You are on page 1of 9

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove

Kegiatan rehabilitasi mangrove di Kelurahan Kastela dilaksanakan oleh

Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate. Hasil wawancara diperoleh bahwa

kegiatan ini tidak diadakan sosialisai kepada masyarakat terlebih dahulu dan tidak

pernah dilakukan penyuluhan tentang arti pentingnya hutan mangrove dan kegiatan

rehabilitasi.

Jenis mangrove yang ditanam yaitu Rhizophora spp dengan jumlah bibit yang

ditanam 5.500 buah, yaitu buah yang dijadikan bibit berasal dari kawasan mangrove

Pulau Halmahera dan Pulau Moti. Buah yang dikumpulkan dengan cara menggoyang

pohon dan buah yang ikut terjatuh digunakan sebagai bibit tanpa ada seleksi terhadap

buah yang masak. Persemaian bibit dilakukan setelah bibit ditutupi dengan karung

selama 4 hari. Lokasi yang digunakan sebagai tempat persemaian bibit pada areal

yang tidak terendam saat air pasang dan dilakukan penyiraman. Persemaian ini

dilakukan selama 2 bulan. Dalam persemaian digunakan plastik (polybag). Proses

penanaman dilakukan setelah bibit berumur 2 bulan dalam persemaian. Penanaman

dilakukan langsung dengan bambu dan plastik dengan kedalaman 10-20 cm. Hal ini

dilakukan pada saat surut dengan jarak tanam 2 x 2 m. Tiap jenis di tanam dari arah

laut ke darat.

32
Berdasarkan tahapan-tahapan kegiatan rehabilitasi tersebut, dapat dikatakan

bahwa salah satu kegagalan kegiatan rehablitasi adalah pengelola program tidak

melibatkan secara langsung kapada masyarakat (mulai dari pembibitan, persemaian

dan pemeliharaan), bibi yang ditanam 3 bulan dan sempat mengeluarkan daun namun

hewan ternak memakannya, tidak adanya riset awal untuk kesesuaian jenis dan

parameter lingkungan, serta tidak ada Alat Penahan Ombak Sebagaimana Abubakar

(2006), menyatakan bahwa rehabilitasi hutan mangrove merupakan suatu kegiatan

yang sangat kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan ini sangat membutuhkan

sifat akomodatif (keterlibatan secara partisipatif) terhadap segenap pihak baik yang

berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Namun demikian, sifat

akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada

masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove diberikan porsi yang

lebih besar. Dengan demikian dalam rehabilitasi ini perlu dilibatkan masyarakat

dalam menyusun proses perencanaan rehabilitasi hutan mangrove.

Idris (2004) menyatakan bahwa upaya rehabilitasi harus melibatkan seluruh

lapisan masyarakat yang berhubungan dengan kawasan mangrove. Banyak program

rehabilitasi dan kegiatan pengelolaan yang kurang atau tidak berhasil dikarenakan

pelaksana program gagal melibatkan masyarakat sejak awal program.

Berdasarkan tiga stasiun yang diamati, pada stasiun satu, jenis yang sesuai

untuk ditanam adalah Sonneratia spp dan Aviccenia spp, karena jenis ini merupakan

jenis pioner dalam yang mampu hidup dan berkembang pada keadaan substrat yang

didominasi pasir dan bahkan pasir-berkerikil sekalipun. Kedua jenis ini memiliki

33
sistem perakaran yang mampu bertahan pada kondisi pantai terbuka dan berombak.

Seperti terlihat paga gambar 12.

A B

Gambar 12. Sistem perakaran A. Aviccenia dan B Sonneratia

Sedangkan pada stasiun dua dan tiga jenis tanaman yang sesuai berturut-turut

dari arah laut kedarat diantaranya adalah Sonneratia spp, Aviccenia spp, Rhizophora

spp, dan Bruguiera spp. Selain jenis Sonneratia spp dan Aviccenia spp jenis

rhizophora spp dan Bruguiera spp hanya mampu bertahan pada kondisi pantai yang

tenang serta pada kondisi substrat yang pasir-berlumpur dan pasir-berlempung.

Kedua jenis yaitu Rhizopora spp dan Bruguiera spp mempunyai sistem perkaran

yang tidak mampu bertahan pada konsisi pantai terbuka yang masih dipengaruhi oleh

arus pasang-surut dan gelombang besar. Namun sebelum jenis Rhizophora spp dan

Bruguiera spp ditaman sebaiknya ditanam terlebih dahulu Sonneratia spp,dan

Aviccenia spp sebagai pelindung tanaman berikutnya yaitu Rhizophora spp dan

Bruguiera spp. Sistem perakaran pada Rhizophora spp dan Bruguiera spp terlihat

pada gambar 13 berikut :

34
A. Rhizophora B. Bruguiera

Gambar 13. Sistem Perakaran (A) Rhizophora dan (B) B. Bruguiera

5.2. Parameter Lingkungan Rehabilitasi

5.2.1. Kualitas Air

Parameter kualitas air merupakan faktor ekologis lingkungan yang banyak

berpengaruh dalam pertumbuhan dan penyebaran vegetasi mangrove yaitu faktor

fisik kimia perairan, seperti suhu, salinitas dan pH air. Suhu air berkisar 27–290C

(Stasiun 1), 27 – 300C (stasiun 2), 28 – 320C (stasiun 3), sedangkan salinitas air 29–

320/00, (stasiun 1), 29–300/00 (stasiun 2), 30–320/00, (stasiun 3) dan pH air 6,0-6,10

(stasiun 1), 6,32-6,65 (stasiun 2) dan 6,85-6,78 (stasiun 3).

Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air tersebut, menunjukkan

bahwa lahan rehabilitasi masih memungkinkan untuk tumbuhnya mangrove.

Manurut Rauf (1999) bahwa mangrove tumbuh subur pada daerah tropik dengan

suhu diatas 200C, sedangkan suhu dibawah 40C dapat mematikan karena komunitas

mangrove tidak dapat mentoleransi suhu dingin. Sedangkan menurut Wahyu dan

Widyastuti (1988), bahwa salinitas perairan pada kisaran 5-25‰ sesuai untuk

35
pertumbuhan dan usaha penanaman mangrove dan pH air yang optimal untuk

konservasi pantai khsusunya pertumbuhan mangrove berkisar antara 5,0-7,5.

Budiman dan Suhardjono (1992) dalam Abubakar (2006) menyatakan bahwa

batas ambang toleransi tumbuhan mangrove diperkirakan pada salinitas sekitar 100/00

dan dapat tumbuh dengan baik pada salinitas sekitar 20 – 400/00. Lebih lanjut

dikatakan Tomlinson (1986) bahwa kemampuan tumbuhan mangrove untuk tumbuh

relatif besar pada tanah dengan kadar garam tinggi karena tumbuhan ini termasuk

dalam jenis halofita.

5.2.2. Kondisi Morfologi Lahan

5.2.3. Komposisi Sedimen Lahan Rehabilitasi

Selain kualitas air, parameter kualitas tanah merupakan faktor ekologis

lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan dan penyebaran vegetasi

mangrove seperti faktor fisik kimia tanah (tekstur tanah, pH tanah dan salinitas

tanah).

Hasil analisis tekstur tanah di peroleh stasiun 1 memiliki jenis tekstur berpasir

sedangkan stasiun 2 dan 3 adalah lempung berpasir. Berdasarkan tekstur yang

diperoleh dari masing-masing stasiun tersebut, maka stasiun 2 dan 3 sangat

berpotensi untuk pertumbuhan mangrove, sedangkan tekstur tanah berpasir kurang

berpotensi untuk penanaman mangrove, namun ada juga sebagian mangrove yang

dapat tumbuh seperti Sonneratia alba di lokasi penelitian tumbuh pada substrat

tersebut. Sebagaimana Wahyu dan Widyastuti (1998) menyatakan bahwa tekstur

36
tanah lempung sangat sesuai untuk penanaman mangrove. Lebih lanjut dikatakan

Chapman (1976), bahwa hutan mangrove hampir selalu tumbuh secara alami pada

pantai berlumpur yang terlindung merupakan media yang baik untuk perkembangan

dan pertumbuhan mangrove. Namun demikian, tipe sedimen lain seperti pasir,

gambut dan hamparan karang juga dapat dimanfaatkan beberapa jenis tumbuhan

pioner seperti Avicennia spp dan Sonneratia spp.

5.2.4. Salinitas Tanah dan pH Tanah

pH tanah yang diperoleh tiap stasiun berkisar antara 6,0-7,0 sedangkan

salinitas tanah dari hasil analisis laboratorium yaitu stasiun 1 (30/00), stasiun 2 (20/00)

dan stasiun 3 (40/00), (Lihat pada Bab III, 3.3.1.2. Substrat bagian b. Penentuan

salinitas tanah. (Hal. 17). Dari hasil yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa pH

tanah di lokasi penelitian dianggap sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Wahyu dan

Widyastuti (1998), menyatakan bahwa kriteria lahan yang berpotensi untuk

pertumbuhan mangrove yaitu 6,0-8,5.

Menurut Supriharyono (2002) salinitas tanah merupakan salah satu faktor

utama dalam penyebaran tumbuhan mangrove. Tinggi dan waktu penggenangan air

pasang yang cukup lama akan sangat menentukan salinitas tanah. Lebih lanjut

dikatakan bahwa Avicennia sp dan Lumnitzera racemosa dapat tahan pada salinitas

tanah di atas 900/00. Sonneratia sp. cenderung lebih suka pada salinitas tanah yang

normal namun ada juga yang hidup dengan salinitas tanah rendah (>100/00). Bila

dibandingkan dengan hasil salinitas tanah yang diperoleh ternyata lebih <100/00,

37
namun pada kenyataannya jenis Sonneratia alba masih dapat tumbuh di lokasi

penelitian.

5.3. Pasang-surut

Berdasarkan hasil pengukuran pasang surut dan hasil analisis pasang surut

oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL diperoleh tipe pasang surut termasuk tipe

campuran dominasi ganda (Mixed semi diurnal) (F = 0,50) dengan tinggi pasang

surut rata-rata 122 cm, ini ditandai terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam

sehari yang tingginya hampir sama (Ongkosan dan Suyarso, 1989). Menurut Noor

dkk (1999), pada zona ini terdapat api-api (Avicennia spp.), Prapat (Sonneratia alba)

dan ditepi sungai biasanya dikuasai oleh Rhizophora mucronata.

Ekosistem mangrove jalur hijau yang ingin diwujudkan; adalah jalur hijau

yang mampu berperan dalam kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan

hidup kawasan pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik

pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, kawasan anak

sungai yang bermuara langsung ke laut yang lebarnya sekurang-kurangnya 50 meter.

Dari hasil analisis parameter lingkungan baik tanah maupun air, ternyata

lokasi penelitiaan masih berpotensi untuk tumbuhnya mangrove, namun yang

menjadi faktor penyebab kegagalan tumbuhnya mangrove pada areal rehabilitasi

mangrove di Kelurahan Kastela adalah faktor teknis yaitu proses penanaman dengan

tidak mempertimbangkan kesesuaian bibit terhadap kondisi substrat. Benih yang

ditanam hanya berumur dua bulan dalam persemaian, buah yang dijadikan bibit tidak

38
semuanya. Teknik penanaman tidak menggunakan APO karena areal rehabilitasi

merupakan areal yang selalau terkena gelombang. Kegagalan ini juga disebabkan

oleh pengelola program tidak melibatkan langsung kepada masyarakat.

Banyak proyek rehabilitasi mangrove di Indonesia mengalami kegagalan

teknis yang disebabkan adanya kesalahan menilai bahwa lahan pesisir yang

terdegradasi yang dapat ditumbuhi oleh mangrove dapat dipulihkan hanya dengan

penanaman benih mangrove secara sederhana (Djamaluddin, 2002). Lebih lanjut

Idris (2004), menyatakan faktor-faktor yang penting diperhatikan dalam penanaman

antara lain tipe substrat, spesies setempat, tinggi pasang surut, sejarah penggunaan

lahan dan teknik yang digunakan dalam rehabilitasi. Lokasi penanaman mangrove

yang berombak besar harus menggunakan APO (alat penahan ombak) yang dipasang

pada bagian depan pantai kearah laut dari lokasi penaman (Bengen, 2003).

Berdasarkan sifat fisiologi tumbuhan mangrove terhadap kemampuan

mentoleransi faktor ekologis lingkungan tersebut, maka di lokasi penelitian

memungkinkan pertumbuhan untuk jenis Sonneratia sp dan Aviccenia spp pada pada

stasiun 1, pada stasiun 2 adalah jenis Sonneratia sp, Aviccenia spp dan Rhizophora

spp. Sedangkan pada stasiun 3 jenis yang sesuai adalah Sonneratia sp, Aviccenia

spp, Rhizophora spp dan Bruguiera spp.

Keputusan Presiden nomor 32 Tahun 1990 tentang : Pengelolaan Kawasan

Lindung tertuang dalam BAB IV. Pokok-pokok Kebijaksanaan Kawasan Lindung

yaitu dalam: Pasal 26: dijelaskan, Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan

bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan

bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai

39
pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya

dibelakangnya. Kemudian pada Pasal 27; menyebutkan Kriteria kawasan pantai

berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi

dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat. tunggang air

pasang purnama (m) (tidal range) (Budiman dan Suhardjono, 1992 dalam Abubakar,

2006). Berdasarkan Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia yang dikeluarkan oleh

Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL tahun 2007 untuk wilayah Provinsi Maluku Utara

maka lebar jalur hijau yang ideal adalah 317 meter. (Lampiran 4).

Untuk melindungi tanaman dari gangguan manusia dan hewan perusak

terndapat dilakukan dengan beberapa cara seperti : (1). Pendekatan intensif dan

pembuatan dan penegakan aturan : pertama sekali harus diketahui kepada siapa

penyuluhan harus dilakukan. Untuk itu perlu dii-dentifikasi orang-orang yang

memanfaatkan dan sering ke daerah pantai dan ke lokasi penanaman, serta bentuk

kegiatannya. Kepada mereka dilakukan pendekatan intensif dan diberi pengertian

tentang pentingnya penanaman mangrove dan manfaatnya bagi kelangsungan usaha

mereka di masa mendatang. Kemudian mereka diajak serta dan dilibatkan dalam

pengawasan dan pemeliharaan tanaman. Bagi para pendatang dari luar, sebaiknya

kelompok masyarakat didorong untuk membentuk aturan-aturan dan sanksi mulai

dari teguran sampai dengan denda, serta dikuatkan oleh desa. Juga kelompok

didorong untuk aktif melakukan sistem pengawasan mandiri. (2). Memperlebar jarak

tanam.

40

You might also like