You are on page 1of 17

PONDOK PESANTREN, MADRASAH

DAN SEKOLAH
Posted on 13 April 2010 by Yusuf Effendi, S.H.I.

Oleh : Yusuf Effendi, S.H.I

A. Pendahuluan

Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan
pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat
dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional.
Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga
pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh swasta
(yayasan) namun masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah.

Dalam konteks keIndonesiaan rakyat


tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan
sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih
lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada
sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan
Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih
lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi
orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur
pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan
agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang
berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa
mengambil jalur madrasah.

Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan
sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-
masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga
pendidikan yang ada, tidak sedikit diantara lembaga pendidikan yang ada terjadi
persaingan. Kenyataan di lapangan perebutan dan kompetisi memang benar terjadi,
dan tidak jarang juga kita temukan dilapangan kompetisi antar lembaga pendidikan
yang ada sering tidak fair dan menimbulkan kecemburuan satu sama lainnya.
Bentuk ketidak fair an antar lembaga pendidikan yang ada juga diwujudkan dalam
bentuk ketidak obyektifan dalam menilai lembaga pendidikan yang ada. Dahulu
pondok pesantren sering mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat,
lembaga pendidikan kolot, kumuh, ndeso, tidak maju, dan lembaga akhirat adalah
beberapa stigma yang sering dinisbatkan pada lembaga pendidikan murni pribumi ini,
tentunya hal ini menimbulkan dampak negatif bagi keberlangusngan Pondok
Pesantren, banyak masyarakat yang kemudian ragu menempatkan anak-anaknya
menuntut ilmu di Pondok Pesantren, padahal sejatinya stigma-stigma negatif yang
bermunculan di masyarakat tidaklah benar semua, kalapun ada itu hanya seberapa
yang tidak cukup mewakili dari sekian banyak Pondok Pesantren yang ada di
Indonesia.

Sekolah dan madrasah pun tak luput dari stigma negatif yang muncul pada sebagian
masyarakat. Sekolah sering mendapatkan pandangan sebagai lembaga pencetak kader
kapitalis, mementingkan kehidupan sekuler dan masih banyak lainnya. Kualitas tidak
jelas, berpikir mundur, banyak beban pelajaran dan sekolahnya anak desa adalah
beberapa stigma negatif yang muncul terhadap madrasah. Dari sekian banyak stigma
negatif yang bermunculan di masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tugas para
pendidik termasuk pemerintah untuk membenahinya sedikit demi sedikit, khawatir
kalau hal ini tidak segera ditindak lanjuti akan menimbulkan sikap apriori dan masa
bodoh masyrakat terhadap beberapa lembaga pendidikan yang ada, yang kemudian
berakibat enggannya masyarakat untuk mencari ilmu dan pendidikan melalui lembaga
pendidikan yang ada.

Berangkat dari sini penulis mencoba sedikit membahas lebih jauh terkait dengan
beberapa lembaga pendidikan yang ada, yakni Pondok Pesantren, Madrasah dan
Sekolah dalam tinjauan filosofis, guna memahami fungsi, peran dan perbedaan
diantara ketiga lembaga tersebut.

B. Pembahasan

1. 1. Pondok Pesantren

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai beberapa lembaga pendidikan yang
ada seperti Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah, terlebih dahulu kita sedapat
mungkin mampu memahami pengertian dari ketiga lembaga tersebut. Sejatinya ketiga
lembaga tersebut tidak memiliki perbedaan yang mendasar, karena masing-masing
lembaga ini mempunyai misi untuk memberikan ilmu dan pendidikan kepada semua
peserta didik yang belajar pada lembaga tersebut, namun yang menjadikan berbeda
satu sama lainnya adalah mengenai sistem, managemen, style dan tujuan pada ketiga
lembaga tersebut.

Mengenai asal-usul pondok pesantren, terdapat dua pandangan yang sebenarnya


saling melengkapi. Menurut Karel A. Steenbrink yang mengutip dari Soegarda
Purbakawatja, menyatakan bahwa pendidikan pondok pesantren jika dilihat dari segi
bentuk dan sistemnya berasal dari India dan dari masyarakat Hindu. Sebelum proses
penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan untuk pendidikan
dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan banyak tersebar di
Pulau Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam. Sementera Mahmud
Yunus menyatakan, bahwa asal-usul pendidikan yang digunakan pondok pesantren
berasal dari Baghdad dan merupakan bagian dari sistem pendidikan saat itu.[1]

Pondok pesantren adalah gabungan dari dua kata, yakni Pondok dan pesantren.
Masing-masing kata ini mengandung makna yang berbeda satu sama lainnya, namun
kedua-duanya memiliki hubungan yang sangat erat sehingga dikemudian hari
membentuk satu kesatuan pemahaman yang tidak dapat dipisahkan. Istilah pondok
berasal dari Bahasa Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama, atau dalam
pengertian lain pondok adalah asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau
tempat tinggal yang dibuat dari bambu.[2] Sedangkan istilah Pesantren berasal dari
kata santri, yang dengan awalan Pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal
para santri. Namun menurut Profesor Johns, santri berasal dari bahasa Tamil, yang
berarti guru mengaji, sedangkan menurut C.C. Berg istilah Santri berasal dari bahasa
India, Shastri yang berarti adalah orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[3] Kata Shastri berasal dari kata shastra
yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu
Pengetahuan.[4]

Dengan kata lain, Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam
yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di
mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang
atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta
independen dalam segala hal. Menurut lembaga Research Islam, pesantren adalah
”suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran
agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.[5] Atau dapat juga
difahami Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tumbuh ditengah
masyarakat dengan ciri, santri (murid) diasramakan dalam proses mencari dan
mendalami ilmu agama dibawah asuhan dan bimbingan Kyai dan ustad yang
berkharisma.

Dalam lembaga pendidikan pesantren terdapat beberapa varian yang sangat penting
dalam perjalanannya sebagai lembaga pendidikan, setidaknya terdapat lima (5) varian
yang penting dan terikat dalam pondok peosantren, walaupun sebenarnya jumlah
varian ini tidak mutlak lima, semua tergantung pada masing-masing pondok pesantren
tersebut. Kelima varian tersebut meliputi Kyai (Ulama), pondok (asrama), masjid
(mushola), santri dan proses pembelajaran dan pengkajian kitab-kitab klasik atau
biasa dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Namun perlu dicermati bahwa seiring
dengan perkembangan zaman, banyak pondok pesantren pada perkembangannya
mendirikan lembaga pendidikan formal. Hal ini kemudian mau tidak mau menambah
varian lain dalam menangani perjalanan pondok pesantren tersebut, bisa saja varian
tamabahannya adalah, managemen, yayasan, sistem, pengurus, organisasi, tata tertib
dan mungkin juga yang lainnya, yang tentunya tambahan varian dalam pondok
pesantren disesuaikan dengan kebutuhannya.

a. Kyai

Kyai sebenarnya istilah lain dari kata Ulama, namun orang jawa dan madura
khususnya sering mengistilahkan dan menyebut orang yang mengasuh pondok
pesantren dan sangat mendalam ilmu agamanua (Islam) adalah kyai. Sebagian besar
pondok pesantren di daerah jawa dan madura sosok Kyai merupakan sosok yang
sangat berpengaruh, kharismatik, berwibawa dan peduli dengan derita umatnya.
Selain kriteria tersebut kyai sebagian besar di daerah jawa dan madura adalah pendiri
dari pondok pesantren yang berada ditengah-tengah masyarakat. Maka tak heran
sosok kyai di masyarakat sangat dihormati, dikagumi dan dicintai oleh masyarakat.
Hal ini terjadi karena tidak sedikit para kyai selalu peduli, bermasyarakat dan
memperhatikan umat atau rakyat kecil. Dan banyak juga kyai dalam masyarakat
sering dijadikan tempat curhat segala persoalan yang terjadi pada masyarakat, dimulai
dari masalah minta nama anaknya, pertanian, ekonomi, sosial, politik, budaya, agama
hingga persoalan jodoh atau nasib. Dapat dikatakan sosok Kyai dalam strata sosial
masyarakat termasuk berada pada strata sosial yang tinggi hal ini terjadi tidak lepas
dari peranannya yang sangat besar untuk memberdayakan masyarakat pada
lingkungannya.

Sejak Islam mulai tersebar di pelosok jawa, terutama sejak abad 13 dan 14 Masehi,
para kyai sudah mendapatkan status sosial yang tinggi. Di bawah pemerintahan
kolonial Belanda, sosok kyai mempunyai daya tawar tinggi. Walaupun sebagian
besar kyai itu tinggal di desa yang jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintahan,
namun mereka merupakan bagian dari kelompok elite masyarakat yang disegani
sekaligus berpengaruh baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Tidak
jarang suara kritis dari kyai dianggap sebagai tindakan makar terhadap Belanda.[6]

Menurut asal muasalnya, sebagaimana telah dirinci oleh Zamakhsyari Dhofier,


perkataan atau istilah kyai dalam bahasa jawa sering dipakai untuk tiga jenis gelar
yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap sakti dan kramat, misalnya kyai tombak pleret atau Kyai Garuda Kencana
yang dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di kraton Yogyakarta. Kedua,
sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar
yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki
atau menjadi pimpinan pesantren. Pada jenis ketiga inilah maksud dari kyai yang
terdapat dari pondok pesantren atau dalam bahasa arab sering diistilahkan dengan
Ulama.

Dalam pandangan al-Qur’an, Ulama dlihat sebagai bagian dari umat yang memegang
peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan masyarakat yang
mardhatillah. Ulama berasal dari bahasa Arab; ’alima, ya;lamu, ;alim yang artinya
orang yang mengetahui. Kata ’alim bentuk jamaknya adalah ’alimun. Sedangkan
ulama adalah bentuk jamak dari ’alim yang merupakan bentuk mubalaghah, berarti
orang yang sangat mendalam pengetahuannya.[7]

Adapun ulama menurut arti terminologi ialah seorang yang ahli ilmu agama Islam,
baik menguasai ilmu Fiqh, ilmu tauhid atau ilmu agama lainnya, dan mempunyai
integritas kepribadian yang tinggi, berakhlak mulia serta berpengaruh di dalam
masyarakat. Namun, pengertian ulama dalam perkembangannya, yaiut berarti orang
yang mendalam ilmu pengetahuan , baik ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah
SWT. Yang kemudian disebut ’ulum al-din, maupun ilmu pengetahuan yang
bersumber dari hasil penggunaan potensi akal dan indera manusia dalam memahami
ayat kauniyah yang kemudian disebut dengan ulum al-insaniyah atau al-’ulum atau
sains.[8]
Pemahaman yang lebih mudah tentang ulama adalah seorang yang memahami,
menguasai dan mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Islam, seperti Tafsir Al
Qur’an, Fiqh, tauhid, Nahwu, Shorof, Tasawuf di dalam lembaga pesantren. Banyak
ragam dalam menyebut istilah ulama, Orang jawa dan madura sering menyebutnya
Kyai, jawa barat sering menyebutnya ajengan, lombok tuan guru dan sumatera barat
buya. Jadi sebenarnya kyai yang sering diistilahkan oleh orang jawa dan madura
adalah tidak jauh beda dengan istilah Ulama yang terdapat dalam bahasa Arab
(Qur’an).

1. b. Pondok

Yang menjadi salah satu Ciri khas dari pondok pesantren adalah semua murid (santri)
yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang kyai
dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang kemudian
oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok.

Pondok, atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas dari tradisi dan sistem
pendidikan pesantren dengan lemaga pendidikan serupa lainnya baik di dalam
ataupun di luar negeri. Seperti halnya yang dilakukan pada negara Afganistan, para
murid dan guru yang belum menikah mereka semua tinggal di masjid.

Istilah pondok dengan asrama menurut Saefudin Zuhri berbeda, beliau secara tegas
membedakan bahwa pondok bukanlah ”asrama” atau internaat, menurutnya jika
asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon penghuninya datang, dan biasanya
asrama di bangun oleh kalangan berada dengan keadaan ekonomi yang mapan.
Sedangkan pondok justru didirikan atas dasar gotong royong dari santri yang telah
belajar di pesantren dengan dibantu oleh masyarakat yang nota bene mereka termasuk
kategori ekonomi yang pas-pasan. Maka tak heran hubungan santri atau masyarakat
dengan pesantren mempunyai ikatan yang sangat erat, karena adanya rasa memiliki
pada lembaga pesantren tersebut, hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.

Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan pesantren harus menyediakan


pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu. Pertama,
kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, hal ini
merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai
tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk
keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap. Kedua, hampir sebagian
besar pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta
tidak rersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan
demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri
dengan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya
sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap
timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling
berdekatan secara terus menerus.[9]

Selain itu kelebihan dari model pondok ini adalah, terciptanya suasana lingkungan
belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan santri, juga
antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan pengawasan 24
jam baik dari antar santri ataupun dari kyai, serta masih banyak lagi keunggulan dari
pendidikan model pondok. Maka tak heran pada akhir-akhir ini kemudian banyak
bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan lembaga pesantren
yang didirikan oleh para kyai, hal ini setidak nya dapat dilihat dari munculnya istlilah
boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga pendidikan formal baik yang
negeri ataupun swasta.

1. c. Masjid

Kedudukan msajid sebgai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan


manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh
Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi
masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat
aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya.
Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat
pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan
kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem
klasikal, masjid merupakan tempat paling feresantatif untuk menyelenggarakan
pendidikan.[10]

Secara etimologis menurut M. Quraish Shihab, masjid berasal dari bahasa Arab
”sajada” yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan hormat dan takdzim.
Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang
mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT.[11] Masjid memiliki fungsi ganda,
selain tempat shalat dan ibadah lainnya, juga sebagai tempat pengajian terutama yang
masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan).

Posisi Masjid di kalangan pesantren mempunyai makna sendiri. Menurut KH.


Abdurahman Wahid, masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng
santri agar lepas dari hawa nafsu, keberadaannya ditengah-tengah komplek pesantren
adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada pegunungan. Hal ini sebagai
indikasi bahwa nilai-niali kultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk
dilestarikan oleh pesantren.[12]

1. d. Santri

Santri adalah istilah lain dari murid atau siswa yang mencari ilmu pada lembaga
pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. (Adapun
Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam dunia
pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori.

Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang
hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri
tidak perli disibukan dengan membawa perlengkapan tidur seperti layaknya dirumah.
Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan
tanggungjawab. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren
terebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga bertanggungjawab
mengajar santri –santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar
pesantren.mereka bolak-balik (ngelajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong
berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya. Apabila
pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kalong, maka pesantren
tersebut adalah pesantren besar. Dan sebaliknya, pesantren kecil memliki lebih
banyak santri kalong dari pada santri mukim.[13]

1. e. Pengajaran Kitab Kuning

Kitab kuning adalah ungkapan dari beberapa kitab klasik yang sering dikaji dan
dipelajari oleh para santri dan kyai. Biasanya kertas-kertas pada kitab yang dikaji
sudah lama usianya akan berubah menjadi kuning, oleh karenanya istilah kitab kuning
ini muncul. Yang biasanya dikaji dalam dunia pesantren adalah kitab-kitab klasik
madzhab syafi’i dalam bentuk bahasa arab tanpa disertai harakat, kitab ini juga sering
disebut dengan kitab gundul. Hal ini adalah merupakan satu-satunya metode yang
secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia khususnya Jawa dan
Madura.

Sebagian besar pondok pesantren yang terdapat di daerah Jawa dan Madura masih
menggunakan dan melestarikan pendalaman Kitab Kuning, walaupun pada
perkembangan nya banyak juga pondok pesantren yang menambah atau merubah
kurikulum dengan tidak melulu mengkaji dan mempelajari kitab kuning. Kitab-kitab
kuning yang sering diajarkan pada pondok pesantren secara garis besar dapat dibagi
menjadi delapan (8) kelompok : 1. Nahwu dan Sharaf (sering diistilahkan dengan
ilmu alat); 2. Fiqh; 3. Ushul Fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan etika;
dan 8.cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.[14]

Terdapat dua model yang digunakan dalam pengkajian kitab kuning, model pertama
adalah sorogan, santri satu persatu secara bergantian mengaji atau membaca kitab
tertentu dengan kyai secara langsung. Dimana peran kyai dalam model ini sebatas
hanya menyimak bacaan yang dibacakan oleh santri dengan disertai penjelasan, di sini
peran santri harus aktif dalam proses pembelajaran. Kedua, bandongan, pada model
kedua ini peran kyai sangat aktif dalam proses pembelajaran, di sini kyai membaca
salah satu kitab disertai dengan penjelasan dengan diikuti oleh sebagian besar santri
yang ikut menerjemahkan kitab yang dibaca oleh kyai. Dan biasanya bahasa yang
sering digunakan dalam menerjemahkan kitab adalah bahasa Jawa.

Selain kedua model diatas yang digunakan dalam proses belajar di pondok pesantren,
terdapat satu lagi model pembelajaran yang juga sering digunakan oleh sebagian besar
pondok pesantren di jawa dan madura, yakni Musyawarah. Dalam kelas musyawarah
sistem pembelajarannya sangat jauh berbeda dengan sistem sorogan dan bandongan.
Disini Para santri harus mempelajari kitab yang ditunjuk. Dalam memimpin kelas
musyawarah peran kyai seperti dalam seminar dan lebih banyak dalam bentuk dialog
atau tanya jawab, biasanya keseluruhan prosesnya menggunakan bahasa Arab, dan ini
adalah merupakan ajang latihan bagi para santri untuk menguji keterampilanya dalam
menyadap sumber-sumber argumentasi kitab-kitab Islam klasik. Dan biasanya dalam
kelas atau forum musyawarah ini, sebelum menghadap kyai para santri
mendiskusikan terlebih dahulu beberapa persoalan antar mereka sendiri dengan
menunjuk salah satu menjadi juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari
masalah yang akan disodorkan ke kyainya. Setelah itu baru terjadi forum diskusi
bebas.[15]
Setelah kita memahami lebih jauh tentang pondok pesantren, sangat terasa betapa
hebat dan luar biasanya para kyai dalam mencoba mendesain lembaga pendidikan
yang sesuai dengan keadaan Nusantara (Indonesia), yang tentunya lembaga pondok
pesantren ini berbeda dengan lembaga pendidikan formal lainnya yang berkembang di
masyarakat kita. Sebagian besar lembaga pendidikan formal yang berkembang di
masyarakat adalah mengadopsi pada sistem pendidikan barat (Belanda) sebagai salah
satu peninggalan yang diwariskan oleh Belanda pada masa penjajahan.

Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli
Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya,
karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk
memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader
Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik
dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman
Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan
intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam.
Menurutnya dalam sejarah tradisi intelektual Islam pada mulanya adalah melahirkan
pakar-pakar ilmu agama, seperti Ibn Abbas dalam tafsir, Abdullah ibn Mas’ud dalam
fiqh dan lain sebagainya.[16]

1. 2. Madrasah

Sejatinya madrasah dalam peta dunia pendidikan di Indonesia bukanlah suatu


lembaga yang indegenous (pribumi). Setidaknya hal ini dapat dilihat dari kata
”madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini berarti
atau setara maknanya dengan kata Indonesia, yakni ”sekolah”, (kata ini juga
sebenarnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan bahasa Inggris ”school ataupun
scola, namun kata ini dialihkan dan di bakukan menjadi bahasa Indonesia.[17]

Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses


pembelajaran. Maksudnya adalah, di madrasah inilah anak menjalani proses belajar
secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah
menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan
sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik.
Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan
pendidikannya menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara
harfiah identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban
bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak
peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah
dengan mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang
sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.[18]

Pada dasarnya madrasah dengan pondok pesantren tidak jauh berbeda, masing-masing
mempunyai model dan tujuan yang sama dalam melaksanakan proses belajar
mengajar. Dalam catatan sejarah madrasah lahir dari lingkungan pondok pesantren,
atau dengan kata lain madrasah adalah perluasan dan pengembangan pendidikan dari
pondok pesantren yang mempunyai misi untuk mencerdaskan anak bangsa yang pada
saat itu belum ada keinginan untuk tinggal atau menginap di pondok dalam proses
belajarnya. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari para pendiri awal lembaga pendidikan
Madrasah yang sebagian besar didirikan oleh para Ulama yang menjadi pengasuh dan
sekaligus pendiri Pondok Pesantren pada lembaganya masing-masing. Diawali oleh
Syekh Amrullah Ahmad (1907) di Padang mendirikan Madrasah, KH. Ahmad Dahlan
(1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasbullah bersama KH Mansyur (1914) dan KH.
Hasym asy’ari yang pada tahun 1919 mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng
Jombang.[19]

Instutisi ini memang lahir pada kurun awal abad 20 M, yang saat itu dapat dianggap
sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.
[20] Memasuki abad 20 M, banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari
bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang
menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk
maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan
cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Munculnya kesadaran kritis tersebut
di kalangan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kiprah kaum terdidik
lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah yang telah banyak menyerap semangat
pembaruan (modernisme) di sana, sekembalinya ke tanah air mereka melakukan
pengembangan pendidikan barr yang lazim disebut madrasah dengan menerapkan
metode dan kurikulum baru.[21]

Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal
kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di
Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia
Belanda.[22] Dari sini dapat diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung kritik
pada lembaga pendidikan sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat dikatakan
munculnya madrasah sebagai usaha untuk pembaruan dan menjembatani hubungan
antara sistem tradisional (pesantren) dengan sistem pendidikan modern. Dan hal ini
juga merupakan sebagai upaya penyempurnaan terhadap sistem pendidikan di pondok
pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya
memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah yang umum. Maka tak heran
belakangan banyak bermunculan madrasah dilingkungan pondok pesantren.

Selain bentuk dari kritikan atas pesantren, Berdirinya madrasah pada lingkungan
pondok pesantren ini awal mulanya adalah untuk menampung keinginan dari para
santri yang tidak hanya ingin mengaji semata namun juga ingin sekolah pada lembaga
pendidikan formal yang kemudian pada akhirnya mendapatkan ijazah. Setidaknya hal
ini dapat dilihat dari beberapa wilayah di pulau jawa, madura, sumatera dan
kalimantan yang banyak sekali bermunculan madrasah pada lingkungan pondok
pesantren.

Banyaknya madrasah yang bermunculan pada lingkungan pondok pesantren ini,


kemudian oleh Mukti Ali sering disebut dengan Madrasah dalam Pesantren.[23]
Kemudian dalam perkembanganya model madrasah yang seperti ini sering di
istilahkan sebagai Madrasah Berbasis Pesantren.[24] Maraknya madrasah pada
lingkungan madrasah, menurut Steenbrink, tidak serta merta kemudian menghapus
tradisi pesantren yang sudah ada dan bertahan lama, hal ini setidaknya dapat diliha
dari tradisi-tradisi keagamaan, tradisi intelektual dan tradisi kepemimpinan khas
pesantren masih banyak di temukan pada madrasah yang berada di lingkungan
pesantren.[25]
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi
perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas
pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju
saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural.
[26], oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini
mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan
sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia
Islam, hal ini terjadi karena kedudukannya yang sedemikian prestisius di mata umat
Islam. Melalui lembaga ini, dinamika intelektual-keagamaan mencapai puncaknya,
kendati memang eksistensinya belum bisa terlepas sepenuhnya dari kepentingan
politik penguasa.

Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945


melalui Badan Pekerja Nasional Pusat (BPNIP) sebaga badan legislatif pada saat itu,
dalam pengumumannya tertanggal 22 Desember 1945 (berita RI tahun II No. 4 dan 5
halaman 20 kolom 1) berbunyi, ” Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran
sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di lamggar-langgar dan madrasah
tetap berjalan terus dan di perpesat”. Setelah pengumuman di bacakan, BPNIP
memberi masukan kepada pemerintah saat itu agar madrasah dan pondok pesantren
mendapatkan perhatian dan bantuan materil dari pemerintah guna memajukan dan
meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga tersebut, karena madrasah dan
pondok pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan
pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia pada
umumnya.

Guna merespon apa yang telah diumumkan dan masukan dari BPNIP kepada
pemerintah yang terbentuk, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah membentuk
kementerian Agama, kementrian yang baru ini dalam sturktur organisasinya pada
bagian C memuat tentang tugas pada bagian pendidikan adalah mengurusi masalah-
masalah pendidikan agama di sekolah umum dan masalah-masalah pendidikan di
sekolah agama (madrasah dan pondok pesantren). Dan tidak lama kemudian Mentri
Agama yang pada saat itu di jabat oleh K.H. Wahid Hasym mengeluarkan peraturan
Mentri Agama No. 1 tahun 1946 tentang pemberian bantuan kepada madrasah yang
kemudian di sempurnakan dan terakihr dengan peraturan Mentri Agama no. 3 tahun
1979 tentang pemberian bantuan kepada Perguruan Agama Islam. Kemudian guna
mengantisipasi adanya dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum,
maka Mentri Agama pada saat itu mengajurkan kepada semua madrasah untuk
memasukan tujuh mata pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu, pelajaran membaca
dan menulis, ilmu hitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olah raga.[27]

Kemudian guna memajukan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah dan


mengembangkan sistem pendidikan nasional yang integral, kementrian Agama yang
saat itu dijabat oleh Mukti Ali pada tahun 1975 mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Mentri Agama, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan
Mentri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 pada
tanggal 24 Maret 1975 beserta Instruksi Presiden no. 15 Tahun 1974 pada sidang
kabinet terbatas tertanggal 26 November 1974. adapun substansi dari SKB tersebut
adalah,
Pertama, ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah
umum yang sederajat. Kedua, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum
yang setingkat lebih atas. Dan Ketiga, siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah
umum yang setingkat.[28]

Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya
madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-
undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan
madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat
ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan
sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada
lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi
madrasah

Kalau kita lihat dari sejarah sosial pendidikan, dinamika munculnya madrasah adalah
merupakan manifestasi dari perubahan tuntutan sosial umat Islam dari waktu ke
waktu untuk menuntut adanya kualitas pendidikan yang baik dan bermutu dengan
tidak melepas pada akarnya yakni sistem pendidikan pondok pesantren. Sudah
menjadi keharusan bagi pemerintah yang ada untuk peduli dan memperhatikan
eksistensi dari lembaga pendidikan yang asli pribumi (Pondok Pesantren) dengan
lembaga yang merupakan hasil dialektika antara pendidikan tradisional dengan
pengaruh pendidikan modern barat, yakni madrasah, kita perlu jujur bahwa
keberadaan lembaga pendidikan Islam ini sampai sekarang masih tergolong kelas
rendahan dengan mutu dan kualitas yang jauh berbeda dengan lembaga pendidikan
umum. Ia harus mendapat dukungan penuh dari pelbagai sumber, terutama
pemerintah yang dalam pemberian dukungannya harus steril dari aroma politik dan
ekonomi, agar lembaga pendidikan Islam ini bisa terus eksis mendampingi dan
mengawal perjalanan bangsa pada kemudian harinya.

1. 3. Sekolah

Sebelum masa penjajahan, pendidikan yang ada di Indonesia berupa pendidikan non
formal. Pendidikan ini telah ada sejak Zaman Kerajaan Hindu (atau sebelumnya),
sekolah/pendidikan dilangsungkan di tempat Ibadah, perguruan atau padepokan.
Ketika Belanda mulai memporak-porandakan Nusantara (Indonesia) dengan bentuk
penjajahan dengan mengambil semua kekayaan dan rempah-rempah pada sebagian
besar wilayah Indonesia, Belanda pun mulai melakukan penjajahan terhadap dunia
pendidikan yang saebelumnya banyak dilakukan oleh warga pribumi pada tempat-
tempat ibadah dan pondok pesantren. Penjajahan yang dilakukan dengan membentuk
lembaga pendidikan baru yang dinamakan Sekolah.

Adalah pada tanggal 8 Maret 1819, Gubernur Belanda yang ditugaskan mengawasi
Indonesia dengan nama lengkapnya Jenderal Vander Capellen memerintahakan
kepada anak buahnya untuk mengadakan penelitian tentang pendidikan masyarakat
jawa, tujuan dari adanya penelitian saat itu adalah guna meningkatkan kemampuan
membaca dan menulis di kalangan mereka. Dengan hasil penelitain tersebut
diharapkan, pelaksanaan undang-undang dan peraturan pendidikan dapat diperbaiki,
secara khusus juga diteliti apakah saebaiknya guru yang ada dimanfaatkan dan
diberikan motivasi melalui peraturan yang sesuai, atau perlu menciptakan suatu
keadaan yang berbeda sama sekali.[29]
Satu abad kemudian, Brugmans membicarakan penelitan tersebut dan menduga
bahwa Gubernur Jenderal Van der Capellen hendak melaksanakan satu jenis
pendidikan yang berdasarkan pribumi murni, secara teratur dan disesuaikan dengan
masyarakat desa, yang dihubungkan erat pada pendidikan Islam yang sudah ada pada
sebelumnya. Dan pada akhir abad yang lalu, beberapa kali terdapat usulan agar
lembaga pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan pada kebijaksanaan untuk
mengembangkan system pendidikan umum. Akan tetapi pada reorganisasi dan
pengembangan system pendidikan colonial, dalam kenyataannya pemerintah selalu
memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. Kemudian
pada saat yang sama, di Minahasa dan Maluku berdiri sekolah yang dikelola oleh
zending. Sekolah ini mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda. Sekolah yang
dibentuk ini tidak jauh beda dengan lembaga pendidikan tradisional yang sudah ada
apda pulau jawa, yakni 100 % memusatkan diri pada pendidikan agama, bedanya
sekolah yang dikelola oleh zending ini memusatkan pada pendidikan Kristen. Tahap
awal yang ia lakukan adalah, menterjemahkan Bybel ke dalam bahasa Melayu. Bagi
sekolah-sekolah yang dikelola oleh zending buku terjemahan Bybel kedalam bahasa
Melayu adalah buku yang amat penting. Harapannya dengan diterjemahkannya Bybel
ini masyarakat setempat dapat memiliki kemampuan dalam membaca dan menulis.
[30]

Disampung itu dalam sekolah tersebut juga diajarkan ilmu bumi, ilmu sejarah dan
ilmu musik. Namun dalam ilmu yang diajarkan sebagian besar mengisahkan
perjalanan Rasul Paulus, sejarah Bybel dan musik gerejani. Guru-guru setempat
banyak yang mendapatkan pendidikan pada lembaga yang didirikan oleh zending.
Harapannya adalah, kelak para guru tersebut dapat menjadi pemimpin agama pada
masyarakat setempat.

Akibat inspeksi pendidikan colonial yang dilakukan oleh Gubernur Van der Chijs
pada tahun 1867, sekolah yang dikelola oleh zending ini kemudian masuk kedalam
system pendidikan umum gubernemen, masuknya sekolah tersebut secara otomatis
sekolah yang dikelola oleh zending tersebut masuk kedalam system sekolah umum.
Masuknya sekolah yang dikelola oleh zending ini kedalam system sekolah umum bila
dibandingkan dengan Pondok Pesantren yang masuk kedalam system pendidikan
umum ini lebih mudah. Hal ini disebabkan antrara lain karena para murid sekolah
tersebut sudah terbiasa dengan tulisan latin dan mampu berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini merupakan bahasa yang penting
dalam tugas sehari-hari pada lingkup gubernemen.[31]

Disaat pergantian abad 20, beberapa tokoh berfikir untuk mencari kemungkinan
melibatkan pendidikan Islam dalam pengembangan pendidikan. Hal itu disebabkan
karena pendidikan Islam tersebut dibiayai oleh rakyat sendiri, dan dengan demikian
pendidikan umum akan dapat direalisasikan dengan biaya yang relatif lebih murah.
Akan tetapi karena alasan politis, penggabungan sistem tersebut tidak terlaksana,
sebagai akubat konsekwensi logis dari kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda
yang tidak mau campur tangan dalam persoalan Islam. Kemudian pada tahun 1888
Mentri kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam karena
campur tangan Gubernur Jenderal yang tidak mau mengorbankan keuangan
negarauntuk sekolah-sekolah tersebut, yang pada akhirnya hanya berhasol
mengembangkan suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak menguntungkan
pengaruh dan kewajiban kira (Belanda). Kemudian berdasarkan pertimbangan
tersebut, didirikanlah apa yang disebut sekolah desa, sebuah lembaga pendidikan
sederhana yang membuka jalan kearah terwujudnya pendidikan umum, namum pada
saat itu usulan untuk menggabungkan pendidikan Islam ditolak.[32]

Akhirnya semenjak persoalan tersebut, sekolah Islam mengambil jalan sendiri dengan
melepas dari Gubernemen, sekolah Islam tetap berpegang pada tradisinya sendiri,
tetapi sekolah Islam juga terbuka untuk perubahan dalam tradisi tersebut.

Memang Pendidikan formal di Indonesia mulai dikenal pada masa penjajahan, pada
awal masa penjajahan sampai tahun 1903 sekolah formal masih dikhususkan bagi
warga Belanda di Hindia Belanda. Sekolah yang ada pada masa itu diantaranya ELS,
HIS,HCS, MULO dan AMS. Adapun penjelasannya sebagai berikut[33] :

1. ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch


Inlandsch School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah ini
menggonakan sistem dan metode seperti sekolah di negeri belanda
2. HBS (Hogere Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama
untuk warga negara pribumi dengan lama belajar 5 tahun. AMS (Algemeen
Metddelbare School) mirip HBS, namun setingkat SLTA/SMA. 3. Sekolah
Bumi Putera (Inlandsch School) dengan bahasa pengantar belajarnya adalah
bahasa daerah dan lama study selama 5 tahun.
3. Sekolah Desa (Volksch School) dengan bahasa pengantar belajar bahasa
daerah sekitar dan lama belajar adalah 3 tahun.
4. Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School) belajar dengan
bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun.
5. Sekolah Peralihan (Schakel School) yaitu sekolah lanjutan untuk sekolah desa
dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa belanda dalam kegiatan belajar
mengajar.
6. MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan smp / sltp pada saat jika
dibandingkan dengan masa kini.

Pada dekade awal abad kedua puluh, atas prakarsa masyarakat penguasa waktu itu.
Muncul Gagasan untuk mendirikan Sekolah Indonesia, pada mula pendirianya
sekolah Indonesia terutama dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknik
yang menjadi sulit karena terganggunya hubungan antara negeri Belanda dan wilayah
jajahannya di kawasan Nusantara, sebagai akibat pecahnya Perang Dunia Pertama. De
Techniche Hoogeschool te Indonesia berdiri tanggal 3 Juli 1920 dengan satu fakultas
de Faculteit van Technische Wetenschap yang hanya mempunyai satu jurusan de
afdeeling der Weg en Waterbouw. Kemudian karena Didorong oleh gagasan dan
keyakinan yang dilandasi semangat perjuangan Proklamasi Kemerdekaan serta
wawasan ke masa depan, Pemerintah Indonesia meresmikan berdirinya Sekolah
Indonesia pada tanggal 2 Maret 1959. Berdirinya Sekolah Indonesia ini Berbeda
dengan harkat pendirian lima sekolah teknik sebelumnya di kampus yang sama,
Sekolah Indonesia lahir dalam suasana penuh dinamika mengemban misi pengabdian
ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpijak pada kehidupan nyata di bumi sendiri
bagi kehidupan dan pembangunan bangsa yang maju dan bermartabat.[34]

B. Kesimpulan
Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan
pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat
dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional.
Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga
pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh yayasan
yang masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah.

Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan
sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas.
Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak
sedikit terjadi persaingan diantara lembaga pendidikan yang ada.

Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli
Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya,
karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk
memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader
Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik
dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman
Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan
intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam.

Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi


perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas
pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju
saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural.
oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini
mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan
sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia
Islam.

Pendidikan formal di Indonesia mulai dikenal pada masa penjajahan, pada awal masa
penjajahan sampai tahun 1903 sekolah formal masih dikhususkan bagi warga Belanda
di Hindia Belanda. Sekolah yang ada pada masa itu diantaranya ELS, HIS,HCS,
MULO dan AMS. Kemudian karena Didorong oleh gagasan dan keyakinan yang
dilandasi semangat perjuangan Proklamasi Kemerdekaan serta wawasan ke masa
depan, Pemerintah Indonesia akhirnya meresmikan berdirinya Sekolah Indonesia pada
tanggal 2 Maret 1959. Sekolah Indonesia lahir dalam suasana penuh dinamika
mengemban misi pengabdian ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpijak pada
kehidupan nyata di bumi sendiri bagi kehidupan dan pembangunan bangsa yang maju
dan bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (: Miz Bandung an, Cet. 2,
1999).

A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991
Arif, Mahmud, Panorama Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Idea Press,
2009)

Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,


(Jakarta : LP3ES, Cet.III, 1982.

Haedari, Amin dkk. MASA DEPAN PESANTREN Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta : IRD Press, 2004.

Indra, Hasbi, Pesantren dan Transformasi Sosial (Studi Atas Pemikiran KH. Abdullah
Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam. (Jakarta : Penamadani, 2003),

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidika Islam dalam Kurun


Modern, Jakarta : LP3 ES, 1994.

Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,


1999),

Saleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Keagamaan Visi, Misi dan Aksi,
(Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000),

Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi, (Jakarta : Erlangga, t.t).

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1996).

www.wikipedia.com

[1] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidika Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta : LP3 ES, 1994). Hlm.22

[2] Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta : LP3ES, Cet.III, 1982), hlm.18

[3] C.C. Berg, seperti halnya di kutip oleh Zmakhsyari Dhofier, Ibid.

[4] M. Chatuverdi dan Tiwari, seperti halya yang dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier,
Ibid…

[5] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi, (Jakarta : Erlangga, t.t). hlm 6

[6] Amin Haedari, dkk. MASA DEPAN PESANTREN Dalam Tantangan Modernitas
dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004).hlm 30

[7] Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Studi Atas Pemikiran KH.
Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam. (Jakarta : Penamadani, 2003),
hlm22.

[8] Ibid…
[9] Ibid, hlm.32

[10] Ibid, hlm 33.

[11] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1996), cet.2 hal. 459

[12] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi., Ibid. Hlm 21.

[13] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, Ibid .hal 51-52

[14] Ibid.., hal 50

[15] Amin Haedari, dkk. MASA DEPAN PESANTREN Dalam Tantangan..,Ibid hal 44

[16] Lihat Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi , Esai-esai Pesantren,


(Yogyakarta : LkiS). Hal 158

[17] A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (: Miz Bandung an, Cet.
2, 1999), hal. 18

[18] Ibid.., hal 19

[19] Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan Visi, Misi dan Aksi,
(Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hal 112

[20] Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana


Ilmu, 1999), p.98

[21] Mahmud Arif, Panorama Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Idea


Press, 2009), hlm.71

[22] Maksum, Madrasah, : Sejarah….hlm 82.

[23] A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991),
hl. 11-12.

[24] Mahmud Arif, Panorama Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Idea


Press, 2009), hlm. 89

[25] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidika Islam dalam


Kurun Modern, (Jakarta : LP3 ES, 1994). Hlm.220

[26] M. Munir Mursi, al Tarbiyah al Islamiyyah : seperti yang dikutip oleh Mahmud
Arif dalam, Panorama Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Idea Press,
2009), hlm 69

[27] Ibid.., hal 113

[28] Ibid, hlm. 114


[29] Van Der Chijs, Bijdragen Tot deGeschiadenis…, seperti yang dikutip oleh Karel
A. Steenbrink dalam Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidika Islam dalam Kurun
Modern…hlm.1

[30] Ibid…, hlm.3

[31] Ibid…, hlm.4-5

[32] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidika Islam dalam


Kurun Modern, (Jakarta : LP3 ES, 1994). Ibid…, hlm.7

You might also like