amrû, Sikkîn ibn

Razmah ibn Hâni‟, Ibnu Tsarmal, Ibnu Shakhr, `Âmir ibn `Abd al-

Syams, Ibnu `Umair, Yazîd ibn `Asyraqah, `Abd al-Nahm, `Abd al-

Syams, `Ubaid ibn Ghanam, `Amrû ibn Ghanam, Sa`îd ibn al-Hârits.

Hisyâm ibn al-Kalbî berkata: bahwa nama sebenarnya dari Abû

Hurairah adalah `Umair ibn `Âmir ibn Dzi al-Syâri ibn Thârif ibn `Iyân

ibn Abû Sha`b ibn Hunaid ibn Sa`ad ibn Tsa`labah ibn Sâlim ibn Fahm

ibn Ghanam ibn Daus. Dikatakan bahwa nama Abû Hurairrah pada

masa Jahiliyah adalah `Abd al-Syams dengan nama julukannya adalah

Abû al-Aswad, maka Nabi memberikan nama kepadanya yakni Abû

Hurairah karena kesukaannya terhadap kucing kecil. Dikatakan juga

bahwa nama ibunya adalah Maimûnah ibnti Shakhr.132 Abû Hurairah

132
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, j. 12, (Bairut: Dâr al-
Shâdir, t.th.), h. 262-263. Lihat Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 22, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 90-91. Abû `Umar Yûsuf ibn `Abdullâh ibn
Muhammad ibn `Abd al-Barr al-Qurthubî, Al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb, j. 4, (Bairut: Dâr al-
Kutub al-`Ilmiyah, 2002), h. 332.
84

lahir pada tahun 600 M. (20 tahun sebelum Hijrah) di Yaman dan

wafat 45 tahun kemudian setelah Nabi yakni pada tahun 675 M. / 58

H. dalam usia 78 tahun.133

Adapun rahasia Abû Hurairah dapat memperoleh banyak hadis

ialah:

- Abû Hurairah selalu menghadiri majelis Nabi dan beliau

memperoleh doa dari Nabi untuk tidak lupa akan hadis-hadis yang

didengarnya dari Nabi.

- Abû Hurairah gigih sekali dalam usaha mencari ilmu sehingga

beliau memperoleh doa dari Nabi supaya tidak akan lupa apa yang

telah diketahuinya.

- Abû Hurairah berjumpa dengan sahabat-sahabat besar dan

menerima hadis dari sahabat-sahabat itu.

- Abû Hurairah hidup lebih lama lagi sesudah Nabi wafat dalam

mengembangkan hadis sesudah beliau menjauhkan diri dari

pemerintahan.134

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis adalah Nabi

(beliau sangat banyak sekali meriwayatkan hadis dari Nabi), Abû

Bakar, `Umar, al-Fadhal ibn `Abbâs ibn `Abd al-Muthallib, Ubai ibn

133
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, cet. 2, (Jakarta:
Djambatan, 2002), h. 407.
134
Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, cet. 2, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 145.
85

Ka`ab, Usâmah ibn Zaid, `Âisyah, Nadhrah ibn Abû Nadhrah al-

Ghafârî, Ka`ab al-Ahbar.135

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

anaknya sendiri yakni al-Muharrar, Ibnu `Abbâs, Ibnu `Umar, Anas,

Jâbir, Marwân ibn Hikam, Qabîshah ibn Dzuwaib, Sa`îd ibn

Musayyab, Salmân ibn al-Aghar, Qais ibn Abû Hâzim, Mâlik ibn Abû

`Âmir al-Ashbahî, Abû Usâmah ibn Sahal ibn Hânif, Abû Durais al-

Khulânî, Abû `Utsmân al-Nahdî, Abû Sufyân yang merupakan budak

dari Ibnu Abû Ahmad, Abû Râfi` al-Shâ`igh, Abû Zar`ah ibn `Amrû

ibn Jarîr, al-Aghar Abû Muslim, Ibnu Farîdh, Basar ibn Sa`îd, Basyîr

ibn Luhaik, Ba`jah al-Juhnî, Tsâbit ibn `Iyâdh al-Ahnaf, Hafsh ibn

`Âshim ibn `Umar ibn al-Khaththâb, Humaid dan Abû Salamah

(keduanya) merupakan ibn `Abd al-Rahman ibn `Auf, Humaid ibn

`Abd al-Rahman al-Humairî, Handlalah ibn `Alî al-Asalî, Khubâb

seorang sahabat dari al-Maqshurah, dan lain sebagainya dari golongan

sahabat dan tabi`in.136

Pendapat para kritikus tentang ta`dil dari Abû Hurairah:

- Al-Bukhâri berkata: bahwa gurunya dalam periwayatan hadis

mencapai 800 orang laki-laki atau bisa juga lebih dari itu baik dari

golongan ahli ilmu dari sahabat, tabi`in atau sebagainya.

135
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, j. 12, h. 263. Jamâl al-
Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, h. 91.
136
Ibid., h. 263-264. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 91-97.
86

- `Amrû ibn `Alî berkata: bahwa Abû Hurairah masuk Islam pada

tahun Khaibar pada bulan Ramadhan tahun 7 H.

- Al-A`raj berkata: bahwa Abû Hurairah seorang yang paling hafal

setiap hadis yang diriwayatkan dari Nabi yang berada di zamannya,

dan tidak ada satupun dari sahabat yang seperti dia.

- Ibnu `Uyaynah dari Hisyâm ibn `Urwah berkata: bahwa Abû

Hurairah dan `Aisyah meninggal dunia tahun 57 H.

- Dhamrah ibn Rabi`ah, Haitsam ibn `Adî dan Abû Ma`syar berkata:

bahwa Abû Hurairah meninggal dunia tahun 8 H.

- Al-Waqidî, Abû `Ubaid dan selain dari keduanya berkata: bahwa

Abû Hurairah meninggal dunia pada tahun 9 H., al-Waqidî

menambahkan bahwa Abû Hurairah ketika meninggalnya berumur

78 tahun dan dia (Abû Hurairah) sempat menshalati `Âisyah dan

Ummu Salamah.137

Pendapat yang dikemukakan oleh Dhamrah ibn Rabi`ah,

Haitsam ibn `Adî, Abû Ma`syar, al-Waqidî, Abû `Ubaid dan lainnya

yang mengatakan bahwa Abû Hurairah meninggal pada tahun 8 H.

merupakan kekeliruan, begitu juga dengan pendapat bahwa Abû

Hurairah sempat menshalati `Âisyah dan Ummu Salamah. Karena Abû

Hurairah meninggal pada tahun yang sama dengan `Âisyah yakni

137
Ibid., h. 264-267. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 97-99. Lihat Muhammad ibn Sa`ad ibn Manî` al-Hâsyimî al-Bashrî atau yang
terkenal dengan nama Ibnu Sa`ad, Al-Thabaqat al-Kubra, j. 4, (Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah,
1990), h. 325. Abû `Umar Yûsuf ibn `Abdullâh ibn Muhammad ibn `Abd al-Barr al-Qurthubî, Al-
Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb, h. 332.
87

tahun 57 H., sedangkan Ummu Salamahlah yang sempat menshalati

`Âisyah karena meninggal pada tahun 61 H.

Pendapat para kritikus tentang jarh dari Abû Hurairah:

- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang pribadi

Abû Hurairah.

b) Abû Salamah

Nama lengkap beliau adalah Abû Salamah ibn `Abd al-Rahman

ibn `Auf ibn `Auf al-Zuhrî al-Madanî. Ada yang berkata nama beliau

adalah `Abdullâh, ada juga yang berkata `Ismâ`îl.138

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

ayahnya sendiri, `Utsmân ibn `Affân, Thalhah, `Ubâdah ibn al-Shâmit

(akan tetapi ada yang berkata tidak pernah didengar nama `Ubâdah ibn

al-Shâmit sebagai guru beliau), Abû Qatadah, Abû al-Dardâ‟, Ibnu

Abû Usaid, Usâmah ibn Zaid, Hasan ibn Tsâbit, Râfi` ibn Khâdij,

Tsaubân, Nâfi‟ ibn `Abd al-Hârits, `Abdullâh ibn Salam, Abû

Hurairah, `Âisyah, Ummu Salamah, Fathîmah ibn Qais, Rabî`ah ibn

Ka`ab al-Aslamî, Mu`âwiyah, Mu`aiqib al-Dusî, `Abdullâh ibn `Adî

ibn al-Hamrâ‟, Mu`âwiyah ibn Hikam al-Salamî, al-Mughîrah, Ibnu

138
Ibid., j. 12, h. 115. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 21, h. 269. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, j. 1, (Bairut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 425.
88

`Amrû, Ibnu al-`Âshî, Ibnu `Abbâs, dan banyak sekali yang lainnya

baik dari golongan sahabat ataupun dari golongan tabi`in.139

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

`Umar, anak dari saudara perempuan beliau yakni Sa`ad ibn Ibrâhîm

ibn `Abd al-Rahman, `Abd al-Majîd ibn Suhail ibn `Abd al-Rahman,

Zararah ibn Mush`ab ibn `Abd al-Rahman, al-A`raj, `Amrû ibn al-

Hikam ibn Tsaubân, `Urwah ibn al-Zubair, al-Zuhrî, Muhammad ibn

Ibrâhîm al-Taimî, Yahya ibn Abû Katsîr, Bukair ibn `Abdullâh ibn al-

Asyaj, al-Aswad ibn al-`Ala‟ ibn Jarîyah, Abû Shakhra Humaid ibn

Ziyâd, Salîm Abû al-Nadhar, Sa`îd al-Maqburî, Abû Hâzim ibn Dînâr,

Salamah ibn Kuhail, Sulaimân al-Ahwal, al-Sya`bi, `Abdullâh ibn Abû

Lubaid, `Abdullâh ibn Yazîd yang merupakan budak dari al-Aswâd ibn

Sufyân, Yahya ibn Sa`îd al-Anshârî, `Abd al-Mâlik ibn `Umair, Abû

al-Zinâd, `Abdullâh ibn Fairuz al-Danâj, `Irâq ibn Mâlik, `Amrû ibn

Dînâr, dan banyak sekali yang lainnya baik dari golongan sahabat

ataupun dari golongan tabi`in.140

Pendapat para kritikus tentang ke-`adil-an Abû Salamah:

- Disebutkan oleh Ibnu Sa`ad dalam kitab “Thabaqah al-Tsaniyah"

dari golongan orang-orang Madinah bahwa Abû Salamah adalah

orang yang tsiqah, faqih, banyak hadis yang diriwayatkannya,

ibunya adalah Tamadhar binti al-Ashbagh al-Kalbiyah yang

139
Ibid., h. 115. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 269-270.
140
Ibid., h. 115-116. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 270-271.
89

dikatakan bahwa ibunya pernah berjumpa dengan Nabi. Ada yang

berkata bahwa Abû Salamah meninggal tahun 94 H.

- Al-Waqidî berkata: bahwa beliau meninggal pada tahun 104 H.

dalam usia 72 tahun.

- Berkata Mâlik ibn Anas bahwa sesungguhnya kita memiliki

seorang ahli ilmu yang nama julukannya adalah Abû Salamah ibn

`Abd al-Rahman.

- Ma`mar dari al-Zuhrî berkata: ada empat orang dari suku Quraisy

yang saya dapatkan di antaranya al-Haura‟ ibn al-Musayyab,

`Urwah, `Ubaidillâh ibn `Abdullâh ibn `Utbah, Abû Salamah ibn

`Abd al-Rahman.

- `Uqail dari al-Zuhrî berkata: berkata kepada saya Ibrâhîm ibn

`Abdullâh ibn Qâridz ketika itu saya berada di Mesir, kamu telah

meninggalkan dua orang laki-laki dari kaum kamu yang tidak ada

yang lebih alim tentang hadis Nabi dari mereka berdua yakni

`Urwah ibn al-Zubair dan Abû Salamah.

- Auza`î berkata: bahwa Abû Salamah adalah seorang imam yang

tsiqah.

- Ibnu Hibbân berkata: dalam kitab al-Tsiqât bahwa Abû Salamah

adalah salah satu dari pemuka kaum Quraisy yang meninggal pada

tahun 94 H., akan tetapi ada yang berkata bahwa beliau meninggal

pada tahun 104 H.


90

- Ibnu `Abd al-Birr berkata: bahwa Abû Salamah adalah seorang

yang paling shahih dari golongan ahli nasab.

- `Alî ibn al-Madînî, Ahmad Ibnu Ma`în, Abû Hâtim, Ya`qûb ibn

Syaibah, Abû Dâwud berkata: bahwa hadis Abû Salamah yang

diriwayatkan dari ayahnya adalah hadis yang mursal.

- Abû Zar`ah berkata: bahwa riwayat Abû Salamah dari Abû Bakar

adalah riwayat yang mursal.

- Ibnu Hajar al-`Asqolânî berkata: bahwa ketika ada yang

mengatakan bahwa Abû Salamah tidak pernah mendengar dari

Thalhah dan juga `Ubadah ibn al-Shâmit, maka ketika Abû

Salamah tidak pernah mendengar dari Thalhah tidaklah benar

karena diriwayatkan oleh Ibnu Abû Khaitsamah dan al-Duri dari

Ibnu Ma`in.

Pendapat para kritikus tentang jarh Abû Salamah:

- Ahmad berkata: bahwa Abû Salamah meninggal dunia dalam

keadaan masih kecil.

- Abû Hâtim berkata: bahwa tidak shahih untuk kita (dalam

periwayatan hadis), begitu juga kebanyakan yang lain yang belum

pernah mendengarkan dia meriwayatkan hadis.

- Ibnu `Abd al-Birr berkata: bahwa Abû Salamah tidak pernah

meriwayatkan hadis dengan sima`ah dari ayahnya, adapun hadis

yang diriwayatkan al-Nadhar ibn Syaibân yang meriwayatkan


91

hadis dari Abû Salamah yang meriwayatkan dari ayahnya tidak

shahih menurut kebanyakan orang.

- Ahmad berkata: bahwa Abû Salamah tidak pernah meriwayatkan

dengan sima`ah dari Abû Musa al-Asy`ari.

- Abû Hâtim berkata: bahwa beliau tidak pernah mendengar dari

Ummu Habîbah.

- Al-Azdî berkata: bahwa beliau belum begitu kuat pendengarannya

ketika meriwayatkan dari Salamah ibn Shakhr al-Bayâdh.

- Al-Bukhârî berkata: bahwa riwayat Abû Salamah dari `Umar

adalah riwayat yang munqathi`.

- Ibnu Bathal berkata: bahwa Abû Salamah tidak pernah mendengar

riwayat dari `Amrû ibn Umayyah.141

c) Ibnu Syihâb al-Zuhrî

Nama lengkap beliau adalah Muslim ibn `Ubaidillâh ibn

`Abdullâh ibn Syihâb ibn `Abdullâh ibn al-Hârits ibn Zahrah ibn Kilâb

ibn Marrah al-Qurasyiyyi al-Zuhrî. Beliau merupakan seorang yang

faqih. Julukannya adalah Abû Bakar al-Hâfizh al-Madanî. Beliau juga

merupakan salah satu imam yang alim yang berada di Hijaz dan Syam.

Ibunya berasal dari Bani al-Dîl. Nama ibunya adalah Binti Ahbân ibn

Afdhâ ibn `Urwah ibn Shakhr ibn Ya`mar ibn Nafâtsah ibn `Adî ibn al-

141
Ibid., h. 116-118. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 271-273. Lihat Muhammad ibn Sa`ad ibn Manî` al-Hasyimî al-Bashrî atau yang
terkenal dengan nama Ibnu Sa`ad, Al-Thabaqat al-Kubra, j. 5, h. 155. Abû al-Hasan `Alî ibn
`Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-Tabi`în wa Man Ba`dahu, h. 425.
92

Dîl ibn Bakar. Al-Zuhrî Bertempat tinggal di Syam. Dalam kitab-kitab

hadis beliau ini sering disebut al-Zuhrî dan sering pula ia disebut Ibnu

Syihâb. Al-Zuhrî tergolong sebagai tabi`in kecil.142

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

`Abdullâh ibn `Umar ibn al-Khaththâb, `Abdullâh ibn Ja`far, Rabî`ah

ibn `Ibâd, al-Maswar ibn Makhramah, `Abd al-Rahmân ibn Azhar,

`Abdullâh ibn `Âmir ibn Rabî`ah, Sahal ibn Sa`ad, Anas, Jâbir, Abû al-

Thufail, al-Sâib ibn Yazîd, Mahmûd ibn al-Rabî`, Muhammad ibn

Lubaid, Tsa`labah ibn Abû Mâlik, Sinîn ibn Abû Jamîlah, Abû

Amâmah ibn Sahal ibn Hanîf, Qabîshah ibn Dzuwaib, Mâlik ibn Aus

ibn al-Hadatsân, Abû Idris al-Khûlâni, `Abdullâh ibn al-Hârits ibn

Naufal, Ibrâhîm ibn `Abdullâh ibn Hunain, `Âmir ibn Sa`ad ibn Abû

Waqâsh, Isma`îl ibn Muhammad ibn Sa`ad, Ja`far ibn `Amrû ibn

Umayyah al-Hasan, `Abdullâh ibn Muhammad ibn al-Hanafiyah,

Hashîn ibn Muhammad al-Sâlamî, Harmalah budak dari Usâmah,

Hamzah, `Abdullâh, `Ubaidillâh, Sâlim ibn `Abdullâh ibn `Amrû,

Khârijah ibn Zaid ibn Tsâbit, dan lain sebagainya.143

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

`Atha‟ ibn Abû Rabbâh, Abû al-Zubair al-Makki, `Umar ibn `Abd al-

`Azîz, `Amrû ibn Dînâr, Shâlih ibn Kaisân, Abân ibn Shâlih, Yahya

ibn Sa`îd al-Anshârî, Ibrâhîm ibn Abû `Ablah, Yazîd ibn Abû Habîb,

142
Ibid., j. 9, h. 445. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 17, h. 220. Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 158.
143
Ibid., h. 446. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 220-223.
93

Ja`far ibn Rabî`ah, Muhammad ibn `Alî ibn al-Husain, Yazîd ibn al-

Hâd, Muhammad ibn al-Munkadar, Manshûr ibn al-Mu`tamar, Mûsa

ibn `Uqbah Hisyâm ibn `Urwah, Mâlik, Ma`mar al-Zubaidî, `Uqail,

Syu`aib ibn Abû Hamzah, Ibnu Abû Dzi‟bi, Yûnus ibn Yazîd, Abû

Uwais, Ishâq ibn Rasyîd, al-Laits, Ishâq ibn Yahya al-Kalbî, Bakar ibn

Wâil, Ziyâd ibn Sa`ad, Rabî`ah ibn Shâlih, dan lain sebagainya.144

Pendapat para kritikus tentang ta`dil tentang `Ibnu Syihâb:

- Al-Bukhârî dari `Alî ibn al-Madînî berkata: bahwa Ibnu Syihâb

mempunyai lebih dari 1000 hadis Nabi.

- Al-Dzahalî dari `Abd al-Razâq berkata: saya berkata kepada

Ma`mar: apakah al-Zuhrî mendengar (hadis) dari Ibnu `Umar ?

jawabnya: ya dia (al-Zuhrî) mendengar darinya dua hadis.

- Al-`Ajalî berkata: al-Zuhrî meriwayatkan dari Ibnu `Umar sekitar 3

hadis.

- Ibnu Sa`ad berkata: al-Zuhrî merupakan orang yang tsiqah, banyak

meriwayatkan hadis, seorang yang alim, faqih dalam agama.

- Abû al-Zinâd berkata: kita semua menulis sesuatu tentang halal dan

haram, adapun Ibnu Syihâb menulis sesuai yang dia dengar, maka

ketika dia (Ibnu Syihâb) diminta memberikan dalil, saya melihat

bahwa dia merupakan orang yang paling alim.

- Al-Nasâ‟i berkata: sebaik-baik sanad yang diriwayatkan dari Nabi

sebanyak 4 buah yakni:

144
Ibid., h. 447. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 223-225.
94

 Al-Zuhrî dari `Alî ibn al-Husain dari ayahnya dari kakeknya.

 Al-Zuhrî dari `Ubaidillâh dari Ibnu `Abbâs.

 Al-Zuhrî dari Ayyûb dari Muhammad dari `Ubaidah dari `Alî.

 Al-Zuhrî dari Manshûr dari Ibrâhîm dari `Alqamah dari

`Abdullâh.

- Ibnu `Uyaynah berkata: saya tidak pernah melihat seseorang yang

meriwayatkan hadis lebih sesuai dengan nash hadis selain al-Zuhrî.

- `Umar dan Abû Salamah dari Sa`îd ibn `Abd al-`Azîz dari Makhûl

berkata: tidak ada yang tertinggal di zaman sekarang yang paling

mengetahui tentang sunnah yang terdahulu selain al-Zuhrî.

- Abû Shalih dari al-Laits berkata: saya tidak pernah melihat orang

yang lebih sempurna ilmunya selain Ibnu Syihâb dan tidak ada

yang lebih banyak ilmunya dari dia (Ibnu Syihâb). Kalau saya

mendengar dia meriwayatkan hadis saya mengatakan tidak ada

yang lebih bagus dari ini, kalau saya mendengar dia meriwayatkan

hadis kepada yang lain, saya mengatakan bahwa tidak saya ketahui

selain hadisnya, kalau saya mendengar dia meriwayatkan hadis

yang berhubungan dengan al-Qur'an dan sunnah maka hadisnya

merupakan salah satu hadis yang sempurna.

- Abû Dâwud dari Ahmad ibn Shâlih berkata: orang-orang

mengatakan bahwa dia lahir pada tahun 50 H.

- Khalîfah berkata: dia lahir pada tahun 51 H.

- Yahya ibn Bukair berkata: lahir pada tahun ke 6 H.


95

- Al-Wâqidî berkata: lahir pada tahun 8 H.

- Menurut Dhamrah: adapun wafatnya beliau pada tahun 23 H.

- Al-Zubair ibn Bakar berkata: meninggal pada bulan Ramadhan

dalam usia 72 tahun.

- Ibnu Yûnus dan yang lainnya berkata: beliau wafat pada bulan

Ramadhan tahun 125 H.

- Ahmad ibn Shâlih berkata: al-Zuhrî belum pernah mendengar hadis

dari `Abd al-Rahman ibn Ka`ab ibn Mâlik, akan tetapi beliau

meriwayatkan hadis dari `Abd al-Rahman ibn `Abdullâh ibn

Ka`ab.

Pendapat para kritikus tentang jarh `Ibnu Syihâb:

- Ahmad berkata: al-Zuhrî belum pernah mendengar dari `Abdullâh

ibn `Umar.

- Ibnu Ma`în berkata: bukanlah kepunyaan al-Zuhrî riwayat apapun

dari Ibnu `Umar.

- Al-Dzahilî berkata: beliau tidak pernah mendengar dari Mas`ûd ibn

al-Hakam.

- Abû Hâtim berkata: beliau belum pernah mendengar dari Hashîn

ibn Muhammad al-Sâlimî.

- Al-Dâruquthnî berkata: tidak shahih pendengaran riwayat beliau

dari Ummu `Abdullâh al-Dausiyah.

- Ibnu al-Madînî berkata: hadis beliau dari Abû Rahm menurut saya

tidak sampai kepada Nabi.


96

- Ahmad ibn Sinân berkata: Yahya ibn Sa`îd tidak meriwayatkan

hadis secara mursal dari al-Zuhrî dan Qatadah apapun.

- Al-Âjirî dari Abû Dâwud berkata: hadis al-Zuhrî semuanya 1200

hadis, semuanya merupakan hadis yang bersanad, 200 di antaranya

merupakan diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah.145

d) `Uqail

Nama lengkap beliau adalah `Uqail ibn Khâlid ibn `Uqail al-

Ailî, nama julukannya Abû Khâlid al-Umawî yang merupakan seorang

budak dari `Utsmân.146

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

bapaknya, pamannya, Ziyâd, Nafi` budak dari Ibnu `Umar, `Ikrimah,

al-Hasan, Sa`îd ibn Sa`îd al-Khudrî, Sa`îd ibn Sulaimân ibn Zaid ibn

Tsâbit, Salamah ibn Kuhail, al-Zuhrî dan lain sebagainya.147

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

anak beliu yakni Ibrâhîm, anak saudara beliau Salamah ibn Rûh, al-

Mufadhal ibn Fadhalah, al-Laits ibn Sa`ad, Ibnu Luhai`ah, Jâbir ibn

Sulaimân, Abd al-Rahman ibn Salman al-Hajarî, Sa`îd ibn Abû Ayyûb,

145
Ibid., h. 447-451. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 225-232. Lihat Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 382.
Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 159.
146
Ibid., j. 7, (Dâr al-Kutub al-Ilmiyah), h. 221. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-
Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, j. 13, h. 150.
147
Ibid., h. 221. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 150.
97

Nâfi` ibn Yazîd, Yahya ibn Ayyûb, al-Hajjâj ibn Farâfashah dan lain

sebagainya.148

Pendapat para kritikus tentang ta`dil tentang `Uqail:

- Ahmad, Muhammad ibn Sa`ad dan al-Nasâ'i berkata:`Uqail tsiqah.

- Ibnu Ma`în berkata: atsbat dari riwayat al-Zuhrî, Malik, Ma`mar,

`Uqail. Dan dari riwayat Ibnu Ma`în dalam riwayat al-Daurî atsbat

dalam riwayat al-Zuhrî, Mâlik, Ma`mar, Yûnus, `Uqail, Syu`aib

dan Sufyân.

- Abû Zar`ah dari al-Laits berkata: shaduq, tsiqah.

- Ibnu Abû Hâtim berkata: saya bertanya kepada ayah saya: apakah

`Uqail termasuk yang ayah paling suka (dalam periwayatan hadis)

atau Yûnus? jawab beliau: `Uqail lebih saya suka dan dia termasuk

tidak ada cacat padanya (lâ ba’sa bihi). Kemudian saya bertanya

(lagi) kepada ayah saya: manakah yang lebih kokoh ingatannya

(atsbat), `Uqail atau Ma`mar? jawab beliau: `Uqail atsbat.

- Ibnu Hâtim berkata: `Uqail meninggal dunia di Mesir pada tahun

141 H. Muhammad ibn `Aziz al-Ailî berkata: `Uqail meninggal

dunia pada tahun 2 H. Ibnu al-Sirah dari Khalah berkata: `Uqail

meninggal dunia pada tahun 44 H.

- Ibnu Hajar berkata: nama kakek `Uqail adalah `Aqil.

- Dalam riwayat Ibnu Abû Maryam dari Ibnu Ma`în: `Uqail adalah

orang yang tsiqah, hujjah.

148
Ibid., h. 222. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 150.
98

- `Abdullâh ibn Ahmad berkata: disebutkan oleh ayah saya bahwa

sesungguhnya Yahya ibn Sa`îd berkata: `Uqail dan Ibrahim ibn

Sa`ad sepertinya mendha`ifkan keduanya.

- Al-`Ajalî berkata: tsiqah.

- Al-Bukhârî berkata: berkata `Alî dari Ibnu `Uyaynah dari Ziyâd ibn

Sa`ad: `Uqail merupakan orang yang hafal (hâfizh).

- Disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.

Pendapat para kritikus tentang jarh tentang `Uqail:

- Al-`Aqilî: `Uqail shaduq, beliau meriwayatkan secara sendirian

dari al-Zuhrî hadis-hadis Nabi. Ada yang mengatakan bahwa beliau

(`Uqail) belum mendengar dari al-Sirrî apapun, akan tetapi beliau

(`Uqail) mendapatkan hadis dengan munawalah.149

e) Al-Laits ibn Sa`ad

Nama lengkap beliau adalah al-Laits ibn Sa`ad ibn `Abd al-

Rahman al-Fahmi atau yang biasa dikenal sebagai Abû al-Harits al-

Ima‟ al-Mishrî. Yahya ibn Bukair berkata: bahwa Sa`ad Abû al-Laits

merupakan budak dari Quraisy. Al-Laits ibn Sa`ad merupakan salah

seorang dari Imam besar dan hafidz hadis dari golongan tabiut-

tabi`in.150

149
Ibid., h. 222. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 151-152. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-
Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 288.
150
Ibid., j. 8, h. 401. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 15, h. 436. Lihat Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 392-
393. Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 180.
99

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Nâfi`, Ibnu Abû Malikah, Yazîd ibn Abû Habîb, Yahya ibn Sa`îd al-

Anshârî, saudara beliau sendiri `Abd Rabbâh ibn Sa`îd, Ibnu `Ijlân, al-

Zuhrî, Hisyâm ibn `Urwah, `Atha‟ ibn Abû Rabbâh, Bukair ibn al-

Asyaj atau Abû `Uqail Zahrah ibn Ma`bad, Sa`îd al-Maqburi, Abû al-

Zinâd, `Abd al-Rahman ibn al-Qâshim, Qatadah, Khâlid ibn Abû

`Imrân, Khair ibn Na`îm, Abû Suja` Sa`îd ibn Yazîd, Katsîr ibn

Farqad, Yahya ibn `Abd al-Rahman ibn Ghanam, Mu`âwiyah ibn

Shâlih, Shafwân ibn Sâlim, Yahya ibn Ayyûb, `Uqail, Yûnus ibn

Yazîd, Yazîd ibn Muhammad al-Qurasyiyyi, `Amirah ibn Najiyah,

`Abû al-`Azîz al-Majisyûn, dan lain sebagainya.151

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Syu`aib, Muhammad ibn `Ajlan dan Hisyâm ibn Sa`ad (keduanya

merupakan dari orang tua al-Laits), Luhai`ah, Hâsyim ibn Basyir dan

Qais ibn al-Râbi`, `Athaf ibn Khâlid (mereka bertiga ini merupakan

sahabat dekat al-Laits), Ibnu al-Mubarak, Ibnu Wahab, `Alî ibn Nashar

al-Jahdhami al-Kabîr, Abû Salamah al-Khazâ`i, Adâm ibn Abû `Ibâs,

Sa`îd ibn Abû Maryam, Sa`îd ibn Syarhabil, Sa`îd ibn Katsîr ibn

`Ufair, sekretarisnya Abû Shâlih `Abdullâh ibn Shâlih, `Abdullâh ibn

Yusuf al-Tanisi, `Abdûllâh ibn Yazîd al-Maqburi, `Alî ibn `Iyasy al-

Hamshi, `Amrû ibn Khâlid al-Harâni, `Amrû ibn al-Râbi` ibn Thâriq,

Abû al-Walîd al-Thayâlisî, Yahya ibn `Abdullâh ibn Bukair, Qâsim

151
Ibid., h. 401. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 437-438.
100

ibn Katsîr al-Iskandaranî, Ahmad ibn `Abdullâh ibn Yûnus, Qutaibah

ibn Sa`îd, Muhammad ibn Ramh ibn al-Muhâjir, Muhammad ibn al-

Hârits ibn Rasyîd al-Mishrî, Abû al-Jahm al-`Ala‟ ibn Mûsa, `Îsa ibn

Hamad ibn Zaghbah dan lain sebagainya.152

Pendapat para kritikus tentang ta`dil dari al-Laits ibn Sa`ad:

- Ibnu Sa`ad berkata: bahwa al-Laits ibn Sa`ad telah bekerja dengan

sungguh-sungguh dalam bidang fatwa pada zamannya, beliau

termasuk orang yang terpercaya atau tsiqah juga orang yang

banyak meriwayatkan hadis yang shahih, dan beliau juga orang

yang sering begadang malam hari (untuk menuntut ilmu), orang

yang mulia lagi baik hati.

- Ahmad ibn Sa`ad berkata: al-Zuhrî dari al-Laits tsiqah, tsabat.

- Hanbal dari Ahmad berkata: bahwa al-Laits lebih saya cintai

tentang apa yang diriwayatkan dari al-Maqburi.

- `Abdullâh ibn Ahmad dari Anas berkata: bahwa orang paling

shahih hadisnya dari riwayat al-Maqburi adalah al-Laits yang

menyambung sampai riwayat Abû Hurairah dan apa yang

diriwayatkan ayahnya dari Abû Hurairah.

- Abû Dawud berkata: saya mendengar Ahmad mengatakan:

bukanlah mereka yakni ahli Mesir yang lebih shahih hadisnya dari

al-Laits dan `Amrû ibn al-Harits yang didekati.

152
Ibid., h. 401-402. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 438-439.
101

- Al-Atsra‟ dari Ahmad berkata: tidak ada dalam golongan kaum

Mesir atsbat dari al-Laits begitu juga `Amrû ibn al-Hârits, adapun

`Amrû menurut saya tsiqah akan tetapi kemudian saya melihat

bahwa dia banyak kemungkaran-kemungkarannya, kemudian al-

Laits ibn Sa`ad berkata: tidak ada seorangpun yang lebih shahih

hadisnya (`Amrû ibn al-Harits) maka dengan ini menjadikan orang

memuji dia (`Amrû ibn al-Harits).

- Abû Thâlib dari Ahmad berkata: al-Laits merupakan seorang yang

banyak ilmunya, dan meriwayatkan banyak hadis shahih.

- Ibnu Abû Khaitsamah dan Ishâq ibn Manshûr dari Ibnu Ma`în

berkata: tsiqah.

- Al-Daurî berkata: saya bertanya kepada Ibnu Ma`în: manakah yang

atsbat al-Laits atau Ibnu Abû Dzi‟bî dari Sa`îd al-Maqbûrî? Ibnu

Ma`în berkata: keduanya. Kemudian dia juga berkata: al-Laits

atsbat dalam (riwayat) Yazîd ibn Abû Habîb dari Muhammad ibn

Ishâq.

- `Utsmân al-Dârimî berkata: saya berkata kepada Ibnu Ma`în:

apakah al-Laits lebih kamu suka dari Yahya ibn Ayyûb? Ibnu

Ma`în berkata: al-Laits lebih saya suka akan tetapi Yahya juga

orang yang tsiqah. Kemudian saya (`Utsmân al-Dârimî) bertanya

(kembali): kalau Ibrâhîm ibn Sa`ad dengan al-Laits? dia (Yahya

ibn Ayyûb) berkata: keduanya tsiqah. Saya (`Utsmân al-Dârimî)


102

bertanya lagi: bagaimana hadis riwayat al-Laits dari Nâfi`? dia

(`Utsmân al-Dârimî) berkata: shâlih, tsiqah.

- Ibnu al-Madînî berkata: al-Laits tsiqah, tsabat.

- Al-`Ajalî berkata: al-Laits merupakan orang Mesir tsiqah.

- Al-Nasâ‟i berkata: al-Laits tsiqah.

- Abû Zar`ah berkata: al-Laits shadûq.

- Ibnu Kharasy berkata: al-Laits shadûq juga meriwayatkan hadis

yang shahih.

- Yahya ibn Bukair dari Ibnu Wahab berkata: saya ditanya Mâlik

tentang al-Laits, bagaimana kejujurannya? Maka saya menjawab:

sesungguhnya al-Laits sangat jujur sekali.

- `Amrû ibn `Alî berkata: al-Laits ibn Sa`ad shadûq, saya pernah

mendengar Ibnu al-Mahdî mengucapkan hadis dari Ibnu al-

Mubârak dari al-Laits dan al-Laits (sendiri) mendengarkan dengan

qira`ah dari al-Zuhrî.

- Ibnu Bukair berkata: saya tidak pernah melihat orang yang

sempurna seperti al-Laits, dia (al-Laits) merupakan orang yang

faqih, mempunyai logat Arab, baik dalam bacaan al-Qur'an dan

ilmu Nahwu, seorang hafidz hadis Nabi dan syair, baik dalam

mengingat hafalan dan saya tidak pernah melihat seperti dia (al-

Laits).
103

- Ya`qûb ibn Sufyân dari Ibnu Bukair berkata: al-Laits lahir pada

tahun 94 H. dan meninggal pada hari jum`at pertengahan bulan

Sya`ban pada tahun 175 H.

Pendapat para kritikus tentang jarh dari al-Laits ibn Sa`ad:

- Abû Dâwud dari Muhammad ibn al-Husain berkata: bahwa saya

mendengar Ahmad berkata: bahwa al-Laits tsiqah akan tetapi

beliau dalam mengambil hadis sangat mudah.153

f) Yahya ibn Bukair

Nama lengkap beliau adalah Yahya ibn `Abdullâh ibn Bukair

al-Qurasyiyyi al-Makhzumiyyi seorang budak dari Abû Zakariyyâ al-

Mishriyyi. Nama beliau dinisbahkan kepada nama kakeknya.154

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Mâlik, al-Laits, Bakar ibn Madhar, Hammâd ibn Zaid, `Abdullâh ibn

Suwaid al-Mishrî, `Abdullâh ibn Luhai`ah, Mughîrah ibn `Abd al-

Rahman ibn al-Hazamî, Ya`qûb ibn `Abd al-Rahman al-Qâri', `Abd al-

`Azîz al-Darawardî, `Auf ibn Sulaimân al-Qâdhî, Mufdhal ibn

Fadhâlah, Dhamrah ibn Rabî`ah dan lain sebagainya.155

153
Ibid., h. 402-405. Lihat Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ’ al-Rijâl, 439-449. Lihat Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah Perkembangan Hadis, h. 181. Abû
al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h.
307.
154
Ibid., j. 11, h. 207. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 20, h. 136.
155
Ibid., h. 207. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 136.
104

Nama-nama muridnya dalam periwayatan hadis antara lain: al-

Bukhârî, Muslim dan Ibnu Mâjah dengan perantaraan Muhammad ibn

`Abdullâh atau yang dikenal dengan nama al-Dzahilî, Muhammad ibn

`Abdullâh ibn Namîr, Muhammad ibn Ishâq al-Shaghânî, Sahal ibn

Zanjalah Harmalah ibn Yahya, Abû Zar`ah al-Râzî, Abû `Ubaid al-

Qâsim ibn Salam yang meninggal sebelum Yahya ibn Bukair, anaknya

sendiri yakni `Abd al-Mâlik ibn Yahya ibn Bukair, Yahya ibn Ma`în,

Dahîm, Yûnus ibn `Abd al-A`la al-Shadafî, Baqâ‟ ibn Makhlad,

Ismâ`îl Samawaih, Yahya ibn Ayyûb ibn Badî` al-`Alaf, Muhammad

ibn Ibrâhîm al-Busyanjî, Abû `Alî al-Busyanjî, Abû `Alî al-Hasan ibn

al-Faraj al-Ghâzî dan lain sebagainya.156

Pendapat kritikus tentang ta`dil dari Yahya ibn Bukair:

- Bahwa beliau disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.

Berkata Abû Dâwud bahwa saya mendengar Yahya ibn Ma`în

mengatakan Abû Shâlih mempunyai banyak sekali kitab, akan

tetapi Yahya ibn Bukair lebih hafal atau ahfadz dari Abû Shâlih.

- Al-Sâji berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah shadûq yang

meriwayatkan hadis dari al-Laits sangat banyak sekali.

- Ibnu `Adî berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah murid al-Laits

ibn Sa`ad dan beliau adalah atsbat al-nâs.

- Al-Khalîlî berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah tsiqah dan

beliau sendiri meriwayatkan banyak hadis dari Mâlik.

156
Ibid., h. 207. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 136-137.
105

- Ibnu Hibbân berkata: bahwa Yahya ibn Bukair meninggal dunia

pada pertengahan bulan Shafar tahun 231 H.

- Ibnu Yûnus berkata: bahwa Yahya ibn Bukair lahir tahun 154 H.

Pendapat kritikus tentang jarh dari Yahya ibn Bukair:

- Abû Hâtim berkata: bahwa tidak mengapa hadis dari Yahya ibn

Bukair ditulis, akan tetapi tidak boleh dijadikan hujjah karena

keadaan ini sudah dapat kita pahami.

- Al-Nasâ‟i berkata: bahwa Yahya ibn Bukair adalah dho‟if. Al-

Nasâ‟i juga berkata: dalam kesempatan lain bahwa Yahya ibn

Bukair adalah laisa bi tsiqah.157

g) Al-Bukhârî

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm

ibn al-Mughîrah ibn Bardizabah. Ada juga yang mengatakan

Bandizabah. Ada juga yang mengatakan Ibnu al-Ahnaf al-Ju‟afi, Abû

`Abdullâh al-Bukhârî.158

Nama-nama gurunya dalam periwayatan hadis antara lain :

`Ubaidillâh ibn Mûsa, Muhammad ibn `Abdullâh al-Anshârî, „Affân,

Abû „Âshim al-Nabîl, Makkî ibn Ibrâhîm, Abû al-Mughîrah, Abû

Mashar, `Abdullâh ibn Yûsuf, Ahmad ibn Khâlid al-Wahabî, dan lain

sebagainya selain mereka dari golongan tabi‟in yang mendapatkan

157
Ibid., h. 207-208. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 137-138. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 406.
158
Ibid., j. 9, (Dâr al-Shâdir), h. 47. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb
al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, j. 16, h. 84.
106

hadis secara sima’ dari Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm dan juga

generasi sesudah tabi‟in yang meriwayatkan hadis secara kitabah.159

Nama-nama muridnya dalam periwayatan hadis: al-Tirmidzî

dalam kitab al-Jâmi’ yang banyak sekali, Muslim dalam kitab selain

al-Jâmi’, al-Nasâ‟i dalam bab puasa dari Muhammad ibn Ismâ`îl dari

Hafsh ibn „Umar ibn al-Hârits dari Hammâd sebuah hadis, al-Nasâ‟i,

Abû Zar‟ah, Abû Hâtim, Ibrâhîm al-Harbî, Ibnu Abû al-Dunyâ, Shâlih

ibn Muhammad al-Asadi, Abû Basyar al-Daulabî, Muhammad ibn

„Abdullâh al-Hadhramî, al-Qâsim ibn Zakariyâ, Ibnu Abû „Âshim,

Ibnu Huzaimah, „Umair ibn Muhammad ibn Bujair, Husain ibn

Muhammad al-Qabbânî, Abû „Amrû al-Khaffâf al-Naisâbûrî, dan

banyak sekali yang lainnya.160

Pendapat para ulama tentang ta`dil dari Imam al-Bukhârî:

- Bukair ibn Numair berkata: saya mendengar al-Hasan ibn al-

Husain al-Bazar di negeri Bukhara : saya melihat Muhammad ibn

Ismâ`îl ibn Ibrâhîm sebagai seorang syekh sedang badannya tidak

tinggi dan juga tidak pendek. Lahirnya pada bulan Syawwal tahun

194 H. Meninggalnya pada hari sabtu pada bulan Syawwal tahun

256 H. Hidup selama 62 tahun kurang 13 hari.

- Ahmad ibn Yasar al-Marûzî berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl ibn

Ibrâhîm adalah seorang pencari ilmu, orang yang pandai bergaul

159
Ibid., j. 9, h. 47. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 84-85.
160
Ibid., j. 9, h. 47-48. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 86-87.
107

bepergian dalam mencari hadis dan pandai dalam hadis serta lebih

teliti dalam hadis, dan dia merupakan orang yang baik dalam

brpikir dan baik juga dalam menghafal hadis serta paham betul

hadis tersebut.

- Abû al-`Abbas ibn Sa`îd berkata: kalau ada seorang laki-laki yang

menulis sebanyak 30.000 hadis belum cukup dari pada kitab

Târîkh-nya Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.

- Al-Kisymihânî berkata: saya mendengar al-Farbarî mengatakan :

Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm berkata kepada saya: saya

tidak pernah menulis dalam kitab saya sebuah hadis kecuali saya

bersuci sebelumnya dan kemudian shalat sunnah dua rakaat (baru

saya menuliskannya).

- Ja‟far ibn Muhammad al-Qathan (imam masjid Jâmi' di Karmenia)

berkata: saya pernah mendengar Muhammad ibn Ismâ`îl ibn

Ibrâhîm berkata: saya telah menulis dari 1000 syekh dan saya yang

lebih dari itu adalah hadis-hadis saya yang saya tuliskan bersama

sanad-sanadnya.

- Hâsyid ibn Ismâ`îl berkata: saya pernah di Bashrah maka datang

Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm berkata Muhammad ibn

Basyar: telah datang hari ini pemimpin orang-orang yang faqih.

- Al-Busyanjî berkata: saya pernah mendengar Bundar berkata: tidak

ada seorang yang seperti Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.


108

- Yusuf ibn Raihan berkata: saya mendengar Muhammad ibn Ismâ`îl

mengatakan: suatu ketika `Alî ibn al-Madînî bertanya kepada saya

tentang syekh yang berasal dari Khurasan, saya berkata: setiap

orang yang saya puji kepadanya dia adalah al-Râdhî.

- Al-Farbarî berkata: saya pernah mendengar Muhammad ibn Ismâ`îl

ibn Ibrâhîm mengatakan: saya tidak pernah merendahkan diri saya

kepada seseorang kecuali kepada `Alî kemungkinan saya yang

tidak akrab atau asing sekali bagi dia.

- Abû Quraisy Muhammad ibn Jum`ah berkata: saya mendengar

Bundar Muhammad ibn Basyar berkata: orang-orang yang hafal di

dunia ini ada empat orang. Maka dia menyebutkan Muhammad ibn

Ismâ`îl ibn Ibrâhîm sebagai salah satunya.

- Abû Mush`ab berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm adalah

orang yang paling faqih diantara kita dan lebih teliti daripada Ibnu

Hanbal.

- `Âmir ibn al-Mutaji‟ dari Ahmad ibn al-Dhau‟ berkata: saya

mendengar Abû Bakar ibn Abû Syaibah dan Muhammad ibn

`Abdullâh ibn Numair mereka berdua mengatakan: kami tidak

pernah melihat orang seperti Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.

- Mahmûd ibn al-Nadhar al-Syâfi`î berkata: saya masuk ke kota

Bashrah, Syam, Hijaz, Kufah dan saya melihat ulama-ulama yang

berada di daerah tersebut, maka setiap saya berada di suatu daerah


109

disebutkan Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm merekapun

memuliakannya dari diri mereka sendiri.

- `Abdullâh ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: saya mendengar ayah

saya mengatakan: habislah sudah para penghafal kecuali tinggal

empat dari ahli Khurasan, maka disebutkanlah nama Muhammad

ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm diantaranya.

- `Abdullâh ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: saya mendengar ayah

saya mengatakan: tidak ada seorangpun dari Khurasan selain

Muhammad ibn Ismâ`îl.

- Shâlih ibn Muhammad al-Asadî berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl

merupakan orang yang paling mengetahui tentang hadis.

- Ya`qûb ibn Ibrâhîm ad-Dauruqî berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl

ibn Ibrâhîm adalah seorang yang faqih di umat ini.

- Al-Fadhâl ibn `Abbâs al-Râzî berkata: saya pulang bersama

Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm dalam satu perjalanan, maka

saya bersungguh-sungguh mengajukan suatu hadis yang mana

tidak diketahuinya maka saya tidak bisa untuk memungkinkannya.

- Ishâq ibn Ahmad ibn Zairâk berkata: saya mendengar Muhammad

ibn Idrîs al-Râzî Abû Hâtim mengatakan: Muhammad ibn Ismâ`îl

ibn Ibrâhîm lebih mengetahui orang yang masuk ke kota `Irâq.

- `Abdân ibn `Utsmân berkata: saya tidak pernah melihat dengan

mata kepala saya sendiri seorang laki-laki yang lebih tajam

penglihatannya dari Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm.


110

- Shâlih ibn Yasar berkata: Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm

merupakan seorang yang faqih di zaman ini.

- Yahya ibn Ja`far berkata: kalau seandainya saya mampu untuk

menambah umurnya niscaya saya akan lakukan.

- Al-Hâkim berkata: saya mendengar Abû Thayiib mengatakan: saya

mendengar Ibnu Khuzaimah mengatakan: saya tidak pernah

melihat di bawah penghuni langit yang lebih mengetahui hadis dari

Rasulullah dan yang lebih hafal dari hadis Rasul tersebut kecuali

al-Bukhârî.

- Ada yang menanyakan kepada Abû `Abdullâh yakni Ibnu al-

Akhram tentang suatu hadis, maka diapun berkata: sesungguhnya

al-Bukhârî tidak mengemukakan hadis tersebut. Maka dikatakan

kepada Ibnu al-Akhram hadis tersebut telah disebutkan oleh

Muslim. Kemudian berkatalah Abû `Abdullâh: sesungguhnya al-

Bukhârî adalah orang yang lebih mengetahui dari Muslim dan dari

kamu (Ibnu al-Akhram) dan dari saya.

- `Abdullâh ibn `Abd al-Rahman al-Dârimî berkata: saya telah

melihat ulama-ulama diantara negeri Haram dan Iraq, maka saya

tidak melihat ulama di mereka yang lebih kompeten dari dia (al-

Bukhârî).

- Ghanjar dalam kitab Târikh karya al-Bukhârî berkata: Abû `Îsa al-

Tirmidzî berkata kepadanya: Allah telah menjadikanmu sebagai

penghias dalam umat ini wahai Abû `Abdullâh. Abû `Îsa al-
111

Tirmidzî berkata dalam Jâmi’: saya tidak melihat di dalam makna

kecacatan dan perawi-perawi dari orang selain al-Bukhârî.

- Ishâq ibn Rahwiyah berkata: wahai orang-orang sahabat hadis

tulislah dari pemuda ini. Maka sesungguhnya kalau seandainya dia

hidup di zaman al-Hasan ibn Abû al-Hasan maka orang-orang akan

meminta darinya untuk dijadikan hujjah untuk mengetahui darinya

hadis dan fiqih yang dimilikinya.

- Muhammad ibn Nashar al-Marûsyî berkata: saya mendengar

Muhammad ibn Ismâ`îl mengatakan: barang siapa yang

mengatakan dari saya yang mengatakan secara perkataan bahwa al-

Qur'an itu makhluk, maka dia telah berbohong dan sesungguhnya

saya mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah tercipta atau

makhluk.

Pendapat kritikus tentang jarh Imam al-Bukhârî:

- Abû Bakar Muhammad ibn Harb berkata: saya bertanya kepada

Abû Zar`ah tentang Muhammad ibn Humaid, maka dia menjawab:

ditinggalkan oleh Abû `Abdullâh yakni al-Bukhârî.

- Muhammad ibn al-`Abbâs al-Dhâbî berkata: saya mendengar Abû

Bakar ibn Abû `Amrû al-Hâfizh mengatakan: adapun sebab yang

memisahkan Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Balad yaitu

al-Bukhârî yaitu sesungguhnya Khâlid ibn Ahmad al-Amîr

memintanya untuk menghadiri atau datang ke tempatnya untuk

membacakan kitab al-Jâmi’ dan al-Târikh kepada anak-anaknya


112

maka tidak dibolehkan. Kemudian memintanya kembali untuk

mengadakan sebuah majelis ilmu yang tidak dihadiri oleh yang lain

kecuali anak-anaknya dilarangnya juga. Maka kemudian meminta

bantuan kepada Hârits ibn Abû al-Warqâ‟ dan yang lainnya

sehingga para ulama tersebut berkata kepadanya dan memintanya

keluar dari negaranya, maka dia memenuhi panggilan dari para

ulama tersebut.

- Maslamah dalam kitab al-Shilâh berkata: adapun al-Bukhârî adalah

orang yang terpercaya, tinggi kemampuannya, seorang yang `Alîm

tentang hadis dan dia mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk

maka diingkarilah pendapat tersebut dari ulama-ulama Khurasan,

maka diapun kAbûr dan meninggal dalam keadaan ketakutan. 161

2. Biografi periwayat dalam hadis riwayat Muslim

a. Abû Hurairah

b. Abû Salamah

c. Ibnu Syihâb

d. Yûnus al-Ailî

Nama lengkap beliau adalah Yûnus ibn Yazîd ibn Abû al-

Najâd, ada juga yang berkata Yûnus ibn Yazîd ibn Misykân ibn Abû

al-Najâd al-Ailî Abû Yazîd al-Qurasyiyyi seorang budak dari

161
Ibid., j. 9, h. 55. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 87-108.
113

Mu`âwiyah ibn Abû Sufyân. Beliau merupakan saudara dari Abû `Alî

ibn Yazîd dan paman dari `Anbasah ibn Khâlid ibn Yazîd.162

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Ibrâhîm ibn Abû `Ablah al-Muqaddasî, Hakam ibn `Abdullâh ibn

Sa`ad al-Ailî, `Ikrimah budak dari Ibnu `Abbâs, Imârah ibn Ghazyah,

`Amrû ibn `Abdullâh budak dari Ghafrah, `Imrân ibn Abû Anas, al-

Qâsim ibn Muhammad ibn Abû Bakar al-Shiddîq, Muhammad ibn

Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî, Nâfi` budak dari `Umar, Hisyâm ibn

`Urwah dan saudaranya Abû `Alî ibn Yazîd al-Ailî.163

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Abû Dhamrah Anas ibn `Iyâdh al-Laitsi, Ayyub ibn Suwaid al-Ramlî,

Baqiyah ibn al-Walîd, Bahlûl ibn Râsyid, Jarîr ibn Hâzim, Hisân ibn

Ibrâhîm al-Kirmânî, Hafsh ibn `Umar al-Damsyiqî, Rasyidîn ibn Sa`ad

Sulaimân ibn Bilâl Syabîb ibn Sa`îd al-Habthi, Abû Syu`bah Shadaqah

ibn al-Muntashar al-Sya`banî, Thalhah ibn Yahya al-Zarqî, `Abdullâh

ibn al-Hârits al-Makhzûmî, `Abdullâh ibn Rajâ‟ al-Makkî, Abû

Shafwân `Abdullâh ibn Sa`îd al-Umawiyyi, `Abdullâh ibn al-Mubârak,

`Abdullâh ibn Wahab, `Abd al-Rahman ibn Amru al-Auza`î, `Utsmân

ibn al-Hakam, `Utsmân ibn `Umar ibn Fâris, `Alî ibn `Urwah al-

Dimasyqî, dan lain sebagainya.164

162
Ibid., j. 11, h. 450. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 20, h. 565.
163
Ibid., h. 450. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 565.
164
Ibid., h. 450. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 565-566.
114

Pendapat ulama tentang ta`dil Yûnus al-Ailî:

- Berteman dengan al-Zuhrî selama 12 tahun, ada juga yang berkata

14 tahun.

- Disebutkan oleh Khalîfah ibn Khiyâth seorang ahli Mesir dalam

Thabaqat ketiga. `Alî ibn al-Madînî berkata: saya bertanya kepada

`Abd al-Rahman ibn al-Mahdî dari Yûnus ibn Yazîd berkata: Ibnu

al-Mubârak pernah berkata bahwa kitabnya shahîh, Ibnu Mahdî

dan saya berkata kitabnya shahîh.

- `Abd al-Râzaq dari Ibnu al-Mubârak berkata: saya tidak pernah

melihat seseorang yang lebih periwayatannya untuk al-Zuhrî dari

Ma`mar kecuali Yûnus yang sangat hafal untuk Musnad, dan

dalam riwayat lain karena sesungguhnya Yûnus menuliskan

banyak kitab dalam satu bentuk.

- Ahmad berkata: Wakî` mendengar hadis secara sima` dari Yûnus

sebanyak tiga hadis.

- Hanbal ibn Ishâq berkata: saya tidak mendengar Abû `Abdullâh al-

Zuhrî dari Ma`mar kecuali Yûnus al-Ailî, karena dia menuliskan

semua hadisnya.

- Abû Bakar al-Atsrâm, Abû `Abdullâh, dan `Abd al-Razâq dari

Ibnu al-Mubârak berkata: saya tidak pernah melihat seorang yang

lebih periwayatannya dari al-Zuhrî dari Ma`mar kecuali Yûnus,

karena sesungguhnya dia menulis semua hadisnya.


115

- Al-Fadhâl ibn Ziyâd Ahmad berkata: Yûnus meriwayatkan banyak

hadis dari al-Zuhrî dari `Uqail, dan mereka berdua adalah orang

yang tsiqah.

- `Abbâs al-Daurî dari Yahya ibn Ma`în berkata: orang-orang yang

atsbat dari riwayat al-Zuhrî yaitu Mâlik, Ma`mar, Yûnus, `Uqail,

Syu`aib ibn Abû Hamzah dari Ibnu `Uyaynah.

- `Utsmân Ibnu Sa`îd al-Dârimî berkata: saya berkata kepada Yahya

ibn Ma`în apakah Yûnus atau `Uqail yang kamu sukai, dia berkata:

Yûnus tsiqah, `Uqail tsiqah. Keduanya mendapatkan hadis dari al-

Zuhrî.

- Ya`qûb ibn Syaibah dari Ahmad ibn al-`Abbâs berkata: saya

berkata kepada Yahya ibn Ma`în: siapakah yang lebih atsbat,

Ma`mar atau Yûnus, dia berkata: Yûnus lebih ketat sanadnya dari

keduanya, mereka berdua adalah orang yang tsiqah, adapun

Ma`mar adalah lebih mudah sanadnya.

- Abû Bakar ibn Abû Khaitsamah dari Yahya ibn Ma`în berkata:

Ma`mar dan Yûnus merupakan orang yang `Alîm dengan riwayat

al-Zuhrî.

- Al-`Ajalî dan al-Nasâ'i berkata: tsiqah.

- Ya`qûb ibn Syaibah berkata: shâlih al-hadits, `Alîm dengan hadis

al-Zuhrî.

- Abû Zar`ah berkata: lâ ba’sa bihi.

- Berkata Ibn Kharâsy: shadûq.


116

- Abû Sa`îd ibn Yûnus berkata: orang-orang menasabkan dia kepada

Bani Umayyah.

- Al-Qâsim ibn Muhammad dan Sâlim ibn `Abdullâh berkata: orang-

orang memperkirakan bahwa Yûnus meninggal di Sha`îd Mesir

tahun 152 H.

- Yahya ibn Bukair berkata: meninggal tahun 150-an.

- Al-Bukhârî dan al-Mufdhal ibn Ghassân al-Ghalâbî dan Ibnu

Hibbân berkata: meninggal pada tahun 159 H.

- Muhammad ibn `Azîz al-Ailî berkata: meninggal pada tahun 160

H.

Pendapat ulama tentang jarh dari Yûnus ibn Yazîd:

- Abû Zar`ah al-Dimasyqî berkata: saya mendengar Abû `Abdullâh

Ahmad ibn Hanbal mengatakan: di dalam hadis Yûnus ibn Yazîd

banyak yang mungkar berasal dari al-Zuhrî di antaranya dari Sâlim

dari bapaknya dari Rasulullah tentang hadis pengairan air dari air

hujan maka zakatnya 10 %.

- Muhammad ibn Sa`ad berkata: dia mempermudah dalam hadis,

tidak dijadikan hujjah hadisnya apabila ada hadisnya yang

mungkar.

- Abû al-Hasan al-Maimûni ditanyakan kepada Ahmad berkata:

siapakah yang atsbat di dalam riwayat al-Zuhrî, dia berkata:

Ma`mar, kemudian ditanyakan kepadanya: bagaimana dengan

Yûnus, dia berkata: dia meriwayatkan banyak hadis yang mungkar.


117

- Muhammad ibn `Auf dari `Ahmad ibn Hanbal berkata: Wakî`

berkata: saya melihat Yûnus ibn Yazîd al-Ailî hafalannya tidak

begitu bagus.165

e. `Abdullâh Ibn Wahab

Nama lengkap beliau adalah `Abdullâh ibn Wahab ibn Muslim

al-Qurasyiyi al-Fihrî Abû Muhammad al-Mishrî. Seorang yang faqih

budak dari Yazîd ibn Zamânah yang merupakan budak dari Yazîd ibn

Unais Abû `Abd al-Rahman al-Fihrî.166

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis: Ibrâhîm ibn

Sa`ad al-Zuhrî, Ibrâhîm ibn Nasyîd al-Wa`lânî, Usâmah ibn Zaid ibn

Aslam, Usâmah ibn Zaid al-Laitsî, Aflah, ibn Humaid, Abû Dhamrah

Anas ibn Iyâdh, Bakar ibn Mudhar, Tsawâbah ibn Mas`ûd al-

Tannaukhî, Jâbir ibn Ismâ`îl al-Hadhramî, Jarîr ibn Hazim al-Bashrî,

Harmalah ibn `Imrân al-Tujîbî, Hafsh ibn Maisarah al-Shan`ânî, Abû

Sakhr Humaid ibn Ziyâd al-Madanî, Abû Hâni` Humaid ibn Hâni` al-

Khaulânî, Wâqid ibn Salamah, Wâlid ibn al-Mughîrah, Yahya ibn

Ayyûb al-Mishrî, Ya`qûb ibn `Abd al-Rahman al-Qâri‟, Yûnus ibn

Yazîd al-Ailî dan lain sebagainya.167

165
Ibid., h. 450-452. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 566-568. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 411.
166
Ibid., j. 6, h. 71. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 10, h. 619.
167
Ibid., h. 71. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 619-620.
118

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Ibrâhîm ibn Mundzir al-Hisyâmî, Ahmad ibn Sa`îd al-Hamdânî,

Ahmad ibn Shâlih al-Mishrî, anak saudaranya Ahmad ibn `Abd al-

Rahman ibn Wahab, Abû al-Thâhir Ahmad ibn `Amrû ibn al-Sarh,

Ahmad ibn `Îsa al-Mishrî, Ahmad ibn Yahya ibn al-Wazîr ibn

Sulaimân, Ishâq ibn Mûsa al-Anshârî, Ashbagh ibn al-Faraj, Bahri ibn

Nashar ibn Sâbiq al-Khaulânî, al-Hârits ibn Miskîn, Abû Humaid

Habrah ibn Lakhm ibn al-Muhâjir al-Iskandarânî, Hajâj ibn Ibrâhîm al-

Azraq, Harmalah ibn Yahya, Zakaria ibn Yahya, Suraij ibn Nu`mân al-

Jauharî dan lain sebagainya.168

Pendapat ulama tentang ta`dil `Abdullâh ibn Wahab:

- Abû al-Hasan al-Maimunî berkata: saya mendengar Abû `Abdullâh

kemudian menyebutkan Ibnu Wahab maka berkata: dia (Ibnu

Wahab) merupakan seorang pemuda yang berakal, beragama bagus

dan mempunyai badan yang sehat.

- Abû Thâlib dari Ahmad ibn Hanbal berkata: `Abdullâh ibn Wahab

meriwayatkan hadis yang shahih yang melebihkan metode sima`

dari pada bertentangan, dan dari berbagai hadis lebih banyak yang

shahih dan diriwayatkan oleh yang atsbat. Dikatakan kepadanya

(Ahmad ibn Hanbal): bukankah dia (`Abdullâh ibn Wahab) berbuat

tidak baik dalam mengambil hadis? akan tetapi apabila kamu

168
Ibid., h. 71-72. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 621-622.
119

melihat hadisnya dan dari guru-gurunya, maka kamu akan

mendapati bahwa hadisnya adalah shahih.

- Abû Bakar ibn Abû Khaitsamah dari Yahya ibn Ma`în berkata:

tsiqah.

- Ahmad ibn Shâlih al-Mishrî berkata: Ibnu Wahab meriwayatkan

hadis sebanyak 100.000 hadis, saya tidak pernah melihat orang

Hijaz, Syam, dan Mesir lebih banyak hadisnya dari dia (`Abdullâh

ibn Wahab) dan yang sampai kepada kami sebanyak 70.000 hadis.

- Ahmad ibn Mûsa al-Hadhramî berkata: hadis `Abdullâh ibn Wahab

semuanya diriwayatkan oleh Harmalah kecuali 2 hadis.

- Yûnus `Abd al-A`la dari Hârun ibn `Abdullâh al-Zuhrî berkata:

orang-orang berbeda pendapat tentang hadisnya Mâlik, maka

mereka mendahulukan untuk melihat kepada `Abdullâh ibn Wahab

sampai mereka bertanya kepadanya.

- Abû Zar`ah berkata: saya mendengar Ibnu Bukair berkata:

`Abdullâh ibn Wahab lebih faqih dari Ibnu al-Qâsim.

- Abû Hâtim ibn Hibbân berkata: Ibnu Wahab mengumpulkan dan

membukukan hadis. Dia (Ibnu Wahab) merupakan orang yang

hafizh di antara ahli Hijaz dan Mesir dari hadis mereka dan hadis

saya, apa yang mereka telah meriwayatkan dari kitab-kitab

Musnad.

- Abû Sa`îd ibn Yûnus berkata: menceritakan kepada saya bapak

saya dari kakek saya: saya mendengar `Abdullâh ibn Wahab


120

berkata: saya lahir pada tahun 125 H dan pada umur 17 tahun saya

menuntut ilmu.

- Abû al-Zanbagh dari Yahya ibn Bukair berkata: berkata kepada

saya `Abdullâh ibn Wahab: saya lahir pada bulan Dzulqa`dah pada

tahun 125 H.

- Abû Sa`îd ibn Yûnus berkata: beliau meninggal pada hari Ahad

akhir minggu ke-4 dari bulan Sya`ban tahun 197 H.

- Abû Bakar al-Khathîb berkata: meriwayatkan darinya al-Laits ibn

Sa`ad al-Fahmî dan Rabî` ibn Sulaimân al-Marâd dan di antara

wafat keduanya 95 tahun dan meriwayatkan darinya `Abd al-

Rahman ibn Mahdî dan di antara wafatnya dan wafat al-

Rabî`berselisih 72 tahun.169

Pendapat ulama tentang jarh `Abdullâh ibn Wahab:

- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang

pribadi`Abdullâh ibn Wahab.

f. Abû Sufwân Al-Umawiyyi

Nama lengkap beliau adalah `Abdullâh ibn Sa`îd ibn `Abd al-

Mâlik ibn Marwân ibn al-Hakam ibn Abû al-`Âsh ibn Umayyah al-

Qurasyiyyi Abû Sufwân al-Dimasyqî. Ibunya bernama Ummu Jamîl

binti `Amrû ibn `Abdullâh ibn Sufwan ibn Umayyah, ibunya pergi

bersama dia ke Mekkah ketika ayahnya terbunuh di sungai Abû


169
Ibid., h. 72-74. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 622-625. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’
al-Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 202.
121

Fathras ketika itu terjadi pada tahun 132 H. beliau meninggal dalam

usia sekitar 200 tahun.170

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

`Utsmân ibn Zaid al-Laitsî, Tsaur ibn Yazîd al-Rahbî, bapaknya Sa`îd

ibn `Abd al-Mâlik ibn Marwân, Salîm ibn Naufal ibn Masâhiq, `Abd

al-Mâlik ibn Juraij, Mâlik ibn Anas, Majâlid ibn Sa`îd, Muhammad ibn

`Abd al-Rahman ibn Abû Dzi‟bî, Mûsa ibn Yasar al-Ardânî guru dari

Makhûl, Yûnus ibn Yazîd al-Ailî.171

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Ahmad ibn Hanbal, Abû Haitsamah, Zuhair ibn Harb, Sulaimân ibn

Dâwud al-Syâdzahûnî, `Abdullâh Rajâ‟ al-Ghadâni, `Abdullâh al-

Zubair al-Humaidî, Abû Muslim `Abd al-Rahman ibn Yûnus al-

Mustamlî, `Alî ibn al-Madînî, Qutaibah ibn Sa`îd, Muhammad ibn

Idrîs al-Syâfi`î, Abû Ya`la Muhammad ibn al-Shilat, Muhammad `Ibâd

al-Makkî, Nu`aim ibn Hamâd al-Marûzî.172

Pendapat ulama tentang ta`dil Abû Sufwân al-Umawiyyi:

- Al-Mufadhal ibn Ghasâh al-Ghalâbî dari Yahya ibn Ma`în: tsiqah.

Hal ini seperti perkataan Ismâ`îl ibn Ishâq al-Qâdhî dari `Alî ibn al-

Madîni dan Abû Muslim al-Mustamlî.

- Abû Za`ah berkata: la ba’sa bihi, shadûq.

170
Ibid., j. 5, h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 10, h. 183.
171
Ibid., h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 183.
172
Ibid., h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 183.
122

- Disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.

- `Alî ibn al-Madîni `Alî ibn al-Madîni berkata: berkata kepada saya

Abû Sufwân: yang menjadi teladan saya adalah Yahya ibn Yahya

al-Ghasâni.173

Pendapat ulama tentang jarh Abû Sufwân al-Umawiyyi:

- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang pribadi

Abû Sufwân al-Umawiyyi.

g. Harmalah Ibn Yahya

Nama lengkap beliau adalah Harmalah ibn Yahya ibn

`Abdullâh ibn Harmalah ibn `Imrân ibn Qirâd al-Tujîbî Abû Hafsh al-

Mishrî, seorang murid dari Imam al-Syâfi`î.174

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Idrîs ibn Yahya al-Khûlânî, Ayyûb ibn Suwaid al-Ramlî, Basyar ibn

Bakar al-Tanîsî, Sa`î ibn Hakam ibn Abû Maryam, Abû Shâlih

`Abdullâh ibn Shâlih yang merupakan sekretarisnya, al-Laits ibn

Sa`ad, `Abdullâh ibn Muhammad ibn Ishaq al-Fahmî yang dikenal

dengan al-Baithârî, `Abdullâh ibn Wahab, `Abdullâh ibn Yûsuf al-

Tânisî, `Abd al-Rahman ibn Ibrâhîm al-Dimasyqî yang merupakan

173
Ibid., h. 238. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 183-184.
174
Ibid., j. 2, h. 229. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 4, h. 220.
123

tetangganya, Yahya ibn `Abdullâh ibn Bukair, bapaknya Yahya ibn

`Abdullâh ibn Harmalah ibn `Imrân al-Tujîbî, dan lain sebagainya.175

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara lain:

Muslim, Ibnu Mâjah, Ibrâhîm ibn Ahmad ibn Yahya ibn al-Aslam al-

Mishri, Ibrâhîm ibn `Abdullâh ibn al-Junaid al-Khatlî, Abû Dajânah

Ahmad ibn Ibrâhîm ibn al-Hakam ibn Shâlih al-Mishrî, Ahmad ibn

Dâwud ibn Abû Shâlih `Abd al-Ghaffâr ibn Dâwud al-Kharânî, anak

dari anak-anaknya Ahmad ibn Thâhir ibn Harmalah ibn Yahya, Abû

`Abd al-Rahman Ahmad ibn `Utsmân al-Nasâ'i al-Kabîr Rafîq Abû

Hatim al-Râzî dalam perjalanan ke Mesir, Ahmad ibn Muhammad ibn

al-Hajâj ibn Rasyidîn ibn Sa`ad, Ahmad ibn al-Haitsam ibn Hafsh al-

Tsaghrî Qâdhî Tharsûs, Ahmad ibn Yahya ibn Zakîr al-Mishrî, dan

lain sebagainya.176

Pendapat ulama tentang ta`dil dari Harmalah ibn Yahya:

- Abû Ahmad ibn `Adî berkata: menceritakan kepada kami Ibnu

Hamâd yakni Abû Basyar al-Daulabî berkata: saya mendengar

Yahya berkata: dia (Harmalah) merupakan seorang syekh di Mesir.

Dikatakan kepada (Harmalah) bahwa beliau orang yang paling

mengetahui hadis dari Ibnu Wahab.

- Ibnu `Adî berkata: saya mendengar Muhammad ibn Mûsa al-

Hadhramî menyebutkan nama-nama dari sebagian guru-gurunya,

175
Ibid., j. 2, h. 229. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h.220-221.
176
Ibid., h. 229-230. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 220-221.
124

kemudian berkata: saya mendengar `Ahmad ibn Shâlih berkata:

Ibnu Wahab menuliskan hadis sebanyak 100.000 hadis. 20.000

hadis ditulis oleh sebagian orang akan tetapi cuma setengahnya,

dan sebagian lagi ditulis dengan sempurna oleh Harmalah.

- Ibnu `Adî berkata: berkata kepada kami Muhammad ibn Mûsa al-

Hadhramî: hadis Ibnu Wahab semuanya ada pada Harmalah

kecuali 2 hadis yang disendirikan olehnya.

- Ibnu `Adî berkata: sesungguhnya Ahmad ibn Shâlih mendengar

hadis dari kitab Harmalah dari Ibnu Wahab, maka di ambillah

setengahnya, kemudian mencegah yang setengahnya lagi. Maka

muncullah permusuhan antara mereka berdua. Ketika Harmalah

memasuki Mesir, Ibnu Shâlih tidak mau meriwayatkan hadis dari

Harmalah. Harmalah meninggal pada tahun 244 H., sedangkan

Ibnu Shâlih meninggal pada tahun 248 H.

- Abû Sa`îd ibn Yunus berkata: Harmalah lahir pada tahun 156 H.,

dan meninggal pada malam kamis malam ke-9 bulan Syawal tahun

243 H. seperti yang diriwayatkan al-Nasâ'i.

Pendapat ulama tentang jarh dari Harmalah:

- Abû Hâtim berkata: hadis dari Harmalah boleh ditulis akan tetapi

tidak boleh dijadikan hujjah.

- Ibnu `Adi berkata: saya bertanya kepada Abdullâh ibn Muhammad

ibn Ibrâhîm al-Farhâdzânî untuk menuliskan kepada saya suatu

hadis dari Harmalah, maka beliau berkata: wahai anakku, apa yang
125

kamu perbuat dengan hadis Harmalah? Harmalah itu dho`if, maka

kemudian beliau menuliskan hadis dari Harmalah kepada saya 3

buah hadis tidak lebih.177

h. Zuhair Ibn Harb (Abû Khaitsamah)

Nama lengkap beliau adalah Zuhair ibn Harb ibn Syadâd al-

Harsyi Abû Khaitsamah al-Nasâ'i Nazîl Baghdâd budak dari Bani

al-Harîsy ibn Ka`ab ibn `Âmir ibn Sha`sha`ah.178

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara

lain: Ahmad ibn Ishâq al-Hadrâmi, Abû al-Jawâb al-Ahwash ibn

Jawâb, Ishâq ibn `Îsa ibn al-Thabâ‟, Ishâq ibn Yûsuf al-Azraq,

Ismâ`îl ibn Abû Uwaisy, Ismâ`îl ibn `Alîyah, Basyar ibn al-Sari,

Jarîr ibn `Abd al-Humaid, Hibbân ibn Hilâl, Hajâj ibn Muhammad

al-Mishrî, Hajîn al-Matsanî, al-Hasan ibn Mûsa al-`Asyîb, al-

Husain ibn Muhammad al-Mahrûdzî, Hafsh ibn Ghiyâts, Humaidî

`Abd al-Rahman al-Ruâsi, Rûh ibn `Ubadah, Zaid ibn al-Hubâb,

Sufyân ibn `Uyaynah, Syabâbah ibn Suwâr, Abû `Ashîm al-Dhahâk

ibn Makhlad, `Abdullâh ibn Sa`îd al-Umawiyyi, `Abdullâh ibn

Yazîd al-Maqrâ'i, dan lain sebagainya.179

177
Ibid., h. 230-231. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 221-222.
178
Ibid., j. 3, h. 342-343. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ’ al-Rijâl, j. 6, h. 335.
179
Ibid., h. 343. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 335-336.
126

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara

lain: al-Bukhârî, Muslim, Abû Dawud, Ibnu Mâjah, Ibrâhîm ibn

Ishâq al-Harbî, anaknya Abû Bakar Ahmad ibn Abû Khaitsamah,

Abû Ibrâhîm Ahmad ibn Sa`ad al-Zuhrî, Abû Bakar Ahmad ibn

`Alî ibn Sa`îd al-Marûzî al-Qâdhî, Abû Ya`la Ahmad ibn `Alî ibn

al-Matsnâ al-Muwashalî, Baqi‟ ibn Makhlad al-Andalûsî, Ja`far ibn

Abû `Utsmân al-Thayâlisî, Hârits ibn Muhammad ibn Abû Usâmah

al-Tamîmî, `Abbâs ibn Muhammad al-Daurî, Abû Bakar `Abdullâh

ibn Muhammad ibn Abû al-Dunyâ, Abû Zar`ah, `Ubaidillâh ibn

`Abd al-Karîm al-Râzî, `Utsmân ibn Khardzâdz al-Anthâki, Abû

Hâtim Muhammad ibn Idrîs al-Râzî.180

Pendapat ulama tentang ta`dil Zuhair ibn Harb:

- Hâtim berkata: shadûq.

- Ya`qub ibn Syaibah berkata: Zuhair atsbat dari `Abdullâh ibn

Muhammad ibn Abû Syaibah. `Abdullâh itu orang yang

mempermudah dalam hadis.

- Ja`far ibn Muhammad al-Faryâbi berkata: saya bertanya kepada

Muhammad ibn `Abdullâh ibn Namîr: manakah yang lebih

kamu sukai (dalam periwayatan hadis) antara Abû Khaitsamah

atau Abû Bakar ibn Syaibah? beliau menjawab: Abû

Khaitsamah.

180
Ibid., h. 343. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 336.
127

- Abû `Ubaid al-Âjiri berkata: saya bertanya kepada Abû Dâwud:

apakah Abû Khaitsamah hujjah dalam periwayatan hadis?

beliau berkata: begitu indah pengetahuan ilmunya (Abû

Khaitsamah).

- Al-Nasâ'i berkata: tsiqah, ma’mûn.

- Al-Husain ibn Fahm berkata: tsiqah, tsabat.

- Abû Bakar al-Khathîb berkata: dia orang yang tsiqah, tsabat,

hâfidz, dan mutqîn.

- Muhammad ibn `Abdullâh al-Hadhramî dan `Ubaid ibn

Muhammad ibn Khalaf al-Bazzâr dan Husain ibn Fahm

berkata: beliau meninggal pada tahun 234 H. Ibnu Fahm

menambahkan bahwa beliau meninggal di Baghdâd dan

dihadiri oleh banyak orang.

- Anaknya Abû Bakar ibn Abû Khaitsamah berkata: beliau lahir

pada tahun 160 H., dan meninggal pada malam kamis tanggal 7

Sya`bân tahun 234 pada masa Khalifah Ja`far dan umur beliau

adalah 74 tahun.181

Pendapat ulama tentang jarh Zuhair ibn Harb:

- Tidak ada di antara para kritikus yang mengkritik tentang

pribadi Zuhair ibn Harb.

181
Ibid., h. 343-344. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, 336-337. Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad al-Dâruquthnî, Dzikr Asmâ’ al-
Tab`în wa Man Ba`dahu, h. 143.
128

i. Muslim ibn al-Hajjâj

Nama lengkapnya adalah Muslim ibn al-Hajjâj ibn Muslim

al-Qusyairî. Julukannya adalah Abû al-Hasan al-Naisâbûrî,

pengarang kitab Shahîh Muslim.182

Nama gurunya dalam periwayatan hadis antara lain:

Ibrâhîm ibn Khâlid al-Yasykurî, Ibrâhîm ibn Dînâr al-Tamar,

Ibrâhîm ibn Ziyâd Sabalan, Ibrâhîm ibn Sa‟ad al-Jauharî, Ibrâhîm

ibn Muhammad ibn `Ar`arah, Ismâ`îl ibn Abû Uwais, Ismâ`îl ibn

al-Khalîl al-Khazzaz, Ismâ`îl ibn Sâlim al-Shâigh, Umayyah ibn

Bistham, Bisyri ibn al-Hakam al-`Abdî, Bisyri ibn Khâlid al-

`Askarî, Bisyri ibn Hilâl al-Shawaf, Ja`far ibn Humaid al-Kûfî,

Hâjib ibn al-Walîd al-Manbijî, Hamîd ibn `Umar al-Bakrawî,

Hibbân Mûsa al-Marwazî, Hajjâj ibn al-Syâ`ir, Harmalah ibn

Yahya al-Tujîbî, al-Hasan ibn Ahmad ibn Abû Syu`aib al-Harranî,

al-Hasan ibn al-Râbi` al-Buranî, Khalaf ibn Hisyâm al-Basysyar,

Dâwud ibn Rusyaid, Dâwud ibn `Amrû al-Dhâbî, dan lain

sebagainya.183

Nama muridnya dalam periwayatan hadis: al-Tirmidzî satu

hadis, Ibrâhîm ibn Ishâq al-Shairafî, Ibrâhîm ibn Abû Thâlib,

Ibrâhîm ibn Muhammad ibn Hamzah, Ibrâhîm ibn Muhammad

Sufyân al-Faqîh, Abû Hâmid Ahmad ibn Hamdun ibn Rustûm al-

182
Ibid., j. 10, h. 126. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 18, h. 68.
183
Ibid., h. 126. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h.69-71.
129

A`masyî, Abû al-Fadhal Ahmad ibn Salamah al-Hâfizh, Abû

Hâmid Ahmad ibn `Alî al-Hasan ibn Hasnuwiyah al-Maqbûrî, Abû

`Amrû Ahmad ibn al-Mubârak al-Mustamilî, Abû Hâmid Ahmad

ibn Muhammad al-Husain Ibn al-Syarqî, dan lain sebagainya.184

Pendapat ulama tentang ta`dil Imam Muslim:

- Al-Hâkim Abû `Abdullâh al-Hâfizh berkata: telah diceritakan

kepada kami Abû al-Fadhal Muhammad ibn Ibrâhîm berkata :

saya mendengar Ahmad ibn Salamah mengatakan: saya telah

melihat Abû Zar`ah dan Abû Hâtim menghadap kepada Muslim

ibn al-Hajjâj untuk mengetahui orang-orang yang sahih atas

imam-imam pada zaman mereka berdua. Berkata juga al-

Hâkim: saya mendengar `Umar ibn Ahmad al-Zâhid

mengatakan: saya mendengar bahwa dia adalah orang yang

tsiqah dari sahabat-sahabat kami dan kebanyakan orangpun

sama pendapatnya dengan saya.

- Abû Sa‟îd ibn Ya`qûb mengatakan: saya mendengar Abû

`Abdullâh Muhammad ibn Ya`qûb mengatakan: saya

mendengar Ahmad ibn Salamah mengatakan: dilaksanakan

untuk Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj sebuah majelis

untuk belajar, maka disebutkan kepadanya sebuah hadis yang

dia belum mengetahuinya, maka diapun meninggalkan

rumahnya menuju ke rumah al-Sirâj, kemudian berkata:

184
Ibid., h. 126. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 72.
130

siapakah yang ada di rumah. Tidak boleh satu orangpun yang

memasuki rumah ini. Maka dikatakan kepadanya: dihadiahkan

kepada kita satu keranjang yang berisi buah kurma. Berkatalah

dia: berikanlah kurma itu kepada saya, maka dikasihkanlah

kurma itu kepadanya, maka diapun meminta hadis sambil

mengambil kurma itu satu per satu sampai kenyang, setelah

kurma itu habis dia juga mendapatkan hadisnya.

- Al-Hâkim berkata: saya mendapatkan kabar bahwa Muslim

adalah orang yang tsiqah dari sahabat-sahabat kami sampai dia

meninggal.

- Al-Hâkim berkata: saya mendengar Muhammad ibn Ya`qûb

dari Abû `Abdullâh al-Hâfizh mengatakan: meninggalnya

Muslim pada waktu malam hari pada hari ahad, dan

dimakamkan pada hari senin tanggal 5 bulan Rajab tahun 261

H. Berkata yang lainnya: dia dilahirkan pada tahun 204 H. 185

Pendapat para ulama tentang jarh Imam Muslim:

- Tidak seorangpun dari para ulama yang mengkritik tentang

pribadi Muslim ibn al-Hajjaj.

A. Biografi periwayat dalam hadis riwayat al-Tirmidzî

a. Abû Hurairah

b. Abû Salamah

185
Ibid., h. 127-128. Jamâluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzibul Kamal fi
Asma’ ar-Rijal, J. 18, h. 72-73.
131

c. Ibnu Syihâb

d. `Uqail

e. Al-Laits ibn Sa`ad

f. `Abdullâh ibn Shâlih

Nama lengkap beliau adalah `Abdullâh ibn Shâlih ibn

Muhammad ibn Muslim al-Jahnî budak dari Abû Shâlih al-Mishrî.

Beliau adalah sekretaris al-Laits.186

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara

lain: Mu`âwiyah ibn Shâlih al-Hadhramî Mûsa ibn `Alî ibn

Rabbah, Harmalah ibn `Imrân al-Tujîbî, Sa`îd ibn `Abd al-`Azîz al-

Tanûkhî, al-Laits ibn Sa`ad, al-Mufadhal ibn Fadhâlah, Ibnu

Luhai`ah, Ibnu Wahab, Basyar ibn al-Sarî, Yahya ibn Ayyûb, Abû

Syarîh, `Abd al-`Azîz ibn `Abdullâh ibn Abû Salamah al-Majisûn

dan lain sebagainya.187

Nama-nama murid beliau dalam periwayatan hadis antara

lain: Abû Dâwud, al-Tirmidzî, Ibnu Mâjah dengan perantara al-

Hasan ibn `Alî al-Khilâl, `Abdullâh al-Dârimi, Muhammad ibn

Yahya al-Dzahalî, `Alî ibn Dâwud al-Qanthârî, Maktûm ibn al-

`Abbâs al-Marûzi, Muhammad ibn Abû al-Hasan al-Samnâni, Abû

186
Ibid., j. 5, h. 256. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 10, h. 218.
187
Ibid., h. 256. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 218-219.
132

Hatim al-Râzî, Abû al-Azhar al-Naisabûrî, Abû `Ubaid al-Qâsim

ibn Salam dan lain sebagainya.188

Pendapat ulama tentang ta`dil dari `Abdullâh ibn Shâlih:

- Abû Hatim al-Râzî berkata: saya mendengar Abû al-Aswad al-

Nadhar ibn `Abd al-Jabbâr, Sa`îd ibn `Ufair memuji kepada

sekretaris al-Laits.

- Abû Hâtim berkata: saya mendengar `Abd al-Mâlik ibn Syu`aib

ibn al-Laits berkata: Abû Shâlih tsiqah, ma’mun. Beliau (Abû

Shâlih) telah mendengar dari kakek saya hadisnya, ayah saya

juga mengkhususkannya dalam periwayatan hadis, dan beliau

pula meriwayatkan hadis di depan ayah saya.

- Ahmad berkata: saya tidak pernah mengetahui orang yang lebih

mengetahui hadis riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih.

- Sa`ad ibn Manshûr dari Abû Shâlih berkata: saya tidak pernah

mendengar riwayat al-Laits dari segi lafazhnya kecuali dari

kitab Yahya ibn Sa`îd.

- Sa`îd al-Burdaî berkata: saya berkata kepada Abû Zar`ah: Abû

Shâlih adalah sekretaris al-Laits, maka beliau tersenyum dan

berkata: beliau merupakan orang yang baik hadisnya.

- Ismâ`îl al-Samawaih dari Abû Shâlih berkata: saya berteman

dengan al-Laits selama 20 tahun.

188
Ibid., h. 256. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 219-220.
133

- Abû Hatim berkata: hadis-hadis yang diriwayatkan Abû Shâlih

di akhir hidupnya banyak yang mengatakan mungkar. Saya

melihat ini adalah perbuatan dari Khâlid ibn Najîh, bahwa Abû

Shâlih bersahabat dengan Najîh. Abû Shâlih merupakan orang

terbebas dari celaan dan Khâlid pembohong dan dianggap

dho`if oleh orang-orang. Abû Shâlih bukanlah orang yang

berbuat bohong melainkan beliau adalah orang yang shalih.

- Ya`qûb ibn Sufyân berkata: Abû Shâlih adalah orang yang

shalih.

- `Alî ibn `Abd al-Rahman ibn al-Mughîrah dari Abû Shâlih

berkata: saya lahir pada tahun 173 H., begitu juga Ya`qûb ibn

Sufyân dari Abû Shâlih menambahkan bahwa beliau (Abû

Shâlih) meninggal pada tahun 222 H.

- Abû Hârûn al-Khanîbî berkata: saya pernah melihat yang lebih

atsbat dari Abû Shâlih.

Pendapat ulama tentang jarh dari `Abdullâh ibn Shâlih:

- Ibnu Hibbân berkata: beliau adalah orang yang mungkar dalam

hadisyang begitu sangat. Beliau meriwayatkan dari orang-orang

yang tsabat, akan tetapi bukan hadis yang shahih. Pribadi

beliau adalah orang yang shadûq, akan tetapi hadisnya banyak

yang mungkar.
134

- Al-Burdaî berkata: saya berkata Abû Zar`ah: saya melihat di

Mesir banyak hadis dari `Utsmân ibn Shâlih dari Ibnu Luhai`ah

adalah hadis-hadis yang mungkar.

- Shâlih ibn Muhammad berkata: bahwa Ibnu Ma`în men-tsiqah-

kan beliau (Abû Shâlih). Adapun menurut saya, Abû Shâlih

berbohong dalam hadis.

- Ibnu al-Madînî berkata: saya meninggalkan hadisnya (Abû

Shâlih) dan tidak meriwayatkan hadis darinya satupun.

- Ahmad ibn Shâlih berkata: Abû Shâlih orang yang diragukan

dan dia bukanlah siapa-siapa.

- Al-Nasâ'i berkata: bukan orang yang tsiqah.

- `Abdullâh ibn Ahmad berkata: saya bertanya kepada ayah saya

tentang Abû Shâlih, beliau menjawab: pada mulanya

merupakan orang yang biasa dijadikan pegangan dalam hadis,

akan tetapi pada masa tuanya beliau telah banyak kesalahan dan

dia bukanlah apa-apa dalam hadis (laisa bi syai’).189

g. Maktûm Ibn al-`Abbâs

Nama lengkap beliau adalah Maktûm ibn `Abbâs Abû al-

Fadhal al-Marûzî yang dikenal dengan nama al-Tirmidzî.190

189
Ibid., h. 257-261. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 220-224.
190
Ibid., j. 10, h. 289. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 18, h. 356.
135

Nama-nama guru beliau dalam periwayatan hadis antara

lain: Abû Shâlih `Abdullâh ibn Shâlih al-Mishrî dan Muhammad

ibn Yûsuf al-Faryabî.191

Nama murid beliau dalam periwayatan hadis yaitu: al-

Tirmidzî.

Beliau (Maktûm ibn `Abbâs) merupakan orang yang tidak

dikenal dalam periwayatan hadis.192

h. Al-Tirmidzî

Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn `Îsa ibn Sûrah

ibn Mûsa ibn al-Dhahak. Ada yang berkata Ibnu al-Sakan al-Salmî

Abû `Îsa al-Tirmidzî.193

Beliau mengelilingi beberapa daerah dan mendengar

banyak hadis dari orang-orang Khurasân, `Irâq dan Hijaz.194

Nama-nama murid beliau antara lain: Abû Hamîd Ahmad

ibn `Abdullâh ibn Dâwud al-Marûzî al-Tâjir, al-Haitsam ibn Kalîb

al-Syâmî, Muhammad ibn Mahbûb Abû al-`Abbas al-Mahbûbi al-

191
Ibid., h. 289. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 356.
192
Ibid., h. 289. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’
al-Rijâl, h. 356.
193
Ibid., j. 9, h. 387. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, j. 17, h. 133.
194
Ibid., j. 9, h. 387. Jamâl alî-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, h. 134.
136

Marûzî, Ahmad ibn Yûsuf al-Nafsî, Abû al-Hârits Asad ibn

Handawiyah dan lain sebagainya.195

Pendapat ulama tentang ta`dil al-Tirmidzî:

- Al-Mustaghfirî berkata: beliau meninggal pada bulan Rajab

tahun 279 H.

- Al-Khalîlî berkata: tsiqah, muttafaq `alaih.

- Al-Idrîsî berkata: al-Tirmidzî adalah salah satu dari para imam

yang meletakkan dasar ilmu hadis dalam penulisan kitab al-

Jâmi’, al-Târîkh, dan `ilâl yang ditulis oleh seorang yang `alim

dan mutqin.

- Disebutkan oleh Ibnu Hibbân dalam kitab al-Tsiqât.

- Al-Khâlidi berkata: Abû `Îsa berkata: saya menulis kitab al-

Musnad al-Shahîh, maka saya memperlihatkannya kepada para

ulama di Hijâz, `Irâq dan Khurasân, maka mereka pun

meridhoinya.

- Yûsuf ibn Ahmad al-Baghdâdî berkata: Abû `Îsa adalah

seorang hafizh yang lebih berbahaya di akhir hidupnya.

- Abû al-Fadhal al-Bilmânî berkata: saya mendengar Nashar ibn

Muhammad al-Syirkûhî berkata: saya mendengar Abû `Îsa

berkata: saya tidak lebih banyak bermanfaat kepada kamu, akan

tetapi kamu lebih bermanfaat bagi saya.196

195
Ibid., j. 9, h. 387. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, 134.
196
Ibid., j. 9, h. 388-389. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazzî, Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ’ al-Rijâl, h. 134-135.
137

Pendapat para ulama tentang jarh al-Tirmidzî:

- Tidak seorangpun dari para ulama yang mengkritik tentang

pribadi al-Tirmidzî.
138

BAB IV
KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS

A. Kualitas Sanad dan Matan Hadis

Setelah kita mengetahui seluruh sanad melalui al-i`tibar sanad,

kemudian perbedaan yang terdapat dalam matan dengan dan juga

mengetahui biografi dari para periwayat, maka langkah selanjutnya dalam

penelitian hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia adalah

dengan menganalisa kualitas sanad dan matan beserta pemaknaan hadis

tersebut dalam kehidupan sekarang.

1. Kualitas Keshahihan Sanad Hadis

a. Sanad hadis dalam riwayat al-Bukhârî

Untuk mempermudah dalam menganalisa kualitas

keshahihan sanad hadis yang terdapat dalam hadis riwayat al-

Bukhârî sesuai dengan kaedah keshahihan sebuah sanad hadis, maka

kami membuat sebuah tabel seluruh periwayat al-Bukhâri sebagai

berikut:

Nama Ada Tahun Hubung Lamba- Lafadz jarh dan


Periwa- atau kelahiran atau -an ng ta`dil
yat tidak- meninggal guru periwa-
nya dan yatan
Syâhid murid hadis
dan
Tâbi`
139

Abû Tidak Lahir pada Ada ‫ لَب َي‬Lafazh ta`dil:


Hurai- ada tahun 600 M. hubung ahfazh (paling
rah syâhid (20 tahun an guru hafal).
sebelum dan
Lafazh jarh:
Hijrah) di murid
tidak ada
Yaman dan antara
wafat 45 tahun Abû
kemudian Hurai-
setelah Nabi rah
yakni pada dengan
tahun 675 M. / Nabi
58 H. dalam
usia 78 tahun.

Abû Tidak Meninggal di Ada َْٓ ‫ ع‬Lafazh ta`dil:


Sala- ada Madinah pada hubung tsiqah 2X, faqih,
mah tâbi` tahun 94 H. an guru banyak hadis
yaitu pada dan yang diriwayat-
waktu murid kannya, dan
kekhalifahan antara lebih alim
Walîd ibn Abû tentang hadis
Mâlik dalam Sala- (a`lam al-
usai 72 tahun mah hadîts).
dengan
Lafazh jarh:
Abû
meninggal dunia
Hurai-
dalam keadaan
rah
masih kecil,
tidak shahih
untuk kita
(dalam
periwayatan
140

hadis)

Ibnu Tidak Lahir pada Ada َْٓ ‫ ع‬Lafazh ta`dil:


Syihâb ada tahun 50 H. hubung tsiqah, banyak
ِٝٔ‫اَ ْخجَ َش‬
al- tâbi` ada juga yang an guru meriwayatkan
Zuhrî berkata tahun dan hadis, seorang
51 H. dalam murid yang `âlim,
usia 72 tahun. antara faqih dan orang
Meninggal Ibnu yang paling
pada bulan Syihâb alim.
Ramadhan al-
Lafazh jarh:
tahun 125 H. Zuhrî
hadis al-Zuhrî
dengan
semuanya 1200
Abû
hadis, semuanya
Sala-
merupakan
mah
hadis yang
bersanad, 200 di
antaranya
merupakan
diriwayatkan
oleh orang yang
tidak tsiqah.

`Uqail Ada Meninggal Ada َْٓ ‫ ع‬Lafazh ta`dil:


satu pada tahun 141 hubung atsbat 3X,
tâbi` H. an guru shadûq, tsiqah
yakni dan 4X, lâ ba’sa
Yûnus murid bihi, hujjah dan
al-Ailî antara hâfizh.
`Uqail
Lafazh jarh:
dengan
Ada yang
141

Ibnu mengatakan
Syihâb bahwa beliau
al- (`Uqail) belum
Zuhrî mendengar dari
al-Sirî apapun,
akan tetapi
beliau (`Uqail)
mendapatkan
hadis dengan
munawalah

Al- Ada Lahir pada Ada َْٓ ‫ ع‬Lafazh ta`dil:


Laits dua tahun 94 H. hubung tsiqah 8X,
َِٕٝ‫َد َّذص‬
ibn tâbi` dan meninggal an guru tsabat 2X,
Sa`ad yaitu pada hari dan atsbat 2X,
`Abdull jum`at murid shâlih, shadûq
âh ibn pertengah-an antara 3X, faqih, dan
Wahab bulan Sya`ban al-Laits hafidz.
dan tahun 175 H. ibn
Lafazh jarh: al-
Abû Sa`ad
Laits tsiqah
Shafwâ dengan
akan tetapi
n al- `Uqail
beliau dalam
Umawi
mengambil
yyi
hadis sangat
mudah

Yahya Ada Meninggal Ada ‫ َد َّذصََٕب‬Lafazh ta`dil:


ibn lima pada bulan hubung atsbat al-nâs,
Bukair tâbi` Shafar pada an guru ahfadz, tsiqah,
yaitu tahun 231 H. dan dan shadûq.
Zuhair murid
Lafazh jarh:
142

ibn antara dho’if, laisa bi


Harb, Yahya tsiqah.
Harmal ibn
ah ibn Bukair
Yahya, dengan
`Abdull al-Laits
âh ibn ibn
Shâlih, Sa`ad
Ahmad
ibn
`Umair
dan
Ibnu al-
Sarh al-
Mishrî

Al- Tidak Lahir pada Ada ‫ َد َّذصََٕب‬Lafazh ta`dil:


Bukhârî ada bulan Syawal hubung pandai dalam
tâbi` tahun 194 H. an guru hadis serta lebih
karena meninggal dan teliti dalam
seorang pada hari murid hadis, baik
mukhar Sabtu pada antara dalam
rij bulan Syawal al- menghafal hadis
tahun 256 H. Bukhârî serta paham
dengan betul hadis
Yahya tersebut, tidak
ibn ada seorang
Bukair yang seperti
Muhammad bin
Ismâ`îl bin
Ibrâhîm, hâfizh,
143

orang yang
paling faqih,
orang yang
paling
mengetahui
tentang hadis.

Lafazh jarh: al-


Bukhârî
mengatakan
bahwa al-Qur'an
itu makhluk
maka
diingkarilah
pendapat
tersebut dari
ulama-ulama
Khurasan, maka
diapun kabur
dan meninggal
dalam keadaan
ketakutan.

Dari tabel di atas, ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat pertama yakni Abû Hurairah dapat dilihat dari ta`dil yang

diberikan kepada Abû Hurairah yaitu lafazh "paling hafal" (ahfazh)

yang merupakan kata "paling" (tafdhîl). Dalam tingkatan ta`dil, kata

ini merupakan tingkatan yang pertama. Pujian yang diberikan para

kritikus hadis bersifat mutawasith (pertengahan) karena mereka


144

memberikan pujian tidak terlalu keras dengan keterangan yang jelas.

Di samping itu, tidak ada para kritikus yang memberikan jarh

kepada beliau. Dengan demikian Abû Hurairah merupakan seorang

yang `âdil dan dhâbit karena telah memenuhi syarat sebagai

periwayat `âdil dan dhâbith.

Adapun mengenai ketersambungan sanad periwayat Abû

Hurairah dengan Nabi dapat dilihat dari selisih tahun kelahiran dan

meninggal antara Abû Hurairah dengan Nabi. Dalam tabel di atas

disebutkan bahwa Abû Hurairah lahir pada tahun 600 M. (20 tahun

sebelum Hijrah) di Yaman dan wafat 45 tahun kemudian setelah

Nabi yakni pada tahun 675 M. / 58 H. dalam usia 78 tahun.

Sedangkan Nabi lahir pada tahun 570 M. dan meninggal pada tahun

12 Rabi`ul Awal tahun 11 H. Antara umur kelahiran Nabi dengan

Abû Hurairah selisih 30 tahun, kemudian selisih antara wafat Abû

Hurairah dengan Nabi 47 tahun. Dengan demikian terjadi hubungan

guru dan murid dalam periwayatan hadis antara Abû Hurairah

dengan Nabi. Di samping itu, dalam lambang periwayatan sanad

hadis yang digunakan Abû Hurairah menunjukkan adanya

ketersambungan sanad dengan Nabi adalah lafazh ‫لبي‬, lafazh ini

merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima`. 197 Menurut

Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima` merupakan

yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara penerimaan

197
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
145

hadis Nabi.198 Dilihat pribadi Abû Hurairah yang `âdil dan dhâbith,

kemudian adanya hubungan guru dan murid dalam periwayatan

hadis, serta lambang periwayatan juga menunjukkan

ketersambungan sanad antara Abû Hurairah dengan Nabi. Dengan

demikian, Abû Hurairah benar-benar mendapat hadis tersebut dari

Nabi dan ketersambungan sanad antara Abû Hurairah dengan Nabi

benar-benar telah terjadi dalam sanad hadis tersebut.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat kedua yakni Abû Salamah dapat dilihat dari ta`dil yang

diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah 2X,

faqih, banyak hadis yang diriwayatkannya, dan lebih alim tentang

hadis (a`lam al-hadîts). Lafazh ta`dil dengan lafazh tsiqah, dan faqih

merupakan ta`dil yang berperingkat di tingkatan ketiga. Adapun

ta`dil dengan lafazh a`lam al-hadîts merupakan ta`dil yang

berperingkat pertama karena merupakan kata "paling" (tafdhîl). Dari

pendapat ta`dil di atas, ulama kritikus hadis sangatlah moderat

(mutawasith) dalam menilai pribadi Abû Salamah karena diiringi

keterangan yang jelas.

Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada dari para

kritikus yang menilai tentang jarh Abû Salamah yakni meninggal

dunia dalam keadaan masih kecil, tidak shahih untuk kita (dalam

periwayatan hadis). Pendapat Ahmad yang mengatakan bahwa

198
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
146

beliau meninggal dunia dalam keadaan masih kecil sangat keliru,

karena Abû Salamah meninggal dalam usia 72 tahun. Sedangkan

jarh yang dikatakan Abû Hâtim yakni tidak shahih untuk kita

merupakan tajrih yang berperingkat terakhir atau peringkat kelima.

Oleh karena itu, tajrih dari para kritikus hadis tersebut tidak bisa

membawa dirinya (Abû Salamah) termasuk orang yang tidak bisa

dipercaya ataupun ditolak periwayatannya. Ulama kritikus hadis

yang memberikan jarh kepada Abû Salamah sangatlah mudah

(mutasahhil) tanpa diiringi dengan keterangan yang jelas. Dengan

demikian dilihat dari ta`dil Abû Salamah yang berperingkat tinggi

yakni pertama dan ketiga serta jarh yang berperingkat terakhir atau

kelima, maka Abû Salamah merupakan periwayat yang memenuhi

kriteria sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Abû

Salamah dengan Abû Hurairah, dalam tabel di atas disebutkan

bahwa Abû Salamah meninggal di Madinah pada tahun 94 H. yaitu

pada waktu kekhalifahan Walîd ibn Mâlik dalam usai 72 tahun. Itu

berarti Abû Salamah lahir sekitar tahun 22 H. Sedangkan Abû

Hurairah lahir pada tahun 600 M. (20 tahun sebelum Hijrah) di

Yaman dan wafat pada tahun 675 M. / 58 H. dalam usia 78 tahun.

Hal ini berarti selisih antara tahun kelahiran mereka berdua adalah

42 tahun, sedangkan selisih antara tahun meninggal mereka adalah

44 tahun. Dengan demikian terjadi hubungan guru dan murid dalam


147

periwayatan hadis antara Abû Salamah dengan Abû Hurairah.

Adapun mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam

periwayatan hadis ini menggunakan ٓ‫ ع‬yang menurut banyak ulama

bisa menyebabkan adanya tadlis dalam sanad.199 Akan tetapi karena

Abû Salamah merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith serta

terjadi hubungan guru dan murid dalam periwayatan hadis, maka

sanad Abû Salamah dapat dikatakan bersambung dan memenuhi

syarat bersambungnya sanad dengan lambang periwayatan `an

`an. 200 Dengan demikian sanad antara Abû Salamah dengan Abû

Hurairah merupakan sanad yang bersambung.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat kedua yakni Ibnu Syihâb al-Zuhrî dapat dilihat dari ta`dil

yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu

tsiqah, banyak meriwayatkan hadis, seorang yang `âlim, faqih dan

orang yang paling alim. Lafazh tsiqah, banyak meriwayatkan hadis,

seorang yang `âlim, faqih merupakan lafazh tingkatan ketiga dalam

tingkatan ta`dil. Sedangkan lafazh orang yang paling alim

merupakan tingkatan yang pertama karena mengandung kata

“paling” (tafdhîl). Ta`dil dari para kritikus hadis di atas bersifat

mutawasith (pertengahan) karena tidak begitu ketat dan dengan

keterangan yang jelas.

199
Ibid., h. 88.
200
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
148

Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada sebagian para

kritikus yang memberikan jarh kepada Ibnu Syihâb al-Zuhrî di

antaranya yaitu hadis al-Zuhrî semuanya 1200 hadis, semuanya

merupakan hadis yang bersanad, 200 di antaranya merupakan

diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah. Pendapat tajrih dari para

kritikus hadis tersebut mempunyai peringkat kelima dan bersifat

mutasahhil (mempermudah) dalam menilai jarh dari Ibnu Syihâb al-

Zuhrî karena tanpa keterangan yang jelas mengenai jarh beliau.

Sehingga tidak bisa membawa beliau termasuk orang yang tidak bisa

dipercaya ataupun ditolak periwayatannya. Dengan demikian dilihat

dari ta`dil yang berperingkat tinggi yakni pertama dan ketiga dan

jarh yang berperingkat kelima, maka Ibnu Syihâb al-Zuhrî

merupakan periwayat yang memenuhi kriteria sebagai periwayat

yang `âdil dan dhâbith.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Ibnu Syihâb

al-Zuhrî dengan Abû Salamah, dalam tabel di atas disebutkan bahwa

Ibnu Syihâb lahir pada tahun 50 H., ada juga yang berkata tahun 51

H. dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 125 H. dalam usia 72

tahun. Adapun Abû Salamah meninggal di Madinah pada tahun 94

H. yaitu pada waktu kekhalifahan Walîd ibn Mâlik dalam usai 72

tahun. Hal itu berarti Abû Salamah lahir sekitar tahun 22 H., maka

selisih antara kelahiran Ibnu Syihâb al-Zuhrî dengan Abû Salamah

yakni 28 atau 29 tahun. Dengan demikian antara mereka berdua


149

(Ibnu Syihâb al-Zuhrî dengan Abû Salamah) terjadi hubungan guru

dan murid dalam periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan

beliau dalam hadis yang kami teliti, ada dua keterangan yang

berbeda. Imam al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa beliau

menggunakan lambang periwayatan dengan ٝٔ‫اخجش‬, sedangkan al-

Bukhârî, Muslim dan Ibnu Mâjah meriwayatkan bahwa beliau

menggunakan lambang periwayatan ٓ‫ ع‬yang menurut kebanyakan

ulama lambang ini bisa menyebabkan tidak bersambungnya suatu

sanad.201 Akan tetapi lambang periwayatan dengan lafazh ٓ‫ ع‬dapat

didukung oleh lambang periwayatan dengan menggunakan lafazh

ٝٔ‫ اخجش‬yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima`.202

Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima`

merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara

penerimaan hadis Nabi.203 Dilihat dari pribadi Ibnu Syihâb al-Zuhrî

yang merupakan pribadi yang `âdil dan dhâbith, terjadi hubungan

guru dan murid serta lambang periwayatan ٝٔ‫اخجش‬, maka

ketersambungan sanad antara Ibnu Syihâb al-Zuhrî dengan Abû

Salamah merupakan sanad yang bersambung.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat ketiga yakni `Uqail dapat dilihat dari ta`dil yang diberikan

kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu lafazh atsbat 3X,

201
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
202
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
203
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
150

shadûq, tsiqah 4X, lâ ba’sa bihi, hujjah dan hâfizh. Lafazh ta`dil

yang mengatakan bahwa `Uqail adalah hâfizh merupakan tingkatan

kedua. Kemudian pendapat tentang tsiqah dan hujjah merupakan

tingkatan ketiga. Sedangkan pendapat tentang shadûq dan lâ ba’sa

bihi merupakan tingkatan keempat. Para kritikus hadis yang menilai

ta`dil di atas merupakan orang yang mutasyaddid, karena di antara

mereka ada salah seorang yang sudah dikenal sebagai orang yang

mutasyaddid dalam menilai keshahihan periwayat yakni al-Nasâ‟i.

Walaupun demikian, ada sebagian para kritikus yang

memberikan jarh kepada `Uqail di antaranya yaitu: beliau (`Uqail)

belum mendengar dari al-Sirî apapun, akan tetapi beliau (`Uqail)

mendapatkan hadis dengan munawalah. Kecatatan (Jarh) ini dalam

tingkatan jarh merupakan tingkatan yang terakhir yakni tingkatan

kelima. Ketercelaan ini tidak merusak syarat sebagai periwayat yang

`âdil dan dhâbith karena jarh atau kecacatannya berada di tingkat

kelima bukan yang pertama. Kriteria sifat kritikus dalam

memberikan jarh kepada `Uqail bersifat mutasahhil karena tanpa ada

keterangan yang jelas tentang kecacatannya. Dilihat dari ta`dil

`Uqail yang berperingkat kedua, ketiga dan keempat serta jarh yang

berperingkat terakhir atau kelima, maka dapat dikatakan bahwa

beliau (`Uqail) adalah orang yang `âdil dan dhâbith dalam

periwayatan hadis.
151

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara `Uqail

dengan Ibnu Syihâb al-Zuhrî, dalam tabel di atas disebutkan bahwa

`Uqail meninggal di Mesir pada tahun 141 H., sedangkan Ibnu

Syihâb lahir pada tahun 50 H., ada juga yang berkata tahun 51 H.

dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 125 H. dalam usia 72

tahun. Perbedaan antara meninggalnya Ibnu Syihâb dan `Uqail

sekitar 16 tahun. Dengan ini dapat dikatakan bahwa mereka berdua

sezaman dan ada hubungan guru dan murid. Adapun mengenai

lambang periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini

yaitu menggunakan lambang periwayatan ٓ‫ ع‬yang menurut banyak

ulama bisa menyebabkan adanya tadlis dalam sanad.204 Dikarenakan

`Uqail merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith, serta ada

hubungan guru dan murid antara `Uqail dan Ibnu Syihâb, maka

sanad `Uqail dapat dikatakan bersambung dan memenuhi syarat

bersambungnya sanad dengan lambang periwayatan `an `an. 205

Dengan demikian sanad antara `Uqail dengan Ibnu Syihâb al-Zuhrî

merupakan sanad yang bersambung.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat keempat yakni al-Laits dapat dilihat dari ta`dil yang

diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah 8X,

tsabat 2X, atsbat 2X, shâlih, shadûq 3X, faqih, dan hafidz.

Tingkatan lafazh atsbat merupakan tingkatan yang pertama karena

204
Ibid., h. 88.
205
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
152

merupakan lafazh tafdhil (kata “paling”). Lafazh hafidz merupakan

tingkatan yang kedua, kemudian lafazh faqih, tsiqah, dan tsabat

merupakan tingkatan yang ketiga. Yang terakhir yakni lafazh shadûq

merupakan tingkatan yang keempat. Dalam memberikan ta`dil dari

para kritikus hadis kepada al-Laits, mereka bersifat mutasyadid. Hal

ini dikarenakan ada salah satu di antara mereka yakni al-Nasâ‟i yang

merupakan mu`addil yang mutasyadid ada dalam kritikus hadis

tersebut.

Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada sebagian para

kritikus yang memberikan jarh kepada al-Laits di antaranya yaitu al-

Laits tsiqah akan tetapi beliau dalam mengambil hadis sangat

mudah. Jarh atau ketercelaan dari Abû Dâwud dari Muhammad ibn

al-Husain ini tidak merusak syarat sebagai periwayat yang `âdil dan

dhâbith karena di samping dia (Abû Dâwud dari Muhammad ibn al-

Husain) memberikan ta`dil, dia juga memberikan keterangan tentang

mudahnya al-Laits dalam mengambil hadis. Hal ini sebenarnya dia

menyetujui akan terpujinya pribadi al-laits, akan tetapi ada hal yang

membuatnya memberikan jarh yang tanpa keterangan. Dilihat dari

ta`dil al-Laits yang berperingkat tinggi yaitu pertama, kedua, ketiga

dan keempat serta jarh yang tidak merusak syarat sebagai periwayat

yang `âdil dan dhâbith, maka dapat dikatakan bahwa al-Laits adalah

orang yang `âdil dan dhâbith dalam periwayatan hadis.


153

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara al-Laits

dengan `Uqail, dalam tabel di atas disebutkan bahwa al-Laits lahir

pada tahun 94 H., dan meninggal pada hari jum`at pertengahan bulan

Sya`ban tahun 175 H. Sedangkan `Uqail meninggal di Mesir pada

tahun 141 H. Hal itu berarti selisih meninggal antara mereka berdua

adalah 34 tahun. Dengan demikian antara al-Laits dan `Uqail hidup

sezaman dan telah terjadi hubungan guru dan murid dalam

periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan yang digunakan

dalam periwayatan hadis ini yaitu al-Bukhârî meriwayatkan dengan

lambang ٓ‫ع‬, sedangkan al-Tirmidzî meriwayatkan dengan lambang

ٕٝ‫ دذص‬yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima`.206

Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima`

merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara
207
penerimaan hadis Nabi. Dilihat dari pribadi al-Laits yang

merupakan orang yang `âdil dan dhâbith, terjadi hubungan sanad

antara al-Laits dan `Uqail, dan juga lambang periwayatan yang

menggunakan lafazh ٕٝ‫ دذص‬dan ٓ‫ع‬, maka sanad al-Laits dapat

dikatakan bersambung dan memenuhi syarat bersambungnya sanad

dengan lambang periwayatan `an `an.208 Dengan demikian hubungan

antara sanad al-Laits dengan `Uqail merupakan sanad yang

bersambung.

206
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
207
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
208
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
154

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat kelima yakni Yahya ibn Bukair dapat dilihat dari ta`dil

yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu atsbat

al-nâs, ahfadz, tsiqah, dan shadûq. Tingkatan lafazh atsbat al-nâs

dan ahfadz merupakan tingkatan yang pertama karena merupakan

lafazh tafdhil (kata “paling”). Kemudian lafazh tsiqah merupakan

tingkatan yang ketiga. Yang terakhir yakni lafazh shadûq merupakan

tingkatan yang keempat. Pada ulama kritikus hadis dalam

memberikan ta`dil kepada Yahya ibn Bukair sangat moderat

(mutawasith), karena ta`dil para kritikus tersebut disertakan dengan

keterangan yang jelas.

Walaupun demikian, dalam tabel ada sebagian para kritikus

yang memberikan ketercelaan kepada Yahya ibn Bukair, di

antaranya yaitu dho’if, dan laisa bi tsiqah. Dalam jarh tersebut, al-

Nasâ‟i yang merupakan ulama mutasyaddid untuk menilai ke-tsiqah-

an hadis mengatakan dha`if, akan tetapi di kesempatan lain

mengatakan laisa bi tsiqah. Namun demikian, lafazh dha`if yang

diberikan kepada Yahya ibn Bukair berada di tingkat terakhir yakni

tingkat kelima, sedang lafazh laisa bi tsiqah berada di tingkat ketiga.

Oleh karena itu, jarh ini tidak mencederakan ta`dil yang

berperingkat tinggi yakni peringkat pertama. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa Yahya ibn Bukair termasuk periwayat `âdil dan

dhâbith.
155

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Yahya ibn

Bukair dengan al-Laits ibn Sa`ad, dalam tabel disebutkan bahwa

Yahya ibn Bukair meninggal pada bulan Shafar pada tahun 231 H.,

sedangkan al-Laits lahir pada tahun 94 H., dan meninggal pada hari

jum`at pertengahan bulan Sya`ban tahun 175 H. Selisih antara

meninggal Yahya dengan al-Laits yakni 56 tahun. Dengan demikian

antara Yahya dengan al-Laits merupakan hidup dalam waktu

sezaman dan terjadi hubungan guru dan murid antara mereka berdua

(Yahya dengan al-Laits). Adapun mengenai lambang periwayatan

yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu menggunakan

lambang periwayatan ‫ دذصٕب‬yang merupakan bagian dari lambang

periwayatan al-sima`. 209 Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis

dengan cara al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling

kuat dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi.210 Dilihat dari pribadi

Yahya ibn Bukair yang merupakan pribadi yang `âdil dan dhâbith,

terjadi hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan ‫دذصٕب‬,

maka ketersambungan sanad antara Yahya ibn Bukair dengan al-

Laits merupakan sanad yang bersambung.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat kelima yakni al-Bukhârî dapat dilihat dari ta`dil yang

diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu pandai

dalam hadis serta lebih teliti dalam hadis, baik dalam menghafal
209
Shubhi Shalih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
210
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
156

hadis serta paham betul hadis tersebut, tidak ada seorang yang

seperti Muhammad bin Ismâ`îl bin Ibrâhîm, hâfizh, orang yang

paling faqih, orang yang paling mengetahui tentang hadis. Lafazh

ta`dil orang yang paling mengetahui tentang hadis dan lafazh ta`dil

tidak ada seorang yang seperti Muhammad bin Ismâ`îl bin Ibrâhîm

merupakan tingkatan pertama dalam tingkatan ta`dil, lafazh hâfizh

merupakan tingkatan kedua, lafazh ta`dil baik dalam menghafal

hadis serta paham betul hadis tersebut merupakan tingkatan yang

ketiga, sedangkan lafazh ta`dil pandai dalam hadis serta lebih teliti

dalam hadis merupakan tingkatan yang keempat. Pendapat para

kritikus tersebut bersifat mutawasith, karena tidak terlalu

memudahkan dan tidak terlalu ketat serta dengan keterangan-

keterangan yang jelas.

Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada sebagian para

kritikus yang memberikan ketercelaan kepada al-Bukhârî, di

antaranya yaitu al-Bukhârî mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk

maka diingkarilah pendapat tersebut dari ulama-ulama Khurasan,

maka diapun kabur dan meninggal dalam keadaan ketakutan. Jarh

atau ketercelaan ini tidak termasuk dalam tingkatan-tingkatan jarh

yang dapat merusak syarat sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith.

Pendapat para kritikus tersebut bersifat mutasahhil, karena

memberikan jarh tanpa keterangan-keterangan yang jelas. Dilihat

dari ta`dil al-Bukhârî yang berperingkat tinggi yakni pertama, kedua,


157

ketiga dan keempat serta jarh yang tidak disertai dengan keterangan

yang jelas (tidak mufassar), maka dapat dikatakan bahwa al-Bukhârî

termasuk orang yang periwayat yang `âdil dan dhâbith dalam

periwayatan hadis.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara al-Bukhârî

dengan Yahya ibn Bukair, dalam tabel telah disebutkan bahwa al-

Bukhârî lahir pada bulan Syawal tahun 194 H., dan meninggal pada

hari Sabtu pada bulan Syawal tahun 256 H. Sedangkan Yahya ibn

Bukair meninggal pada bulan Shafar pada tahun 231 H. Selisih

antara kematian al-Bukhârî dengan Yahya ibn Bukair yaitu 25 tahun.

Dengan demikian, antara al-Bukhârî dengan Yahya ibn Bukair

merupakan sezaman dan terjadi hubungan guru dan murid dalam

periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan yang digunakan

dalam periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang

periwayatan ‫ دذصٕب‬yang merupakan bagian dari lambang periwayatan

al-sima`.211 Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-

sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam

cara-cara penerimaan hadis Nabi.212 Dilihat dari pribadi al-Bukhârî

yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith, kemudian adanya

hubungan guru dan murid antara al-Bukhârî dengan Yahya ibn

Bukair, serta lambang periwayatan ‫دذصٕب‬, maka dapat dikatakan

211
Shubhi Shalih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa Azami, Memahami Hadis, h. 37.
212
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
158

bahwa hubungan sanad antara al-Bukhâri dengan Yahya ibn

`Abdullâh ibn Bukair merupakan sanad yang bersambung.

Setelah dilakukan penelitian sanad dari periwayat pertama

Abû Hurairah sampai dengan periwayat keenam al-Bukhârî di atas,

dapat disimpulkan bahwa rangkaian sanad riwayat al-Bukhârî

merupakan sanad-sanad yang bersambung dengan adanya hubungan

guru dan murid serta dari pribadi para periwayat dari periwayat

pertama yakni Abû Hurairah hingga periwayat terakhir yakni al-

Bukhârî merupakan para periwayat yang `âdil dan dhâbith.

Selanjutnya, setelah penulis melakukan proses al-i`tibar

seluruh sanad tentang hadis akibat meninggalkan hutang di atas dan

juga dengan adanya ketersambungan rangkaian sanad riwayat al-

Bukhârî, sanad-sanad hadis tersebut juga merupakan rangkaian

sanad yang terbebas dari syâdz dan `illat. Hal ini dapat dibuktikan

dengan hal-hal berikut:

a) Para periwayat tersebut merupakan para periwayat yang `âdil

dan dhâbith dan memiliki ketersambungan sanad dari periwayat

pertama yaitu Abû Hurairah sampai dengan periwayat yang

keenam yakni al-Bukhârî.

b) Seluruh rangkaian sanad di atas merupakan rangkaian sanad

yang memiliki muttabi`, walaupun tanpa syâhid.

Dilihat dari penelitian sanad periwayat pertama sampai

dengan periwayat keenam di atas, sanad riwayat al-Bukhârî


159

merupakan rangkaian sanad yang bersambung dengan adanya

hubungan guru dan murid kemudian dari pribadi para periwayat dari

periwayat pertama yakni Abû Hurairah hingga periwayat terakhir

yakni al-Bukhârî merupakan para periwayat yang `âdil dan dhâbith

serta tidak ada `illat dan syâdz dalam rangkaian sanad tersebut, maka

rangkaian sanad dalam riwayat al-Bukhârî merupakan rangkaian

sanad yang memenuhi kaedah keshahihan sebuah sanad hadis.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rangkaian sanad riwayat

al-Bukhârî merupakan rangkaian sanad yang berkualitas shahih.

b. Sanad Hadis Dalam Riwayat Muslim

Untuk mempermudah dalam menganalisa kualitas

keshahihan sanad hadis yang terdapat dalam hadis riwayat Muslim

sesuai dengan kaedah keshahihan sebuah sanad hadis, maka kami

membuat sebuah tabel seluruh periwayat Muslim sebagai berikut:

Nama Ada atau Tahun Hubungan Lamba- Lambang


Periwayat tidaknya kelahiran guru dan ng periwayatan
Syâhid atau murid periwa- hadis
dan mening- yatan
Tâbi` gal hadis

Abû sda sda sda sda sda


Hurairah

Abû sda` sda sda sda sda


Salamah
160

Ibnu sda sda sda sda sda


Syihâb al-
Zuhrî

Yûnus al- Ada satu Mening- Tidak ada َْٓ ‫ ع‬Lafazh ta`dil:
Ailî tâbi` gal pada hubungan atsbat 2X,
yakni tahun guru dan tsiqah 3X,
`Uqail 159 H. murid shâlih al-
antara hadits, `alim,
Yûnus al- lâ ba’sa bihi,
Ailî dan shadûq.
dengan
Lafazh jarh: di
Ibnu
dalam hadis
Syihâb al-
Yûnus ibn
Zuhrî
Yazîd banyak
yang mungkar
berasal dari al-
Zuhrî,
mempermudah
dalam hadis,
dan hafalannya
tidak begitu
bagus.

`Abdullâh Ada dua Lahir Ada ِٝٔ‫ اَ ْخجَ َش‬Lafazh ta`dil:


ibn Wahab tâbi` pada hubungan tsiqah, atsbat,
yakni al- bulan guru dan hafizh, dan
Laits ibn Dzulqa`- murid lebih faqih.
Sa`ad dah antara
Lafazh jarh:
dan Abû tahun `Abdullâh
tidak ada.
Shafwân 125 H. ibn Wahab
161

al- dan dengan


Umawiy- mening- Yûnus al-
yi gal pada Ailî
hari
Ahad
minggu
ke-4
bulan
Sya`ban
tahun
197 H.

Abû Ada dua Pergi Ada َْٓ ‫ ع‬Lafazh ta`dil:


Shafwân tâbi` bersama hubungan tsiqah, la
al- yakni al- ibunya guru dan ba’sa bihi, dan
Umawiyyi Laits ibn ke murid shadûq.
Sa`ad Mekkah antara Abû
Lafazh jarh:
dan ketika Shafwân
tidak ada.
`Abdullâ ayahnya al-
h ibn terbunuh Umawiyyi
Wahab yaitu dengan
pada Yûnus al-
tahun Ailî
132 H.
dan
mening-
gal
dalam
usia
sekitar
200
162

tahun.

Harmalah Ada lima Lahir Ada َِٕٝ‫ َد َّذص‬Lafazh ta`dil:


ibn Yahya tâbi` pada hubungan orang yang
yakni tahun guru dan paling
Yahya 156 H. murid mengetahui
ibn dan antara hadis dari Ibnu
Bukair, mening- Harmalah Wahab (a`lam
Zuhair gal pada ibn Yahya al-nâs),
ibn Harb, malam dengan menulis
Ahmad kamis `Abdullâh banyak hadis.
ibn yaitu ibn Wahab
Lafazh jarh:
`Umair malam
boleh ditulis
dan Ibnu ke-9
akan tetapi
al-Sarh bulan
tidak boleh
al-Mishrî Syawal
dijadikan
tahun
hujjah, dho`if.
243 H.

Zuhair ibn Ada lima Lahir Ada ‫ َد َّذصََٕب‬Lafazh jarh:


Harb tâbi` pada hubungan shadûq, atsbat,
yakni tahun guru dan (tsiqah,
Yahya 160 H. murid tsabat),
ibn dan antara (tsiqah,
Bukair, mening- Zuhair ibn ma’mûn),
Harmala gal pada Harb tsiqah, tsabat,
h ibn malam dengan hâfidz, dan
Yahya, kamis Abû mutqîn.
Ahmad tanggal 7 Shafwân
Lafazh jarh:
ibn Sya`ban al-
tidak ada.
`Umair tahun Umawiyyi
dan Ibnu 234 H.
163

al-Sarh pada
al-Mishrî masa
khalifah
Ja`far

Muslim Tidak Lahir Ada ‫ َد َّذصََٕب‬Lafazh ta`dil:


ibn al- ada tâbi` pada hubungan orang yang
Hajjâj karena tahun guru dan tsiqah, sampai-
seorang 204 H. murid sampai Abû
mukhar- dan antara Zar`ah dan
rij mening- Muslim Abû Hâtim
gal pada ibn al- menghadap
tanggal 5 Hajjâj kepada
Rajab dengan Muslim ibn al-
tahun Harmalah Hajjâj untuk
261 H. ibn Yahya mengetahui
dan Zuhair orang-orang
ibn Harb yang sahih atas
imam-imam
pada zaman
mereka berdua.

Lafazh jarh:
tidak ada.

Dari tabel di atas, penelitian tentang ketersambungan sanad

dari sanad pertama yakni Abû Hurairah hingga sanad ketiga yakni

Ibnu Syihâb al-Zuhrî telah dilakukan dalam penelitian sanad di

riwayat al-Bukhârî di atas. Hal ini karena sanad riwayat Muslim


164

dengan riwayat al-Bukhârî dari periwayat pertama hingga ketiga

sama dan tidak ada syâhid dan muttabi`.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat keempat yakni Yûnus al-Ailî dapat dilihat dari ta`dil

yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu

atsbat 2X, tsiqah 3X, shâlih al-hadits, `alim, lâ ba’sa bihi, dan

shadûq. Lafadz atsbat merupakan lafazh tingkatan pertama dalam

tingkatan ta`dil karena merupakan huruf tafdhil (kata “paling”).

Lafazh tsiqah merupakan lafazh tingkatan ketiga. Kemudian lafazh

lâ ba’sa bihi, dan shadûq merupakan lafazh tingkatan keempat.

Sedangkan lafazh shâlih al-hadits, `alim merupakan tingkatan yang

kelima. Dalam menilai pribadi para kritikus hadis bersifat

mutasyaddid, karena ada salah satu kritikus hadis yakni al-Nasâ`i

yang dikenal sebagai kritikus yang mutasyaddid dalam menilai ke-

tsiqah-an periwayat.

Walaupun demikian, dalam tabel di atas ada beberapa

kritikus yang memberi ketercelaan yang diberikan kepada beliau di

antaranya yaitu lafazh di dalam hadis Yûnus ibn Yazîd banyak

yang mungkar berasal dari al-Zuhrî, mempermudah dalam hadis,

dan hafalannya tidak begitu bagus. Lafazh jarh yakni “hadis Yûnus

ibn Yazîd banyak yang mungkar berasal dari al-Zuhrî” dan

“meriwayatkan banyak hadis yang mungkar” merupakan tingkatan

yang pertama dalam tingkatan jarh karena lafazh ini sama dengan
165

lafazh seorang pemalsu hadis ‫ضبع‬ٚ yang berada di tingkatan

pertama. Sedangkan lafazh “hafalannya tidak begitu bagus”

merupakan jarh yang berada dalam tingkatan kelima. Dalam

menilai jarh kepada Yûnus al-Ailî, para kritikus hadis sangat keras

(mutasyaddid), karena keterangan yang diberikan dengan alasan

yang jelas. Walaupun banyak ta`dil yang diberikan para kritikus

kepada Yûnus ibn Yazîd berperingkat tinggi yakni pertama, ketiga,

keempat dan kelima dalam tingkatan ta`dil, akan tetapi jarh yang

diberikan kepada beliau bersifat mencederakan periwayat yaitu

tingkatan pertama dalam tingkatan jarh dengan keterangan yang

jelas akan jarh tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

Yûnus ibn Yazîd bukan termasuk sebagai periwayat yang `âdil dan

dhâbith.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Yûnus ibn

Yazîd dengan Ibnu Syihâb al-Zuhrî, dalam tabel di atas disebutkan

bahwa Yûnus ibn Yazîd meninggal pada tahun 159 H., sedangkan

Ibnu Syihâb lahir pada tahun 50 H., ada juga yang berkata tahun 51

H. dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 125 H. dalam usia

72 tahun. Selisih tahun kematian antara Yûnus ibn Yazîd dengan

Ibnu Syihâb al-Zuhrî yaitu 34 tahun. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa keduanya merupakan hidup dalam satu zaman dan

telah terjadi hubungan guru dan murid. Mengenai lambang

periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu


166

menggunakan lambang periwayatan ٓ‫ ع‬yang menurut banyak

ulama bisa menyebabkan adanya tadlis dalam sanad atau bisa

menjadi terputusnya suatu sanad hadis.213 Lambang periwayatan ini

bisa menjadikan sanad sebuah hadis bersambung kalau periwayat

hadisnya merupakan orang yang tsiqah.214 Walaupun telah terjadi

hubungan guru dan murid antara Yûnus ibn Yazîd dengan Ibnu

Syihâb al-Zuhrî, akan tetapi dikarenakan Yûnus ibn Yazîd bukan

termasuk sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith, maka dapat

dikatakan hubungan sanad antara Yûnus al-Ailî dengan Ibnu

Syihâb al-Zuhrî merupakan sanad yang terputus atau tidak

bersambung.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat kelima yakni `Abdullâh ibn Wahab dan Abû Shafwân al-

Umawiyyi. Dalam sanad riwayat Muslim, sanad periwayat kelima

bercabang menjadi dua. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam

melakukan penilaian kedua sanad tersebut (`Abdullâh ibn Wahab

dan Abû Shafwân al-Umawiyyi), maka dilakukan satu-persatu.

Dalam menilai ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi periwayat

dapat `Abdullâh ibn Wahab dilihat dari ta`dil yang diberikan

kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah, atsbat,

hafizh, dan lebih faqih. Lafazh atsbat, lebih faqih merupakan

lafazh tingkatan pertama dalam tingkatan ta`dil karena

213
Ibid., h. 88.
214
Ibid., h. 83. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, h. 129.
167

menggunakan kata “paling” (tafdhil). Sedangkan lafazh tsiqah

merupakan lafazh dalam tingkatan ketiga. Pendapat para kritikus

tetang ta`dil beliau bersifat mutawasith karena tidak terlalu

memudahkan dan juga disertai dengan keterangan yang jelas. Tidak

ada di antara para kritikus yang memberikan jarh kepada `Abdullâh

ibn Wahab. Dilihat dari ta`dil yang berperingat tinggi yakni

tingkatan pertama dan ketiga serta tidak ada jarh beliau, maka

dapat dikatakan bahwa `Abdullâh ibn Wahab merupakan seorang

periwayat yang `âdil dan dhâbit.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara `Abdullâh

ibn Wahab dengan Yûnus al-Ailî, disebutkan dalam tabel bahwa

`Abdullâh ibn Wahab lahir pada bulan Dzulqa`dah tahun 125 H.

dan meninggal pada hari Ahad minggu ke-4 bulan Sya`ban tahun

197 H., sedangkan Yûnus ibn Yazîd meninggal pada tahun 159 H.

Selisih tahun meninggal keduanya yaitu 38 tahun. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan hidup dalam

satu zaman dan telah terjadi hubungan guru dan murid dalam

periwayatan hadis. Mengenai lambang periwayatan yang

digunakan dalam periwayatan sanad hadis ini yaitu menggunakan

lambang periwayatan ٝٔ‫ اخجش‬yang merupakan bagian dari lambang

periwayatan al-sima`. 215 Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis

dengan cara al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling

215
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
168

kuat dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi. 216 Dilihat dari

pribadi`Abdullâh ibn Wahab yang merupakan periwayat yang `âdil

dan dhâbit, adanya hubungan guru dan murid dalam periwayatan

hadis serta lambang periwayatan dengan ٝٔ‫اخجش‬, maka dapat

dikatakan bahwa hubungan sanad antara `Abdullâh ibn Wahab

dengan Yûnus al-Ailî merupakan sanad yang bersambung.

Setelah meneliti sanad periwayat `Abdullâh ibn Wahab

selanjutnya sanad periwayat Abû Sufwân al-Umawiyyi. Dalam

menilai ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi periwayat dapat Abû

Sufwân al-Umawiyyi dilihat dari ta`dil yang diberikan kritikus

kepada beliau dalam tabel di atas yaitu tsiqah, la ba’sa bihi, dan

shadûq. Lafazh tsiqah merupakan lafazh tingkatan ketiga.

Kemudian lafazh lâ ba’sa bihi, dan shadûq merupakan lafazh

tingkatan keempat. Penilaian para kritikus tentang ta`dil kepada

beliau bersifat mutasyaddid karena ada di antara para kritikus

tersebut yakni`Alî ibn al-Madînî yang merupakan salah satu ulama

yang dinilai mutasyaddid dalam menilai ke-tsiqah-an perawi.

Tidak ada di antara para kritikus yang memberikan celaan

kepada Abû Sufwân al-Umawiyyi. Dilihat dari tingginya tingkatan

ta`dil yang diberikan para kritikus tentang beliau dan juga dengan

tidak ada jarh kepada beliau, maka dapat dikatakan bahwa Abû

216
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
169

Sufwân al-Umawiyyi merupakan seorang periwayat yang `âdil dan

dhâbit dalam periwayatan hadis.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Abû

Sufwân al-Umawiyyi dengan Yûnus ibn Yazîd, dalam tabel

disebutkan bahwa Abû Sufwân al-Umawiyyi pergi bersama ibunya

ke Mekkah ketika ayahnya terbunuh yaitu pada tahun 132 H. dan

meninggal dalam usia sekitar 200 tahun. Sedangkan Yûnus ibn

Yazîd meninggal pada tahun 159 H. Dilihat dari data yang

demikian, dapat dikatakan bahwa keduanya hidup sezaman dan

telah terjadi hubungan guru dan murid dalam periwayatan hadis.

Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam

periwayatan sanad hadis ini yaitu menggunakan lambang

periwayatan ٓ‫ ع‬yang menurut banyak ulama bisa menyebabkan

adanya tadlis dalam sanad.217 Dengan demikian, dilihat dari pribadi

Abû Sufwân al-Umawiyyi yang merupakan periwayat yang `âdil

dan dhâbit dalam periwayatan hadis serta ada hubungan guru dan

murid antara beliau dengan Yûnus ibn Yazîd, maka dapat dikatakan

hubungan sanad antara Abû Sufwân al-Umawiyyi dengan Yûnus

ibn Yazîd al-Ailî merupakan sanad yang bersambung.

Dalam rangkaian sanad riwayat Muslim, sanad periwayat

keenam bercabang menjadi dua yaitu Harmalah ibn Yahya dan

Zuhair ibn Harb. Dalam melakukan penilaian ke-`âdil-an dan ke-

217
Ibid., h. 88.
170

dhâbith-an pribadi Harmalah ibn Yahya dapat dilihat dari ta`dil

yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu

orang yang paling mengetahui hadis dari Ibnu Wahab (a`lam al-

nâs), menulis banyak hadis. Lafazh “orang yang paling mengetahui

hadis dari Ibnu Wahab (a`lam al-nâs)” merupakan lafazh yang

menggunakan kata “paling” (tafdhil), dengan demikian lafazh ini

merupakan tingkatan yang pertama dalam tingkatan ta`dil.

Sedangkan lafazh “menulis banyak hadis” merupakan tingkatan

ta`dil yang kelima. Para kritikus dalam menilai ta`dil Harmalah

bersifat mutawasith karena tidak begitu keras dan disertai dengan

keterangan yang jelas.

Walaupun demikian, dalam tabel di atas disebutkan ada

sebagian para kritikus yang memberikan jarh kepada beliau di

antaranya yaitu boleh ditulis akan tetapi tidak boleh dijadikan

hujjah, dho`if. Kedua lafazh jarh tersebut merupakan jarh tingkatan

kelima, sehingga tidak dapat mencederakan ta`dil tentang

Harmalah. Pendapat kritikus hadis tentang jarh Harmalah bersifat

mutasahhil karena tanpa disertai dengan keterangan yang jelas.

Dilihat dari ta`dil para kritikus yang berperingkat tinggi yakni

tingkat pertama dan kelima serta jarh yang berperingkat kelima dan

tanpa keterangan yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa

Harmalah merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit.


171

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Harmalah

ibn Yahya dengan `Abdullâh ibn Wahab, dalam tabel di atas

disebutkan bahwa Harmalah ibn Yahya lahir pada tahun 156 H. dan

meninggal pada malam kamis yaitu malam ke-9 bulan Syawal

tahun 243 H., sedangkan `Abdullâh ibn Wahab lahir pada bulan

Dzulqa`dah tahun 125 H. dan meninggal pada hari Ahad minggu

ke-4 bulan Sya`ban tahun 197 H. Selisih tahun meninggal antar

keduanya yaitu 46 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

keduanya hidup sezaman dan terjadi hubungan guru dan murid.

Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam

periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang periwayatan

ٕٝ‫ دذص‬yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-

sima`.218 Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-

sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam

cara-cara penerimaan hadis Nabi.219 Dilihat dari pribadi Harmalah

ibn Yahya yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit,

kemudian ada hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan

ٕٝ‫دذص‬, maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad antara

Harmalah ibn Yahya dengan `Abdullâh ibn Wahab merupakan

sanad yang bersambung.

Selanjutnya penilaian sanad periwayat yang keenam lainnya

yakni Zuhair ibn Harb. Dalam menilai ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-


218
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
219
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
172

an pribadi periwayat Zuhair ibn Harb dapat dilihat dari ta`dil yang

diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu shadûq,

atsbat, (tsiqah, tsabat), (tsiqah, ma’mûn), tsiqah, tsabat, hâfidz,

dan mutqîn. Lafazh atsbat merupakan lafazh tingkat pertama dalam

tingkatan ta`dil karena menggunakan kata “paling” (tafdhil).

Lafazh (tsiqah, tsabat), dan (tsiqah, ma’mûn) merupakan lafazh

kedua dalam tingkatan ta`dil karena dalam tingkatan kedua ini

menggunakan kata-kata yang diulang-ulang (ta`kîd). Lafazh tsiqah,

hâfidz, dan tsabat merupakan lafazh tingkat ketiga. Sedangkan

lafazh shadûq dan mutqîn merupakan tingkatan yang keempat

dalam tingkatan ta`dil.

Para kritikus tidak ada yang memberikan jarh kepada

Zuhair ibn Harb. Dilihat dari ta`dil para kritikus kepada Zuhair ibn

Harb yang berperingkat tinggi yakni pertama, kedua, ketiga dan

keempat serta dengan tidak ada jarh dari para kritikus, Dengan

demikian Zuhair ibn Harb dapat dikatakan sebagai periwayat yang

`âdil dan dhâbit.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Zuhair ibn

Harb dengan `Abdullâh ibn Wahab, dalam tabel di atas telah

disebutkan bahwa Zuhair ibn Harb lahir pada tahun 156 H. dan

meninggal pada malam kamis yaitu malam ke-9 bulan Syawal

tahun 243 H. Sedangkan Abû Sufwân al-Umawiyyi pergi bersama

ibunya ke Mekkah ketika ayahnya terbunuh yaitu pada tahun 132


173

H. dan meninggal dalam usia sekitar 200 tahun. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa keduanya hidup sezaman dan keduanya

terjadi hubungan guru dan murid dalam periwayatan hadis.

Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam

periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang periwayatan

‫ دذصٕب‬yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-sima`.220

Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-sima`

merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara

penerimaan hadis Nabi. 221 Dilihat dari pribadi Zuhair ibn Harb

yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit, kemudian ada

hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan dengan lafazh

‫دذصٕب‬, maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad antara Zuhair

ibn Harb dengan Abû Sufwân al-Umawiyyi merupakan sanad yang

bersambung.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat ketujuh yakni Muslim ibn al-Hajjâj dapat dilihat dari

ta`dil yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas

yaitu orang yang tsiqah, sampai-sampai Abû Zar`ah dan Abû

Hâtim menghadap kepada Muslim ibn al-Hajjâj untuk mengetahui

orang-orang yang sahih atas imam-imam pada zaman mereka

berdua. Lafazh tsiqah merupakan tingkatan ketiga dalam tingkatan

ta`dil, sedangkan lafazh-lafazh ta`dil lainnya walaupun kebanyakan


220
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
221
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
174

tidak memakai lafazh-lafazh yang terdapat dalam tingkatan ta`dil,

namun dilihat dari keterangan para kritikus tersebut tingkatan ta`dil

para kritikus mempunyai tingkatan yang pertama. Pendapat para

kritikus tentang ta`dil Muslim ibn al-Hajjâj bersifat mutawasith

dengan keterangan yang sangat jelas.

Tidak ada di antara para ulama yang memberikan jarh

kepada Muslim ibn al-Hajjâj. Dilihat dari ta`dil para kritikus yang

berperingkat tinggi yakni pertama serta dengan tidak adanya jarh

yang diberikan, maka dapat dikatakan bahwa Muslim ibn al-Hajjâj

merupakan seorang periwayat yang `âdil dan dhâbit.

Mengenai ketersambungan sanad antara Muslim ibn al-

Hajjâj dengan Zuhair ibn Harb dan Harmalah ibn Yahya, dalam

tabel di atas disebutkan bahwa Muslim ibn al-Hajjâj lahir pada

tahun 204 H. dan meninggal pada tanggal 5 Rajab tahun 261 H.

Adapun Zuhair ibn Harb lahir pada tahun 160 H. dan meninggal

pada malam kamis tanggal 7 Sya`ban tahun 234 H. pada masa

khalifah Ja`far, sedangkan Harmalah ibn Yahya lahir pada tahun

156 H. dan meninggal pada malam kamis yaitu malam ke-9 bulan

Syawal tahun 243 H. Selisih tahun meninggal antara Muslim

dengan Zuhair yakni 27 tahun, sedangkan Muslin dengan Harmalah

yakni 18 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara

Muslim dengan Zuhair dan Harmalah hidup sezaman dan telah

terjadi hubungan guru dan murid. Mengenai lambang periwayatan


175

yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu menggunakan

lambang periwayatan ‫ دذصٕب‬yang merupakan bagian dari lambang

periwayatan al-sima`. 222 Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis

dengan cara al-sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling

kuat dalam cara-cara penerimaan hadis Nabi.223 Dilihat dari pribadi

Muslim yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbit,

kemudian ada hubungan guru dan murid serta lambang periwayatan

dengan ‫دذصٕب‬, maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad antara

Muslim dengan Zuhair ibn Harb dan Harmalah ibn Yahya

merupakan sanad yang bersambung.

Dari hasil penelitian rangkaian sanad riwayat Muslim dari

periwayat pertama yakni Abû Hurairah sampai periwayat ketujuh

yakni Muslim ibn al-Hajjâj di atas, terdapat sanad yang riwayatnya

tidak bersambung yaitu Yûnus ibn Yazîd al-Ailî dengan jarh yang

diberikan kepada beliau yaitu “meriwayatkan banyak hadis yang

mungkar”. Jarh ini merupakan tingkatan yang pertama dalam

tingkatan jarh karena lafazh ini sama dengan lafazh seorang

pemalsu hadis ‫ضبع‬ٚ yang berada di tingkatan pertama. Dengan

demikian sanad hadis riwayat Muslim ibn al-Hajjâj merupakan

sanad yang terputus.

Dengan adanya sanad yang terputus, maka dapat dikatakan

bahwa rangkaian sanad riwayat Muslim ibn al-Hajjâj merupakan


222
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa Azami, Memahami Hadis, h. 37.
223
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
176

rangkaian sanad yang terdapat `illat yakni terputusnya sanad Yûnus

ibn Yazîd al-Ailî dalam rangkaian sanad tersebut. Walaupun dari

segi syâdz, rangkaian sanad hadis Muslim ini merupakan rangkaian

yang terbebas dari syâdz karena terdapat muttabi` di dalam jalur

rangkaian sanadnya. Dengan demikian dilihat dari rangkaian sanad

periwayat pertama hingga ketujuh terdapat sanad yang terputus,

kemudian terdapat `illat di dalam rangkaian sanadnya, maka dapat

dikatakan bahwa rangkaian sanad riwayat Muslim merupakan

rangkaian sanad yang dho`if.

c. Sanad Hadis Dalam Riwayat al-Tirmidzî

Untuk mempermudah dalam menganalisa kualitas

keshahihan sanad hadis yang terdapat dalam hadis riwayat al-

Tirmidzî sesuai dengan kaedah keshahihan sebuah sanad hadis,

maka kami membuat tabel seluruh periwayat al-Tirmidzî sebagai

berikut:

Nama Ada atau Tahun Hubunga Lamba Lafazh jarh dan


Periwayat tidaknya kelahiran n guru ng ta`dil
Syâhid atau dan periway
dan meninggal murid atan
Tâbi` hadis

Abû sda sda sda sda sda


Hurairah

Abû sda` sda sda sda sda


177

Salamah

Ibnu sda sda sda sda sda


Syihâb al-
Zuhrî

`Uqail sda sda sda sda sda

Al-Laits sda sda sda sda sda


ibn Sa`ad

`Abdullâh Ada lima Ayahnya Ada َِٕٝ‫ َد َّذص‬Lafazh ta`dil:


ibn Shâlih tâbi` meninggal hubunga tidak pernah
yakni pada tahun n guru diketahui orang
Yahya 132 H. dan yang lebih
ibn murid mengetahui
Bukair, antara hadis riwayat al-
Zuhair Abû Laits kecuali
ibn Harb, Shafwân Abû Shâlih,
Harmala al- (tsiqah,
h ibn Umawiy ma’mun), orang
Yahya, yi yang baik
Ahmad dengan hadisnya, tidak
ibn Yûnus pernah diketahui
`Umair al-Ailî orang yang lebih
dan Ibnu mengetahui
al-Sarh hadis riwayat al-
al-Mishrî Laits kecuali
Abû Shâlih,
orang yang
shalih, hadis-
178

hadis yang
diriwayatkan
Abû Shâlih di
akhir hidupnya
banyak yang
mengatakan
mungkar.

Lafazh jarh:
pribadi beliau
adalah orang
yang shadûq
akan tetapi
hadisnya banyak
yang mungkar,
berbohong
dalam hadis,
orang yang
diragukan dan
dia bukanlah
siapa-siapa,
bukan orang
yang tsiqah.

Maktûm Tidak Tidak ada Tidak َِٕٝ‫ َد َّذص‬Tidak ada


ibn al- ada tâbi` keterangan ada keterangan yang
`Abbâs hubunga jelas tentang
n guru ta`dil dan jarh
dan dari pribadi
murid Maktûm ibn al-
antara `Abbâs
Maktûm
179

ibn al-
`Abbâs
dengan
`Abdullâ
h ibn
Shâlih

Al- Tidak Meninggal Ada َِٕٝ‫ َد َّذص‬Lafazh ta`dil:


Tirmidzî ada tâbi` pada bulan hubunga seorang yang
karena Rajab tahun n guru alim, mutqin,
seorang 279 H. dan tsiqah, dan
mukharri murid seorang hafizh.
j antara al-
Lafazh jarh:
Tirmidzî
tidak ada.
dengan
Maktûm
ibn al-
`Abbâs

Dari tabel di atas, penelitian tentang ketersambungan sanad

dari sanad pertama yakni Abû Hurairah hingga sanad kelima yakni

al-Laits ibn Sa`ad telah dilakukan dalam penelitian sanad di

riwayat al-Bukhârî di atas. Hal ini karena rangkaian sanad riwayat

al-Tirmidzî dari periwayat pertama hingga kelima sama dengan

rangkaian sanad riwayat al-Bukhârî.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat keenam yakni `Abdullâh ibn Shâlih dapat dilihat dari

ta`dil yang diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas


180

yaitu tidak pernah diketahui orang yang lebih mengetahui hadis

riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih, (tsiqah, ma’mun), orang yang

baik hadisnya, tidak pernah diketahui orang yang lebih mengetahui

hadis riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih, hadis-hadis yang

diriwayatkan Abû Shâlih di akhir hidupnya banyak yang

mengatakan mungkar. Lafazh ta`dil “tidak pernah diketahui orang

yang lebih mengetahui hadis riwayat al-Laits kecuali Abû Shâlih”

merupakan tingkatan pertama dalam ta`dil karena mengandung

kata paling yaitu “paling mengetahui”. Lafazh (tsiqah, ma’mun)

merupakan tingkatan kedua dalam tingkatan ta`dil. Lafazh ta`dil

“orang yang baik hadisnya” merupakan tingkatan kelima dalam

tingkatan ta`dil. Lafazh ta`dil “hadis-hadis yang diriwayatkan Abû

Shâlih di akhir hidupnya banyak yang mengatakan mungkar”

merupakan tingkatan kelima dalam tingkatan ta`dil. Penilaian para

kritikus hadis tentang ta`dil Abû Shâlih bersifat mutawasith dalam

menilai ta`dil-nya karena disertai dengan keterangan yang jelas.

Walaupun demikian, dalam tabel di atas disebutkan

sebagian para kritikus yang memberikan jarh kepada Abû Shâlih di

antaranya yaitu pribadi beliau adalah orang yang shadûq akan

tetapi hadisnya banyak yang mungkar, orang yang diragukan dan

dia bukanlah siapa-siapa, bukan orang yang tsiqah. Lafazh jarh

yakni “pribadi beliau adalah orang yang shadûq akan tetapi

hadisnya banyak yang mungkar” merupakan jarh yang kurang


181

penjelasan kapan terjadi kemungkaran hadisnya, karena Abû Hatim

berkata bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan Abû Shâlih di akhir

hidupnya banyak yang mengatakan mungkar, sedangkan lafazh

“orang yang diragukan” dan “dia bukanlah siapa-siapa” merupakan

tingkatan jarh yang keempat. Adapun lafazh “bukan orang yang

tsiqah” merupakan tingkatan ketiga dalam tingkatan tajrih.

Pendapat kritikus tentang tajrih Abû Shâlih bersifat mutasahhil

karena tanpa disertai keterangan yang jelas, walaupun ada kritikus

hadis yang dianggap mutasyaddid dalam menilai ketsiqahan yakni

al-Nasâ‟i. Dilihat tajrih tentang pribadi Abû Shâlih yang kurang

disertai keterangan yang jelas, akan tetapi hanya pada tingkatan

tiga dan empat. Dengan demikian jarh tersebut tidak mencederakan

ta`dil yang berperingkat pertama dan kedua. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa `Abdullâh ibn Shâlih merupakan periwayat yang

`âdil dan dhâbith.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara `Abdullâh

ibn Shâlih dengan al-Laits, disebutkan dalam tabel bahwa

`Abdullâh ibn Shâlih dinyatakan ayahnya meninggal pada tahun

132 H., sedangkan al-Laits lahir pada tahun 94 H., dan meninggal

pada hari jum`at pertengahan bulan Sya`ban tahun 175 H. Dari

keterangan tersebut dapat kita katakan bahwa ada hubungan guru

dan murid antara `Abdullâh ibn Shâlih dengan al-Laits. Mengenai

lambang periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini


182

yaitu ٕٝ‫ دذص‬yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-

sima`.224 Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-

sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam

cara-cara penerimaan hadis Nabi.225 Dilihat dari pribadi `Abdullâh

ibn Shâlih yang merupakan periwayat yang `âdil dan dhâbith,

kemudian ada hubungan guru dan murid, serta lambang

periwayatan ٕٝ‫دذص‬, maka dapat dikatakan bahwa hubungan sanad

antara `Abdullâh ibn Shâlih dengan al-Laits dapat dikatakan

bersambung.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat ketujuh yakni Maktûm ibn `Abbâs. Dari tabel di atas,

tidak ada keterangan yang jelas tentang pribadi Maktûm ibn `Abbâs

dari segi ta`dil dan jarh. Hal ini dimungkinkan beliau merupakan

bukan orang yang tidak dikenal. Dalam syarat `âdil dan dhâbith,

orang yang tidak dikenal dalam periwayatan hadis menjadikan

seorang periwayat tersebut menjadi cacat. Dengan demikian

Maktûm ibn `Abbâs merupakan periwayat yang tidak mempunyai

kriteria sebagai periwayat yang `âdil dan dhâbith, sehingga

Maktûm ibn `Abbâs merupakan bukan periwayat yang `âdil dan

dhâbith.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara Maktûm

ibn `Abbâs dengan `Abdullâh ibn Shâlih disebutkan dalam tabel


224
Shubhi Shalih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa Azami, Memahami Hadis, h. 37.
225
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
183

bahwa tidak ada keterangan yang jelas tentang tanggal kelahiran

dan kematian beliau, sehingga dapat dikatakan tidak ada hubungan

guru dan murid antara Maktûm ibn `Abbâs dengan `Abdullâh ibn

Shâlih. Mengenai lambang periwayatan yang digunakan dalam

periwayatan hadis ini yaitu menggunakan lambang periwayatan

ٕٝ‫ دذص‬yang merupakan bagian dari lambang periwayatan al-

sima`.226 Menurut Ibnu Shalah, penerimaan hadis dengan cara al-

sima` merupakan yang paling tinggi dan juga paling kuat dalam

cara-cara penerimaan hadis Nabi. 227 Walaupun metode itu diakui

oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi, akan tetapi

karena dilihat dari pribadi beliau yang merupakan bukan periwayat

yang `âdil dan dhâbith, serta tidak ada hubungan guru dan murid,

maka dapat dikatakan bahwa ketersambungan sanad antara

Maktûm ibn `Abbâs dengan `Abdullâh ibn Shâlih merupakan sanad

yang terputus.

Selanjutnya penilaian ke-`âdil-an dan ke-dhâbith-an pribadi

periwayat kedelapan yakni al-Tirmidzî dapat dilihat dari ta`dil yang

diberikan kritikus kepada beliau dalam tabel di atas yaitu seorang

yang alim, mutqin, tsiqah, seorang hafizh. Lafazh ta`dil seorang

hafizh merupakan tingkatan yang kedua dalam tingkatan ta`dil.

Lafazh ta`dil yakni mutqin, dan tsiqah merupakan tingkatan yang

ketiga. Sedangkan lafazh seorang yang `alim merupakan tingkatan


226
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
227
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
184

kelima dalam tingkatan ta`dil. Pendapat kritikus tentang ta`dil al-

Tirmidzî bersifat mutawassith dengan keterangan yang jelas.

Tidak ada di antara para ulama yang memberikan jarh

kepada al-Tirmidzî. Dilihat dari ta`dil para kritikus yang

berperingkat tinggi yakni kedua, ketiga dan kelima serta tidak jarh

yang diberikan kepada beliau, maka dapat dikatakan bahwa al-

Tirmidzî merupakan seorang periwayat yang `âdil dan dhâbit.

Adapun mengenai ketersambungan sanad antara al-

Tirmidzî dengan Maktûm ibn `Abbâs, dapat dilihat dari nama guru

dan murid. Walaupun ketika dilihat dari tahun kelahiran dan

meninggal tidak ada keterangan yang jelas. Mengenai lambang

periwayatan yang digunakan dalam periwayatan hadis ini yaitu

menggunakan lambang periwayatan ٕٝ‫ دذص‬yang merupakan bagian


228
dari lambang periwayatan al-sima`. Menurut Ibnu Shalah,

penerimaan hadis dengan cara al-sima` merupakan yang paling

tinggi dan juga paling kuat dalam cara-cara penerimaan hadis

Nabi. 229 Dengan demikian hubungan sanad antara al-Tirmidzî

dengan Harmalah ibn Yahya dan Maktûm ibn `Abbâs merupakan

sanad yang bersambung.

Setelah dilakukan penelitian kashahihan sanad dalam

rangkaian sanad riwayat al-Tirmidzî di atas, terdapat sanad yang

riwayatnya tidak bersambung yaitu Maktûm ibn `Abbâs. Hal ini


228
Shubhi Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu, h. 90. Lihat Mundzier Suparta,
Ilmu Hadis, h. 198-199. Lihat Mushthafa `Azamî, Memahami Hadis, h. 37.
229
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 88.
185

karena merupakan periwayat yang tidak dikenal dalam periwayatan

hadis. Dengan demikian rangkaian sanad dalam riwayat al-Tirmidzî

merupakan sanad yang terputus.

Dengan adanya sanad yang terputus, maka dapat dikatakan

bahwa rangkaian sanad riwayat al-Tirmidzî merupakan rangkaian

sanad yang terdapat `illat yakni terputusnya sanad Maktûm ibn

`Abbâs dalam rangkaian sanad tersebut. Walaupun dari segi syâdz,

rangkaian sanad hadis al-Tirmidzî ini merupakan rangkaian yang

terbebas dari syâdz karena terdapat muttabi` di dalam jalur

rangkaian sanadnya. Dengan demikian dilihat dari rangkaian sanad

periwayat pertama hingga kedelapan terdapat sanad yang terputus,

kemudian terdapat `illat di dalam rangkaian sanadnya, maka dapat

dikatakan bahwa rangkaian sanad riwayat al-Tirmidzî merupakan

rangkaian sanad yang dho`if.

2. Kualitas Keshahihan Matan Hadis

Hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia ini

diriwayatkan oleh banyak mukharrarij yaitu: al-Bukhârî dalam kitab


230
Shahîh al-Bukhârî dalam bab nafaqah dan bab hutang, 231 Muslim

dalam kitab Shahîh Muslim dalam bab barang siapa yang meninggalkan

230
Lihat Abû Abdullâh Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, j. 5, h.
536.
231
Ibid., j. 3, h. 84.
186

harta maka untuk ahli warisnya,232 Imam al-Tirmidzî dalam kitab Sunan

al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi pada orang

yang berhutang, 233 dan Imam Ibnu Mâjah dalam kitab Sunan Ibnu

Mâjah dalam bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau barang

maka atas Allah dan Rasul-Nya.234

Dari seluruh matan tentang hadis akibat meninggalkan hutang di

dunia, terdapat perbedaan lafazh matan hadis. Di antara perbedaan

َ ‫ًَْ٘ رَ َش‬
lafazh tersebut yaitu dalam riwayat al-Bukhârî dengan lafazh ِٗ ِٕ٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬

‫فَضْ اال ؟‬, dalam riwayat Muslim dengan lafazh ‫ضب ٍء ؟‬


َ َ‫ِٕ ِٗ ِِ ْٓ ل‬٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬
َ ‫ًَْ٘ ر ََش‬,

dalam riwayat al-Tirmidzî dengan lafazh ‫ِٕ ِٗ ِِ ْٓ فَضْ ًٍ ؟‬٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬


َ ‫ًَْ٘ ر ََش‬. Untuk

meneliti perbedaan lafazh matan tersebut, maka kami menggunakan

metode perbandingan (muqaranah) antar lafazh matan yang berbeda

tersebut. Perbedaan lafazh matan hadis tersebut terjadi dalam sanad

periwayat `Uqail dan Yûnus al-Ailî, karena kedua periwayat ini

merupakan periwayat yang meriwayatkan hadis dari Ibnu Syihâb al-

Zuhrî. Adapun dari periwayatan Ibnu Syihâb al-Zuhrî sampai kepada

Abû Hurairah sangat kecil kemungkinan terjadi perbedaan lafazh,

karena merupakan satu jalur periwayatan.

Bukti bahwa perbedaan lafazh matan hadis tersebut terjadi

dalam kedua periwayat (`Uqail dan Yûnus al-Ailî) yaitu apabila jika

232
Lihat Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1992), h. 58.
233
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh), j. 2, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 266.
234
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, (Indonesia:
Dahlan, t.th.), h. 807.
187

diamati dengan seksama, bahwa periwayat `Uqail merupakan periwayat

yang terdapat dalam sanad al-Bukhârî dan al-Tirmidzî, sedangkan

periwayat Yûnus al-Ailî merupakan periwayat yang terdapat dalam

riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhârî, lafazh matan yang terjadi

perbedaan yaitu ‫ِٕ ِٗ فَضْ اال‬٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬


َ ‫ًَْ٘ رَ َش‬, begitu juga dalam riwayat al-Tirmidzî

yaitu ًٍ ْ‫ِٕ ِٗ ِِ ْٓ فَض‬٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬


َ ‫ًَْ٘ ر ََش‬. Kedua lafazh tersebut secara spesifik

merupakan lafazh yang sama mirip. Sedangkan dalam riwayat Muslim,

َ َ‫ِٕ ِٗ ِِ ْٓ ل‬٠ْ ‫ن ٌِ َذ‬


lafazh yang terjadi perbedaan yaitu ‫ضب ٍء‬ َ ‫ًَْ٘ ر ََش‬. Antara lafazh

dalam riwayat Muslim dengan lafazh riwayat al-Bukhârî dan al-

َ َ‫ل‬
Tirmidzî jelas berbeda, karena Muslim menggunakan lafazh ‫ضب ٍء‬

sedangkan al-Bukhârî dan al-Tirmidzî menggunakan lafazh ًٍ ْ‫فَض‬.

Dengan demikian, perbedaan lafazh matan tersebut terjadi dalam

periwayat `Uqail dan Yûnus al-Ailî. Walaupun terjadi perbedaan lafazh

matan hadis, akan tetapi perbedaan ini tidak menimbulkan ziyadah atau

idraj dan juga matan hadis tersebut bukanlah matan yang bersifat

ta`abbudi (berupa bacaan ibadah). Dengan demikian perbedaan lafazh

dalam matan hadis tersebut dapatlah ditoleransi, karena hadis ini

memang diriwayatkan dengan makna.

Selain hadis ini diriwayatkan dengan makna yang dapat

ditoleransi, matan hadis ini adalah matan hadis yang terbebas dari syadz

dan `illat. Di antara bukti bahwa hadis ini terbebas dari syadz antara

lain:
188

- Hadis ini diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya

tidak bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak

periwayat tsiqah yang lainnya.

- Hadis ini diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang-orang

tsiqah lainnya juga ikut meriwayatkan hadis tersebut.

- Hadis ini sanadnya lebih satu buah sanad.235

Di samping terbebas dari syadz, hadis tersebut juga terbebas dari `illat.

Di antara buktinya yaitu:

- Hadis ini memiliki muttabi`, sehingga bukan merupakan hadis yang

gharîb.

- Hadis ini diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah.236

Selain terbebas dari syâd dan `illat, matan hadis ini tidak

bertentangan dengan kandungan dari ayat al-Qur‟an. Dalam ayat al-

Qur‟an disebutkan tentang mekanisme hutang-piutang seperti dalam

ayat 282 dari surat al-Baqarah. Dalam ayat ini (al-Baqarah ayat 282),

dijelaskan tentang bagaimana tata cara melakukan hutang-piutang

dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga ayat 280 dari surat al-

Baqarah, ayat ini menganjurkan kepada orang yang memberikan hutang

agar memberikan tenggang waktu kepada orang yang berhutang apabila

mengalami kesusahan dalam melunasi hutangnya, atau yang lebih baik

lagi adalah menyedekahkan hutang tersebut kepada orang yang

235
Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 85-86. Lihat Nuruddin
`Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 228. Lihat Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis,
cet. 1, (Bandung: Al-Ma`arif, 1974), h. 199.
236
Ibid., h. 88. Lihat Nuruddin `Itr, `Ulûm al-Hadîts 2, terj. Mujiyo, h. 258. Lihat Fathur
Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, h. 187.
189

berhutang dan memang tidak mampu untuk melunasi hutangnya.

Selanjutnya dalam surat al-Taubah ayat 60 juga menyinggung tentang

orang yang berhutang yaitu agar orang yang berhutang (ghârim) diberi

zakat dari orang yang berzakat agar bisa digunakan dalam melunasi

hutang yang melilitnya. Dengan demikian hadis ini tidaklah

bertentangan dengan hukum al-Qur‟an yang merupakan sumber

pegangan bagi orang Islam.

Dikarenakan hadis ini merupakan hadis yang terbebas dari syâd

dan `illat dan juga tidak bertentangan dengan hukum al-Qur‟an, maka

matan hadis ini memiliki persyaratan tolak ukur sebagai matan hadis

yang shahih. Dengan melihat tolak ukur tentang keshahihan matan yang

ada, matan hadis ini merupakan matan hadis yang shahih.

B. Makna Kontekstualisasi Hadis Dalam Kehidupan

Hadis Nabi tentang akibat meninggalkan hutang di dunia ini

diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, di antaranya yaitu al-Bukhârî

dalam kitab Shahih al-Bukhâri dalam bab nafaqah 237 dan bab hutang,238

Muslim dalam kitab Shahîh Muslim dalam bab barang siapa yang

meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya,239 Imam al-Tirmidzî dalam

kitab Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al- Shahîh) dalam bab apa yang terjadi

237
Lihat Abû Abdullâh Muhammad bin `Ismail al-Bukhâri, Shahih al-Bukhari, j. 5, h.
536.
238
Ibid., j. 3, h. 84.
239
Lihat Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, j. 2 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1992), h. 58.
190

pada orang yang berhutang,240 dan Imam Ibnu Mâjah dalam kitab Sunan

Ibnu Mâjah dalam bab barang siapa yang meninggalkan hutang atau

barang maka atas Allah dan Rasul-Nya.241

Menurut al-Qurthubî, kata ٓ٠‫ ثذ‬dalam firman Allah dalam surat al-

Baqarah ayat 282 yaitu ّٝ‫ اجً ِض‬ٌٝ‫ٓ ا‬٠‫ٕزُ ثذ‬٠‫ ارا رذا‬adalah untuk penekanan

seperti pada firman Allah Swt ٗ١‫ش ثجٕبد‬١‫ط‬٠ ‫ال طبئش‬ٚ “Dan burung-burung

yang terbang dengan kedua sayapnya” (QS. Al-An‟am [6] ayat 38) dan

juga dalam firman Allah Swt ْٛ‫ُ أجّع‬ٍٙ‫فضجذ اٌٍّئىخ و‬ “Lalu seluruh

malaikat itu bersujud semuanya” (QS. Shaad [38] ayat 73) 242 . Hakikat

makna dari kata ٓ٠‫ ثذ‬adalah keterangan dari semua transaksi di mana salah

satu pihak membayar dengan tunai dan pihak yang lainnya dalam tempo.

Kata ٓ١‫ اٌع‬menurut bahasa Arab adalah semua harta yang ada dalam

genggaman, sedangkan kata ٓ٠‫ اٌذ‬adalah semua harta yang tidak ada dalam

genggaman. Lalu Allah menjelaskan makna tersebut dengan firman-Nya

yaitu ّٝ‫ اجً ِض‬ٌٝ‫“ ا‬untuk waktu yang ditentukan”. Penentuan waktu

hutang-piutang hendaklah diatur, karena penentuan waktu tersebut dapat

menghindari perselisihan antara yang berhutang dengan yang memberi

hutang. 243

240
Lihat Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh), j. 2, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 266.
241
Lihat Abû Muhammad ibn Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjah, j. 2, (Indonesia:
Dahlan, t.th.), h. 807.
242
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, dkk., 837.
243
Ibid., h. 837. Lihat Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad al-Syaukâni, Fath al-Qadîr, j.
1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), h. 452-453.
191

Dalam hadis riwayat al-Bukhârî dan al-Tirmidzî, kata ‫ فضال‬berarti

suatu kemampuan yang lebih atas seorang muslim sebagai persiapan dia

dalam menepati janjinya untuk melunasi hutangnya. Sementara dalam

riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh ‫( لضبء‬melunasi) sebagai ganti

lafazh ‫فضال‬ (kelebihan). Lafazh terakhir ini ( ‫ ) فضال‬lebih tepat

berdasarkan lafazh hadis selanjutnya yakni ‫فَب اء‬َٚ ِٗ ِٕ٠ْ ‫ِّس أََُّٔٗ رَ َشنَ ٌِ ِذ‬
َ ‫( ُدذ‬jika

dikatakan bahwa dia meninggalkan harta yang bisa menutupi hutangnya).

Kata ‫فبء‬ٚ berarti apa yang telah dijanjikan dalam melunasi hutangnya, jika

dia tidak bisa menetapkan pembayaran hutangnya maka Nabi yang akan

membayarnya.244

Dalam hadis ini Nabi tidak mau menshalatkan jenazah yang masih

mempunyai hutang dan tidak ada yang menanggungnya. Nabi melakukan

hal yang demikian karena dimungkinkan agar para umatnya berhari-hati

dalam melakukan transaksi hutang-piutang. Menurut Ibnu `Arabî dalam

kitab al-`Âridhah yang dikutip oleh Imam al-Mubârakfûrî dalam kitab

Tuhfat al-Ahwadzî mengatakan bahwa larangan Nabi Muhammad untuk

menshalati jenazah atas orang yang meninggal dalam keadaan berhutang

merupakan sebuah peringatan agar tidak membuat susah payah hidupnya

dengan berhutang dengan demikian tidak akan menghilangkan harta orang

lain. 245 Al-Mubârakfûrî menambahkan bahwa larangan shalat terhadap

jenazah yang masih menanggung hutang adalah untuk menjelaskan cara

244
Badar al-Dîn Abû Muhammad Mahmûd ibn Ahmad al-`Aini, `Umdat al-Qâri’ (Syarh
Shahîh al-Bukhârî), j. 11, ( Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 126.
245
Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat
al-Ahwadzî, j. 4, h.128.
192

bagi kita semua dalam membayar hutang kita, kalau seandainya dia tidak

mampu maka harus ada yang menanggungnya.246

Selain itu, terdapat berbagai macam perbedaan dalam

melaksanakan shalat jenazah bagi jenazah yang masih mempunyai hutang.

Menurut al-Nawâwî: yang pasti benar adalah bolehnya menshalati jenazah

tersebut selama ada yang menanggung hutangnya. Ibnu Bathal berkata: ِٓ

ٍٝ‫ٕب فع‬٠‫رشن د‬merupakan penghapus untuk larangan shalat bagi jenazah yang

mempunyai hutang, adapun sabda Nabi ٖ‫ لضبء‬ٍٝ‫ فع‬merupakan keterangan

bahwa Allah yang akan menanggung hutangnya dari harta-harta rampasan

dan juga dari sedekah-sedekah.247 Menurut al-Hazimî bahwa tidak apa-apa

apabila menshalati jenazah tersebut, karena Nabi bersabda: ٍٝ‫ٕب فع‬٠‫ِٓ رشن د‬,

shalatnya Nabi atas jenazah yang masih berhutang disebabkan Allah

memberikan kemenangan dari berbagai peperangan. Oleh karena adanya

banyak harta rampasan perang, maka Nabi mau menanggung hutangnya

dari harta orang-orang yang shaleh, ada juga yang berkata bahwa Nabi

menanggungnya dari keikhlasan diri beliau. 248 Ibnu Hajar al-Ashqolânî

mengatakan bahwa keharusan bagi seorang muslim untuk menanggung

hutang saudaranya apabila meninggal dalam keadaan berhutang, apabila

tidak ada yang menanggungnya maka bagi yang berhutang itu akan

mendapatkan dosa. Apabila ada hak yang meninggal dunia di suatu badan

246
Ibid., h.128.
247
Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Ashqolânî, Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, j. 5,
(Bairut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 244.
248
Ibid., h. 244.
193

keuangan, maka dilunaskan hutangnya sesuai kadar hutang yang terdapat

dalam dirinya. Apabila tidak ada, maka diuruslah dengan cara yang adil.249

Dalam hadis tersebut Nabi tidak mau menshalati jenazah yang

masih menanggung hutang agar tidak menganggap kecil perkara hutang,

dan juga agar tidak membuat susah payah hidupnya dengan berhutang

dengan demikian tidak akan menghilangkan harta orang lain sebagai

pelajaran bagi umatnya dalam muamalah hutang-piutang. Akan tetapi

ketika umat Islam diberikan kemenangan yang besar dan memperoleh

banyak harta rampasan perang, Nabi meminta kepada umatnya untuk

memberitahukan kepada beliau apabila ada yang meninggal dan masih

mempunyai hutang agar beliau dapat melunasinya lewat harta rampasan

yang didapat oleh umat Islam.250

Dalam fakta yang terjadi di kehidupan sekarang, hubungan antara

harta dan hutang sudah merupakan masalah yang universal dalam

kehidupan manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya termasuk

pengembangan harta yang dimilikinya, manusia selalu terlibat dalam

hubungan hutang-piutang. Hubungan transaksi hutang-piutang ini selalu

saja terjadi di setiap masyarakat, tanpa membedakan tempat atau masa,


251
dalam keadaan senang atau susah. Masyarakat yang melakukan

transaksi hutang-piutang merupakan bentuk ikhtiar atau usaha mereka

dalam mengembangkan atau meningkatkan pendapatan usaha keluarga

249
Ibid., h. 244.
250
Ibid., h. 244.
251
Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, h. 203.
194

mereka atau bisa juga untuk pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan

mereka. Akan tetapi jika yang berhutang itu pada suatu saat tidak bisa

melunasi hutangnya, maka seseorang haruslah menjadi penanggungnya.

Banyak orang yang berada dalam kesulitan tidak punya harta dan tidak

mampu membayar hutangnya saat ditagih oleh orang yang

menghutanginya. Ketika ia memohon penundaan hutang kepada orang

yang memberinya pinjaman, orang yang menghutanginya sering menolak

permohonan itu. Dalam keadaan seperti itu ia memerlukan seseorang yang

mau membantu dan menjaminnya. Bantuan yang diberikan kepada orang

yang dalam keadaan terjepit ini memiliki tiga faedah di antaranya sebagai

berikut:

a. Memberikan ketenangan kepada orang yang mengutanginya.

b. Menghindari perlakuan buruk saat penarikan hutang dari orang yang

ditagihnya.

c. Dengan bantuan ini akan terciptanya sikap saling mencintai dan saling

menyanyangi di antara sesama manusia.252

Pembayaran hutang oleh yang berhutang merupakan kewajiban

yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan karena dia (yang berhutang)

meminjam yang bukan hak dia. Akan tetapi ketika yang meminjam tidak

mempunyai apa-apa untuk melunasi hutangnya timbul permasalahan,

apakah dia masih tetap melunasi hutangnya atau tidak. Berkata al-Thîbî

yang pendapatnya sesuai dengan pendapat para ulama di antaranya: Abû

252
`Alî Ahmad al-Jarjâwî, Indahnya Syariat Islam, terj. Faishal Shaleh, h. 446.
195

Yûsuf, Mâlik, al-Syâfi`î dan Ahmad bahwa sesungguhnya sah bagi

seseorang yang mau menanggung hutang bagi jenazah yang meninggal

dunia tetapi tidak meninggalkan harta benda, kalau seandainya tidak ada

yang menanggungnya Nabi tidak akan menshalati jenazah tersebut.

Berkata Abû Hanîfah: tidak sah penanggungan hutang bagi mayit yang

tidak punya apa-apa, karena penanggungan hutang terhadap orang yang

tidak punya apa-apa adalah penanggungan hutang yang telah jatuh, dan

penanggungan hutang seperti ini adalah batil.253

Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 280 diatur permasalahan

tentang seseorang yang tidak kuasa untuk melunasi hutangnya. Ayat ini

(al-Baqarah ayat 280) diturunkan kepada masyarakat Tsaqif, ketika

mereka meminta harta mereka yang dipinjamkan kepada Bani Mughirah,

lalu ketika Bani Mughirah mengeluh bahwa keadaan mereka pada saat itu

sedang kesusahan, dan mereka juga mengatakan pada saat itu mereka tidak

memiliki apa-apa untuk dibayarkan. Kemudian mereka meminta waktu

hingga saat panen tiba. 254 Al-Nuhas mengatakan bahwa pendapat yang

paling baik mengenai ayat ini (al-Baqarah ayat 280) adalah pendapat

`Atha‟, al-Dhahâk, Râbi` dan Khaitsam yaitu setiap orang yang merasakan

kesulitan berhak untuk ditangguhkan dalam hal riba ataupun utang. 255

Menurut M. Quraish Shihab, apabila seseorang yang berada dalam situasi

sulit atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar hutang, maka

253
Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman al-Mubârakfûrî, Tuhfat
al-Ahwadzî, h.128.
254
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, dkk., h. 821.
255
Ibid., h. 823.
196

tangguhkanlah penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika

kamu mengetahui dia sempit, apalagi memaksa membayar dengan sesuatu

yang amat dia butuhkan. Yang lebih baik dari orang yang meminjamkan

adalah mensedekahkan hutangnya sebagian atau semua hutang itu.256

Di samping itu, dalam surat al-Taubah ayat 60 dijelaskan bahwa

orang yang berhutang (ghârim) merupakan orang yang berhak menerima

zakat, karena dia (ghârim) adalah salah satu dari delapan golongan yang

berhak mendapatkan zakat. Kata al-ghârimîn merupakan jamak dari kata

ghârim yakni yang berhutang atau yang dililit hutang sehingga tidak

mampu membayarnya walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan

untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya. 257 Menurut Imam Hanafî,

kategori orang yang berhutang yang berhak mendapatkan zakat ada tiga.

Ketiga kategori tersebut yaitu:

a. Qawî yakni hutang pinjaman atau hutang dalam hal perdagangan yang

jelas (bukan maksiat).

b. Mutawasith yakni selain Qawî misalnya hutang tagihan rumah, pakaian,

makanan atau minuman.

c. Dha`îf yakni hutang yang bukan dari segi materi, misalnya hutang

mahar pernikahan, hutang wasiat.258

Dari ketiga kategori di atas, hanya hutang Qawî yang bisa

mendapatkan zakat, dan harus memenuhi nisab yang ada dalam syarat dan

256
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, volume 1, h. 560.
257
Ibid., volume 5, h. 634.
258
`Abd al-Rahman al-Jazîrî, Al-Fiqh `ala Madzhab al-Arba`ah, j. 1, (Bairut: Dâr al-Fikr,
1990), h. 602.
197

ketentuan zakat. 259 Menurut al-Syâfi`î, hutang yang mendapatkan zakat

adalah hutang yang tetap dan berbentuk dirham atau dinar atau hutang dari

perdagangan. 260 Dengan pemberian zakat kepada orang yang berhutang

(ghârim), maka akan dapat meringankan bebannya dalam melunasi hutang

yang melilitnya.

Dalam hadis tentang akibat meninggalkan hutang di dunia, Nabi

tidak mau menshalati jenazah yang masih berhutang dan tidak ada yang

menanggungnya. Hal ini tidak berarti hadis tersebut bertentangan dengan

ayat al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 280 yang menerangkan tentang

seseorang yang tidak kuasa untuk melunasi hutangnya. Nabi melakukan

hal tersebut agar umatnya tidak menganggap kecil perkara hutang, dan

juga agar tidak membuat susah payah hidupnya dengan berhutang dengan

demikian tidak akan menghilangkan harta orang lain sebagai pelajaran

bagi umatnya dalam muamalah hutang-piutang. Ayat 280 dari surat al-

Baqarah tersebut merupakan bentuk rasa kasih sayang kepada yang

berhutang apabila ia (ghârim) merupakan orang yang benar-benar tidak

mampu melunasi hutangnya agar diberi penangguhan atas hutangnya.

Apalagi dalam surat al-Taubah ayat 60, orang yang berhutang (ghârim)

merupakan salah satu golongan yang berhak mendapatkan zakat agar dapat

melunasi hutang yang melilitnya. Dengan demikian, apabila zakat tersebut

diberikan dengan sebaik-baiknya kepada para ghârimîn (orang-orang yang

259
Ibid., h. 603.
260
Ibid., h. 604.
198

berhutang), niscaya tidak ada jenazah seorang muslim yang masih

mempunyai tanggungan hutang-piutang.

Dalam hadis Nabi tersebut bukanlah hadis yang cenderung

bertentangan dengan al-Qur‟an, akan tetapi merupakan penjelasan dari al-

Qur‟an yaitu apabila melakukan transaksi hutang-piutang agar menjadi

pelajaran bagi umatnya untuk melunasi hutangnya sebelum kematian

menjelang. Apabila orang yang berhutang tersebut meninggal sebelum

hutangnya terlunaskan, agar yang lainnya menjadi penanggung dari

hutangnya tersebut. Akan tetapi jika orang yang berhutang tersebut

merupakan orang yang benar-benar tidak mampu dan tidak mempunyai

kuasa dalam melunasi hutangnya, maka hendaklah orang yang berhutang

(ghârim) tersebut diberikan zakat agar dapat melunasi hutangnya. Hal

tersebut agar hutang dapat dilunasi sebelum kematian menjelang seperti

yang dilakukan Nabi ketika kaum muslimin telah memperoleh banyak

kemenangan dalam perang dan memperoleh banyak harta rampasan

perang, Nabi mengumumkan bahwa orang-orang yang berhutang

(ghârimîn) merupakan tanggungan baliau. Selain itu, bagi yang

memberikan hutang tersebut agar memberikan kelapangan waktu bagi

orang yang berhutang (ghârim) sampai yang berhutang tersebut bisa

melunasinya, atau dengan ketulusan hati untuk menyedekahkan hutang

yang diberikannya tersebut sehingga yang berhutang tersebut terbebas dari

hutangnya.
199

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan hadis tentang akibat meninggalkan di dunia

melalui tahap-tahap penelitian sanad dan matan hadis pada bab-bab

sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan penelitian tentang sanad hadis tersebut, sanad riwayat al-

Bukhâri merupakan sanad yang dari jalur periwayat pertama sampai

yang terakhir bersambung dan para periwayatnya memiliki kriteria

`âdil dan dhâbith. Dengan demikian kualitas sanad hadis riwayat al-

Bukhârî merupakan sanad yang shahîh. Akan tetapi dalam sanad hadis

riwayat Muslim, ada sanad yang tidak tsiqah yakni Yûnus al-Ailî yang

bukan termasuk sebagai periwayat `âdil dan dhâbith. Hal ini

disebabkan Yûnus al-Aili menurut kritikus hadis telah meriwayatkan

hadis yang mungkar dan hafalannya tidak bagus. Kedua jarh tersebut

merupakan jarh yang mencederakan ta`dil periwayat. Dengan

demikian terputuslah jalur periwayatan riwayat Muslim. Begitu juga

dengan riwayat al-Tirmidzî, ada sanad yang tidak tsiqah yakni

Maktûm ibn `Abbâs yang bukan termasuk sebagai periwayat `âdil.

Maktûm ibn `Abbâs merupakan orang yang tidak dikenal dalam

periwayatan hadis. Jarh ini merupakan jarh yang merusak pribadi


200

perawi dari segi ke-`âdil-an. Dengan demikian jalur periwayatan

riwayat al-Tirmidzî merupakan jalur yang terputus.

2. Berdasarkan penelitian tentang matan hadis tersebut, walaupun

terdapat perbedaan lafazh di antara para periwayat, namun karena

perbedaan tersebut dapat ditoleransi dan memenuhi kaedah keshahihan

matan sebuah hadis yakni terbebas dari syadz dan `illat serta tidak

bertentangan dengan ayat al-Qur'an, maka matan hadis tersebut yakni

dalam riwayat al-Bukhârî merupakan matan hadis ahad yang

berkualitas shahîh lidzâtihi. Adapun dalam riwayat Muslim dan al-

Tirmidzî yang di dalam sanad mereka berdua ada yang tidak

bersambung, maka matan hadis riwayat mereka berdua merupakan

hadis ahad yang berkualitas dho`îf. Dengan demikian, walaupun jalur

periwayatan hadis yang shahîh lidhâtihi adalah riwayat dari jalur al-

Bukhârî, akan tetapi riwayat Muslim dan al-Tirmidzî menjadi

terangkat statusnya menjadi hasan li ghairihi karena mendapat

dukungan dari riwayat al-Bukhârî yang merupakan riwayat hadis ahad

yang bekualitas shahîh lidzatihi.

3. Dalam realita zaman sekarang, masyarakat dalam melakukan transaksi

hutang-piutang merupakan sebuah ikhtiar atau usaha dalam memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Adapun dalam hadis Nabi ini, Nabi

memberikan anjuran agar masyarakat berhati-hati dalam berhutang dan

tidak meremehkan hutang dengan menunda-nunda melunasinya. Hal

ini dikarenakan agar orang yang berhutang (ghârim) tersebut agar tidak
201

membuat susah payah hidupnya dengan berhutang agar tidak

menghilangkan harta orang lain. Dalam agama Islam, orang yang

berhutang (ghârim) merupakan orang yang berhak mendapatkan zakat

karena dia merupakan salah satu bagian dari delapan golongan yang

berhak mendapatkan zakat sesuai dengan ayat ke-60 dari surat al-

Taubah. Dengan adanya zakat kepada ghârim (orang yang berhutang)

tersebut, akan membantu dia dalam melunasi hutang yang melilitnya.

Akan tetapi jika ada jenazah yang masih meninggalkan hutang, maka

bagi ahli keluarganya agar melunasi hutang tersebut. Apabila keluarga

tersebut tidak mempunyai kemampuan dalam melunasi hutangnya,

maka bagi orang yang menghutangi jenazah tersebut untuk

memberikan tenggang waktu sampai ada kemampuan untuk

melunasinya atau yang lebih baik lagi adalah menyedekahkan

hutangnya tersebut. Dengan demikian akan membuat ghârim (orang

yang berhutang) tersebut terbebaskan dari hutangnya seperti anjuran

surat al-Baqarah ayat 280.

B. Saran-Saran

1. Penulis telah berusaha secara maksimal dalam menyelesaikan

penelitian hadis Nabi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian

hadis ini masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan

kemampuan penulis dan juga penulis hanya meneliti hadis tentang

hutang-piutang dalam satu tema yakni akibat meninggalkan hutang di


202

dunia yang terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim

dan Sunan al-Tirmidzî. Hadis Nabi yang berkenaan tentang hutang-

piutang terdapat banyak sekali dalam berbagai kitab hadis misalnya di

kutub al-sittah (enam buah kitab hadis yang terpopuler) dan kutub al-

tis`ah (sembilan buah kitab yang terpopuler). Oleh karena itu

hendaklah para pembaca merujuk dan meneliti kembali hadis Nabi

tentang hutang-piutang di berbagai kitab hadis tersebut, sehingga dapat

menyempurnakan penelitian ini dan juga menambah hazanah

pengetahuan hadis Nabi terutama dalam hal hutang-piutang di

kehidupan masyarakat.

2. Kepada Jurusan Ushuluddin terutama program Tafsir Hadis yang

merupakan jurusan yang mengkaji keislaman, penelitian hadis Nabi ini

merupakan sebuah upaya penyelesaian solusi dari pemaknaan terhadap

hadis Nabi dalam kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat. Semoga

dengan penelitian ini akan menjadi sebuah wacana baru di Jurusan

Ushuluddin dalam penyelesaian problematika kehidupan di masyarakat

dengan melalui kajian keislaman yang telah di bangun oleh Jurusan

Ushuluddin di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta.


203

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Mamahami Hadis Nabi. Cetakan 1. Jakarta


Timur: Insan Cemerlang dan PT. Inti Media Cipta Nusantara, t.th.

Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Cetakan 1.


Yogyakarta: Alfath Offset, 2001.

Al-Andalusi, Ahmad ibn Rasyîd al-Qurthubi, atau yang terkenal dengan nama
Ibnu Rasyîd. Bidâyat al-Mujtahid fî Nihayat al-Muqtashid. Juz 2. Bairut:
Dâr al-Fikr, t.th.

Anwar, Muh. Ilmu Mushthalah Hadis. Surabaya: Usana Offset Printing, 1981.

Armando, Ade dkk. Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar. Jilid 6, cetakan 4. Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Al-`Ashqolânî, Ahmad ibn `Alî ibn Hajar. Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-
Bukhârî. Jilid 5. Bairut: Dâr al-Fikr, 1991.

________________. Tahdzîb al-Tahdzîb. Jilid 6, 7, 8, 9, 11, dan 12, cetakan 1.


Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994.

________________. Tahdzîb al-Tahdzîb. Jilid 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12,


cetakan 1. Bairut: Dâr al-Shâdir, t.th.

Al-Asmâwî, Muhammad Sa`dî. Problematika dan Penerapan Syariat Islam dalam


Undang-Undang. Terj. Saiful Ibad. Cetakan 1. Jakarta: Gaung Persada
Press, September 2005.

Al-`Aini, Badâr al-Dîn Abû Muhammad Mahmûd ibn Ahmad. `Umdat al-Qâri’:
Syarh Shahîh al-Bukhârî. Jilid 11. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.

`Azamî, Muhammad Mushthafa. Metodologi Kritik hadis. Terj. A. Yamin.


Cetakan 2. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

_______________. Memahami Ilmu Hadis. Terj. Meth Kieraha. Cetakan 2.


Jakarta: Lentera, 1995.

Badrân, Badrân al-`Ainain. Al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf (Tarîkhuhu Wa


Mushthalâhuhu). Iskandaria: Muassasah Syabâb al-Jâmi`ah, 1983.

Al-Bashri, Muhammad ibn Sa`ad ibn Manî` al-Hasyimî, atau yang terkenal
dengan nama Ibnu Sa`ad. Al-Thabaqat al-Kubra. Jilid 4. Bairut: Dâr al-
Kutub al-`Ilmiyah, 1990.
204

Al-Bukhârî, Abû Abdullâh Muhammad ibn `Ismâ`îl. Shahîh al-Bukhârî. Juz 3, juz
5, cetakan 1 Kitab al-Kafalah, hadis nomor: 2298. Bairut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyah, 1992.

_______________. Al-Târîkh al-Kabîr. Jilid 8. Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,


t.th.

Al-Dâruquthnî, Abû al-Hasan `Alî ibn `Umar ibn Ahmad. Dzikr Asmâ’ al-Tab`în
wa Man Ba`dahu. Jilid 1. Bairut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah,
1985.

Fattah, Munawir A. dan Bishri, Adib. Kamus Indonesia- Arab, Arab-Indonesia


al-Bishri. Cetakan 1. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

Fayyâd, Mahmûd `Alî. Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis. Terj. Zarkasyi


Chumaidi. Cetakan 1. Bandung: Pustaka Setia, September 1998.

Habîb, Abû Sa`di. Mausu’atul Ijma’. Terj. Ahmad Sahal Machfudz dan
Mushthafa Bishri. Cetakan 2. Jakarta: Pustaka Firdaus, Oktober 1997.

Al-Hâdî, Abu Muhammad `Abd al-Mahdî ibn `Abd al-Qâdir ibn `Abd. Thuruq
Takhrîj Hadîts. Mesir: Dâr al-I`tishâm, t.th.

Hasan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadis. Cetakan 2. Bandung: CV.


Diponegoro, 1987.

Hâsyim, Ahmad `Umar. Qawâ`id Ushûl al-Hadîts. Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya.


Cetakan 1. Jakarta: Gema Insani Press, Mei 1995.

______________. Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan


Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Cetakan 2. Jakarta: Bulan Bintang,
1995.

_______________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cetakan 1. Jakarta: Bulan


Bintang, Agustus 1992.

`Itr, Nuruddin. `Ulûm al-Hadîts 2. Terj. Mujiyo. Cetakan 1. Bandung: Remaja


Rosda Karya, 1994.

Al-Jarjâwî, `Alî Ahmad. Indahnya Syariat Islam. Terj. Faishal Shaleh. Cetakan 1.
Jakarta: Gema Insani Press, 2006.

Al-Jazîrî, `Abd al-Rahman. Al-Fiqh `ala Madzhab al-Arba`ah. Juz 1. Bairut: Dâr
al-Fikr, 1990.
205

Karim, Helmi. Fiqih Muamalah. cetakan 3. Jakarta: Raja Grafindo, Mei 2002.

Al-Khathîb, M. `Ajâj. Hadis Nabi Sebelum Dibukukan. Terj. Akrom Fahmi.


Cetakan 1. Jakarta: Gema Insani Press, Juni 1999.

Mandzûr, Ibnu. Lisân al-`Arab. Jilid 13. Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah, t.th.

Al-Maqdîsî, Muwaffiq al-Dîn `Abdullâh ibn Qudâmah. Al-Kâfî fî Fiqhi al-Imâm


Ahmad. Juz 2, cetakan 1. Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1994.

Al-Mazzî, Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl.
Jilid 4, 6, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, dan 22. Bairut: Dâr al-Fikr,
1994.

Al-Mubârakfûrî, Abû al-Ula Muhammad `Abd al-Rahman ibn `Abd al-Rahman.


Tuhfat al-Ahwadzi. Juz 4. Bairut: Dâr al-Fikr, 1995.

Munawar, Said Agil Husain. Al-Qur'an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki.


Cetakan 2. Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2002.

Al-Naisâbûrî, Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî. Shahîh Muslim. Jilid 2 Kitab al-
Farâidh hadis nomor: 4242. Bairut: Dâr al-Fikr, 1992.

Nasution, Lahmuddin. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i.


cetakan 1. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, November 2001.

Al-Nawâwî, Muhyî al-Dîn. Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj. Jilid 11-12.
Bairut: Dâr al-Ma‟rifah, 1995.

Penyusun, Tim IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Cetakan


2. Jakarta: Djambatan, 2002.

Al-Qardhâwî, Yûsuf. Halal dan Haram dalam Islam. Terj. Muammal Hamidy.
Edisi revisi. Surabaya: Bina Ilmu, 2003.

Al-Qazwinî, Abû Muhammad ibn Yazîd. Sunan Ibnu Mâjah. Jilid 2 Kitab al-
Janâiz hadis nomor: 2508. Indonesia: Dahlan, t.th.

Al-Qur'an, Yayasan Penterjemah. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Semarang: PT


Tanjung Emas Inti Semarang, 1992.

Al-Qurthubî, Abû `Umar Yûsuf ibn `Abdullâh ibn Muhammad ibn `Abd al-Barr.
Tafsîr al-Qurthubî. Terj. Fathurrahman dkk. Juz 3, cetakan 1. Jakarta:
Pustaka Azzam, April 2008.
206

____________. Al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb. Jilid 4. Bairut: Dâr al-Kutub al-


`Ilmiyah, 2002.

Rahman, Fathur. Ikhtishar Mushthalah Hadis. Cetakan 1. Bandung: Al-Ma`arif,


1974.

Al-Ramlî, Abû al-`Abbâs Ahmad ibn Hamzah ibn Syihâb al-Dîn, yang terkenal
dengan nama al-Syâfi`i al-Shaghîr. Nihâyat al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj.
juz 5. Bairut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1993.

Al-Sa`idî, Sa`dullâh. Hadis-Hadis Sekte. Cetakan 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


1996.

Shâlih, Shubhi. `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhuhu. cetakan 17. Bairut: Dâr al-
`Ilm li al-Malâyîn, t.th.

Al-Shiddieqi, Muhammad Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Cetakan 2.


Jakarta: Bulan Ibntang, 1988.

______________. Tafsir al-Qur`anul Majid al-Nur. Semarang: Pustaka Rizki


Putra, 2000.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah. Cetakan 1. Jakarta: Lentera hati, 2006.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Cetakan 3. Raja Grafindo Persada, 2002.

Suryadi. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis. Cetakan 1. Yogyakarta: Madani Pustaka


Hikmah, 2003.

Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Kritik Mushthafa Al-


Siba`i Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-
Islam). Cetakan 1. Jakarta Timur: Prenata Media, Agustus 2003.

Al-Syaukâni, Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad. Fath al-Qadîr. Juz 1. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1993.

Al-Thahhan, Mahmûd. Taisîr Mushthalah al-Hadîts. Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.

_______________. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, terj. Agil Husin
Munawar dan Masykur Hakim. Cetakan 1. Semarang: Dina Utama, 1995.

Al-Tirmidzî, Abû `Îsa Muhammad ibn Sûrah. Sunan al-Tirmidzî (Jâmi` al-
Shahîh). Jilid 2 Kitab al-Janâiz hadis nomor: 1091. Semarang: Toha Putra,
t.th.
207

Wensinck, Arent Jan. Mu’jam Mufahras li al-Alfâdz al-Ahadîts al-Nabawi. Jilid 2.


Leiden: Breil, 1943.

Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Cetakan 2.


Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
208

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Amirul Bakhri.


Tempat / Tanggal Lahir : Pemalang / 16 Mei 1986.
Nama Orang tua : Bpk H. Achmad Basyari.
: Ibu Hj. Maemunah.
Alamat : Jln. Bandaran Rt. 02 Rw. 03 Ds. Rowosari Kec.
Ulujami Kab. Pemalang. Kode pos 52371.
Jurusan / Prodi / Angkatan : Ushuluddin / Tafsir Hadis / 2007.
Jenjang Pendidikan :
SD : SD N 03 Rowosari Lulus tahun 1998.
SLTP : SLTP N 01 Ulujami Lulus tahun 2001.
SLTA : Pondok Modern Gontor 1 Lulus tahun 2005.
Pengabdian di ISID Gontor Lulus tahun 2006.
Perguruan Tinggi : STAIN Surakarta Lulus tahun 2010.
Pengalaman Organisasi :
1. Pengurus Rayon Bagian Keamanan Darul Hijroh di Pondok Modern Gontor 1
periode 2004.
2. Pengurus Putra Bandaran (PURBA) di Dukuh Bandaran periode 2006.
3. Ketua Bidang Syiar di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) STAIN periode
2009.
4. Pengurus BEM J Ushuluddin bagian Kajian Tafsir Hadis periode 2009 / 2010.
5. Bidang Kaderisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
STAIN periode 2009.

Surakarta, 25 Februari 2010


Penulis,

AMIRUL BAKHRI
NIM. 30.07.4.5.002

You might also like