You are on page 1of 8

LEMBAR JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH

FILSAFAT ILMU

NAMA : DESKONI
NIM : 20082004048
KELAS : PAGI B

1. Epistemologi atau cara mendapatkan kebenaran ilmiah dikaitkan dengan logika


deduksi dan induksi.
Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia tercatat bahwa untuk mendapatkan
kebenaran, baik kebenaran yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, manusia
senantiasa mempergunakan seluruh keberadaannya secara utuh dan menyeluruh.
Dengan cara seperti itu telah memungkinkan dihasilkannya berbagai macam metode
sebagai suatu sarana atau instrumen bagi manusia dalam mendapatkan kebenaran yang
objektif.
Secara epistemologis, kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya menjadi objek pengetahuan yang
dapat diperoleh dengan menggunakan dua jenis metode penalaran, yaitu secara
deduktif maupun induktif. Penalaran deduktif adalah suatu prosedur yang berpangkal
pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan
berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa
khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat umum.
Namun demikian apabila dengan cermat kita memperhatikan dan memahami
kedua jenis metode penalaran ini, deduktif dan induktif, keduanya tidak terlepas dari
berbagai kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik penalaran deduktif maupun induktif
mengandung titik-titik lemah yang dapat kita anggap sebagai keterbatasan dari
keduanya.
Dalam studi-studi ilmiah yang dilakukan dengan teknik eksperimentasi,
penggunaan metode induksi sangatlah menonjol dan memberi pengaruh yang kuat.
Hasil penarikan kesimpulan sebagai salah satu bentuk kebenaran yang diperoleh
dengan kajian ilmiah, sangat besar ditentukan oleh pemikiran empiris.
Tidak jarang penarikan kesimpulan yang diambil dari suatu penelitian ilmiah
mempunyai nilai kebenaran yang rendah, oleh karena hanya kesalahan dalam
penggunaan metode induksi/empirisnya. Sebab itu kritik atau telaah terhadap
kelemahan dalam metode induksi dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan bagi
para ilmuwan dalam menggunakan metode ilmiah.
Induktivisme bagian dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan
empiris. Induktivisme dan empirisme sebagai aliran yang menggunakan landasan
berpikir induktif mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam metode ilmiah.
Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas
dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran
rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung
tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian
dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi relatif
lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera dalam
pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab rasionalisme
yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak lahir. Menurut
Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu lembaran bersih (tabula
rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui pengalaman-pengalaman
inderawi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang
disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme.
Dengan tesis inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia
menjelaskan perkembangan pikiran manusia.
Selain John Locke, Francis Bacon pada awal abad ke-17, beranggapan bahwa
untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan
inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon
yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus
sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat umum atau cara berpikir dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan
terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat
umum.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran
induktif, yakni cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus, yang biasanya mempergunakan pola berpikir
silogisme yakni disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan
yang mendukung disebut premis yang dapat dibedakan menjadi premis minor dan
mayor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif
berdasarkan kedua premis tersebut.
Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki konsep
yang canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan
tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukanlah
syarat mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala yang
merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi.
Dalam induksi, tidak ada kesimpulan yang memiliki nilai kebenaran yang pasti.
Yang ada hanyalah kesimpulan dengan probabilitas benar atau peluang kebenaran
(Surajiyo, 2007). Menurut Chalmer (1983), kondisi yang harus dipenuhi agar
generalisasi atau kesimpulan dianggap benar dan sah oleh induktivis disebutkan
sebagai berikut : makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar induksi, makin
besar variasi kondisi dimana observasi dilakukan, dan keterangan observasi yang
sudah diterima tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi
simpulannya. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas
(Chalmers, 1983). Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam
kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum
ada data yang menunjukkan pengingkaran pada teori.
Baik logika deduktif maupun induktif, dalam proses penalaran mempergunakan
premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini
membawa kepada kita kepada sebuah pernyataan: bagaimana kita mendapatkan
pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah
mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.
Kaum rasionalis mengembangkan paham yang dikenal dengan rasionalisme,
sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan
paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang
menurut anggapannya benar dan dapat diterima. Sedangkan kaum empirisme
mempergunakan metode induktif yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu
bukan didapat dari penalaran rasional yang abstrak melainkan melalui pengalaman
yang konkret.

2. Objek ilmu dan batas penjelajahan ilmu & Objek filsafat dan batas penjelajahan
filsafat.
Objek ilmu dan batas-batas penjelajahannya. Ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak
mempelajari hal ikhwal surga dan neraka, sebab surga dan neraka berada di luar
jangkauan pengalaman manusia. Ilmu juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian
terciptanya manusia, sebab kejadian itu di luar jangkauan pengalaman manusia. Baik
hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah
kematian kita, semua itu di luar penjelajahan ilmu. Ilmu hanya membatasi hal-hal
yang berbeda dalam batas pengalaman kita karena fungsi ilmu sebagai alat pembantu
manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu
membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan
metode yang dipergunakan dalam menyusunnya telah teruji kebenarannya secara
empiris. Ilmu merupakan pengembangan dari filsafat yang bersifat memerinci yang
terdiri dari pengetahuan-pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Dalam
perkembangannya ilmu mempunyai taraf penjelajahan lebih luas, otonom, menyeluruh
serta mendasarkan sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana adanya. Pada tahap
peralihan ilmu masih mendasarkan kepada norma yang seharusnya, sedangkan dalam
tahap terakhir ini, ilmu mendasarkan kepada penemuan alamiah sebagaimana adanya.
Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya ini, maka manusia tidak
lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif, melainkan
kombinasi antara deduktif dan induktif dengan jembatan yang berupa pengajuan
hipotesis yang dikenal dengan metode logico-hypothetico-verifikatif.
Menurut Auguste Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan
pengetahuan tersebut diatas ke dalam tahap religius, metafisik, dan positif. Dalam
tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu
merupakan deduksi atau penjabatan dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai
berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahan
yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar
postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah,
(ilmu) dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi
yang objektif.
Menurut kajian filsafat ilmu, ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan yang bersifat khas, maka
filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang
filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam
dan ilmu-ilmu sosial, dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Objek filsafat dan batas-batas penjelajahannya. Selaras dengan dasarnya yang
spekulatif, maka filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir filsafat mempermasalahkan hal-hal yang
pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Tentu
saja tiap kurun zaman mempunyai masalah yang mempunyai mode pada waktu itu.
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut
benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang
dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek
(estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama,
teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran, serta kaitan
antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua,
politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima
cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang
mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik diantaranya filsafat ilmu.

3. Keniscayaan-sebab dalam menjelaskan berbagai fenomena.


Dalam menjelaskan berbagai fenomena, kebanyakan ilmuwan mengasumsikan
bahwa fenomena yang mereka amati terikat bersamaan antara keniscayaan-sebab,
karena berawal dari ketergantungan dari hukum fenomena tersebut. Adapun hukum
alamiah yang paling mendasar adalah yang mengatur hukum lain yang lebih spesifik
mengenai bagaimana fenomena berinteraksi, adalah bahwa efek apapun yang kita
amati di alam itu niscaya ditentukan oleh suatu sebab yang mendahuluinya. Ini
merupakan kontradiksi asumsi bagi para filsuf. Namun yang kita butuhkan adalah
pengetahuan yang berada di tengah-tengah yakni antara kemutlakan yang dipunyai
agama dan keunikan individual yang bersifat seni. Sebagai pengetahuan, ilmu dapat
membantu para ilmuwan dalam memecahkan masalah-masalah praktis sehari-hari,
yang tidaklah perlu ekstrim terhadap kemutlakan yang dimiliki agama yang berfungsi
sebagai pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Walaupun
demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan
generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya
seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu
menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik terhadap suatu fenomena.

4. Perdebatan antara David Hume dan Emanuel Kant dalam hal hubungan-niscaya
sebab-akibat.
Dalam hal hubungan-niscaya sebab-akibat, Hume berpegang kepada metode
skeptisnya dan pengetahuan induktif, yang mempersoalkan keandalan pengetahuan
kita yang biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi pengetahuan itu tidak
memadai yang berlandaskan bahwa asumsi kebenaran bisa dicapai hanya melalui dua
cara yang sah yakni melalui penalaran matematis dan observasi empiris dengan
mengakui bahwa suatu penjelasan harus diberikan terhadap rasa pengharapan kita
bahwa hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang seperti yang terjadi di masa
lampau dan fenomena-fenomena saling berkaitan dengan cara yang niscaya.
Sedangkan Kant bertentangan dengan penjelasan Hume mengenai fenomena-
fenomena saling berkaitan dengan cara yang niscaya. Kant juga bertentangan dengan
penjelasan Hume mengenai kebenaran semua pengetahuan harus melalui penalaran
matematis dan observasi empiris, karena menurutnya ada tipe penalaran ketiga yakni
transedental yang merupakan sintetik dan sekaligus apriori yakni diungkap dengan
proposisi yang niscaya benar, tetapi keniscayaannya ini tidak hanya berasal dari logika
dalam proses menuju pengetahuan tentang obyek tersebut. Kant menanggapi
skeptisisme Hume dengan beragam cara, namun tanggapannya yang paling
berpengaruh adalah muncul dalam teorinya tentang prinsip-prinsip pemahaman murni
yakni semua perubahan berlangsung seirama dengan hukum hubungan sebab-akibat
dengan asumsi bahwa kita harus mengambil rentetan subyektif penangkapan dari
rentetan obyektif penampakan, dalam artian bahwa pengalaman subyektif kita
dimungkinkan jika berdasar pada asumsi bahwa pengalaman subyektif itu akan
menjadi suatu kenyataan obyektif. Jadi kalau ditinjau dari cara berpikir, maka pada
dasarnya dalam menafsirkan suatu obyek tertentu maka berkembanglah beberapa
pendapat, aliran, teori, dan mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukar
sekali bagi kita untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut
yang memang benar sebab semuanya dibangun di atas argumenatasi yang bersifat
koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi yang benar adalah
penjelasan yang mempunyai kerangka berpikir yang paling meyakinkan. Namun hal
ini pun tidak bisa memecahkan suatu persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat
mutlak dan tidak bisa terlepas dari unsur subyektif. Namun cara berpikir ini pun tidak
lepas dari kelemahan sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor
dalam suatu hubungan kausalitas. Kelemahan dalam berpikir rasional seperti itulah
yang menimbulkan berkembangnya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan
yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman.
5. Manfaat belajar filsafat ilmu bagi (calon) magister.
Dengan belajar filsafat ilmu, sebagai calon magister kita dapat mengenal apa itu
filsafat? Apa itu filsafat ilmu? Apa itu filsafat dan ilmu? Juga landasan dalam filsafat
yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dengan mengenal ini maka dapat
memberikan pengetahuan dalam mengenal jenis-jenis pengetahuan yang secara
spesifik niscaya mempunyai keterkaitan antara ketiga landasan filsafat tersebut. Kita
dapat mengenal bidang keilmuan dengan berbagai aspeknya, dalam artian mengenal
ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya; kaitan ilmu dengan moral, kaitan
ilmu dengan agama, kaitan ilmu dengan seni.
Mengenal hakikat penalaran yang merupakan suatu proses berpikir dalam
menentukan mana yang benar tentang suatu pengetahuan hingga kepada logika
induktif dan logika deduktif.
Memotivasi untuk merendah diri, belajar untuk tahu apa yang tidak tahu terutama
tentang hakikat ilmu itu sendiri

You might also like