You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Human Immunodeviciency Virus (HIV) yang telah menginfeksi manusia
dengan cara merusak pertahanan tubuh dan daya tahan tubuh penderitanya banyak
mendatangkan masalah bagi klien. Salah satu masalah yang dapat muncul pada klien
HIV+ antara lain adalah kecemasan. Menurut Sewell, et al. (2000) kecemasan pada
klien HIV+ berkisar 1-12%. Manifestasi klinis yang dapat muncul seperti ada
perasaan terkekang, khawatir, tidak dapat beristirahat, dll.
Kecemasan yang muncul pada klien dengan HIV+ dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Perubahan fisik, psikososial, ekonomi, lamanya perawatan, cepatnya
perjalanan penyakit, adanya stigma masyarakat terhadap HIV AIDS, dan penggunaan
terapi ARV jangka panjang serta masih banyak lagi faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan kecemasan yang tinggi pada klien.
Tingkat kecemasan yang tinggi pada klien dengan HIV+ tentunya dapat
berdampak pada keberhasilan terapi yang dijalankan oleh klien. Ketidakpatuhan klien
pada terapi ARV umumnya terjadi pada klien dengan gangguan kecemasan (Tucker et
al., 2003; Turner et al., 2003). Kecemasan juga dapat meningkatkan rasa nyeri pada
klien dengan HIV+ (Tsao et al., 2004) dan mempercepat perkembangan dari penyakit
klien (Laserman et al., 2003).
Peningkatan pengetahuan klien tentang strategi mengatasi kecemasan sangat
berperan besar dalam menentukan keberhasilan terapi. Beberapa penelitian telah
dilakukan oleh para peneliti untuk mengetahui strategi mengatasi kecemasan pada
klien dengan HIV+. Seperti penelitian yang dilakukan oleh F. Patrick Robinson, dkk.
Salah satu cara untuk mengatasi kecemasan yang bersifat non farmakologi adalah
dengan menggunakan terapi komplementer yaitu dengan terapi meditasi. Berdasarkan
hasil dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa tindakan penurun stress dengan
terapi pikiran (meditasi) ternyata dapat meningkatkan imunitas tubuh klien.
Peran perawat, terutama peran dari seorang perawat spesialis Keperawatan
Medikal Bedah (KMB) di klinik sangat penting dalam menentukan keberhasilan
terapi. Tindakan keperawatan seorang perawat spesialis pada tatanan klinis tidak
hanya berfokus untuk mengatasi masalah-masalah fisik, tapi bersifat komprehensif
yaitu mengatasi masalah bio-psiko-sosio-spiritual klien. Oleh karena itu penting bagi

1
perawat untuk dapat menurunkan tingkat kecemasan klien agar kualitas hidup klien
dapat meningkat.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan mampu menganalisis peran perawat spesialis KMB dalam
menurunkan tingkat kecemasan pada klien dengan HIV+ dengan menggunakan
meditasi sebagai salah satu terapi komplementer.

2. Tujuan Khusus
Mahasiswa diharapkan mampu :
a. Menganalisis terapi meditasi yang dapat digunakan pada klien dengan HIV+
sebagai salah satu terapi komplementer untuk mengatasi kecemasan.
b. Menelaah beberapa hasil penelitian terkait terapi meditasi untuk menurunkan
tingkat kecemasan pada klien dengan HIV+.
c. Menganalisis penggunaan hasil penelitian pada aplikasi klinis di Indonesia.
d. Menganalisis peran perawat spesialis KMB dalam menurunkan tingkat
kecemasan klien HIV+ dengan menggunakan terapi meditasi.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN JURNAL KEPERAWATAN

A. TINJAUAN TEORI
Kecemasan adalah respon alami dan peringatan pada tubuh manusia yang
memerlukan proses adaptasi. Kecemasan dapat menjadi gangguan patologis bila
berlebihan dan tak terkendali. Kecemasan berperan penting terhadap perkembangan
penyakit bagi klien dengan HIV+ yaitu dapat mempercepat terjadinya replikasi virus
dan menekan respon imun klien (Robinson et al,. 2000)
Gejala dan gangguan kecemasan terjadi karena adanya gangguan pada sistem
saraf pusat (SSP). Manifestasi fisik dan emosional muncul akibat aktivasi dari saraf
simpatik. Kelenjar adrenal akan mengeluarkan hormon-hormon seperti epinefrin,
norepinefrin, mineralokortikoid dan glukokortikoid yang menyebabkan terjadinya
takikardia, kontraksi miokardial, peningkatan metabolisme tubuh, retensi air dan
vasokontriksi perifer. Hormon-hormon neuroendokrine yang dikeluarkan oleh SSP
dan jaringan endokrin dapat menghambat atau menstimulasi fungsi leukosit. Stresor
yang kuat yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada
aktivitas otonom dan perbedaan yang tajam pada sintesis neurohormon dan
neuropeptida. Respon tersebut dapat mengawali terjadinya perlemahan, peningkatan
atau bahkan berakhirnya respon imun (Watkins, 1997). Hubungan antara system
neuroendokrin, system saraf pusat dan otonom dengan system imun disebut juga
psikoneuroimunologi.
Beberapa penelitian menyatakan gangguan fungsi imun seseorang yang
disebabkan karena stress, dapat dibuktikan dengan menurunnya jumlah leukosit,
gangguan respon imun, dan menurunnya sel natural killer (Andersen et al., 1998;
Constantino, Secula, Rabin, & Stone, 2000; Glaser & Kiecolt-Glaser, 1997; Pike et
al., 1997; Robinson, Matthews, & Witek-Janusek, 2000).
Tindakan non farmakologis yang dapat dilakukan perawat untuk menurunkan
tingkat kecemasan klien adalah dengan menggunakan terapi komplementer. Salah
satu terapi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan intervensi pikiran-
tubuh (Mind-Body Interventions) yaitu dengan terapi meditasi. Menurut Black and
Hawks (2008) terapi meditasi adalah terapi konsentrasi mental atau refleksi untuk
menciptakan perasaan damai dan santai. Klien diminta untuk membuang pikiran-

3
pikiran mengenai keduniaan dan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tujuan
meningkatkan pikiran pada level yang berbeda.
2 kategori terapi meditasi menurut Black and Hawks (2008), yaitu :
1. Transcendental meditation, penekanan pada konsentrasi pikiran.
2. Vipassana, penekanan pada kesadaran.
Manfaat terapi ini bagi klien dengan HIV+ adalah tumbuhnya perasaan rileks
yang dalam yang dapat menurunkan tekanan darah dan nadi serta menurunkan
hormon-hormon yang dapat meningkatkan kecemasan/stres. Disamping itu
penggunaan terapi ini sangat aman dilakukan oleh klien karena tidak membahayakan,
tidak memasukan zat-zat apapun ke dalam tubuh, tidak ada efek samping dan
tentunya tidak ada kontraindikasi dengan penggunaan terapi ARV yang sedang
dijalankan oleh klien.

B. TINJAUAN JURNAL KEPERAWATAN


Beberapa hasil penelusuran terhadap jurnal keperawatan terkait terapi meditasi
yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan pada klien HIV+ antara
lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Kemppainen, dkk (2006) dengan judul
“Strategies for Self-Management of HIV-Related Anxiety”. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Kemppainen, dkk, terhadap 502 orang responden dengan HIV+ yang
mengalami kecemasan yang diambil dari beberapa negara (Norwegia, Taiwan, dan
Amerika Serikat), didapatkan hasil yaitu : strategi penanganan nyeri yang dirasakan
cukup efektif antara lain dengan berdoa dengan nilai 8,10 (skala 1-10), diikuti dengan
meditasi (7,37), latihan (7,32), penggunaan teknik relaksasi (7,22), memasak (6,98)
dan berjalan (6,90).
Penelitian yang dilakukan oleh F. Patrick Robinson, dkk (2003) dengan
judul “Psycho-Endocrine-Immune Response to Mindfullness-Based Stress Reduction
in Individuals Infected with the Himan Immunodefisiency Virus : A Quasi
Experimental Study” dilakukan pada 46 orang responden. Program meditasi pada
penelitian ini dilakukan secara terprogram dalam waktu 8 minggu dengan rencana
kegitan yang telah terarah setiap minggunya. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh
klien seperti penjelasan tentang terapi yang akan dijalankan, struktur program, tujuan
dan harapan, meditasi, olah tubuh, yoga, diskusi dll. Dari penelitian ini diperoleh hasil
bahwa tindakan penurun stress dengan terapi pikiran (meditasi) dapat meningkatkan
imunitas klien yang dapat diketahui dari meningkatnya jumlah dan aktivitas dari sel

4
natural killer pada kelompok klien HIV+ yang mendapat intervensi dibandingkan
yang tidak mendapat intervensi.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Michael P. Collins, dkk (2005)
dengan judul The Effects of Meditation and Visual Imagery on an Immune System
Disorder : Dermatomyositis” yang dilakukan selama 294 hari pada klien dengan
gangguan sistem imun dermatomiositis, didapatkan hasil bahwa terapi meditasi yang
dikombinasi dengan visual imageri dapat mempengaruhi fungsi sistem imun klien,
yaitu dengan meningkatkan jumlah sel T dan sel natural-killer (NK) pada klien HIV+.
Setelah melakukan intervensi meditasi dan visual imageri klien mengalami
penyembuhan secara spontan, tanpa pengobatan. Rasa nyeri dan kemerahan pada kulit
klien yang semula ada menjadi berkurang.

5
BAB III
PEMBAHASAN

A. APLIKASI KLINIK DI INDONESIA


Perawat berperan untuk memberikan asuhan keperawatan yang bersifat
komprehensif pada klien. Oleh karena itu, perhatian perawat tidak hanya berfokus
pada perubahan-perubahan fisik yang ada pada klien, namun juga berfokus pada
aspek etik dan juga psikososial klien. Mengingat penting dan eratnya hubungan antara
pengaruh aspek psikososial dan aspek fisik, maka intervensi psikososial merupakan
intervensi yang tidak dapat diabaikan oleh perawat, bahkan oleh perawat yang berada
pada tatanan klinis.
Intervensi keperawatan yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan
(psikososial) dianggap dapat mempertahankan imunitas dan dapat memperlambat
proses penyakit klien. Intervensi yang dilakukan akan dapat mencapai hal tersebut
dengan cara mengarahkan neuroendokrin ke arah yang lebih kondusif sehingga dapat
meningkatkan respon kekebalan tubuh yang optimal.
Terapi meditasi sebagai salah satu dari sekian banyak terapi komplementer
yang ada, merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh perawat. Dengan
memfokuskan perhatian, pikiran, emosi, sensasi dan persepsi secara rutin maka klien
dapat merasakan ketenangan, kedamaian, Tentunya hal ini dapat menyebabkan
kestabilan pada hormon tubuh sehingga kecemasan dapat berkurang / dihindari.
Pada beberapa nergara di luar negeri, terapi meditasi merupakan terapi
komplementer yang sudah umum digunakan sebagai salah satu cara untuk
menurunkan kecemasan pada klien HIV+. Terapi ini umumnya dilakukan secara
berkelompok dan dapat juga dilakukan secara perorangan dengan dibantu oleh
fasilitator yang memandu pelaksanaan terapi dan dilakukan secara rutin setiap hari.
Berbeda dengan di Indonesia, terapi meditasi merupakan tindakan yang
hampir tidak pernah disentuh oleh perawat, terutama pada tatanan klinis. Terapi untuk
menurunkan kecemasan umumnya adalah dengan dengan menggunakan teknik umum
seperti teknik relaksasi napas dalam, visual imageri yang dilakukan secara tidak
teratur dan kurang mendapatkan evaluasi yang cukup baik dari perawat. Hal ini pada
umumnya disebabkan terlalu banyaknya tindakan yang harus dilakukan oleh perawat
untuk mengatasi masalah-masalah fisik klien dibandingkan untuk mengatasi masalah
psikososial klien.

6
Berdasarkan telaah teori dan hasil jurnal keperawatan di dunia yang sudah ada,
terapi meditasi dapat dinyatakan sebagai salah satu terapi yang cukup efektif untuk
meningkatkan kekebalan tubuh klien, termasuk pada klien dengan HIV+. Kecemasan
yang tinggi yang dapat menstimulus terjadinya penyakit dapat di hambat dengan
memberikan ketenangan dan kenyamanan pada klien serta keyakinan bahwa klien
dapat sembuh. Dengan adanya rasa tenang dan damai serta keyakinan bahwa setiap
penyakit dapat disembuhkan, maka hal ini dapat menghambat stimulus hormon-
hormon yang dapat meningkatkan kecemasan / stress.

B. ANALISIS SWOT
Kesenjangan yang selama ini terjadi antara teori dengan praktek yang terjadi
di Indonesia terkait dengan pelaksanaan terapi meditasi pada klien dengan HIV+ akan
diuraikan dalam analisis SWOT berikut ini :
1. Strengthen (S)
Terapi ini dapat dilakukan secara umum oleh semua perawat dan klien tanpa
membedakan jenis agama tertentu. Siapapun dapat melakukannya dengan
panduan / arahan dari perawat yang terlatih. Di samping itu tindakan ini mudah
untuk dilakukan, biaya relatif murah, aman dilakukan, dan tidak membahayakan
klien. Tindakan ini pun dapat dilakukan di atas tempat tidur klien.
2. Weakness (W)
Terapi meditasi membutuhkan tempat yang kondusif yaitu tempat yang nyaman,
tenang, tidak berisik untuk meningkatkan konsentrasi klien. Apabila klien
ditempatkan diruang bangsal, mungkin tindakan ini sedikit sulit dilakukan karena
ketenangan mungkin sulit untuk diperoleh. Disamping itu kesulitan lain yang
mungkin akan ditemui dalam pelaksanaan tindakan ini adalah jumlah perawat
yang kurang memadai sehingga kurangnya waktu bertemu dengan klien. Kurang
pengetahuan perawat tentang terapi meditasi dan kurang sadarnya perawat
terhadap intervensi psikososial juga dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan
tindakan ini.
3. Opportunity (O)
Yang menjadi peluang tindakan ini dapat dilakukan oleh perawat di rumah sakit
adalah karena tindakan ini sebenarnya tidak membutuhkan waktu yang lama.
Hanya dibutuhkan waktu antara 15-30 menit bagi klien untuk mengkonsentrasikan
pikirannya secara rutin setiap hari.

7
4. Threaten (T)
Yang dapat menjadi ancaman pelaksanaan tindakan ini di rumah sakit antara lain
adalah stigma perawat terhadap klien HIV+ dan adanya persepsi bahwa masalah
fisik lebih utama untuk diatasi dibandingkan masalah psikososial.

C. PERAN PERAWAT SPESIALIS DI INDONESIA


Peran perawat spesialis dalam aplikasi klinis sesuai dengan kerumitan
intervensi dan kesiapan perawat pada umumnya pada tindakan menurunkan
kecemasan pada klien HIV+ dengan menggunakan terapi meditasi akan coba
diuraikan dalam 5 peran utama perawat spesialis, antara lain :
1. Ahli
Sebagai perawat spesialis KMB maka peran yang dapat dilakukan antara lain
mengkaji masalah klien secara holistik termasuk didalamnya adalah masalah
psikososial klien. Perawat menggali faktor apa saja yang menjadi sumber
kecemasan klien. Perawat kemudian menegakkan diagnosa keperawatan dan
memutuskan apakah klien membutuhkan terapi meditasi untuk mengatasi
permasalahannya. Perawat membuat dan mengembangkan Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang efektif dan melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan
klien yang kompleks sesuai bidang keahliannya. Selain itu perawat juga
menjelaskan kepada perawat lain bagaimana intervensi yang akan dilakukan pada
klien dan sekaligus bertanggung jawab pada kualitas perawatan yang diberikan
kepada klien.
Adapun SOP terapi meditasi yang dapat diterapkan pada tatanan klinis adalah
sebagai berikut :
a. Intervensi terapi meditasi dapat dilakukan di tempat tidur klien sendiri
dengan suasana ruangan yang tenang dan nyaman.
b. Perawat memandu klien dalam melakukan intervensi ini.
c. Minta klien untuk konsentrasi, membuang pikiran-pikiran mengenai
keduniaan dan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tujuan terapi. Minta
klien untuk menenangkan perasaannya dan merilekskan badannya sambil
mengatur pernapasannya secara teratur.
d. Intervensi dilakukan dalam waktu 15-30 menit secara teratur setiap
hari.
e. Evauasi perasaan klien setiap kali intervensi dilakukan.

8
2. Pendidik
Sebagai seorang pendidik, perawat spesialis dapat memberikan pendidikan
kesehatan (dalam hal ini difokuskan kepada terapi meditasi) tidak hanya kepada
klien, tapi juga kepada keluarga, teman sejawat, dan masyarakat umum.
Pendidikan kesehatan dapat difokuskan kepada apa saja yang dapat mengurangi
kecemasan klien terhadap penyakitnya sehingga diharapkan klien dapat memiliki
pandangan positif terhadap dirinya yang mana hal ini dapat berdampak positif
terhadap proses perjalanan pernyakit klien.
3. Kolaborator
Sebagai seorang kolaborator, perawat spesialis dapat bekerjasama dengan tim
disiplin ilmu lain seperti dokter, ahli gizi, pekerja social, terapi fisik dan ahli jiwa
untuk ketika menghadapi masalah klien yang kompleks dan dilemma.
4. Pemimpin
Sebagai seorang pemimpin, perawat spesialis harus senantiasa melakukan
perubahan yang konstan dan konsisten agar kualitas asuhan keperawatan semakin
baik lagi.
5. Peneliti
Sebagai seorang peneliti, perawat spesialis dapat terus melakukan telaah riset
untuk meningkatan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien.
Selain itu perawat juga melakukan penelitian akan keefektifan dari terapi meditasi
yang dilakukan kepada klien dengan selalu membuat pertanyaan-pertanyaan
penelitian dan terus mengembangkannya menjadi terapi yang dapat diterima
dengan baik oleh klien dengan hasil yang lebih baik lagi.

9
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Untuk mengurangi tingkat kecemasan yang terjadi pada klien dengan HIV+
maka terapi meditasi sebagai salah satu dari terapi komplementer dapat dijadikan
sebagai alternatif intervensi yang dilakukan oleh perawat. Terapi meditasi dapat
dilakukan oleh perawat tidak hanya pada tatanan komunitas secara kelompok, tapi
juga dapat dilakukan pada tatanan rumah sakit secara perorangan.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa terapi ini dapat dilakukan pada
klien dengan HIV+ disamping terapi lainnya karena memiliki beberapa keuntungan
seperti keamanan terapi, biaya yang rendah dan kemudahan dalam melakukan
tindakan. Disamping itu terapi ini juga dinyatakan efektif untuk mengurangi
kecemasan pada klien dengan HIV+ yang mana penurunan tingkat kecemasan ini
dapat berdampak pada stabilisasi neuroendokrin hormon yang pada akhirnya dapat
berdampak pada penurunan progresifitas penyakit klien. Dengan demikian diharapkan
kualitas hidup klien dengan HIV+ dapat meningkat.

B. SARAN
Terapi meditasi merupakan suatu intervensi yang masih sangat jarang
dilakukan di Indonesia. Oleh karenanya dibutuhkan sosialisasi kepada perawat akan
pentingnya tindakan ini untuk menurunkan kecemasan klien terutama pada klien
dengan HIV+ dan dibutuhkan pelatihan mengenai SOP pelaksanaan intervensi ini.
Walaupun intervensi ini lebih baik dilakukan dalam skala besar, namun sangat tidak
menutup kemungkinan intervensi ini dilakukan secara perorangan pada tatanan klinis
di rumah sakit. Dengan adanya kesadaran bahwa intervensi keperawatan harus
bersifat holistic bio-psiko-sosio-spiritual maka diharapkan masalah-masalah
psikososial yang umumnya dihadapi oleh klien HIV+ dapat berkurang.

10

You might also like