You are on page 1of 4

Metode Sosiodrama

Sosiodrama adalah semacam sandiwara atau dramatisasi tanpa skript (bahan tertulis), tanpa
latihan terlebih dahulu, tanpa menyuruh anak menghafalkan sesuatu. Metode sosiodrama atau
bermain peran ini sering digunakan bila kita ingin membearikan pengeratian yang yang lebih
mendalam berbagai situasi yang menyangkut masalah sosial. Dalam sosiodrama tidak
diperlukan keahlian sandiwara, tetapi lebih bersifat spontan dari pengalaman anak.

Langkah-langkah melaksanakan Sosiodrama

1. Menentukan pokok persoalan / tema sosial yang akan disosiodramakan


2. Memilih para pelaku, yaitu anak yang memahami persoalan dan mempunyai daya
fantasi, bukan anak yang pandai melucu atau pemalu.
3. Mempersiapkan peranan.
Berilah waktu sekitar tiga menit kepada anak untuk keluar kelas dan mempersiapkan
diri sebagai orang yang diperankannya. Mereka dapat berunding sebentar.
4. Mempersiapkan para penonton.
Siswa yang lain berperan sebagai penonton dan diminta untuk mengambil sikap
seandainya memainkan peranan yang dilihat, apa yang harus dilakukan.
5. Pelaksanaan sosiodrama.
Guru memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk melaksanakan peran yang
dimainkan. Waktu untuk sosiodrama biasanya sekitar lima menit
6. Follow up.
Selesai sosiodrama, diadakan diskusi yang untuk menanggapi segalam permasalahan
yang telah diperankan.
From Mizania

Sosiodrama: Strategi Pembelajaran yang Tak Terlupakan


Oleh Munif Chatib

“Hei, Abrahah!!! Majulah dengan pasukan gajahmu itu. Kami,


penduduk Makkah, yang mencintai Ka’bah akan melawan dengan
pasukan-pasukan Allah!!!” teriak siswa yang berperan sebagai
penduduk Makkah dalam strategi pembelajaran sosiodrama yang
mengambil topik penyerbuan Pasukan Gajah Abrahah ke Makkah.

Salah satu cara agar informasi dapat diserap dan kemudian


dimasukkan ke dalam memori jangka panjang adalah apabila
informasi tersebut mengandung kekuatan emosi, baik suka (emosi
positif) maupun duka (emosi negatif). Semua guru sangat
mengharapkan sekali agar materi yang disampaikan kepada semua
siswanya dapat dimasukkan ke memori jangka panjang dan, bahkan,
tak terlupakan seumur hidup.

Namun, sayangnya, yang banyak terjadi pada jutaan kelas adalah ketika guru ”pamit” mengakhiri
materinya dan ke luar dari kelas, selanjutnya pengetahuan yang barusan diberikan juga ”pamit”
terbang dari semua otak siswanya. Bayangkan jika kondisi ini terjadi di setiap jam pelajaran dan
bertahan selama bertahun-tahun, bukankah yang terjadi adalah buang-buang waktu dan tenaga?
Apalagi ditambah dengan paradigma yang salah yaitu sekolah hanya mengejar nilai kognitif yang
tinggi.

Sosiodrama adalah salah satu strategi multiple intelligences yang sangat efektif memasukkan
informasi materi belajar ke dalam memori jangka panjang siswa. Strategi ini bagus sekali diterapkan
untuk rumpun bidang studi sosial, terutama sejarah. Sebagai contoh adalah topik yang berkaitan
dengan materi Perang Gajah, misalnya, yang masuk dalam bidang studi sejarah kebudayaan Islam.
Tokoh-tokohnya diperankan oleh beberapa siswa dengan susunan skenario yang sudah disiapkan
oleh guru. Ada yang menjadi Abrahah, Gubernur Yaman yang berniat menghancurkan Ka’bah.
Kemudian ada Abdul Muththalib, pemimpin Makkah pada saat itu, ada kurir, ada pemuka-pemuka
Makkah lainnya, ada komandan pengawal pasukan Abrahah, dan lainnya.

Di samping pemeran-pemeran penting seperti di atas, ada juga peran sentral yang cukup penting dan
berfungsi sebagai ”cutting” atau pemutus cerita. Yang ini biasanya disebut ”host”. Beberapa siswa
yang tidak kebagian peran dibagikan secarik kertas yang berisi pertanyaan dan masalah yang terkait
dengan materi Perang Gajah tersebut. Sebagai penonton, siswa-siswa tersebut dapat menginterupsi
pada saat drama berlangsung, baik untuk bertanya maupun memberikan opini, persis seperti acara
yang ada di pementasan drama ”lenong Betawi”.

“Interupsi!” demikian teriak seorang siswa yang tidak kebagian peran dan ikut menyaksikan drama
Perang Abrahah. ”Masak Abrahah ngomongnya pelan kaya putri salju, semangat dong. Dia kan
jendral besar!” Interupsi dari salah satu siswa penonton ini muncul kala mendengar suara Abrahah
yang diperankan temannya sangat pelan. Interupsi ini diiringi oleh tawa semua siswa seisi kelas.
Terciptalah kemudian emosi positif di dalam kelas tersebut.

“Hei Abrahah, ngapain sih pake pergi ke Makkah menghancurkan Ka’bah? Kenapa sih tidak
membangun Ka’bah sendiri di Yaman sana?” celetuk seorang siswa penonton.

“Ah percuma, saya sudah coba berkali-kali gagal terus, abis di Yaman sepi gak ada orang dateng,
tidak seperti di Makkah ramai sekali di datangi orang,” balas sang pemeran Abrahah dengan lantang.

Demikianlah terjadi dialog yang natural dan apa adanya. Kreativitas siswa terpantik. Dialog ini akan
mengasah kemampuan analisis siswa terhadap materi sejarah yang sedang dipelajari. Sering alokasi
waktu belajar menjadi permasalahan untuk menerapkan strategi ini, namun solusinya adalah dengan
peran ”host”. ”Host” biasanya mengawali cerita dan juga memutus cerita untuk melompat ke alur
berikutnya. Dengan demikian alokasi waktu dapat di atur sesuai dengan silabus.

Setiap siswa yang dapat peran memegang skenario yang akan diucapkan sesuai dengan gilirannya.
Misalnya, jika sang Abdul Muththalib harus 10 kali berbicara, maka dia harus memegang 10 lembar
skenario. Demikian juga untuk peran yang lain. Sedangkan guru memegang kertas yang berisi ”list
scenario”:

1. Host 1
2. Abrahah 1
3. Pengawal Utama 1
4. Pengawal A 1
5. Pengawal B 1
6. Pengawal Utama 2
7. Abrahah 2
8. Host 2
9. Dan seterusnya.

Seperti itulah yang dimaksud dengan “list scenario” yang dipegang oleh guru dan berperan sebagai
sutradara. Jika ada siswa yang dapat bermain piano atau organ tentu akan lebih seru karena drama
akan ada background musiknya. Coba bayangkan dengan iringan intro musik pada sebuah adegan di
padang pasir yang menyayat hati, tentulah akan lebih berkesan. Sementara itu, seorang siswa yang
menjadi “host” membacakan skenarionya dengan penuh perasaan:

“Matahari hampir terbenam ketika kelelahan memuncak pada semua pasukan yang sudah berjalan
berhari-hari. Jeritan suara kuda yang ingin beristirahat juga terdengar bisik-bisik. Lenguh pasukan
gajah yang mulai gelisah membuat Jendral Abrahah pimpinan pasukan itu memutuskan untuk
bersitirahat dan bermalam di sebuah lembah padang pasir Hijaz. Lalu Abrahah member instruksi
kepada pengawalnya, ’Pengawal, perintahkan semua pasukan berhenti. Kita buka tenda dan
bermalam di sini. Amankan pasukan gajah kita yang mulai gelisah, sebab binatang-binatang itu nanti
yang akan mengahancurkan Ka’bah. Esok pagi kita lanjutkan perjalanan, Makkah sudah dekat, hanya
tinggal setengah hari perjalanan. Cepat pengawal, segera instruksikan!’

“’Baik paduka, secepat kilat hamba laksanakan,’ jawab pengawal sambil menundukkan kepala.”

Nah, sekali lagi coba bayangkan proses belajar yang seperti itu tentu akan sangat kuat kandungan
emosinya. Lalu bandingkan dengan guru yang hanya berceramah dan bercerita dengan datar tentang
materi Perang Gajah. Atau siswa diminta membaca sendiri di buku ajar yang hanya satu atau dua
halaman.

Penulis sering mempraktikkan strategi sosiodrama ini. Hanya dalam waktu 35 menit sebuah materi
sejarah, seperti Perang Gajah, dapat selesai disampaikan. Sangat efektif. Soal yang diberikan guru
juga mengandung tangga taksonomi Bloom tingkat tinggi. Guru meminta siswa mendengarkan
pertanyaan lisan yang disampaikan guru dan siswa menjawab dengan tulisan esai. Begini
pertanyaannya:

“Misalnya Anda sebagai Abdul Muththalib dan pada suatu malam berdoa di depan Ka’bah agar Allah
melindung Ka’bah, namun ternyata doa Anda tidak diterima oleh Allah. Apa yang akan Anda lakukan
sebagai pemimpin Makkah, jika esok pagi kala matahari mulai meninggi, Anda melihat ratusan
pasukan gajah siap menyerbu Makkah?”

Siswa diminta menulis jawabannya dengan segala ragam jawaban. Mungkin akan ada siswa yang
menjawab kita harus membuat lingkaran manusia untuk melindungi Makkah dan Ka’bah atau tidak
masalah jika harus mati terinjak-injak gajah. Namun ada juga siswa yang menjawab, kita lari saja ke
bukit, biar Ka’bah hancur yang penting kita selamat. Lalu kita melakukan negosiasi dengan Abrahah
untuk membangun kembali Ka’bah, dan seterusnya.

Ketika dua bulan kemudian, setelah sosiodrama berlangsung, ada tes semester dengan soal dari
Diknas setempat dengan model multiple choice. Ada dua soal yang terkait dengan materi Perang
Gajah. Soal pertama, siapakah guberbur Yaman yang akan menghancurkan Ka’bah?
a. Abrahah       b. Abdul Muththalib       c. Abu Jahal

Soal kedua, siapakah pemimpin Makkah pada saat perang gajah?

a. Abrahah       b. Abdul Muththalib       c. Abu Jahal

Subhanallah, sekitar 120 siswa kami tidak ada yang salah pada dua soal tersebut. Penulis ingin
meyakinkan lagi dan memanggil siswa yang ”slow learner” dan menanyakan kenapa dua soal ini
benar jawabannya. Siswa tersebut menjawab, “Aku ingat Ustad, sebab yang jadi Abrahah si Lala,
teman baikku. Aku ingat.”

Luar biasa sebuah pembelajaran yang tak terlupakan seumur hidup.[]

You might also like