Professional Documents
Culture Documents
Sistem peradilan di suatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem hukum yang
dianut oleh negara tersebut. Menurut Eric L. Richard, sistem hukum utama di dunia
adalah sebagai berikut :
1. Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini berasal
dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa
Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
2. Common Law, hukum yang berdasarkan custom.kebiasaaan berdasarkan preseden atau
judge made law. Sistem ini dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon, seeprti Inggris
dan Amerika Serikat.
3. Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an
dan Hadits.
4. Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
5. Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika yang
berada di sebelah selatan Gunung Sahara.
6. Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh – merupakan sistem hukum uang kompleks
yang merupakan perpaduan antara sistem Civil Law, Common Law, dan Hukum Islam
sebagai basis fundamental masyarakat.
Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-
sistem hukum, yaitu :
1. Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang
mempunyai sifat individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih
banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
2. Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu
bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Soerojo
Wigdjodipuro, 1995 : 13).
3. Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda
datang ke Indonesia, Islam telah diterima oleh Bangsa Indonesia.
Adanya pengakuan hukum Islam seperti Regeling Reglement, mulai tahun 1855,
membuktikan bahwa keberadaan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum
Indonesia nerdasarkan teori “Receptie” (H. Muchsin, 2004)
Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan
saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara
yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang
didasari oleh pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di
Indonesia”.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia
merupakan suatu sistem yang ada hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan
yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada
Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan
lembaga pengadilan yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara
Koneksitas”. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945
dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam Pasal 15 UU Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai Pengadilan Khusus sebagai
berikut :
1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang.
2. Pengadilan Syariah Islam di Provinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
paradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum.
Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem peradilan yang ada di Indonesia sebagai
berikut:
A. MAHKAMAH AGUNG
UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2005
I. PERADILAN UMUM
a. Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997)
b. Pengadilan Niaga (Perpu No. 1 Tahun 1989)
c. Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000)
d. Pengadilan TPK (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002)
e. Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004)
f. Mahkamah Syariah NAD (UU No. 18 Tahun 2001)
g. Pengadilan Lalu Lintas (UU No. 14 Tahun 1992)
B. MAHKAMAH KONSTITUSI
(UU No. 24 Tahun 2003)
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan teori dan proses peradilan hukum pidana yang
dilaksanakan di Republik Indonesia, dari tahap pertama dimana sebuah berkas diserahkan
kepada lembaga penuntan (kejaksaan) dari lembaga penyidikan (kepolisian) sehingga
diputuskan oleh hakim/pengadilan. Penulis juga bertujuan untuk menggambarkan
beberapa perbedaan antara sistem peradilan yang dilaksanakan di Australia dibanding
dengan Indonesia.
Pendahuluan
Setelah melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat dalam sistem
peradilan di RI, misalnya dosen hukum, hakim, jaksa dan pengacara, data-data dan hasil
observasi di Pengadilan Negeri, Lembaga Permasyarakatan dan sumber lainnya, penulis
bertujuan untuk menulis laporan yang menjelaskan dasar-dasar hukum pidana Indonesia,
baik hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil, dan gambaran beberapa
perbedaan antara sistem peradilan yang dilaksanakan di Australia dan RI.
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam
sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris.
Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa
Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa
Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada
sistem Anglo Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat
dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil.
Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan
hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita
temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan
pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan
lagi pula disesuaikan dengan Pancasila.”
1
Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
Hal 33
2
Wawancara terpisah dengan Dosen-dosen Fakultas Hukum UNRAM: Lalu Parman dan M. Lubis,
SH.,M.Hum pada tanggal 27 Januari 2009.
3
Ibid.
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait
dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut
didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan.
Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR
Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi
disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang
berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan
urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh
berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan
lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-
kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga
tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan
terhadap nyawa orang, sebagai berikut:4
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman
(sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP
menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang
peranan polisi dan jaksa:6
“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan
Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat7 dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah
hasil penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah
4
R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981) Hal 357
5
Dengan pemakaian kata “selama-lamanya” maka kita memahami bahwa itu adalah ancaman hukuman
yang paling maksimal yang dapat hakim jatuhkan kepada terdakwa – sedangkan hukuman minimal tak ada
sekalipun. Ialah merupakan salah satu perbedaan penting yang disampaikan oleh dosen hukum ketika
diwawancarai, sebab RUU KUHP akan menentukan ancaman baik minimal maupun maksimal untuk setiap
kejahatan masing masing. Menurut Bapak Lubis sesuai dengan KUHP sekarang “baik mencuri sapi
maupun ayam, ancamannya sama. Minimalnya satu hari saja! Itu adalah kebebasan yang sangat besar. Para
Hakim harus dikasih batas minimalnya. Kecuali dalam undang-undang khusus misalnya korupsi, narkotika
ataupun money laundering dimana sudah tercatat ada minimal dan maksimalnya.”
6
Andi Hamzah Op. Cit. Hal 79
7
Wawancara dengan Dedy Koesnomo SH, MH, Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB pada
tanggal 5 Februari 2009.
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari
kepolisian untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
adalah berkas lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya.
BAP tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu.
Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat
kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika
BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada
kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan
perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih
dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.
Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah
sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan untuk menyidangkan perkara.8 Kejaksaan bertanggungjawab untuk
meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka
kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga
Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai.
Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan
tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.
8
Ketika diwawancarai oleh penulis Ketua Pengadilan Mataram Suryanto SH, MHum, mengatakan di
Pengadilan Negeri Mataram pada saat wawancara ada 11 hakim yang tersedia untuk ditugaskan
menyidangkan perkara, padahal seharusnya paling sedikit ada 15 hakim. Ketersediaan hakim ditentukan
oleh Departemen Kehakiman kantor pusat Jakarta, sehingga kebanyakan hakim yang ditugaskan ke suatu
lokasi biasanya tidak berasal dari lokasi tersebut, dan ditugaskan selama 3 tahun kemudian dimutasi ke
tempat lain. Suryanto juga mengatakan bahwa terkadang jika ada saksi atau terdakwa dari desa terpencil
yang tidak dapat berbicara bahasa Indonesia, maka diperlukan juru bahasa untuk menerjemahkan dari
bahasa suku daerah ke bahasa Indonesia.
9
Sebetulnya ada banyak perbedaan secara fisik diantara sebuah ruang sidang di RI dan Australia, baik
letakan saksi, penuntut umum, pengacara maupun suasananya secara umum. Misalnya pada awal
persidangan Ketua Majelis menyuruh semua orang untuk mematikan atau mendiamkan telfon genggamnya.
Padahal sering terdengar suara telfon berbunyi dari bagian umum dan orang cepat keluar untuk mengangkat
telfonnya! Di Australia setiap kali orang ingin keluar atau masuk ruang sidang diharuskan menunduk
kepada Hakim sebagai tanda kehormatan. Di Indonesia, orang keluar-masuk ruangannya dengan sangat
bebas tanpa memberi hormat kepada para hakim. Apalagi, sering dilihat orang-orang yang ‘nongkrong’
diluar pintu terbuka ruang sidang, berbicara dengan teman, bahkan tertawa iseng-iseng.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan
dipanggil dalam sidang hari itu.10 Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil,
mereka bertiga dipanggil oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan
hakim; kursi yang sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan
menyampaikan beberapa pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama,
tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan
dengan si terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata
pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam
perkara ini yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al
Quoran atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik
juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.
Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah, semua saksi bersumpah pada saat
bersamaan, sedangkan di Australia setiap saksi akan bersumpah justru sebelum dia akan
memberikan keterangan.
Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di bangku di depan hakim,
sedangkan yang lain disuruh untuk keluar dari ruang persidangan. Itulah saatnya
pemeriksaan saksi dimulai oleh Ketua Hakim. Ini juga merupakan salah satu perbedaan
besar di antara sistem persidangan di Australian dan RI. Di Australia peranan hakim
dapat disebut pasif. Padahal hakim di persidangan di Australia agak jarang akan bertanya
langsung kepada saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang
mulai dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses
interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan.11 Setelah hakim selesai
dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk memeriksa saksi,
disusul oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si terdakwa akan diberikan
kesempatan untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh
penulis, Hakim akan menyimpulkan keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan
misalnya:
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah memberikan
keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk memanggil
saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang sama sebagaimana
digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan keterangan, tahap pemeriksaan
saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya.
Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari
hakim. “Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan
pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa
terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir.”12
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan
dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus mengambil keputusan. Keputusannya
dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir
diantara para hakim. Jika dalam musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai
kesepakatan, keputusan dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu
diharuskan jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan
para hakim ada tiga alternatif: 13
Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan para hakim
dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat
bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
12
Andi Hamzah Op. Cit. Hal 282
13
Wawancara dengan Dedy Koesnomo Op.Cit.
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan soal sanksinya,
berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri terhadap terdakwa. Tergantung
pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat
daripada tuntutan jaksa.
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga terdakwa
dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi
dijatuhkan hukuman penjara15 maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk
menjalani hukumannya.
Purwadi menerangkan bahwa di Lapas Mataram pada saat diwawancarai ada 571 orang
dalam penahanan. Sebagai berikut:
Narapidana pria yang ditahan di Lapas Mataram kemudian dipisahkan dua kategori lain
berdasarkan kriminalitasnya; yaitu narapidana yang dihukum untuk kejahatan narkotika,
dan yang lain misalnya pencurian, lalu lintas, penipuan, pembunuhan, ‘togel’ (‘toto
gelap’, judi) dan sebagainya. Purwadi mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya
untuk “memotong jaringannya” penjahat narkotika, yang diduga akan mendorong napi
lain untuk mencoba narkotika dan oleh sebab itu memperluas jaringannya. Kalapas
tersebut juga menegaskan bahwa penjahat narkoba merupakan 35% dari jumlah
narapidana laki-laki. Penulis dapat melihat secara langsung bahwa penjahat narkotika
tersebut ditahan dalam lima buah kamar dengan jumlah orang sehingga lebih dari 30
orang per kamar, apalagi kamar mandi dan WC terletak di dalam kamar tersebut. Untuk
tempat tidurnya, narapidana dapat memakai sebuah tikar yang terbentang di atas lantai
yang terbuat dari beton.
Salah satu petugas, Kusnan, menjelaskan bahwa setiap kamar ada wali; salah satu petugas
yang bertanggung jawab atas kamar tersebut. Wali tersebut ditugaskan untuk mendengar
keluhan keluhan dari narapidana, menetapkan aturan tata-tertib di dalam kamar dan
mengurus semua hal terkait dengan jangka penahanan untuk narapidana masing masing,
baik cuti bersyarat, pelepasan bersyarat maupun remisi.
Petugas Lapas menerangkan bahwa setiap hari para narapidana dapat keluar dari kamar
untuk dua jam di sore hari untuk berolahraga di halaman tengah. Kemudian untuk para
narapidana setiap Selasa, Kamis dan Minggu, ada jam kunjungan untuk keluarga dari jam
09:00 s/d 13:30. Keluarga para narapidana dapat memberikan makanan dan barang
barang lain misalnya kue kue, sikat gigi dan lain lainnya, setelah diperiksa di ruang
geledah.
Purwadi menegaskan bahwa Lapas Mataram sebetulnya dirancang untuk menahan 350
orang, akan tetapi pada saat kunjungan ada hampir 600 orang yang ditahan. Oleh sebab
itu dapat dikatakan bahwa Lapas Mataram sedang “over capacity” (melebihi
kapasitasnya). Kalapas juga mengatakan bahwa fasilitas-fasilitas di lapas sangat terbatas
maka program-program pembinaan ataupun rehabilitasi berkurang. Walaupun begitu,
Lapas Mataram dilengkapi dengan suatu bengkel dimana para narapidana dapat bekerja,
misalnya memperbaiki atau mencuci baik sepeda motor maupun mobil.
Kesimpulan
Secara garis besar, proses peradilan antara Australia dan Republik Indonesia agak mirip.
Ada Lembaga Penyidikan (Kepolisian) yang bertanggungjawab mendeteksi dan
menyelidiki kejahatan, kemudian ada Lembaga Penuntutan (di Australia sejajar dengan
“Department of Public Prosecutions”) yang bertanggungjawab atas memeriksa berkas-
berkas yang diajukan dari Lembaga Penyidikan sebelum perkaranya dapat dilimpahkan
ke pengadilan. Ada juga Lembaga Pemutus Perkara, atau pengadilan yang
bertanggungjawab memutuskan bersalah tidaknya seorang terdakwa. Meskipun demikian
ada pula cukup banyak perbedaan dalam rincian teknis pada setiap tahap dari proses
peradilan di dua negara tersebut. Penulis berharap bahwa laporan ini berhasil untuk
menggambarkan dan menjelaskan beberapa perbedaan tersebut.
Daftar Pustaka
• Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar
Grafika, Jakarta 2008)
• R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
• Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT Citra
Aditya Bakti, Bandung 1997)
• Wawancara dengan:
o Lalu Parman SH. MH. Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM, 27
Januari 2009
o M. Lubis, SH. M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM 27 Januari
2009
o Suryanto SH. M.Hum Ketua Pengadilan, Pengadilan Negeri 1A Mataram
28 Januari 2009
o Mion Ginting SH. MH. Hakim Pengadilan Negeri 1A Mataram 30 Januari
2009
o Dedy Koesnomo SH. MH. Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi
NTB 5 Februari 2009
o Purwadi Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Lembaga
Permasyarakatan Negeri Mataram 2 Februari 2009
UUD 1945
Kekuasaan Kehakiman
Lin
gkungan Peradilan Lingkungan Peradilan Lingkungan Peradilan Lingkungan Peradilan
Umum Agama Militer Tata Usaha Negara
Kesimpulan
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang terdiri dari perintah dan larangan yang
bersifat memaksa dan mengikat dengan disertai sanksi bagi pelanggarnya yang bertujuan
untuk mengatur ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk mencapai
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat dibutuhkan sikap masyarakat yang sadar
hokum. Selain masyarakat pemerintahpun juga harus sadar hokum. Maka tercapailah
ketentraman dan ketertiban itu. Untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran hokum yang
terjadi maka di Indonesia telah ada berbagai macam Pengadilan. Dari yang mengadili
masyarakat sampai dengan pemerintah dan para pejaba
Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga tindak pidana korupsi, selain
dibutuhkan seperangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen
penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui
mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (criminal justice
system). Lebih lanjut Muladi menyatakan sistem peradilan pidana mempunyai dimensi
ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan
mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system). Di lain pihak
juga berfungsi untuk pencegahan skunder (secondary prevention), yakni mencoba
mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan
mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan
pelaksanaan pidana.
Berkaitan dengan sistem hukum, Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur
apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum.
Ukuran tersebut diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya principles of
legality, yaitu :
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu
tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjamin pedoman tingkah
laku. Membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan
yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan
seorang akan kehilangan orientasinya.
Lebih lanjut Fuller menyatakan, bahwa kegagalan untuk menciptakan sistem yang
demikian itu bukan hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan juga suatu
yang tidak bisa disebut sistem hukum sama sekali. Sebagai sebuah sistem, maka sistem
peradilan pidana bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu. Oleh karena itu
sistem peradilan pidana memerlukan kombinasi yang serasi antar subsistem untuk
mencapai satu tujuan.
Sistem peradilan pidana dilihat dari segi tujuan sistem itu sendiri dapat diartikan sebagai
suatu jaringan kerja yang ada dalam masyarakat atau negara yang dibentuk secara sadar
dalam rangka untuk mengendalikan kejahatan, agar kejahatan yang ada dalam
masyarakat masih berada dalam tingkat yang dapat diterima.
Menurut Yahya Harahap, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan : pertama,
mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ; kedua, menyelesaikan kejahatan yang
terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah
dipidana ; dan ketiga, berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi perbuatannya.
Robert D. Pursley, membedakan tujuan sistem peradilan pidana atas tujuan utama dan
tujuan penting lainnya, yaitu :
1. Tujuan utama, diantaranya untuk melindungi warga masyarakat dan untuk memelihara
ketertiban masyarakat.
b. menekan prilaku yang jahat dengan cara menahan para pelanggar dengan mana
mencegah mereka untuk melakukan kejahatan sudah tidak mempan (tidak efektif) lagi ;
c. meninjau keabsahan dari tindakan atau langkah yang telah dilakukan di dalam
mencegah dan menekan kejahatan ;
d. menempatkan secara sah apakah bersalah mereka yang ditahan, atau tidak ;
e. menempatkan secara pantas atau layak mereka yang secara sah telah dinyatakan
bersalah ;
Bertitik tolak dari pendapat tersebut di atas, dapatlah dikatakan tujuan dalam sistem
peradilan pidana merupakan hal yang menentukan keberhasilan sistem tersebut. Masing-
masing subsistem peradilan pidana harus memiliki persepsi yang sama terhadap tujuan
tersebut. Selain itu, setiap kewenangan dan tindakan yang dilakukan masing-masing
subsistem harus mengarah kepada tujuan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Kenet J. Peak :
”Each system component police, court and correction have vary degree of responsibility
and discretion dealing with crime. However, there is a failure of each system component
to engage ini any coordinated planning effort, hence relations among and between these
components are often characterized by friction, conflict, and deficient communication.
Role conflicts also serve to ensure that planning and communication are stified”.
Jadi pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu
tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan
atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan
tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak
proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan
dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali
terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat
pada hukum.