You are on page 1of 16

KANDUNGAN KARBON TANAH GAMBUT DI PULAU SUMATERA

(CARBON CONTENTS OF PEATSOILS IN SUMATERA)1)


Oleh: Sofyan Ritung dan Wahyunto2)

ABSTRACT
Peatland represent a very specific ecosystem with condition which is always stagnant
water (waterlogged). Peatlands is generally composed by last vegetation which accumulate
during sufficient time and forming peatsoils. Peatsoils have the character of fragile, relative
unfertile, and irreversible character. One of nature of very uppermost from peatsoils is very
high organic carbon content. Estimation of carbon content of peatsoils in peatlands
conducted by through calculation based on bulk density and the organic carbon content at the
area and thickness of peatsoils. Peatlands area obtained from Peatland distribution map at
scale of 1:250,000, year condition 1990 and 2002. Result of calculation of carbon content of
peatsoils in Sumatra indicate that at year condition 1990 is equal to 22.283 million tons,
highest there are in Riau Province (16,851 million ton C or 75.6 % of total Sumatra), and
then by Jambi Province (1,851 million ton), Sumsel (1,799 million ton), Aceh (562 million
ton), North Sumatra ( 561 million ton) and West Sumatra ( 508 million ton), and the lowest
are Bengkulu (92 million ton) and Lampung (60 million ton). While at condition 2002, carbon
content of all Sumatra decrease equal to 3,470 million ton, so the total carbon content only
18,813 million ton. The changes of carbon content of each province determined by decrease
of peatsoil thickness from each the province. The changes of carbon content is especially
caused by change of peatsoil thickness, as effect of change of land use during 12 year and
intensively of soil tillage at farm of seasonal crops ( paddy field and palawija). Agriculture of
peatlands for seasonal crops is generally the thickness of peatsoil has decrease or almost
used up, so that " peatsoils" have turned into "peaty mineral soils".

ABSTRAK

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang sangat spesifik dengan kondisi yang
selalu tergenang air (waterlogged). Lahan gambut umumnya disusun oleh sisa-sisa vegetasi
yang terakumulasi dalam waktu yang cukup lama dan membentuk tanah gambut. Tanah
gambut bersifat fragile, relatif kurang subur, dan bersifat tak balik (irreversible). Salah satu
sifat yang sangat menonjol dari tanah gambut adalah kandungan karbon organik yang sangat
tinggi. Estimasi kandungan karbon pada tanah gambut di lahan rawa gambut dilakukan
melalui perhitungan berdasarkan bobot isi dan kandungan karbon organik pada luasan dan
kedalaman tanah gambut. Luas lahan gambut diperoleh dari peta penyebaran lahan gambut
skala 1:250.000 kondisi tahun 1990 dan 2002. Hasil perhitungan kandungan karbon tanah
gambut di Sumatera menunjukkan bahwa pada kondisi tahun 1990 adalah sebesar + 22.283
juta ton, tertinggi terdapat di Propinsi Riau (16.851 juta ton C atau 75,62 % dari total
Sumatera), disusul Propinsi Jambi (1851 juta ton), Sumsel (1.799 juta ton), Aceh (562 juta
ton), Sumatera Utara (561 juta ton) dan Sumatera Barat (508 juta ton), serta terendah adalah
Bengkulu (92 juta ton) dan Lampung (60 juta ton karbon). Sedangkan pada kondisi 2002,
kandungan karbon seluruh Sumatera mengalami perubahan yakni berkurang sebesar 3.470

1
juta ton, atau kandungan karbon totalnya hanya berkisar 18.813 juta ton. Perbedaan
kandungan karbon pada masing-masing propinsi ditentukan oleh luasan dan
kedalaman/ketebalan gambut dari masing-masing propinsi tersebut. Perubahan kandungan
karbon tersebut terutama disebabkan adanya perubahan ketebalan gambut, sebagai akibat
perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu 12 tahun dan semakin intensifnya
pengolahan tanah pada lahan-lahan pertanian tanaman semusim (padi sawah dan palawija).
Lahan gambut yang diusahakan tanaman semusim umumnya ketebalan tanah gambut telah
berkurang atau hampir habis, sehingga “tanah gambut” telah berubah menjadi “Tanah
mineral bergambut”.

Kata Kunci: Lahan gambut, tanah gambut, kandungan karbon

1) Makalah disampaikan pada ”Workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices”,
October 13th-14th, 2003, Hotel Pangrango II, Bogor.

2) Keduanya peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.

2
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lahan rawa gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi
hidro-orologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu
harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan pemanfaatannya. Dalam
penggalian dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk lahan rawa gambut serta dalam
pembinaan lingkungan hidup perlu penggunaan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang
tepat sehingga mutu dan kelestarian sumber alam dan lingkungannya dapat dipertahankan
untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan dan pemanfaatannya
memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang
tepat. Dengan mengetahui sifat-sifat sumberdaya lahan rawa gambut, dan penggunaan lahan
pada saat sekarang (existing landuse) akan dapat dibuat perencanaan yang lebih akurat untuk
optimalisasi pemanfaatan dan usaha konservasinya.
Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, sekitar 20,6 juta ha, atau sekitar 10,8 %
dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa tersebut sebagian besar terdapat di empat Pulau besar
yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3% dan Papua 30% (Wibowo dan Suyatno,
1998). Wilayah Indonesia yang luas, berpulau-pulau dan kondisinya bervariasi akan
memperlambat kegiatan penelitian dan kajian lapangan inventarisasi sumber daya lahan
gambut. Padahal data dan informasi tersebut sangat diperlukan untuk bahan pemantauan
kebijaksanaan dalam optimalisasi pemanfaatan dan konservasinya. Sehubungan dengan hal
tersebut, informasi data dasar (database) yang didukung oleh teknologi Penginderaan Jauh
(Inderaja) diharapkan mampu menyajikan data relatif cepat, obyektif, dan mutakhir.
Menurut Sumarwoto (1989) dan Jansen et al. (1994), teknologi penginderaan jauh
(inderaja) sangat bermanfaat untuk identifikasi dan inventarisasi sumberdaya alam dan
penggunaan lahan. Untuk identifikasi dan inventarisasi lahan rawa gambut, beberapa kriteria
yang dapat dipakai antara lain : jenis vegetasi, penggunaan lahan (existing landuse),
topografi/relief dan kondisi drainase/ genangan air. Teknologi inderaja cocok untuk
diterapkan di negara kepulauan seperti Indonesia, dimana banyak pulau-pulaunya yang
letaknya terpencil dan sulit dijangkau. Citra satelit mampu mempertinggi kehandalan dan
efisiensi pengumpulan data/ informasi wilayah rawa (gambut) dan lingkungannya (Lillesand
and Keifer, 1994; Tejasukmana et al., 1994). Namun demikian tetap harus disertai adanya
pengecekan atau pengamatan lapang.
Dalam penggalian dan pemanfaatan sumber daya alam serta dalam pembinaan
lingkungan hidup perlu digunakan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat sehingga
mutu dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dipertahankan. Lahan
rawa termasuk lahan rawa gambut yang dalam pelestarian dan pengembangannya

3
memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang
tepat. Inventarisasi lahan rawa gambut yang sekarang ada dan analisis perubahannya dalam
suatu kurun waktu tertentu sangat penting dan merupakan sumber informasi utama dalam
usaha mendukung konservasi lingkungan, biodiversitas, konservasi sumber daya air dan
masalah salinitas, pengendalian banjir dan lain sebagainya. Untuk konservasi dan optimasi
pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan karakteristiknya, sangat diperlukan informasi
lahan rawa gambut dengan segala tipe, karakteristik dan penyebarannya.
Sifat dan karakteristik fisik lahan gambut ditentukan oleh dekomposisi bahan itu
sendiri. Kerapatan lindak atau bobot isi (bulk density : BD) gambut umumnya berkisar antara
0,05 sampai 0,40 gram/cm3. Nilai kerapatan lindak ini sangat ditentukan oleh tingkat
pelapukan/dekomposisi bahan organik, dan kandungan mineralnya (Kyuma, 1987). Hasil
kajian Driessen dan Rohimah (dalam Kyuma, 1987) tentang porositas gambut yang dihitung
berdasarkan kerapatan lindak dan bobot jenis adalah berkisar antara 75-95%. Dalam
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah gambut atau Histosols diklasifikasi
kedalam 4 (empat) sub-ordo berdasarkan tingkatan dekomposisinya yaitu : Folists-bahan
organik belum terdekomposisi di atasnya batu-batuan, Fibrists- bahan organik fibrik dengan
BD < 0,1 gram/cm3, Hemists- bahan organik hemik dengan BD 0,1-0,2 gram/cm3 dan Saprists
– bahan organik saprik dengan BD >0,2 gram/cm3.
Hasil penelitian yang dilakukan IPB di beberapa lokasi di Sumatera, menunjukkan
bahwa kerapatan lindak tanah gambut bervariasi sesuai dengan tingkat dekomposisi bahan
organik dan kandungan bahan mineral (Hardjowigeno, 1989). Tanah gambut dengan
kandungan lebih dari 65% bahan organik (> 38 % C-organik) mempunyai kerapatan lindak
untuk jenis fibrik 0,11-0,14 g/cm3, untuk hemik 0,14-0,16 g/cm3, dan untuk saprik 0,18-0,21
g/cm3. Bila kandungan bahan organik antara 30-60%, kerapatan lindak untuk jenis hemik
adalah 0,21-0,29 g/cm3 dan untuk saprik 0,30-0,37 g/cm3.
Oleh karena lahan gambut jenuh air dan ’longgar’ dengan BD rendah (0,05–0,40
3
g/cm ), gambut mempunyai daya dukung beban atau daya tumpu (bearing capacity) yang
rendah. Akibat dari sifat ini jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena
drainase, gambut akan ’kempes’ dan diwujudkan dalam bentuk ’subsidence’, atau penurunan
permukaan tanah gambut. Kecepatan penurunan gambut cenderung lebih besar pada gambut
dalam. Perbandingan terhadap tebal gambut sebelum pembukaan hutan (1969) dengan
keadaan setelah delapan tahun pembukaan (1977) telah dikaji di Delta Upang, Sumatera
Selatan oleh Chambers (1979). Ia menyimpulkan bahwa gambut dangkal (30-80 cm) setelah
pembukaan selama 8 tahun di daerah ini mengalami penurunan antara 2-5 cm per tahun.
Daerah yang mengalami penurunan terbesar adalah daerah yang digunakan untuk pertanian
intensif. Mutalib et al. (1991) dalam kajiannya di Malaysia, melaporkan bahwa gambut sangat
dalam (5,5 dan 6,1 m) rata-rata penurunannya 8-15 cm per tahun, dan gambut dalam (2-3 m)

4
sebesar 0,05–1,5 cm per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan permukaan
gambut tersebut, antara lain, adalah: (1) pembakaran waktu pembukaan dan setelah panen; (2)
oksidasi karena drainase yang berlebihan, (3) dekomposisi dan pengolahan tanah, dan (4)
pencucian (Driessen and Sudewo, 1975).

1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mengestimasi kandungan karbon
lahan rawa gambut P Sumatera pada kondisi tahun 1990 dan 2002 serta perubahannya.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan yang digunakan dalam perhitungan kandungan karbon adalah peta penyebaran
lahan gambut skala 1:250.000 kondisi tahun 1990 dan 2002, data analisis contoh tanah di
laboratorium dan dari penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah
maupun instansi lainnya misalnya Institut Pertanian (IPB), Bogor.

Metode
Kegiatan identifikasi dan inventarisasi lahan rawa gambut di Sumatera dilakukan
untuk mengetahui karakteristik dan penyebaran lahan rawa gambut di Pulau Sumatera. Data
dan informasi ini selanjutnya digunakan untuk menduga kandungan karbon lahan rawa
gambut.
Data dan informasi penyebaran lahan gambut tahun 1990 diperoleh dari hasil
pengolahan data digital penyebaran lahan gambut dari 42 lembar (sheet) Peta Satuan Lahan
dan Tanah seluruh daratan Pulau Sumatera, skala 1:250.000. Penyebaran lahan gambut pada
peta tersebut dibuat berdasarkan hasil pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) tahun
1986-1990, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah melalui proyek LREP-I (Land
Resource Evaluation and Planning Project- Part I). Reabilitas penyebaran datanya dipadukan
dengan kenampakan penyebaran lahan gambut pada citra satelit Landsat MSS (Multi Spectral
Scanner, paper print) berwarna semu (false color) tahun 1990. Selain itu digunakan pula
laporan hasil kegiatan pemetaan di daerah Sumatera yang telah dilakukan oleh Institut
Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Tanah Bogor.
Data luas dan penyebaran lahan gambut tahun 2002, diperoleh dari overlay kondisi
gambut tahun 1990 dan penutup/penggunaan lahan hasil analisis secara digital terhadap citra
satelit Landsat TM-7. Dalam identifikasi lahan gambut dan delineasi penyebarannya,

5
digunakan seri data digital Landsat TM-7 hasil rekaman tahun 2001 sampai dengan tahun
2002. Namun demikian sebagai pedoman dalam menentukan delineasi sebaran lahan gambut,
tetap memperhatikan hasil kegiatan ”Land Resources Evaluation and Planning Project”
(LREP-I) terbitan Pusat Penelitian Tanah Bogor tahun 1986 – 1990, seperti yang dipakai
untuk kajian sebaran gambut tahun 1990.
Parameter yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah luas lahan gambut,
kedalaman tanah gambut, bobot isi (BD) dan kandungan karbon (C-organik) pada setiap jenis
tanah gambut. Persamaan yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut:

Kandungan karbon (KC) = B x A x D x C

dimana : KC = kandungan karbon dalam ton


B = Bobot isi (BD) tanah gambut dalam gr/cc atau ton/m3
A = Luas tanah gambut dalam m2
D = Ketebalan gambut dalam m
C = Kadar karbon (C-organik) dalam persen (%) berdasarkan nilai rata-rata
kadar C pada setiap jenis gambut hasil analisis laboratorium.

Nilai bobot isi (BD) yang digunakan untuk estimasi kandungan karbon adalah
merupakan nilai rata-rata dari : (i) hasil analisis beberapa contoh tanah di laboratorium, dan
(ii) beberapa data/ informasi BD tanah-tanah gambut di Sumatera, hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Tanah. Luas dan kedalaman
tanah gambut diperoleh dari peta lahan gambut berskala 1:250.000. Kedalaman atau ketebalan
tanah gambut dibedakan atas 5 (lima) kelas, yakni: sangat dangkal (<50 cm), dangkal (50-
100 cm), sedang (101-200 cm), dalam (201-400 cm), dan sangat dalam (401-800 cm).
Nilai bobot isi dan kadar karbon (C-organik) pada tiap jenis atau tingkat kematangan
gambut di Sumatera disajikan pada Tabel 1. Nilai tersebut digunakan untuk menghitung
kandungan karbon pada tanah gambut di Sumatera, kondisi tahun 1990 dan 2002.

Tabel 1. Nilai kisaran dan rerata bobot isi (BD) dan kadar C-Organik pada tiap
jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera
Tingkat kematangan Bobot Isi (BD) C-Organik
No. Gambut (gr/cc) (%)
Kisaran Rerata Kisaran Rerata
1. Fibrik 0.1012-0.12 0.1028 - 53.31
2. Hemik 0.1325-0.29 0.1716 38.97-51.87 48.00
3. Saprik 0.2492-0.37 0.2794 28.96-53.89 44.95
4. Peaty/sangat dangkal 0.2152-0.6878 0.3402 28.96-39.81 35.12

6
Kandungan karbon tanah gambut yang dihitung pada kondisi tahun 1990 dan kondisi
tahun 2002, selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mengkaji besarnya penyusutan
kandungan karbon selama periode waktu 12 tahun tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyebaran Lahan Gambut di Sumatera


Lahan/ tanah gambut mempunyai penyebaran pada lahan rawa, yaitu lahan yang
menempati posisi peralihan di antara daratan dan sistim perairan. Sepanjang tahun atau
selama waktu yang panjang dalam setahun, lahan ini selalu jenuh air (waterlogged) atau
tergenang air. Tanah gambut menempati cekungan, depresi, atau bagian-bagian terendah di
pelembahan, dan penyebarannya terdapat di dataran rendah sampai dataran tinggi. Penyebaran
lahan gambut yang paling dominant terdapat pada lahan rawa di dataran rendah sepanjang
dataran pantai. Hamparan lahan gambut yang sangat luas, umumnya menempati depresi-
depresi yang terdapat di antara aliran sungai–sungai besar di dekat muara, dimana gerakan
naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.
Di pulau Sumatera, penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di dataran
rendah sepanjang pantai timur, dari Lampung sampai Sumatera Utara, tetapi yang dominan
terdapat di wilayah propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Utara.
Penyebarannya ke arah pedalaman/ hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai.
Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat pulau,
khususnya di wilayah propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah
hilir sungai umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai. Tanah gambut dan tanah
mineral (non gambut) secara bersama menyusun lahan rawa.
Berdasarkan data dan peta satuan lahan/tanah hasil kajian Proyek LREP-I (Puslittan
1987-1990) dan hasil kajian lahan gambut pada tahun 2002, maka kondisi lahan gambut di
Pulau Sumatera, pada tahun 1990 dan 2002, disajikan Tabel 1. Dalam kaitan ini, semua jenis
gambut sangat dangkal karena ketebalan lapisan gambut terlalu tipis < 50 cm, dan tidak
memenuhi syarat sebagai tanah gambut, tidak dimasukan sebagai tanah gambut, dan disebut
sebagai “Tanah mineral gambut”.
Dari Tabel 2 tampak bahwa luas lahan gambut di Sumatera pada tahun 1990, yaitu
7.204.302 ha. Namun jika luasan Tanah mineral bergambut (gambut-sangat dangkal) yang
terdapat pada lahan gambut yang berupa asosiasi dengan tanah gambut (kedalaman gambut
>50 cm) tidak diperhitungkan, maka luas tanah gambut adalah seluas 6.559.657 ha. Pada
kondisi tahun 2002 terlihat adanya perubahan sebagai akibat pembukaan lahan untuk

7
pertanian, sehingga lahan gambut yang tanahnya tergolong tanah gambut (ketebalan > 50 cm)
adalah 6.110.852 ha.
Tabel 2. Perbandingan Kondisi Lahan Gambut, Tahun 1990 vs 2002
Tanah Gambut (hektar)(%) Total
Propinsi Tahun Mineral Sangat Lahan
Bergambut Dangkal Sedang Dalam
Dalam
Total Gambut

1990 85.687 26.230 1.288.703 575.343 2.067.639 3.957.915 4.043.602


1. Riau 2,1 0,7 31,9 14,2 51,1 97,9 100,0
2002 149.142 532.465 929.447 827.446 1.605.100 3.894.459 4.043.601
3,7 13,2 23,0 20,5 39,7 96,3 100,00
1990 261.017 59.179 1.114.010 49.457 --- 1.222.646 1.483.663
2. Sumatera 17,6 4,0 75,1 3,3 ---- 82,4 100.0
Selatan
2002 406.096 224.650 826.962 25.955 --- 1.077.566 1.483.662
27,4 15,1 55,7 1,7 ---- 72,6 100,0
1990 69.885 27.756 205.518 316.305 97.374 646.953 716.838
3. Jambi 9,7 3,9 28,7 44,1 13,6 90,3 100,0
2002 161.588 123.116 103.842 278.564 49.729 555.251 716.839
22,5 17,2 14,5 38,9 6,9 77,5 100,0
1990 67.462 14.163 193.970 49.699 --- 257.833 325.295
4. Sumatera Utara 20,7 4,4 59,6 15,3 79,3 100,0
2002 86.217 132.035 84.656 22.387 --- 239.078 325.295
26,5 40,6 26,0 6,9 ---- 73,5 100,0
1990 21.267 1.109 155.401 96.274 --- 252.274 274.051
5. Nang. Aceh D. 7,8 0,4 56,7 35,1 ---- 92,1 100,0
2002 58.255 18.144 126.395 71.257 --- 215.796 274.051
21,3 6,6 46,1 26,0 ---- 78,7 100,0
1990 62.547 26.806 42.817 22.199 55.865 147.687 210.234
6. Sumatera Barat 29,8 12,8 20,4 10,6 26,6 70,2 100,0
2002 104.086 17.325 24.839 15.060 48.924 106.148 210.234
49,5 8,2 11,8 7,2 23,3 50,5 100,0
1990 51.037 --- 36.530 --- --- 36.530 87.567
7. Lampung 58,3 ---- 41,7 ---- ---- 41,7 100,0
2002 73.935 4.714 8.919 --- --- 13.632 87.567
84,4 5,4 10,2 ---- ---- 15,6 100,0
1990 25.744 1.076 21.518 12.647 2.066 37.308 63.052
8. Bengkulu 40,8 1,7 34,1 20,1 3,3 59,2 100,0
2002 54.130 5.370 713 2.431 409 8.922 63.052
85,8 8,5 1,1 3,9 0,6 14,2 100,0
1990 644.646 156.321 3.058.468 1.121.925 2.222.944 6.559.657 7.204.302
SUMATERA 8,9 2,2 42,5 15,6 30,9 91,1 100,0
2002 1.093.449 1.057.818 2.105.772 1.243.100 1.704.162 6.110.852 7.204.302
15,2 14,7 29,2 17,3 23,7 84,8 100,0

8
Dari Tabel 2 tersebut, juga tampak besarnya penyusutan “Tanah gambut” menjadi
“Tanah mineral bergambut” seluruh Sumatera seluas 448.803 hektar, yang bervariasi di
antara propinsi-propinsi. Yang terluas nampaknya terjadi di propinsi Sumatera Selatan (145,1
ribu ha) dan Jambi (91,7 ribu ha). Kemudian diikuti oleh propinsi Riau (63,5 ribu ha),
Sumatera Barat (41,5 ribu ha), Nanggroe Aceh Darussalam (37,0 ribu ha), Bengkulu (28,4
ribu ha) dan Lampung (22,9 ribu ha). Penyusutan luas terkecil terjadi di propinsi Sumatera
Utara 18,8 ribu ha.
Penyusutan ketebalan gambut yang paling banyak, nampaknya terjadi pada gambut-
sedang (ketebalan gambut 1,0 – 2,0 m), kemudian diikuti pada gambut-sangat dalam
(ketebalan gambut > 4,0 m), sedangkan pada gambut-dangkal (0,5 – 1,0 m), gambut-sangat
dangkal (<0,5 m) dan gambut-dalam (ketebalan gambut 2,0-4,0 m) terjadi penambahan
sebagai akibat dari pergeseran dari gambut yang menyusut tersebut. Hal ini dapat dimengerti,
karena areal atau wilayah gambut-sedang umumnya berada pada pinggiran kubah gambut,
relatif lebih dekat dengan pemukiman, sehingga lebih mudah untuk dibuka. Di samping itu,
juga karena semakin intesifnya pengolahan tanah pada gambut-sedang tersebut yang pada
sebelum tahun 1990-an telah dijadikan areal pemukiman/pertanian. Kondisi ini menyebabkan
menyusutnya ketebalan gambut secara drastis (cepat). Bahkan pada wilayah-wilayah lahan
gambut yang diusahakan untuk pertanian tanaman pangan terutama yang disawahkan lapisan
gambutnya telah habis, sehingga menjadi Tanah mineral bergambut. Sedangkan pada gambut-
sangat dalam mengalami penyusutan kedalaman sebagai akibat pembukaan lahan perkebunan
(kelapa sawit) dan hutan tanaman industri.

Kandungan Karbon Tanah Gambut


Kandungan karbon pada lahan rawa gambut di Sumatera yang dikemukakan dalam
laporan ini berdasarkan pada kondisi tanah gambut pada tahun 1990 dan 2002 serta
perubahannya dalam kurun waktu tersebut. Hasil perhitungan kandungan karbon di Sumatera
disajikan pada Tabel 3.
Dari Tabel 2 tersebut tampak bahwa pada kondisi tahun 1990, kandungan karbon total
tanah gambut seluruh Sumatera adalah 22.283 juta ton, tertinggi terdapat di Propinsi Riau
(16.851 juta ton C atau 75,62 % dari total Sumatera), disusul Propinsi Jambi (1851 juta ton),
Sumsel (1.799 juta ton), Aceh (562 juta ton), Sumatera Utara (561 juta ton) dan Sumatera
Barat (508 juta ton), serta terendah adalah Bengkulu (92 juta ton) dan Lampung (60 juta ton
karbon). Sedangkan pada kondisi 2002, kandungan karbon seluruh Sumatera mengalami
perubahan yakni berkurang sebesar 3.470 juta ton, atau kandungan karbon totalnya hanya
berkisar 18.813 juta ton. Perbedaan kandungan karbon pada masing-masing propinsi
ditentukan oleh luasan dan kedalaman/ketebalan gambut dari masing-masing propinsi tersebut
(Tabel 3). Sedangkan perbandingan kandungan karbon tanah organik menurut tahun di
masing-masing propinsi disajikan pada Gambar 1.
Dari gambar tersebut terlihat kandungan karbon tertinggi di Propinsi Riau, sedangkan
propinsi lainnya sangat rendah. Kandungan karbon di Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan

9
hampir seimbang, walaupun luas lahan gambut di Sumsel lebih tinggi. Hal ini karena tanah
gambut di Jambi lebih dalam dari pada di Sumsel.

Gambar 1. Kandungan Karbon Tanah Gambut Sumatera,


kondisi tahun 1990 dan 2002

18.000

16.000

14.000
Kandungan karbon (Juta ton C)

12.000

10.000
Tahun 1990
Tahun 2002
8.000

6.000

4.000

2.000

0
bi

ut

ng
l

r
u

eh
se

ba

l
ia

ku
m

pu
Ac
R

m
Ja

Su

ng
Su

m
Su

Be

La

Perubahan kandungan karbon tersebut terutama disebabkan adanya perubahan


ketebalan gambut, sebagai akibat perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu 12 tahun
dan semakin intensifnya pengolahan tanah pada lahan-lahan pertanian tanaman semusim (padi
sawah dan palawija). Pembukaan lahan rawa gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang
berlangsung cukup pesat pada awal tahun 1990-an hingga saat ini terjadi dibeberapa tempat
mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Sistim drainase yang dilakukan pada lahan
gambut, selain mengakibatkan pemadatan (compaction), juga mempercepat terjadinya
oksidasi atau dekomposisi dari bahan organik. Pada lahan pertanian intensif (padi sawah dan
palawija), penurunan ketebalan tanah gambut umumnya akibat adanya pembakaran atau
pengeringan. Hal ini dilakukan karena umumnya tanah organik kurang subur sehingga hasil
yang diperoleh sangat rendah untuk tanaman semusim. Dari hasil pengamatan di lapang pada
berbagai lokasi, menunjukkan bahwa lahan pertanian intensif (padi sawah dan palawija)
ketebalan gambut yang tersisa umumnya kurang dari 50 cm, bahkan di beberapa tempat tanah
gambutnya telah habis misalnya yang terdapat di daerah Bengkulu, Sumbar, Jambi dan
Sumsel. Pada lahan perkebunan kelapa sawit yang dibuka sekitar 10 tahun lalu umumnya
telah mengalami penurunan ketebalan gambut sekitar 2 meter, sehingga pada lahan gambut
yang tergolong sedang pada kondisi tahun 1990, saat pengamatan dilakukan (Maret 2003)
telah menjadi tanah mineral atau bergambut tipis seperti yang dijumpai di daerah Pasaman
Sumatera Barat, dan Muko-Muko Bengkulu.

10
Tabel 3. Kandungan karbon pada kondisi tahun 1990 dan 2002 serta perubahannya setiap propinsi di Sumatera

Kandungan karbon (juta ton) menurut kedalaman gambut dan tahun Perubahan
Sangat Total (Juta ton C)
No. Propinsi
dangkal Dangkal Sedang Dalam Sangat dalam Juta ton C
1990 2002 1990 2002 1990 2002 1990 2002 1990 2002 1990 2002

1. Riau - 25,47 33,82 413,90 1.983,25 1.452,40 1.818,62 2.605,66 13.015,54 10.107,61 16.851,23 14.605,04 -2.246,18
(0,14) (0,15) (2,2) (8,9) (7,72) (8,16) (13,85) (58,41) (53,73) (75,62) (77,63)

2. Jambi - 45,76 36,43 92,72 307,32 152,35 952,03 838,39 555,20 283,97 1.850,97 1.413,19 -437,77
(0,24) (0,16) (0,49) (1,38) (0,81) (4,27) (4,46) (2,49) (1,51) (8,31) (7,51)

3. Sumsel - 47,34 45,07 176,76 1.600,90 1.164,96 152,74 81,23 1.798,72 1.470,28 -328,43
(0,25) (0,2) (0,94) (7,18) (6,19) (0,69) (0,43) (8,07) (7,82)

4. Aceh - 11,39 1,02 15,57 256,93 206,61 303,52 225,29 561,47 458,86 -102,60
(0,06) (0,) (0,08) (1,15) (1,1) (1,36) (1,2) (2,52) (2,44)

5. Sumut - 13,11 18,59 130,70 362,50 154,45 179,56 79,02 560,65 377,28 -183,36
(0,07) (0,08) (0,69) (1,63) (0,82) (0,81) (0,42) (2,52) (2,01)

6. Sumbar - 27,42 35,18 16,54 66,65 38,15 71,70 47,43 334,23 292,70 507,76 422,23 -85,53
(0,15) (0,16) (0,09) (0,3) (0,2) (0,32) (0,25) (1,5) (1,56) (2,28) (2,24)

7. Bengkulu - 14,81 1,41 4,63 34,37 1,38 43,93 7,27 12,36 2,45 92,08 30,53 -61,55
(0,08) (0,01) (0,02) (0,15) (0,01) (0,2) (0,04) (0,06) (0,01) (0,41) (0,16)

8. Lampung - 17,99 3,51 60,33 14,44 60,33 35,94 -24,39


(0,1) (0,02) (0,27) (0,08) (0,27) (0,19)

Jumlah - 203,29 171,51 854,33 4.672,25 3.184,73 3.522,10 3.884,29 13.917,33 10.686,73 22.283,19 18.813,37 -3.469,82
Keterangan: Angka dalam ( ) adalah persentase dari kandungan karbon total Sumatera
- Tanda minus adalah Kandungan karbon dari tanah gambut yang hilang selama 12 tahun (periode 1990-2002)

11
Kandungan karbon pada masing-masing propinsi berdasarkan kedalaman tanah
gambut (Gambar 2) menunjukkan bahwa kandungan karbon tertinggi terdapat pada tanah
gambut dengan kedalaman gambut-sangat dalam, kemudian disusul gambut-sedang dan
gambut-dalam. Sedangkan gambut-dangkal dan gambut-sangat dangkal kandungan
karbonnya sangat rendah.

Gambar 2. Kandungan karbon tanah gambut Sumatera


menurut kedalaman dan tahun

14.000

12.000
Kandungan karbon (Juta ton C)

10.000
Riau
Jambi
8.000
Sumsel

6.000 Aceh
Sumut
4.000 Sumbar
Bengkulu
2.000 Lampung

0
0

2
90

02

2
0

2
90

02

_9

_0

_9

_0
_9

_0
l_

l_
l_

l_

m
m

m
ng

ng
ka

ka
ka
ka

la

la
la

la
da

da
ng

ng
ng

ng

da

da
Da

Da
Se

Se
Da

Da
da

da

S.

S.
S.

S.

Secara rinci kandungan karbon tanah gambut pada masing-masing propinsi, kondisi
tahun 1990 dan tahun 2002, serta perubahannya akan diuraikan pada bagian berikut.

(a). Propinsi Riau


Kandungan karbon tanah gambut di Riau tergolong yang paling tinggi di seluruh
Sumatera, baik kondisi tahun 1990 maupun tahun 2002, demikian pula dengan perubahannya
selama periode tersebut (12 tahun). Pada tahun 1990 kandungan karbon di Riau sebesar
16.851 juta ton dan tahun 2002 sebesar 14.605 juta ton, sehingga berkurang sebesar 2.246
juta ton (Tabel 3).

12
Besarnya perubahan tersebut menunjukkan bahwa selama 12 tahun telah terjadi
perubahan lingkungan lahan gambut dari kondisi hutan menjadi lahan pertanian maupun
hutan tanaman industri yang terdapat di daerah ini. Pembukaan hutan rawa gambut yang
banyak terjadi akhir-akhir ini adalah untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman
industri, seperti yang terdapat di kabupaten Indragiri Hilir, Siak, Rokan Hilir, Pelalawan,
Bengkalis dan Indragiri Hulu. Perubahan kandungan karbon terbesar terjadi pada lahan
gambut dengan kedalaman sangat dalam (2.908 juta ton), yang berubah menjadi gambut
dengan kedalaman/ketebalan dalam sehingga kandungan karbonnya berkurang. Demikian
pula gambut sedang yang berkurang kandungan karbonnya sebesar 531 juta ton, berubah
menjadi gambut dangkal dan sangat dangkal.

(b). Propinsi Jambi


Keadaan kandungan karbon tanah gambut di Propinsi Jambi tahun 1990 dan 2002,
serta perubahannya selama periode tersebut disajikan pada Tabel 3. Kandungan karbon total
pada tanah gambut di Propinsi Jambi pada tahun 1990 adalah sebesar 1.851 juta ton,
sedangkan pada kondisi 2002 sekitar 1.413 juta ton, sehingga berkurang sebesar 438 juta ton.
Perubahan tersebut terjadi pada tanah gambut dengan kedalaman sedang sampai sampai
dalam, sebaliknya pada gambut dangkal dan sangat dangkal terjadi penambahan luas dan
kandungan karbon. Perubahan tersebut terjadi karena adanya pembukaan hutan rawa gambut
menjadi lahan pertanian, baik tanaman semusim (sawah dan palawija) maupun tanaman
perkebunan/tahunan misalnya kelapa sawit. Selain itu juga terdapat lahan gambut yang
diusahakan sebagai hutan tanaman industri.

(c). Propinsi Sumatera Selatan


Kondisi kandungan karbon tanah gambut di Sumatera Selatan pada tahun 1990, 2002
dan perubahannya selama periode tersebut disajikan pada Tabel 3. Kandungan karbon tanah
gambut pada tahun 1990 adalah 1.799 juta ton yang sebagian terbesar berasal dari gambut
dengan kedalaman sedang. Pada tahun 2002, kandungan karbonnya adalah 1.470 juta ton,
sehingga selama 12 tahun berkurang sebesar 329 juta ton.
Perubahan kandungan karbon tanah gambut di Sumatera Selatan terutama disebabkan
karena semakin intensifnya pengolahan tanah pada lahan-lahan pertanian tanaman semusim
(terutama padi sawah). Lahan pertanian ini telah ada sebelum tahun 1990, yaitu melalui
proyek pasang surut yang dilakukan sekitar awal tahun 1970-an.

(d). Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam


Kandungan karbon tanah gambut di Nanggroe Aceh Darussalam pada kondisi tahun
1990 dan 2002, serta perubahannya disajikan pada Tabel 3. Di daerah ini hanya dua
kabupaten yang memiliki lahan gambut yang teridentifikasi pada skala tinjau, yakni Aceh
Selatan dan Aceh Barat. Kandungan karbon tertinggi baik pada kondisi tahun 1990 maupun
tahun 2002 adalah di wilayah kabupaten Aceh Selatan, yakni 322,5 juta ton pada tahun 1990
dan 281 juta ton pada tahun 2002. Di kabupaten Aceh Barat, kandungan karbon pada tanah

13
gambut kondisi tahun 1990 adalah 239 juta ton dan pada kondisi 2002 sebesar 178 juta ton.
Perubahan kandungan karbon tertinggi terjadi di kabupaten Aceh Barat sebesar 61 juta ton,
sedangkan di Aceh Selatan hanya 41 juta ton.
Perubahan kandungan karbon terbesar terjadi pada tanah gambut dengan
kedalaman/ketebalan dalam di Aceh Barat, sedangkan di Aceh Selatan pada tanah gambut
dengan kedalaman sedang. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut terjadi pada
lahan-lahan pertanian tanaman pangan (sawah, palawija) di Aceh Selatan dan tanaman
perkebunan/tahunan di Aceh Barat.

(e). Propinsi Sumatera Utara


Kandungan karbon tanah gambut di Propinsi Sumatera Utara kondisi tahun 1990,
2002 dan perubahannya selama periode tersebut disajikan pada Tabel 3. Kandungan karbon
pada kondisi tahun 1990 adalah sebesar 561 juta ton, dan pada tahun 2002 sebesar 378 juta
ton, sehingga perubahannya adalah 183 juta ton. Perubahan tersebut terjadi pada gambut
dengan kedalaman sedang sampai dalam.

(f). Propinsi Sumatera Barat


Kandungan karbon tanah gambut di daerah ini tergolong tidak terlalu tinggi, yakni
sekitar 508 juta ton pada tahun 1990 dan 422 juta ton pada tahun 2002, sehingga berkurang
sebanyak 86 juta ton selama 12 tahun (Tabel 3). Perubahan kandungan karbon yang terjadi
di Pesisir Selatan, Pasaman dan Agam terutama karena adanya pembukaan lahan gambut
menjadi perkebunan kelapa sawit. Sedangkan di kabupaten lainnya terutama karena semakin
intesifnya pengolahan tanah pada pertanian tanaman pangan yang telah ada sebelum tahun
1990, seperti yang terdapat di daerah Lunang, Pesisir Selatan.

(g). Propinsi Bangkulu


Kandungan karbon tanah gambut di Propinsi Bengkulu kondisi tahun 1990 dan 2002
serta perubahannya disajikan pada Tabel 3. Dari tabel tersebut, tampak bahwa kandungan
karbon pada kondisi tahun 1990 adalah 92 juta ton, sedangkan pada kondisi tahun 2002
sebesar 32 juta ton, sehingga berkurang 62 juta ton. Perubahan tersebut disebabkan karena
pembukaan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan semakin intesifnya pertanian
tanaman semusim di Bengkulu Utara, sedangkan di Rejang Lebong dan Bengkulu Selatan
terutama karena semakin intensifnya pertanian tanaman semusim (sawah dan palawija).
Pertanian tanaman semusim pada lahan gambut cenderung menurunkan ketebalan gambutnya
sampai tanah mineralnya muncul di permukaan.Penurunan ketebalan tanah gambut ini
cenderung menguntungkan, karena pada dasarnya tanah gambut yang cukup tebal/ dalam
kurang memberikan hasil yang baik terhadap usaha tanaman pangan (padi, jagung, kedelai).

14
(h). Propinsi Lampung
Propinsi Lampung merupakan daerah yang memiliki gambut dengan kandungan
karbon terendah di seluruh Sumatera. Tanah gambut di Propinsi Lampung hanya terdapat di
kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Timur dalam jumlah sangat sedikit. Kandungan
karbon pada kondisi tahun 1990 adalah 60 juta ton dan pada tahun 2002 sekitar 34 juta ton,
sehingga terjadi penyusutan sebesar 24 juta ton (Tabel 3). Perubahan tersebut terjadi karena
adanya alihfungsi lahan rawa menjadi tambak udang dan sawah lebak/pasang surut di
wilayah Kabupaten Tulang Bawang, yaitu di daerah Rawa Jitu yang terletak diantara sungai
Mesuji dan sungai Tulang Bawang telah dibuka untuk tambak udang dan sawah pasang
surut/lebak.

KESIMPULAN

1. Luas tanah gambut di Sumatera pada kondisi tahun 1990 adalah 6.559.657 ha. Pada
kondisi tahun 2002 terlihat adanya perubahan sebagai akibat pembukaan lahan untuk
pertanian, sehingga lahan gambut yang tanahnya tergolong tanah gambut (ketebalan > 50
cm) adalah 6.110.852 ha. Tanah gambut terluas terdapat di Provinsi Riau, kemudian
diikuti Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera
Barat, Lampung dan Bengkulu.
2. Kandungan karbon tanah gambut berdasarkan hasil perhitungan terhadap bobot isi,
kandungan karbon organic pada luasan dan ketebalan yang tercantum pada peta skala
1:250.000 adalah pada kondisi tahun 1990 yakni sekitar 22.283,2 juta ton karbon, dan
pada kondisi 2002 sekitar 18.813,4 juta ton karbon, sehingga terjadi penyusutan sebesar
3.469,8 juta ton karbon selama 12 tahun.
3. Penyusutan gambut tertinggi terjadi pada tanah gambut dengan kedalaman sedang yang
pada tahun 1990-an telah dibuka untuk pemukiman/pertanian tanaman semusim,
kemudian menyusul tanah gambut dengan kedalaman sangat dalam yang akhir-akhir ini
dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan areal hutan tanaman industri.

DAFTAR PUSTAKA

Chambers, M.J. 1979. Rate of peat loss on the Upang transmigration project South Sumatera.
Makalah A17. Proc. Simp. Nasional III. Pengembangan Daerah Pasang Surut.
Palembang, 5-10 Pebruari 1979.
Driessen, P.M., and P. Sudewo. 1975. A Review of Crops and Crop Performance on
Southeast Asian Lowland Peats. Soil Research Institute, Bogor, Bulletin 4.

15
Hardjowigeno, S. 1989. Sifat-sifat dan potensi tanah gambut Sumatera untuk pengembangan
pertanian. Hal. 15-42. Dalam Muis Lubis, A. et al. (ed.). Prosiding Seminar Tanah
Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fak. Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara,
Medan 27 November 1989.
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978. Soil surveys and soil mapping of Mesuji Area, Sub P4S
Jambi. Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut P4S, Direktorat Jenderal
Pengairan, Dept. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
IPB (Institut Pertanian Bogor). 1984. Survei dan pemetaan tanah daerah Sibumbung, Sub
P4S Sumatera Selatan. Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut P4S, Direktorat
Jenderal Pengairan, Dept. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
Jansen, J.A.M., Andriesse, and Alkusuma. 1994. Manual for soil survey in coastal lowlands.
Lawoo/ AARD.
Kyuma, K. 1987. Tropical peat soil ecosystem in Insular Southeast Asia (Manuscript).
Lillesand, Th. M. and Ralph W. Keifer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation .
John Willey and Sons. New York.
Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong, and L. Koonvai. 1991. Characteristization, distribution
and utilization of peat in Malaysia. p. 7-6. In Aminuddin, B.Y. (ed.). Tropical Peat.
Proceed of the Intern. Symp. on Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10
May 1991.
Pusat Penelitian Tanah. 1988. Buku Penuntun Lapangan untuk survei Tanah Tinjau Pulau
Sumatera Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Lahan (LREP).
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1986 – 1990. Buku Keterangan Peta Satuan Lahan
dan Tanah Seluruh Sumatera (42 Lembar), Skala 1 : 250.000. Proyek Perencanaan
dan Evaluasi Sumber Daya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia, 1999.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Sumarwoto, O. 1989. Tekanan terhadap lingkungan, khususnya lahan dan tanggung jawab
terhadap dunia industri. Managemen Industri.
Tejasukmana, B.S., Wawan K. Harsanugraha, Ratih Dewanti, dan Kustiyo. 1994. Prospek
Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Rasionalisasi Data Penggunaan
Sumberdaya Lahan. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan di Cisarua, 9-11 Februari,
1999.

16

You might also like