You are on page 1of 9

http://muslimah.or.id/fikih/tayammum.

html

Mari Tetap Sholat di Kala Tak Mendapatkan


Air (Tayammum Ala Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam)
85Share

Penulis: Ummu Ziyad


Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Rasa sedih tentu akan menyeruak dari dalam diri seorang muslim, jika melihat seorang
saudaranya yang lain meninggalkan kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah. Begitu pula
yang penulis rasakan ketika dalam suatu perjalanan, penulis menyaksikan sebagian besar
penumpang bus yang penulis tumpangi meninggalkan shalat. Padahal waktu itu bulan Ramadhan
dan sebagian besar pulang kampung untuk merayakan lebaran ‘Idul Fithri di rumah masing-
masing. Puasa yang mereka tinggalkan saat perjalanan memang merupakan keringanan yang
Allah berikan bagi orang yang bersafar. Tentu saja dengan ketentuan bahwa puasa yang
ditinggalkan akan di-qadha ketika telah usai bulan Ramadhan tersebut. Namun, shalat bagi
seorang muslim tetaplah wajib, begitupula bersuci sebagai salah satu syarat sahnya shalat juga
merupakan kewajiban. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keringanan dalam bentuk yang
berbeda untuk masing-masing kewajiban tersebut.

Ketika shalat tidak mampu dilaksanakan secara berdiri, maka bisa dilakukan dengan duduk, dan
jika tidak mampu maka bisa dilakukan dengan berbaring. Dalam keadaan safar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bahwa untuk shalat-shalat wajib, orang yang dalam
perjalanan tidak melakukannya di atas kendaraannya. Adapun untuk kendaraan-kendaraan yang
tidak memungkinkan bagi seorang musafir untuk menghentikan kendaraannya (seperti kereta,
kapal laut) atau bis yang tidak diketahui secara tepat pemberhentiannya, maka seseorang dapat
shalat di dalam kendaraan tersebut, karena terpaksa. (Insya Allah akan datang artikel khusus
tentang shalat bagi orang musafir).

Begitupula dengan bersuci. Ketika seseorang telah bersuci dan memakai khuf, maka dalam
perjalanan dengan jangka waktu tiga hari, ia dapat berwudhu dengan cara mengusap khuf.
Adapun jika ia tidak mendapat air atau terhalang untuk menggunakan air, maka Allah telah
memberi keringanan berupa tayammum.

“Jika kamu tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).
Usaplah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu.” (Qs. al-Maa-idah [5]: 6)

Kesimpulannya, adalah keringanan untuk wudhu dan shalat bukanlah dalam bentuk boleh
ditinggalkannya kewajiban wudhu dan shalat tersebut.
Kisah Munculnya Syari’at Tayammum

Kisah ini diceritakan oleh Aisyah istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu saat, ia
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanannya. Ketika mereka telah
sampai di Baida’ atau Dzatul Jaisy (hendak memasuki kota Madinah), tiba-tiba Aisyah
kehilangan kalung yang dipinjamnya dari Asma. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berhenti dan berkenan mencarinya dan orang-orang pun ikut mencarinya. Waktu itu
mereka berhenti di tempat yang tidak ada airnya dan mereka juga tidak membawa air.

Akhirnya (saat kalung Aisyah belum juga diemukan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidur di pangkuan Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat itu orang-orang mengeluh kepada Abu Bakar
ash-Shidiq, “Tidakkah engkau lihat apa yang dilakukan Aisyah? Ia telah menghentikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang banyak, padahal mereka tidak di tempat yang
ada airnya dan tidak membawa air.”

Abu Bakar pun mendatangi Aisyah dan memarahinya. Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan,
“Abu Bakar mencercaku dan mengatakan apa yang dikehendaki Allah untuk mengatakannya. Ia
pun memukulku dengan keras seraya berkata,’Apa engkau menahan orang-orang ini karena
kalung?!’ Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sekalipun itu terasa menyakitkanku. Aku tidak dapat berbuat sedikit pun karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di pangkuanku.”

Kemudian tibalah waktu shalat, dan mereka tidak menemukan air. Dalam satu riwayat, para
sahabat akhirnya shalat tanpa wudhu. Hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu Allah menurukan ayat tayammum (yaitu al-Maa-idah ayat 6). Usaid bin
Hudhair berkata kepada Aisyah, “Semoga Allah membalas kebaikan bagimu. Demi Allah,
tidaklah engkau mengalami perkara yang tidak engkau sukai, kecuali Allah memberikan
untukmu (jalan keluarnya), dan (menjadikan) kebaikan bagi kaum muslimin di dalamnya.” (HR.
Bukhari dari beberapa jalan periwayatan)

Dalil Syariat Tayammum

Ada banyak dalil yang menunjukkan disyari’atkannya tayammum. Salah satunya adalah hadits
berikut,

Dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak
mendapatkan air. Kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat. Setelah
itu, ‘kusampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (melakukan) begini,” yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup
keduanya, lalui Beliau mengusapkan kedua tangannya pada wajah dan kedua telapak
tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Saat-Saat Bolehnya Bertayammum


1. Saat tidak mendapatkan air.
Ketika dalam keadaan mukim (tidak berpergian) ataupun bepergian, seseorang boleh
bertayammum dengan syarat ia tidak mendapatkan air dan khawatir kehabisan waktu
shalat.
2. Ketika sakit dan sakitnya tersebut menghalangi dirinya untuk menggunakan air. (Namun,
bila seseorang sakit, namun tidak berhalangan menggunakan air, maka dia tidak boleh
tayammum).
3. Saat air yang dimilikinya terbatas dan jika digunakan untuk berwudhu akan
membahayakan dirinya (karena bisa mati kehausan).
4. Saat terhalang dari mengambil air, misalnya karena ada musuh, pencuri, kebakaran dan
semacamnya sehingga jika ia menggunakan air akan membahayakan diri, harta dan
kehormatannya.
5. Saat mendapatkan air, namun air tersebut sangat dingin dan membahayakan dirinya dan
ia tidak dapat memanaskan air tersebut.
6. Dalam keadaan junub dan air yang dimilikinya tidak cukup untuk berwudhu atau mandi.

Zat yang Digunakan untuk Tayammum

Imam Syafii, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Dzohiri mengharuskan tayammum dengan
menggunakan tanah asli yang berdebu. Namun menurut pendapat yang lebih kuat, tayammum
boleh menggunakan semua jenis belahan bumi, tidak harus bertayammum dengan tanah asli
yang berdebu, bahkan boleh dimana saja sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan tayammum dari dinding. (lihat Ashl Shifat Shalat an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam 2/784, dikutip dari majalah Al-Furqon).

Hal ini termasuk keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari rasul lainnya
sebagaimana dalam hadits yang dibawakan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku
diberi kemenangan dengan ditanamkan rasa takut pada diri musuh dalam jarak sebulan
perjalanan; seluruh bagian bumi dijadikan tempat sujud dan alat bersuci; siapapun di antara
umatku yang menjumpai waktu shallat, maka shalatlah di mana ia berada….” (HR. Bukhari)

Dan dalam ayat Al-Qur’an juga disebutkan, “fatayammamu sha’iidan thayyiban” yang artinya,
“Maka bertayammumlah dengan sha’iid yang bersih”. Ibnul Manzhur mengatakan dalam
Lisanul Arab bahwa sha’id berarti tanah. Ia juga mengutip perkataan Abu Ishaq yang
menyatakan bahwa sha’id adalah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup
menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah dan tidak perlu mempermasalahkan apakah
tanah pada permukaan tersebut terdapat debu atau tidak. (lihat Al-Wajiz)

Tata Cara Tayammum

1. Niat dalam hati (HR. Bukhari dan Muslim)


2. Membaca bismillah (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad dan lainnya).
3. Tepukkan kedua tangan kalian ke tanah yang suci (atau semua jenis belahan bumi) sekali
Syaikh al-Bani mengatakan bahwa pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya
disebutkan secara ringkas bahwa tayammum adalah satu tepukan debu untuk wajah dan
kedua telapak tangan.

Tiuplah debu yang ada padanya atau dikibaskan agar debunya berjatuhan. Hal ini
dilakukan jika ternyata banyak debu yang menempel di kedua tangan sebagaimana
difatwakan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.

4. Usapkan pada wajah sekali. (lihat artikel wudhu untuk melihat batasan wajah). Kemudian
usapkan kedua telapak tangan yang satu dengan telapak tangan lain secara bergantian
mulai dari ujung-ujung jari hingga pergelangan tangan. (Poin 3 – 6, HR. Bukhari dan
Muslim)

Setelah Mendapatkan Air


Seseorang yang telah mendapatkan air dan tidak terhalang dari menggunakannya, tidak
diperbolehkan melakukan tayammum. Namun bila sebelum menemukan air tersebut, ia
melakukan tayammum dan shalat dengannya, maka ia tidak perlu mengulangi shalat yang telah
dilakukannya meskipun waktu shalat tersebut masih ada. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang
diceritakan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Pernah ada dua orang bepergian bersama. Ketika dalam perjalanan, datanglah waktu shalat,
namun mereka tidak mendapatkan air. Mereka pun tayammum dengan tanah yang suci, lalu
shalat. Setelah selesai shalat, mereka mendapatkan air, sedangkan waktu shalat masih ada. Salah
seorang dari mereka berwudhu lalu mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak
mengulangi shalatnya. Setelah pulang, mereka datang dan menceritakan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kejadian yang mereka alami. Rasulullah berkata kepada yang tidak
mengulangi shalatnya, ‘Kamu telah mengikuti sunnah dan shalat yang kamu lakukan telah
cukup bagimu.’ Sedangkan kepada yang mengulangi wudhu dan shalatnya beliau berkata,
‘Kamu mendapatkan dua pahala.’” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, dishahihkan oleh syaikh al-
Albani)

Syaikh Ibnu Baz menjelaskan maksud dari hadits ini adalah, orang yang tidak mengulangi
shalatnya telah melakukan suatu yang benar karena telah mencukupkan dengan kemampuan
yang ada (ketika tidak ada air). Adapun orang yang mengulangi shalatnya melakukan ijtihad.
Dan maksud perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mendapat dua pahala adalah
pahala dari shalatnya yang pertama dan yang kedua adalah dari ijtihadnya untuk mengulang
shalatnya yang ia maksudkan untuk mengikuti sunnah Nabi.

Demikian tata cara tayammum yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Maraji’:
al-Wajiz, Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka As-Sunnah, cetakan kedua 2006
Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun VI Dzul Qo’dah 1427/Desember 2006 (63)
Ringkasan Shahih Bukhari (terj), tahkik syaikh Nashiruddin al-Albani, Pustaka Azzam, cetakan
pertama 2002
Thaharah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tuntunan Bersuci Lengkap, Sa’id bin ‘Ali bin
Wahf al-Qahthani, Media Hidayah

***
Hukum-Hukum Seputar Tayammum

Definisi Tayammum:
Tayammum adalah keinginan/kehendak untuk mengusap wajah dan kedua tangan dalam bentuk
yang khusus dengan niat pembolehan –mengerjakan- shalat dan semisalnya. Ibnu as-Sukait
mengatakan, “Firman Allah ta’ala, “Dan kalian tidak mendapatkan air, maka tayammum-lah
kalian dengan tanah yang baik.” Yaitu menghendaki –pemakaian- tanah. Lalu pemakaian mereka
telah meluas hingga kata tayammum diinterpretasikan sebagai mengusap wajah dan kedua
tangan dengan tanah.” Demikian yang dikutip oleh al-Hafizh di dalam Fathul Bari.

Dalil-Dalil disyariatkannya Tayammum:


Adapun dalil pensyariatan tayammum didalam al-Qur`an, firman Allah Ta’ala, “Dan jikalau
kalian dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan atau seseorang diantara kalian baru saja
buang hajat atau menggauli wanita, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka kalian
lakukanlah tayammum dengan tanah yang baik. Usaplah wajah kalian dan tangan kalian dari
tanah tersebut.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dari sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 347) dan Muslim (1/280) dari
Ammar bin Yasir, beliau mengatakan,  “Rasulullah mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu
saya junub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling sebagaimana tunggangan
berguling, kemudian saya menjumpai Nabi   dan menceritakan kepada beliau hal itu. Beliau
bersabda, “Cukuplah engkau melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini.” Lalu beliau
memukulkan kedua tangan beliau ke tanah dengan sekali tepukan kemudian membasuhkan
tangan  kiri ke tangan kanan dan dan kedua punggung tangan beliau dan wajah beliau.”
Demikian pula, umat Islam telah sepakat bahwa tayammum disyariatkan hanya pada wajah dan
kedua telapak tangan bagi seseorang yang berhadats, baik hadats besar maupun kecil. Baik
tayammum tersebut mewakili seluruh anggota thaharahnya ataukah sebagiannya saja.

Siapakah yang diperbolehkan melakukan Tayammum?


1. Seorang yang junub lagi musafir dan tidak mendapatkan air.
Hal ini berdasarkan keumuman ayat tayammum dan juga ditunjukkan oleh hadits Ammar bin
Yasir yang baru saja berlalu.
2. Bagi seorang junub apabila khawatir udara dingin.
Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala diatas. Dan juga berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya dari hadits Amru bin al-’Ash, bahwa ketika beliau
diutus pada perang Dzaat as-Salaasil, beliau berkata, “Hingga saya ihtilam (mimpi basah) pada
malam yang sangat dingin. Dan saya khawatir jikalau saya mandi maka saya akan mati. Maka
saya pun -hanya- bertayammum kemudian mengimami para sahabatku pada shalat subuh. Dan
ketika kami tiba kembali menemui Rasulullah, mereka menceritakan hal itu kepada beliau. Dan
beliau bersabda,  “Wahai Amru, engkau telah mengerjakan shalat mengimami sahabatmu
sementara engkau dalam keadaan junub?”Saya berkata,  “Saya teringat dengan firman Allah
Ta,ala, “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah sangatlah
penyayang bagi kalian.” Maka saya melakukan tayammum kemudian mengerjakan shalat. 
Rasulullah    kemudian tertawa dan tidak mengatakan sesuatu.
(HR. Ahmad didalam al-Musnad 4/203, Abu Dawud no. 334-335, al-Hakim 1/177)
Hadits ini dijadikan dasar oleh Malik, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Ibnul-Mundzir bahwa
seseorang yang melakukan tayammum karena udara yang sangat dingin, tidak diharuskan untuk
mengulangi shalat. Karena Nabi   tidaklah menyuruh beliau untuk mengulanginya. Seandainya
wajib, niscaya beliau akan menyuruh mengulangi shalat.
Ibnu Raslaan mengatakan, “Tayammum karena takut udara dingin tidak diperbolehkan bagi
seseorang yang memungkinkan untuk memanaskan air atau dapat mempergunakan air dengan
cara yang tidak menimbulkan mudharat baginya semisal membasuh anggota wudhu` kemudian
menutupinya. Setiap kali selesai membasuh anggota wudhu` dia lalu menutup dan
menghalanginya dari udara dingin, maka hal itu –wudhu`- suatu keharusan baginya. Jika dia
tidak mampu dia diperbolehkan tayammum dan mengerjakan shalat pada pendapat sebagian
besar ulama.”
Dan inilah pendapat yang shahih sesuai dengan keterangan dalil diatas.
3. Seorang yang dalam keadaan sakit tidak mampu mempergunakan air.
Sakit/penyakit terbagi atas tiga bagian:
Pertama: Penyakit yang ringan dan tidak dikhawatirkan akan mendatangkan bahaya, tidak akan
memperlambat kesembuhannya, tidak menambah rasa sakit atau suatu yang buruk jika orang
tersebut mempergunakan air. Semisal penyakit pusing, sakit gigi dan semisalnya. Penyakit/sakit
semacam ini tidak diperbolehkan tayammum baginya menurut pendapat sebagian besar ulama.
Kedua: Sakit/penyakit yang dengan penggunaan air akan dikhawatirkan mendatangkan
kebinasaan pada dirinya, anggota tubuhnya, mendatangkan penyakit yang membahayakan
jiwanya.
Ketiga: Penyakit/sakit yang dengan penggunaan air akan memperlambat kesembuhannya atau
menambah parah sakitnya. Pada dua keadaan pada sakit/penyakit ini diperbolehkan untuk
tayammum dan tidak perlu mengulangi shalat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah,
Malik, Ahmad, Dawud dan sebagian besar ulama. Berdasarkan keumuman ayat tayammum di
atas dan juga berdasarkan hadits Amru bin al-’Ash sebelumnya.
Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala di atas,
“Jika kalian dalam keadaan sakit.” Beliau berkata, “Yaitu seseorang yang mendapatkan luka
ketika fi sabilillah, atau borok, atau penyakit cacar air, lalu dia junub dan takut jika dia mati
maka dia akan meninggal dunia, dia dapat tayammum dengan tanah yang baik.” Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi.
Pendapat ini adalah pendapat Mujahid, Ikrimah, Thawus, Qatadah, hammad bin Abu Sulaiman,
Ibrahim, Malik, asy-Syafi’i, ashhaab ar-Ra`yi, Ahmad, Ishaq dan merupakan pendapat yang
dipilih oleh Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani dan asy-Syaikh Ibnul
Utsaimin. Dan inilah pendapat yang shahih.
4. Musafir yang memiliki sedikit air dan khawatir kehausan dalam perjalanannya.
Jika seorang musafir khawatir kehausan dan dia membawa air yang hanya mencukupi untuk
dipergunakan minum, maka musafir tersebut menyimpan airnya untuk dipergunakan minum dan
dia mencukupkan dengan tayammum di setiap shalatnya.
Ibnul Mundzir mengutip bahwa ulama sepakat dalam hal ini. Dan pendapat tersebut telah
diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, al-Hasan, Mujahid,Atha`, Thawus, Qatadah,
adh-Dhahhak, ats-Tsauri, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ashhabur-Ra`yi.
5. Seorang junub lagi musafir yang tidak mendapatkan air kecuali yang hanya cukup
dipergunakan untuk berwudhu`.
Adapun jikalau seseorang dalam keadaan safar/bepergian dan unub sementara dia tidak memiliki
air selain kadar yang memungkinkan untuk berwudhu`, imam Ahmad berpendapat bahwa dia
membasuh kemaluannya dengan air tersebut serta bagian yang terkena janabah. Selanjutnya dia
melakukan tayammum dengan tanah yang baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
ta’ala.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Atha`, al-Hasan, az-Zuhri, Hammad, Malik dan Abdul
Azis bin Abu Salamah. Dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.

Tanah yang dipergunakan untuk Tayammum


Allah Ta’ala berfirman, “Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian
dengan tanah yang baik.”
Dalam hadits Abu Dzar, Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Tanah yang baik adalah
wadhu` seorang muslim walau dia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Apabila dia
telah mendapatkan air maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan mengusap kulitnya,
karena hal itu lebih baik.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh asy-Syaikh
al-Albani di dalam al-Irwa` no. 153)

Niat pada Tayammum:


Telah shahih diriwayatkan dari hadits Umar bin al-Khaththab dari Nabi, bahwa beliau  
bersabda,  “Sesungguhnya tiap amalan berdasarkan pada niatnya.” Muttafaq a’laihi.

Tata Cara Tayammum:


Adapun tata cara tayammum, adalah sebagai berikut:
1. Membaca Basmalah.
Sebagaimana halnya dalam wudhu`. Dikarenakan tayammum adalah pengganti thaharah wudhu`,
dan pengganti menyadur hukum yang digantikannya.
2. Menepukkan kedua telapak tangan ke tanah dengan sekali tepukan.
Berdasarkan hadits Ammar bin Yasir di atas. Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Bahwa sebagian
besar atsar-atsar yang diriwayatkan dari Ammar menyebutkan sekali tepukan. Adapun atsar yang
diriwayatkan dari beliau yang menyebutkan dua kali tepukan maka kesemuanya adalah
mudhtharib (goncang).”
Dan hadits Abdullah bin Umar secara marfu’, “Tayammum dengan dua kali tepukan, sekali
untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan hingga bagian siku.” Diriwayatkan oleh ad-
Daraquthni, al-Hakim dan al-Baihaqi, namun hadits ini sangat lemah, pada sanadnya terdapat Ali
bin Zhabyaan, dia perawi yang matruk.
Demikian juga hadits Ibnu Umar lainnya yang menyebutkan tiga kali tepukan pada tayammum
adalah hadits yang sangat lemah. Wallahu a’lam.
3.  Meniup kedua telapak tangan sebelum membasuhkannya ke anggota tayammum.
Berdasarkan hadits Ammar bin Yasir, dalam salah satu riwayatnya pada Shahih al-Bukhari,
dimana disebutkan,  “Lalu Nabi menepukkan kedua telapak tangan beliau pada tanah kemudian
meniupnya, lalu mengusapkan keduanya pada wajah dan kedua telapak tangan beliau.”  (Shahih
al-Bukhari no. 338 dan juga no. 339)
4. Mengusap wajah dan kedua tangan hingga pergelangan.
Berdasarkan ayat tayammum dan juga berdasarkan hadits Ammar bin Yasir di atas.
Mencukupkan tayammum pada wajah dan kedua tangan hingga pergelangan merupakan
pendapat Atha`, Sa’id bin al-Musayyab, an-Nakha’i, Makhul, al-Auza’i, Ahmad, Ishaq dan
merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir dan juga sebagian besar ulama hadits.
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan adanya mengusap tangan hingga ke bagian siku, tidak
satupun hadits tersebut yang shahih. Bahkan sebagian besarnya adalah hadits-hadits yang sangat
lemah. Seperti disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr didalam kitab beliau at-Tamhid dan juga asy-
Syaukani didalam Nail al-Authar.
5. Tertib dalam tayammum, yaitu dimulai dengan mengusap wajah lalu kedua tangan.
Berdasarkan konteks firman Allah Ta’ala, “Basuhlah wajah dan tangan-tangan kalian.” (QS. al-
Maidah: 6)
6. Dikerjakan secara beriringan (al-muwalaah)

Rujukan: al-Umm 1/41-44, al-Majmu’ 2/238 dan selanjutnya, Fathul Bari 1/559-593, al-Mughni
1/318-368, al-Muhalla 1/no. 224-253, at-Tamhid 2/237 dan selanjutnya, Bidayah al-Mujtahid
2/3-50 , Badai’ ash-Shana’i 1/178-191, al-Isyraf 1/255-, al-Ausath 2/11-73, Masaa`il Abdullah
bin al-Imam Ahmad 36-39, Kasysyaf al-Qina` 1/237-254, al-Uddah hal. 39-42, Subul as-Salam
1/204-217, as-Sail al-Jarrar 1/308-334, Nail al-Authar 2/410-443, asy-Syarh al-Mumti` 1/373-
413.

[Diringkas dari tulisan Ustadz. Abu Zakariya Rizki Al-Atsary]

You might also like