You are on page 1of 27

Ξ August 4th, 2008 | → 18 Comments | ∇ Info |

Sistem peradilan di suatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem hukum yang
dianut oleh negara tersebut. Menurut Eric L. Richard, sistem hukum utama di dunia
adalah sebagai berikut :

1. Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini berasal
dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa
Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
2. Common Law, hukum yang berdasarkan custom.kebiasaaan berdasarkan preseden atau
judge made law. Sistem ini dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon, seeprti Inggris
dan Amerika Serikat.
3. Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an
dan Hadits.
4. Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
5. Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika yang
berada di sebelah selatan Gunung Sahara.
6. Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh – merupakan sistem hukum uang kompleks
yang merupakan perpaduan antara sistem Civil Law, Common Law, dan Hukum Islam
sebagai basis fundamental masyarakat.

Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-
sistem hukum, yaitu :
1. Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang
mempunyai sifat individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih
banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
2. Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu
bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Soerojo
Wigdjodipuro, 1995 : 13).
3. Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda
datang ke Indonesia, Islam telah diterima oleh Bangsa Indonesia.

Adanya pengakuan hukum Islam seperti Regeling Reglement, mulai tahun 1855,
membuktikan bahwa keberadaan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum
Indonesia nerdasarkan teori “Receptie” (H. Muchsin, 2004)

Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan
saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara
yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang
didasari oleh pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di
Indonesia”.

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia
merupakan suatu sistem yang ada hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan
yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada
Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan
lembaga pengadilan yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara
Koneksitas”. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945
dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam Pasal 15 UU Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai Pengadilan Khusus sebagai
berikut :
1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang.
2. Pengadilan Syariah Islam di Provinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
paradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum.

Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem peradilan yang ada di Indonesia sebagai
berikut:

A. MAHKAMAH AGUNG
UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2005

I. PERADILAN UMUM
a. Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997)
b. Pengadilan Niaga (Perpu No. 1 Tahun 1989)
c. Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000)
d. Pengadilan TPK (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002)
e. Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004)
f. Mahkamah Syariah NAD (UU No. 18 Tahun 2001)
g. Pengadilan Lalu Lintas (UU No. 14 Tahun 1992)

II. PERADILAN AGAMA


Mahkamah Syariah di Nangro Aceh Darussalam apabila menyangkut peradilan Agama.

III. PERADILAN MILITER


– Pengadilan Militer untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat prajurit.
– Pengadilan Militer Tinggi, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat perwira s.d
kolonel
– Pengadilan Militer Utama, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat Jenderal.
– Pengadilan Militer Pertempuran, untuk mengadili anggota TNI ketika terjadi perang.

IV. PERADILAN TATA USAHA NEGARA


– Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2002)
V. PERADILAN LAIN-LAIN
a. Mahkamah Pelayaran
b. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)

B. MAHKAMAH KONSTITUSI
(UU No. 24 Tahun 2003)

Tugas Mahkamah Konstitusi adalah :


1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945
2. Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberi oleh
UUD 1945.
3. Memutus Pembubaran Partai Politik.
4. Memutus perselisihan tentang PEMILU.
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan Presiden/Wakil Presiden
melanggar hukum, berupa : mengkhianati negara, korupsi, suap, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela lainnya.

18 Responses to ' Sistem Peradilan Di Indonesia '

HUKUM PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA:

Tinjauan dan studi banding tentang sistem peradilan negara


Kesemakmuran Australia dan Republik Indonesia (RI)

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


Untuk program tingkat 8 Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, Universitas Mataram

Oleh: Adam J. Fenton


Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan teori dan proses peradilan hukum pidana yang
dilaksanakan di Republik Indonesia, dari tahap pertama dimana sebuah berkas diserahkan
kepada lembaga penuntan (kejaksaan) dari lembaga penyidikan (kepolisian) sehingga
diputuskan oleh hakim/pengadilan. Penulis juga bertujuan untuk menggambarkan
beberapa perbedaan antara sistem peradilan yang dilaksanakan di Australia dibanding
dengan Indonesia.
Pendahuluan

Setelah melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat dalam sistem
peradilan di RI, misalnya dosen hukum, hakim, jaksa dan pengacara, data-data dan hasil
observasi di Pengadilan Negeri, Lembaga Permasyarakatan dan sumber lainnya, penulis
bertujuan untuk menulis laporan yang menjelaskan dasar-dasar hukum pidana Indonesia,
baik hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil, dan gambaran beberapa
perbedaan antara sistem peradilan yang dilaksanakan di Australia dan RI.

Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-


lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia
selama kurang lebih tiga ratus tahun.

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:1

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam
sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris.
Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa
Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa
Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada
sistem Anglo Saxon.

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat
dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil.
Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan
hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita
temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.

Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum


Universitas Mataram (UNRAM)2 menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang
Undang (RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat
disahkan. Menurut M. Lubis:3

“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan
pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan
lagi pula disesuaikan dengan Pancasila.”

1
Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
Hal 33
2
Wawancara terpisah dengan Dosen-dosen Fakultas Hukum UNRAM: Lalu Parman dan M. Lubis,
SH.,M.Hum pada tanggal 27 Januari 2009.
3
Ibid.
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait
dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut
didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan.
Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR
Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi
disahkan.

Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang
berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan
urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.

KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh
berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan
lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-
kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga
tersebut.

Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan
terhadap nyawa orang, sebagai berikut:4

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu


menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan
berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.5

Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman
(sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP
menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang
peranan polisi dan jaksa:6

“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum”.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan
Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat7 dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah
hasil penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah
4
R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981) Hal 357
5
Dengan pemakaian kata “selama-lamanya” maka kita memahami bahwa itu adalah ancaman hukuman
yang paling maksimal yang dapat hakim jatuhkan kepada terdakwa – sedangkan hukuman minimal tak ada
sekalipun. Ialah merupakan salah satu perbedaan penting yang disampaikan oleh dosen hukum ketika
diwawancarai, sebab RUU KUHP akan menentukan ancaman baik minimal maupun maksimal untuk setiap
kejahatan masing masing. Menurut Bapak Lubis sesuai dengan KUHP sekarang “baik mencuri sapi
maupun ayam, ancamannya sama. Minimalnya satu hari saja! Itu adalah kebebasan yang sangat besar. Para
Hakim harus dikasih batas minimalnya. Kecuali dalam undang-undang khusus misalnya korupsi, narkotika
ataupun money laundering dimana sudah tercatat ada minimal dan maksimalnya.”
6
Andi Hamzah Op. Cit. Hal 79
7
Wawancara dengan Dedy Koesnomo SH, MH, Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB pada
tanggal 5 Februari 2009.
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari
kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
adalah berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya.
BAP tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu.
Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat
kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika
BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada
kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.

Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan
perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih
dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.

Acara Persidangan Pidana

Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah
sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan untuk menyidangkan perkara.8 Kejaksaan bertanggungjawab untuk
meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka
kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga
Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai.
Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan
tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.

Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari kejaksaan terhadap terdakwa


dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa didudukkan di bagian tengah ruang persidangan
berhadapan dengan hakim. Kedua belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan
Penasehat Hukum (pengacara pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah
dakwaan dibaca, barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari
posisinya di tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika memang dia
mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang menduduki kursi penasehat
hukum itu.9

8
Ketika diwawancarai oleh penulis Ketua Pengadilan Mataram Suryanto SH, MHum, mengatakan di
Pengadilan Negeri Mataram pada saat wawancara ada 11 hakim yang tersedia untuk ditugaskan
menyidangkan perkara, padahal seharusnya paling sedikit ada 15 hakim. Ketersediaan hakim ditentukan
oleh Departemen Kehakiman kantor pusat Jakarta, sehingga kebanyakan hakim yang ditugaskan ke suatu
lokasi biasanya tidak berasal dari lokasi tersebut, dan ditugaskan selama 3 tahun kemudian dimutasi ke
tempat lain. Suryanto juga mengatakan bahwa terkadang jika ada saksi atau terdakwa dari desa terpencil
yang tidak dapat berbicara bahasa Indonesia, maka diperlukan juru bahasa untuk menerjemahkan dari
bahasa suku daerah ke bahasa Indonesia.
9
Sebetulnya ada banyak perbedaan secara fisik diantara sebuah ruang sidang di RI dan Australia, baik
letakan saksi, penuntut umum, pengacara maupun suasananya secara umum. Misalnya pada awal
persidangan Ketua Majelis menyuruh semua orang untuk mematikan atau mendiamkan telfon genggamnya.
Padahal sering terdengar suara telfon berbunyi dari bagian umum dan orang cepat keluar untuk mengangkat
telfonnya! Di Australia setiap kali orang ingin keluar atau masuk ruang sidang diharuskan menunduk
kepada Hakim sebagai tanda kehormatan. Di Indonesia, orang keluar-masuk ruangannya dengan sangat
bebas tanpa memberi hormat kepada para hakim. Apalagi, sering dilihat orang-orang yang ‘nongkrong’
diluar pintu terbuka ruang sidang, berbicara dengan teman, bahkan tertawa iseng-iseng.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan
dipanggil dalam sidang hari itu.10 Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil,
mereka bertiga dipanggil oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan
hakim; kursi yang sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan
menyampaikan beberapa pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama,
tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan
dengan si terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata
pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:

“Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam
perkara ini yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”

Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al
Quoran atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik
juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.

Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah, semua saksi bersumpah pada saat
bersamaan, sedangkan di Australia setiap saksi akan bersumpah justru sebelum dia akan
memberikan keterangan.

Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di bangku di depan hakim,
sedangkan yang lain disuruh untuk keluar dari ruang persidangan. Itulah saatnya
pemeriksaan saksi dimulai oleh Ketua Hakim. Ini juga merupakan salah satu perbedaan
besar di antara sistem persidangan di Australian dan RI. Di Australia peranan hakim
dapat disebut pasif. Padahal hakim di persidangan di Australia agak jarang akan bertanya
langsung kepada saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang
mulai dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses
interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan.11 Setelah hakim selesai
dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk memeriksa saksi,
disusul oleh penasehat hukum.

Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si terdakwa akan diberikan
kesempatan untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh
penulis, Hakim akan menyimpulkan keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan
misalnya:

“Kita semua telah mendengar saksi mengatakan bahwa pada tanggal 23


November kemarin dia membeli narkotika dari anda dalam bentuk dua ‘pocket’
10
Dari observasi penulis di Pengadilan Negeri Mataram dapat dikatakan bahwa dalam kasus yang lebih
berat, atau rumit bisa terjadi banyak saksi yang dipanggil sehingga suatu perkara akan berlanjut pada
beberapa hari. Beda dari proses di Australia, sering terjadi persidangan terpisah tersebut tidak
dipersidangkan pada hari-hari berurutan, tetapi beberapa saksi pada hari tertentu kemudian perkaranya
ditunda selama beberapa hari sebelum mulai lagi. Biasanya di Australia kalau bisa persidangan dilanjutkan
pada hari berikutnya.
11
Di salah satu kasus korupsi dimana terdakwa adalah mantan Gubernur NTB proses interogasi ini dari
pihak hakim (tiga hakim – Ketua Majelis didampingi oleh dua Anggota Hakim) berlanjut selama lebih dari
tiga jam untuk satu saksi. Barulah setelah itu pihak jaksa ataupun penasehat hukum diberikan kesempatan
untuk memeriksa saksinya.
ganja di rumah anda dan anda menerima uang sebanyak Rp40,000. Bagaimana
anda menganggap keterangan itu? Benar atau tidak benar, setuju atau tidak
setuju?”

Kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan tanggapannya terhadap


keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk turun dari kursinya dan duduk di
bagian umum di belakang.

Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah memberikan
keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk memanggil
saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang sama sebagaimana
digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan keterangan, tahap pemeriksaan
saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya.
Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari
hakim. “Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan
pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa
terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir.”12

Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan
dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus mengambil keputusan. Keputusannya
dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir
diantara para hakim. Jika dalam musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai
kesepakatan, keputusan dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu
diharuskan jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan
para hakim ada tiga alternatif: 13

1. Perkara terbukti – terdakwa dihukum


2. Perkara tidak terbukti – terdakwa dibebaskan
3. Perbuatan terbukti tetapi tidak perbuatan pidana – terdakwa dilepas dari segala
tuntutan (Onslag).

Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan para hakim
dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat
bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”

Lima kategori alat bukti tersebut adalah:

a. keterangan saksi
b. keterangan ahli

12
Andi Hamzah Op. Cit. Hal 282
13
Wawancara dengan Dedy Koesnomo Op.Cit.
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa

Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan soal sanksinya,
berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri terhadap terdakwa. Tergantung
pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat
daripada tuntutan jaksa.

“Hakim harus menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian,


perbuatannya mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak
melakukannya untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau
begitu, dapat dia ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan,
menjadi delapan bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari
jaksa...semuanya tergantung perbedaan persepsi.” 14

Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga terdakwa
dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi
dijatuhkan hukuman penjara15 maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk
menjalani hukumannya.

Proses Pelaksanaan Sanksi Pidana

Setelah melakukan kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (Lapas) di Mataram penulis


dapat melihat secara langsung keberadaan para napi di dalam penjara Indonesia, suatu
pengalaman yang sangat menarik. Ketika diwawancarai oleh penulis Kepala Lembaga
Permasyarakatan (Kalapas) Purwadi menegaskan bahwa orang orang yang ditahan dalam
Lapas dipisah dalam dua kategori yaitu:

1. Tahanan – dimana perkaranya masih berlanjut pada tahap persidangan dan


belum ada keputusan dari hakim
2. Narapidana (Napi) – terpidana yang sudah dijatuhkan keputusan dan hukuman
penjara oleh pengadilan

Purwadi menerangkan bahwa di Lapas Mataram pada saat diwawancarai ada 571 orang
dalam penahanan. Sebagai berikut:

Pria Wanita Total


14
. Ibid.
15
Seperti dikatakan oleh Pak Mion Ginting SH MH Hakim Pengadilan Negeri Mataram, dalam wawancara
yang dilakukan pada tanggal 30 Januari 2009, memang ada hukuman yang tersedia untuk hakim selain
hukuman penjara. Pasal 10 KUHP menjelaskan jenis jenis hukuman termasuk; hukuman mati, seumur
hidup, penjara, denda dan hukuman ringan, seperti pidana bersyarat dimana hukuman penjaranya tidak
harus dijalankan terlebih dahulu bilamana selama waktu yang disyaratkan oleh hakim dia tidak melakukan
kejahatan apapun, maka hukuman tersebut akan dihapus (di bahasa Inggris hukuman macam ini disebut
“suspended sentence”). Kemudian ada hukuman kurungan dimana terpidana masuk ke penjara pagi tetapi
diperbolehkan untuk pulang pada waktu malam hari, di Australia sama sekali tidak ada hukuman sejenis
ini.
Tahanan 238 17 225
Narapidana 296 20 316
Total 534 37 571

Narapidana pria yang ditahan di Lapas Mataram kemudian dipisahkan dua kategori lain
berdasarkan kriminalitasnya; yaitu narapidana yang dihukum untuk kejahatan narkotika,
dan yang lain misalnya pencurian, lalu lintas, penipuan, pembunuhan, ‘togel’ (‘toto
gelap’, judi) dan sebagainya. Purwadi mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya
untuk “memotong jaringannya” penjahat narkotika, yang diduga akan mendorong napi
lain untuk mencoba narkotika dan oleh sebab itu memperluas jaringannya. Kalapas
tersebut juga menegaskan bahwa penjahat narkoba merupakan 35% dari jumlah
narapidana laki-laki. Penulis dapat melihat secara langsung bahwa penjahat narkotika
tersebut ditahan dalam lima buah kamar dengan jumlah orang sehingga lebih dari 30
orang per kamar, apalagi kamar mandi dan WC terletak di dalam kamar tersebut. Untuk
tempat tidurnya, narapidana dapat memakai sebuah tikar yang terbentang di atas lantai
yang terbuat dari beton.

Salah satu petugas, Kusnan, menjelaskan bahwa setiap kamar ada wali; salah satu petugas
yang bertanggung jawab atas kamar tersebut. Wali tersebut ditugaskan untuk mendengar
keluhan keluhan dari narapidana, menetapkan aturan tata-tertib di dalam kamar dan
mengurus semua hal terkait dengan jangka penahanan untuk narapidana masing masing,
baik cuti bersyarat, pelepasan bersyarat maupun remisi.

Petugas Lapas menerangkan bahwa setiap hari para narapidana dapat keluar dari kamar
untuk dua jam di sore hari untuk berolahraga di halaman tengah. Kemudian untuk para
narapidana setiap Selasa, Kamis dan Minggu, ada jam kunjungan untuk keluarga dari jam
09:00 s/d 13:30. Keluarga para narapidana dapat memberikan makanan dan barang
barang lain misalnya kue kue, sikat gigi dan lain lainnya, setelah diperiksa di ruang
geledah.

Purwadi menegaskan bahwa Lapas Mataram sebetulnya dirancang untuk menahan 350
orang, akan tetapi pada saat kunjungan ada hampir 600 orang yang ditahan. Oleh sebab
itu dapat dikatakan bahwa Lapas Mataram sedang “over capacity” (melebihi
kapasitasnya). Kalapas juga mengatakan bahwa fasilitas-fasilitas di lapas sangat terbatas
maka program-program pembinaan ataupun rehabilitasi berkurang. Walaupun begitu,
Lapas Mataram dilengkapi dengan suatu bengkel dimana para narapidana dapat bekerja,
misalnya memperbaiki atau mencuci baik sepeda motor maupun mobil.

Kesimpulan

Secara garis besar, proses peradilan antara Australia dan Republik Indonesia agak mirip.
Ada Lembaga Penyidikan (Kepolisian) yang bertanggungjawab mendeteksi dan
menyelidiki kejahatan, kemudian ada Lembaga Penuntutan (di Australia sejajar dengan
“Department of Public Prosecutions”) yang bertanggungjawab atas memeriksa berkas-
berkas yang diajukan dari Lembaga Penyidikan sebelum perkaranya dapat dilimpahkan
ke pengadilan. Ada juga Lembaga Pemutus Perkara, atau pengadilan yang
bertanggungjawab memutuskan bersalah tidaknya seorang terdakwa. Meskipun demikian
ada pula cukup banyak perbedaan dalam rincian teknis pada setiap tahap dari proses
peradilan di dua negara tersebut. Penulis berharap bahwa laporan ini berhasil untuk
menggambarkan dan menjelaskan beberapa perbedaan tersebut.
Daftar Pustaka

• Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar
Grafika, Jakarta 2008)
• R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
• Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT Citra
Aditya Bakti, Bandung 1997)
• Wawancara dengan:
o Lalu Parman SH. MH. Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM, 27
Januari 2009
o M. Lubis, SH. M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM 27 Januari
2009
o Suryanto SH. M.Hum Ketua Pengadilan, Pengadilan Negeri 1A Mataram
28 Januari 2009
o Mion Ginting SH. MH. Hakim Pengadilan Negeri 1A Mataram 30 Januari
2009
o Dedy Koesnomo SH. MH. Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi
NTB 5 Februari 2009
o Purwadi Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Lembaga
Permasyarakatan Negeri Mataram 2 Februari 2009

SISTEM PERADILAN HUKUM DI INDONESIA

Sistem Peradilan Hukum Di ndonesia


Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam
masyarakat. Setiap Negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan
tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih popular disebut "stabilitas nasional'.
Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam
oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi.
Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya
akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat
keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya
disekelilingnya. Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu
dipulihkan kembali.
Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam
masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan
konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam
menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan.
Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra
yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang
terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau
negara. Di manamana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau
nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara
Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda
dengan di Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan
peradilan; tidak ada Negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal
kebebasan peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya
dengan pengertian hak asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi
bersifat universal, semua negara "mengklaim"menghormati hak-hak asasi manusia, tetapi
nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain (Masyhur Effendi 1994). Adil, tidak
hanya bagi pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif,
tidak a priori serta konsisten, ajeg dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarna
(serupa, sejenis) harus diputus sarna (serupa, sejenis) pula. Tidak ada dua perkara yang
sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual ("to each his own'), secara
kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu terjadinya tidak
sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus
sejenis atau serupa pula. Ini merupakan "postulaat keadilan": perkara yang serupa diputus
sama (Nieuwenhuis dalam Themis, 1976/6). Kalau perkara yang serupa diputus berbeda
maka akan dipertanyakan: dimanakah kepastian hukumnya, apa yang lalu dapat dijadikan
pegangan bagi para pencari keadilan, dimana keadilannya?.
Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib,
tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran
diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus ditegakkan, setiap
pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap
pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai,
karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan
hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan
yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau
siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan
mencegah " eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973).untuk lengkapnya silahkan
download di sini

SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL


A. Sistem Hukum Nasional
Ketentuan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum termuat dalam
UUD 1945 Pasal 1 ayat(3) dan Pasal 27ayat (1).
1. Pengertian Hukum
a. Prof. E. M Meyers
Hukum adalah aturan yang mengadung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada
tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa
Negara dalam melakukan tugasnya.
b. Drs. E. Utrres, S.H.
Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata
tertib masyarakat, oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat
c. J. C. T. Simorangkir
Hukum adalah peraturan – peraturan yang bersifat memeaksa yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan –
badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap pereturan tadi berakibat
diambilnya tindakan dengan hukum tertentu.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hokum adalah “ sekumpulan peraturan yamg
terdiri dari perintah dan larangan yang bersifat memaksa dan mengikat dengan
disertai sangsi bagi pelanggarnya.
2. Ciri – Ciri Negara Hukum

a. Fridrich Julius Sthal

1. Adanya hak asasi manusia

2. Adanya trias politika


3. Pemerintahan berdasarkan peraturan – peraturan.
b. A. V. Dicey
1. Supremasi hokum dalam arti tidak boleh ada kesewenang –
wenangan sehingga seseorang bisa dihukum jika melanggar
hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hokum baik bagi masyarakat biasa
ataupun pejabat.
3. Terjaminya hak – hak manusia oleh undang – undang dan keputusan
– keputusan pengadilan.
3. Asas Hukum
a. Asas Hukum Umum
Asas Hukum Umum Adalah Asas yang berlaku pada seluruh bidang hukum,
Misalnya :
1. Asas lex spesialis derogate generalis
2. Asas lex superior gerogat legi inferior
3. Asas lex posteriore derogate lex priori
4. Asas restitio in tintegrum
Seholten berpendapat mengenai lima asas hukum umum yang berlaku
universal pada seluruh system hukum yaitu asas kepribadian<>
b. Asas Hukum Khusus
Hukum kushus adalah hukum yang hanya berlaku pada lapangan hukum
tertentu, misalnya :
1. asas Pacta Sunt Servanda, abus de droit, dan konsesualisme, berlaku pada hukum
perdata.
2. Asas praduga tak bersalah dean nebis in idem berlaku pada hukum pidana.
Seorang ahli filsafat Jerman bernama Gustav Radbruch mengemukakan
bahwa suatu hukum memiliki ide dasar hukum yang mencakup unsure keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian.
4. Tujuan Hukum
a. Prof . Soebekti, S. H.
Tujuan hukum adalah menyelenggarakan keadilan dan ketertiban untuk
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.
b. Prof. I. J. Apeldron
Hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai.
c. Prof. Notohamidjoyo
Hukum memiliki tiga tujuan yaitu :
1. Mendatangkan tata dan damai dalam masyarakat
2. Mewujutkan keadilan
3. Menjaga agar manusia diperlakukan, sebagai manusia.
Tujuan yang penting dan hakiki dari hukum adalah memamusiakan manusia, dalam
hukum terdapat teori tujuan hukum sebagai berikut :
a. Teori Etis, meneurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mencapai
keadilan.
b. Teori Utilitas, menurut teori ini tujuan hukum adalah memberikan
faedah sebanyak – banyaknya bagi masyarakat.
c. Campuran dari teori etis dan utilitas, menerut teori ini hukum
bertujuan untuk memjaga ketertiban dan untuk mencapai keadilan
dalam masyarakat.
5. Penggolongan Hukum
a. Berdasarkan Bentuknya
1. Hukum Tertulis
2. Hukum Tidak Tertulis
b. Berdasarkan Wilayah Berlaku
1. Hukum Lokal
2. Hukum Nasional
3. Hukum Internasional
c. Berdasarkan Fiungsinya
1. Hukum Marerial
2. Hukum Formal
d. Berdasarkan Waktu Berlakunya
1. hukum Positif atau hukum yang berlaku sekarang
2. hukum yang berlaku pada masa yang akan datang
3. hukum antar waktu ( hukum trasitor )
e.Berdasarkan Isi Masalah
1. Hukum Privat ( hukum sipil )
2. hukum Publik ( hukum Negara )
f. Berdasarkan Sumbernya
1. Undang – undang
2. Kebiasaan
3. Traktat
4. Yurisprudensi.
# Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara satu orang
dengan orang lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan bersama.
Ciri – cirri hukum perdata :
1. Mengatur hubungan antara orang satu dengan yang lainnya
2. Mengatur hukum keluarga, hukum harta kekeyaaan, dan hukum waris.
3. Proses pengadilan didasarkan pada pengaduan dari pihak yang merasa
dirugikan
4. Korban berlaku sebagai penggugat
5. Tersangka berlaku sebagai tergugat
# Hukum Dagang / Perniagaan adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang
satu dengan yang lain maupun antara orang dengan badan – badan hukum dalam
bidang perdaganggan.
# Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan – perbuatan yang dilarang /
melanggar hukum dengan diseretai sanksi – sanksi hukum yang tegas dan jelas
terhadap pelanggarnya.
Ciri – cirri hukum pidana :
1. Mengatur hubungan antar warga negara dengan negara yang menguasai tata
tertib masyarakat Indonesia.
2. Mengatur hal – hal yang berupa pelanggaran dan kejahatan.
3. Pelanggaran terhadap hukum pidana segera diambil tindakan oleh
pengadilan walaupun tanpa adanya pengadilan dari pihak yang dirugikan.
4. Pihak yang dirugikan cukup melapor kepada yang berwajib dan akan
menjadi saksi.
5. Penggugat adalah penuntut umum.
# Hukum Administrasi Negara / Hukum Tata Usaha Negara adalah hukum yang
mengatur segala tuhas atau hak dan kewajiban pejabat – pejabat pemerintah dari pusat
sampai daerah.
# Hukum Internasioanal terbagi menjadi 2 yaitu :
1. Hukum Perdata Internasional
2. Hukum Pidana International
6. Tata Urutan Perundang – undangan Negara Republic Indonesia
Tata Urutan Perundang – undangan Negara republic Indonesia diatur dalam ketetapan
MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang
– Undangan yang meliputi :
a. UUD 45
b. Tap. MPR RI
c. Undang – undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah
7. Pengertian Sistim Hukum Nasional
Sistim hukum nasioanal adalah keseluruhan unsur – unsur hukum nasional
yang saling berkait guna mencapai tatanan sosial yang berkeadilan. Adapun sistim
hukum meliputi dua bagian yaitu :
a. Stuktur Kelembagan Hukum
Sistim berserta mekanisme kelembagaan yang menopang Pembentukan dan
Penyelenggaraan hukum di Indonesia.
Sistim Kelembaggan Hukum meliputi :
1. Lembaga – lembaga peradilan
2. Apatatur penyelenggaraan Hukum
3. Mekanisme penyelenggaraan hukum
4. Pengawasan pelaksanaan hukum
b. Materi Hukum yaitu
Kaidah – kaidah yang dsituangkan dan dibakukan dalam persatuan hukum baik
yang tertulis ataupun yang tidak tertulis.
c. Budaya Hukum yaitu:
Pembahasan mengenai budaya hukum meniti beratkan pada pembahasan mengenai
kesadaran hukum masyarakat.
B. Sistim Peradilan Nasional
Sistim Peradilan Nasioanl diartikan sebagai suatu keseluruhan kompenen Peradilan
Nasioanal yang meliputi pihak – pihak dalam proses peradilan, Hirerki Peradilan,
maupun aspek – aspek yang bersifat procedural dan saling berkaitan sedenikian rupa,
sehingga terwujut kwadilan hukum.
Untuk mewujutkan tujuanya, seluruh komponen dalam system peradilan harus
berfungsi dengan baik , adapun komponen tersebut meliputi :
1. Materi Hukum Marterial dan Formal ( Hukum Acara )
Hukum material adalah hukum yang berisi tentang perintah dan larangan,. Sedangkan
hukum formal adalah hukum yang berisi tentang tata cara melaksanakan
mempertahankan hukum material.
2. Prosedur Peradilan ( Komponen yang bersifat Prosedural )
Yaitu bagaimana proses pengajuan perkara mulai dari penyelidikan – penyelidikan
penuntutan sampai pada pemeriksaan di siding pengadilan. Prosedur pengadilan yang
berlaku meliputi :
a. Penyelidikan
b. Penyidikan
c. Penuntutan
d. Mengadili
Apabila digambarkan dalam bentuk skema maka prosedur peradilan adalah sebagai
berikut :

Penyelidikan oleh Penyidikan oleh Penuntutan oleh Persidangan


penyelidik penyidik penuntut umum (Jaksa) oleh hakim
Secara umum peranan lembaga peradilan adalah mkenerima, memaksa, dan sekaligus
memutuskan suatu perkara di siding pengadilan dalam rangka unutuk menegakkan
hukum dan keadilan.
3. Budaya Hukum
Komponen yang sangat penting dan menentukan tegaknya keadilan adalah kesadaran
hukum
4. Hierarki Kelembagaan Peradilan
Susunan lembaga perradilan yang secara hierarki memiliki fungsi dan kewenangan
peradilan masing – masing.
C. Peranan Lembaga – Lembaga Peradilan
Lembaga – lembaga kekuasaan kehakiman yang berada di Indonesia
1.Mahkamah Agung
MA adalah lembaga Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan pengadilan
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah atau pengaruh
– pengauruh lain.
Susunam MA terdiri dari Pimpinan, Hakikm Anggota ( hakim agung) panitera dan
seorang sekretaris.
MA berwenang memeriksa dan memutuskan :
a. Permohonan kasasi.
b. Sengketa tenyang kewenangan mengadili.
c. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memeperoleh kekuatan hokum yang tetap.
2. Mahkamah Konstitusi ( MK )
MK adalah salah satu badan negara yang melakukan kekuassan kehakiman yang
merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan kedilan.
Kedudukan MK adalah di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Wewenang MK menurut UU No. 24 Tahun 2003 adalah :
1. Menguji Undang – Undang terhadap undang – undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh
Undang – Undang Dasar Republik Indonsia Tahun 1945
3. Memutus pembubaran partai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan / Wakil Prtesiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum.
Prinsip dari kewenangan Makamah Konstitusi adalah cheks and balances yang
menempatkan semua lembaga dalam kedudukan setara.
3. Komisi Yudisial ( KY )
Tujuan dari pembentukan komisi Yudiasial adalah dalam rangka mewujudkan
lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum dan lainya yang mandiri, bebeas
dari pengaruh penguasa ataupun pihak lain, KY berkedudukan di Ibu Kota Negara
RI.
Wewenang Komisi Yudistira adalah :
1. Memngusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR
2.Menegakkan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim diseluruh
lingkungan peradilan.
KY mempunyai tugas melekukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Tugas
pengawasan tersebut meliputi :
a. Menerima laporan masyarakat mengenai perilaku hakim
b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan tentang perilaku
hakim.
c. Memeriksa pelanggaran perilaku hakim yang diduga melangggar kode etik
perilaku hakim.
d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar
kode etik perilaku hakim.
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi yang akan
disampaikan kepada MA dan / MK yang terdasar disampaikan kepada
presiden dan DPR.
4. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu pelaku penguasaan bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya. Adapun kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum
dilaksanakan sebagai berikut :
a. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri kedudukanya di kota madya atau di ibu kota kabupaten, adapun
susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
Sekretaris, dan Jurusita,. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingakat pertama.
b. Pengadilan Tinggi
Merupakan pengadilan tinggi banding yang berkedudukan di ibu kota provinsi, dan
daerah yang hukumnya meliputi wilayah provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi
meliputi Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris, Adapun tugas dan
wewenang Pengadilan Tinggi adalah :
1. Mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding.
2. Mengadili di tingkat pertama terahkir mengenai sengketa kewenangan
mengadili antar pengadilan negeri di wilayah hukumnya.
3. menjaga jalanya pengadilan di tingkat Pengadilan Negeri agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
4. memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada
instansi pemerintah bil;a diminta.
5. Tugas atau kewenangan berdasarkan undang – undang.
Ketua Pengadilan juga bertugas mengadakan pengawasan pelaksanaan tugas
dan tingkah laku hakm, panitera, sekretaris dan jurusita di daerah hukumya.
5.Peradilan Agama
Yang dimaksud Peradilan Agama adalah pengadilan agama Islam. Pengadilan Agama
terdapat di setiap ibu kota Kabupaten. Pengadilan TInggi Agama berkedudukan di
setiap ibu kota Propinsi. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim,
Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. Sedangkan susunan
PENGADILAN Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan
Sekretaris. Tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan,wasiat dan hibah yang di lakukan berdasarkan hokum Islam
c. Wakaf dan sodakoh
Tugas dan wewenang Pengadilan Tinggi Agama adalah :
a. Mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam
tingkat banding.
b. Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
c. Pengadilan Tinggi Agama dapat memberikan keterangan, pertimbangan,
dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya apabila diminta.
d. Serta tugas dan kewenangan lain yang di tetapkan berdasarkan undang-
undang.
6. Peradilan Militer
Dalam peradilan militer pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan militer. Peradilan militer merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkata Bersenjata untuk menegakkan hukum
dan keadilan dengan memperhatikan kepentinga penyelenggara pertahanan
keamanan Negara.
7. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha Negara. Sengketa tata usaha
negara adalah sengketa yang timbul dalam tata usaha negara antara orang /badan
hukum perdata dengan badan / pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun
daerah. Dan yang dimaksud dengan tata usaha Negara adalah administrasi Negara
yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di
pusat maupun daerah.Pengadilan tata usaha Negara merupakan pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tinggi tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat
banding.

Berikut ini adalah skema yang menggambarkan system kelembagaan peradilan


Indonesia.

UUD 1945

Kekuasaan Kehakiman

Mahkamah Konstitusi Mahkamah Agung Komisi Yudisial

Lin
gkungan Peradilan Lingkungan Peradilan Lingkungan Peradilan Lingkungan Peradilan
Umum Agama Militer Tata Usaha Negara

Pengadilan Tinggi Pengadilan Tinggi Pengadilan Tinggi Pengadilan Tinggi


Agama Pengadilan Militer Utama Tata Usaha Negara

Pengadilan Negeri Pengadilan Agama Pengadilan Militer Pengadilann Tata


Pengadilan Pertempuran Usaha Negara

Kesimpulan
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang terdiri dari perintah dan larangan yang
bersifat memaksa dan mengikat dengan disertai sanksi bagi pelanggarnya yang bertujuan
untuk mengatur ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk mencapai
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat dibutuhkan sikap masyarakat yang sadar
hokum. Selain masyarakat pemerintahpun juga harus sadar hokum. Maka tercapailah
ketentraman dan ketertiban itu. Untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran hokum yang
terjadi maka di Indonesia telah ada berbagai macam Pengadilan. Dari yang mengadili
masyarakat sampai dengan pemerintah dan para pejaba

Septina Damayanti, SPd. dan Siti Nurjanah, SPd.


Kreatif, Jawa Tengah :Viva Pakarindo
Abdulkarim Aim, Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas X SMA, Bandung :
Grafindo Media Pratama, 2006.

Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga tindak pidana korupsi, selain
dibutuhkan seperangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen
penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui
mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (criminal justice
system). Lebih lanjut Muladi menyatakan sistem peradilan pidana mempunyai dimensi
ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan
mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system). Di lain pihak
juga berfungsi untuk pencegahan skunder (secondary prevention), yakni mencoba
mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan
mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan
pelaksanaan pidana.

Berkaitan dengan sistem hukum, Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur
apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum.
Ukuran tersebut diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya principles of
legality, yaitu :

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud di sini


adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad
hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu
tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjamin pedoman tingkah
laku. Membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan
yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu


sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan
seorang akan kehilangan orientasinya.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya


sehari-hari.

Lebih lanjut Fuller menyatakan, bahwa kegagalan untuk menciptakan sistem yang
demikian itu bukan hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan juga suatu
yang tidak bisa disebut sistem hukum sama sekali. Sebagai sebuah sistem, maka sistem
peradilan pidana bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu. Oleh karena itu
sistem peradilan pidana memerlukan kombinasi yang serasi antar subsistem untuk
mencapai satu tujuan.

Sistem peradilan pidana dilihat dari segi tujuan sistem itu sendiri dapat diartikan sebagai
suatu jaringan kerja yang ada dalam masyarakat atau negara yang dibentuk secara sadar
dalam rangka untuk mengendalikan kejahatan, agar kejahatan yang ada dalam
masyarakat masih berada dalam tingkat yang dapat diterima.

Menurut Yahya Harahap, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan : pertama,
mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ; kedua, menyelesaikan kejahatan yang
terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah
dipidana ; dan ketiga, berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi perbuatannya.

Robert D. Pursley, membedakan tujuan sistem peradilan pidana atas tujuan utama dan
tujuan penting lainnya, yaitu :

1. Tujuan utama, diantaranya untuk melindungi warga masyarakat dan untuk memelihara
ketertiban masyarakat.

2. Tujuan penting lainnya adalah sebagai berikut :


a. mencegah kejahatan ;

b. menekan prilaku yang jahat dengan cara menahan para pelanggar dengan mana
mencegah mereka untuk melakukan kejahatan sudah tidak mempan (tidak efektif) lagi ;

c. meninjau keabsahan dari tindakan atau langkah yang telah dilakukan di dalam
mencegah dan menekan kejahatan ;

d. menempatkan secara sah apakah bersalah mereka yang ditahan, atau tidak ;

e. menempatkan secara pantas atau layak mereka yang secara sah telah dinyatakan
bersalah ;

f. membina atau memperbaiki para pelanggar hukum.

Bertitik tolak dari pendapat tersebut di atas, dapatlah dikatakan tujuan dalam sistem
peradilan pidana merupakan hal yang menentukan keberhasilan sistem tersebut. Masing-
masing subsistem peradilan pidana harus memiliki persepsi yang sama terhadap tujuan
tersebut. Selain itu, setiap kewenangan dan tindakan yang dilakukan masing-masing
subsistem harus mengarah kepada tujuan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Kenet J. Peak :

”Each system component police, court and correction have vary degree of responsibility
and discretion dealing with crime. However, there is a failure of each system component
to engage ini any coordinated planning effort, hence relations among and between these
components are often characterized by friction, conflict, and deficient communication.
Role conflicts also serve to ensure that planning and communication are stified”.

Artinya, masing-masing komponen sistem harus mempunyai kesamaan tingkat tanggung


jawab dan pertimbangan dalam menangani suatu perkara kejahatan. Perlu adanya
koordinasi dan perencanaan, karena dalam hubungan dengan subsistem lain sering terjadi
adanya konflik oleh karena itu komunikasi saja tidak cukup. Pembagian kewenangan
harus jelas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antar subsistem.

Meskipun masing-masing komponen subsistem memiliki fungsi dan kewenangan yang


berbeda tetapi dalam kerangka sistem peradilan pidana masing-masing subsistem
mempunyai tujuan yang sama. Keterkaitan keberhasilan kerja masing-masing subsistem
satu dengan yang lainnya akan berdampak pada hasil kerja subsistem yang lain dalam
menegakan hukum dan keadilan. Kebutuhan akan aparat penegak hukum untuk
menjalankan tugas memerlukan wewenang atau otoritas untuk menjalankannya. Dengan
kewenangan yang ada diharapkan dapat digunakan untuk memerangi kejahatan yang
terjadi di dalam masyarakat.

Jadi pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu
tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan
atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan
tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak
proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan
dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali
terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat
pada hukum.

Published: July 20, 2010


Please Rate this Summary :12345
Rating : 12345

More About : tujuan sistem peradilan di indonesia


Ads by Google

You might also like