You are on page 1of 12

MATERI

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
WAWASAN NUSANTARA DAN DISINTEGRASI,
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI LANDASAN KEBIJAKAN
NASIONAL

Oleh:

Sumarno : K2D006096

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010
BAB I
PENDAHLUAN

1.1 Latar Belakang

Tentunya kita semua masih ingat bukan berita yang menggemparkan


kita beberapa waktu yang lalu perihal putusan majelis hakim Banyumas yang
menjatuhkan hukuman kepada nenek Minah gara-gara mencuri tiga buah biji
coklat? Hanya karena 3 biji buah kakau milik PT Rumpun Sari Antan (RSA)
yang senilai Rp 2000,00, nenek Minah di seret ke pengadilan. Nenek miskin
nan renta ini terpaksa bolak – balik dari rumahnya ke pengadilan dengan
ongkos yang harus di tanggung sendiri. Walaupun nenek Minah sudah
mengembalikan kakau ke PT RSA dan meminta maaf, pihak PT RSA tidak
serta merta memberi maaf, tapi malah melaporkan ke pihak kepolisian.

Mekipun mengambil sesuatu yang bukan hak milik adalah sama


dengan mencuri, tapi mebawa sesuatu kasus ke pengadilan tentulah harus
melihat berat ringannya permasalahan. Bila ada pihak (orang) yang
mengambil kakao berkarung-karung atau berton-ton milik suatu perusahaan
jelas itu merupakan pencurian dengan sengaja dan menimbulkan kerugian
besar bagi si pemilik. Dan konsekwensinya jelas pihak tersebut wajib dibawa
ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun
mengambil 3 biji kakao, jelas tidak pantas dijadikan suatu perbuatan
pelanggaran hukum yang harus dibawa ke persidangan. Berapakah nilai 3 biji
kakao tersebut sehingga dianggap sesuatu yang merugikan bagi perusahaan
tersebut? Rp 100.000,-, satu juta, seratus juta, satu milyar? Bukan, hanya Rp
30.000,-

Beberapa waktu lalu ada juga kasus seorang bapak yang dijatuhi
hukuman karena dituduh mencuri aliran listrik untuk mencharge HPnya akibat
listrik di apertemennya dimatikan pengelola apartemen. Pantaskah pencurian
listrik untuk mencharger HP dibawa ke pengadilan? Bagaimana dengan
tindakan pengelola yang merubah status kepemilikan si korban tanpa
persetujuan , tidakkah itu lebih pantas disidangkan seandainya si korban
mampu? Saya katakan mampu sebab untuk membawa kasus ke persidangan
bukanlah tanpa biaya. Betapapun anda dirugikan, jika tidak mampu secara
financial besar kemungkinan kasus anda tidak akan diperdulikan.

Apa yang terasa dalam kasus –kasus yang menimpa orang-orang kecil
ini, termasuk kasus Prita melawan RS OMNI Internasional, adalah matinya
rasa keadilan dan hukum di hadapan uang dan kekuasaan. Perusahaan-
perusahaan atau lembaga yang merasa dirugikan akan dengan mudah
menuntut pribadi atau masyarakat tak mampu dengan berbagai tuduhan
pencemaran nama baik, merugikan perusahaan,dll. Institusi Hukum Negara
juga begitu mudah menerima pengaduan tanpa melihat urgensi perkara
tersebut layak tidaknya untuk dibawa ke persidangan. Buktinya sang jaksa
dengan mudah menuntut hukuman 6 bulan penjara untuk pencurian 3 biji,
sekali lagi, 3 biji kakao !!

Demikian juga tuntutan RS OMNI terhadap Prita dengan alasan


pencemaran nama baik. Padahal Keluhan Pelanggan adalah sesuatu yang biasa
untuk diterima dan diperhatikan dalam bisnis yang berorientasi kepada
Kepuasan Pelanggan. Kita melihat banyak sekali keluhan orang yang tidak
puas dimuat secara terbuka di koran-koran tapi mereka tidak ditangkap.
Perusahaan yang dikomplain juga biasanya hanya membuat jawaban kembali
di surat kabar tersebut tanpa membawanya ke pengadilan. Mengapa dalam
kasus Prita yang hanya mengeluh ke teman-teman dekatnya melalui email ada
pembedaan? Bagaimana dengan sepasang bayi kembar yang matanya rusak
dibawah penanganan RS OMNI, tidakkah itu lebih pantas disidangkan? Tapi,
sekali lagi siapa yang sanggup membawanya ke persidangan?

Disinilah institusi hukum negara perlu menunjukkan kepada


masyarakat bahwa mereka menjunjung hukum yang berkeadilan. Masyarakat
melihat secara transparan betapa banyak kasus pelanggaran hukum bernilai
milyaran rupiah, bahkan trilyunan rupiah hanya menjadi sebuah wacana dan
debat, tapi si pelaku bebas melenggang tanpa ada tindakan sama sekali.
Namun untuk seorang nenek yang mengambil 3 biji kakao, seorang bapak
yang mengambil listrik untuk menyalakan HPnya karena listrik dirumahnya
dicabut disidang, dan seorang ibu dihukum karena mengeluh kepada temannya
dihukum. Bila fenomena ini yang terus berlangsung, maka bisa dikatakan
bahwa hukum telah mati suri di negeri ini. Institusi dan para penegak hukum
sesungguhnya secara tidak langsung menyuarakan bahwa mereka sudah tidak
berfungsi lagi. Dan pada akhirnya yang berlaku adalah hukum rimba. Kita
semua sungguh berharap hal itu tidak terjadi di negeri ini (Rihat Hutagalung,
2009)

1.2 Permasalahan

Dengan alasan hukum tidak memandang bulu, pantaskah bila ini


terjadi ke seorang nenek miskin tersebut atau kepada seseorang yang mencuri
listrik untuk mengecah HPnya atau juga kepada seorang ibu yang jurhat
kepada rekan-rekannya melalui surat elektronik karena pelayanan rumah sakit
yang buruk? Bandingkan dengan para koruptor yang korupsi bermilyar –
milyar dan bertrilyun – trilyun, hari ini masih banyak yang duduk enak – enak
di rumah sambil bersantai dan minum kopi. Inikah wajah hokum buar rakyat
kecil di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Sudah Kehilangan Nurani


Adanya praktik jual-beli perkara tak bisa dilepaskan dari kultur
masyarakat kita. Hukum adalah ekspresi moralitas masyarakat. Dalam
diskursus akademis, mafia peradilan yang sering disebut korupsi judisial
(judicial corruption) itu merupakan korupsi sistematis yang melibatkan
semua pelaku dari sistem peradilan (Santoso,2009)
Lembaga hukum di negeri ini memang sudah kehilangan nurani.
Hanya gara-gara mencuri tiga buah kakao, nenek Minah, seorang warga
Desa Darmakradenan Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, harus diseret
ke pengadilan. Sang nenek pun akhirnya dihukum satu setengah bulan
kurungan. Keputusan itu ibarat elegi (syair kematian). Tersendat menahan
tangis, tidak membuat ketua majelis hakim Muslich Bambang Luqmono
mempertimbangkan faktor rasa keadilan.
Salon, seorang pakar hukum Yunani, menyatakan bahwa hukum
ibarat sarang laba-laba. Bila yang menerjang sarang laba-laba mangsa
kecil maka akan segera ditindas. Tetapi bila yang menerjang sarang laba-
laba mangsa besar maka sarang laba-laba tak bisa berbuat apa-apa. Itulah
praktik hukum di negeri ini.
Adanya praktik jual-beli perkara tak bisa dilepaskan dari kultur
masyarakat kita. Hukum adalah ekspresi moralitas masyarakat. Dalam
diskursus akademis, mafia peradilan yang sering disebut korupsi judisial
(judicial corruption) itu merupakan korupsi sistematis yang melibatkan
semua pelaku dari sistem peradilan.
Daniel Kauffman dalam buku ''Bureaucratic and Judicial Bribery'
(1998) menempatkan tingkat korupsi pengadilan di Indonesia tertinggi
antara negara Ukrania, Venezuela, Rusia, Kolombia dan Singapura.
Korupsi pengadilan telah mengakibatkan ketidakmandirian lembaga
peradilan dan institusi hukum.
Adanya praktik mafia peradilan menjadikan lembaga penegak
hukum sebagai lahan bisnis pasal, bisnis undang-undang, dan bisnis
keadilan. Semua itu diatur oleh calo perkara. Upaya memperdagangkan
keadilan jelas akan mengancam sendi-sendi negara hukum. Sebagaimana
dikatakan filsuf Immanuel Kant, ''jika keadilan telah pergi, tidak ada
alasan lagi bagi manusia untuk hidup lebih lama di muka bumi''.
Kasus Minah adalah contoh masih terjadinya keputusan pengadilan
tanpa mendengarkan nurani. Betapa pun usaha Minah untuk melepaskan
diri dari jerat hukum, tetap saja sia-sia. Hukum yang mestinya mengayomi
masyarakat dengan menegakkan keadilan, bagi nenek Minah, ternyata tak
punya nurani. Hukum kita rupanya tak memberi ampun bagi rakyat kecil
seperti Minah. Tetapi, koruptor pencuri miliaran rupiah uang rakyat
melenggang bebas dari sanksi hukum. Di berbagai daerah sejumlah oknum
mantan anggota DPRD dan aparat pemerintah yang menjadi terpidana
kasus korupsi dana APBD divonis bebas. Mereka bebas dari sanksi hukum
setelah melakukan berbagai upaya hukum.

2.2 Peraturan Kaku


Bila penegak hukum hanya berpatokan pada peraturan yang kaku,
itulah tragedi yang muncul. Mestinya pula sejak awal polisi tidak
memproses kasus ini. Meskipun wajib menindaklanjuti setiap pelapor,
polisi dibolehkan melakukan upaya agar kasusnya tak perlu diteruskan.
Misalnya, polisi mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan pengakuan
keluarga Minah, polisi sepertinya tak melakukan upaya itu.
Ada gelagat pelapor tak mau mengampuni Minah dengan alasan
perusahaan pemilik perkebunan kakao itu ingin membuat jera para pencuri
kakao di kebunnya. Namun, jika itu tujuannya, mengapa Minah yang
harus menjadi korban? Apakah polisi tak berdaya menangkap pencuri
kakao yang lebih besar dibanding Minah? Ataukah polisi tak berdaya
menolak permintaan perusahaan itu?
Kisah Minah merupakan ironi penegakan hukum di negeri ini.
Kasus seperti ini sering sekali terjadi. Misalnya, ada pula orang dibawa ke
pengadilan hanya karena mencuri listrik untuk mengecas telepon
genggam. Hukum terasa kaku, kejam, dan menakutkan bagi rakyat kecil.
Dengan alasan menegakkan hukum positif, aparat hukum begitu cepat dan
tangkas menjerat kaum lemah. Sebaliknya, hukum tiba-tiba begitu rumit
dan berbelit-belit ketika diberlakukan terhadap para pejabat dan
pengusaha. Gerakan penegak hukum pun begitu lamban jika menghadapi
mereka. Kasus Anggodo Widjojo, misalnya. Di mata masyarakat sudah
cukup bukti untuk menjadikan dia tersangaka dalam kasus percobaan
menyuap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi hingga
kini adik Angoro Widjojo, tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi
di Departeman Kehutanan ini, tak tersentuh hukum.
Tidak hanya itu, muramnya penuntasan masalah hukum tidak
jarang pula ditambah dengan putusan hakim yang hanya memberikan
hukuman percobaan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Salah satunya
diberikan kepada Ketua DPRD Jateng periode 1999-2004 Mardijo.
Terdakwa korupsi dobel anggaran APBD Jateng sebesar Rp 14,8 miliar ini
hanya dihukum percobaan dua tahun penjara.
Kasus beruntun antara KPK, polisi, dan jaksa berikut kait-
mengaitnya merupakan contoh lain dari miskin dan hilangnya rasa empati.
Teks-teks hukum ditafsirkan sedemikin rupa sehingga persoalannya
menjadi absurd dan serba tak jelas. Praktik peradilan perlu digugat. Tidak
lagi sekadar keberanian menafsirkan teks keadilan hukum demi rasa
keadilan, tetapi juga nurani bersih. Tegaknya rule of law yang dilandasi
rasa keadilan membuat rakyat merasa memperoleh kepastian hukum, rasa
aman, dan terjamin hak-hak asasinya.
Minah hanyalah masyarakat biasa dengan apa yang dilakukannya
merugikan individu. Sementara orang-orang yang merusak negeri seperti
koruptor bisa bebas dari jerat hukum. Maka sangat melukai hati rakyat
apabila kasus Minah disamakan dengan perusak negeri ini. Hukum terasa
kaku, kejam, dan menakutkan bagi rakyat kecil. Dengan alasan
menegakkan hukum positif, aparat hukum begitu cepat dan tangkas
menjerat kaum lemah. Hukum tiba-tiba begitu rumit dan berbelit-belit
ketika diberlakukan terhadap para pejabat dan pengusaha. Praktik
peradilan perlu digugat. Tidak lagi sekadar keberanian menafsirkan teks
keadilan hukum demi rasa keadilan, tetapi juga nurani bersih.

2.3 Pancasila sebagai Sumber Hukum dan Hukum Sumber Keadilan


Memang jika kita berbicara tentang hukum, berarti kita tidak
berbicara tentang mana yang menang dan mana yang kalah. Akan tetapi
kita tentunya berbicara mengenai mana yang adil dan mana yang tidak
adil. Kecenderungan masyarakat kita jika berbicara tentang hukum adalah
membicarakan kemenangan dan kekalahan. Hal itu bisa dimengerti karena
kenyataannya memang dalam menentukan keputusan selalu terlihat
dengan nyata mana yang harus “dimenangkan” dan pada gilirannya
terdapat pihak yang terpaksa “dikalahkan”.
Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar pepatah: “Biar
langit runtuh keadilan harus tetap ditegakkan”. Hal itu berarti bahwa
dalam keadaan yang bagaimana pun, keadilan tidak boleh surut oleh
apapun dan oleh siapapun.
Sangat beralasan jika masyarakat dalam usahanya untuk
memperoleh keadilan harus mengandalkan hukum. Karena di dalam
hukum itulah adanya keadilan. Selain itu, masyarakat pun mengetahui
bahwa negara kita adalah negara hukum. Seperti dalam Penjelasan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machsstaat).
Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945,
yang dimaksud negara berdasarkan hukum bukanlah sekadar sebagai
negara berdasarkan hukum dalam arti formal, yang hanya berperan sebagai
“penjaga malam”, untuk menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran dan
menindak para pelanggar hukum, atau mengutamakan “ketenteraman dan
ketertiban” melainkan negara berdasarkan hukum dalam arti material,
yang hendak menciptakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya, sesuai
dengan yang dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Ciri-ciri negara berdasarkan hukum dalam arti material itu antara
lain adanya pembagian kekuasaan dalam negara, diakuinya hak asasi
manusia dan dituangkannya dalam konstitusi dan peraturan perundang-
undangan, adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan (asas
legalitas), adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak,
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya, dan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta adanya kewajiban
pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Dengan demikian jelaslah bahwa negara bukan saja melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia melainkan
juga harus memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Namun kecenderungan akhir-akhir ini adalah dengan timbulnya
permasalahan dalam bidang hukum. Banyak rakyat kecil yang menjadi
korban tanpa perlindungan hukum, menyebarnya isu mafia peradilan
dimana hukum bisa dibeli dengan uang sehingga menimbulkan keraguan
akan keberadaan hukum itu sendiri.
Beberapa kekhawatiran itu mencerminkan ketidakpercayaan dan
ketidakberdayaan masyarakat terhadap dunia hukum yang ada. Hukum
seolah-olah sudah bobrok, rusak, dan penguasa bisa memainkan hukum
sekehendaknya sendiri.
Jauh, jauh sekali memang dengan apa yang diharapkan masyarakat
agar lembaga peradilan (lebih-lebih MA) dapat menjalankan tugasnya
sebagaimana mestinya. Hal itu menimbulkan kejenuhan yang dirasakan
oleh masyarakat akibat semakin menjauhnya keadilan dan kebenaran. Jika
hal itu tidak dapat dikembalikan pada kondisi yang semestinya bukan tidak
mungkin akan timbul suatu gejolak sosial yang ada di dalam masyarakat
kita. Pada gilirannya masyarakat akan menjauhkan diri dari norma-norma
hukum yang ada.
Sayangnya, perilaku-perilaku yang bertentangan dengan norma-
norma hukum justru diperbuat oleh aparat yang berkompeten terhadap
masalah hukum. Bukan hanya kolusi hakim atau jaksa dan praktik suap
terhadap mereka, tetapi juga tindak pidana penipuan atau penggelapan
uang klien oleh sejumlah pengacara.
Apapun yang terjadi itu merupakan kenyataan yang ada hingga
saat ini. Kita pun tidak menginginkan jika kondisi pelaksanaan hukum di
negara kita semakin bobrok, semakin terpuruk. Siapa pun dan dimana pun
kita, citra hukum harus kita tegakkan. Apakah itu hakim, jaksa, polisi, atau
pengacara (serta masyarakat).
Semua orang mempunyai hati nurani. Jika ada yang tidak berkenan
dengan hati nurani mengapa kita melakukannya. Jika semua pihak
menyadari bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam
suasana Orde Baru ini kita ingin melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila –
sebagai sumber dari segala sumber hukum– secara murni dan konsekuen,
mengapa kita tidak mengamalkannya. Dan jika kita menyadari bahwa
Pancasila itu sebagai sumber dari segala sumber hukum, kita harus
bertanya pada diri kita sendiri apakah segala sikap dan tindakan kita sudah
sesuai dengan Pancasila?
Memang kita tidak harus secara terus-menerus memvonis bahwa
sistem peradilan di negara kita sudah bobrok, karena hal itu hanya
dilakukan oleh segelintir oknum saja yang hanya ingin merusak citra
hukum. Kita pun tidak boleh menutup mata jika mengetahui adanya kolusi
dan korupsi yang menghinggapi para pihak yang berkaitan dengan
lembaga peradilan tersebut. Kita tentunya masih berharap bahwa citra
hukum akan kembali pulih. Kita percaya bahwa kepastian hukum itu
masih ada (Novan,2009)
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

3.1 Jangan biarkan hukum yang bersumber dari segala hukum (Pancasila) kita
mati suri akibat ulah dari para penegak hukum itu sendiri,
3.2 Hukum pancasila bukanlah bersifat kaku namun bersifal fleksible dengan
menganut azaz keadilan dan kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.3 Jadikan Pancasila sebagai sumber hukum yang berkeadilan sehingga
kepercayaan masyarakat tetap terjaga terhadap hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Herfiyana, Novan.1996. Pancasila sumber Hukum, Hukum Sumber


Keadilan.Pikiran Rakyat. 4 Desember 1996.

Iswanto, Andreas. 2009. Cicak Lawan Buaya: Kejamnya Hukum bagi Minah,
Lembeknya Hukum bagi Koruptor. http//media-cetak.co.cc.

Rukatam, Susanto.2009 Hukum Sudah Kehilangan Nurani.


http//www/balispot.com

You might also like