You are on page 1of 12

NAMA : DOMINIKUS PAULUS DJUANG UDAK

NIM : 10210226
KELAS :F
JURUSAN : TEKNIK INFORMATIKA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMAIKA KOMPUTER


(STIKOM) UYELINDO
KUPANG
2010

BAGIAN I
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan erotis, seperti


misalnya prostitusi, pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat,
pendamping (escorts), dan penari telanjang. Para wanita di dalam bisnis
seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau tempat, termasuk
rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja seks seringkali
menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya,
bahwa banyak juga pekerja seks yang mempunyai masalah dengan
adiksi, yang membuat mereka semakin rawan terhadap penganiayaan,
penyakit, dan diskriminasi.

“Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi


karena akan ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut.” Dan
ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan
dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual. Pandangan itu
mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia
karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi,
kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan
agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja
marak di kota-kota besar di Indonesia.

Tindak kriminal seksual dibagi ke dalam dua kategori: mereka yang


menjadi korban dan mereka yang bukan.

Dari perspektif korban, pemerkosaan orang dewasa, pemerkosaan anak-


anak dan remaja, dan penyerangan seksual masuk ke dalam kategori
tindak kriminal karena seseorang telah menjadi korban. Sementara itu,
aktivitas seksual yang dipersiapkan melalui persetujuan kedua belah
pihak, prostitusi dan pornografi, “tidak ada korbannya” (victim-less).
Artinya, pihak yang terlibat di dalamnya menganggap tidak ada yang
saling dirugikan.

2
B. Maksud Dan Tujuan

Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini
mulai banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan
ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali melakukan razia terhadap pelacur
jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibukota dan mengirimnya ke
panti-panti sosial seperti Cipayung dan Kedoya, tetapi hal ini tidak
membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya makin bertambah. Pelacur
ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan
dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada
pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut
dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi
pelacur. Selain itu Pemerintah kurang serius menangani masalah
pelacuran ini, terbukti razia-razia yang bertujuan untuk mengurangi
pelacuran itu tidak berhasil.

Walaupun pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu


karena selama ini anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan
perempuan hanya sebagai pemuas atau pelayan seks saja, jadilah
pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mitos
keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin
meningkat. Mereka yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari
ekonomi lemah dengan kesempatan kerja yang kecil banyak yang akan
lari ke dunia pelacuran. Kita tidak bisa menyalahkan mereka para pelacur
itu karena sistem di Indonesia justru membuat perempuan terjebak
dalam kepelacuran itu sendiri.

Makalah ini difokuskan terhadap hukum yang membungkus kategori


victim-less sebagai perbuatan seks kriminal. Apabila mengacu pada
pendapat di atas, maka hukuman terhadap victim-less yang dipandang
sebagai tindak kriminal sebaiknya dieliminasi dan lebih jauh aktivitas
seperti itu sebaiknya didekriminalisasi (decriminalized). Persoalannya,
mungkinkah dekriminalisasi prostitusi dikembangkan di Indonesia?

Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik


prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah
yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau
lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah

3
memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan
dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di
antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi
atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.

Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang


didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan
prinsip universal tentang hak asasi manusia, sebenarnya setiap orang
dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap
“menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa
yang “bermoral” dan “beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi
masalah prostitusi. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah
adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan
cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan asosial” kepada
“kesenangan seksual” (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu
seks komersialnya karena berkaitan dengan “kesenangan seksual” yang
menjadi hak asasi seseorang.

C. Identifikasi Masalah

Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia


merupakan bukti bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak
diakui keberadaannya oleh masyarakat. Langkah kedua yang penting
dipertimbangkan untuk dilakukan pemerintah adalah liberalisasi seks
komersial tersebut.

Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang
memberi legalisasi pada praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan
Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak
lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat, khususnya
generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan
paradigma prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada
masalah moral dan imoralitas seksual?

Menurut hemat penulis, tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran


paradigma dan liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekuensi
yang merusak moral bangsa. Intinya, Indonesia tidak perlu mengatur isu

4
seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita
adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi
diberantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa
pun dan di mana pun.

Fakta lain adalah produk yang berhubungan dengan seks dapat


ditemukan di mana saja dan bahwa sebagian besar orang dapat melihat
produk tersebut. Jika hukum memandang aktivitas ini, yang melibatkan
banyak orang, sebagai ilegal, berarti hukum ketinggalan zaman dan harus
diubah dan diperbarui. Indonesia sangat mungkin melakukan penataan
terhadap prostitusi. Pemerintah dapat memberikan lisensi bisnis kepada
prostitusi dan menjamin mereka yang menjajakan seks untuk
memperoleh pemeriksaan kesehatan fisik dan nonfisik sebagaimana yang
dilakukan Pemerintah Belanda. Kewajiban pemerintah adalah memberikan
pelayanan kesehatan dan sosial kepada penjaja seks agar mereka
terhindar dari konsekuensi keterlibatan mereka dalam kegiatan seks
komersial.

5
BAGIAN II
PEMBAHASAN MASALAH

A. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah memberi pelayanan sosial seperti ini bukan hanya


memproteksi hak perempuan, tetapi mencegah munculnya masalah sosial
yang disebabkan prostitusi. Apabila demikian adanya, lalu apakah
Indonesia perlu melegalkan prostitusi? Penulis menolak tegas gagasan
legalisasi prostitusi di Indonesia, tetapi yang penulis setuju adalah
bagaimana gagasan “dekriminalisasi prostitusi” dapat diwacanakan
kepada publik dan diimplementasikan dalam regulasi pemerintah.

Gagasan dekriminalisasi dimaksud adalah memandang prostitusi sebagai


suatu isu moral. Jika dua orang dewasa mencapai kesepakatan
menyangkut persetujuan mengenai seks, kita sebaiknya tidak
memandang persetujuan mereka sebagai tindak kriminal, apa pun
alasannya. Apakah kesepakatan itu melibatkan uang atau tidak. Yang
perlu dicermati prostitusi dipandang dari dimensi moral, dan pada dimensi
inilah pemerintah seharusnya melakukan kajian dan hasilnya
didiseminasikan kepada masyarakat. Dengan ini, masyarakat akan
termotivasi untuk memberdayakan norma dan nilai agama dalam
mengendalikan atau menghentikan praktik prostitusi secara sistematis
melalui sebuah proses jangka panjang.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita terhadap prostitusi?


Hingga sekarang, belum ada seorang pun yang berhasil secara tuntas
mendekriminalisasi prostitusi dan mengeliminasi semua masalah yang
berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah Indonesia hanya
sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi
lainnya, hal itu justru akan mendorong prostitusi berlangsung secara
“bawah tanah”.

Pada tahap berikutnya, prostitusi bawah tanah ini akan mendorong


munculnya campur tangan organisasi kriminal terorganisasi maupun
korupsi di kalangan penegak hukum, dan muncul masalah sosial lainnya.
Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti,
akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan menemukan

6
solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu
menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional. Wujud dari
pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual adalah munculnya
kebijakan nasional yang mendorong pemerintah daerah membuat konsep
“pusat kesenangan seksual” dengan cara mendirikan bangunan besar dan
bertingkat di pusat bisnis di tengah-tengah kota. Akan lebih bijaksana
karena dampak sosialnya paling kecil dibandingkan dengan membangun
lokalisasi wanita tunasusila (WTS) di daerah yang bercampur baur dengan
penduduk setempat.

B. Bentuk Penanganan

Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the
Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta
prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas
internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang
melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga
ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik
upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan
memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan
korban itu masih terabaikan.

Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan


masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen,
nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental
dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga
miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak
memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu
saat jalan itu terbuka.

Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan


aparat dalam melakukan penertiban terhadap para perempuan yang
dilacurkan adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun

7
1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta. Sementara,
secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses
pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar
suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang
sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas
praktik prostitusi dengan segala eksesnya.

Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung


diskriminatif dan bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban
kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan dengan alasan melanggar
ketertiban umum. Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan
hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah
pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. Di pihak
lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan
dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu,
bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan
manusia berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang
seharusnya justru dibimbing yang benar.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru


membuat “kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak
terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena
pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi
terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian
terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV
positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap
anggota keluarga korban.

Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena


ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah
perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak
pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam
bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai
konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi
ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang
tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh
pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi
penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti
8
rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan
seksual oleh aparat selama proses penertiban.

C. Pendekatan Kemanusiaan

Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal


universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa
pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang
digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk
itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.

Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil


dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban
(tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban
prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan
pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah
abolisionis yang memandangperempuan yang dilacurkan sebagai
kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi
kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan
penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam
kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.
Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik,
dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir
aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa
perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-
membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang
dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca-
tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha,
atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.
Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti
sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus
dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam
kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.
Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib,
penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus.
Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat
laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan
9
kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi “pajangan”. Karena
perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan
saksi pelapor juga diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat
bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan
untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan
saja.

D. Upaya Pendekatan Keagamaan

Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya para pelaku dunia
prostitusi, diharapkan beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini
tidak perlu ada kontroversi. Percaya kepada Tuhan dan taat pada-Nya
merupakan sikap manusia yang amat bagus dan aman. Namun hal ini
belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Jangan-
jangan omongan imtaq menjadi tabir asap untuk menghindar dari
menyebutkan masalah-masalah konkret yang ada. Kalau iman dan taqwa
hanya berarti, misalnya untuk orang Islam (Pria atau wanita), ingat
kepada-NYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat senang
lupa akan kodratnya sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu
beriman dan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan
dariNYA. Jadi, seperti di mana-mana iman dan taqwa, itu hanya berguna
apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri hukum, yang mau
dikembangkan, dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu
diri dan omongan tentang imtaq malah menjadi hipokrit. Iman dan taqwa
harus merupakan sikap batin yang pertama-tama kelihatan dalam cara
orang membawa diri terhadap orang lain: Menghormati identitasnya,
tidak mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri secara
beradab, solidaritas nyata dengan mereka yang menderita, lintas
golongan, jujur, rendah hati, mampu melihat kelemahannya sendiri.
Orang macam itulah yang betul-betul beriman, betul-betul taqwa.

E. Upaya Penghapusan Prostitusi

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi


tetap saja ada dan tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi
itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia sendiri. sampai
sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih,
dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu
10
dan berupaya untuk menghilangkannya. “Upaya seperti itu adalah tidak
mungkin, naif dan ‘absurd’. Namun bukan berarti dengan begitu kita
semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita.

pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral


serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat
terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula untuk menghapuskan
prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan
prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya
melihat berdasarkan aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan
yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral
dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan
moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.

Diibaratkan, seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang


kehausan. Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk
menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral
dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab persoalan
prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan
meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat
luas dengan tidak selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan
penyebab prostitusi padahal lelaki yang banyak memanfaatkannya.

11
BAGIAN III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi


prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi
lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan).
yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan
laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar
belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu
keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan
kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif,


sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan
yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,
dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap
orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan
hidupnya, termasuk MELACUR.

B. Saran

Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah


korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama
seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi,
tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-


buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-
tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun,
niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut
dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati
yang diam-diam memakan uang rakyat banyak.

masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak


terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan
prilaku prostitusi di lingkungannya.

12

You might also like