Professional Documents
Culture Documents
FILSAFAT ILMU
NAMA : DESKONI
NIM : 20082004048
KELAS : PAGI B
2. Objek ilmu dan batas penjelajahan ilmu & Objek filsafat dan batas penjelajahan
filsafat.
Objek ilmu dan batas-batas penjelajahannya. Ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak
mempelajari hal ikhwal surga dan neraka, sebab surga dan neraka berada di luar
jangkauan pengalaman manusia. Ilmu juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian
terciptanya manusia, sebab kejadian itu di luar jangkauan pengalaman manusia. Baik
hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah
kematian kita, semua itu di luar penjelajahan ilmu. Ilmu hanya membatasi hal-hal
yang berbeda dalam batas pengalaman kita karena fungsi ilmu sebagai alat pembantu
manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu
membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan
metode yang dipergunakan dalam menyusunnya telah teruji kebenarannya secara
empiris. Ilmu merupakan pengembangan dari filsafat yang bersifat memerinci yang
terdiri dari pengetahuan-pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Dalam
perkembangannya ilmu mempunyai taraf penjelajahan lebih luas, otonom, menyeluruh
serta mendasarkan sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana adanya. Pada tahap
peralihan ilmu masih mendasarkan kepada norma yang seharusnya, sedangkan dalam
tahap terakhir ini, ilmu mendasarkan kepada penemuan alamiah sebagaimana adanya.
Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya ini, maka manusia tidak
lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif, melainkan
kombinasi antara deduktif dan induktif dengan jembatan yang berupa pengajuan
hipotesis yang dikenal dengan metode logico-hypothetico-verifikatif.
Menurut Auguste Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan
pengetahuan tersebut diatas ke dalam tahap religius, metafisik, dan positif. Dalam
tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu
merupakan deduksi atau penjabatan dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai
berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahan
yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar
postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah,
(ilmu) dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi
yang objektif.
Menurut kajian filsafat ilmu, ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan yang bersifat khas, maka
filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang
filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam
dan ilmu-ilmu sosial, dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Objek filsafat dan batas-batas penjelajahannya. Selaras dengan dasarnya yang
spekulatif, maka filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir filsafat mempermasalahkan hal-hal yang
pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Tentu
saja tiap kurun zaman mempunyai masalah yang mempunyai mode pada waktu itu.
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut
benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang
dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek
(estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama,
teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran, serta kaitan
antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua,
politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima
cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang
mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik diantaranya filsafat ilmu.
4. Perdebatan antara David Hume dan Emanuel Kant dalam hal hubungan-niscaya
sebab-akibat.
Dalam hal hubungan-niscaya sebab-akibat, Hume berpegang kepada metode
skeptisnya dan pengetahuan induktif, yang mempersoalkan keandalan pengetahuan
kita yang biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi pengetahuan itu tidak
memadai yang berlandaskan bahwa asumsi kebenaran bisa dicapai hanya melalui dua
cara yang sah yakni melalui penalaran matematis dan observasi empiris dengan
mengakui bahwa suatu penjelasan harus diberikan terhadap rasa pengharapan kita
bahwa hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang seperti yang terjadi di masa
lampau dan fenomena-fenomena saling berkaitan dengan cara yang niscaya.
Sedangkan Kant bertentangan dengan penjelasan Hume mengenai fenomena-
fenomena saling berkaitan dengan cara yang niscaya. Kant juga bertentangan dengan
penjelasan Hume mengenai kebenaran semua pengetahuan harus melalui penalaran
matematis dan observasi empiris, karena menurutnya ada tipe penalaran ketiga yakni
transedental yang merupakan sintetik dan sekaligus apriori yakni diungkap dengan
proposisi yang niscaya benar, tetapi keniscayaannya ini tidak hanya berasal dari logika
dalam proses menuju pengetahuan tentang obyek tersebut. Kant menanggapi
skeptisisme Hume dengan beragam cara, namun tanggapannya yang paling
berpengaruh adalah muncul dalam teorinya tentang prinsip-prinsip pemahaman murni
yakni semua perubahan berlangsung seirama dengan hukum hubungan sebab-akibat
dengan asumsi bahwa kita harus mengambil rentetan subyektif penangkapan dari
rentetan obyektif penampakan, dalam artian bahwa pengalaman subyektif kita
dimungkinkan jika berdasar pada asumsi bahwa pengalaman subyektif itu akan
menjadi suatu kenyataan obyektif. Jadi kalau ditinjau dari cara berpikir, maka pada
dasarnya dalam menafsirkan suatu obyek tertentu maka berkembanglah beberapa
pendapat, aliran, teori, dan mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukar
sekali bagi kita untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut
yang memang benar sebab semuanya dibangun di atas argumenatasi yang bersifat
koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi yang benar adalah
penjelasan yang mempunyai kerangka berpikir yang paling meyakinkan. Namun hal
ini pun tidak bisa memecahkan suatu persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat
mutlak dan tidak bisa terlepas dari unsur subyektif. Namun cara berpikir ini pun tidak
lepas dari kelemahan sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor
dalam suatu hubungan kausalitas. Kelemahan dalam berpikir rasional seperti itulah
yang menimbulkan berkembangnya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan
yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman.
5. Manfaat belajar filsafat ilmu bagi (calon) magister.
Dengan belajar filsafat ilmu, sebagai calon magister kita dapat mengenal apa itu
filsafat? Apa itu filsafat ilmu? Apa itu filsafat dan ilmu? Juga landasan dalam filsafat
yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dengan mengenal ini maka dapat
memberikan pengetahuan dalam mengenal jenis-jenis pengetahuan yang secara
spesifik niscaya mempunyai keterkaitan antara ketiga landasan filsafat tersebut. Kita
dapat mengenal bidang keilmuan dengan berbagai aspeknya, dalam artian mengenal
ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya; kaitan ilmu dengan moral, kaitan
ilmu dengan agama, kaitan ilmu dengan seni.
Mengenal hakikat penalaran yang merupakan suatu proses berpikir dalam
menentukan mana yang benar tentang suatu pengetahuan hingga kepada logika
induktif dan logika deduktif.
Memotivasi untuk merendah diri, belajar untuk tahu apa yang tidak tahu terutama
tentang hakikat ilmu itu sendiri