You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terdapat berbagai macam teori etika yang berkembang dan tampak
membingungkan. Padahal, sifat teori yang makin sederhana dan makin
mengerucut menuju suatu teori tunggal yang mampu menjelaskan suatu
gejala secara komprehensif, justru makin menunjukkan kemapanan disiplin
ilmu yang bersangkutan. Sehingga pada materi sebelumnya telah dijelaskan
berbagai teori etika yang berkembang. Yaitu egoisme, utilitarisme,
deontology, teori hak, teori keutamaan (virtue theory), teori etika teonom.
Untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai teori etika dan pemikiran
moral yang terus berkembang, akan dijelaskan esensi dari beberapa
pemikiran moral yang berpengaruh yang muncul pada abad ke-20 sebagai
tambahan atas beberapa paham/teori yang telah diuraikan sebelumnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 George Edward Moore: Arti Kata Baik


George mempertanyakan apa arti kata “baik”. Menurut George kata baik
adalah kata kunci moralitas. Oleh karena itu cukup menghearnkan bahwa etika
tidak banyak bicara tentang kata “baik”. Seakan-akan hal itu sudah jelas
dengan sendirinya.
Kata “baik” merupakan data dasar yang tidak dapat diereduksikan kepada
sesuatu yang lebih mendasar lagi. “baik” pun merupakan sifat primer, tidak
terdiri atas bagian-bagian lagi, dan karena itu tidak dapat dianalisa. Kalau
diperiksa dengan teliti apa yang dimiliki bersama oleh segala benda, tindakan
dan pengertian yang baik, kitatetap tidak akan mengetahui apa yang dimaksud
dengan “baik. Arti kata “baik” diketahui secara intuitif.
Penegasan Moore bahwa “baik” tidak dapat digantikan oleh kata-kata lain
mempunyai makna yang sangat penting. Ternyata segala usaha untuk
mereduksikan moralitas kepada realitas bukan moral, dan itu berarti, untuk
menghilangkannya, gagal. Menurut Moore, dalam arti sebenarnya kita bicara
tentang definisi apabila pelbagai unsure kalau diambil bersama merupakan
“sesuatu”, jadi apabila sebuah kemajemukan dalam kebersamaan merupakan
sebuah objek, maka yang dapat didefinisikan hanya sesuatu yang majemuk,
yang teriri atas bagian-bagian.

2.2 Max Scheler: Tatanan Nilai


Scheller sebenarnya membantah anggapan teori imperative category
Immanuel Kant yang menyatakan bahwa hakikat moralitas terdiri atas
kehendak untuk memenuhi kewajiban karena kewajiban itu sendiri. Kewajiban
bukanlah unsure primer, melainkan mengikuti apa yang bernilai. Manusia
wajib memenuhi sesuatu untuk mencapai sesuatu yang baik, dan yang baik itu
adalah nilai. Jadi, inti dari tindakan moral adalah tujuan merealisasikan nilai-
nilai dan bukan asal memenuhi kewajiban saja.

2
Nilai-nilai bersifat material dan apriori. Kedua istilah ini -material dan
formal- sering dipakai dalam konteks ilmu hukum. Bersifat apriori artinya
kebernilaian suatu nilai tersebut mendahului segala pengalaman. Misalnya,
untuk mengetahui suatu makanan enak atau tidak, memang harus dicoba dan
diperoleh melalui pengalaman memakan langsung makanan tersebut. Akan
tetapi, jika sesuatu yang enak itu merupakan sesuatu yang sudah positif/pasti,
maka nilai tersebut dikatakan telah diketahui lebih dahulu tanpa dicoba
(apriori).
Menurut Scheller, ada empat gugus nilai yang masing-masing mandiri dan
berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu: (1) nilai-nilai sekitar enak atau
tidak enak. (2) nilai-nilai vital. Dimana yang paling utama adalah nilai “yang
luhur” dan “yang hina” dan dimana juga termasuk “keberanian” dan “sifat
takut-takutan”, perasaan “sehat” dan “tidak enak badan”, dan sebagainya. (3)
nilai-nilai rohani murni. (4) nilai-nilai sekitar roh kudus yang memiliki ciri
khas bahwa mereka tidak mempunyai acuan apa pun pada perasaan fisik di
tubuh kita.

2.3 Alfred Jules Ayer: Teori Etika Emotif Murni


Teks Ayer dibagi dalam lima bagian:
a) Ia menentukan tugas etika
Ada empat bentuk penelitian tentang moralitas. Ayer ingin membuktikan
bahwa penelitian tentang keabsahan penilaian moral – itulah pekerjaan etika
normative yang secara tradisional dianggap sebagai bagian terpenting etika
– salah kaprah. Etika normative tidak mungkin. Hanya tinggal satu bidang
penelitian etika yang sah, penelitian ke dalam makna istilah dan logika
kalimat moral
b) Ia menolak dua teori etika yang bersaing
Yang pertama diselidiki Ayer adalah pendapat naturalism bahwa istilah-
istilah moral dapat dikembalikan ke istilah-istilah bukan moral. Menurut
Ayer anggapan ini tidak sesuai dengan apa yangbiasanya dimaksud orang
dengan istilah-istilah moral. Dengan memakai pola argumentasi yang mirip
dengan argument “pertanyaan terbuka” Moore. Ayer memperlihatkan

3
bahwa orang dapat saja menganggap sesuatu yang disetujuinya atau yang
enak sebagai buruk. Selanjutnya Ayer menolak pandangan intuisionisme
bahwa kebenaran pernyataan moral diketahui secara intuitif. Ayer
berargumentasi bahwa sebuah intuisi tidak dapat dibenarkan secara objektif,
tambahan pula, orang sering mempunyai intuisi-intuisi yang saling
bertentangan.
c) Ia memaparkan emotivisme, teorinya sendiri
Inti teori Ayer adalah penolakan pengandaian itu. Menurut Ayer oenilaian
moral hanya pura-pura sama dengan pernyataan dan sebenarnya tidak
menyatakan sesuatu apa pun. Kata-kata moral tidak mempunyai makna,
melainkan bersifat “emotif” (dari emotion, perasaan), artinya hanya
mengungkapkan suatu perasaan. Maka penilaian moral tidak lebih dari
ungkapan perasaan orang terhadap suatu kejadian.
d) Ia membedakan emotivismenya itu dari pandangan-pandangan yang mirip
Kemudian Ayer menanggapi teori etika yang menyatakan bahwa penilaian
moral juga menyatakan sesuatu, yaitu tentang perasaan pembicara; karena
itu dapat saja dibenarkan atau dibantah. Namun, Ayer menolak pendapat
yang tampaknya mirip dengan pendapatnya sendiri itu. Mengungkapkan
sebuah perasaan (teori Ayer) tidak sama dengan membuat pernyataan
tentang perasaan itu.
e) Ia menaggapi sangkalan paling utama terhadap emotivisme, yaitu bahwa
orang sering memberikan penilaian moral, padahal menurut emotivisme
tidak ada penilaian moral.
Secara konsekuen Ayer mempertahankan bahwa orang salah paham apabila
mereka mengira bahwa mereka berdebat tentang hal baik dan buruk atau
“dibenarkan atau tidak”. Sebenarnya mereka bertengkar tentang fakta-fakta
yang berkaitan dan bukan tentang nilainya. Maka, apabila tentang semua
fakta dalam sebuah kasus sudah dicapai kesamaan pendapat dan tetap masih
ada perbedaan dalam penilaian, akan kelihatan bahwa tidak
mungkinmengajukan arugumen untuk mendukung salah satu dari dua
“penilaian” itu. Ayer menarik kesimpulan bahwa tugas filsafat moral
terbatas pada pembuktian bahwa konsep-konsep moral bukan konsep

4
sungguhan dank arena itu sebuah ilmu tentang moralitas yang benar tidak
mungkin. Seluruh etika normative dengan demikian kehilangan dasarnya.
Etika hanya sah sebagai meta-etika.

2.4 Jean-Paul Sartre: Otentisitas


Dua teks berikut menyajikan pandangan Sartre tentang dua dimensi yang
sentral bagi moralitas, yaitu pandangan tentang orang lain dan pandangan
tentang tanggungjawab. Dua masalah ini sentral karena sebagian besar
moralitas menyangkut sikap yang seharusnya kita ambil terhadap orang lain.
Selain itu, sikap itu pada hakikatnya berwujud tanggungjawab.
Teks pertama mengatakan, Satre bertolak dari dua macam pertemuan
dengan oranglain yang sering terjadi: kita melihat seseorang, dan ada orang
melihat kita. Sartre memperlihatkan bahwa orang lain pada hakikatnya muncul
sebagai saingan yang mengancam, yang dalam bahasa Sartre, “mengobjekkan”
kita. Begitu ada orang muncul, ia menjadi pusat perhatian saya dan semua
benda yang sebelumnya beras “di alam semesta saya” seakan-akan berfokus
padanya.
Sedangkan teks kedua menjelaskan hakekat eksistensialisme dan
membelanya terhadap pelbagai salah paham, yaitu Eksistensialisme adalah
humanisme). Menurut Sartre, setiap orang sepenuhny bertanggungjawab atas
dirinya sendiri, dalam tanggungjawab itu ia juga bertanggungjawab atas
seluruh umat manusia, dan tidak ada nilai-nilai yang dapat menjadi acuan
dalam bertanggungjawab itu. Dengan memilik apa yang mau kita lakukan, kita
sendiri menciptakan nilai-nilai.

2.5 Emmanuel Levinas: Panggilan Orang Lain


Etika Levinas amat berbeda dari etika-etika kebanyakan filosof lain.
Levinas tidak mempertanyakan prinsip-prinsip moral, cara mengatur kelakuan
manusia atau bahasa etika. Etikanya biasa disebut etika fundamental: Ia
mencoba menunjukan bahwa manusia dalam segala penghayatan dan sikap-
sikapnya didorong oleh sebuah impuls etis, oleh tanggung jawab terhadap
sesama. Tanggung jawab yang biasa disebut primordial itu membebani kita

5
setiap kali kita berhadapan dengan orang lain. Maka bagi Levinas kenyataan
paling mendasar adalah peristiwa yang terjadi setiap hari: Saya bertemu dengan
seseorang. Keterikatan dalam tanggung jawab total terhadap sesame itu adalah
data paling pertama dalam segala orientasi kita.

2.6 Joseph Fletcher: Etika Situasi


Etika situasi menolak adanya norma-norma moral umum karena kewajiban
moral menurut mereka selalu tergantung dari situasi konkret. Jadi apa yang
wajib dilakukan dalam situasi tertentu, menurut etika situasi tidak pernah dapat
begitu saja diketahui dari sebuah norma atau hokum moral. Sesuatu yang
dalam situasi yang sama baik dan tepat, dalam situasi lain bisa jelek dan salah.
Fletcher menegaskan bahwa etika situasi hanya mengakui satu moral, yaitu
cinta kasih. Tindakan apa pun adalah benar apabila merupakan ungkapan cinta
kasih, dan tindakan apa pun secara moral salah apabila bertentangan dengan
cinta kasih. Semua prinsip motal lain, begitu pula pandangan moral tradisional,
tidak lebih daripada petunjuk yang pantas diperhatikan dalam
mempertimbangkan, akan tetapi tidak pernah langsung mengikat. Sikap moral
bagi etika situasi adalah tanggung jawab dalam cinta kasih.
Etika situasi juga merupakan kritik keras terhadap klaim pelbagai ideology
dan kode moral atas ketaatan. Tak ada teori atau ajaran berhak memerintahkan
sesuatu yang bertentangn dengan cinta kasih, atau menghalang-halangi apa
yang dituntut oleh cinta kasih.
Dalam teks terakhirnya, etika ini menolak pertanyaan-pertanyaan moral
umum. Tak ada gunanya bertanya apakah, misalnya, orang boleh bohong,
karena jawabannya selalu tergantung dari situasi di dalamnya semua orang
yang bersangkutan berada. Tetapi ditegaskan juga bahwa etika situasi tidak
berarti bahwa kewajiban untuk bertindak moral sendiri juga tidak mutlak. Apa
yang wajib kita lakukan memang selalu relative terhadap situasi, akan tetapi
apabila kita sudah memutuskan apa yang menjadi tanggung jawab kita dalam
situasi tertentu, kita wajib mutlak untuk bertindak menurut apa yang kita sadari
sebagai kewajiban itu.

6
2.7 Iris Murdoch: Pandangan Penuh Kasih
Etika, atau filsafat moral, mempunyai tujuan untuk menerangkan hakikat
kebaikan dan kejahatan. Hal ini penting sebab, entah kita senang atau tidak,
dunia manusia senantiasa dikuasai oleh gagasan-gagasan mengenai yang benar
dan yang salah, yang baik dan yang jahat. Percakapan kita sehari-hari
kebanyakan berisi penilaian.
Filsafat moral penting karena alasan lebih lanjut, yaitu bahwa tindakan itu
penting dan cara orang bertindak dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai apa
yang baik dan yang jahat. Ada anggapan bahwa teori-teori etis tidak
mempengaruhi tabiat orang. Teori-teori berbeda membuat orang bertindak
berbeda pula.

2.8 Byrrhus Frederic Skinner: Pengelolaan Kelakuan


Skinner menyatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu
manusia tidak memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika, tetapi
sebuah teknologi kelakuan. Ia mengacu pada ilmu kelakuan sederhana yang
dikembangkan oleh Pavlov. Ide dasar Skinner adalah menemukan
teknologi/cara untuk mengubah perilaku. Apabila kita dapat merekayasa
kondisi-kondisi kehidupan seseorang, maka kita dapat merekayasa
kelakuannya. Menurut Skinner, filsafat dan ilmu-ilmu manusia lainnya hanya
memfokuskan perhatiannya pada (inner state) keadaan batin manusia, hal ini
menyebabkan pengaruh lingkungan terhadap kelakuan manusia tidak
diperhatikan. Inner state saja tidak cukup untuk mengubah tingkah laku. Perlu
ada rekayasa atas kondisi-kondisi kehidupan yang berasal dari luar diri
manusia itu untuk mengubah kelakuannya.
Skinner bertolak dari penilaian bahwa umat manusia harus mengubah
kelakuannya kalau tidak mau hancur. Namun, ternyata ilmu tentang kelakuan
manusia, berbeda dari ilmu fisika dan ilmu hayat, hamper tidak maju sedikit
pun dalam dua ribu tahun terakhir. Sebabnya adalah bahwa manusia belum
melepaskan bahasa tentang “manusia batin”.

7
Mengapa filasafat dan ilmu-ilmu manusia lain begitu gandrung dengan
“orang batin” itu? Pertama, jawab Skinner, karena kita sering mempunyai
kesan bahwa tindakan kita sendiri memang ditentukan oleh kita secara otonom.
Kedua, karena sulit ditemukan penjelasam lain. Bertolak dari kesulitan ini
Skinner menjelaskan teorinya tentang fungsi lingkungan. Bahwa lingkungan
tidak diperhatikan adalah karena cara bagaimana lingkungan menentukan
kelakuan kita tidak dimengerti. Model “rangsangan-jawaban” dari
behaviorisme klasik tidak memadai. Lingkungan tidak menarik dan tidak
mendorong, melainkan menyeleksi. Organisme yang memberi reaksi yang
salah terhadap lingkungan akan tersingkir. Lingkungan menentukan kelakuan
orgasme dengan memperkuatnya: kelakuan yang sesuai dengan lingkungan itu
diperkuat secara positif, artinya, orgasme akan mengulanginya, yang tidak
sesuai diperkuat secara negative dalam arti organism tidak cepat akan
mengulanginya lagi.
Maka cara untuk memperbaiki kelakuan manusia adalah dengan
merekayasa lingkungannya. Suatu perubahan lingkungan akan menghasilkan
perubahan kelakuan dengan cepat. Namun usaha ini hanya akan dilakukan
dengan sepenuh tenaga apabila kita dengan berani melepaskan dua kebanggaan
tradisional manusia: Keyakinannya akan kebebasannay dan kebanggaanya atas
perbuatan bermoral.

2.9 Hans Jonas: Prinsip Tanggungjawab


Dalam prinsip tanggungjawab, masalah yang ingin ditanggulangi oleh
Jonas bukan lain kemungkinan bahwa manusia, karena gaya hidupnya,
mengancam kelanjutan umat manusia di masa depan, bahkan barangkali
kelanjutan kehidupan, di bumi ini. manusia rupa-rupanya telah masuk di jalan
buntu: untuk mengatasi masalah-masalah kehidupannya, manusia
mengembangkan sebuah teknologi yang karena dinamikanya sendiri
mengancam akan mengahncurkan kondisi-kondisi alami daripadanya ia hidup.
Dengan kata lain: Teknologi yang dikembangkan untuk menguasai alam, tidak
lagi dapat dikuasai oleh manusia. Etika macam itu gagal menjawab situasi,
dimana perbuatan manusia secara langsung memanjukan kehidupannya, tetapi

8
mengancam menghancurkan kondisi-kondisi kehidupan generasi-generasi jauh
ke depan yang sekarang belum ada dank arena itu juga belum mempunya klaim
atas perhatian kita.
Dalam situasi ini perlu sebuah etika baru. Etika baru yang dirancang Jonas
berfokus pada tanggungjawab: Intinya adalah kewajiban manusia untuk
bertanggungjawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di
masa depan. Jonas bertanya, bagaimana membangun motivasi agar umat
manusia bersedia mengadakan perubahan-perubahan dalam gaya hidup
sekarang atas keutuhan masa depan manusia itu? Kita harus berusaha sekuat
tenaga untuk membayangkan, dan dengan demikian menyadari, kengerian
kondisi-kondisi kehidupan manusia di masa mendatang yang merupakan akibat
gaya hidup kita sekarang.

2.10 Alasdair Maclntyre: Kegagalan Etika Proyek Pencerahan


Menurut Maclntyre usaha Pencerahan untuk memberikan suatu dasar
rasional kepada moralitas gagal karena Pencerahan, atas nama rasionalitas,
justru membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu
pandangan teleogis tentang manusia. Yang dimaksud Maclntyre adalah
pandangan dari Aristoteles sampai dengan Thomas Aquinas bahwa manusia
mempunyai sebuah (telos) hakiki dan bahwa manusia hidup untuk mencapai
tujuan hakiki manusia itu. Dengan membuang pengertian bahwa manusia
mempunyai suatu tujuan hakiki dasar untuk memperlihatkan mengapa manusia
harus mengikuti norma-norma moral tertentu justru hilang.
Maclntyre juga mengkritik “proyek Pencerahan” untuk meberikan dasar
rasional kepada etika. Macltyre mulai dengan menegaskan bahwa, meskipun
para filosof abad ke-18 dan ke-19 bersama-sama memiliki keyakinan-
keyakinan moral tertentu, namun mereka gagal untuk memberikan pendasaran
rasional yang meyakinkan. Usaha mereka untuk mendukung keyakinan-
keyakinan itu dengan menunjuk pada pelbagai segi dalam kodrat manusia,
gagal. Mengapa? Karena keyakinan-keyakinan moral itu di satu pihak
merupakan sisa-sisa keyakinan moral pra-Pencerahan; tetapi di lain pihak,
mereka membongkar cara pandang manusia yang menjadi dasar rasional bagi

9
etika pra-Pencerahan itu. Seluruh filsafat pra-modern membedakan dua
keadaan manusia. Yang pertama adalah manusia factual, “manusia-seadanya”.
Yang kedua adalah “manusia-yang mungkin-seandainya-ia-merealisasikan-
kodrat-hakikinya”, “manusia utama”. Kehidupan seseorang memperoleh
maknanya sejauh ia maju dari keadaan pertama, keadaannya yang “seadanya”,
ke yang kedua, cita-cita “manusia utama”, jadi semakin ia merealisasikan
tujuan hakikinya. Paham kemanusiaan itu disebut teleogis karena
mengandaikan bahwa manusia secara hakiki mengarah ke sebuah tujuan.
Etika adalah ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia
mencapai dirinya tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia mencapai
dirinya secara utuh, agar ia dari keadaan “seadanya” yang masih belum
memadai beralih ke keadaannya yang “utuh-sempurna”. Pada abad pertengan
memang terjadi perkembangan: Norma-norma moral dipahami sebagai hokum
Ilahi, namun perkembangan ini tetap mempertahankan struktur tiga unsure tadi
dan dengan demikian etika tetap rasional.

2.11 Jurgen Habermas: Etika Diskursus


Seluruh pengembaraan intelektual Habermas dapat dimengerti sebagai
usaha untuk mengembalikan filsafat pada apa yang dianggapnya sebagai tugas
panggilannya: menjadi pamong rasionalitas di alam modernitas. Etika
diskursus dapat dimngerti dalam kerangka keprihatinan dasar Habermas ini.
menurut Habermas moralitas manusia modern tidak luput dari tuntutan yang
khas bagi modernitas: keyakinan-keyakinan moral harus dilegitimasikan secara
rasional. Pendasaran pada pandangan dunia dan agama-agama tradisional tidak
mencukupi lagi dalam budaya pasca-tradisional. Hanya norma-norma yang
dapat diperlihatkan berlaku universal berhak menuntut ketaatan.
Habermas menguraikan etika diskursusnya. “Etika Diskursus: Catatan-
catatan Tentang Sebuah Program Pendasaran”:
a) Habernas mulai dengan menangkis anggapan nonkognitivisme bahwa
penilaian moral sekadarhal perasaan dan bukan hal bnar-salah yang
memerlukan pertanggungjawaban rasional.

10
b) Habernas bertolak dari apa yang, sejak dari Kant. Moral dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional, yaitu bahwa hanya norma-norma
yang dapat diberlakukan secara universal boleh dianggap sah.
c) Menurut Habernas, Kant perlu dikoreksi. Apakah sebuah norma moral
berlaku universal? Keberlakuan universal harus berdasarkan kesepakatan
universal. Hal ini dirumuskan dalam prinsip penguniversalisasian ‘U’:
“Sebuah norma hanya boleh dianggap sah kalau implikasi-implikasinya
dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua yang bersangkutan.”
d) Bagaimana dapat dipastikan bahwa kesepakatan itu betul-betul ada?
Hanyalah norma-norma yang disetujui oleh semua yang bersangkutan
sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dianggap sah.

2.12 Richard Rorty: Ironi dan Solidaritas


Untuk memahami posisi etika Rorty, kita harus memperhatikan dua
pengandaian epistomologis pemikirannya: pertama, penolakan dua peUntuk
memahami posisi etika Rorty, kita harus memperhatikan dua pengandaian
epistomologis pemikirannya: pertama, penolakannya terhadap “filsafat
pendasaran”. Kedua, “the linguistic turn” yang diambilnya. Yang pertama,
Rorty menolak anggapanbahwa pengetahuan mencerminkan sebuah realitas
objektif. Maka percuma filsafat sejak Descartes mencari sebuah dasar objektif
untuk di atasnya mendirikan bangunan pengetahuan filosofis. Mengikuti
pragmatism William James, Rorty berpendapat bahwa fungsi pengetahuan
adalah membantu kita untuk memecahkan masalah-masalah yang kita hadapi.
Fungsi pengetahuan adalah semata-mata pragmatis.
Yang dimaksud dengan “balikan linguistic” adalah bahwa segala
pengetahuan dan pikiran manusia berwujud bahasa. Oleh karena itu, apa yang
kita ketahui tergantung dari bahasa yang kita gunakan. Hal itu
mengimplikasikan lagi dua hal. Pertama, bahwa keyakinan seseorang
tergantung dari “kosa kata akhir”. Kedua, karena kosa kata selalu merupakan
miliki salah satu komunitas, tak ada kosa kata akhir yang lebih benar daripada
kosa kata akhir kain. Karena itu, segenap keyakinan bersifat etnosentris,
termasuk keyakinan Rorty sendiri.

11
Yang sadar akan hal itu adalah manusia ironis. Lawannya “manusia ironis”
adalah “manusia metafisik”. Orang metafisik yakin bahwa ada kebenaran
objektif, dan filsafat bertugas memastikan kebenaran objectif itu. Manusia
ironis menyadari bahwa pandangan dunia dan keyakinanleyakinan mereka
tergantung dari kosa kata akhir yang mereka pakai, namun bahwa kosa kata
akhir itu terbentuk dalam sebuah proses sejarah yang kebetulan dan data juga
berubah. Manusia ironis sadar akan cirri kebetulan keyakinan-keyakinannya
bahkan yang paling mendalam, karena ia sadar akan contingency kosa kata
akhir yang dipakainya.
Berikut disajikan tiga teks. Yang pertama melawankan manusia ironis
terhadap manusia metafisik. Yang kedua menunjukkan kemungkinan bahwa
seseorang sekaligus bersikap “ironis” dan “liberal” dengan memisahkan bidang
privat, wilayah ironisme, dari bidang public, wilayah solidaritas. Dalam teks
terakhir Rorty memperlihatkan bahwa sikap solider muncul bukan karena kita
percaya pada sebuah teori filosofis, melainkan karena kita bersedia untuk
bersikap peka terhadap orang lain.

12
2.13 Studi Kasus
Pelanggaran etis di Manville Corporation (dahulu disebut Johns Manville),
sebuah produsen asbes, mencerminkan dinamika yang mempengaruhi perilaku
tidak bermoral dalam organisasi besar. Pada tahun 1940-an itu medis
departemen perusahaan mulai menerima informasi bahwa menghirup asbes
merupakan penyebab potensial dari penyakit paru-paru. Manajer Manville
ditekan oleh peneliti untuk menyembunyikan informasi dari karyawan, bahkan
akan sejauh menolak untuk memungkinkan mereka untuk melihat sinar-X
dada. Para staff medis perusahaan juga berpartisipasi dalam menutup-
nutupinya.
Setelah lebih dari 40 tahun rahasia ini menekan, Manville terungkap dan
dipaksa untuk mengubah lebih dari 80 persen dari kepemilikan sahamnya
kepada sebuah kepercayaan yang akan membayar manfaat kepada para
pekerja yang terkena dan keluarga mereka. Poin penting dari kasus ini adalah
bahwa banyak karyawan-kebanyakan laki-laki biasa dan wanita-berpartisipasi
dalam menutup-nutupi, dengan alasan, mulai dari loyalitas perusahaan untuk
takut kehilangan pekerjaan. Daripada melukai perusahaan atau kerusakan
mereka karir, eksekutif dan manajer memilih untuk tetap diam dan
menyembunyikan data.
Kejadian serupa terjadi di tahun 1980-an di EF Hutton & Company, broker
yang mengaku bersalah untuk lebih dari 2.000 jumlah surat dan penipuan
kawat. Perusahaan mencuri uang dari 400 bank dengan menggambar terhadap
dana yang tidak tertagih atau jumlah tidak ada. Ini akan mengembalikan uang
ke dalam rekening setelah itu menggunakannya-bunga bebas. Suka Manville's
cover-up, EF Hutton konspirasi melibatkan banyak manajer selama beberapa
bulan. Perusahaan mendorong manajer cabang untuk secara ilegal meminjam
dari akun, menunjukkan kepada mereka bahwa praktek bisnis yang cerdas itu
bukan pelanggaran hukum atau etika. Dalam beberapa kasus, EF Hutton
bahkan dihargai manajer untuk keterampilan mereka untuk memanfaatkan
dana. Para manajer kemungkinan besar dipengaruhi oleh persepsi bahwa
orang-orang lain melakukannya dan bahwa perusahaan akan melindungi
mereka dalam hal tidak mungkin mereka tertangkap. Pada akhirnya, beberapa

13
manajer dipecat dan / atau didakwa. EF Hutton setuju untuk membayar antara
$ 3 juta dan $ 11 juta tahun kerusakan, dan reputasinya dalam komunitas
keuangan rusak.
Sebuah dilema etis yang sedang berlangsung di dunia bisnis melibatkan
industri tembakau. Kritik terhadap perusahaan rokok berpendapat bahwa,
meskipun banyak bukti bahwa merokok merupakan bahaya kesehatan
bertanggung jawab atas kematian jutaan, produsen terus memproduksi dan
menjual barang mematikan. Produsen rokok counter bahwa produk mereka
mewujudkan warisan merokok yang dimulai beberapa abad. Mereka juga
berpendapat bahwa data yang menghubungkan merokok dengan kanker dan
penyakit lainnya yang kurang. Pembuat rokok terus untuk mengiklankan
produk mereka menggunakan positif, gambar memikat, dan mengecilkan
potensi resiko kesehatan dari merokok. Seperti dengan dilema etika bisnis yang
paling, rasionalisasi dan kurangnya memotong awan-jelas solusi masalah ini.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
TEORI ETIKA DAN PARADIGMA HAKIKAT MANUSIA
Setelah mengulas berbagai filosofi, konsep tentang hakikat alam semesta
dan hakikat manusia, serta setelah mengupas pokok-pokok pikiran dari berbagai
macam teori etika yang berkembang, maka dapat dirangkum beberapa hal sebagai
berikut:
1. Tampaknya sampai saat ini telah muncul beragam paham/etika, yang mana
masing-masing teori mempunyai pendukung dan penentang yang cukup
berpengaruh. Teori satu dipertentangkan dengan teori lainnya.
2. Munculnya beragam teori etika karena adanya perbedaan paradigm, pola
piker atau pemahaman tentang hakikat hidup sebagai manusia.
3. Hamper semua teori etika yang ada didasarkan atas paradigm tidak utuh
tentang hakikat manusia, artinya setiap teori hanya ditinjau dari proses
penalaran berdasarkan potongan-potongan terpisah dan terbatas dalam
melihat makna atau tujuan hidup manusia.
4. Semua teori yang seolah-olah saling bertentangan tersebut sebenarnya
tidaklah bertentangan. Kalau dilihat secara sepotong-sepotong memang
terkesan ada pertentangan antara teori satu dengan yang lain. Namun bila
dilihat dari suatu proses evolusi kesadaran diri, semua teori yang ada
menjelaskan tahapan-tahapan moralitas sejalan dengan pertumbuhan
tingkat kesadaran diri seseorang.
5. Teori yang tampak bagaikan potongan-potongan terpisah ini dapat
dipadukan menjadi satu teori tunggal berdasarkan paradigm hakikat
manusia secara utuh.

15
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. 2009. Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan Membangun


Manusia Seutuhnya. Jakarta:Salemba Empat
Magnis-Suseno, F. 2006. Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta:Kanisius

16

You might also like