You are on page 1of 4

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat

(PBMII)
Ditulis oleh Ardiani Mustikasari, S.Si, M.Pd
Minggu, 25 Januari 2009 01:17

Konsep PBM adalah: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat
(Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah
pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di
masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan
belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM
tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan
memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan
masyarakat.

Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas


(pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat
mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi
masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan
inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community
based education).
Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di
negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem
mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam
Mukhlishah, 2002 adalah:

• Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya


• Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi
sebatas pengajaran.
• Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-
aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.

Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia
adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak
berjalan dengan optimal.
Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan
karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi
mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat
atau mempunyai daya saing yang rendah.
Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan
sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi
konsen utama mereka, seperti:
• Alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah
demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus
dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, sehingga
terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu.
• Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota
pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal
yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah
meluluskan banyak alumni.
• Sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan
tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah
urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap
tahunnya.

Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan
kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan
tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan
masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada.
Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang
ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak
bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan
generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan
mengembangkan bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya,
bahkan tidak mampu mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat
mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-
kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya. Kisah
yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak
mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya. Hal
seperti ini tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih
kaya karena putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu
mengembangkan bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan
membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan
seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang
jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh
penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.
Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan
disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional
dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya
terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya,
pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan
berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat dengan
adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan
maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan
banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi. Dengan
demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era
globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu
bersaing dengan SDM dari negara lain.
Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum
2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Dengan kurikulum ini materi pelajaran
ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat
hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua
materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan
berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004).
Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan
dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan
kepada masyarakat sesuai dengan konsep PBM.
Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga melakukan pembaharuan
manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan
keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan
meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja
sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004).
MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam
pendidikan formal.
Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak
didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan
diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan
juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk
memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya
yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).
Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan
masyarakat sebagau basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi
menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk
mengembalikan sistem pendidikan kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya.
Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan
kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan
tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap
menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.
Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan
masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu
pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses
pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis
keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat
diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional,
dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan
nasional. Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern
mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan
sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar
menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik
dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam
upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu
pendidikan.

You might also like