You are on page 1of 64

KEHAMILAN POSTTERM

PRESENTASI KASUS

Universitas Andalas

Oleh:

Dolly Nurdin Lubis


Peserta PPDS

Pembimbing :
Dr. H. Pelsi Sulaini, SpOG (K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND
RS Dr. M.DJAMIL PADANG
2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................iii
DAFTAR TABEL..........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
BAB II LAPORAN STATUS..........................................................................3
A. Identitas...........................................................................................3
B. Keluhan Utama................................................................................3
C. Riwayat Penyakit Sekarang............................................................3
D. Riwayat Penyakit Dahulu................................................................4
E. Riwayat Penyakit Keluarga.............................................................4
F. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, Dan Kebiasaan....4
G. Pemeriksaan Fisik...........................................................................4
H. Pemeriksaan Laboratorium.............................................................6
I. Diagnosa.......................................................................................10
J. Sikap..............................................................................................10
K. Rencana........................................................................................10
L. Perjalanan Penyakit......................................................................10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...................................................................20
A. Definisi Kehamilan Postterm.........................................................20
B. Patogenesis Kehamilan Postterm.................................................20
C. Diagnosis Kehamilan Postterm.....................................................21
D. Komplikasi Kehamilan Postterm...................................................25
E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm.........................................28
BAB IV DISKUSI........................................................................................39
BAB V KESIMPULAN................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................49
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Amniotic Fluid Index.................................................................32


Gambar 2. Skema penatalaksanaan kehamilan postterm.........................38
Gambar 3. USG tanggal 11-03-2010.........................................................51
Gambar 4. USG tanggal 09-04-2010.........................................................51
Gambar 5. CTG dan skor profil biofisik tanggal 09-04-2010.....................52
Gambar 6. USG tanggal 12-04-2010.........................................................52
Gambar 7. CTG dan skor profil biofisik tanggal 12-04-2010.....................53
Gambar 8. CTG tanggal 15-04-2010.........................................................53
Gambar 9. CTG tanggal 17-04-2010.........................................................53
Gambar 10. CTG tanggal 20-04-2010.......................................................54
Gambar 11. USG tanggal 20-04-2010.......................................................54
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik........................................................33

Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik...............33

Tabel 4. Pelviks skor menurut Bishop........................................................34

Tabel 3. Rejimen drip induksi dengan oksitosin........................................35


BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari


42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT).
[ CITATION Cun05 \l 1057 ] Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam
dunia obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan
kematian bayi. Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada
definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan
usia kehamilan.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam


penegakan diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai
lamanya kehamilan marupakan hal yang penting karena semakin lama
janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula resiko bagi janin
ataupun neonatus untuk mengalami gangguan yang berat. [ CITATION
Cun05 \l 1057 ] Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama
haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen.
[ CITATION Moc \l 1057 ] Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia
kehamilan dapat ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan
pemeriksaan pada usia kehamilan 6-11 minggu. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang
pasti mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang
sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan
usia kehamilan yang tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga
janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan.
Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan menyulitkan kita untuk
menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya mengalami
morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim. [ CITATION Moc
\l 1057 ]

1
Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah
karena pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42
minggu, didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai
Bishop yang rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Sementara itu, persalinan yang berlarut-larut akan sangat
merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih menjadi kontroversi
sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung dilakukan
terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil dilakukan
pemantauan kesejahteraan janin.[ CITATION Moc \l 1057 ]

Pada makalah ini akan dilaporkan sebuah kasus dari seorang pasien
berusia 23 tahun yang didiagnosa dengan G 1P0A0H0 gravid postterm 42-43
minggu. Selama penanganan ekspektatif, pasien didiagnosa mengalami
oligohidramnion dan kehamilannya diterminasi dengan drip induksi.
Induksi akhirnya berhasil dan pasien melahirkan seorang bayi laki-laki
dengan berat badan 2858 gr, panjang badan 48 cm, serta skor APGAR
7/8. Namun demikian, tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas dari
penampilan fisik janin pada masa postpartum. Pembahasan dalam
makalah ini akan dititikberatkan pada rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah penegakkan diagnosa kehamilan postterm dan komplikasi


oligohidramnion pada kasus ini sudah tepat?
2. Apakah penatalaksanaan kasus pada pasien ini sudah tepat?
BAB II
LAPORAN STATUS

A. Identitas

 Nama : Ny. Desniarti


 Usia : 23 tahun
 No. RM : 662175
 Tanggal: 20/04/10

B. Keluhan Utama

Seorang pasien wanita usia 23 tahun masuk ke KB IGD RSMJ pada


tanggal 20/04/10 pukul 11.50 WIB kiriman poliklinik kebidanan dengan
diagnosa G1P0A0H0 gravid postterm 42-43 minggu + oligohidramnion

C. Riwayat Penyakit Sekarang

 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)


 Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan (-)
 Keluar air-air banyak dari kemaluan (-)
 Keluar darah banyak dari kemaluan (-)
 Tidak haid sejak ± 10 bulan yang lalu
 HPHT (26/06/09); TP (03/04/10)
 Gerak anak sudah dirasakan sejak ± 6 bulan yang lalu
 RHM : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
 PNC : kontrol ke poliklinik dan Puskesmas
 RHT : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
 Riw menstruasi : menarche usia 13 tahun, siklus teratur 1 kali 28
hari, selama 5-7 hari, 2-3 kali ganti duk per hari, nyeri haid (-)

3
D. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, dan
hipertensi

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan,


menular, dan kejiwaan

F. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, Dan Kebiasaan

 Riw. perkawinan : 1 x tahun 2009


 Riw. Kehamilan/Abortus/Persalinan : 1/0/0
- Sekarang
 Riw. Kontrasepsi : (–)
 Riw. Imunisasi : TT 1 kali di puskesmas

G. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Ku Kes Td N R T Tb Bb
Sedang CMC 120/70 80 20 Af 155 57
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Leher : JVP 5 – 2 cmH2O, tiroid tak membesar
 Toraks : cor dan pulmo status interna
 Abdomen : status obstetrikus
 Genitalia : status obstetrikus
 Ekstermitas : edema (-/-), refleks fisiologis (+/+), refleks patologis
(-/-)
Status Obstetrikus

Abdomen
 Inspeksi : Membuncit sesuai usia kehamilan aterm, sikatriks (-)
 Palpasi
- L1 : Fundus uteri teraba 3 jari di bawah prosessus
xiphoedeus. Teraba massa besar, lunak, nodular.
- L2 : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri. Teraba
bagian-bagian kecil di sebelah kanan
- L3 : Teraba massa keras terfiksir
- L4 : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP
- TFU = 32 cm; TBA = 2945 gr; His = (-)
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal; BJA = 140 x/mnt

Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- Φ tidak ada
- Porsio tebal 1,5 cm, posterior, kaku
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II
 Ukuran panggul dalam:
- Promontorium sulit dinilai
- Linea inominata sulit dinilai
- Os. Sacrum cekung
- DSP lurus
- Spina ischiadika tidak menonjol
- Os. Coccygeus mudah digerakkan
- Arcus pubis ˃ 90°
 Ukuran Panggul Luar: Distantia inter tuberosa dapat dilewati satu
tinju dewasa (˃10,5 cm)
 Kesan : Panggul luas

H. Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal 11/03/10

USG
 Janin hidup tunggal intra uterin letak sungsang
 Aktifitas gerak janin baik
 Biometri: BPD (8,5); FL (5,8); HL (5,6); AC (28,0); TBA (2000-2100);
 AFI (10,2)
 Plasenta tertanam di korpus depan grade I-II
 Kesan : Gravid sesuai biometri 31-32 minggu, janin hidup

Sikap
Kontrol ulang 4 minggu lagi

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal 09/04/10

USG
 Janin hidup tunggal intra uterin letak kepala
 Aktifitas gerak janin baik
 Biometri: BPD (9,1); FL (7,2); HL (6,2); AC (32,0); TBA (2900-3000);
 AFI (10,6)
 Plasenta tertanam di korpus depan grade II-III
 Kesan : Gravid aterm, janin hidup

CTG
 Baseline : 130-140 dpm
 Variabilitas : 5-15 dpm
 Akselerasi : (+)
 Deselerasi : (-)
 Gerak janin : (+)
 Kontraksi : (-)
 Kesan : CTG reaktif

Skor Profil Biofisik


 NST :2
 Gerak nafas : 2
 Gerak janin : 2
 Tonus otot : 2
 AFI :2
 Total : 10

Sikap
Kontrol ulang 3 hari lagi

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal 12/04/10

USG
 Janin hidup tunggal intra uterin letak kepala
 Aktifitas gerak janin baik
 Biometri: BPD (9,1); FL (7,2); HL (6,2); AC (32,6); TBA (2900-3000);
 AFI (10,2)
 Plasenta tertanam di korpus depan grade II-III
 Kesan : Gravid aterm, janin hidup

CTG  Deselerasi : (-)


 Baseline : 130-140 dpm  Gerak janin : (+)
 Variabilitas : 5-10 dpm  Kontraksi : (-)
 Akselerasi : (+)  Kesan : CTG reaktif
Skor Profil Biofisik  Tonus otot : 2
 NST :2  AFI :2
 Gerak nafas : 2  Total :10
 Gerak janin : 2

Sikap
Kontrol ulang 3 hari lagi

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal 15/04/10

CTG
 Baseline : 140-150 dpm
 Variabilitas : 5-10 dpm
 Akselerasi : (+)
 Deselerasi : (-)
 Gerak janin : (+)
 Kontraksi : (-)
 Kesan : CTG reaktif

Sikap
Kontrol ulang 2 hari lagi

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal 17/04/10

CTG
 Baseline : 130-140 dpm
 Variabilitas : 5-10 dpm
 Akselerasi : (+)
 Deselerasi : (-)
 Gerak janin : (+)
 Kontraksi : (-)
 Kesan : CTG reaktif
Lapor Konsulen Resti

Advis:
 Ulang CTG tiga hari lagi
 Bila gerak anak dirasakan berkurang atau keluar air-air banyak dari
kemaluan, pasien datang ke IGD

Sikap
Kontrol ulang 3 hari lagi

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal 20/04/10

CTG
 Baseline : 130-140 dpm
 Variabilitas : 5-10 dpm
 Akselerasi : (+)
 Deselerasi : (-)
 Gerak janin : (+)
 Kontraksi : (-)
 Kesan : CTG reaktif

Lapor Konsulen Resti

Advis:
 Periksa AFI → AFI 3,9
 Kesan : Oligohidramnion

Sikap
Terminasi kehamilan dengan drip induksi

Darah Rutin
 Hb : 10,3 gr/dl  Leukosit : 9.300/mm3
 Hematokrit : 32 %  Trombosit : 234.000/mm3

I. Diagnosa

G1P0A0H0 gravid postterm 42-43 minggu + oligohidramnion


Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala H I-II

J. Sikap

 Kontrol KU, VS, His, BJA


 Drip induksi

K. Rencana

Partus pervaginam

L. Perjalanan Penyakit

Tanggal : 20/04/10

Pukul: 12.30 WIB


Dimulai drip induksi hari I kolf I dengan 5 i.u oksitosin dalam 500 cc RL
dengan tetesan awal 10 tetes/menit dinaikkan 5 tetes/menit sampai his
adekuat (maksimal 60 tetes/menit)

Pukul: 16.45 WIB


Selesai drip induksi hari I kolf I

Anamnesa:
 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
 Gerak anak (+)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan CMC 110/7 80 22 Af (-) 144
g 0
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, kaku
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II

Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari I
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala H I-II

Sikap
 Kontrol KU, VS, BJA
 Istirahat 24 jam
 CTG fetomaternal
 Lanjutkan drip induksi hari II

Rencana
Partus pervaginam

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal : 21/04/10

CTG
 Baseline : 130-140 dpm
 Variabilitas : 5-10 dpm
 Akselerasi : (+)
 Deselerasi : (-)
 Gerak janin : (+)
 Kontraksi : 7-8’/15”/L
 Kesan : CTG reaktif

Lapor Konsulen Fetomaternal → Advis: Istirahat, lanjutkan drip induksi


hari II besok (22/04/10)
Tanggal : 22/04/10

Pukul: 7.30 WIB

Anamnesa:
 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
 Gerak anak (+)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan CMC 110/7 82 20 Af (-) 140
g 0
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, kaku
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II

Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari I
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala H I-II

Sikap
 Kontrol KU, VS, BJA
 Drip induksi hari II

Dimulai drip induksi hari II kolf I dengan 5 i.u oksitosin dalam 500 cc RL
dengan tetesan awal 10 tetes/menit dinaikkan 5 tetes/menit sampai his
adekuat (maksimal 60 tetes/menit)
Pukul: 11.45 WIB
Selesai drip induksi hari II kolf I

Anamnesa:
 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
 Gerak anak (+)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan CMC 110/7 84 20 Af (-) 144
g 0
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, sedang
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II

Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala H I-II

Sikap
 Kontrol KU, VS, BJA
 Istirahat 24 jam
 Lanjutkan drip induksi hari III

Rencana
Partus pervaginam
Lapor konsulen fetomaternal → advis: istirahat 24 jam, lanjutkan drip
induksi hari III (24/04/10)

---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal : 23/04/10

Pukul: 7.30 WIB

Anamnesa:
 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
 Gerak anak (+)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan CMC 110/8 82 20 Af (-) 140
g 0
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, sedang
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II

Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala H I-II

Sikap
 Kontrol KU, VS, BJA
 Istirahat 24 jam
 Drip induksi hari III besok

---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal : 24/04/10

Pukul: 6.00 WIB

Anamnesa:
 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
 Gerak anak (+)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan CMC 110/8 82 20 Af (-) 140
g 0
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, sedang
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II

Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala H I-II

Sikap
 Kontrol KU, VS, BJA
 Istirahat 24 jam
 Drip induksi hari III

Dimulai drip induksi hari III kolf I dengan 5 i.u oksitosin dalam 500 cc RL
dengan tetesan awal 10 tetes/menit dinaikkan 5 tetes/menit sampai his
adekuat (maksimal 60 tetes/menit)
Pukul: 10.45 WIB
Selesai drip induksi hari III kolf I

Anamnesa:
 Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (+)
 Gerak anak (+)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan CM 120/7 82 20 A 5-6”/30”/S 140
g C 0 f
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- ϕ 2-3 cm
- Ketuban (+)
- Teraba kepala SS melintang HI-II

Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu kala I fase laten
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala SS melintang H I-II

Sikap
 Kontrol KU, VS, His, BJA
 Lanjutkan drip induksi hari III kolf II

Rencana
Partus pervaginam

Dimulai drip induksi hari III kolf II dengan 10 i.u oksitosin dalam 500 cc
RL dengan tetesan 30 tetes/menit konstan

Pukul: 12.30 WIB

Anamnesa:
 Keluar air yang banyak dari kemaluan, warna jernih
 Pasien merasa kesakitan dan ingin mengedan
 Gerak anak (+)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan CMC 120/7 88 22 Af 2-3”/55”/K 140
g 0
Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang
 Vaginal toucher
- ϕ lengkap
- Ketuban (-) sisa jernih
- Teraba kepala UUK depan HIII-IV

Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu kala II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala UUK depan H III-IV

Sikap
 Kontrol KU, VS, His, BJA
 Pimpin mengedan

Rencana
Partus pervaginam

Laporan partus

Pukul: 13.00
Lahir bayi ♂ (LK) secara spontan dengan BB = 2858 gr, PB = 48 cm,
A/S = 7/8. Tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas. Plasenta lahir
spontan. Lahir lengkap, 1 buah, berat dan ukuran dalam batas normal,
insersi parasentral. Luka episiotomi dijahit dan dirawat. Perdarahan
selama persalinan ± 80 cc.

Diagnosa
P1A0H1 post partus postmaturus spontan
Ibu dan anak baik
Sikap
Awasi kala IV

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal: 25/04/10

Pukul: 07.30

Anamnesa:
 Demam (-), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-)

Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T
Sedan CMC 110/7 80 20 Af
g 0
 Mata : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik
 Abdomen
- Inspeksi : perut tampak sedikit membuncit
- Palpasi : FUT 3 jari di bawah pusat, kontraksi baik
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : BU (+) normal

Genitalia
 Inspeksi : V/U tenang

Diagnosa
G1P0A0H0 post partus postmaturus spontan nifas hari ke I
Anak baik – ibu baik

Sikap
 Kontrol KU, VS, PPV
 Mobilisasi
 Breast care
 Diet TKTP
 Vulva higiene
Rencana
Pulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kehamilan Postterm

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of


Obstetricians and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah
kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang
terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). [ CITATION
Cun05 \l 1057 ]

B. Patogenesis Kehamilan Postterm

Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih


belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk
menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya


kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya
pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya.
[ CITATION Moc \l 1057 ]
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis
wanita hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu
fakor penyebab terjadinya kehamilan postterm.[ CITATION Moc \l
1057 ]
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi
plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan
memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh
terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus
kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan

25
menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan berlangsung lewat bulan.[ CITATION Moc \l 1057 ]
4. Treori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan
postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada
ganglion servikalis, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek,
dan masih tingginya bagian terbawah janin.[ CITATION Moc \l 1057
]
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan
postterm telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya.
Kitska et al (2007) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa
seorang ibu yang pernah mengami kehamilan postterm akan
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm
pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan
kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh
faktor genetik. [ CITATION Zac07 \l 1057 ]

Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut


telah dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010)
melakukan penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm
dan telah membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap
inisiasi persalinan secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan
bahwa antigen HLA A dan B pada janin postterm lebih memiliki
persamaan dengan antigen maternal-nya dibanding janin aterm.
Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi “keterlambatan” sistem
imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal yang terdapat
pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui
mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B.
Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang
dibutuhkan untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara
spontan. [ CITATION Rob10 \l 1057 ]

C. Diagnosis Kehamilan Postterm


Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada
4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak
terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.
[ CITATION Cun05 \l 1057 ] Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis
kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin
berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan
neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun
sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga
bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

1. Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit


untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya.
Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat
ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan
yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung
sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). [ CITATION Cun05 \l
1057 ]

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak


akurat atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika
berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki
tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat
dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu
harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur,
(c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. [ CITATION
Moc \l 1057 ]

Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia


kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih
sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding
dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat.
Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada
asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40
minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir. [ CITATION
Cun05 \l 1057 ] Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan
karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan
asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi.
Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena
adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama
7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari,
masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus.
Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang
seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya
bayi.[ CITATION Ben04 \l 1057 ] Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu. [
CITATION Coh10 \l 1057 ]

2. Riwayat pemeriksaan antenatal

Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat


dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih
dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: [ CITATION Ala07 \l
1057 ]

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif


b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan
Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali
dengan stetoskop Laennec

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia
kehamilan telah banyak menggantikan metode HPHT dalam
mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian
terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan
melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih
tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia


kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat sehingga
kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin
rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan
jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length)
adalah ± 0,67 minggu.[ CITATION Coh10 \l 1057 ] Pada usia
kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal
(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL)
memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. [ CITATION
Moc \l 1057 ]

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester


III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat
keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun
USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester
III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat
kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi
tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika
berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai
± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada
trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.
[ CITATION Coh10 \l 1057 ]

4. Pemeriksaan cairan amnion


a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat
melihat sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel
yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan
diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya
mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu
atau lebih.[ CITATION Moc \l 1057 ]
b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis
yang sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban
didalamnya.[ CITATION Moc \l 1057 ]
c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian
terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion
mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat
dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan
41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan
pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik.
Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan
bahwa kehaminan sudah postterm.[ CITATION Moc \l 1057 ]
d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan
kadar L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah
sama (1:1). Pada usia kehamilan ±32 minggu,
perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap
bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk
menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk
menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan.
[ CITATION Moc \l 1057 ]

D. Komplikasi Kehamilan Postterm

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada


cairan amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai
perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola
kasus persalinan postterm.
1. Disfungsi plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya


komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada
janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38
minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu.
Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan
kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan
makanan dan oksigen akan menurun akibat proses penuaan
plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga
disebut sebagai dismatur.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

2. Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan


kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak
pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun
menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan
jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml,
250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu.
[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm


berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan
bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada
kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran darah
(resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat
menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya
menimbulkan oligohidramnion. [ CITATION AUO02 \l 1057 ] Oleh
sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan
postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa
kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang
menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm,
keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra
partum. [ CITATION Moc \l 1057 ]

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi


cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini
terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid.
Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-paru janin akan
mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi
4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium
akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan
meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. [ CITATION
Cun05 \l 1057 ]

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan


pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah
pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada
setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat
kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan anmion
(Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm
atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion.
[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

3. Perubahan pada janin

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin


pada kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik
khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang
disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan
tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit
menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini
menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan
amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang,
serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus kehamilan
postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi
plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan
tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm
dibagi dalam 3 stadium: [ CITATION Moc \l 1057 ]

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi


berupa kulit kering, rapuh, dan mudah
mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium
pada kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali
pusat.

E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan


masih banyak perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi
pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada
beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu dapat ditentukan
dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang
diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada
±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan
skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm
ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah
apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah
sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan
pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun
biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul
indikasi untuk mengakhiri kehamilan.[ CITATION Moc \l 1057 ]
1. Pemantanauan kesejahteraan janin
Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi
dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan
menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih
akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja. Secara
umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel
yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa
beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan
janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel
diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab
itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan
profil biofisiknya.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun


menurun sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-
parasimpatis yang impulsnya berasal dari batang otak. Menurut
hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam
keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan
mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap
gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia
kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat
akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat
seiring dengan peningkatan usia kehamilan. [ CITATION Cun05 \l
1057 ]

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes


beban kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress
test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk
mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk
menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes
utama yang paling sering digunakan untuk menilai
kesejahteraan janin. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]
b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan


janin adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical
chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi,
dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan dinding
perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses
inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa.
Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya
gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang
menyerupai gerakan pada saat batuk.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian


mengenai adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin
melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi
kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi
secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak
ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya.
Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24
jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan
gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu
terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin
normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan
sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan
bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan
nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh
sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan
gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain,
misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. [ CITATION Cun05 \l
1057 ]
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah


mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks
serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah
minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak pernah
berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian,
ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali
sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya
jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan
sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. [ CITATION
Cun05 \l 1057 ]

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum


menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus
istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan
janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh
normal telah terbentuk pada 80% janin. [ CITATION Cun05 \l
1057 ]

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan


bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin
rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan
janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan,
yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan
menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin
tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan
aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur
janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini
merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke-
tiga. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]
d. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian


dari pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki
risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada
pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan
menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin
janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion.
[ CITATION AUO02 \m Cun05 \l 1057 ]

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan


pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion
(amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan
dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap
kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai
AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan
indikasi adanya oligohidramnion. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu


kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest
pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion
dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.
[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Gambar 1. Amniotic Fluid Index [ CITATION Cun05 \l 1057 ]


Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di
atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai
kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar
antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik


dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi
apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika
didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka penanganan
diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.

Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil


biofisik[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering
menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi
persalinan menjadi salah satu prosedur medis yang paling sering
dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari
9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. [ CITATION Hei07 \l
1057 ]

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil


yang belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk
merangsang timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi
persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks yang progresif
disertai penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi
persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi
walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan
untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.
[ CITATION Hei07 \l 1057 ]

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh


beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari
kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini
dapat dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai
berdasarkan lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam
dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan induksi
persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi serviks,
(2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi
serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.

Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]


Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi
persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya
menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable)
sehingga membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan
secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik
(kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping).[ CITATION Cun05
\l 1057 ]

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk


induksi persalinan dalam bidang obstetri. [ CITATION Hei07 \l 1057 ]
Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus
dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat
pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang
diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak
dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-
20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000
cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar
oksitosin 10-20 mU/mL.[ CITATION Cun05 \l 1057 ] Terdapat
berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip
oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis
tinggi.

Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis


oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin
30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka
indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih
besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor
vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau
hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga
meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap
berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his
sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg
atau lebih (200 Montevidio).[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion


Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan
postterm tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan.
Pada tahap awal, harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin
dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang
diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan
pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin.
[ CITATION Hei07 \l 1057 ]

Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum


menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda.
Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari [ CITATION Cun05 \l 1057 ],
melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang
memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol
yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan
bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada
kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko
janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini
lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang
dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa
hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang
mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. [
CITATION Cun05 \l 1057 ]
Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et
al., (2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai
AFI ≤ 5 cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk.
Begitu juga dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan
peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada kondisi
oligohidramnion.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling


berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan postterm
harus dilakukan pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di
Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal yang
memadai.

Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada


kehamilan postterm mencakup:

a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan


kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin secara
kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama
persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-
waktu terjadi kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap
wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat
kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin
dengan cairan ketuban bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda
postmaturitas
Gambar 2. Skema penatalaksanaan kehamilan postterm.[ CITATION
Cun05 \l 1057 ]
BAB IV
DISKUSI

Pada makalah ini dilaporkan sebuah kasus dari seorang pasien usia
23 tahun yang masuk ke KB IGD RSMJ pada tanggal 20-04-2010 pukul
11.50 WIB kiriman poliklinik kebidanan dengan diagnosa G 1P0A0H0 gravid
postterm 42-43 minggu + oligohidramnion. Berdasarkan anamnesa, HPHT
pasien adalah tanggal 26-06-2009 dengan siklus haid teratur tiap 28 hari.
Pasien juga menyatakan belum pernah menggunakan kontrasepsi
sebelumnya. Penentuan tanggal taksiran persalinan pasien ini
berdasarkan rumus Neagle jatuh pada tanggal 03-04-2010 (usia
kehamilan 40 minggu).

Pada perjalanan penyakitnya, sampai usia kehamilan telah mencapai


42 minggu lengkap (tanggal 17-04-2010), pasien ditangani secara
ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin
menggunakan pemeriksaan CTG dan USG serta profil biofisik. Pada
tanggal 20-04-2010, ketika kehamilan pasien telah mencapai usia 42-43
minggu, pasien berdasarkan pemeriksaan AFI dinyatakan mengalami
oligohidramnion. Kehamilan lalu diterminasi dengan drip induksi
menggunakan tetesan okstosin sampai hari ke-3 induksi dengan selang
istirahat selama 24 jam. Pasien partus secara spontan dan melahirkan
seorang bayi laki-laki dengan berat 2858 gr, panjang 48 cm, dan skor
APGAR 7/8. Namun demikian, pada bayi tidak ditemukan tanda-tanda
postmaturitas.

Penulisan laporan ini berangkat dari permasalahan tentang


penegakkan diagnosa dan penanganan kehamilan postterm serta
komplikasi oligohidramnion pada pasien tersebut. Pada kasus ini,
penegakkan diagnosa kehamilan postterm didasarkan kepada
penghitungan usia kehamilan berdasarkan HPHT. Pada saat masuk untuk

45
dirawat pada tanggal 20-04-2010, usia kehamilan pasien menurut HPHT
adalah 42-43 minggu. Usia tersebut sudah termasuk ke dalam definisi
kehamilan postterm yang dirumuskan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari
pertama siklus haid terakhir/HPHT.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Mochtar, et al (2004) menyatakan bahwa riwayat HPHT yang dapat


dipercaya untuk menentukan usia kehamilan harus memenuhi syarat-
syarat tertentu, yaitu; ibu yakin betul dengan HPHT-nya, siklus haid 28
hari dan teratur, serta pasien tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan
terakhir. Pada kasus ini, jika didasarkan kepada kriteria HPHT yang dapat
dipercaya, diagnosa kehamilan postterm sudah bisa ditegakkan. Namun
demikian, bukti objektif dari kehamilan postterm itu sendiri, yaitu tanda-
tanda postmaturitas, tidak ditemukan pada bayi yang dilahirkan.

Terdapat dua alasan yang mungkin dapat menjelaskan adanya


ketidaksesuaian antara diagnosa antepartum dengan fakta yang
ditemukan pada masa postpartum dalam kasus ini. Kemungkinan
pertama, usia kehamilan pada kasus ini memang sudah postterm namun
tidak ditemukan keadaan-keadaan yang menyebabkan munculnya tanda-
tanda postmaturitas pada bayi.

Seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, pada kehamilan


postterm terjadi berbagai perubahan baik plasenta, air ketuban, maupun
janin yang akan mempengaruhi kesejahteraan janin intrauterin. Disfungsi
plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada
kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta
mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai
menurun terutama setelah 42 minggu. Selain itu, terjadi pula perubahan
komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh akibat
pelepasan vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid yang dikenal dengan
sebutan perwarnaan mekonium (mekonium staining).[ CITATION Cun05 \l
1057 ]

Akibat perubahan-perubahan plasenta dan jumlah cairan amnion,


janin pada kehamilan postterm akan mengalami berbagai perubahan fisik
khas yang disebut dengan tanda-tanda postmaturitas. Perubahan-
perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus,
kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa sehingga kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu;
rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Faktanya, pada kasus ini tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas


pada bayi yang dilahirkan. Menurut Mochtar, et al (2004), tidak seluruh
bayi yang dilahirkan dari kehamilan postterm menunjukkan tanda-tanda
postmaturitas sebab hal tersebut tergantung pada fungsi plasenta. Pada
kehamilan postterm, umumnya hanya didapatkan sekitar 12-20%
neonatus dengan tanda postmaturitas.[ CITATION Moc \l 1057 ]
Kemungkinan pada kehamilan ini fungsi plasenta belum mengalami
penurunan yang nyata sehingga pada bayi yang dilahirkan tidak
ditemukan tanda-tanda postmaturitas meskipun usia kehamilan telah lebih
dari 42 minggu.

Alasan kedua yang bisa menerangkan penyebab tidak ditemukannya


tanda-tanda postmaturitas pada bayi dalam kasus ini adalah karena terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan. Menurut[ CITATION Cun05 \l
1057 ], meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada
4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak
terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh
sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi
yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting.
Kesalahan dalam perkiraan usia kehamilan biasanya diakibatkan karena
ibu lupa/tidak yakin dengan HPHT-nya, siklus haid yang tidak teratur, atau
akibat ovulasi yang terlambat.[ CITATION Placeholder1 \l 1057 ]

Pada kasus ini, pasien merasa telah yakin dengan HPHT-nya dan
menyatakan dalam anamnesa memiliki siklus haid yang teratur tiap 28
hari. Namun demikian, kemungkinan adanya kesalahan penentuan usia
kehamilan berdasarkan HPHT masih bisa terjadi. Hasil penelitian Savitz,
et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan
berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai
kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat
ovulasi yang terlambat.

Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi


bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari
pertama siklus haid yang terakhir. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]
Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat
bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi
terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu
terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular,
yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang
memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari
ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia
kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi
sampai lahirnya bayi.[ CITATION Ben04 \l 1057 ] Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ±
1,37 minggu.[ CITATION Coh10 \l 1057 ] Jika berdasarkan riwayat haid,
diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan ± 30 persen.
[ CITATION Moc \l 1057 ]

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan


telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa
kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan
bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki
tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Savitz, et al (2002) menyatakan bahwa usia kehamilan dari


penghitungan HPHT rata-rata lebih panjang 2,8 hari dibanding hasil
pengukuran USG trimester I dan II. Oleh sebab itu, jika berdasarkan
HPHT, diagnosa kehamilan postterm lebih tinggi (12,1%) dibandingkan
dengan USG (3,4%).[ CITATION Placeholder1 \l 1057 ] Keakuratan
penentuan usia kehamilan dengan pemeriksaan USG sendiri juga
tergantung pada waktu pelaksanaan pemeriksaan. Penelitian Caughey, et
al (2008) menunjukkan bahwa diagnosa postterm pada kelompok yang
melakukan pemeriksaan USG di bawah 12 minggu/trimester I lebih rendah
(2,7%) dibanding kelompok yang melakukan pemeriksaan pada minggu
13-24/trimester II (3,7%).[ CITATION Cau08 \l 1057 ] Jadi, semakin awal
pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan
semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan
postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I
(crown-rump length) adalah ± 0,67 minggu.[ CITATION Coh10 \l 1057 ]

Pada kasus ini, selain dari HPHT, informasi mengenai usia


kehamilan sebenarnya juga bisa didapatkan dari hasil pemeriksaan USG.
Namun demikian, sayangnya pasien baru melakukan pemeriksaan USG
untuk pertama kali setelah kehamilan memasuki usia trimester III
sehingga akurasi usia kehamilan yang didapatkan tidak setinggi apabila
seandainya USG dilakukan pada trimester I atau II. Pemeriksaan usia
kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian
Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah
dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran
biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi
sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini
juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa
mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada
trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.[ CITATION Coh10 \l 1057 ]
Namun demikian, sayangnya pemeriksaan tersebut belum dapat
dilakukan di institusi ini.

Permasalahan kedua yang menjadi titik berat dari penulisan laporan


ini adalah mengenai diagnosa dan penatalaksanaan komplikasi kehamilan
yang terjadi pada kasus ini, yaitu oligohidramnion. Seperti telah diketahui
dari riwayat perjalanan penyakitnya, pasien setelah didiagnosa dengan
kehamilan postterm lalu diberikan penanganan secara ekspektatif dengan
pemantauan kesejahteraan janin. Selanjutnya, pasien dalam
perjalanannya ternyata diketahui mengalami oligohidramnion sehingga
akhirnya dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi drip oksitosin.

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas


cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncaknya pada usia
kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar
800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus pada usia kehamilan 42 minggu (480 mL), 43 minggu
(250 mL), hingga 44 minggu (160 ml) sehingga meningkatkan risiko
terjadinya oligohidramnion. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm


berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa
berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri
renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin
dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. [ CITATION AUO02 \l
1057 ] Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus
kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa
kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang
menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini
dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra partum. [ CITATION
Moc \l 1057 ]

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan


USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran
diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4
kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal
dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI. Bila nilai
AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi
adanya oligohidramnion. [ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Pada kasus ini, pasien dalam perjalanan penyakitnya didiagnosa


dengan oligohidramnion berdasarkan nilai AFI (3,9 cm). Namun demikian,
pada saat persalinan, bayi lahir tanpa adanya tanda-tanda asfiksia yang
sering menyertai kasus-kasus dengan oligohidramnion. Keadaan ini
sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
diagnosa oligohidramnion berdasarkan AFI ≤5 cm merupakan prediktor
yang kurang akurat terhadap baik atau buruknya kondisi janin pada saat
postpartum.

Magann, et al (2004) melakukan penelitian untuk membandingkan


hasil pengukuran volume cairan amnion antara metode AFI dengan
metode dye-dilution. Metode dye-dilution itu sendiri adalah penghitungan
volume cairan amnion dengan cara mengukur langsung cairan amnion
yang didapatkan melalui tindakan amniosentesis. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa metode AFI merupakan prediktor yang akurat untuk
keadaan volume cairan amnion normal dengan tingkat akurasi mencapai
80-90 persen. Namun, jika digunakan untuk memprediksi keadaan
oligohidramnion, metode AFI hanya memiliki tingkat akurasi 10-20 persen.
[ CITATION Mag04 \l 1057 ]
Rendahnya hubungan antara diagnosa oligohidramnion melalui
pemeriksaan AFI dengan komplikasi peripartum yang terjadi juga
dibuktikan pada penelitian Johnson, et al (2007). Pada penelitian ini,
dilakukan pengujian tingkat akurasi diagnosa oligohidramnion memakai
kriteria AFI ≤5 cm dengan komplikasi peripartum yang dinilai dari 4 hal,
salah satunya skor APGAR ≤3 pada 5 menit pertama. Hasil penelitian ini
menunjukkan rendahnya tingkat akurasi prediksi metode AFI terhadap
terjadinya komplikasi peripartum tersebut. Tingkat sensitivitas metode AFI
terhadap kejadian komplikasi janin dengan skor APGAR 5 menit ≤3
adalah 0,6% meskipun tingkat spesifisitasnya mencapai 99 persen.
[ CITATION Joh07 \l 1057 ]

Hasil penelitian-penelitian tersebut sesuai dengan fakta yang terjadi


pada kasus ini. Tegaknya diagnosa oligohidramnion yang didasarkan
kepada kriteria AFI ≤5 cm ternyata tidak disertai dengan komplikasi pada
janin yang dilahirkan. Jika dipandang dari segi ilmiah, hal ini bisa berarti
bahwa diagnosa oligohidramnion yang ditegakkan pada kasus ini
sebaiknya dibuktikan dengan pemeriksaan lain yang lebih akurat, seperti
pemeriksaan dye-dilution. Namun tentu saja pembuktian tersebut
tergantung kepada sarana dan prasarana yang tersedia.

Berkaitan dengan diagnosa oligohidramnion yang telah ditegakkan


pada pasien ini, maka penanganan kehamilan postterm yang semula
bersifat ekspektatif berubah menjadi aktif. Kehamilan pasien lalu
diterminasi dengan drip induksi oksitosin. Penanganan kehamilan
postterm sampai saat ini masih menjadi kontroversi antara sikap
ekspektatif atau aktif.

Penanganan secara ekspektatif biasanya dilakukan dengan


pengawasan ketat terhadap kesejahteraan janin intrauterin menggunakan
penentuan profil biofisik. Pada kasus ini, setelah mencapai usia kehamilan
aterm, skor biofisik pasien dihitung setiap 1 minggu. Selama penilaian
profil biofisik pasien, didapatkan skor 10 (sepuluh) sehingga dilakukan
kontrol setiap 1 minggu. Menurut Cunningham, et al (2010), skor profil
biofisik 10 memiliki interpretasi bahwa janin dalam keadaan normal tanpa
asfiksia. Oleh sebab itu, tidak ada indikasi untuk melakukan intervensi
apapun terhadap kehamilan dan dilakukan penilaian ulang 1 minggu
kemudian.[ CITATION Cun05 \l 1057 ]

Berbeda dengan sifat penanganan ekspektatif, pada penanganan


aktif dilakukan terminasi kehamilan. Kehamilan postterm merupakan
keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi
persalinan.[ CITATION Hei07 \l 1057 ] Induksi persalinan pada kasus ini
dilakukan karena telah ditemukannya keadaan oligohidramnion dari hasil
pemeriksaan USG (AFI ≤5 cm). Seperti telah dibahas sebelumnya,
diagnosa kehamilan postterm dalam kasus ini masih memiliki kelemahan
karena hanya didasarkan kepada penghitungan usia kehamilan dari
tanggal HPHT dan biometri dari pemeriksaan USG trimester III. Kedua
metode penghitungan tersebut memiliki potensi kesalahan yang cukup
besar dalam penentuan usia kehamilan dan penegakkan diagnosa
kehamilan postterm.[ CITATION Placeholder1 \m Ben04 \m Cau08 \l 1057
] Selain itu, diagnosa oligohidramnion yang dijadikan indikasi untuk
tindakan induksi persalinan dalam kasus ini didasari oleh hasil
pemeriksaan USG (AFI ≤5 cm). Hasil penelitian-penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa pemeriksaan AFI ≤ 5 cm merupakan prediktor yang
tidak akurat terhadap keadaan oligohidramnion yang sebenarnya maupun
angka kejadian komplikasi peripartum (asfiksia postpartum).[ CITATION
Mag04 \l 1057 \m Joh07] Rendahnya tingkat akurasi metode diagnostik
yang digunakan dalam kasus ini dapat dilihat secara objektif dari tidak
ditemukannya tanda-tanda posmaturitas maupun komplikasi peripartum
pada janin.
BAB V
KESIMPULAN

1. Penegakkan diagnosa postterm pada kasus ini memiliki kelemahan


karena ditegakkan hanya berdasarkan HPHT dan pemeriksaan USG
trimester III. Begitu juga dengan dignosa oligohidramnion yang
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan AFI. Tidak ditemukan bukti
objektif dari diagnosa antepartum tersebut pada saat postpartum.
2. Pelaksanaan terminasi kehamilan dengan drip induksi pada kasus ini
secara teoritis merupakan tindakan yang telah sesuai dengan indikasi
oligohidramnion meski penegakkan diagnosanya masih memiliki
kelemahan dari segi praktis.

54
DAFTAR PUSTAKA

Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester


ultrasound screening is effective in reducing postterm labor induction
rates: A randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol.
190, hal. 1077-81.

Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically


mediated? American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret
2010, Vol. 202, 3, hal. 268.

Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs


second-trimester ultrasound: the effect on pregnancy dating and
perinatal outcomes. Am J Obstet Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal.
703.e1-703.e6.

Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and
third trimesters by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of
amniotic fluid. Am J Obstet Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-
10.

Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics.


23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section
VII, Chapter 37.

Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of


Medicine Norwegian University of Science and Technology, 2007.

Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios


in identifying peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March
2007, Vol. 197, hal. 207.e1-207.e8.

Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous postterm
delivery. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-
241.e6.

Magann, EF, et al. 2004. How well do the amniotic fluid index and single
deepest pocket indices predict oligohydramnios and hydramnios?
Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 164-9.

55
Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan.
[penyunt.] R. Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1.
Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI,
Bagian 58, hal. 384-391.

Oz, AU, et al. 2002. Renal Artery Doppler Investigation of the Etiology of
Oligohydramnios in Postterm Pregnancy. Am J Obstet Gynecol.
October 2002, Vol. 100, hal. 715-8.

Pernoll, M L dan Roman, A S. 2007. Late Pregnancy Complication.


[penyunt.] A H DeCherney, et al. Current Diagnosis & Treatment:
Obstetrics & Gynecology. 10th Edition. New York : The McGraw-Hill
Companies, 2007, Chapter 15.

Savitz, DA, et al. 2002. Comparison of pregnancy dating by last


menstrual period, ultrasound scanning, and their combination. Am J
Obstet Gynecol. Desember 2002, Vol. 187, 6, hal. 1660-1666.
LAMPIRAN

Gambar 3. USG tanggal 11-03-2010

Gambar 4. USG tanggal 09-04-2010


Gambar 5. CTG dan skor profil biofisik tanggal 09-04-2010

Gambar 6. USG tanggal 12-04-2010


Gambar 7. CTG dan skor profil biofisik tanggal 12-04-2010

Gambar 8. CTG tanggal 15-04-2010

Gambar 9. CTG tanggal 17-04-2010


Gambar 10. CTG tanggal 20-04-2010

Gambar 11. USG tanggal 20-04-2010

You might also like