Professional Documents
Culture Documents
NIM : 10210226
KELAS :F
JURUSAN : TEKNIK INFORMATIKA
BAGIAN I
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
B. Maksud Dan Tujuan
Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini
mulai banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan
ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali melakukan razia terhadap pelacur
jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibukota dan mengirimnya ke
panti-panti sosial seperti Cipayung dan Kedoya, tetapi hal ini tidak
membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya makin bertambah. Pelacur
ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan
dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada
pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut
dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi
pelacur. Selain itu Pemerintah kurang serius menangani masalah
pelacuran ini, terbukti razia-razia yang bertujuan untuk mengurangi
pelacuran itu tidak berhasil.
3
memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan
dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di
antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi
atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
C. Identifikasi Masalah
Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang
memberi legalisasi pada praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan
Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak
lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat, khususnya
generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan
paradigma prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada
masalah moral dan imoralitas seksual?
4
seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita
adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi
diberantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa
pun dan di mana pun.
5
BAGIAN II
PEMBAHASAN MASALAH
A. Kebijakan Pemerintah
6
solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu
menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional. Wujud dari
pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual adalah munculnya
kebijakan nasional yang mendorong pemerintah daerah membuat konsep
“pusat kesenangan seksual” dengan cara mendirikan bangunan besar dan
bertingkat di pusat bisnis di tengah-tengah kota. Akan lebih bijaksana
karena dampak sosialnya paling kecil dibandingkan dengan membangun
lokalisasi wanita tunasusila (WTS) di daerah yang bercampur baur dengan
penduduk setempat.
B. Bentuk Penanganan
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the
Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta
prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas
internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang
melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga
ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik
upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan
memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan
korban itu masih terabaikan.
7
1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta. Sementara,
secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses
pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar
suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang
sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas
praktik prostitusi dengan segala eksesnya.
C. Pendekatan Kemanusiaan
Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya para pelaku dunia
prostitusi, diharapkan beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini
tidak perlu ada kontroversi. Percaya kepada Tuhan dan taat pada-Nya
merupakan sikap manusia yang amat bagus dan aman. Namun hal ini
belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Jangan-
jangan omongan imtaq menjadi tabir asap untuk menghindar dari
menyebutkan masalah-masalah konkret yang ada. Kalau iman dan taqwa
hanya berarti, misalnya untuk orang Islam (Pria atau wanita), ingat
kepada-NYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat senang
lupa akan kodratnya sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu
beriman dan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan
dariNYA. Jadi, seperti di mana-mana iman dan taqwa, itu hanya berguna
apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri hukum, yang mau
dikembangkan, dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu
diri dan omongan tentang imtaq malah menjadi hipokrit. Iman dan taqwa
harus merupakan sikap batin yang pertama-tama kelihatan dalam cara
orang membawa diri terhadap orang lain: Menghormati identitasnya,
tidak mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri secara
beradab, solidaritas nyata dengan mereka yang menderita, lintas
golongan, jujur, rendah hati, mampu melihat kelemahannya sendiri.
Orang macam itulah yang betul-betul beriman, betul-betul taqwa.
11
BAGIAN III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
12