You are on page 1of 9

Kritik Kebijakan 

Pendidikan

Dalam sebuah masyarakat yang telah bersepakat


untuk menjadi warga negara dalam konsep bernegara, termasuk Indonesia, terjadilah tranksaksi
sosio-politik antara warga negara dan negara. Dalam kontrak sosial tersebut, warga negara
menyerahkan peran kepemimpinan atas mereka pada beberapa orang yang dianggap cukup
mampu untuk mengurus dan mengatur mereka.

Mereka yang mengatur dan mengurus warga negara inilah yang kemudian disebut sebagai
pemerintah (government), rezim berkuasa, dalam kerangka bernegara. Mereka inilah yang
diserahi mandat oleh warga negara untuk mengatur negara dengan fungsi memberikan jaminan
keamanan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Negara mengatur urusan-urusan publik
warganya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik dalam keamanan, kesehatan,
pendidikan, ekonomi, dan lainnya.

Dengan demikian sebenarnya ranah pendidikan menjadi tanggung jawab negara dalam
pengurusannya. Pengurusan atas pendidikan dapat diartikan sebagai membiayai pendidikan,
membuat desain dan arah-tujuan pendidikan, dan menjamin berjalannya pendidikan sebagai
fondasi dalam membangun negara. Dalam konstitusi negara Indonesia, Undang-Undang Dasar
(UUD) tahun 1945 amandemen keempat Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31
ayat (1) berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan,” pasal (3) berbunyi,
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang,” dan ayat (4) menyatakan bahwa,
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Pasal dan ayat-ayat ini
merupakan amanat dari cita-cita bangsa Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945,
yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dari landasan yuridis konstitusional kenegaraan tersebut, maka kemudian dijabarkan dalam
bentuk kebijakan pendidikan setingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri,
surat keputusan, dan lainnya. Dalam tata kebijakan pendidikan di Indonesia setelah ketentuan
yang terdapat pada UUD 1945, terdapat Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(BHP), Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2008 tentang Guru, Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan berbagai kebijakan pendidikan lainnya. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam
memahami kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut adalah, bukan tidak mungkin kebijakan-
kebijakan tersebut justru tidak sesuai dengan hakikat pendidikan sebenarnya, keluar dari tujuan
dasar “mencerdaskan kehidupan bangsa”, tidak sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan dan hak
rakyat dalam mendapatkan pendidikan memadai. Disorientasi atau penyelewengan yang
dikandung oleh beberapa kebijakan pendidikan tersebut dimungkinkan terjadi karena beberapa
hal.

Pertama, secara tidak sengaja karena kesalahan dalam menafsirkan dari teks-teks konstitusi awal
kita. Kegagalan dalam membuat kebijakan perundang-undangan dalam ranah pendidikan relatif
terjadi karena ketidakmampuan dalam melihat jalinan komprehensifitas teks yuridis
konstitusional. Yakni kaitan antara bab satu dengan bab lain, pasal satu dengan lainnya, antara
pembukaan dengan batang tubuh UUD 1945, antara teks dengan konteks sosio-historis dulu dan
sekarang. Kegagalan dalam membaca teks rujukan konstitusi tersebut akibat paling fatalnya
adalah ketidakmampuan dalam menangkap dan menggali visi ideologis kerakyatan, kebangsaan,
dan keindonesiaan yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Faktor yang menyebabkan
kegagalan pembacaan ini terjadi salah satunya adalah kualitas dari para pembuat naskah
akademik, perumus kebijakan perundang-undangan, termasuk yang mengesahkannya tidak
memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Dalam kasus kebijakan pendidikan adalah, bukan
ahli pendidikan dan orang yang terlibat di dalamnya, namun mencoba dan diberi amanat untuk
merumuskan kebijakan pendidikan. Di samping itu adalah ketika seseorang tersebut memiliki
paradigma berpikir yang justru bertentangan dengan hakikat pendidikan, misalnya seorang yang
sudah tertanam dalam paradigmanya doktrin neoliberalisme dan kapitalisme. Hal itu akan
berakibat pada tafsiran dan produk kebijakan yang bernuansa, memiliki ruh, dan berorientasi
pada neoliberalisme dan kapitalisme.

Kedua, karena kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan ideologis dan
politis. Dalam relasi negara dan warga negara pihak utama yang memiliki kepentingan ideologis
dan politis tersebut tentu adalah negara itu sendiri, termasuk pemerintah atau rezim berkuasa.
Inilah yang disebut oleh Louis Althusser dengan gagasannya mengenai aparatus ideologis negara
(ideological state apparatuses) dan aparatus represif negara (repressive state apparatuses).
Althusser menyatakan bahwa tugas dari sistem ekonomi apapun adalah mereproduksi kondisi
produksi. Termasuk di dalamnya adalah memproduksi orang-orang yang akan dapat
berpartisipasi dalam proses produksi. Di sinilah, dalam konteks negara kapitalis modern, untuk
melanggengkan kondisi produksi kapitalis tersebut digunakanlah aparatus ideologis negara dan
aparatus represif negara. Aparatus ideologis negara antara lain adalah ikatan keluarga, partai
politik, dan yang terpenting adalah pendidikan, sedangkan aparatus represif negara antara lain
adalah Polisi, tentara, pengadilan, dan hukum. Perbedaan antara aparatus ideologis negara adalah
ia dilakukan dengan “ideologis”, sedangkan aparatus represif negara dilakukan dengan
“kekerasan”.[1]

Di sinilah kebijakan negara merupakan bagian dari aparatus represif negara dan pendidikan
bagian dari aparatus ideologis negara. Keduanya, dalam negara kapitalis modern atau -secara
halus dapat dikatakan- dalam perselingkuhan antara kaum kapitalis dengan negara, merupakan
alat atau apparatus negara dalam melanggengkan hegemoni politik, ideologi dan ekonomi.
Dalam hal ini terjadilah relasi saling menguntungkan antara negara dan kaum borjuis kapitalis.
Negara diuntungkan dengan dukungan modal dari kaum kapitalis agar selalu dapat
mempertahankan status quo mereka, sedangkan para kapitalis diuntungkan dengan persetujuan
dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin memperlebar imperium kapitalis mereka. Namun,
terlepas dari analisis Althusser tersebut, dapat dikatakan bahwa negara memang pada dasarnya
bersifat hegemonik, dan penguasa negara (baca: pemerintah) selalu berupaya untuk tetap
mempertahankan kekuasaannya selama mungkin, karena posisi strategis dalam pemerintahan
telah menjadikan oknum-oknum dan golongan berkuasa mendapatkan keuntungan berlebih,
terutama kekuasaan dan harta kekayaan. Oleh karena itu, menjadi wajar jika mereka dengan
beragam cara berupaya untuk menguatkan rezim, membuat citra bagus rezim, berupaya
mengontrol dan mengendalikan warga negara agar tidak merongrong rezim berkuasa, agar turut
menguatkan fondasi kekuasaan rezim.

Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan pemerintah merupakan aparatus represif negara yang tepat,
ditunjang oleh pendidikan sebagai aparatus ideologis negara. Hal inilah yang sebenarnya mesti
diwaspadai oleh seluruh warga negara, terutama insan pendidik, para intelektual, bahwa
kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak selalu murni untuk
kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Bisa saja terdapat kepentingan rezim berkuasa atau
kaum borjuis kapitalis yang menyusup lewat kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh karena itu,
kebijakan yang secara ideologis, filosofis, dan konseptual dirasa tidak sesuai dengan visi
ideologis kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan mesti dikaji secara kritis. Apalagi ketika
sudah terbukti bahwa kebijakan tersebut, bahkan pada level inisiasinya saja telah menimbulkan
pro-kontra di masyarakat dan berbuah pada kerusakan sistematis, juga berakibat kesenjangan
yang makin jauh antara cita ideal dan realita.

H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam konteks Indonesia, pencapaian kedua
pesan konstitusi untuk pendidikan nasional, yakni pendidikan yang mencerdaskan kehidupan
bangsa dan pendidikan adalah hak seluruh rakyat, dijabarkan dalam berbagai kebijakan
pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut direncanakan dapat diwujudkan atau
dicapai melalui lembaga-lembaga sosial (social institution) atau organisasi sosial dalam bentuk
lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal.[2] Namun ketika kenyataannya
kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut banyak yang menyimpang dari visi ideologis
kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, maka
efeknya juga besar karena turut disebarkan melalui ranah pendidikan yang memang begitu
strategis sebagai aparatus ideologis negara. Kebijakan-kebijakan yang kemudian mesti
dilaksanakan oleh institusi sosial dan institusi pendidikan tersebut antara lain adalah kebijakan
dalam arah dan tujuan pendidikan nasional, yang kemudian berimbas pada kebijakan kurikulum
pendidikan nasional, standard penilaian hasil belajar, kebijakan organisasi sekolah,
profesionalisme guru, dan lainnya. Sekarang mari kita lihat satu kebijakan yang disinyalir tidak
sesuai dengan visi ideologis Pancasila dan UUD 1945, yakni UU BHP.

Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan ketika dianalisis secara kritis
akan dapat diketahui visi ideologis yang tersembunyi di baliknya adalah neoliberalisme. Hal ini
dapat ditelusuri pertama secara historis dari inisiasi kebijakan ini, yakni pada tahun 1999 ketika
sudah mulai inisiasi neoliberalisasi pendidikan ini melalui dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
No. 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara
(PTMBHN). Nuansa nalar kapitalis masuk dalam kebijakan tersebut dalam menetapkan
prasyarat perguruan tinggi, yaitu: (1) menyelenggarakan pendidikan tinggi dan efisien dan
berkualitas, (2) memenuhi standar minimum kelayakan finansial, (3) melaksanakan pengelolaan
perguruan tinggi berdasarkan prinsip ekonomis dan akuntabilitas. Ketentuan ini disusul dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 yang menetapkan
Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB),
dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi BHMN. Beberapa perguruan tinggi lainnya
menyusul kemudian, antara lain adalah Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair).

Perubahan status dari perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara dapat dimaknai
sebagai swastanisasi pendidikan, yakni menjadikan lembaga pendidikan negeri yang semula
menjadi tanggung jawab negara, kemudian dijadikan seperti swasta yang mesti dapat mengelola
dirinya sendiri karena sudah menjadi badan usaha, walaupun milik negara. Secara kultural yang
terjadi adalah makin lunturnya kultur intelektual, berganti kultur korporasi di dalam kampus.
Kapital menjadi unsur penting bagi kelangsungan perguruan tinggi, termasuk menjadi penentu
apakah seseorang dapat diterima atau tidak berkuliah di PTBHMN tersebut. Hal itu karena untuk
kelangsungan hidup PTBHMN dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan kualitas
perkuliahan, menjadi world class university, dan lainnya membutuhkan dana sangat banyak.
Oleh karena itu, PTBHMN tidak sekadar berkonsentrasi pada pengembangan ilmu pengetahuan
dan intelektualitas saja, konsentrasinya terpecah pada usaha mencari pendanaan agar PTBHMN
dapat tetap bertahan dan sukur-sukur dapat berkembang maju, di sinilah kapital menjadi unsur
yang begitu penting. Dengan demikian sebenarnya PTBHMN tidak sekadar merupakan
swastanisasi pendidikan tinggi negeri, melainkan juga korporatisasi pendidikan tinggi, yakni
menjadikan perguruan tinggi layaknya sebuah korporasi (perusahaan). Dari penelusuran dalam
konteks sosio-historis ini jelas bahwa ideologi yang berada di balik dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 61/1999 dan Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tersebut
berideologi neoliberal.

Kedua kebijakan tersebut kemudian dikuatkan ketika disahkannya Undang-Undang No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 53 terutama ayat (4) yang mengamanatkan
dibuatnya undang-undang yang mengatur mengenai badan hukum pendidikan. Setelah melalui
proses panjang penuh perdebatan pro dan kontra akhirnya pada akhir 2008 undang-undang badan
hukum pendidikan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada awal 2009 undang-
undang itu disahkan dengan nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Dalam
Undang-Undang No. 9/2009 banyak ditemukan klausul yang justru bervisi neoliberal. Pada Bab
VI tentang pendanaan misalnya, pasal 40 ayat (2) dinyatakan bahwa, “Pendanaan pendidikan
formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Ketentuan ini mengaburkan tanggung jawab pemerintah dalam mendanai
pendidikan, karena menyertakan masyarakat sebagai pihak yang juga bertanggung jawab atas
pendidikan. Hal ini masih ditambah dengan ketentuan pada pasal 40 ayat (5) bahwa, “Dana
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan
dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan”. Bagaimana bisa pemerintah yang mestinya
bertanggung jawab dalam pendanaan pendidikan kemudian memaknai tanggung jawabnya dalam
mendanai pendidikan dalam bentuk hibah?

Nalar korporasi juga jelas terlihat dalam memandang guru dan dosen sebagai sekadar tenaga
kerja kontrak sebagaimana ketentuan pasal 55 ayat (3) bahwa, “Pendidik dan tenaga
kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat perjanjian kerja dengan pemimpin
organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM, dan bagi BHP Penyelenggara diatur dalam
anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga”. Realitanya sekarang, dalam pengangkatan
dosen baru di beberapa perguruan tinggi negeri eks-IKIP dilakukan dengan mengangkat dosen
kontrak, bukan dosen tetap. Posisi ini menjadi tiada beda dengan nasib para pekerja outsourcing
dan guru kontrak. Dengan nalar korporasi dan komersialisasi pendidikan tersebut, pada akhirnya
biaya pendidikan menjadi makin mahal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perguruan tinggi yang
sudah berstatus sebagai BHMN sampai sekarang. Biaya pendidikan yang dikenakan kepada
mahasiswa baru selalu naik tiap tahun karena korporatisasi yang menjadikan komersialisasi
pendidikan ini. Sekolah dan perguruan tinggi diandaikan sebagai lembaga industri yang berupaya
untuk menghidupi dirinya sendiri, karena pendanaan dari pemerintah sudah tidak ada lagi, lebih
dari itu juga juga mesti terus meningkatkan pendapatan untuk tidak sekadar menutup biaya
operasioanl, investasi, dan lainnya, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan prestise-obsesional
seperti menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), world class university, research university,
dan lainnya yang butuh dana tidak sedikit. Ketika kampus tidak dapat memenuhinya dari unit
usaha yang ada, maka satu-satunya jalan adalah dengan memperbanyak jalan masuk bagi
mahasiswa baru dan meningkatkan biaya kuliah.

Dari satu kebijakan ini kita dapat memperkirakan kira-kira seperti apa pandangan pemerintah
terhadap pendidikan bangsa Indonesia ini. Pemerintah agaknya belum dapat memahami hakikat
dari pendidikan sesungguhnya, ataupun kalau memahaminya, maka tidak berani untuk tidak
berada di bawah hegemoni neoliberalisme. Dengan demikian masalah utama dalam perumusan
dan implementasi kebijakan pendidikan adalah pada dinafikannya visi ideologis pendidikan
Indonesia dengan lebih berat pada mekanisme pasar bebas-neoliberal. Satu hal yang mesti
dilakukan oleh warga negara, para intelektual, termasuk mahasiswa adalah selalu menganalisis
kritis kebijakan-kebijakan tersebut. Ketika memang kebijakan yang dihasilkan betul-betul
melenceng dari visi ideologis pendidikan Indonesia, maka mesti digugat, dilawan, dan
direformulasikan kebijakan yang lebih baik. Dan kalaupun kebijakan tersebut sudah baik, maka
yang perlu dilakukan adalah mengawal pelaksanaannya. Dunia pendidikan, di mana mahasiswa
berada di dalamnya, salah satu perannya adalah agar dapat melakukan transformasi sosial dan
intelektual, dan transformasi ini tidak hanya dapat dilakukan setelah lulus saja, namun ketika
masih menjadi mahasiswa pun dapat melakukannya –dalam hal ini- dengan mengkritik dan
mengawal kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada.

Berbagai kebijakan yang kontroversial tersebut mengindikasikan ada yang salah dalam kebijakan
Undang-Undang kita, karena sudah pasti dalam logika hukum dan perundang-undangan,
kebijakan pemerintah pada level yang lebih rendah mengacu atau sebagai amanat dari kebijakan
di atasnya. Dengan begitu, kebijakan seperti UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
adalah amanat dari UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, yang keduanya pun mengacu pada UUD
1945 dalam ketentuan mengenai pendidikan. Dengan demikian, adakah yang salah dengan UUD
1945 (dalam hal ini adalah UUD 1945 amandemen keempat); ataukah terdapat salah tafsir atas
UUD 1945. Kalaupun terdapat keterputusan pemahaman atas UUD 1945, maka pertanyaannya
kembali adalah bagaimana bisa UUD 1945 hasil amandemen tersebut menjadikan keterputusan
pemahaman; kenapa ia tidak dapat mengikat dalam satu pemahaman yang sama atas suatu hal.
Dari sisi ini sudah dapat dinyatakan bahwa memang terdapat masalah dalam UUD 1945 hasil
amandemen keempat.

Masalah ini sebenarnya tidak sekadar terdapat dalam ranah pendidikan. Kebijakan dalam bidang
ekonomi misalnya, Peraturan Presiden (Perpres) No. 76 dan 77/2007 yang mengatur tentang
sektor-sektor yang terbuka dan tertutup bagi penanaman modal asing. Perpres tersebut salah
satunya menyatakan ranah pendidikan sebagai sektor yang terbuka bagi investasi asing.
Kebijakan tersebut tentu berimbas pada praktik pendidikan yang semakin ditarik oleh pasar
bebas. Perpres tersebut pun sebenarnya tidak lepas dari desakan World Trade Organization
(WTO) di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Hal ini menunjukkan tentu ada yang
salah juga dalam penafsiran para pembuat kebijakan terhadap ketentuan konstitusi UUD 1945
mengenai ideologi ekonomi-politik yang dianut oleh bangsa Indonesia dan bentuk hubungan
internasional yang dilaksanakan. Dengan demikian, berbagai kerancuan dalam kebijakan
perundang-undangan dalam ekonomi, hubungan internasional, dan lainnya mengindikasikan ada
yang salah dalam UUD 1945 yang menjadikan ia tidak dapat dipahami atau diterjemahkan
dengan baik oleh perundang-undangan di bawahnya.

Bidang kehidupan bangsa yang relatif dengan dan bahkan menjadi satu bab dengan bidang
pendidikan dalam UUD 1945 adalah kebudayaan. Hal yang paling memprihatinkan adalah
pemisahan kebudayaan dari pendidikan, bentuk nyatanya adalah Departemen Kebudayaan di
pisah dari Departemen Pendidikan, bahkan Departemen Kebudayaan digabung dengan bidang
pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal ini mengindikasikan degradasi
pemahaman terhadap kebudayaan dalam hubungannya dengan pendidikan dan dalam konteks
keindonesiaan. Dalam praksis kebijakan pemerintah tersebut, kebudayaan dianggap sama dan
sekadar sebagai arena wisata saja. Hal ini jelas bertentangan dengan gagasan yang utuh
mengenai kebudayaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pendidikan, demikian juga
sebaliknya sebagaimana diungkap oleh Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya Pendidikan dan
Kebudayaan. Ketika kebudayaan dipisahkan dari pendidikan, maka pendidikan menjadi kering
dan jauh dari proses pembudayaan, visi ideologis pendidikan menjadi kabur, yang kemudian
ditangkap dan diintervensi oleh kekuatan neoliberalisme. Kebudayaan pun sama saja, tidak
sekadar dimaknai secara dangkal, lebih dari itu bahkan sekadar menjadi komoditas dagang.

Praksis kebijakan mengenai kebudayaan tersebut tentu tidak terlepas dari pamahaman atas UUD
1945 tidak tepat. Kembali yang mesti ditanyakan adalah bagaimana hal itu bisa terjadi? Tiada
lain hal itu memperkuat indikasi bahwa ada yang salah dalam penafsiran atas UUD 1945 hasil
amandemen, termasuk kemungkinan terdapat hal yang salah juga dalam UUD 1945 hasil
amandemen. Oleh karena itu, amandemen kelima atas UUD 1945 mutlak diperlukan agar arah
pembangunan bangsa Indonesia tidak larut oleh neoliberalisme, mengembalikan hakikat dan
tujuan pendidikan nasional dalam konteks kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan, serta
tidak mendangkalkan pemahaman atas kebudayaan bangsa.
Alasan utama amandemen kelima UUD 1945 ini adalah agar kondisi pendidikan Indonesia tidak
ikut arus neoliberalisme dan kering visi ideologisnya. Hal itu tentu membutuhkan landasan
konstitusi yang mudah dipahami, dilaksanakan, dan dijadikan pedoman dalam berkehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia. Amandemen kelima UUD 1945 ini mesti menghasilkan
UUD 1945 yang jelas, tegas, mampu melihat dan memosisikan diri di tengah konstelasi
ekonomi, politik, dan budaya internasional. Walaupun posisi UUD 1945 sebagai sumber rujukan
utama ketentuan perundang-undangan Indonesia hingga menjadikannya tidak bersifat praksis-
operasional, namun bukan berarti perubahan atau amandemen UUD 1945 ini tidak memiliki arti
signifikan. Untuk beberapa ketentuan seperti wacana pengusulan calon presiden perseorangan,
pemilihan umum, perjanjian internasional dan lainnya tentu akan langsung berimbas pada ranah
praksis-operasional, namun untuk masalah ketentuan sistem pendidikan dan kebudayaan dalam
bahasan ini tentu tidak memiliki imbas signifikan dalam ranah pendidikan dan kebudayaan.

Memasukkan dua kata “pelestarian dan perlindungan” bagi budaya nasional dalam UUD 1945
pasal 32 ayat (1) dan (2) misalnya, hal ini tidak akan berarti apa-apa selain ketika dua kata
tersebut diterjemahkan dalam kebijakan perundang-undangan pada level praksis-operasional,
katakanlah dalam undang-undang tentang kebudayaan. Dengan begitu UUD 1945 sebenarnya
adalah sebuah spirit atau ruh dari semua kebijakan kenegaraan Indonesia, di mana semua
kebijakan pemerintah pada level di bawah UUD 1945 tersebutlah yang sebenarnya memiliki kaki
untuk menjalankannya secara nyata. Di sinilah kegagalan dalam membaca, memahami, dan
menafsirkan UUD 1945 menjadi kebijakan perundang-undangan menjadi kunci utama dalam
memahami dan mengatasi betapa banyak produk undang-undang yang secara substansial
bertentangan dengan visi ideologis UUD 1945. Dengan kata lain, proses pembacaan,
pemahaman, dan penerjemahan UUD 1945 ke dalam produk perundang-undangan pada level
praksis-operasional begitu penting. Oleh karena, satu hal penting yang mesti turut diusulkan
dalam amandemen kelima UUD 1945 ini adalah dibuatnya satu panduan baku dalam membaca
dan menafsirkan UUD 1945 ketika akan diterjemahkan dalam kebijakan perundang-undangan.

Memang pada dasarnya orang (pembaca) boleh membaca UUD 1945 dengan pendekatan,
paradigma, atau kacamata apa saja, namun dalam rangka “penerjemahan” substansi dan visi
ideologis UUD 1945 dalam kebijakan perundang-undangan agar produk kebijakan perundang-
undangan tersebut sesuai dengan substansi dan visi ideologis UUD 1945, maka panduan
pembacaan ini menjadi perlu. Panduan ini mesti menjadi kunci dan pengikat pemahaman bahwa
produk kebijakan perundang-undangan turunan dari UUD 1945 pada hakikatnya bukanlah
amanat pasal per pasal atau ayat per ayat, melainkan amanat keseluruhan UUD 1945. Dengan
demikian pertimbangan penyusunan kebijakan perundang-undangan tersebut mesti merujuk pada
UUD 1945 secara keseluruhan, baik secara tekstual, kontekstual, dan substansi serta visi
ideologisnya. Dalam hal ini secara tekstual melihat teks UUD 1945 itu sendiri dan secara
kontekstual melihat kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya Indonesia, sedangkan secara
substantif dan visi ideologis adalah dengan memahami kandungan ideologis-filosofis UUD 1945
dari pembukaan hingga batang tubuhnya secara mendalam, holistik, dan komprehensif. Tidak
boleh dilupakan juga bahwa semua turunan kebijakan perundang-undangan tersebut mesti
berlandaskan pada filosofi Pancasila. Keduanya, Pancasila dan UUD 1945 baik secara tekstual
maupun substansial, mesti menjadi dasar perumusan kebijakan perundang-undangan Indonesia.
Inti dari apa yang akan dituangkan dalam amandemen UUD 1945 kelima dan kebijakan
pendidikan turunan lainnya adalah: menegaskan kembali sistem pendidikan nasional yang mesti
dibangun dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan demikian substansi dan
tujuan pendidikan nasional mesti dibangun di atas landasan Pancasila dan UUD 1945 yang
secara eksplisit dalam undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional disebut tatanan
masyarakat seperti apakah yang ingin dicapai melalui sistem pendidikan nasional dan manusia
Indonesia seperti apakah yang ingin diciptakan melalui sistem pendidikan nasional. Dalam
ketentuan UUD 1945 pasal 31 ayat (3) dengan demikian tidak sekadar, “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang”, lebih dari itu mesti ditambah menjadi, “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.

Secara substansial sistem pendidikan nasional tersebut mesti dijiwai oleh filosofi Pancasila dan
ketentuan dasar dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “…melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Jadi, tidak sekadar dalam rangka
menjalankan amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, namun substansi (content) mesti
holistik.

Secara praktis dalam amandemen kelima UUD 1945, upaya untuk menciptakan sistem
pendidikan Indonesia yang betul-betul mengambil landasan filosofi Pancasila dan visi ideologis
UUD 1945, dengan pendidikan yang adil, merata, tidak ada diskriminasi, maka perlu juga
diamandemen pasal-pasal lain dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat tersebut yang juga
“gagal” diterjemahkan dalam bentuk kebijakan perundang-undangan pada level praksis-
operasional. Misalnya mengenai hubungan internasional, perlu diperhatikan bahwa yang mesti
diutamakan adalah kepentingan bangsa dan negara Indonesia, bukan sekadar karena prestise dan
lainnya. Hal ini adalah penjabaran dari amanar pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “…ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”. Dengan demikian semua bentuk komunikasi ekonomi-politik yang tidak “…berdasarkan
kemerdekaan…” sudah selayaknya untuk ditinjau kembali. Hal ini untuk mencegah terulangnya
tragedi dikeluarkannya Perpres No. 76 dan 77/2007 yang secara sembrono memasukkan
pendidikan sebagai bidang usaha terbuka bagi investasi asing sebagai akibat Indonesia telah
meratifikasi kesepakatan dengan WTO.

Terakhir, hal yang tidak dapat dilupakan adalah perlunya penggabungan kembali antara
pendidikan dan kebudayaan, karena pada hakikatnya keduanya tidak dapat dipisahkan. Salah
satu dampak pemisahannya dalam bentuk memisahkan departemen kebudayaan dari departemen
pendidikan telah menjadikan pendidikan kering dan jauh dari proses pembudayaan, dan
sebaliknya penggabungan penanganan kebudayaan bangsa dengan kepariwisataan telah
menjadikan pengertian budaya tereduksi mejadi komoditas dagang belaka. Jika dipertimbangkan
lebih jauh bahwa amat krusial untuk mendefinisikan apakah pendidikan nasional itu secara
ideologis-filosofis berkaitan dengan kebudayaan, bukan pengertian normatif-yuridis, maka
agaknya perlu juga mencantumkan pengertian substansial pendidikan sebagai “proses
pembudayaan dan memanusiakan manusia dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
berpedoman pada tata nilai luhur budaya bangsa dan kepentingan bangsa Indonesia”. Dengan
ketentuan secara eksplisit ini akan dapat semakin mengikat tafsir dari apa yang dimaksud dengan
sistem pendidikan nasional sebenarnya dalam konteks keindonesiaan dan kebangsaan. [ ]

[1] David Hawkes, Ideology, 2nd edition, London & New York: Routledge, 2004, hlm. 117-118.
Althusser mengemukakan tentang aparatus represif negara dan aparatus ideologis negara dalam
bukunya Lenin and Philosophy (1969).

[2] H.A.R. Tilaar. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran
Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 7.

You might also like