You are on page 1of 9

Tema Cerpen

Sebuah karya tulis atau karangan sudah tentu memiliki tema begitu juga cerita pendek,
sebab tema merupakan pokok utama yang menjadi dasar penulisan. Pendapat Keraf (1984:107)
bahwa “Tema ialah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangan.”
Sebenarnya tema berasal dari bahasa Yunani yaitu tithenai yang berarti “menempatkan” atau
“meletakkan”.

Pengertian tema secara khusus dalam karangan-mengarang bisa dilihat dari dua sudut,
yaitu sudut karangan yang telah selesai dan dalam proses penyusunannya. Menurut Sumardjo
(1984: 57) mencari arti sebuah cerpen pada dasarnya adalah mencari tema yang terkandung
dalam cerpen tersebut.

Aminuddin (1987:91) mengatakan: “Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita
sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya.”

Jadi, tema unsur yang paling penting dalam cerpen dan setiap cerpen pasti memiliki tema,
sebab tema adalah amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangan. Bahkan tema
merupakan proses awal dalam kegiatan penulisan cerpen, karena penulis sebelum membuat
karangan harus menetapkan terlebih dahulu tema yang akan ditulisnya.

Latihan

Baca cerpen di bawah ini! Apa tema cerpen ini?

Cerpen Aris Kurniawan


Dua Orang Ayah
Kita duduk di sana, di warung kopi tepi kanal yang sepi. Wajahmu keruh kelabu seperti
warna baju yang kaukenakan. Meneguk jeruk hangat yang disuguhkan pelayan dengan mata
lurus ke depan. Rambutmu yang agak keriting dan sehitam arang bergerak-gerak lembut
disentuh udara yang dihembuskan baling-baling kipas yang berputar terseok-seok di atas
ruangan. Aku dapat melihat keletihan dan perasaan putus asa di kedua bola matamu. Bibirmu
yang berkerut rapat terkatup, mengabaikanku. Aku senang merasa mendapat kejutan saat kau
menjemputku pulang sekolah tadi, dengan sepeda kau membawaku berputar melewati lapangan.
Sepasang kakimu yang kuat mengayuh pedal sepeda dengan lekas. Tubuhku berdiri terguncang-
guncang di boncengan.

Udara sore bulan Juni yang hangat. Permukaan kanal yang bening berkilauan memantulkan
matahari. Anak-anak berterjunan dari jembatan bambu. Aku mengurungkan niat bergabung
dengan mereka. Debur air dan suara gelak riang anak-anak sampai juga ke telingamu. Tapi itu
tak mampu menghiburmu. Matamu makin tampak gelisah. Sesekali ibu jari dan telunjukmu
menyeka pangkal hidungmu.

"Ada apa denganmu, Ayah?" Kau hanya sekejap menatapku. Lalu kembali dihanyutkan
pikiran yang membuatmu murung. Apa gerangan yang membuatmu begini rusuh? Aku tak
pernah melihatmu semurung ini. Adakah ulahku yang menjadi lantaran? Lihatlah, aku tak minta
kereta mainan yang berjalan melingkar di atas rel plastik yang dijual orang di pasar malam.
Aku juga tak lagi merengek menututmu membelikan benang dan layang-layang. Sudah cukup
layang-layang kau bikin sendiri untukku. Tak perlu pula kau belikan aku sepatu baru seperti
teman-teman. Aku jadi anak penurut sekarang. Sekuat tenaga kutahan hasratku berlari ke
jembatan bambu, melepas baju, terjun ke kanal.

Jeruk hangat yang telah tandas di gelas hendak kembali kau teguk. "Tolong buatkan segelas
lagi," pintamu pada pelayan. Tidak biasanya kau minum jeruk hangat sebanyak itu. Tapi aku
yakin kau tidak sedang marah pada ibu di rumah. Bukankah kalian baik-baik saja? Aku tak
pernah mendengar kalian saling berbantahan ataupun berkata-kata dengan nada tinggi dan
kasar. Kalian justru sering bercanda dan tertawa bersama-sama. Kau yang pendiam ternyata
tidak cuma mahir merayu tapi juga pandai melucu di depan ibu. Membuat rumah kita yang tidak
terlalu lebar dan berdinding anyaman bambu itu semarak.
Jadi apa yang membuatmu resah? Kau meneguk lagi jeruk hangat sampai separuh gelas.
Tapi jeruk hangat yang mengalir di kerongkongan tak mampu melarutkan gundahmu. "Ada apa
denganmu, Ayah?" ulangku. Matamu mengerjap, seakan baru sadar bahwa kau tidak seorang
diri. Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya jauh-jauh. "Kau mau berenang
seperti mereka, Nak? Pergilah, Ayah mengawasimu dari sini." ujarmu mengalihkan perhatian.
Tapi kalimat itu tak berhasil memupus kisruh di matamu. Aku enggan beranjak. Aku kembali
meraih satu kembang gula yang direnceng di depan warung. Merobek bungkusnya, lalu
mengulumnya dengan nikmat. "Jangan banyak makan kembang gula, Nak, nanti gigimu rusak,"
ujarmu.

"Aku tak mau berenang. Aku ingin menemanimu. Tapi kenapa wajahmu murung, Ayah?"
cecarku. Bukankah kau selalu mengingatkanku untuk menjauhi perasaan sedih? Kesedihan
mengurangi nafsu makan, membuat daya tahan tubuh lemah sehingga gampang sakit. Sekarang
perbuatanmu tak sesuai dengan ucapan.

Aku bergelayut di pundakmu. Kau membelaiku. Menggeser letak duduk, memberi tempat
pada seorang pengunjung yang datang memesan gado-gado ke warung. Kau bercakap sebentar
sebelum kembali larut dalam pikiranmu. Menolak halus saat dia menawari rokok. Langit biru
terang, gumpalan awan putih menyisih. Angin seperti menepi pada batang-batang pohon
trembesi. Cuaca yang sangat bagus. Bertolak belakang dengan suasana hatimu.

"Ayah tidak bersedih, Nak. Buat apa bersedih," kilahmu seraya mengaduk jeruk hangat yang
tinggal separuh. Bunyi ujung sendok membentur dinding gelas menimbulkan suara khas yang
mengingatkanku pada sesuatu. Kau mencomot pisang goreng, lalu menggigitnya dengan malas.
Mengunyahnya perlahan-lahan. Kudengar decap bibirmu yang beradu.

"Apakah kakek yang membuatmu bersedih?" ujarku sekonyong-konyong. Aku ingat, kemarin
ketika baru tiba dari sekolah, aku melihat kakek keluar dari rumah dengan wajah memerah.
Lamat-lamat sempat kudengar kata-kata 'anak durhaka'. Ia tak menghiraukan aku yang hendak
meraih tangannya untuk kucium. Di ruang tengah kudapati kau dan ibu tertegun kaku laksana
sebatang kayu. Seperti ada kalimat yang nyangkut di kerongkongan, gagal terlontar keluar. Aku
berlari menghambur ke arahmu. Kurasakan telapak tanganmu yang basah oleh keringat
mengusap kepalaku.

Kakek memang sangat jarang berkunjung ke rumah kita. Sejak dia diusir dari rumah istrinya
karena enggan bekerja, dia tinggal di rumah bibi Jemah yang jaraknya tidak sampai sekilo dari
rumah kita. Hanya saat lebaran kau membawaku mengunjungi kakek. Itu pun sebentar saja,
untuk bersalaman dan berbasa-basi. Tak pernah kulihat kau bercakap-cakap lama dengan
kakek. Bahkan terkesan sengaja menghindarinya. Tapi kau tak melarang saat ibu membawaku
mengunjungi kakek.

"Tidak ada yang perlu dirisaukan dengan kakek. Semua baik-baik saja," tuturmu, berusaha
menenangkanku. Tapi aku telanjur tidak percaya. "Tapi kenapa Ayah bersedih," ujarku
bersungut-sungut.

"Pergilah berenang, Nak," katamu lagi. Aku bergeming. Kau mengusap kedua pipiku.
Kurasakan telapak tanganmu yang kasar, pertanda kerja keras yang kau jalani sejak kanak.
Kau pernah cerita, sejak kanak bekerja sebagai pembersih di rumah orang. Kakek tinggal di
rumah istrinya yang baru tak lama setelah nenek meninggal lantaran bekerja terlalu keras di
pasar. Dia terserang mag berat yang merusak lambung dan membuat livernya bengkak. Kakek
tak pernah membantu pekerjaan nenek. Di rumah selesai salat dan zikir kerjanya hanya
ongkang-ongkang kaki sambil mendengarkan siaran radio, lalu pergi nonton bioskop pada
malam hari.

Kakek tak pernah menjenguk apalagi menghidupi dan membiayaimu sekolahmu. Susah payah
kau menghidupi diri sendiri dengan berjualan kantung plastik di pasar. Menjual jasa
membawakan barang belanjaan orang. Tapi kau tak putus melanjutkan sekolah sampai SMA
meski harus terkantuk-kantuk di kelas lantaran malamnya kau masih harus menjadi pelayan di
kedai sate.

Sore mulai redup. Angin bergerak perlahan. Di kanal yang tadi ramai anak-anak berenang
kini telah sepi. Mereka beriringan menyeberangi jembatan bambu, meninggalkan kanal, pulang
ke rumah masing-masing. Sebentar lagi tentulah kumandang azan bakal terdengar. Di rumah
ibu pasti sudah menunggu.
Sudah berapa lama kita duduk di warung ini, Ayah? Pelayan warung beberapa kali mencuri
tatap. Mungkin dia juga bertanya-tanya, kapan kita pulang. "Ayah, ayo kita pulang. Bukankah
kita harus mengandangkan ternak?" Kau beranjak memanggil pelayan, meminta dia menghitung
jumlah yang harus dibayar. Aku menggeleng saat kau menawariku lagi jajan. "Besok kita ke
rumah kakek," ujarmu.

***

Benar, ibu sudah menunggu di depan pintu. Begitu turun dari sepeda tanganku diraihnya, dia
membawaku ke kamar mandi. "Ke mana saja kamu, Nak, hampir maghrib begini baru pulang,"
kata Ibu seraya mengangsurkan handuk dan ember kecil berisi peralatan mandi. Sementara kau
bergegas ke belakang memasukkan ternak ke dalam kandang.

"Besok Ayah mengajak ke rumah kakek," ujarku di antara gejebur air mengguyur tubuh.
Terbayang lagi wajah kakek yang memerah. Tak pernah kulihat wajah kakek semerah itu.
Apakah yang sesungguhnya terjadi kemarin? Siapakah yang dimaksud anak durhaka? Aku tidak
bisa menduga-duga apa kiranya yang membuat kakek tampak demikian marah sehingga
wajahnya semerah bata. Jawaban ibu setali tiga uang denganmu waktu kutanya tentang
kejadian siang itu.

Esoknya kau tidak pernah jadi membawaku ke rumah kakek. "Maaf, Nak, kita tidak bisa ke
rumah kakek sekarang. Mungkin besok atau waktu yang lain," ujarmu, seraya bergegas ke
kandang memunguti telur untuk dijual ibu ke pasar. Kau menghindari bertatapan denganku,
berusaha menyembunyikan kekisruhan di matamu. "Kamu pergi ngaji saja. Kemaren bolos,
kan?" serumu dari dalam kandang. Aku kecewa sekaligus sedih melihat mendung itu belum
sepenuhnya berlalu dari wajahmu. Semangatku pergi ngaji pun surut bagai kanal di musim
kemarau.

Aku memang bergegas membawa iqro, merenggut sarung dan menyelempangkannya di


bahuku. Tapi tanpa sepengetahuanmu di ujung jalan itu aku berbelok ke kanan, ke arah jalan
beraspal, menuju rumah bibi Jemah.
Ia duduk di ruang tengah ditemani segelas teh. Rumah sepi sekali. Tak terdengar suara Lana
dan Saripah, anak-anak bibi Jemah yang biasanya ramai sekali. Wajah kakek tidak semerah
kemarin. Tapi jelas masih ada sisa kemarahan di matanya yang agak cekung. Kakek tak
bersuara seakan tidak melihat kemunculanku. Aku urung menghampiri dan meraih tangannya.
Entahlah, ekspresi wajahnya tiba-tiba mebuatku ciut. Aku terus bergerak ke dalam mencari bibi
Jemah, Lana dan Saripah yang mungkin sedang tidur di kamar.

Tetapi saat kubuka kamar mereka kosong melompong. Hanya tampak sobekan buku tulis
berserakan di lantai, di atas dipan kayu sprei terlihat kusut masai. Ketika aku kembali ke ruang
tengah aku melihat seorang perempuan yang tak kukenal duduk di samping kakek. Dia
mengenakan kebaya yang masih tampak baru. Rambutnya disanggul rapi. Bibirnya sedikit
merah. Sekilas dia melihatku. Umurnya kurasa lebih tua beberapa tahun dari ibu.

Aku menghambur keluar, disambut bibi Jemah dan dua sepupuku. Dia menggamit tanganku,
membawaku menjauh dari muka rumah. "Yasa, bilang ayahmu, kakek mau menikah. Dia minta
sumbangan," ujar bibi Jemah.***

Pondok Pinang, 16 Mei 2008.

Pengertian Cerpen
Cerpen adalah singkatan dari cerita pendek. Cerpen merupakan salah satu ragam
dari jenis prosa. Cerpen, sesuai dengan namanya adalah cerita yang relatif pendek
yang selesai dibaca sekali duduk. Proses sekali duduk dapat diartikan sebagai
memahami isi pula. Artinya, pada saat itu isi cerpen dapat kita pahami.
Cerpen terdiri dari berbagai kisah, sepero kisah percintaan (roman), kasih sayang,
jenaka, dll. Cerpen biasanya mengandung pesan/amanat yang sangat mudah
dipahami, sehingga sangat cocok dibaca oleh kalangan apapun.
2.2 Unsur-Unsur Cerpen
Cerpen dilengkapi oleh unsur-unsur penting yang membangunnya. Unsur itu
terdiri dari unsur intinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik antara lain, tema, alur,
setting/latar/waktu, penokohan, watak, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik
antara lain, budaya, jenis kelamin, pekerjaan, dll.
2.3 Tahapan Dalam Cerpen
Cerpen terdiri dari empat tahapan, antara lain, pengenalan, insiden/masalah,
konflik/rumitan, dan penyelesaian. Bagian banyak diminati pembaca yaitu konflik
karena merupakan puncak cerita
Menjelaskan Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen
Sebagaimana novel, cerpen juga dibentuk atas unsure ekstrinsik dan intrinsik.
Meskipun bentuknya pendek, bahkan ada. Yang cuma 1 halaman, di dalamnya
terdapat unsur-unsur intrinsik secara lengkap, yaitu tema,amanat,tokoh, alur, latar,
sudut padang pengarang,dan dialog.
Unsure – unsure intrinsic cerpen mencakup : tema, alur, latar, perwatakan, sudut
pandang, dan nilai – nilai yang terkandung didalamnya.
a. Tema adalah ide pokok sebuah cerita, yang diyakini dan dijadikan sumber
cerita.
b. Latar . setting adalah tempat, waktu , suasana yang terdapat dalam cerita.
Sebuah cerita harus jelas dimana berlangsungnya, kapan terjadi dan suasana serta
keadaan ketika cerita berlangsung.
c. Alur / plot adalah susunan peristiwa atau kejadian yang membentuk sebuah
cerita.
Alur meliputi beberapa tahap:
1. Pengantar : bagian cerita berupa lukisan , waktu, tempat atau kejadian yang
merupakan awal cerita.
2. Penampilan masalah : bagian yang menceritakan maslah yang dihadapi pelaku
cerita.
3. Puncak ketegangan / klimaks : masalah dalam cerita sudah sangat gawat,
konflik telah memuncak.
4. Ketegangan menurun / antiklimaks : masalah telah berangsur – angsur dapat
diatasi dan kekhawatiran mulai hilang.
5. Penyelesaian / resolusi : masalah telah dapat diatasi atau diselesaikan.
6. Perwatakan :
Menggambarkan watak atau karakter seseorang tokoh yang dapat dilihat dari tiga
segi yaitu melalui:
- Dialog tokoh

- Penjelasan tokoh
- Penggambaran fisik tokoh
7. Nilai (amanat) : pesan atau nasihat yang ingin disampaikan pengarang emalalui
cerita.

Perbedaan antara Novel dan Cerpen :

Novel : Terjadi konflik batin


Cerpen : Tidak harus terjadi
Novel : Perwatakan digambarkan secara detail
Cerpen : Perwatakan digambarkan secara singkat
Novel : Alur lebih rumit
Cerpen : Akhir ceritanya sederhana
Novel : Latar lebih luas dan waktunya lebih lama
Cerpen : Latar hanya sebentar dan terbatas
Novel : Novel lebih panjang karangannya daripada cerpen
Cerpen lebih pendek karangannya
Novel : Unsur-unsur cerita dalam novel lebih kompleks dan beragam dibandingkan cerpen
Cerpen : Unsur cerita dalam cerpen relative sederhana dan pasti tunggal
Novel : Novel minimal halamannya adalah 100 halaman
Cerpen : Cerpen halaman maksimal 30 kuarto
Novel : Jumlah kata dalam novel minimal 35.000 kata
Cerpen : Jumlah kata dalam cerpen maksimal 10.000 kata
Novel : Lama untuk membaca novel kira-kira 30-90 menit
Cerpen : Waktu yang dibutuhkan untuk membaca cerpen hanya 10 menit

Persamaan antara Novel dan Cerpen :


1. Keduanya sama-sama prosa baru
2. Mengandung unsur intrinsik
3. Sama-sama termasuk karya sastra
4. Sama-sama termasuk cerita fiksi

Lizsa, 2007 :190).

3.1.2 Penokohan/ Perwatakan/ Karakter

Penokohan merupakan proses yang digunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh pelaku
cerita serta sifat atau gambaran yang berkenaan dengannya.

Tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peran yang berbeda-beda.

Menurut fungsinya, tokoh dibagi menjadi 3 yaitu :

Tokoh Sentral yaitu tokoh yang menentukan gerak dalam suatu cerita.
Tokoh Utama yaitu tokoh yang mendukung suatu cerita baik tokoh protagonis maupun
antagonis.
Tokoh Pembantu yaitu tokoh yang hanya berfungsi melengkapi terjadinya suatu cerita.

Menurut perannya, tokoh dibagi menjadi 3 yaitu :

Tokoh Protagonis yaitu pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca.
Tokoh Antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak
sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca.
Tokoh Tritagonis adalah pelaku yang membantu dalam suatu cerita, baik tokoh protagonis
maupun antagonis.
Penyajian watak dan tokoh serta penciptaan citra tokoh terdapat beberapa metode, masing-
masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Ada kalanya Pengarang melalui penceritaan
mengusahakan sifat-sifat tokoh, pikiran, hasrat dan perasaannya. Kadang menyisipkan komentar
pernyataan setuju tidaknya akan sifat-sifat tokoh itu.

Secara garis besar dapat mengenal watak para tokoh dalam sebuah cerita yaitu melalui apa yang
diperbuatnya melalui ucapan-ucapannya, melalui penggambaran fisik seorang tokoh, melalui
pikiran-pikirannya dan melalui penerangan langsung dari pengarang.
Penokohan adalah penampilan watak atau karakter para tokoh oleh pengarang.

Penampilan watak yang dilakukan oleh pengarang ada tiga macam cara yaitu :

Cara Analitik yaitu pengarang secara langsung memaparkan watak tokoh-tokohnya. Misalnya,
pengarang menyebutkan watak tokoh yang pemarah, otoriter, sombong, kasar, dan sebagainya.

Cara Dramatik yaitu watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, perilaku tokoh,
bahkan penampilan fisik, lingkungan atau tempat tokoh, cara berpakaian dan pilihan nama tokoh,
dan sebagainya.

Cara Campuran yaitu gambaran watak tokoh menggunakan cara Analitik dan Dramatik secara
bergantian.

3.1.3 Latar/ Setting

Latar adalah tempat suatu peristiwa dalam cerita yang bersifat fisikal biasanya berupa waktu,
tempat dan ruang. Termasuk didalam unsur latar adalah waktu, hari, tahun, periode sejarah, dan
lain-lain.
Latar cerita mencakup kerengan-keterangan mengenai keadaan sosial dan tempat dimana
peristiwa itu terjadi.

Fungsi latar selain memberi ruang gerak pada tokoh juga berfungsi untuk menghidupkan cerita.
Dalam latar ini, pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang selain
berkaitan untuk membangun cerita yang utuh.

Kemunculan latar dalam cerita disebabkan adanya peristiwa, kejadian, juga adanya tokoh. Tokoh
dan peristiwa membutuhkan tempat berpijak, membutuhkan keadaan untuk menunjukkan
kehadirannya.

You might also like