You are on page 1of 9

Dampak Tayangan Televisi Terhadap Perilaku Anak

Tayangan televisi ditengarai telah mempengaruhi munculnya perilaku negatif


(agresif dan konsumtif) di kalangan anak-anak. Hampir seluruh sajian acara di televisi
disuguhkan untuk konsumsi penonton dewasa. Sementara acara untuk anak-anak boleh
dibilang sangat minim. Selain itu, sebagian besar jam tayang televisi (terutama TV swasta)
menyajikan tayangan-tayangan yang bersifat informasi dan hiburan (infotainment). Bahkan
dapat dikatakan wajah tayangan televisi kita didominasi oleh sinetron dan informasi selebriti.
Ironinya, alur cerita yang ada belum beranjak dari isu perselingkuhan, percintaan, dan
kekerasan. Situasi ini semakin diperparah oleh jam tayang yang “memaksa” anak-anak ikut
menonton.

Bila dicermati lebih mendalam ternyata dampak tayangan TV tidak hanya mempengaruhi
pola tingkah laku tetapi juga mempengaruhi pola tutur kata anak. Ungkapan “papa jahat” atau
“mama jahat” acap diucapkan seorang anak manakala orang tuanya tidak mengabulkan
permintaan anaknya. Contoh lain, seorang anak juga sering mengatakan kata-kata yang
mengandung unsur kekerasan atau kata-kata negatif seperti “bodoh”, “aku bunuh kau”, “aku
benci kamu”, atau “emangnya gue pikirin”
Tayangan televisi yang telah meresahkan masyarakat memang membutuhkan dimensi
kepedulian moral bagi pengelola atau lembaga penyiaran. Pihak pengelola televisi memang
sering dihadapkan pada dilematis antara dimensi idiil dan dimensi komersial. Meskipun
secara filosopis idealisme (dimensi idiil) menjadi ciri hakiki pers tetapi realitas menunjukkan
bahwa aspek komersial lebih menggejala. Pengelola penyiaran televisi masih terjebak pada
upaya menayangkan siaran-siarannya yang mengarah pada unsur hiburan dan informasi
semata (infotainment). Sementara televisi sebagai media massa memiliki fungsi di bidang
pendidikan dan kontrol/perekat sosial.
Agaknya pemahaman bahwa tayangan televisi sebagai media yang mampu menimbulkan atau
mempengaruhi perilaku pemirsanya belum seutuhnya disadari. Berdasarkan kajian psikologi
komunikasi tayangan-tayangan televisi menawarkan atau menyajikan pesan-pesan yang akan
menstimulus organisme penontonnya. Stimulus pesan-pesan televisi ini sebelum
menimbulkan respon akan mengendap di organisme penontonnya setelah melalui tahapan
perhatian, pengertian, dan penerimaan. Bagi penonton dewasa tentu efek negatif yang
ditimbulkan tidak begitu besar dibandingkan penonton anak-anak atau remaja.
Penonton dewasa memiliki tingkat filterisasi yang baik dibandingkan anak-anak. Penonton
dewasa bukanlah audience pasif. Artinya, organisme penonton dewasa sebagaimana konsepsi
teori S-O-R (Stimulus Organisme Respon) yang telah dikembangkan Hovland lebih bersifat
aktif dibandingkan penonton anak-anak. Penonton dewasa telah mampu memilah-milah mana
yang baik dan mana yang buruk sementara penonton anak-anak belum mampu mengkritisi
atau memfilter pesan tayangan televisi yang masuk ke otaknya (black box).
Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil. Artinya, pesan-pesan tayangan
televisi memberikan memori yang cepat atau lambat mempengaruhi perilaku yang
ditimbulkan. Dengan kata lain sebagaimana karakter anak-anak, mereka akan meniru apa
yang telah dilihatnya di televisi. Artinya, tayangan televisi sesuai dengan teori modeling akan
menjadi model perilaku anak-anak.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita ketika tayangan smackdown membuat geger jagat
nusantara. Aksi kekerasan yang diperagakan anak-anak merupakan dampak negatif setelah
menonton acara smackdown di televisi. Dengan polos dan lugu mereka mempraktekkan aksi
membanting seperti adegan yang telah disaksikannya di layar kaca.
Berdasarkan kajian, saat ini 6-7 jam televisi membombardir tayangan-tayangannya kepada
anak-anak. Dapat dibayangkan, bagaimana pesan-pesan televisi “meracuni” pikiran anak-
anak yang secara psikologis masih pada tahap mencari jati diri dengan sifat ingin tahunya
yang begitu besar. Melihat kondisi yang ada dapat disebutkan bahwa 1/3 hari anak-anak
dihabiskan dengan “berpetualang” dengan tayangan televisi. Bahkan tidak salah jika
disebutkan tayangan televisi telah menjadi “orang tua” bagi anak-anak.
Celakanya, saat menonton TV tak jarang orang tua (terutama kaum ibu) larut dalam alur
cerita yang disajikan. Saat menonton sinetron misalnya, orang tua yang semestinya harus
menjadi komentator dalam mendampingi anaknya menonton TV justru terhipnosis oleh
adegan-adegan yang ditonton. Akibatnya, selain tak kuasa melarang anak untuk menonton
TV, tak jarang orang tua hanya duduk diam menikmati acara tanpa berkomunikasi dengan
anaknya.
Meskipun sulit untuk melarang anak untuk menonton TV, setidaknya kesadaran akan dampak
negatif tayangan TV meski disikapi secara arif. Orang tua mesti mendampingi anak-anaknya
saat menonton TV. Beri Komentar atau penjelasan kepada anak saat ada adegan atau
informasi yang tidak patut dicontoh oleh anak. Bila perlu masyarakat dapat melakukan
boikot terhadap tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Setidaknya masyarakat harus
secara aktif ikut mengawasi isi siaran TV. Laporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah (KPID) Sumatera Barat kalau menyaksikan program acara TV yang tidak sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sementara itu, kita berharap pihak pengelola TV berkenan menyajikan tayangan-tayangan
yang berkualitas. Meskipun kita menyadari bahwa TV harus survive. Tetapi hal ini tidak
serta merta dengan menayangkan tayangan-tayangan yang kurang bermutu. Saatnya acara
untuk anak-anak menjadi perhatian khusus. Sebab, anak-anak adalah korban tayangan-
tayangan TV. Anak-anak belum memiliki kemampuan untuk mencerna pesan tayangan TV
yang diterimanya. Artinya, anak-anak akan “menelan mentah-mentah” semua informasi
yang diperolehnya. Semua yang ditontonnya dianggap sebagai sesuatu yang benar
(legitimate). Di sinilah kepedulian moral dan tanggung jawab social pengelola TV dalam
menyajikan tontonan yang sehat dan cerdas dipertaruhkan. Sebab, kreativitas yang
merupakan kunci pengembangan TV tidak identik dengan penyajian tayangan-tayangan yang
berdampak negatif pada perilaku anak.

artikel
Media dan Kekerasan : Pengaruh Tayangan Kekerasan di Televisi terhadap Perubahan
Perilaku Anak
Drs. Dede Mulkan, M.Si.

Televisi merupakan sarana komunikasi utama di sebagian besar


masyarakat kita, tidak terkecuali di masyarakat barat. Tidak ada media lain
yang dapat menandingin televisi dalam hal volume teks budaya pop yang
diproduksinya dan banyaknya penonton.

Tayangan Televisi harus di atur karena mempengaruhi sikap dan


perilaku khalayak khususnya bagi yang belum memiliki referensi yang kuat,
yakni anak-anak dan remaja. Terlebih karena televisi bersifat audio visual
sinematografis yang memiliki dampak besar terhadap perilaku khalayaknya
seperti pengaruh jarum suntik terhadap manusia.

Tayangan-tayangan di televisi saat ini mempunyai kecendrungan


mengabaikan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan. Hal ini terlihat dari
ditonjolkannya eksploitasi sex, kekerasan, budaya konsumerisme dan
hedonisme. Bahkan pada masa remaja normal, semakin banyak kekerasan
yang mereka lihat, semakin berkurang aktifitas berfikir, belajar, melakukan
pertimbangan, dan kontrol emosi pada otak. Pada sisi lain, berbagai bentuk
tayangan yang memuat adegan kekerasan seks dan tema dewasa lainnya akan
terus bertambah intensitasnya.

Sabtu, 30 Mei 2009


PENGARUH TELEVISI PADA PERILAKU ANAK
Oleh; Imron Hamzah

Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Univ. Yudharta Pasuruam

ABSTRAK

Televisi adalah media yang potensial sekali tidak saja untuk menyampaikan informasi
tetapi juga membentuk perilaku seseorang, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja
ataupun tidak. Sebagai media audio visual TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-
pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk
membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar
televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau, secara umum orang akan ingat 85 % dari apa
yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65 % setelah 3 hari kemudian. (Dwyer)

Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat, terutama pada
anak-anak. Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar,
majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa.

Kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak
diduga sebagai dampak gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar
dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah
terpengaruh dan dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli menunjukan bahwa tayangan televisi bisa
mempengaruhi perilaku anak dan juga sebaliknya tidak berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru
lebih dominan dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga. Anak dari keluarga harmonis lebih
memiliki benteng/penangkal dalam menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu penangkal yang
paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah menciptakan keluarga yang
harmonis, keluarga yang berusaha menanamkan norma luhur dan nilai agama dalam kehidupan
sehari-harinya. Begitu pula stasiun televisi mempunyai tanggung jawab mendidik masyarakat dan
anak bangsa melalui pemilihan acara yang tepat.

PENDAHULUAN
Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25
siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin
tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas. Kejadian ini
sungguh menggemparkan dan banyak pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau
komputer (game dan internet) sebagai biangkerok tindak kekerasan yang terjadi di kalangan
anak.

Tudingan terhadap media massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan dan
perilaku negatif lainnya pada pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Sekitar satu
dekade yang lalu, musik rock disalahkan sebagai penyebab kasus pembunuhan di kalangan
remaja. Begitupun film kartun berjudul Beavis dan Butthead dituding sebagai penyebab
membanjirnya kasus pembakaran rumah di mana pelakunya adalah anak-anak muda.

Di sekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton film cowboy di layar
televisi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak "dor dor.. dor...
sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang di pegangnya. Sering pula kita mendengar
ucapan-ucapan yang kurang pas dilontarkan mereka menirukan idolanya di TV. Begitu pula
bagaimana anak-anak meniru berbagai adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat
disaksikan melalui layar TV. Tokoh-tokoh film anak, seperti Superman, Dora Emon, Satria Baja
Hitam, Power Ranger, dan tokoh lainnya sungguh melekat dalam kehidupan mereka. Bahkan
kondisi seperti ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang. Mereka membuat busana anak yang
mirip dengan para tokoh tersebut, dan hasilnya sangat digemari anak-anak.

Kecenderungan lain adalah anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan
yang sering muncul di layar TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza, hamburger, dan
jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa menjadi makanan luar
biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul merek-merek dagang terkenal dan
lux, termasuk merk mobil yang mungkin mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih
mengkha-watirkan lagi mereka lebih suka nongkrong di depan TV, diban-dingkan belajar,
membaca, atau mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya.

Memang televisi semakin dekat dengan anak. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan dari
berbagai stasiun televisi, membuat anak semakin senang nongkrong di depan layar televisi. Pihak
stasiun televisi tidak sedikit menyediakan acara-acara khusus untuk dikonsumsi anak-anak. Simak
saja acara-acara Sabtu dan Minggu pagi hampir semua stasiun TV menyajikan program anak-
anak. Apalagi kini komunikasi antara orang tua dan anak cenderung berkurang sebagai
konsekuensi kesibukan para orang tua pada pekerjaaanya serta makin hilangnya budaya dongeng
orang tua saat pengantar tidur. Pendek kata, televisi sudah merupakan teman akrab mereka yang
setiap saat mereka bisa menyaksikannya. Tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana
potensi media televisi dan dampaknya terhadap perilaku anak serta konstribusi faktor keluarga
dalam menagkal gencarnya siaran televisi tersebut.

PEMBAHASAN

Potensi Media Televisi

Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat? terutama pada
anak-anak. Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar,
majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi
merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (gerak/live) yang bisa bersifat politis,
bisa, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut.

Ekspresi korban kerusuhan di Ambon misalnya, hanya terungkap dengan baik lewat siaran
televisi, tidak lewat koran ataupun majalah. Ratapan orang kelaparan di Ethiophia, gemuruhnya
tepuk tangan penonton sepak bola di lapangan hijau, hiruk pikuknya suasana kampanye di
bunderan Hotel Indonesia, tampak hidup di layar televisi.
Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk
menyampaikan pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah
dialami sendiri dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu yang bersamaan.
Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Melalui stasiun
televisi, kerusuhan di Ambon dapat diterima di Banda Aceh dan di Jayapura dalam waktu
bersamaan. Begitu pula acara pertandingan AC Milan melawan Juventus di Italia dapat langsung
dinikmati pemirsa RCTI di Indonesia. Sungguh luar biasa, infomasi/kejadian di belahan bumi sana
bisa diterima langsung di rumah. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para penonton
dapat melihat sambul duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksi-kannya Memang televisi
akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton sehari-hari.

Dari segi penontonya, sangat beragam. Mulai anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi sampai
petani/nelayan yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama melalui tabung ajaib
itu. Melalui beberapa stasiun mereka juga bebas memilih acara-acara yang disukai dan
dibutuhkannya. Begitu pula sebagai media hiburan, televisi dianggap sebagai media yang ringan,
murah, santai, dan segala sesuatu yang mungkin bisa menyenangkan.

Televisi dapat pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek
kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih
khusus televisi dapat dirancang/dimanfaat-kan sebagai media pembelajaran. Pesan-pesan
instruksional, seperti percobaan di laboratorium dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi.
Televisi juga dapat menghadirkan objek-objek yang berbahaya seperti reaksi nuklir, objek yang
jauh, objek yang kecil seperti amuba, dan objek yang besar secara nyata ke dalam kelas.

Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan khusus pada
peserta didik, misalnya melalui teknik close up, penggunaan grafis/animasi, sudut pengambilan
gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran
sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

Memang kekuatan televisi menurut Kathleen Hall Jamieson sebagai dramatisasi dan
sensasionalisasi isi pesan. Begitu pula menurut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1991),
gambaran dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini
Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang usil adalah
kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan
kesan pada diri pemirsa.

Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk
menimbulkan kesan yang dikehendaki. Sinetron Jin dan Jun di RCTI misalnya, seolah-olah mereka
bisa masuk ke dalam tembok, berjalan di angkasa, berlari-lari di atas air, atau bisa menghilang.
Adegan memenggal kepala orang, bertarung di angkasa dan bentuk adegan lainnya yang tidak
lazim dilakukan dalam kehidupan, merupakan hasil ulah editor dalam proses penyuntingan.

Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi
mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa meng-akrabkan objek yang
jauh dengan penonton. Seorang penonton sepak bola di rumahnya berteriak kegi-rangan ketiga
Ronaldo (Inter Milan) memasukan bola ke gawang Juventus. Memang televisi bisa menjadikan
komunikasi inter-personal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih,
simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis nan jauh di sana. Tangan
keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggaris-bawahi berita, memberi-
kan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka mempunyai posisi stategis dalam
menyampaikan pesan pada khalayak.

Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan
kotra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai
positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat
merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum kontraversial tersebut dapat
digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai
masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan
ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.

Acara Anak dan Film Kartun

Sebagai media massa, tayangan televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk
acara-acara yang ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan
acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat minim. Hasil
penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YLKI) (Mulkan Sasmita, 1997),
persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar
2,7 s.d. 4,5% dari total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi ternyata persentase
kecil inipun materinya sangat menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak.

Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini
sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini.
Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film import. Tokoh seperti Batman,
Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di
kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Dora Emon, Candy Candy, Sailoor
Moon, Dragon Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi kita.
Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman.

Jika kita perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan
masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan.
Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat
pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan
lainnya perlu dilawan melalui cara-cara yang sama. Sri Andayani (1997) melakukan penelitian
terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray
Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4%)
daripada adegan prososial 41,6%).

Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini
menemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah
berkata kasar (38,56%), mence-lakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu
katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan
(16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%). Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI, yang
juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menam-pilkan adegan
anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya
khususnya film import membawa muatan negatif, misalnya film kartu Batman dan Superman
menurut hasil penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih
agresif yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun seperti Batman
dan Superman.

Perbedaan budaya, ideologi, dan agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan
mewarnai terhadap subtansi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar tontonan belaka,
ia dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya. Misalnya, mungkin Satria Baja
Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar atas terbentuknya sikap keberanian dan anti
kezaliman. Tetapi keberanian yang dibutuhkan rakyat Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda,
paling tidak dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan
keberanian ‘apa adanya’ tanpa tersembunyi dibalik kecanggihan teknologi. Sehingga diharapkan
akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya
keberanian di Jepang dalam lingkungan masyarakatnya sudah ditunjang dengan teknologi yang
canggih. Kondisi ini apabila dipandang sama, dihkawatirkan akan melahirkan generasi yang
cengeng dan mudah menyerah.

Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai dengan kondisi sosial
budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat menanamkan nilai,
norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan disekitarnya.
Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri
dan budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.

Dampak Tayangan Televisi pada Anak

Gencarnya tayangan televisi yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir
masyarakat terutama para orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan imitatif. Perilaku
imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan
oleh kemampuan berpikir anak masih relatif sederhana.

Mereka cenderung mengang-gap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang
sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku/tayangan yang fiktif dan mana yang
memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan
nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif,
termasuk perilaku seksual di layar televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan
perilaku anak.

Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakekatnya merupakan
proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk hidup. Sikap
dan pola perilaku itu menurut pandangan behavioristik dapat dibentuk melalui proses pembiasaan
dan pengukuhan lingkungan.. Bertolak dari pandangan ini, pembiasan dan pengukuhan lingkungan
anak dapat dibentuk melalui tayangan televisi yang sesuai dengan nilai, norma, dan kerpribadian
bangsa. Karena saat ini tayangan televisi setiap saat bisa ditonton anak-anak.

Masalahnya adalah sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap


terhadap perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang
relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh banyak
faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul
Television and Growing Up The Impact of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997)
menunjukan gambaran bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan
perilaku agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20
sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar untuk menarik
kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan lang-sung antara keduanya. Ini berarti
tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga
netral atau tidak mempunyai pengaruh sekalipun.

Faktor Keluarga

Sebagian besar anak hidup di lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan
bagi kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan dipengaruhi
oleh ling-kungan keluarganya (Oos M. Anwas, 199. Beberapa pakar psikologi mengatakan bahwa
apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas dalam diri anak dan mewarnai
kehidupannya kelak. Barangkali munculnya berbagai masalah remaja, seperti perkelahian,
tawuran narkotika, dan premanisme lainnya bisa saja disebabkan kurang harmonisnya lingkungan
keluarga saat ini yang cenderung meng-khawatirkan.

Yang lebih menarik adalah hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam
Dedi Supriadi, 1997). Temuannya menun-jukan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru
terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya
rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang
teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan
terhadap pengaruh tayangan negatif televisi.

Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa memperma-salahkan kualitas tayangan televisi tidak
cukup tanpa mempertim-bangkan kualitas kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga
yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok
meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.
Mungkin kita akan lebih yakin terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses
pembentukan perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima
melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan, pengalaman,
dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih labil dan mencari jati diri,
sangat rentang dengan perilaku peniruan yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk
pada kepribadiannya. Tayangan televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya.

Bagi anak yang berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di
layar televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang tuanya bisa
menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari membuat benteng
yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di layar televisi. Sebaliknya, anak yang
berasal dari keluarga yang mutu kehidupan keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit
disaring, karena mereka belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula
dalam lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku normatif yang
dapat dijadikan filter tayangan televisi.

Idealnya, para orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara
mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai
adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah sanggup para
orang tua mendapinggi putra putrinya nonton TV. Kini si keci dimungkinkan nonton TV setiap saat
dengan berbagai acara termasuk film adegan kekerasan/sadisme. Semen-tara itu para orang tua
sibuk dengan tugas pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu benteng yang paling kuat adalah
bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis. Komun-ikasi orang tua dan anak dituntut lancar
dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup dalam keluarga. Kondisi
seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak dalam menyaring gencarnya tayangan
televisi.

Catatan Akhir

Media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara
audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan yang dihasilkan
televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau menimbulkan kesan lain. Oleh
karena itu media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat.
Sementara itu persaingan di antara stasiun televisi semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan
acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan
tersebut. Penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan remaja yang
relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.

Gencarnya tayangan televisi yang berbau kekerasan, konsumtif, sadisme, erotik, bahkan sensual
menimbulkan kekhawatiran para orang tua. Kondisi seperti ini sangatlah wajar, karena kini anak-
anak mereka bisa menyaksikan acara televisi setiap saat. Tindak kekerasan dan perilaku negatif
lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak/remaja langsung menuding televisi sebagai
biang keroknya. Tidak sedikit para orang tua mencacimaki/ protes terhadap tayangan televisi yang
dirasakan kurang pas. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-
masing.

Mungkin kita (para orang tua) perlu merenungi temuan Coles, bahwa jauh lebih penting
menciptakan keluarga yang harmonis dibandingkan menyalahkan tayang-an televisi, karena faktor
keharmo-nisan keluarga bisa menangkal pengaruh negatif televisi. Di sini jelas perlu adanya
keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk
menciptakan keharmonisan keluarga. Menjaga komunikasi dan menanamkan nilai serta norma
agama pada anak. Begitupun para pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai
tanggungjawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak
sekedar mencari untung (kue iklan) terhadap acara yang ditayangkannya.
Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai
tanggungjawab untuk menjaga dan sekaligus meningkatkan nilai dan norma-norma yang ada di
masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.

DAFTAR PUSTAKA

Onong Uchyana Effendy, Drs., Komunikasi dan Modernisasi, Saduran Himpunan Karya Carl I.
Hovland, Charles Cooley, Wilbur Schramm, Bernard Betelson, Ithel De Sola Pool, Penerbit
Alumni, Bandung, 1973.

________________, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti,

Fishbein, M. and I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to The
Rogers, Everett M. & F. Floyd Shoemaker, Communication of Innovation, Diterjemahkan oleh
Drs. Abdillah Hanafi, dalam Memasyarakatkan Ide-ide Baru, Penerbit Usaha Nasional,
Surabaya, 1981.

Samovar, Larry A, Cs., Understanding Internasional Communication, Ward worth Publishing


Company, California, 1985.ory and Research. Addison-Wesley, Reading. MA.

O'Neil, D. 2006. Cultural Anthropology Tutorials, Behavioral Sciences Department, Palomar


College, San Marco, California. Retrieved: 2006-07-10.

Reagan, Ronald. "Final Radio Address to the Nation", January 14, 1989. Retrieved June 3, 2006.

Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. New
Jersey U.S., Sussex, U.K: Humanities Press.

UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International Mother


Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23

http://ritongapasuruan.blogspot.com/2009/05/pengaruh-televisi-pada-perilaku-anak.html

You might also like