You are on page 1of 10

Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional

Penururunan Efektifitas ASEAN paska Penandatanganan Piagam ASEAN


Analisis terhadap Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sesudah dan Sebelum Penandatangan Piagam
Dengan melihat konteks waktu ketika ASEAN didirikan, maka tujuan pendirian ASEAN yang
disepakati dalam Deklarasi Bangkok merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa bagi dinamika regional.
Namun, selama bertahun-tahun para anggotanya segan untuk mengangkat isu yang berbau high politics atau
menyangkut kedaulatan dan keamanan suatu negara. Selama bertahun-tahun itu pula ASEAN menjadi
perkumpulan yang amat tidak mengikat, tidak ada hukum yang benar-benar mengikat anggota secara
keseluruhan. Barulah sembilan tahun kemudian (1976) setelah pendiriannya dibuat dan disepakati perjanjian
Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia/ TAC yang cukup mengikat para anggota. TAC adalah
rejim keamanan pertama bagi negara-negara ASEAN karena sebelumnya belum pernah ada seperangkat
peraturan mengikat yang mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan antar anggotanya.
TAC lahir karena perbedaan atau perselisihan kepentingan di antara anggota sudah mulai muncul ke
permukaan. Untuk itu, perlu ada pengaturan yang mengikat agar perselihan tidak semakin melebar. Dalam
perjanjian itu, kita bisa melihat bahwa ASEAN lebih mementingkan kerjasama untuk mencegah perluasan
perselisihan. Dalam TAC diatur tujuan dan prinsip dasar bagi para anggota untuk menjalankan hubungan
persahabatan dan kerjasama dengan negara anggota lainnya. Aturan dan prosedur yang ada dalam TAC
cukup jelas, hal ini diperkuat dengan adanya wewenang bagi High Council of TAC terkait perannya dalam
menghadapi masalah-masalah yang timbul di kawasan. Aturan dan prosedur bagi High Council ditetapkan
melalui pertemuan di Hanoi pada Juli 2001.
Agar ASEAN dapat terus bertahan di tengah dinamika internasional yang ada, maka para anggotanya
terus melakukan adaptasi, salah satunya dengan membuat berbagai kesepakatan baru. Salah satu bentuk
adaptasi itu adalah penandatanganan Piagam ASEAN pada KTT ke-13 di Singapura. Sejak saat itu, tidak
ada lagi sanggahan bahwa ASEAN bukanlah sebuah organisasi karena ia telah memiliki apa yang harus
dimiliki oleh sebuah organisasi internasional. Sama halnya dengan TAC, piagam itu juga mencakup
mekanisme penyelesaian sengketa. Dengan demikian, mekanisme penyelesaian sengketa di kemudian hari
tidak lagi didasarkan pada TAC melainkan pada Piagam ASEAN. Namun, apakah mekanisme baru itu
meningkatkan efektifitas ASEAN dalam menyelesaikan sengketa antar anggotanya? Pertanyaan inilah yang
saya coba jawab dalam esai ini.
Seperti yang kita ketahui, para anggota ASEAN, terutama Indonesia, tengah berusaha meningkatkan
peran mekanisme regional dalam usaha penyelesaian sengketa antar anggotanya, ketimbang membawa
sengketa-sengketa itu ke forum-forum internasional. Dengan begitu, pembahasan mengenai efektifitasnya
paska penandatanganan Piagam menjadi sesuatu yang sangat penting dan dapat dijadikan masukkan bagi
para pembuat kebijakan. Pembahasan dan analisis kecil yang dilakukan oleh penulis di sini diharapkan dapat
menunjukkan apakah Piagam ASEAN mampu mendikte para anggotanya dalam menyelesaikan sengketa.
Apakah mekanisme penyelesaian sengketa yang ada dalam Piagam akan semakin mampu atau semakin tidak
mampu menyelesaikan sengketa antar anggotanya. Di bagian awal pembahasan, penulis akan memaparkan
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
sedikit alasan mengapa penulis menganggap TAC dan Piagam ASEAN sudah dapat dikatakan sebagai
bentuk rejim keamanan internasional. Di bagian kedua, penulis akan menganalisis isi TAC dan Piagam
ASEAN tentang penyelesaian sengketa secara damai. Dari situ penulis akan membuktikan bahwa
mekanisme penyelesaian sengketa dalam TAC lebih mengikat ketimbang dalam Piagam ASEAN, dengan
demikian dapat dilihat bahwa PIagam ASEAN justru membuat ASEAN semakin tidak mampu
menyelesaiakan perselisihan yang mungkin timbul di antara paraanggotanya. Penulis akan menganalisisnya
menggunakan kerangka konsep tentang rejim keamanan internasional yang dikemukakan oleh beberapa
pakar seperti Keohane, Jervis, dan Viotti-Kauppi. Selanjutnya penulis akan menjelaskan bahwa mekanisme
penyelesaian sengeketa yang ada dalam Piagam justru menurunkan efektivitas ASEAN dalam
menyelesaikan perselisihan antar anggota. Dengan demikian, mekanisme penyelesaian sengketa yang ada
dalam Piagam justru semakin menjauhkan cita-cita para anggota yang ingin mendirikan komunitas
keamanan di wilayah Asia Tenggaara. Penulis akan menganalisis hal itu menggunakan konsep tentang
komunitas keamanan yang dikemukakan oleh Karl Deustch.

Kerangka Konsep
Interdependensi antar unit merupakan salah satu faktor terbentuknya rejim internasional. Dalam
mengatur hubungan yang bersifat interdependen, diperlukan seperangkat peraturan, prosedur, dan institusi
terkait atau organisasi internasional untuk mengendalikan interaksi dalam isu-isu itu- dengan kata lain,
dalam hubungan yang seperti itu diperlukan rejim internasional. Istilah rejim pada rejim internasional
dipinjam dari politik domestic, yang mana merujuk pada eksistensi pemerintahan (demokratis, aotoritarian,
atau yang lainnya) atau seperangkat peraturan dan institusi yang dibuat untuk mengatur hubungan antar
individu, kelompok, atau kelas dalam sebuah negara. Pada konteks internasional, rejim memberikan dampak
pada ketiadaan superordinasi dari satu kekuatan terpusat, perauran-peraturan dibuat dengan sukarela oleh
berbagai negara dalam rangka memenuhi suatu tingkat keteraturan hubungan internasional. Stephen Krasner
mendefinisikan rejim sebagai prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pembuatan kebijakan, yang eksplisit
maupun implicit,yang memuat ekspetasi aktor-aktor yang mana bertemu dalam satu area tertentu dalam
hubungan internasional1. Oleh karena itu, rejim internasional tidak dapat disamakan dengan organisasi
internasional. Rejim mungkin menyertai organisasi- but, the former do not have capacity to act.2 Selain itu,
organisasi internasional diasosiakan dengan sesuatu yang fokus pada lebih dari satu area rejim, misalnya
UN.
Keamanan bukanlah sebuah bidang yang tabu untuk dikaitkan dengan pembentukkan rejim. Rejim
internasional di bidang keamanan (rejim keamanan internasional) adalah sesuatu yang unik dibandingkan
rejim di bidang lainnya seperti politik dan ekonomi tetapi, bukan berarti dalam menganalisis rejim di bidang
keamanan diperlukan metode yang berbeda. Robert Axelrod dan Robert O. Keohane menulis:
It has been noted that military-security issue displayed more of the characteristic associated with anarchy
than do political-economic ones. Charles Lipson, for instance, has recently observed that political-economy
1
Paul R. Viotti dan Mark. V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond 3 rd ed., (Allyn
and Bacon, United States of America, 1999), Hlm. 215
2
Ibid., 216
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
relationships are typically more institutionalized than military-security ones. This does not mean, however,
that the analysis of these two sets of issues requires two separate analytical frameworks. Indeed, one of the
major purposes of the present collection is to show that a single framework can throw light on both.3
Keohane juga mengamini pendapat Mersheimer bahwa “there is no clean analytical line between economic
and security issues”.4 Jadi, dalam memahami perilaku-perilaku kerjasama yang ada di dalam rejim
keamanan internasional, kita dapat meggunakan pola berpikir seperti yang kita pakai milsanya dalam
menganalisis rejim perdagangan. Negara juga akan mendapat keuntungan dengan memberikan sebagian
kedaulatannya kepada rejim keamanan. Jika pada rejim perdagangan internasional negara bisa memperoleh
akses dalam perdagangan internasional, maka dengan terlibat dalam suatu rejim keamanan negara akan
mendapatkan keuntungan berupa “bantuan” untuk menangkalan ancaman yang mungkin timbul dari dunia
internsional. Dengan kata lain, meminjam istilah Robert Jervis, dalam menghadapi ancaman internasional
terhadap keamanan, negara akan increased gains from cooperation atau increased costs of non-
cooperations.5
Manifestasi yang lebih tinggi dari rejim keamanan internasional adalah apa yang disebut oleh
Deuscth sebagai komunitas keamanan. Komunitas keamanan didefiniskan sebagai “a group of people”
integrated by a “sense of community,” that is, “a belief on the part of individuals in a group that they have
come to agreement on at least this one point: that common social problems must and can be resolved by
processes of ‘peaceful change’” (Deutsch et al., 1957: 5).6 Deustch berpendapat bahwa komunitas keamanan
terbentuk melalui kepatuahan pada pada nilai-nilai utama yang dianut, termasuk aturan-aturan yang telah
dibuat. Dalam komunitas keamanan harus ada jaminan bahwa para anggotanya tidak akan menyelesaikan
sengketa dengan cara-cara selain di luar perang.7

ASEAN: Selayang Pandang


Bagi ASEAN, kerjasama keamanan yang ada menjadi terinstitusionalisasi dikarenakan ada
kemiripan perspesi tentang ancaman terhadap keamanan nasional. Konflik yang terjadi di negara tetangga
dapat mengganggu eksistensi dan pencapaian tujuan-tujuan nasional. Untuk itulah para pemimpin negara-
negara di Asia Tenggara menginisiasikan terbentuknya organisasi itu. Sejak awal ia didirikan, para
anggotanya memang telah berusaha mengarahkan organisasi itu untuk mewujudkan adanya komunitas
keamanan di wilayah itu. Bahkan dalam buku yang berjudul Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas
ASEAN 2015, ASEAN diklaim sudah merupakan Komunitas Keamanan sejak awal ia didirikan, karena salah
satu butir penting dari awal pembentukkan ASEAN ialah memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan
Asia Tenggara. Meskipun dalam deklarasi Bangkok disebutkan bahwa kerjasama ASEAN lebih ditujukan
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, perkembangan social dan pembangunan budaya di kawasan,
3
Ibid., 43
4
Ibid.
5
Robert Jervis, From Balance to Concert: A Study of International Security Cooperation, diakses dari http://links.jstor.org/sici?
sici=0043-8871%28198510%2938%3A1%3C58%3AFBTCAS%3E2.0.CO%3B2-%23, pada 13 Januari 2008
6
Andrej Tusicisny, Security Community and Their Values: Taking Masses Seriously dalam International Political Science
Review, Vol. 28, No. 4, hlm. 426
7
Visi Satu Asia Tenggara oleh Ikrar Nusa Bhakti, diakses dari http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?
aid=8554&coid=4&caid=33, pada Minggu, 13 November 2009, pukul 17.40
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
adalah suatu kenyataan bahwa pembentukkan ASEAN lebih didorong oleh motif politik. ASEAN berdiri
tidak beberapa lama setelah Indoensia menghentikan politik konfrontasi dengan Federasi Malaysia. Hal ini
menjadi fondasi bagi ASEAN agar berbagai persoalan diselesaikan secara damai dan tidak melalaui perang.
Selain soal, “peaceful settlement of disputes,” adalah suatu kenyataan pula bahwa ASEAN didirikan untuk
menciptakan rasa aman, terutama dri ancaman internal seperti pemberontakan senjata, khususnya dari unsur-
unsur komunis yang saat itu masih ada di beberapa negara ASEAN.8
TAC dan Piagam ASEAN merupakan rejim keamanan yang terdapat dalam ASEAN. TAC yang
telah dibuat jauh sebelum Piagam ASEAN sudah membawa beberapa kekuksesan pada ASEAN terutama
dalam menyelesaikan permasalahan antar anggotanya. TAC sendiri telah dianggap sebagai regiobal code of
conduct yang selama ini dianggap paling berperan dalam meredam konflik antar sesama anggotadan
menumbuhkan budaya hubungan damai.9 Kesuksesan Piagam ASEAN dalam menyelesaikan konflik antar
anggota belum dapat diukur karena belum ada konflik keamanan antar anggota setelah penandatangan
Piagam yang telah diselesaikan oleh peran besar dari ASEAN.

Penyelesaian sengketa sebelum penandatanganan Piagam ASEAN (mekanisme penyelesaian sengketa


dalam Treaty of Amity and Cooperation)
Sebenarnya, KTT ASEAN di Bali tidak hanya menghasilkan TAC saja, ada juga kesepakatan tentang
area bebas nuklir dan persetujuan tentang pembentukkan sekretariat ASEAN di Jakarta. Namun, hanya TAC
saja yang mengikat karena di dalamnya terdapat mekanisme ratifikasi. Dengan demikian, semua anggota
wajib mematuhi aturan-aturan yang ada di dalamnya karena mereka sendir memang harus meratifikasi
perjanjian yang telah disepakati itu.10 Inti dari TAC adalah penggunaan cara-cara damai di dalam
menyelesaikan persengketaan intra-regional (peaceful settlement of disputes), yang merupakan prinsip-
prinsip dasar untuk memandu hubungan berbagai pihak, dan yang jelas, di dalamnya terdapat pelarangan
penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.11 TAC sendiri terdiri dari lima bab;12
I. Purpose and Priciples
II. Amity
III. Cooperation
IV. Pacific (peaceful) settlement of disputes
V. General provisions
Bab penyelesaian sengketa secara damai terdiri dari lima artikel (13-17). Sejak bagian awal isi
perjanjian tersebut (bagian preambule), para anggotanya telah menegaskan bahwa setiap perselisihan atau
perbedaan yang timbul antara negara anggota harus diatur secara rasional, efektif, dan dengan prosedur yang
sesuai. Hal ini termasuk menghindari perilaku negatif yang dapat menghambat kerjasama. Di artikel 1

8
C. P. F. Lahulima, et al, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas: ASEAN 2015, (Putstaka Pelajar, Yogyakarta: 2008),
hlm. 72
9
Ibid.,86
10
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
11
C. P. F. Lahulima, et al, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas: ASEAN 2015, (Putstaka Pelajar, Yogyakarta: 2008),
hlm. 3
12
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
dinyatakan bahwa tujuan dari perjanjian adalah “to promote perpetualpeace, everlasting amity and
cooperation among their peopleswhich would contribute to their strength, solidarity and closer
relationship.”13 Pada artikel kedua dilanjutkan bahwa para anggota yang sudah menandatangani perjanjian
harus menjalankan hubungannya berdasarkan;
1) Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, integritas wilayah, dan identitas nasional
masing-masing.
2) Hak setiap negara untuk mewujudkan eksistensi nasionalnya tanpa adanya pengaruh dari luar,
subversi, dan pemaksaan.
3) Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara anggota lain
4) Perbedaan dan perselisihan diselesaikan secara damai
5) Penolakan (renunciation) terhadap ancaman senjata dan penggunaannya
6) Kerjasama yang efektif antar negara-negara anggota
Bab IV TAC lebih spesifik mengatur tentang penyelesaian sengketa secara damai. Pada dasarnya,
setiap negara diharuskan untuk bertikad baik dalam mnejalankan hubungannya (artikel 13). Namun, jika
perselisihan tetap timbul maka para pihak yang terlibat harus menahan diri dari penggunaan senjata dan
menyelesaikan konfilknya dengan negosiasi-negosiasi yang ramah. “The High Contracting Parties shall have
the determination and good faith to prevent disputes from arising. In case disputes on matters directly
affecting them should arise, especially disputes likely to disturb regional peace and harmony, they shall
refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through
friendly negotiations.”14
Artikel 14-nya memuat aturan tentang jika artikel 13 tidak dapat diwujudkan. Jika para aktor yang
terlibat dalam perselisihan gagal bernegosiasi maka High Council yang akan menyelesaikan persengketaan,
dewan itu terdiri dari perwakilan selevel menteri dari setiap anggota ASEAN. “To settle disputes through
regional processes, the High Contracting Parties shall constitute, as a continuing body, a High Council
comprising a Representative at ministerial level from each of the High Contracting Parties to take
cognizance of the existence of disputes or situations likely to disturb regional peace and harmony.”15
High Council bukannya dapat bertindak tanpa aturan, karena pada artikel 15 dijelaskan tentang
peranan yang dimiliki oleh dewan itu. Ia berhak mengambil tanggung jawab sekaligus menentukan
mekanisme seperti apa yang perlu dilakukan atas sengketa yang terjadi. Mekanisme itu dapat
berupapenetapan dirinya sebegai komisi jasa baik, mediasi, penyelidikan, atau konsiliasi. Ketika dewan
tersebut diperlukan pertimbangannya maka ia harus merekomendasikan pengukuran yang akurat tentang
bagaimana mencegah situasi perselisihan semakin memburuk.“16
Artikel selanjutnya (16) menyebutkan bahwa High Council baru dapat berperan jika pihak-pihak
yang terlibat sengketa bersepakat untuk memberikan tanggung jawab atas masalah yang mereka hadapi ke
High Council. Negara lain yang terlibat perjanjian (tetapi tidak terlibat persengketaan) juga berhak
13
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
14
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
15
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
16
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
menawarkan diri untuk membantu menyelesaikan perselisihan yang ada. Tawaran bantuan itu dapat berupa
apa pun yang dianggap dapat membantu menyelesaikan permsalahan. Para negara yang bersengketa
diharapkan bersikap kooperatif terhadap tawaran dan bantuan tersebut. “The foregoing provisions of this
Chapter shall not apply to a dispute unless all the parties to the dispute agree to their application to that
dispute. However, this shall not preclude the other High Contracting Parties not party to the dispute from
offering all possible assistance to settle the said dispute. Parties to the dispute should be well disposed
towards such offers of assistance.”17
Artikel terakhir dalam bab penyelesain sengketa secara damai (artikel 17) berisi aturan bahwa
mekanisme penyelesaian konflik yang dipakai dapat berupa mekanisme yang tedapat dalam Pasal 33 (1)
Piagam PBB. Namun, sebelum menyandarkan diri pada cara-cara yang ada di dalam Piagam PBB, para
pihak yang bersengketa telah menjalankan friendly negotiation seprti yang disebutkan dalam artikel
sebelumnya. “Nothing in this Treaty shall preclude recourse to the modes of peaceful settlement contained
in Article 33 (1) of the Charter of the United Nations. The High Contracting Parties which are parties to a
dispute should be encouraged to take initiatives to solve it by friendly negotiations before resorting to the
other procedures provided for in the Charter of the United Nations.”18. Pada 15 Desember 1987, di Manila,
Filipina, para pihak bersepakat untuk melakukan amandemen atas beberapa pasal dalam TAC. Ketentuan
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang terdapat dalam TAC, hanya pasal 14 saja yang
mendapatkan perubahan yakni dengan meluaskan lingkup berlakunya yang tidak hanya negara-negara
ASEAN saja, namun negara-negara di luar ASEAN yang terikat dengan ketentuan TAC dan terlibat dalam
sengketa.19
Ketentuan TAC tentang penyelesaian konflik secara damai tidak hanya berhenti sampai di situ,
peranan High Council pun diatur dalam TAC itu sendiri. Berdasarkan pertemuan yang diadakan di Hanoi
pada 23 Juli 2001, negara-negara yang terikat dengan TAC menyetujui untuk mengadopsi sebuah perjanjian
yang dinamakan Rules of Procedure of the High Council of the TAC in Southeast Asia. Aturan itu terdiri
dari sepuluh bagian; tujuan pembentukkan High Council, definisi, komposisi, prosedur dalam
menginisiasikan penyelesaian konflik, tata cara persidangan, ketentuan umum jalannya rapat, pembuatan
keputusan, persiapan rapat, aturan tambahan, hingga prosedur amandemen.

Penyelesaian sengketa sesudah penandatanganan Piagam ASEAN ( mekanisme penyelesaian sengketa


dalam Piagam ASEAN)
Pada dasarnya penandatangan Piagam ASEAN merupakan usaha dari setiap negara anggota untuk
semakin mengedepankan peran organisasi itu agar sesuai dengan kamajuan jaman. Piagam itu sendiri juga
tidak lahir dengan mudah, butuh waktu dua tahun hingga akhirnya ia dianggap telah mencapai bentuk yang
paling sempurna. Pembentukkan piagam berawal dari dibentukanya Eminent Persons Group yang bertugas
menyiapkan apa-apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan piagam. Dua tahun kemudian dibentuk High

17
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
18
TAC-Knowledge Kit 2005, diunduh dari www.aseansec.org
19
Protocol Amending the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, diakses dari http://www.aseansec.org/1218.htm,
pada Minggu, 13 Desember 2009, pukul 19.00
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
Level Task Force yang harus membuat draft piagam. Setelah itu HLTF harus beberapa kali bertemu dengan
wakil dari negara-neagra anggota pada ASEAN Ministerial Meeting. Dan akhirnya pada KTT ke 13 di
Singapura, 20 November 2007, para kepala negara menyetujui piagam tersebut. 20 Setelah akhirnya Piagam
ASEAN diratifikasi oleh seluruh negara anggota (seperti yang sudah diketahui Indonesia, Filipina, dan
Thailand akhirnya meratifikasi), ASEAN semakin diakui eksistensinya sebagai organisasi internasional.
ASEAN telah memiliki status hukum (legal personality). Ini selaras dengan tujuan dari piagam itu sendiri;
menjadi landasan konstitusional pencapaian tujuan berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut bersama.21
TAC merupakan salah satu rujukan yang dipakai dalam penyusunan piagam. Di bagian pembukaan
disebutkan bahwa kesepakatan terhadap isi Piagam dilatarbelakangi oleh penghormatan terhadap konsensus-
konsensus terdahulu. Mekanisme penyelesaian sengketa sendiri tetap menjadi sesuatu yang penting.
Berdasarkan pasal 2 ayat 2 butir d dikatakan bahwa prinsip yang wajib dianut oleh para anggota, salah
satunya adalah mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai.22 Namun, terdapat perbedaan yang
cukup signifikan antara piagam itu dengan TAC, khususnya tentang mekanisme penyelesaian sengketa.
Bagian Piagam ASEAN yang memuat penyelesaian sengketa adalah Bab VIII yang terdiri dari
delapan pasal (pasal 22-28). Bab VII diberi judul Penyelesaian Sengketa (Settlement of Disputes) dengan
tidak menambahkan kata-kata “secara damai”. Penggunaan judul yang seperti ini tidak sesuai dengan
prinisip yang seharusnya dianut sesuai pasal 2 ayat 2 poin 2 bahwa para anggota harus mengedepankan
usaha untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Mengapa seharusnya diberi judul “penyelesaian sengketa
secara damai”? Ini dikarenakan pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa “Dalam mencpaai tujuan-tujuan yang
disebutkan dalam Pasal 1, ASEAN dan Negara-negara Anggotanya menegaskan kebali dan memegang
teguh prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam deklarasi-deklarasi, persetujuan-persetujuan, konesi-
konvesi, concords, traktat-traktat, dan instrumen ASEAN lainnya.”23 Dengan demikian, rujukan Bab VIII
Piagam ASEAN tentang penyelesaian sengketa pastilah TAC.
Pasal pertama dalam Bab Penyelesaian Sengketa Piagam ASEAN adalah pasal 22 yang berisi dua
buah ayat yang bertentangan satu sama lain. Di ayat 1 disebutkan bahwa prinsip penyelesaian sengketa yang
dianut adalah dialog, konsultasi, dan negosiasi. Sementara itu, di ayat 2-nya disebutkan bahwa ASEAN
wajib memelihara dan membentuk mekanisme –mekanisme penyelesaian sengketa dalam segala bidang
kerjasama ASEAN, yang mana dapat diartikan bahwa segala bidang antara lain politik-keamanan, ekonomi,
dan social budaya akan memiliki mekanisme penyelesaian sengketanya masing-masing. 24 Pasal selanjutnya
(pasal 23) berjudul Jasa baik, Konsiliasi, dan Mediasi. Dengan demikian hanya ada tiga mekanisme yang

20
Chairman’s Statement of the 13th ASEAN Summit, “One ASEAN at The Heart of Dynamic Asia”, Singapore 20 November
2007, diakses dari http://www.aseansec.org/21093.htm, pada Minggu, 13 Desemebr 2009, pukul 19.30
21
Handout Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint) oleh Direktur Kerjasama
Fungsional ASEAN, Departemen Luar Negeri ASEAN, yang disampaikan pada Seminar ASEAN Socio-Cultural Community
Blueprint, Jakarta, 24 September 2008.
22
ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI,
Desember 2007.
23
Ibid.,
24
Ibid.,
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
dapat diajukan oleh Ketua atau Sekjen ASEAN untuk menyelesaikan sengeketa (pasal 23 ayat 2). Ini
berbeda dengan TAC yang memasukkan mekanisme penyelidikan (inquiry).25
Pasal 24 mengatur mekanisme penyelesaian sengketa dalam instrumen tertentu. Pada ayat 1 tertera
pernyataan bahwa dalam instrumen tertentu yang telah diatur mekanisme penyelesaian sengketanya, maka
mekanisme itulah yang digunakan. Apabila terjadi perselisihan yang tidak berkaitan dengan instrument
spesifik mana pun maka yang digunakan adalah TAC beserta aturan dan prosedurnya (ayat 2). Di ayat ke 3
disebutkan, apabila berhubungan dengan kesepakatan ekonomi, maka dalam penyelesaian sengketanya
digunakan mekanisme ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism (2003). Dari sini dapat
dilihat bahwa ketiga ayat ini saling tidak menguatkan satu sama lain. Pasal 25 menebutkan bahwa
mekanisme arbitrase wajib dibentuk apabila ada sengketa yang berhubungan dengan penafsiran atau
penerapan piagam tersebut dan instrument-instrumen ASEAN lainnya. 26 Pada pasal 26 disebutkan bahwa
“apabila ada suatu sengketa yang tidak terselesaikan maka, setelah penerapan ketentuan-ketentuan terdahulu
dari Bab ini, maka sengketa wajib dirujuk ke Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, untuk keputusannya.” 27
Penulis tidak akan menjelaskan pasal 27 (tentang peran yang perlu dijalankan oleh Sekjen ASEAN dalam
mewujudkan kepatuhan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disepakati) dan pasal 28
(ketentan lainnya yang boleh digunakan seperti Piagam PBB dan prosedur internasional yang relevan
lainnya)28 karena kurang berguna bagi analisis yang dijelaskan oleh penulis di bagian selanjutnya.

Analisis perbandingan isi Bab IV TAC dan Bab VIII Piagam ASEAN dalam penyelesaian sengketa
antar anggota
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa TAC “lebih memberikan kepastian hukum” bagi
para anggota ASEAN yang terlibat perselisihan sehingga harus diselesaikan melalui mekanisme
penyelesaian sengketa. Dalam Piagam ASEAN terlalu banyak pilihan mekanisme dan dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kurang mampu membuat perselisihan menjadi reda dibandingkan dengan mekanisme
TAC dulu. Selain itu, Coordinating Council (pasal 49) belum dibentuk, tiak seperti TAC yang telah ada
aturan yang jelas bagi High Council untuk menjalankan fungsinya (Rules of Procedure of High Council of
TAC), mulai dari definisi, fungsinya, hingga berbagai aturan tambahan.
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa ASEAN belum mampu menyelesaikan perselisihan
berdasarkan hukum yang ia pegang. Tidak seperti TAC, Piagam ASEAn tidak memberikan putusan yang
tegas terkait mekanisme penyelesaian sengketa. Konsultasi dan consensus yang dianggap sebagai ASEAN
Way dalam menyelsaikan masalah nampaknya sangat perlu ditinjau ulang. Dengan begini, ASEAN terkesan
“setengah-setengah”, di satu sisi pembentukkan Piagam ASEAN diharapakan mampu membawa organisasi
menjadi institusi yang berbasis hukum, di sisi lain aturan yang dibentuk oleh ASEAN sendiri belum mampu
mengikat para anggotanya, khususnya dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang krusial itu. Jika ingin

25
ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI,
Desember 2007.
26
Ibid.,
27
Ibid.,
28
Ibid.,
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
benar-benar menjadi oraganisasi yang berbasis hukum, sebaiknya diterapkan pula aturan yang lebih
mengikat ketimbang seperti sebelum ada Piagam ASEAN dulu.
Dalam Piagam ASEAN tidak ada ketentuan yang mengatur peran dan fungsi lembaga yudikatif
seperti TAC dengan High Council-nya. Padahal, tantangan yang banyak dihadapi oleh ASEAN sebagai
sebuah organisasi regional adalah permasalahan-permaslahan yang membutuhkan penyelesain berupa
kepastian hukum. Meskipun dalam TAC tidak ada sanksi hukum yang jelas tetapi, setidaknya dalam TAC
telah ditentukan peran lembaga yudikatif dalam penyelesaian sengketa. Selain itu, mekanisme penyelesaian
sengketa yang termuat dalam Piagam sangatlah terbatas, tidak seperti yang termuat dalam Piagam ASEAN
di mana ada banyak pilihan mekanisme penyelesaian sengketa.

Analisis Penurunan Efektifitas ASEAN dalam penyelesaian konflik antar anggota berdasarkan
Mekanisme Sengketa dalam Piagam: ASEAN semakin jauh dari cita-cita pembentukkan komunitas
keamanan di Asia Tenggara
Hubungan yang bersifat interdependen antar para anggota ASEAN sebagai salah satu factor
terbentuknya oraganisasi tersebut pastilah membutuhkan seperangkat aturan atau prosedur untuk
mengendalikan interkasi yang terjadi di dalamnya. Seperangkat aturan atau prosedur itulah yang disebut
rejim. Selain memuat prinsip, norma, dan juga peraturan, rejim juga harus memuat prosedur pembuatakan
kebijakan yang eksplisit maupun implicit, yang memuat ekspetasi aktor-aktor yang mana bertemu dalam
satu area tertentu dalam hubungan internasional (Stephen Kresner). Memang, dengan ditandatanganinya
Piagam ASEAN, ASEAN kini telah menjadi organisasi internasional yang memiliki legalitas hukum.
Namun, jika dikaitkan dengan rejimnya di bidang keamanan, khususnya dalam mekanisme penyelesain
sengketa, tidak ada aturan dan prosedur yang cukup mengikat ketimbang mekanisme yang dulu dipakai
(TAC). Mekanisme penyelesaian sengketa memang ada tetapi, tidak memberikan kepastian hukum pada
pihak-pihak yng terlibat dalam sengketa. Padahal, seperti yang disebutkan di bagian kerangka konsep, rejim
keamanan yang lebih diasosiasikan dengan karakteristik anarki pastinya lebih membutuhkan kepastian
hukum. Dalam sebuah rejim keamanan juga harusnya ada institusi yang berfungsi mengatur penerapan atas
apa yang telah ditetapkan, dalam PIagam ASEAN tidak di atur mengenai pembentukkan institusi itu.
Ketiadaan aturan yang begitu mengikat dan dapat memberikan kepastian hukum dalam Piagam
ASEAN, semakin menjauhkannya dari pre kondisi untuk mewujudkan komunitas keamanan. Dalam suatu
komunitas keamanan, harus ada persetujuan di antara para anggotanya bahwa perselisihan harus
diselesaikan secara damai (Karl Deutsch). Namun, Piagam ASEAN sendiri menimbulkan dua opsi
mekanisme penyelesaian permasalahan: cara damai dan tidak damai. Kemungkinan penyelesaian dengan
cara yang tidak damai masih sangat tinggi, seperti konflik yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia baru-
baru ini (tentang masalah pelanggaran kedaulatan wilayah laut) di mana ASEAN tidak memiliki peran untuk
menyelesaikan konflik tersebut, konflik malah terus berlarut dan menimbulkan tensi pada warga sipil.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang ada dalam Piagam belum mampu mendikte kedua negara untuk
menyudahi konfliknya dengan cara damai. Menurut penulis, Indonesia dan Malaysia bukannya tidak patuh
terhadap peraturan yang ada tetapi, peraturan itulah yang tidak mampu mengikat kedua negara. Dalam suatu
Aisyah Ilyas/0706291180/Hubungan Internasional/FISIP UI/untuk tugas MK Rejim Keamanan Internasional
pre kondisi menuju komunitas keamanan, harus ada jaminan bahwa para anggotanya tidak akan
menyelesaikan sengketanya dengan cara selain cara damai, dan peraturanlah (hukum) yang seharusnya
memberikan jaminan itu, bukan suatu negara dalam komunitas, atau bahkan negara lain diluar komunitas.

Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat kita lihat bahwa mekanisme yang ada di dalam Piagam ASEAN justru
menurunkan efektifitas dan kemampuan ASEAN dalam menyelesaiakan konflik antar anggotanya. Perang
mekanisme regional yang terus berusaha ditingkatkan nampaknya akan terus mendapatkan hambatan dengan
mekanisme yang ambigu seperti itu. Ini dikarenakan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada dalam
piagam itu tidak lebih baik daripada mekanisme yang sebelumnya. Hal ini juga menjadi salah satu factor
penghalang bagi pre kondisi menuju komunitas keamanan ASEAN.
Pada analisis ini penulis akui bahwa ada banyak factor yang tidak dilibatkan oleh penulis ketika
penulis mengatakan bahwa mekanisme penyelesain sengketa yang ada dalam Piagam ASEAN justru
semakin menjauhkan organisasi itu dari cita-citanya untuk menciptakan komunitas keamanan. Komunitas
keamanan ASEAN mungkin saja terbentuk tanpa adanya aturan yang mengikat tentang mekanisme
penyelesaian sengketa, misalnya ketika, sudah terbentuk komunitas ekonomi, politik, dan social-budaya
ASEAN sehingga integrasi di bidang keamanan hanya masalah waktu saja. Inilah yang diharapakan oleh
penulis untuk dijadikan pembahasan dalam penelitian-penelitian berikutnya, integrasi di bidang apakah yang
harusnya lebih dahulu diprioritaskan agar dapat tercipta komunitas ASEAN, apakah integrasi di bidang
keamanan atau non-keamanan.

Kepustakaan
Buku:
- Paul R. Viotti dan Mark. V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond 3 rd
ed., (Allyn and Bacon, United States of America, 1999);
- C. P. F. Lahulima, et al, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas: ASEAN 2015, (Putstaka Pelajar,
Yogyakarta: 2008);
- ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri
RI, Desember 2007
Internet:
www.aseansec.org dan berbagai jurnal yang diunduh dari www.jstor.org (tertera pada fooftnote)

You might also like