Professional Documents
Culture Documents
html
Rasa sedih tentu akan menyeruak dari dalam diri seorang muslim, jika melihat seorang
saudaranya yang lain meninggalkan kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah. Begitu pula
yang penulis rasakan ketika dalam suatu perjalanan, penulis menyaksikan sebagian besar
penumpang bus yang penulis tumpangi meninggalkan shalat. Padahal waktu itu bulan Ramadhan
dan sebagian besar pulang kampung untuk merayakan lebaran ‘Idul Fithri di rumah masing-
masing. Puasa yang mereka tinggalkan saat perjalanan memang merupakan keringanan yang
Allah berikan bagi orang yang bersafar. Tentu saja dengan ketentuan bahwa puasa yang
ditinggalkan akan di-qadha ketika telah usai bulan Ramadhan tersebut. Namun, shalat bagi
seorang muslim tetaplah wajib, begitupula bersuci sebagai salah satu syarat sahnya shalat juga
merupakan kewajiban. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keringanan dalam bentuk yang
berbeda untuk masing-masing kewajiban tersebut.
Ketika shalat tidak mampu dilaksanakan secara berdiri, maka bisa dilakukan dengan duduk, dan
jika tidak mampu maka bisa dilakukan dengan berbaring. Dalam keadaan safar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bahwa untuk shalat-shalat wajib, orang yang dalam
perjalanan tidak melakukannya di atas kendaraannya. Adapun untuk kendaraan-kendaraan yang
tidak memungkinkan bagi seorang musafir untuk menghentikan kendaraannya (seperti kereta,
kapal laut) atau bis yang tidak diketahui secara tepat pemberhentiannya, maka seseorang dapat
shalat di dalam kendaraan tersebut, karena terpaksa. (Insya Allah akan datang artikel khusus
tentang shalat bagi orang musafir).
Begitupula dengan bersuci. Ketika seseorang telah bersuci dan memakai khuf, maka dalam
perjalanan dengan jangka waktu tiga hari, ia dapat berwudhu dengan cara mengusap khuf.
Adapun jika ia tidak mendapat air atau terhalang untuk menggunakan air, maka Allah telah
memberi keringanan berupa tayammum.
“Jika kamu tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).
Usaplah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu.” (Qs. al-Maa-idah [5]: 6)
Kesimpulannya, adalah keringanan untuk wudhu dan shalat bukanlah dalam bentuk boleh
ditinggalkannya kewajiban wudhu dan shalat tersebut.
Kisah Munculnya Syari’at Tayammum
Kisah ini diceritakan oleh Aisyah istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu saat, ia
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanannya. Ketika mereka telah
sampai di Baida’ atau Dzatul Jaisy (hendak memasuki kota Madinah), tiba-tiba Aisyah
kehilangan kalung yang dipinjamnya dari Asma. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berhenti dan berkenan mencarinya dan orang-orang pun ikut mencarinya. Waktu itu
mereka berhenti di tempat yang tidak ada airnya dan mereka juga tidak membawa air.
Akhirnya (saat kalung Aisyah belum juga diemukan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidur di pangkuan Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat itu orang-orang mengeluh kepada Abu Bakar
ash-Shidiq, “Tidakkah engkau lihat apa yang dilakukan Aisyah? Ia telah menghentikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang banyak, padahal mereka tidak di tempat yang
ada airnya dan tidak membawa air.”
Abu Bakar pun mendatangi Aisyah dan memarahinya. Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan,
“Abu Bakar mencercaku dan mengatakan apa yang dikehendaki Allah untuk mengatakannya. Ia
pun memukulku dengan keras seraya berkata,’Apa engkau menahan orang-orang ini karena
kalung?!’ Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sekalipun itu terasa menyakitkanku. Aku tidak dapat berbuat sedikit pun karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di pangkuanku.”
Kemudian tibalah waktu shalat, dan mereka tidak menemukan air. Dalam satu riwayat, para
sahabat akhirnya shalat tanpa wudhu. Hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu Allah menurukan ayat tayammum (yaitu al-Maa-idah ayat 6). Usaid bin
Hudhair berkata kepada Aisyah, “Semoga Allah membalas kebaikan bagimu. Demi Allah,
tidaklah engkau mengalami perkara yang tidak engkau sukai, kecuali Allah memberikan
untukmu (jalan keluarnya), dan (menjadikan) kebaikan bagi kaum muslimin di dalamnya.” (HR.
Bukhari dari beberapa jalan periwayatan)
Ada banyak dalil yang menunjukkan disyari’atkannya tayammum. Salah satunya adalah hadits
berikut,
Dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak
mendapatkan air. Kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat. Setelah
itu, ‘kusampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (melakukan) begini,” yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup
keduanya, lalui Beliau mengusapkan kedua tangannya pada wajah dan kedua telapak
tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam Syafii, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Dzohiri mengharuskan tayammum dengan
menggunakan tanah asli yang berdebu. Namun menurut pendapat yang lebih kuat, tayammum
boleh menggunakan semua jenis belahan bumi, tidak harus bertayammum dengan tanah asli
yang berdebu, bahkan boleh dimana saja sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan tayammum dari dinding. (lihat Ashl Shifat Shalat an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam 2/784, dikutip dari majalah Al-Furqon).
Hal ini termasuk keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari rasul lainnya
sebagaimana dalam hadits yang dibawakan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku
diberi kemenangan dengan ditanamkan rasa takut pada diri musuh dalam jarak sebulan
perjalanan; seluruh bagian bumi dijadikan tempat sujud dan alat bersuci; siapapun di antara
umatku yang menjumpai waktu shallat, maka shalatlah di mana ia berada….” (HR. Bukhari)
Dan dalam ayat Al-Qur’an juga disebutkan, “fatayammamu sha’iidan thayyiban” yang artinya,
“Maka bertayammumlah dengan sha’iid yang bersih”. Ibnul Manzhur mengatakan dalam
Lisanul Arab bahwa sha’id berarti tanah. Ia juga mengutip perkataan Abu Ishaq yang
menyatakan bahwa sha’id adalah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup
menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah dan tidak perlu mempermasalahkan apakah
tanah pada permukaan tersebut terdapat debu atau tidak. (lihat Al-Wajiz)
Tiuplah debu yang ada padanya atau dikibaskan agar debunya berjatuhan. Hal ini
dilakukan jika ternyata banyak debu yang menempel di kedua tangan sebagaimana
difatwakan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.
4. Usapkan pada wajah sekali. (lihat artikel wudhu untuk melihat batasan wajah). Kemudian
usapkan kedua telapak tangan yang satu dengan telapak tangan lain secara bergantian
mulai dari ujung-ujung jari hingga pergelangan tangan. (Poin 3 – 6, HR. Bukhari dan
Muslim)
Syaikh Ibnu Baz menjelaskan maksud dari hadits ini adalah, orang yang tidak mengulangi
shalatnya telah melakukan suatu yang benar karena telah mencukupkan dengan kemampuan
yang ada (ketika tidak ada air). Adapun orang yang mengulangi shalatnya melakukan ijtihad.
Dan maksud perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mendapat dua pahala adalah
pahala dari shalatnya yang pertama dan yang kedua adalah dari ijtihadnya untuk mengulang
shalatnya yang ia maksudkan untuk mengikuti sunnah Nabi.
Demikian tata cara tayammum yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Maraji’:
al-Wajiz, Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka As-Sunnah, cetakan kedua 2006
Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun VI Dzul Qo’dah 1427/Desember 2006 (63)
Ringkasan Shahih Bukhari (terj), tahkik syaikh Nashiruddin al-Albani, Pustaka Azzam, cetakan
pertama 2002
Thaharah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tuntunan Bersuci Lengkap, Sa’id bin ‘Ali bin
Wahf al-Qahthani, Media Hidayah
***
Hukum-Hukum Seputar Tayammum
Definisi Tayammum:
Tayammum adalah keinginan/kehendak untuk mengusap wajah dan kedua tangan dalam bentuk
yang khusus dengan niat pembolehan –mengerjakan- shalat dan semisalnya. Ibnu as-Sukait
mengatakan, “Firman Allah ta’ala, “Dan kalian tidak mendapatkan air, maka tayammum-lah
kalian dengan tanah yang baik.” Yaitu menghendaki –pemakaian- tanah. Lalu pemakaian mereka
telah meluas hingga kata tayammum diinterpretasikan sebagai mengusap wajah dan kedua
tangan dengan tanah.” Demikian yang dikutip oleh al-Hafizh di dalam Fathul Bari.
Rujukan: al-Umm 1/41-44, al-Majmu’ 2/238 dan selanjutnya, Fathul Bari 1/559-593, al-Mughni
1/318-368, al-Muhalla 1/no. 224-253, at-Tamhid 2/237 dan selanjutnya, Bidayah al-Mujtahid
2/3-50 , Badai’ ash-Shana’i 1/178-191, al-Isyraf 1/255-, al-Ausath 2/11-73, Masaa`il Abdullah
bin al-Imam Ahmad 36-39, Kasysyaf al-Qina` 1/237-254, al-Uddah hal. 39-42, Subul as-Salam
1/204-217, as-Sail al-Jarrar 1/308-334, Nail al-Authar 2/410-443, asy-Syarh al-Mumti` 1/373-
413.