You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal dari
bahasa Yunani anaisthēsia (dari an- ‘tanpa’ + aisthēsis ‘sensasi’) yang berarti
tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: (1) anestesia
lokal: hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran; (2) anestesia
umum: hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.
Sejak jaman dahulu, anestesia dilakukan untuk mempermudah tindakan
operasi, misalnya pada orang Mesir menggunakan narkotika, orang China
menggunakan Cannabis indica, orang primitif menggunakan pemukulan kepala
dengan kayu untuk menghilangkan kesadaran.
Pada tahun 1776 ditemukan anestesia gas pertama, yaitu N2O, namun
kurang efektif sehingga ada penelitian lebih lanjut pada tahun 1795 menghasilkan
eter sebagai anestesia inhalasi prototipe, yang kemudian berkembang hingga
berbagai macam yang kita kenal saat ini.1
Pada praktikum ini, kami melihat pengaruh pemberian eter terhadap
perubahan kondisi kesadaran kelinci yang dapat diamati dengan beberapa
parameter penting.

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu melakukan anestesi umum dengan menggunakan eter
pada kelinci percobaan.

2. Mahasiswa mampu mengamati stadium anestesi yang terjadi melalui


parameter-parameter antara lain: respon nyeri, lebar pupil, jenis
pernafasan, frekuensi jantung dan tonus otot.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan stadium-stadium anestesi.

1.3 Manfaat
1. Mampu melakukan anestesi umum dengan menggunakan eter pada
kelinci percobaan.
2. Mampu mengamati stadium anestesi yang terjadi melalui parameter
parameter antara lain: respon nyeri, lebar pupil, jenis pernafasan, frekuensi
jantung dan tonus otot.

3. Mampu menjelaskan stadium-stadium anestesi.


BAB II
METODE PRAKTIKUM

2.1 Alat dan Bahan :


1. Stetoskop
2. Corong
3. Alat penjepit
4. Hewan coba : kelinci
5. Obat anestesi : eter

2.2 Cara Kerja :


1. Untuk percobaan ini digunakan kelinci yang sehat.
2. Sebelum melakukan percobaan, periksa dan catatlah:
a. Keadaan pernapasan : frekuensi, dalamnya pernapasan, teratur atau
tidak jenis pernapasan (dada atau perut)
b. Keadaan mata : lebar pupil, reflek kornea, konjungtiva, pergerakan
mata
c. Keadaan otot/pergerakan : keadaan gerakan, tonus otot bergaris
d. Keadaan saliva : saliva banyak atau sedikit
e. Rasa nyeri : keadaan rasa nyeri (dengan mencubit telinga)
f. Lain-lain : muntah, ronkhii, warna telinga
3. Setelah hal tersebut dicatat, percobaan dapat dimulai.
4. Pasanglah corong anestesi pada moncong kelinci dengan baik dan
mulailah meneteskan eter dengan kecepatan kira-kira 60 tetes per menit.
5. Catatlah waktu :
a. Mulai meneteskan eter
b. Adanya tanda-tanda dari tiap-tiap stadium
c. Keadaan dimana binatang coba sudah berada dalam anestesi yang
cukup untuk memulai melakukan operasi
6. Bila keadaan terakhir sudah tercapai (stadium of anesthesia)
pertahankanlah keadaan ini untuk beberapa saat (5 menit), dan
perhatikan/periksalah keadaan binatang coba tanpa menambah eter lagi.
Kemudian biarkanlah kelinci bangun/sadar kembali dan catatlah
waktunya. Hitunglah jumlah eter yang digunakan.
BAB III
HASIL PRAKTIKUM
1. Catatan Waktu

Mulai meneteskan eter 0


Tercapainya stadium I 2.41
Tercapainya stadium II 3.52
Tercapainya stadium III 4.23 (450 tetes eter)
2. Hasil Pemeriksaan:

Kontrol Tetesan Eter


Pernapasan
-Frekuensi 240/menit 2.35menit cepat
2.41menit pelan
3.52menit cepat
4.06menit cepat
-Irama Cepat dan teratur Tidak teratur
-Jenis Torakoabdominal abdominal
-Amplitudo Dangkal Sedang
-Lain-lain Keadaan stress 4.23menit nafas normal
Mata
-Lebar pupil 5mm 1.49menit 1mm
2.17menit 4mm
4.23menit 6mm
4.45menit 8mm
-Reflek cahaya ada Kedip sedikit
-Reflek kornea ada Kedip sedikit
-Pergerakan mata normal normal
Gerakan/otot
-Tonus otot Ada tahanan 4.50menit tidak ada tahanan
-Gerakan ada 3.32menit tidak ada
Rasa nyeri ada Tidak ada
Salivasi Tidak ada 6.30 ada hipersalivasi
Auskultasi
-Ronchi Tidak ada Ada tapi tidak kelihatan
-Lain-lain - -
3. Selama pemberian anestesi :
a. Pada menit ke-11 mulai mengangkat kepala

Pada menit ke-12.18 mulai mengedipkan mata

b. Jumlah anestesi yang digunakan : 450 tetes eter (sampai mencapai


stadium)

BAB IV
DISKUSI

4.1 Diskusi Hasil


Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum
yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Anestesi umum ini dapat
dihasilkan dengan pemberian obat sesuai dengan bentuk fisiknya, yaitu anestetik
menguap, anestetik gas dan anestetik yang diberi secara IV (intravena). 2
Praktikum pemberian anestesi umum pada kelinci ini menggunakan obat
anestetik menguap, yaitu eter. Anestetik yang menguap (volatile anesthetic)
mempunyai 3 sifat dasar yang sama, yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar,
mempunyai sfat anestetik kuat pada kadar rendah dan relative mudah larut dalam
lemak, darah dan jaringan. Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan dapat
memperlambat terjadinya keseimbangan dan terlewatinya induksi. Namun hal ini
dapat diatasi dengan memberikan kadar lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan.
Bila stadium yang diinginkan sudah tercapai, kadar disesuaikan untuk
mempertahankan stadium tersebut. Untuk mempercepat induksi dapat diberika zat
anestetik lain yang kerjanya cepat kemudian baru diberikan anestetik yang
menguap. 2
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau, mudah
terbakar, mengiritasi saluran nafas dan mudah meledak. Eter juga merupakan
anestetik yang sangat kuat sehingga penderita dapat memasuki setiap tingkat
anastesi. Eter dapat menghasilkan efek analgesik dengan kadar dalam darah arteri
10-15 mg % walaupun penderita masih sadar sehingga eter mempunyai sifat
analgesik yang kuat sekali. 2
Eter dapat merangsang sekresi kelenjar bronkus dan mengiritasi saluran
napas. Pada induksi dan waktu pemulihan, eter menimbulkan salivasi, tetapi pada
stadium yang lebih dalam, salivasi akan dihambat dan terjadi depresi nafas. Eter
menekan kontraktilitas otot jantung, tetapi in vivo efek ini dilawan oleh
meningginya aktivitas simpatis sehingga curah jantung tidak berubah atau
meninggi sedikit. Eter tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap
katekolamin. Pada anestesi ringan, eter dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah muka dan pada
anestesi yang lebih dalam kulit akan menjadi lembek , pucat, dingin dan basah.
Eter juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal sehingga terjadi
penurunan laju filtrasi glomelurus dan produksi urine secara berlebihan.
Sedangkan pada pembuluh darah otak, eter menyebabkan vasodilatasi. 2
Eter menyebabkan mual dan muntah terutama pada waktu pemulihan,
tetapi dapat pula pada waktu induksi. Ini disebabkan oleh efek sentral eter atau
akibat iritasi lambung oleh eter yang tertelan. Aktivitas saluran cerna dihambat
selama dan sesudah anesthesia. 2
Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung berat badan dan kondisi
penderita, kebutuhan dalamnya anestesi dan teknik yang digunakan. Eter
diabsorpsi dan disekresi melalui paru dan sebagian kecil diekskresi juga melalui
urine, air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh. 2
Semua zat anestesi umum bekerja dengan menghambat SSP secara
bertahap. Penghambatan pertama dilakukan pada fungsi kompleks kemudian
dilanjutkan sampai medula oblongata (tempat pusat vasomotor dan pernafasan).
Guedel (1920) membagi anestesi umum menjadi 4 stadium. Praktikum yang
dilakukan pada kelinci dengan obat anestetik eter ini hanya sampai pada stadium
ketiga. 2

Sebelum percobaan dimulai, dilakukan pengamatan pada keadaan kelinci


yang nantinya akan digunakan sebagai kontrol. Pada keadaan normal, frekuensi
pernapasan kelinci adalah 240 kali/menit, iramanya teratur, dan jenis pernapasan
adalah thorako-abdominal. Selain itu, masih terdapat gerakan reflek dari kelinci
ketika telinga kelinci disentuh menggunakan gunting penjepit. Hal ini juga
menunjukkan masih adanya rasa nyeri yang dapat dirasakan kelinci tersebut.
Tonus otot juga masih ada saat kaki kelinci dipegang dan kaki tersebut
menghasilkan tahanan otot. Keadaan mata kelinci saat keadaan normal
menunjukkan lebar pupil 5 mm, terdapat refleks cahaya, refleks kornea dan
pergerakan mata. Kelinci tidak mengalami hipersalivasi dan ronchi pada
auskultasi tidak ada.

Stadium I anestesi umum dicapai setelah 2 menit 41 detik. Hal ini ditandai
dengan terjadinya bradikardi. Tahap ini dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Kesadaran kelinci masih tampak namun ukuran
pupil mengecil dari keadaan awal. Pada tahap ini, rasa sakit telah hilang (efek
analgesia telah muncul).

Stadium II, yang disebut juga dengan stadium eksitasi atau delirium, dimulai
dari hilangnya kesadaran hingga permulaan stadium pembedahan. Kelinci
memasuki stadium ini pada setelah 3 menit 52 detik, yang ditandai dengan
pernapasan cepat dan tidak teratur. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi
dan gerakan yang tidak menurut kehendak, seperti refleks bulu mata, pelebaran
pupil mata (midriasis), tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, gerakan
pernafasan yang tak teratur, laryngospasme atau muntah (bahaya aspirasi),
terkadang disertai apnae dan hiperapnae, tonus muskulus skeletal meningkat,
inkontinensia urin, takikardia, hipertensi hingga terjadinya kematian, sehingga
3,4,5,6
harus segera dilewati .

Eksitasi dapat disebabkan karena adanya depresi atau hambatan pada pusat
inhibisi. Pernafasan torakal–abdominal yang cepat dan tidak teratur diakibatkan
oleh depresi pernafasan sehingga terjadi retensi CO2 dan menuju pada Sympatho
Adrenal Discharged (SAD) yaitu pelepasan adrenalin dari kelenjar medula
adrenalin dan noradrenalin dari ujung saraf simpatis. Bola mata bergerak-gerak
karena terjadi paralisa otot ekstrinsik bola mata sehingga kontraksinya tak
terkoordinir 6.

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernafasan hingga
hilangnya pernafasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya pernafasan
spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri
dan kekanan dengan mudah.9 Stadium III ini dibagi dalam 4 plane, yaitu 7,8,9 :

1. Plane 1

Kelinci memasuki plane ini setelah 4 menit 23 detik, ditandai dengan pernafasan
teratur, pernafasan torakal sama kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola
mata tak teratur, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi
(miosis) dan refleks cahaya masih ada, lakrimasi akan meningkat, refleks
farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.7,8 Belum tercapai relaksasi
otot lurik yang sempurna.9

2. Plane 2

Kelinci memasuki plane ini setelah 4 menit 23 detik, ditandai dengan pernafasan
8,
yang teratur tetapi kurang dalam bila dibanding plane 1 volume tidal menurun
dan frekwensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola
mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun
dan refleks kornea menghilang.7 Relaksasi otot lurik sedang, refleks laring hilang.9

3. Plane 3

Kelinci memasuki plane ini setelah 4 menit 45 detik, ditandai dengan pernafasan
abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena paralisis otot interkostal
yang makin bertambah sehingga pada akhir plane 3 terjadi paralisis total otot
interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, relaksasi otot lurik
sempurna 9, pupil melebar tetapi belum maksimal dan refleks cahaya akan
menghilang pada akhir plane 3 ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal
menghilang, tonus otot-otot makin menurun.7,8

4. Plane 4

Kelinci memasuki plane ini setelah 4 menit 50 detik, ditandai dengan pernafasan
tidak adekuat, pernafasan dengan perut sempurna karena kelumpuhan otot
interkostal sempurna 8,9, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot diafragma yg
makin nyata, pada akhir plane 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin
menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar maksimal dan refleks cahaya
menghilang, refleks sphincter ani menghilang.7 Tekanan darah mulai menurun.8,9

Stadium IV (paralisis medula oblongata), dimulai dengan melemahnya


pernafasan perut dibanding stadium III plana 4, tekanan darah tak terukur karena
pembuluh darah kolaps, jantung berhenti berdenyut dan akhirnya penderita
meninggal. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan 4,5. Pada percobaan kali ini kelinci tidak diberi anestesi hingga
mencapai stadium IV karena stadium ini sangat berbahaya dan dapat
menyebabkan kematian.
Dalamnya anastesi yang berjalan bergantung pada kadar anastetik di
dalam sistem saraf pusat, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
mempengaruhi transfer anastetik dari alveoli paru darah dan dari darah ke
jaringan otak, yaitu : (1) kelarutan zat anastetik, (2) kadar anastetik dalam udara
yang dihirup pasien (tekanan parsial), (3) ventilasi paru, (4) aliran darah paru, dan
(5) perbedaan antara tekanan parsial anastetik di darah arteri dan darah vena. Hasil
praktikum membuktikan bahwa semakin banyak kadar anastesi yang diterima
oleh tubuh pasien, dalam hal ini binatang coba (kelinci) maka kelinci akan
merasakan anastesi yang lebih dalam.

4.2 Jawaban Pertanyaan


1. Apakah semua stadium pada anastesi umum dengan eter dapat terlihat
pada percobaan ini?
Ya, semua stadium pada anastesi umum dengan eter dapat terlihat dengan
jelas.

2. Bila dapat terlihat dengan jelas, apakah tanda-tanda pada tiap stadium
didapatkan? Tanda-tanda mana sajakah yang tidak didapatkan atau tidak
terlihat dengan jelas?
Ya, terdapat tanda-tanda yang khas pada setiap stadium anastesi sehingga
dapat dibedakan dengan jelas sudah memasuki stadium yang mana.

Efek euphoria (disertai rasa nyaman) sulit dideteksi pada percobaan ini.

3. Pada auskultasi, apakah yang didapatkan? Kenapa hal ini dapat terjadi?
Jelaskan!
Pemeriksaan denyut jantung dengan auskultasi menunjukkan berbagai
perubahan selama waktu kontrol serta saat anastesi dan saat sadar kembali.

a. Pada waktu kontrol (sebelum anastesi)


Frekuensi denyut jantung normal dan teratur.

b. Pada saat anastesi berlangsung


Pada beberapa saat setelah anastesi, frekuensi denyut jantung
meningkat cepat dan tak teratur. Hal ini dikarenakan adanya
pelepasan adrenalin dan nor-adrenalin (Sympatho Adrenal
Discharged) oleh kelenjar medula adrenal, selanjutnya adrenalin
akan merangsang reseptor beta 2 pada jantung untuk menimbulkan
efek takikardi (stadium II anasthesi). Kemudian frekuensi denyut
jantung perlahan-lahan menurun karena eter memberikan efek
depresi pada sistem kardiovaskular (stadium III/2 atau III/3).
Selanjutnya pada saat efek anastesi mulai hilang dan hewan coba
mulai sadar kembali, denyut jantung pun kembali normal akibat
adanya efek homeostasis.

4. Pada stadium manakah rasa nyeri mulai hilang?


Pada penggunaan anastesi eter, efek analgesia mulai didapatkan pada
stadium I. Pada stadium tersebut, hewan coba mulai tidak merasakan nyeri
dan kesadaran mulai berkurang.

5. Pada stadium manakah terdapat relaksai otot bergaris ?

Relaksasi otot bergaris terjadi pada stadium tiga, dimulai dari akhir
stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Ditandai dengan pernafasan
teratur, pernafasan torakal sama kuat dgn pernafasan abdominal,
pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik,
pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan
meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, dan tonus otot
menurun.

6. Bagaimanakah salivasinya ? mengapa hal ini dapat terjadi ?


Salivasi terjadi karena penurunan reflek kelenjar ludah. Untuk
menghindarinya, dalam tindakan anastesi diperlukan pemberian
premedikasi. Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, salah satu diantaranya
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

7. Tanda-tanda apakah yang didapatkan pada waktu binatang coba dari


keadaan anastesi kembali ke keadaan bangun ?
a. Frekuensi nafas, frekuensinya berubah menjadi lebih cepat.
b. Mata mulai kembali normal, ada reflek cahaya dan reflek kornea.
c. Tonus otot ada tahanan dan ada gerakan.

8. Cara pemberian anestesi pada percobaan ini disebut cara apa? Cara-cara
apa saja yang dapat digunakan pada pemberian anestesi umum?
Teknik anestesi umum dengan cara anestesi inhalasi. Untuk anestesi
umum, ada 3 cara pemberian yang dapat digunakan, yaitu anestesi
inhalasi, parenteral (IV, IM, drip), per-rectal.

9. Apa kerugian / keuntungan eter sebagai anestesi umum?


Kerugian: a. Kemungkinan aspirasi besar
b. Waktu operasi terburu-buru/diteruskan dengan insuflasi
c. Tidak dapat menggunakan diatherm
Keuntungan : a. Cocok untuk prosedur yang singkat
b. Trauma laryng kurang

10. Dan bagaimana pula dengan kloroform, halotan, siklopropan, nitrous


oksida dan pentotal?
a. Kloroform
Non irritable, pelemas otot yang baik, tidak mudah terbakar, tidak
mudah meledak, depresi miokard, hepatotoksik.
b. Halotan
Tidak mudah terbakar, tidak mudah meledak, daya larut di jaringan
rendah, rendahnya angka kejadian nausea dan vomittus pada
penggunaannya, sifat hipnotik kuat, relaksasi cukup, analgetik
kurang baik, tidak merangsang saluran napas, bronkodilator serta
waktu pemulihan cepat, dapat mensensitisasi miokardium terhadap
katekolamin, metabolit halotan juga berperan terhadap nekrosis
hepar
c. Siklopropan
Dapat meledak, tidak stabil, mudah terbakar sehingga menghalangi
penggunaan kauter bedah dan monitoring elektrik.
d. Nitrous oksida
Anestesi umum yang lemah, umumnya tidak digunakan sendirian
pada anestesi inhalasi. Tapi sifat analgesik kuat, tidak terbakar,
tidak mengiritasi.
e. Pentotal
Pemberian terlalu pagi dapat merangsang muntah.

11. Anasthesi umum apa sajakah yang tidak boleh digunakan pada penderita
yang baru menderita hepatitis infeksiosa?
Anasthesi halotan, enfluran, dan isofluran, karena jenis anasthesi ini akan
menghasilkan metabolit yang dapat merusak hepar.

12. Anastesi manakah yang baik / dapat digunakan pada penderita dengan
tuberculosis paru dupleks?
Anasthesi yang baik / dapat digunakan pada penderita dengan tuberculosis
paru dupleks adalah anasthesi yang tidak mengiritasi saluran napas dan
tidak merangsang sekresi kelenjar bronkus, yaitu Ketamin, karena hanya
menganasthesia area spesifik saja di otak, dan tidak menyebabkan depresi
pernafasan, sehingga nafas tetap normal.

13. Apakah pemberian adrenalin dapat dilakukan pada semua anasthesi diatas?
Dengan anastesi apa yang tidak boleh? Jelaskan!
Tidak. Pada anasthesi menggunakan halotan tidak boleh diberikan
adrenalin, karena halotan memberikan efek kardiovaskular dengan
meningkatkan sensitifitas miokardium terhadap adrenalin, sehingga jika
diberikan adrenalin, bisa menyebabkan terjadinya aritmia. Pada anestesi
menggunakan ketamin juga tidak boleh dikombinasikan dengan adrenalin
recovery-nya sudah lama dan tekanan darahnya sudah bisa meningkat
tanpa adrenalin

BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Bekerjanya eter sebagai obat anestesi umum pada kelinci dapat dilihat
dengan pengamatan pada ciri-ciri tiap stadiumnya.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan pengamatan secara teliti pada kelincing percobaan
sehingga dapat benar-benar dikethaui kapan kelinci mulai memasuki stadium
I,II, dst. Selain itu, juga perlu berhati-hati saat kelinci akan pulih dari
pengaruh obat anestesi karena kelinci cendrung memberontak.

You might also like