You are on page 1of 14

EKSISTENSI KETENTUAN KHUSUS BAGI NEGARA BERKEMBANG DALAM

PERJANJIAN WORLD TRADE ORGANIZATION:


Nandang Sutrisno
Abstract
Theoretically, the existence of the special and differential treatment (S&D) provisions in
the WTO Agreements is questionable. Their existence seems to be inconsistent with the
basic thrust of the philosophy of the Agreements, liberalism. While the S&D entails a
different treatment for the advantage of developing country Members, the liberal
philosphy of the WTO, as mainly reflected in the principles of Most-Favoured Nation
(MFN) and national Treatment (NT), requires an equal treatment of all Members.
Therefore, the question is: what theoretical bases justify the existence of the S&D
provisions in the WTO Agreements? Is the existence of the S&D provisions in
contradiction with the liberalism paradigm. This Article argues that the basic rationales of
the existence of such provisions are the notions of ‘development’ and ‘justice’, and is
justified by the liberalism.
 
Pendahuluan
            Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO)
memuat kurang lebih 145 ketentuan khusus, dikenal dengan istilah Special and
Differential Treatment (S&D), bagi anggota-anggota WTO yang berasal dari negara-
negara sedang berkembang (NSB). Meskipun telah menjadi bagian integral dari
Perjanjian WTO, secara teoretis eksistensi S&D tersebut masih mengundang kontroversi.
Sekilas, eksistensi S&D tampak inkonsisten dengan filosofi dasar Perjanjian WTO
sendiri, yakni liberalisme. Sebagaimana yang terlihat dari istilah yang digunakan dan
definisinya, S&D menghendaki adanya suatu perbedaan perlakuan di WTO yang
menguntungkan anggota-anggota yang berasal dari NSB. Filosofi liberal WTO, terutama
yang tercermin dari prinsip-prinsip Most-Favoured Nation Treatment (MFN) dan
National Treatment (NT), menghendaki perlakuan yang sama terhadap semua anggota.
Oleh karena itu, pertanyaan utama yang dapat diajukan adalah: apa justifikasi teoretis
dari eksistensi S&D dalam perjanjian WTO? Apakah benar eksistensi S&D tersebut
kontradiksi dengan paradigma liberalisme? 
Tulisan ini akan mengajukan argumen bahwa raison d’etre dari S&D terutama adalah
‘pembangunan’ dan ‘keadilan’, tidak bertentangan dengan paradigma liberal WTO.
Dengan kalimat lain, S&D merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
pembangunan (a means of development) dan instrumen untuk menggapai keadilan (a
means of justice) bagi NSB dalam perdagangan internasional di bawah payung WTO.
Keduanya sejalan dengan tujuan utama, bahkan merupakan elemen-elemen utama dari
liberalisme. 
 
Sekilas tentang S&D
            S&D sebagai suatu istilah eksplisit merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini
baru dikenal secara luas setelah berdirinya WTO pada tahun 1994. Istilah S&D dapat
ditemukan di dalam berbagai perjanjian WTO, seperti the Agreement on Agriculture
(AA), the Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS),
dan the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM). Di dalam AA,
istilah tersebut dapat dilihat dalam Mukadimahnya yang berbunyi:
              …having regard to the agreement that special and differential treatment
for developing countries is an integral element of the negotiations, and taking
into account the possible negative effects of the implementation of the reform
programme on least-developed and net food-importing developing countries
[cetak miring oleh penulis].[1]
 

Sementara istilah S&D dalam AA, sebagaiman tersebut di atas, digunakan sebagai suatu
frase dalam Mukadimah, di dalam SPS dan SCM  istilah S&D tercantum dalam judul dari
beberapa pasal perjanjiannya itu sendiri. Pasal 10 SPS berjudul Special and Differential
Treatment, dan Pasal 27 SCM berjudul Special and Differential Treatment of Developing
Country Members.[2]

Sebagai suatu istilah yang implisit, S&D dapat ditemukan baik dalam beberapa ketentuan
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) maupun WTO. Di dalam GATT, S&D
termanifestasi dalam berbagai istilah, baik yang digunakan sebagai judul beberapa pasal
tertentu maupun sebagai frase di dalam perjanjiannya itu sendiri. Pasal XVIII GATT,
sebagai contoh, menggunakan istilah Governmental Assistance to Economic
Development’ sebagai judul,[3] dan Bagian IV diberi judul Trade and Development.[4]
Beberapa istilah, yang secara implicit merujuk kepada S&D digunakan dalam beberapa
pasal GATT, seperti istilah special measures[5] dan more favourable and acceptable
conditions.[6] Dalam ketentuan-ketentuan WTO yang lain, istilah-istilah special
treatment,[7] special regard,[8] dan special attention[9] digunakan.

Di dalam ketentuan-ketentuan GATT dan WTO yang lainnya lagi, istilah S&D tidak
dapat ditemukan baik sebagai judul maupun frase, tetapi terindikasi dalam makna
keseluruhan ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai contoh, Pasal 65.2 Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) memberikan tambahan masa transisi
selama 4 tahun bagi NSB untuk menerapkan secara penuh perjanjian TRIPs, lebih lama
dibandingkan dengan masa transisi yang diberikan secara umum kepada semua negara.
[10] Meskipun tidak mempergunakan istilah S&D, tetapi jelas bahwa ketentuan Pasal
65.2 tersebut merupakan S&D.

Saat ini, S&D telah dikenal secara luas, mencakup baik istilah yang eksplisit maupun
implisit, baik dalam GATT maupun WTO. Hal ini karena GATT merupakan bagian
integral WTO dan, oleh karena itu, ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat dipisahkan
dari ketentuan-ketentuan WTO. Namun, meskipun ketentuan-ketentuan S&D tersebut
besar jumlahnya, tidak satupun definisi yang eksplisit dapat ditemukan baik dalam GATT
maupun dalam WTO. Oleh karena itu, para pengamat mendefinisikan S&D menurut
perspektif masing-masing. John Whalley, misalnya, secara sederhana mendefinisikan
S&D sebagai hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada NSB,
tetapi tidak diberikan kepada negara-negara maju.[11]
Sedikit berbeda dengan definisi tersebut, definisi S&D menurut Kiichiro Fukasaku
merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada
NSB, yang mempengaruhi cara-cara mereka berpartisipasi di dalam sistem perdagangan
internasional.[12] Lebih jauh,  Murray Gibbs menyatakan bahwa S&D merupakan
produk dari harmonisasi perjuangan politik NSB dalam mengatasi ketimpangan yang
nyata dari sistem perdagangan internasional pasca perang, dengan cara membentuk
preferensi perdagangan kepada NSB dalam berbagai relasi ekonomi internasional.[13]

Akhirnya, dengan formulasi yang lebih kompleks, Ricardo Melendez-Otiz dan Ali
Dehlavi mendefinisikan S&D sebagai berikut:

… the term special and differential treatment (SDT) refers to the set of provisions
in trade accords which have bee negotiated to grant developing country exports
preferential access to markets of developed countries, and operationalise the
notion that developing countries taking part in trade negotiations have no
obligation to reciprocate fully the concessions they receive. SDT also implies
longer timeframes and lower levels of obligations for developing countries for
adherence to the rules. It is a fundamental cross cutting issue for developing
countries in the Multilateral Trading System (MTS) and is an integral part of the
balance of rights and obligations in the Uruguay Round Agreements (URAs).[14]
 
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik beberapa komponen pokok dari S&D: hak-hak
khusus dan keistimewaan-keistimewaan; ketentuan-ketentuan (hukum) WTO; NSB;
bertujuan memperbaiki ketimpangan; dan menggunakan beberapa cara. S&D merupakan
hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan artinya bahwa S&D merupakan klaim-
klaim atau hak-hak dan keuntungan-keuntungan, atau perlakuan-perlakuan khusus yang
tidak dinikmati oleh pihak lain.  Hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan
tersebut diberikan secara hukum oleh WTO, dan oleh karena itu merupakan instrumen
hukum. Selanjutnya, S&D hanya diberikan kepada NSB, dan tidak kepada negara-negara
maju. Lebih jauh, S&D tersebut dimaksudkan untuk mengatasi ketimpangan, khususnya
yang disebabkan oleh perbedaan tingkat pembangunan antara negara-negara maju dan
NSB. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, beberapa cara dipergunakan seperti
pemberian preferensi perdagangan; diterapkannya prinsip non-resiprositas; pemberian
masa transisi yang lebih panjang; dan dikenakannya kewajiban-kewajiban yang lebih
longgar. Secara ringkas, S&D dapat didefinisikan sebagai hak-hak khusus dan
keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada NSB oleh Perjanjian WTO, bertujuan
untuk mengatasi ketimpangan pembangunan ekonomi, melalui berbagai cara yang sah.
Sekretariat WTO mengklasifikasikan S&D ke dalam beberapa kelompok. Kelompok
pertama adalah S&D yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan bagi
NSB. The Enabling Clause, misalnya, menyatakan bahwa Negara maju dapat
memberikan preferensi tariff terhadap produk-produk yang berasal dari NSB, menurut
the Generalised System of Preferences (GSP).[15]
Kelompok kedua adalah S&D yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan-
kepentingan NSB. Sebagai contoh, perjanjian tentang SPS mewajibkan negara-negara
anggota WTO untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan khusus NSB,
terutama dalam mempersiapkan dan menerapkan SPS.[16]
Ketiga, S&D yang memberikan fleksibilitas kepada NSB. Misalnya, Perjanjian Pertanian
atau AA memberikan persentase de minimis untuk memperhitungkan jumlah keseluruhan
subsidi domestik yang berjalan sebesar 10 persen, lebih tinggi daripada yang diberikan
kepada negara-negara maju, yaitu 5 persen.[17]
Keempat, S&D dalam bentuk pemberian masa transisi yang lebih panjang kepada NSB.
Perjanjian tentang Trade-Related Investment Measures (TRIMs) memberikan masa
transisi kepada NSB pada umumnya selama 5 tahun dan kepada negara-negara
terbelakang atau least-developed countries (LDCs), selama 7 tahun.[18]
Kelima, S&D yang berupa bantuan teknis kepada NSB untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan teknis, financial dan sumber daya dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian
WTO. Perjanjian tentang Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs),
misalnya, mewajibkan negara-negara maju untuk memberikan bantuan teknis dan
financial kepada NSB dan negara-negara terbelakang dalam rangka membantu
memfasilitasi negara-negara tersebut dalam mengimplementasikan perjanjian TRIPs
secara penuh.[19]
Terakhir, S&D yang khusus diperuntukkan bagi negara-negara terbelakang. Salah satu
contoh dari S&D kelompok ini adalah yang termuat dalam Perjanjian Prosedur Lisensi
Impor atau Import Licensing Procedures(ILP), menyatakan bahwa dalam
mengalokasikan lisensi, pertimbangan khusus harus diberikan kepada importir-importir
yang mengimpor produk-produk yang berasal dari NSB, khususnya dari negara-negara
terbelakang.[20]

 
Justifikasi Teoretis
            Dari definisi S&D dan elaborasinya dalam beberapa klasifikasi di atas, sangat
sulit untuk menempatkan S&D ini secara teoretis dalam konteks liberalisasi perdagangan
internasional di bawah WTO. Hal ini mengingat karakteristik dari S&D berbenturan
dengan karakteristik dari liberalisasi itu sendiri.  S&D menghendaki adanya pembedaan
perlakuan antara negara-negara maju dengan NSB, mengingat adanya perbedaan yang
nyata dalam tingkat pembangunan kedua kelompok negara anggota WTO tersebut.
Perbedaan tingkat pembangunan menghendaki adanya seperangkat aturan atau kebijakan,
untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, yang berbeda pula.[21] Selain
menghendaki adanya pembedaan perlakuan, S&D juga mentolerir intervensi negara yang
signifikan dalam pembangunan perekonomian.
Sebaliknya, liberalisasi yang menjadi filosofi dasar WTO sendiri justru menghendaki
adanya persamaan perlakuan terhadap semua negara anggotanya. Sebagaimana
termanifestasi dalam prinsip MFN dan NT, NSB yang terlibat dalam negosiasi-negosiasi
tarif dan dalam aktivitas-aktivitas perdagangan internasional yang lain diposisikan secara
sejajar, dan mempunyai hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang sama, dengan negara-
negara maju. [22] Prinsip pertama menyatakan bahwa jika suatu negara anggota WTO
memberikan keistimewaan kepada satu negara anggota WTO yang lain, maka
keistimewaan yang sama juga harus diberikan kepada seluruh negara nggota WTO.[23]
Sedangkan, prinsip yang kedua, NT, menghendaki adanya perlakuan yang sama antara
produk-produk asing dengan produk-produk domestik.[24]    
Diasumsikan bahwa pembedaan perlakuan bagi anggota-anggota tertentu, misalnya NSB,
merupakan hal yang tidak tepat karena akan menimbulkan inefisiensi dan distorsi
perdagangan. Oleh karena itu aturan-aturan yang bersifat non-diskriminasi merupakan
keharusan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kessie:
Increasing global welfare necessitated a rules-based non-discriminatory system
which guaranteed a level-playing field on which international trade could be
conducted. It was the assumption of the contracting parties to GATT that they
would all maintain outward-oriented trade policies and resort to policies that
restricted imports or exports sparingly.[25]
 
Pandangan-pandangan yang kontradiktif secara diametral tersebut sudah muncul sejak
digagasnya untuk memasukkan klausula-klausula S&D pada saat pendirian the
International Trade Organisation (ITO). Dalam the United Nations Conference on Trade
and Employment (UNCTE) yang bertempat di Havana, Cuba, tanggal 21 Nopember
1947, NSB mengkritik bahwa proposal Amerika Serikat dan Draft ITO Charter hanya
mengakomodasi kepentingan-kepentingan negara-negara maju dan mengabaikan
kepentingan-kepentingan pembangunan NSB.[26] Mereka mengkritik paradigma
liberalisasi yang mendasari proposal dan Draft tersebut.
Kontradiksi seperti ini terus berlangsung walaupun pada akhirnya S&D masuk ke dalam
aturan-aturan GATT dan kemudian WTO sampai sekarang. Masuknya S&D ke dalam
GATT dan WTO tersebut merupakan kompromi yang dicapai antara negara-negara maju
dan NSB. Tercapainya kompromi ini dapat difahami secara teoretis sebagai suatu bentuk
saling pengertian antara kedua kelompok dan merupakan bentuk pengakuan atau
justifikasi akan pentingnya S&D. Paling tidak, ada dua justifikasi teoretis atas eksistensi
S&D dalam GATT dan WTO: S&D sebagai instrumen ‘pembangunan’ dan sebagai
instrumen ‘keadilan’.      
 
S&D sebagai Instrumen Pembangunan
Justifikasi pertama terhadap eksistensi S&D adalah ‘pembangunan’, dalam arti bahwa
S&D akan dapat menolong NSB dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan
ekonominya, dalam konteks perdagangan internasional.[27] Sepintas lalu, justifikasi
seperti ini tampak rancu, karena sebagaimana yang tercermin dari liberalisasi
perdagangan internasional melalui WTO, liberalisme sendiri mengandung ide-ide
pembangunan ekonomi. Tetapi, kenyataannya proses liberalisasi perdagangan tidak selalu
menghasilkan pembangunan ekonomi sebagaimana yang diinginkan oleh NSB. Oleh
karena itu, S&D masih relevan, sebagaimana yang akan dibahas berikut.
 Para pendukung liberalisasi perdagangan kerap menyuarakan:
…“a rising tide lifts all boats” and the economy-wide gains from trade
liberalization will make everyone better off. More refined arguments in favour of
poverty reduction ensuing from trade liberalization often emphasize the ensuing
rise in world prices for agriculture products as industrialized countries eliminate
protection for farming in OECD countries. This is expected to boost incomes in
the rural economies of the developing world, where the bulk of world poverty
resides.[28]
 
Para diplomat dan eksekutif perusahaan-perusaan Barat terus menerus menyebarkan
pesan-pesan provokatif, termasuk di dalam lingkungan WTO sendiri. Mereka
mempromosikan,”[i]f you embrace trade liberalisation, you will be better off”.[29] Lebih
jauh mereka menyatakan, “trade liberalisation alleviates poverty, promotes development,
and increase GNP, personal income, and living standards.”[30] Hal ini semua berarti
bahwa liberalisasi perdagangan – juga dikenal sebagai bagian dari ‘globalisasi’ – akan
menguntungkan semua pihak yang terlibat, termasuk NSB.
Paradigma liberalisasi WTO didasarkan pada pemikiran bahwa liberalisasi perdagangan
akan menghasilkan pertumbuhan perdagangan yang bertumpu pada prinsip keunggulan
komparatif (comparative advantage).[31] Menurut prinsip ini, setiap negara akan
melakukan spesialisasi perdagangan, dalam arti bahwa setiap negara hanya akan
memperdagangkan produk-produknya, baik barang maupun jasa, yang memiliki daya
saing di pasar internasional. Dengan cara ini, kemakmuran akan diperoleh sejalan dengan
meningkatnya perdagangan barang dan jasa yang terspesialisasi tersebut. Eskalasi
perdagangan internasional akan menciptakan pertambahan kemakmuran baru.
Meskipun demikian, hal ini tidak timbul dengan sendirinya, tetapi lebih disebabkan oleh
alokasi sumber daya yang lebih efisien, yang banyak dibantu dengan aturan-aturan
perdagangan yang lebih liberal. Dengan demikian liberalisasi perdagangan internasional
menjadi factor yang sangat esensial  bagi pembangunan ekonomi setiap negara, termasuk
NSB. Jika suatu negara  menghendaki adanya peningkatan pembangunan ekonominya,
negara yang bersangkutan harus terlibat dalam proses liberalisasi perdagangan sebagai
bagian dari usaha untuk meningkatkan alokasi sumber daya. Konsekuensinya, negara
yang bersangkutan harus membuka perekonomiannya terhadap perdagangan dan
investasi asing, serta menghapuskan semua hambatan perdagangan.[32] Berangkat dari
pemikiran bahwa liberalisasi akan menghasilkan kemakmuran, negara-negara maju dan
NSB bergabung dalam GATT, dan kemudian WTO.
Tetapi, meskipun mereka terlibat di dalam GATT dan kemudian di dalam WTO, NSB
terus menerus mengkritik skema liberalisasi perdagangan internasional. Sejak sebelum
terbentuknya GATT sampai periode GATT, dan kemudian sampai terbentuknya WTO,
NSB selalu menunjukkan sikap ketidakpuasan terhadap sistem perdagangan internasional
berbasis liberalisasi. Sebelum terbentuknya GATT, NSB menganggap bahwa paradigma
perdagangan bebas tidak secara otomatis mengakomodasi kepentingan-kepentingan
pembangunan mereka. Sebaliknya, paradigma tersebut hanya melayani kepentingan-
kepentingan negara-negara maju.
Dalam dekade pertama kehadiran GATT, NSB mengkritik aturan-aturan GATT yang
memperlakukan sama semua pihak sebagai sesuatu yang tidak fair. Hal ini karena aturan-
aturan seperti itu dianggap tidak melindungi kepentingan-kepentingan pembangunan
NSB, terutama negara-negara yang baru merdeka. Memasuki dekade kedua dan ketiga
era GATT, NSB menciptakan apa yang dikenal sebagai Third World Critiques dengan
mengemukakan teori bahwa struktur ekonomi internasional yang ada memperburuk
ketergantungan NSB terhadap negara-negara maju.[33] Pada dekade terakhir era GATT,
yakni pada periode Putaran Uruguay (Uruguay Round), negosiasi-negosiasi perdagangan
menghasilkan fakta bahwa produk-produk NSB yang memiliki daya saing, seperti
produk-produk pertanian dan tekstil, justru tidak diliberalisasi.[34] Padahal Deklarasi
Putaran Uruguay sendiri menyatakan bahwa negosiasi-negosiasi akan menghasilkan
”further liberalisation and expansion of world trade to the benefit of all countries,
especially less-developed contracting parties”.[35] Selain itu Deklarasi tersebut juga
memberikan penekanan khusus terhadap pentingnya negosiasi-negosiasi mengenai
produk-produk tropis, tekstil dan pertanian – produk-produk yang secara historis
merupakan unggulan NSB.[36] Konsekuensinya, NSB senantiasa menghadapi kesulitan
untuk mengekspor produk-produk tekstil dan pertanian mereka, dan, oleh karena itu,
kepentingan-kepentingan pembangunan mereka terhambat.
Kritik-kritik di atas menjadi bagian dari apa yang saat ini dikenal sebagai Anti
Globalisation dan, oleh karena itu juga Anti WTO, meskipun para pendukungnya tidak
selalu berasal dari NSB.[37] Paradigma ini berargumen bahwa globalisasi justru
meningkatkan kemiskinan, menyebarluaskan pekerjaan-pekerjaan dengan upah rendah,
dan menaikkan harga-harga.[38] Menurut paradigma ini, globalisasi juga lebih
mengutamakan kepentingan-kepentingan bisnis di atas kepentingan-kepentingan
pembangunan, lingkungan, kesehatan dan keamanan.[39] Dengan kalimat lain,
globalisasi, yang terepresentasi melalui WTO, berwatak anti pembangunan. Oleh karena
itu, di dalam struktur perekonomian internasional yang liberal, tidak ada tempat bagi
NSB untuk meningkatkan taraf pembangunannya.
            Berangkat dari paradigma-paradigma yang saling berlawanan sebagaimana yang
dipaparkan di atas, suatu pertanyaan dapat diajukan mengenai hubungan antara
liberalisasi perdagangan internasional dan pembangunan NSB: sejauh mana liberalisasi
perdagangan internasional membantu pembangunan NSB? Jawaban dari pertanyaan ini
senantiasa mengundang perdebatan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang
pengamat, “researchers are still struggling to reach a consensus on the best approach to
analysing the impacts of multilateral trade liberalization on poverty, let alone agreeing on
the answer.”[40]
Meskipun demikian, satu hal telah jelas bahwa di satu sisi, NSB telah secara de facto,
terlibat di dalam WTO. Hal ini dapat diartikan bahwa NSB telah menerima paradigma
liberalisasi. Tetapi, di sisi lain, mereka masih terus menunjukkan keprihatinannya
mengenai kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh keterlibatannya di WTO. Fakta-fakta
ini hendaknya dibaca sebagai suatu pengakuan bahwa liberalisasi perdagangan
internasional melalui WTO telah memberikan keuntungan terhadap pembangunan
ekonomi NSB, tetapi keuntungan yang diperoleh tidak sebesar yang diperoleh oleh
negara-negara maju. Perwakilan-perwakilan NSB pada Konferensi Tingkat Menteri di
Seattle, misalnya, menyatakan bahwa “their concerns and participation were being
marginalised, and that those already holding an unequal share of the world’s natural and
social resources continue to receive an unequal share of the gains from trade.”[41] Hal ini
berarti ada kesenjangan yang lebar dalam hal perolehan negara-negara maju dengan NSB.
Dengan kata lain, sementara peningkatan kesejahteraan di NSB terjadi baik secara tetap
ataupun mungkin lebih besar, peningkatan kesejahteraan secara absolut terjadi lebih besar
di negara-negara maju.
Dari bahasan di atas, dapat dikatakan bahwa penyebab utama ketidakpuasan NSB
terhadap sistem WTO adalah ketimpangan (inequality). S&D diyakini merupakan salah
satu cara untuk mengatasi masalah ketimpangan ini. Sebagaimana yang tercermin dalam
latar belakang terbentuknya S&D, paralel dengan kritik-kritik mereka terhadap
liberalisasi perdagangan, NSB juga tetap menyuarakan keinginannya untuk
mempertahankan dan meningkatkan eksistensi S&D. S&D diyakini dapat memerankan
peranan yang sangat penting dalam setiap tahap pembangunan. Sudah merupakan
kelaziman bahwa menyusul kemerdekaan yang mereka peroleh, mayoritas NSB
menerapkan strategy pembangunan ekonominya melalui beberapa tahapan berikut:
Strategi Substitusi Impor (import substitution strategy); Strategi pembangunan ekonomi
yang berorientasi ekspor (export-led strategy); dan Strategi Liberalisasi (liberalisation
strategy).[42]
Tujuan dari Strategi Substitusi Impor[43] adalah memproduksi produk-produk barang
yang sebelumnya diimpor ke dalam wilayah NSB sendiri. Strategi ini – juga dikenal
sebagai inward-looking strategy – menghendaki adanya proteksi terhadap produk-produk
domestic dari membanjirnya impor dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara
maju. Ketentuan-ketentuan S&D dalam bentuk bantuan pemerintah dan hambatan-
hambatan impor, misalnya, diperlukan untuk membantu industri-industri baru (infant
industry) NSB agar tumbuh sedemikian rupa sehingga mereka dapat berkompetisi dengan
produk-produk dari negara lain.  Industri-industri baru seperti ini juga memerlukan
proteksi agar produk-produk mereka kompetitif di pasar dalam negeri sendiri. Tanpa
proteksi, industri-industri baru akan tetap kerdil dan bahkan mati. Hampir mustahil bagi
negara-negara yang baru merdeka untuk melakukan industrialisasi jika mereka harus
tunduk kepada aturan-aturan perdagangan internasional yang sepenuhnya telah
diliberalisasi. Hal ini karena aturan-aturan seperti itu melarang adanya intervensi negara
dan pembatasan-pembatasan. Oleh karena itu S&D merupakan jalan keluar yang legal.  
Strategi yang berorientasi ekspor (export-led strategy),[44] atau dikenal juga sebagai
strategi outward-looking, bertujuan untuk mengekspor produk-produk yang dihasilkan
oleh NSB ke pasaran asing, termasuk pasar negara-negara maju. Strategi ini memerlukan
bukan hanya keterbukaan negara-negara importer, tetapi juga suatu jaminan bahwa
produk-produk NSB akan kompetitif di negara-negara importir tersebut. Dalam konteks
ini, ketentuan-ketentuan S&D yang bertujuan untuk memberikan preferensi perdagangan
dari negara-negara maju kepada produk-produk NSB, akan memainkan peran yang
sangat penting. Selain itu, ketentuan-ketentuan S&D yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan NSB juga sangat esensial.
Strategi terakhir, liberalisasi (liberalisation strategy)[45] bertujuan untuk meningkatkan
keuntungan dari transaksi-transaksi perdagangan internasional. Hal ini dicapai melalui
liberalisasi terbatas sebelum NSB sepenuhnya melakukan liberalisasi perdagangan
sepenuhnya. Pada tahapan ini, ketentuan-ketentuan S&D masih diperlukan, karena masih
adanya ketimpangan intrinsik antara NSB dengan negara-negara maju.  Kompetisi bebas
dan tidak terbatas dengan negara-negara maju  akan berdampak buruk bagi NSB. Di satu
sisi, ketentuan-ketentuan S&D diperlukan untuk menjamin bahwa pasar negara-negara
maju terbuka untuk produk-produk NSB. Ketentuan-ketentuan S&D yang bertujuan
untuk meningkatkan akses pasar dan melindungi kepentingan-kepentingan NSB
memainkan peran yang sangat penting. Di sisi lain, ketentuan-ketentuan S&D juga
diperlukan untuk melindungi pasar NSB dari kompetisi yang keras dengan produk-
produk negara-negara maju. Ketentuan-ketentuan S&D sangat penting untuk mengatasi
masalah seperti ini, sebab S&D dapat memberikan fleksibilitas dan bantuan teknis bagi
NSB.
S&D sebagai Instrumen Keadilan
Justifikasi teoretis kedua terhadap eksistensi S&D adalah ‘keadilan’(justice), dalam arti
bahwa S&D merupakan instrumen untuk tercapainya keadilan dalam perdagangan
internasional. Hal ini karena, sebagaimana disebutkan di atas, S&D telah diintegrasikan
ke dalam instrumen hukum, yang di dalamnya keadilan merupakan elemen yang esensial.
Tetapi, sangat sulit untuk menarik suatu definisi yang memadahi dari konsep keadilan
dalam konteks perdagangan internasional, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan-
ketentuan S&D. Dalam konteks ini, konsep keadilan sebagai fairness, sebagaimana
tercermin dalam A Theory of Justice dari Rawls, layak untuk dipertimbangkan, meskipun
Rawls sendiri menerapkan konsep ini hanya dalam lingkup nasional, dan menolak untuk
memperluas konsep tersebut dalam konteks internasional. Perluasan konsep tersebut
sebenarnya dilakukan oleh ahli-ahli yang lain, di antaranya Frank J. Garcia, karena
mereka melihat adanya paralelitas antara problem dalam lingkup nasional dan
internasional.
Ide dasar konsep keadilan sebagai fairness bahwa seluruh barang-barang sosial primer –
seperti kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan, dan dasar-dasar bagi
kehormatan diri – didistribusikan secara merata kecuali ketidakmerataan distribusi
barang-barang tersebut digunakan untuk keuntungan mereka yang paling tidak beruntung.
[46] Dua prinsip dapat ditarik dari konsep tersebut: prinsip kebebasan berdasarkan
persamaan (equal liberty) dan prinsip perbedaan (difference).[47] Menurut Rawls,
prinsip-prinsip ini akan menjamin implementasi seluruh sistem alokasi barang-barang
sosial primer secara adil.[48] Prinsip pertama menyatakan bahwa setiap orang memiliki
hak yang sama atas totalitas sistem kebebasan dasar yang berdasarkan persamaan, sesuai
dengan sistem kebebasan yang berlaku umum bagi semua orang.[49]
Prinsip kedua mensyaratkan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial ditata agar (a) dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka yang paling tidak beruntung, dan
(b) mereka yang paling tidak beruntung mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang
sama untuk menduduki jabatan-jabatan atau posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang.
[50] Dalam konteks perdagangan internasional, prinsip-prinsip ini berartri bahwa setiap
negara memiliki hak yang sama untuk mengakses barang-barang sosial primer, dan
bahwa problem ketimpangan di antara mereka harus diatasi.
Dengan demikian, menurut konsep keadilan sebagai fairness, keadilan adalah distribusi
yang merata barang-barang sosial dalam transaksi-transaksi perdagangan internasional
antara negara-negara maju dan NSB. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua
ketimpangan harus ditiadakan.[51] Hanya ketimpangan yang tidak adil (unjust
inequalities), yakni yang merugikan mereka yang paling tidak beruntung (NSB), yang
harus ditiadakan. Oleh karena itu, ketidaksamaan yang didedikasikan untuk keuntungan
mereka yang paling tidak beruntung, seperti ketentuan-ketentuan S&D, dapat dibenarkan.
[52] Sebagaimana yang terlihat dari definisinya, S&D menghendaki adanya perbedaan
perlakuan terhadap negara-negara yang berbeda (unequal treatment to unequal parties).
Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan S&D bahkan memainkan peran yang esensial
dalam merealisasikan konsep keadilan sebagai fairness. Sebagaimana yang dikemukakan
Garcia:
[t]he principle of special and differential treatment, a key element of the
developing world’s trade agenda, plays a central role in satisfying the moral
obligations that wealthier states owe poorer states as a matter of distributive
justice. Seen in this light, the principle of special and differential treatment is
more than just a political accommodation: it reflects a moral obligation stemming
from the economic inequality among states.[53]  
 
Berdasarkan konsep keadilan sebagai fairness, sepintas lalu isu utama S&D tampak
secara teoretis identik dengan isu yang didasarkan kepada justifikasi pembangunan
ekonomi sebagaimana yang dipaparkan di atas, yakni ketimpangan (inequality).  Tetapi,
yang kedua menekankan bahwa S&D diperlukan oleh NSB untuk mempromosikan
pembangunan ekonominya, sedangkan yang pertama lebih menekankan bahwa S&D
merupakan kewajiban moral negara-negara maju untuk mengatasi problem ketimpangan
terebut. 
Dengan demikian, konsep keadilan sebagai fairness akan memperkuat konsep S&D yang
didasarkan pada justifikasi pembangunan ekonomi. Persoalannya, masih diperdebatkan
apakah problem ketimpangan tersebut lebih tepat diatasi oleh liberalisasi atau oleh
ketentuan-ketentuan S&D. Sebagaimana yang tercermin dari pernyataan Joost
Pauwelyn’s:
Rather than seeking special treatment, which results in trade inequalities,
developing countries should focus on obtaining equal free trade. Indeed, the
greatest benefit that developing countries stand to reap from the world trade
system will not result from special treatment – less free trade – but rather from
equal liberalisation – freer trade – in the export sectors of the most interest to
them, particularly agriculture and textiles. [54]
 
Dengan kalimat lain, masih diragukan bahwa ketentuan-ketentuan S&D dapat menjadi
instrumen yang efektif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi NSB. Namun jika
diposisikan sebagai kewajiban moral, ketentuan-ketentuan S&D memiliki basis yang
lebih kuat, karena ketentuan-ketentuan tersebut berdiri di atas konsep yang lebih
universal, dan sekaligus netral. Telah diterima secara universal bahwa yang kuat harus
membantu yang lemah, yang kaya harus membantu yang miskin.  Demikian halnya,
sudah merupakan kewajiban moral bahwa negara-negara yang lebih kuat dan kaya
menolong negara-negara yang lebih lemah dan miskin. Dengan kalimat lain, negara-
negara maju secara moral berkewajiban untuk menolong NSB.
Kewajiban moral semacam itu dapat berasal dari berbagai sumber seperti nilai-nilai
sosial, politik, dan teologis. Dalam perspektif teologis, misalnya, ketentuan-ketentuan
S&D secara moral adil. Sebagian besar ketentuan-ketentuan S&D tersebut mencerminkan
nilai-nilai yang terdapat dalam beberapa konsep yang ditemukan dalam Injil dan Al-
Qur’an, dan dalam literatur-literatur suci dan akademis yang berkembang secara
tradisional sejak masa Jesus dan Nabi Muhammad s.a.w.[55] Konsep-konsep homily,
mortification, mercy, dan almsgivin’, yang ditemukan dalam ajaran-ajaran agama Kristen
dan Islam sangat dekat dengan konsep-konsep exhortation, giving up of a legal right,
compassion, dan assistance, yang ditemukan dalam ketentuan-ketentuan S&D dalam
GATT/WTO.[56] Dengan demikian, secara moral, ketentuan-ketentuan S&D dapat
dianggap sebagai kewajiban yang timbul tidak hanya dari motif-motif ekonomi tetapi
juga dari perintah Tuhan.
Permasalahannya, kemudian, apakah S&D berbasis keadilan, sebagaimana dipaparkan di
atas, tidak bertentangan dengan paradigma dasar GATT/WTO, yakni liberalisme?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa bervariasi, tergantung perspektif yang digunakan. Dari
diskursus tentang liberalisme telah jelas bahwa paradigma tersebut mempunyai komitmen
yang kuat terhadap ‘persamaan’ (equality), memperlakukan orang-orang atau negara-
negara secara sama atau sejajar. Dengan demikian, liberalisme juga dapat dianalisis
sebagai suatu teori keadilan yang berbasis persamaan (justice as equality), dan setiap
teori liberal dapat dikritisi berdasarkan kinerjanya dalam mewujudkan ide-ide persamaan.
[57] Karena konsep keadilan yang dikembangkan didasarkan pada A Theory of Justice
dari Rawls, jawaban dari pertanyaan itu pun semestinya juga dikembalikan pada teori
Rawls tersebut. Berdasarkan teori Rawls, S&D sebagai instrumen keadilan harus
ditemukan justifikasinya dalam teori keadilan egalitarian (the egalitarian theory of
justice). Keadilan sebagai fairness, sebagaimana dikemukakan di atas, berasal dari teori
liberalisme. Dengan demikian, S&D sebagai instrumen keadilan tidak bertentangan
dengan paradigma liberalisme, dan bahkan dapat memperkuat eksistensi liberalisme
sebagai paradigma utama GATT/WTO.
Akhirnya, karena S&D telah diintegrasikan ke dalam ketentuan-ketentuan hukum, S&D
seharusnya juga diakui sebagai instrumen hukum, yang menimbulkan kewajiban-
kewajiban hukum dan bukan hanya semata-mata kewajiban moral.     Dalam konteks ini
S&D berdiri di atas tiga pondasi. Pertama,  telah menjadi konsensus yang diterima secara
luas bahwa affirmative action atau reverse discrimination, di bawah payung ketentuan-
ketentuan S&D merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan problem
ketimpangan ekonomi.[58] Kedua, ketentuan-ketentuan S&D, seperti preferensi
perdagangan, dapat disejajarkan dengan preferensi perpajakan nasional, yang akan
memperbaiki kondisi orang-orang miskin.[59] Ketiga, ada kecenderungan meningkatnya
preseden bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam S&D telah diakui dalam praktek-
praktek hukum dan semi-hukum (quasi-legal practice).[60] Dengan demikian, fairness
bukan semata-mata merupakan keharusan moral (moral imperative) tetapi juga
merupakan kewajiban hukum. Diposisikan sebagai instrumen hukum, S&D dapat
dianggap sebagai suatu diskriminasi yang sah (legitimate discrimination) atau, paling
tidak, sebagai suatu diskriminasi yang tidak sah tetapi ditolerir (illegitimate but tolerated
discrimination).[61]
 
 
Penutup
            Uraian-uraian di atas telah menunjukkan bahwa konsep S&D dalam perjanjian
WTO beridiri di atas basis teoretis yang kuat. Selain sebagai alat pembangunan, raison
d’etre dari S&D adalah keadilan, serta tidak bertentangan dengan paradigma liberalisasi
WTO. S&D diposisikan sebagai instrumen untuk menghapus kesenjangan dan untuk
mencapai persamaan antara NSB dengan negara-negara maju. Basis teoretis ini telah
memperkuat eksisitensi S&D sebagai instrumen hukum dalam perjanjian-perjanjian
perdagangan multilateral.
Meskipun demikian, basis teoretis yang kuat saja tidaklah cukup untuk membuat S&D
benar-benar secara konseptual eksis untuk kepentingan NSB. Basis teoretis tersebut
seharusnya termanifestasi dalam norma-norma operatif S&D yang efektif: mengikat
secara hukum, substansinya adil, dan rumusan norma-normanya efisien. Dengan norma-
norma operatif yang efektif akan membantu efektivitas S&D dalam implementasinya,
baik dalam  praktek hubungan dagang multilateral maupun dalam penyelesaian sengketa
di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO.
 

[1] Mukadimah AA, [6].


[2] Lihat Pasal 110 of SPS dan Pasal 27 SCM.
[3] Lihat Pasal XVIII of GATT.
[4] Lihat Bagain IV GATT.
[5] Lihat Pasal XXXVI.1(f) GATT.
[6] Pasal XXXVI.4 GATT.
[7] Mukadimah ATC, [3].
[8] Lihat Pasal 15  AD.
[9] Lihat Pasal 4.10 DSU.
[10] Lihat pasal 65.2 TRIPs.
[11] John Whalley, ‘Special and Differential Treatment in the Millennium Round,’ (Working Paper  No.
30/99, Centre for the Study of Globalisation and Regionalisation, University of Warwick, Coventry, UK,
Mei 1999)3.
[12] Kiichiro Fukasaku, ‘Special and Differential Treatment for Developing Countries: Does It Help
Those Who Help Themselves,’ (Working Paper No. 197, The United Nations World Institute for
Development Economic Research, Helsinki, Finland, September 2000)1.
[13] Murray Gibbs, ‘Special and Differential Treatment in the Context of Globalisation’ (Paper
disampaikan pada Simposium G15 on Special and Differential Treatment in the WTO Agreements, New
Delhi, 10 Desember 1998) 1.
[14] Ricardo Melendez-Ortiz dan Ali Dehlavi, ‘Sustainable Development and Environmental Policy
Objectives: A Case for Updating Special and Differential Treatment in the WTO’ (paper disampaikan
dalam the CUTS/CITEE Conference on Southern Agenda for the Next Millenium, Bangalore, India, 18-19
Agustus 1999)5.
[15] Lihat Pasal 1 dan 2(a) the GATT Contracting Parties decision of November 28, 1979 on Differential
and More Favourable Treatment, Reciprocity and Fuller Participation of Developing Countries, GATT, 26 th
Supp. BISD 203 (1980)(selanjutnya disebut Enabling Clause).
[16] Pasal 10.1 SPS.
[17] Pasal 6.4 AA.
[18] Pasal 5.2 TRIMs.
[19] Pasal 67 TRIPs.
[20] Pasal 3.5(j) ILP.
[21] Lihat Mukadimah Perjanjian WTO yang menyatakan, “…there is need for positive efforts designed to
ensure the developing countries and especially the least-developed among them, secure a share in the
growth in international trade commensurate with their needs of their economic development.”
[22] Edwini Kessie, ‘Enforceability of the Legal Provisions Relating to Special and Differential;
Treatment under the WTO Agreements’ (Paper disampaikan pada Seminar on Special and Differential
Treatment for Developing Countries, diselenggarakan oleh the WTO Committee on Trade and
Development, 7 Maret 2000) 2-3.
[23] Lihat Pasal I:1 GATT 1994.
[24] Lihat Pasal III:2 GATT 1994.
[25] Edwini Kessie, above n 22, 3.
[26] T.N. Srinivasan, ‘Developing Countries in the World Trading System: from GATT 1947 to the Third
Ministerial Meeting of WTO’ (Keynote Speech dalam the High Level Symposium on Trade and
Development, WTO, Geneva, 17 Maret 1999) 6.
[27] Uche Ewelukwa, ’Special and Differential Treatment in International Trade Law: A Concept in Search
of Content’ (2003) 79 North Dakota Law Review 831, 876.

[28]Thomas Hertel et al, ‘Trade Liberalization and the Structure of Poverty in Developing Countries’
(Global Trade Analysis Project, Februari 2003) 1.
[29] Charles Stampford et al, ‘Living Up to the Promises of Global Trade’ dalam Ross P. Buckley ed, The
WTO and the Doha Round: The Changing Face of World Trade (2003) 9.
[30] Ibid.
[31] Editor, ‘Developing Countries and Multilateral Trade Agreements: Law and the Promise of
Development’ (1995) 108 Harvard Law Review 1715,  1718.
[32] Aaron Lukas, ‘WTO Report Card III: Globalization and Developing Countries’ (Cato Institute for
Trade Policy Studies, Juni 2000) 2.
[33] Editor, above n 31.
[34] Hal ini karena periode pasca 1950-an telah menunjukkan semakin meningkatnya proteksi di bidang
pertanian di negara-negara maju dan kemudian di negara-negara industri baru. Kecenderungan This trend
hastened in the 1980s. Lihat Kym Anderson et al, ‘Agriculture and the Next Round of WTO Negotiations’,
6.
[35] Editor, above n 33, 1722.
[36] Ibid.
[37] Para pendukungnya termasuk para anarkis, kelompok-kelompok aktivis lingkungan dan organisasi-
organisasi non-pemerintah, serikat-serikat buruh, dan bahkan termasuk pula kalangan industri-industri
besar, seperti industri elektronik dan baja. Lihat Hansel T. Pham, ‘Developing Countries and the WTO: The
Need for More Mediation in the DSU,’ (2004) 9 Harvard Negotiation Law Review 331, 335.
[38] Thomas Hertel et al, above n 28.
[39] Untuk diskusi lebih lanjut mengenai kritik-kritik terhadap WTO, lihat WTO, ’10 Common
Misunderstandings about the WTO’, <http://www.wto.org/english/thewto_e/ whatis_e/10mis_e/
10m00_e.htm>, 23 Juni 2005.
[40] Thomas Hertel et al., above n 38.
[41]  See Hansel T. Pham, above n 37.
[42] Indonesia, misalnya, secara umum menempuh strategi-strategi ini. Lihat Feridhanusetyawan, T. and
M. Pangestu, ‘Indonesian Trade Liberalization: Estimating the Gains’, November 2002. (Forthcoming in
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 2003) 2.
[43] Strategi ini ditandai dengan tingkat proteksi yang tinggi baik berupa tarif dan non-tarif, khususnya
yang berkaitan dengan industri-industri manufaktur yang masih baru (infant). Strategi ini diterapkan pada
era 1950-an sampai 80-an. Lihat Peter Galaghar, Guide to the WTO and Developing Countries (2000) 1.
[44] Strategi ini ditandai oleh, di antaranya, penerapan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekspor
berdasarkan keunggulan komparatif. Kebijakan ini diimplementasikan dengan cara memperbaiki
manajemen dan lingkungan ekonomi makro bagi investasi asing. Ibid, 2.
[45] Strategi ini ditandai terutama oleh semakin besarnya kompetisi serta peluang-peluang yang lebih
menarik bagi investasi asing. Ibid.
[46] Frank J. Garcia, ‘The Law of Peoples: By John Rawls’ (2001) 23 Houston Journal of International
Law 659, 661.
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49] Ibid, 1000.
[50] Ibid.
[51] Ketidaksamaan ini terjadi dalam hal akses terhadap barang-barang sosial, yang merupakan salah satu
basis untuk keunggulan komparatif, bukan terhadap anugrah sumberdaya.
[52] Lihat juga Miguel Ceara-Hatton and Pavel Isa-Contreras, ‘From Development to Trade or from Trade
to Development? Special and Differential Treatment in GATT, the WTO and the FTAA’ (Working Paper,
Economic Research Centre for the Caribbean) 2.
[53] Frank J. Garcia, above n 50, 980.
[54] Joost Pauwelyn, ‘Just Trade: Trade, Inequality, and Justice: Toward a Liberal Theory of Just Trade’
(2005) 37 George Washington International Law Review 559, 568.
[55] Raj Bhala, ‘Globalisation and Sovereignty: Theological Categories for Special and Differential
Treatment’ (2002) 50 Kansas Law Review 635, 645.
[56] Ibid, 648-656.
[57] Frank J. Garcia, above n 53, 980.
[58] Robert E. Hudec, Developing Countries in the GATT Legal System (1987), 106.
[59] Ibid.
[60] Ibid, 107.
[61] Cf Edward A. Laing, ‘Equal Access/Non-Discrimination and Legitimate Discrimination in
International Economic Law’, (1996) 14 Wisconsin International Law Journal 246, 315-317.

You might also like