You are on page 1of 14

Biogas dari Kotoran Sapi

Jum'at, 21 September 2007 | 21:13 WIB

TEMPO Interaktif, Donggala:

Bahan bakar pengganti minyak tanah ini dikembangkan oleh kelompok tani
Pasanggani Limboro. Mereka bekerja sama dengan Balai Penelitian Teknologi
Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani
Melalui Inovasi yang dibiayai Asian Development Bank.
Tenaga teknisi biogas Limboro, Ahyar, mengatakan biogas itu berasal dari empat
ekor sapi yang dikandangkan. Tiap sapi menghasilkan 10 kilogram kotoran, sehingga
tiap hari tersedia 40 kilogram tahi sapi yang siap diolah menjadi biogas.
Pria 35 tahun itu mengatakan cara pembuatan gas itu lumayan gampang. Tiap pagi
kotoran dikumpulkan dalam bak penampung dan dicampur dengan satu ember air,
lalu campuran itu dialirkan ke dalam bak penampung dari plastik tebal berkapasitas
2 ton. Gas yang dihasilkan dialirkan melalui pipa menuju plastik penampungan. Gas
yang tertampung ini kemudian dialirkan ke kompor gas.
Bak penampungan pertama, kata Ahyar, berisi gas kasar. Sedangkan bak
penampungan kedua berisi gas bersih siap pakai.
Dari proses ini, tak cuma gas yang bisa dihasilkan, tapi juga pupuk kompos. Ampas
dari bak penampungan pertama bisa dijadikan pupuk. "Ini juga banyak peminatnya
karena kami jual murah, yakni Rp 6.000 per lima kilogram," katanya.
Saat ini sudah tiga rumah yang yang memakai gas dari tahi sapi itu. Penghematan
jelas terasa bagi penggunanya. Setelah menggunakan biogas ini, istri Ahyar, yang
sebelumnya butuh 20 liter minyak tanah tiap bulan, kini cukup membeli dua liter.
"Kami bisa menghemat minyak tanah," katanya.
Selain ibu rumah, warga desa lainnya ikut senang. Biogas memiliki empat faedah,
yaitu sapi tak lagi berkeliaran di jalan-jalan, karena dikandangkan, dan
menghasilkan pupuk. Manfaat lain adalah membantu program penggemukan sapi
serta meningkatkan harga sapi dua kali lipat karena sudah gemuk.
Rencananya, bak penampungan akan dibuat di beberapa tempat agar warga lainnya
dapat menikmati gas itu. "Beberapa desa tetangga dan kecamatan lain di Donggala
minta diajari membuat gas dari tahi sapi ini. Cuma kendalanya, kompor gas tidak
tersedia karena perlu kompor khusus," kata Ahyar.
Anggota staf BPTP Sulawesi Tengah, Cahya Haerani, mengatakan teknologi biogas ini
merupakan hasil rekayasa teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pertanian. Transfer teknologi ini cocok diterapkan di Limboro karena
memiliki banyak ternak sapi. Untuk mengatasi masalah kompor, kini sudah ada
bengkel yang akan memproduksi. "Mudah-mudahan daerah lain bisa melakukannya
untuk menghemat minyak tanah," kata Cahya.

Darlis

Selasa, 11 Desember 2007 20:12


Minyak Tanah Mahal, Warga Gunakan Biogas Kotoran Sapi

Kapanlagi.com - Mahalnya harga minyak tanah mendorong warga Desa Sukamaju,


Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi memanfaatkan kotoran sapi menjadi
biogas sebagai energi alternatif.
Seorang warga setempat, Abdul Majid (41) dan istrinya Ai Sa`adah (38) mulai membuat
energi alternatif itu sejak tiga minggu yang lalu berkat bantuan dari Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Sukabumi dan Disnak Kabupaten Sukabumi, sehingga keluarganya
tidak perlu mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli minyak tanah.

"Biasanya kami menggunakan minyak tanah hingga tiga liter per hari. Dengan adanya
tambahan biogas untuk memasak, saya hanya menggunakan minyak tanah dua liter untuk
satu minggu," kata Abdul Majid di Sukabumi, Selasa.

Ia mengaku tidak mengeluarkan uang lebih untuk memasak.

"Kalau pun ada itu juga untuk membeli makanan sapi," katanya seraya menyebutkan
sebanyak delapan KK sudah menggunakan biogas di Desa Sukamaju.

Cara membuat biogas tidak rumit, yakni satu ember kotoran sapi diaduk dengan satu
ember air dalam sebuah drum. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
sebuah bak berukuran satu kali empat meter, yang telah dibungkus dengan plastik.

Kotoran sapi yang mengendap, kemudian akan menghasilkan biogas dan bisa langsung
digunakan. Gas yang sudah dalam bak penampungan tersebut, kemudian dialirkan
dengan menggunakan selang menuju reaktor penampung gas berupa plastik besar.

"Dari penampung tersebut, langsung dialirkan ke kompor khusus yang bisa mengeluarkan
api biru seperti dari kompor gas elpiji," katanya.

Menurut istri Majid, Ai Sa`adah (38), penggunaan kompor biogas tidak kalah dengan
kompor gas elpiji.

"Api yang dikeluarkan oleh kompor biogas juga berwarna biru seperti gas elpiji, namun
api gas elpiji lebih besar ketimbang kompor biogas," katanya seraya menambahkan
penggunaan kompor biogas lebih irit dibandingkan kompor minyak tanah.

Sementara itu, Kepala Desa Sukamaju, Titin Suprihatin, mengatakan, di desanya, kini
sudah ada delapan peternak sapi yang memproduksi biogas.

"Ke depan, kami berencana untuk terus menambah peternak yang bisa menggunakan
kotoran sapi menjadi biogas," katanya seraya menambahkan biogas dari seorang peternak
diperkirakan bisa digunakan oleh tiga kepala keluarga. (*/boo)

Masyarakat Kampar Gunakan Biogas Kotoran Sapi

Laporan Wartawan Kompas Neli Triana


PEKANBARU, KOMPAS - Masyarakat Kabupaten Kampar, Riau, terutama masyarakat
Desa Pulau Payung, mulai merintis menggunakan biogas dengan memanfaatkan kotoran
sapi dan kerbau.

“Masyarakat Kampar telah menyadari potensi yang dimiliki dan mampu memanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hal ini, akan didukung oleh pemerintah daerah dan
pusat. Termasuk pengembangan bisnisnya,” kata Menteri Negara Koperasi Usaha Kecil
dan Menengah Surya Dharma Ali.

Surya Dharma Ali akhir pekan ini berada di Riau, tepatnya berkunjung di Pusat Pertanian
Terpadu Desa Kubang Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kampar didampingi Bupati Kampar
Jefry Noer. Surya Dharma khusus hadir di Kampar untuk membuka Pendidikan dan
Pelatihan Pertanian Terpadu yang diikuti oleh perwakilan petani dari seluruh Kampar.

Diklat terpadu ini berlangsung enam bulan terakhir, khususnya melatih peserta
memproduksi biogas. Peserta pelatihan diharapkan mampu memanfaatkan untuk dirinya
dan lokasi sekitar tempat tinggal. Target jangka panjangnya dibentuknya koperasi untuk
membangun instalasi biogas, sehingga energi alternatif ini mampu diproduksi massal dan
dipasarkan.

Jefry Noer mengatakan, pemerintah kabupaten memang langsung cepat merespon saat
mengetahui kegunaan lain kotoran sapi dan kerbau. Pemkab Kampar membangun
kawasan pertanian terpadu dan menjalin kerjasama dengan tenaga ahli dari Institute
Pertanian Bogor (IPB).

Menurut Jefry, kini hampir dua minggu sekali diadakan pelatihan rutin pembuatan biogas
secara bergantian bagi masyarakat, khususnya petani. Instalasi bahan bakar biogas sangat
sederhana, berupa satu drum diisi kotoran sapi atau kerbau seberat 250 kilogram.

Setelah didiamkan selama 16 – 21 hari, gas otomatis telah dihasilkan dan siap dialirkan.
Total biaya pembuatan instalasi biogas ini Rp 600.000. Selanjutnya, petani cukup
mengisi drum tersebut dengan kotoran sapi sebagai pasokan bahan dasar seberat 15 – 20
kilogran setiap hari.

Energi Rumah Tangga


Biogas yang Penuh Manfaat...

Sukamti (37) kini tak perlu lagi membeli isi ulang gas untuk
menyalakan kompornya di dapur. Berkat kotoran dari sapi yang diternak
di belakang rumahnya, kebutuhan gas untuk menyalakan kompor di
rumahnya dapat terpenuhi setiap hari.

Tak hanya itu, limbah cair dari kotoran sapi yang diproses menjadi
biogas itu dapat digunakan untuk pupuk organik. "Lumayan sejak
mengolah biogas dari kotoran sapi ini. Kebutuhan bahan bakar dan pupuk
dapat terpenuhi semuanya dari hasil pengolahan kotoran sapi itu
menjadi biogas," jelasnya, Kamis (27/7).

Namun, daur ulang kotoran ternak menjadi biogas yang menghasilkan


manfaat cukup banyak ini baru dijalankan oleh Slamet Supriyadi (43)
dan istrinya, Sukamti, dari seluruh petani di Kabupaten Purworejo.
Untuk pertama kalinya Slamet mengaku mengenal teknologi pengolahan
kotoran sapi menjadi biogas ini dari seorang petani di Kulon Progo, DI
Yogyakarta.

Dengan bantuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Purworejo yang


peduli terhadap pertanian, Slamet dapat mempelajari dan membangun
sistem pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Meski untuk itu, ongkos
yang dikeluarkan mencapai Rp 9 juta lebih. Dan sistem pengolahan
biogas itu ia bangun di belakang rumahnya, berdekatan dengan kandang
sapi.

Di bawah tanah seluas lebih dari 40 meter persegi, dibangun dua ruang
berbentuk mangkuk terbalik. Ruang pertama dipergunakan sebagai ruang
penampungan kotoran sapi dan ruang kedua dipergunakan sebagai ruang
kontrol volume kotoran sapi dan volume limbah cair yang dihasilkan.

Slamet menjelaskan, setiap hari ruang penampungan kotoran sapi itu


dapat menampung kotoran sapi sebanyak apa pun. Hal ini karena sistem
pengolahan biogas dari kotoran sapi ini dibangun dengan sistem saling
berhubungan antara ruang penampungan dengan ruang kontrol.

"Kalau sampai terjadi kelebihan volume, kotoran sapi itu akan mengalir
ke ruang pengontrol. Dari situ ketahuan kalau volume di ruang
penampung sudah penuh," ungkapnya.

Dari hasil pengolahan biogas ini, Slamet memang dapat mempergunakan


limbah kotoran ternak semaksimal mungkin. Apalagi semua limbah organis
dari rumah tangga juga dapat dimasukkan ke dalam pengolahan biogas
ini.

Ia mengatakan, pengolahan biogas dari kotoran sapi ini sepenuhnya


menguntungkan petani. Selain memberikan energi rumah tangga secara
gratis, dapat memperoleh pupuk sekaligus. (Madina Nusrat)

Nusantara
Sabtu, 12 Januari 2008

Kotoran Sapi Mengatasi Kelangkaan Minyak Tanah


Meski masih sehat, Odih Hidayat (56) tak kuasa mandi air dingin setiap
hari. Pagi dan sore, air di Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat, terasa dingin menusuk tulang. "Saya mah mandi
air hangat tiap hari," kata ketua kelompok tani sapi perah Mekar Sari
ini, Jumat (11/1).

Dalam kondisi kelangkaan minyak tanah seperti saat ini, memanaskan air
untuk mandi terlihat sebagai pemborosan.

Namun, Odih dan enam anggota keluarganya tak merasakan kesulitan itu.
Sebuah reaktor biogas mini di belakang rumahnya menjadi pemasok bahan
bakar untuk keperluan rumah tangga sejak pertengahan tahun 2005. Letak
reaktor tepat di samping kandang terbuka berisi 20-an ekor sapi perah.

Dilihat sekilas, reaktor berkapasitas 4.000 liter itu tampak sebagai


kantung plastik tebal semata. Demikian pula tempat penampung gas
berupa kantung plastik yang lebih tipis.

Tiap pagi, sekitar 120 kilogram (kg) kotoran sapi dicampur air
dimasukkan dalam potongan drum yang dihubungkan ke reaktor.
Perbandingan volume air dan kotoran sapi adalah 1:1. Proses
mikrobiologis dengan bantuan jutaan bakteri dalam reaktor akan
menghasilkan gas metan. Gas dialirkan dalam kantung plastik penampung
yang dihubungkan ke dua kompor di dapur Odih. Nyala api yang
dihasilkan berwarna biru, tidak berbau, dan tidak berasap.

Proses produksi gas berlangsung terus-menerus sepanjang kotoran sapi


rutin dipasok. Namun, reaktor tidak akan pernah penuh karena ada
saluran untuk membuang kotoran sapi yang telah terproses. Dengan
pengeringan tradisional, ampas kotoran sapi ini bisa menjadi kompos
siap pakai.

Bukan hanya Odih yang menikmati keuntungan pemakaian biogas.


Masyarakat peternak sapi di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari,
Kabupaten Bandung, juga merasakan hal serupa. Di desa ini ada juga
reaktor berukuran besar untuk bersama. Gas yang dihasilkan bisa
digunakan oleh 12 rumah tangga.

"Dulu kami yang memasang reaktor biogas di desa itu," kata pelaksana
teknis PT Mulya Tiara Nusa (MTN), Charles Purba.

Charles mengatakan, konsumsi rata-rata minyak tanah rumah tangga di


Indonesia dua liter per hari. Untuk menghasilkan gas setara dua liter
minyak tanah, butuh empat meter (m) kubik kotoran sapi. Itu sebabnya
reaktor biogas butuh tempat cukup longgar. Untuk tempat reaktor,
diperlukan lahan 1,5 m x 5 m.
Ia menyadari, harga instalasi Rp 3 juta pada pemasangan awal cukup
mahal. Namun, kata dia, keuntungan yang didapat lebih dari harga yang
dibayar.

Charles mengakui, adopsi teknologi biogas belum menggembirakan. Ia


menilai sosialisasi manfaat dan penggunaan biogas masih kurang gencar.
Dana yang dialokasikan untuk program ini juga masih terbatas.
Akibatnya, penggunaan biogas belum berkembang luas. (LIS DHANIATI)

Minyak Tanah Langka? Ada Tahi Sapi


Kok!
NONENG (25) memperlihatkan tangki biogas dari kotoran sapi yang
berada di Kp. Pajaten, Desa Tarumajaya, Kec. Kertasari, Kab. Bandung,
Minggu (6/1). Reaktor biogas komunal itu dapat dipergunakan untuk 12
KK.* DENI YUDIAWAN/"PR"

MINYAK tanah menjadi barang paling langka yang banyak dicari orang saat ini. Orang rela mengantre dan
saling bersikutan hanya untuk mendapat beberapa liter minyak tanah. Dengan harga yang melambung pun,
minyak tanah tetap dibeli karena memang tak ada pilihan lain.

Untungnya, tak semua anggota masyarakat menengah ke bawah melakukan hal yang sama. Salah satunya,
masyarakat peternak sapi di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Meski harga
minyak tanah terus melambung, masyarakat di pinggiran pegunungan Wayang-Windu itu tak terlalu ambil
pusing. Mereka pun tak bergantung pada kayu bakar yang biasa dijadikan bahan substitusi minyak tanah di
perdesaan. Keberadaan energi biogas dari kotoran sapi dalam tangki komunal ataupun perseorangan kini
menjadi bahan utama untuk masak sehari-hari yang murah meriah.

Noneng (25), warga Kampung Pajaten, Desa Tarumajaya adalah salah satu contohnya. Selama dua tahun
terakhir, dia mengaku tak pernah lagi membeli minyak tanah atau mencari kayu bakar ke hutan untuk
kebutuhan memasak. Reaktor biogas telah memasok kebutuhan itu nonstop 24 jam. Berbeda dengan reaktor
skala rumah tangga biasa, reaktor biogas yang digunakan Noneng bersifat komunal dengan ukuran silinder
superbesar, diameter dan kedalaman masing-masing 4 meter. Reaktor yang dibangun sejak 2005 itu dapat
menyuplai 12 kepala keluarga (KK). Mereka memanfaatkan limbah kotoran sapi sebagai bahan bakar
reaktor tersebut.

Baru satu tangki reaktor biogas superbesar yang telah dibangun dan berfungsi di Desa Tarumajaya saat ini.
Terdapat empat reaktor biogas raksasa lainnya yang kini masih dalam tahap pembangunan. Tak hanya itu,
puluhan reaktor biogas kecil lainnya dimiliki secara perseorangan. Kebanyakan penerapan daya guna
biogas itu adalah bantuan dari program yang digulirkan pemerintah Provinsi Jabar dan Pemkab Bandung.

"Perasaan waswas atas keamanannya sih pasti ada. Apalagi tangkinya berada tepat di depan rumah.
Namun, setelah dua tahun berjalan, sama sekali tak ada masalah, sampai sekarang," kata Noneng yang
memiliki dua belas sapi perah itu. Dia menggunakan energi biogas itu untuk masak sehari-hari, termasuk
memanaskan susu yang baru diperah. Saking berlimpahnya energi biogas dari tangki komunal itu, dia dapat
memanfaatkanya untuk menyalakan generator jika suatu saat listrik dari PLN mendadak padam.
Sejak masyarakat Desa Tarumajaya yang terletak di hulu Sungai Citarum itu memanfaatkan biogas,
kebutuhan akan minyak tanah menurun drastis. Meskipun dibutuhkan, paling hanya untuk menutupi
kekurangan energi biogas yang digunakan. "Di sini harga minyak tanah mencapai Rp 4.000,00 per liter.
Alhamdulillah, sejak tujuh bulan lalu saya tak pernah beli minyak tanah, apalagi masuk ke hutan untuk
mencari kayu bakar," tutur Atep Solihin (27), warga pengguna biogas di Kp. Lembangsari, Desa
Tarumajaya.

Kelestarian lingkungan adalah salah satu pengaruh positif lainnya sejak penggunaan biogas ini. Data
berbagai penelitian menyebutkan, Sungai Citarum sudah tercemar hanya beberapa ratus meter dari
sumbernya. Kotoran sapi yang dibuang langsung ke sungai adalah penyebabnya. Sejak dilakukan
pengolahan biogas, kotoran sapi tak lagi dibuang ke sungai melainkan dapat langsung dimanfaatkan
menjadi pupuk pertanian.

"Bahkan, kotoran sisa biogas itu dapat dicampur dengan dedak menjadi pakan ikan. Pencemaran pun dapat
direduksi," kata Dede Juhari, Ketua Kelompok Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA). Dede bersama
kelompoknya adalah salah satu penggagas reaktor biogas komunal sekaligus membuat sejumlah kolam
resapan yang ditanami ikan air tawar. Selain untuk perbaikan lingkungan, kolam resapan itu juga dijadikan
sumber pendapatan alternatif masyarakat yang semula perambah hutan.

Menurut Dede, peternak sapi perah di Kertasari sekitar 3.500 orang dengan jumlah populasi sapi perah
mencapai 6.000 ekor. Sayangnya, reaktor biogas hanya mampu menampung sedikit kotoran yang
diproduksi tiap hari. Sebagai gambaran, satu ekor sapi perah dewasa dapat memproduksi sekitar 14 kg
kotoran setiap hari. Karena tak tertampung dalam biogas, peternak tetap membuangnya ke sungai.

"Tak kurang dari 40 ton kotoran sapi masuk ke Sungai Citarum setiap hari. Kita masih membutuhkan lebih
banyak lagi reaktor biogas untuk masyarakat," ucap Dede.

Jadi, nggak ada minyak tanah, nggak masalah, kan? (Deni Yudiawan/"PR"/Usep Usman Nasrulloh)***

Penulis:
Back

© 2007 - Pikiran Rakyat Bandung

Biogas Pertama Srigading: Slamet Sulap Kotoran Sapi Jadi Bahan Bakar
Published Date: January 2nd, 2008

Category: Penyediaan Jasa Lingkungan, Berita ESP, ESP Jawa Timur

Di Mendek, pahlawan yang dielu-elukan bukan tokoh super yang bisa terbang. Tapi
seseorang yang membuktikan bahwa kegiatan menyelamatkan lingkungan dan
menghemat energi dapat berjalan bersama

Malang. Slamet, 37, adalah warga dusun Mendek di desa Srigading yang memiliki
kegigihan dan keuletan yang sedang menjadi pembicaraan desa berpenduduk 4.780
orang itu.

Seperti daerah pedesaan lain di Indonesia, Srigading sangat terpukul dengan naiknya
harga minyak tanah dan untuk memasak kini mereka terpaksa menggunakan kayu bakar.
Slamet dan istrinya tak punya pilihan kecuali mendaki tebing-tebing terjal Pegunungan
Tengger demi mendapatkan ranting kering untuk memasak. Bukan hanya lelah yang
didapat, tuduhan sebagai perambah hutan yang merusak lingkungan sering dialamatkan
kepada mereka.

Untuk menambah pengetahuan masyarakat seputar perlindungan hutan dan mata air di
desa asal mata air Sumber Jengkol itu, ESP memulai program Sekolah Lapangan pada
Februari 2007. Sebagai salah seorang peserta, banyak ilmu seputar perlindungan hutan
dan mata air yang didapat oleh Slamet. Salah satunya seputar cara-cara kreatif untuk
mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus menambah penghasilan. Contohnya,
menyulap kotoran sapi yang banyak terdapat di Mendek, menjadi biogas, bahan bakar
alternatif untuk memasak.

Biogas tidak merusak lingkungan karena CO2 yang dihasilkan langsung dapat diserap
tanaman sehingga emisi yang dihasilkan di atmosfer sangat sedikit.

Pengetahuan baru ini menginspirasi Slamet untuk meningkatkan taraf hidupnya tidak
hanya melalui susu tapi juga kotoran yang diproduksi dua ekor sapi miliknya. Bulan Juli
sampai Oktober, bersama 25 orang warga Mendek yang lain, Slamet mengunjungi desa
Toyomerto di Batu untuk belajar cara membuat biogas dari kotoran sapi. Desa
Toyomerto dikenal sebagai salah satu sentra biogas di Kota Batu dan memiliki populasi
sapi 2.000, alias dua kali lipat dari jumlah penduduknya.

Berbekal uang tabungan Rp. 1,2 juta, Slamet memulai konstruksi biodigester yang terdiri
dari dua bak untuk memproses kotoran sapi menjadi biogas. Untuk menghasilkan biogas
yang cukup dipakai memasak selama berhari-hari, Slamet memasukkan 40 kilogram
kotoran dari dua ekor sapi miliknya ke dalam bak penampung setiap dua hari sekali.
Kotoran tersebut kemudian dicampur dengan air dan didiamkan selama 6 hari sampai
membusuk. Campuran air dan kotoran sapi ini akan memproduksi gas yang dihubungkan
ke bak kedua dengan pipa PVC. Sebuah pipa yang lain akan mengalirkan gas dari bak
penampung ke kompor, dan biogas pun siap dipakai untuk memasak.

Enam hari setelah menyelesaikan konstruksi biodigesternya, Slamet berhasil menyalakan


api di kompor gasnya menggunakan gas alternatif tersebut. Kotoran sapi yang selama ini
terbuang percuma, kini memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Warga Srigading pun ramai
membicarakan “proyek halaman belakang” di rumah Slamet.

“Yang bikin bangga, ternyata saya bisa juga menyulap kotoran sapi jadi api,” kata Slamet
sambil tertawa.

Dalam beberapa minggu, Slamet mulai kebanjiran pesanan membuat biodigester dari
warga Srigading. Slamet menolak tawaran-tawaran itu karena merasa masih perlu banyak
belajar untuk menyempurnakan konstruksi biodigesternya sebelum menerima pesanan
dari orang lain.
“Saya akan terus belajar, karena kelak saya akan memberi contoh kepada orang-orang
yang ingin membuat biodigester. Semakin bagus konstruksi saya, semakin besar
kemungkinan orang-orang di Srigading memiliki biodigester yang bagus.”

Dhina Mustikasari & Bintoro W. Prabowo, ESP Jawa Timur

Cara Membuat Biogas dari


Kotoran Hewan

ENERGI DARI KOTORAN SAPI UNTUK MASAK, PENERANGAN DAN


LEMARI PENDINGIN

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Pepatah itu dilaksanakan oleh


Kelompok Alam Lestari Cangkola, Sumatera Barat yang jauh-jauh melakukan studi
banding
ke Yogyakarta, Magelang, dan Banjarnegara.

Foto Nining Erlina Fitri


Keinginan peserta musyarawah Jurong Gantiang Koto Tuo yang ingin melepaskan diri
dari ketergantungan pada bahan bakar minyak dan kayu bakar makin menguat. Sementara
para petani Jorong Gantiang Koto Tuo yang sudah lama mempraktikkan pertanian organik
belum puas melihat hasilnya.

Beberapa petani di Jorong Gantiang Koto Tuo melakukan studi banding ke lahan Institut
Pertanian Organik (IPO) di Aia Angek yang dibangun oleh Kepala Dinas Pertanian
Tingkat I Sumatera Barat. Lalu pada 11 Februari 2007, beberapa orang petani
mengikatkan diri dalam sebuah kelompok yang akan menerapkan pertanian alami di
Jorong. Mereka memberi nama kelompok itu Alam Lestari.

Kemudian kelompok melakukan studi banding pertanian organik ke Banjarnegara, dan


belajar teknologi Biogas di Yogyakarta. Lembaga Ekonomi Jorong memilih tiga orangn
petani, Bulkanedi Sati Batuah, Yotri St. Batuah, dan Analis untuk mengikuti studi banding
tersebut.

Belajar Teknologi Biogas dan Pertanian Alami.


Foto diambil dari Kompas, Oktober 2007
Di kampung halaman, Pak Tuah, Pak Jorong, dan Tek Malih pernah membuat gas
sederhana menggunakan drum. Tapi di Lembaga Pengembangan Teknologi Berbasis
Masyarakat (LPTP) Kayen, Yogyakarta, mereka menyaksikan instalasi gas permanen
yang sangat menarik. LPTP mengembangkan tiga jenis biogas berdasarkan sumber
penghasil gas, yaitu biogas dari kotoran manusia, kotoran ternak, dan limbah tahu. Di
kantor LPTP telah terpasang sebuah instalasi biogas dari kotoran manusia. Mereka
memanfaatkannya untuk memasak, kulkas, penerangan dan pemanas air. Risiko kebakaran
dan ledakan juga rendah.

"Pada prinsipnya pembangunan instalasi biogas untuk segala jenis kotoran sama, yang
membedakan hanya jenis pembuangannya saja," jelas Nining Community Organizer yang
mendampingi Jorong Gantiang Koto Tuo, Sumatera Barat. Instalasi biogas dari kotoran
manusia lebih rumit dibandingkan bangunan biogas dari limbah lainnya. "Kotoran
manusia mengandung unsur-unsur yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Sehingga dibutuhkan bak-bak penyaringan untuk menyaring ampas buangan tersebut
sebelum di salurkan ke sungai".

Untuk membangun sebuah instalasi biogas (Biodigester) yang bisa memenuhi kebutuhan
energi rumah tangga, sebuah rumah tangga harus memiliki minimal 3 ekor sapi. Energi
dari tiga ekor sapi ini bisa dimanfaatkan untuk memasak, memanaskan air, penerangan
(lampu petromaks) dan untuk lemari pendingin.

Di Banjarnegara, para peserta menimba


ilmu pertanian alami dari Setyastuti Orbaningsih, Technical Assistant (TA) Bina Desa.
Mereka mempelajari pembuatan pupuk, nutrisi, mikroba, teknis penerapannya, lahan
pertanian (sawah kering, kolam), ternak, pertanian konvensional, pertanian kimia,
pertanian organik, semi organik, pertanian alami, menejemen pertanian alami, kunjungan
lapangan, dan industri rumah. Selain itu, mereka mempelajari pengelolaan limbah
pertanian, seperti limbah ternak sapi, kerbau, ayam, kambing, limbah hijauan sisa
tanaman.

"Kotoran Ayam yang dipelihara secara konvensional, tidak baik digunakan sebagai
pupuk," ujar Nining. "Karena makanan ayam ini mengandung bahan kimia sehingga sulit
terurai dengan proses apapun".

Nah, semakin kuatlah tekad para petani untuk mempraktikkan teknik pertanian alami di
kampung nanti.

(Disarikan dari Laporan Kegiatan Nining Erlina Fitri/ink)

Posted on April 4, 2008 by htisainstekugm

Maraknya isu krisis energi di Indonesia mendorong masyarakat untuk mencari sumber energi
alternatif, salah satunya adalah teknologi biogas. Teknologi Biogas adalah teknologi yang
memanfaatkan proses fermentasi dari sampah organik, secara anaerobik oleh bakteri methan,
sehingga dihasilkan gas methan. Proses pemeliharaan pembangkit biogas cukup sederhana, dan
energi yang dihasilkan cukup besar (8900 kkal/m³) gas methan murni. Gas methan yang
dihasilkan dapat dibakar, sehingga dapat dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa
digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar
terdiri dari kotoran. (www.10.ppi-jepang.org)

Memang, penemuan ini adalah inovasi baru yang mengejutkan. Mengingat bahwa di
Indonesia terdapat sekitar 11,3 juta ekor sapi yang kalau 50% nya dimanfaatkan kotorannya
untuk biogas, Indonesia bisa menghemat Rp 7,8 triliun per tahun. Bukankah ini penemuan yang
brilliant?! Tapi…kotoran sapi kan najis. Lantas, bolehkah memanfaatkannya? Tepat sekali,
seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa setiap amal perbuatan kita akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (QS. Al-Zalzalah:7&8). Maka, sudah selayaknya kita
meninjau kembali bagaimana Islam memandang pemanfaatan benda najis, seperti kotoran sapi
tersebut. Terkait dengan hal tersebut, para ulama memang berbeda pendapat. Sebagian
membolehkan, sebagian lain mengharamkan. Hanya saja, pendapat yang kuat adalah pendapat
yang mengharamkan. Banyak sekali riwayat yang menuturkan tentang keharaman najis dari sisi
dzatnya sendiri, misalnya darah, Daging babi, kencing, dsb. Salah satu diantaranya:

“Katakanlah, ‘Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor,…’.” (QS. Al-
An’am : 145)

Jika Allah telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Dengan
demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan
sabda Rasulullah SAW,

“Janganlah kalian memanfaatkan bagian dari bangkai sedikitpun.” (HR.Bukhari)


Sementara kita ketahui bahwa bangkai terkategori barang najis. Walhasil, karena kotoran
hewan adalah najis, maka pemanfaatan kotoran hewan untuk biogas termasuk perbuatan yang
memanfaatkan najis, yang terkategori haram. Lagipula, biogas tidak hanya dapat diperoleh
dengan pemanfaatan kotoran hewan (sapi), tetapi juga dapat dihasilkan dari pemanfaatan sampah
organik lain seperti biji jarak. Dengan demikian, sungguh memprihatinkan, ketika pengembangan
teknologi hanya memperhatikan sisi kemanfaatan saja tanpa mempertimbangkan status
hukumnya dalam Islam, boleh atau tidak. Dan ini semua tidak lepas dari standar kehidupan
sekarang yang tidak lagi menjadikan halal dan haram sebagai standar tapi hanya aspek manfaat
saja. Kalau standarnya saja sudah salah, maka perilaku masyarakatnya pun bisa dipastikan juga
salah. Apalagi ketika pemerintah membiarkan saja, akibatnya kesalahan (kemaksiatan) yang
terjadi merupakan kesalahan struktural (massal). Ambil contoh ketika pemerintah membiarkan
bahkan mengkoordinasikan pengembangan biogas dari kotoran hewan dan melibatkan banyak
pihak dari berbagai elemen masyarakat, maka ini berarti pihak-pihak yang bersedia diajak tadi
telah bergabung untuk melakukan kesalahan secara massal (struktural). Dan akan lebih fatal lagi
ketika pengembangan energi biogas yang merupakan salah satu energi alternatif ini dijadikan
sebagai fokus pengembangan energi. Karena sejatinya Indonesia masih memiliki cadangan energi
utama yang sangat mampu mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Sementara sudah menjadi
opini umum bahwa energi utama yang kita miliki (minyak bumi, gas alam, dll) telah dibiarkan
oleh pemerintah untuk dikuasai asing (92% nya). Maka, pengembangan biogas selain tetap harus
sesuai syariah (menggunakan bahan-bahan yang memang diperbolehkan) juga jangan sampai
pengembangan energi alternatif ini membuat “bangsa kaya” ini terlupakan/teralihkan dari energi
utama yang telah dimiliki, karena akar masalahnya bukan terletak pada ketiadaan energi (krisis
energi) tapi lebih kepada pengerukan sumber-sumber energi kita untuk kepentingan asing akibat
perizina pemerintah kepada mereka untuk memiliki dan mengelola sumber energi itu, sehingga
hasilnya pun dinikmati hanya untuk mereka dan bukan untuk RAKYAT. Itulah letak perbedaan
yang sangat signifikan antara pengurusan sistem sekarang dengan sistem Islam. Khilafah/sistem
Islam, selain mengatur dan menjaga masyarakatnya agar senantiasa terikat dengan segenap
aturan-aturan Islam, Khilafah Islamiyyah juga senantiasa membuat kebijakan yang tidak
menyakiti masyarakat malah justru mensejahterakan mereka. Pemberian hak pengelolaan asset-
asset rakyat, termasuk bidang energi kepada perusahaan-perusahaan swasta dan asing, tetapi
pengelolaannya hanya dilakukan oleh Negara untuk dikembalikan kepada rakyat secara utuh,
karena itu memang hak mereka. Oleh karenanya, saintis-saintis dalam sistem Khilafah akan
menjadi saintis-saintis yang betul-betul mengaplikasikan dan memberikan keilmuannya untuk
kesejahteraan masyarakat, bukan menjadi saintis oportunis yang mengakibatkan terjadinya
“penyimpangan” penggunaan keilmuannya tidak untuk kesejahteraan masyarakat. Melainkan
hanya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan asing baik disadari atau tidak, dan baik secara
langsung atau tidak secara langsung, karena sistem sekarang memang sangat mengakomodasi
“penyimpangan” hal tersebut.

Filed under: Bio Leaf | Tagged: biogas, energi


KOTORAN TERNAK PEMBAWA BERKAH
2007-09-26 08:43:03 by :

BIOGAS DI TANJUNG JABUNG TIMUR


KOTORAN TERNAK PEMBAWA BERKAH

Peternak sapi dan kerbau di desa Kota Baru Kecamatan Geragaii


Kabupaten Tanjab Timur maju selangkah. Sejak diujicobakannya
pembuatan bio gas di desa tersebut, para peternak semakin
bergairah untuk meningkatkan skala usaha peternakannya karena
ternyata kotoran ternak yang selama menumpuk tidak
termanfaatkan dengan baik, bahkan menyebabkan lingkungan
rumah mereka tidak bersih, sekarang memberikan nilai tambah
yang lebih besar untuk peningkatan kualitas hidup dan
perekonomian warga di desa eks trans tersebut .

Menurut pengakuan Pak Deni (54 tahun), salah seorang anggota


kelompok tani ternak Suka Maju, sejak sebulan lalu istrinya telah
menggunakan biogas asal kotoran ternak untuk memasak, layaknya
ibu-ibu di kota yang menggunakan gas LPG untuk memasak.
Peternak yang memiliki 7 ekor kerbau ini dapat menghemat uang
keluar untuk membeli minyak tanah. ”Istri saya juga tidak perlu
antri untuk mendapatkan minyak tanah,” katanya. Api yang
dihasilkan oleh kotoran ternak tersebut tidak berbau dan berwarna
biru, sama sekali tidak meninggalkan bekas di peralatan masak milik
keluarga petani tersebut.

Keuntungan lebih besar dinikmati oleh Mugi (52 tahun), sang ketua
kelompok yang selain beternak sapi juga memiliki usaha sampingan
pembuatan tahu. Bio gas tersebut dipakai untuk mengolah sekitar
55 Kg kacang kedelai untuk menjadi tahu setiap harinya.
Penghematan bahan bakar yang dilakukan cukup besar meski dia
belum menghitung berapa rupiah yang dapat di hemat dari
penggunaan kotoran gas tersebut.

Keuntungan lain yang diperoleh Pak Mugi adalah tersedianya ampas


tahu untuk pakan tambahan bagi ternak sapinya. Setiap pagi dan
sore ternaknya memperoleh jatah 2 ember ampas tahu atau sekitar
30 Kg. Tidak heran, jika petani asal Jogja ini memiliki rumah
permanen yang cukup besar di hamparan lahan seluas seperempat
hektar.

Teknologi pembuatan bio gas dari kotoran ternak mulai diujicobakan di


desa Kota Baru pada awal bulan Maret tahun 2007. Dari 14 unit yang
diujicobakan, 13 unit diantaranya berhasil menghasilkan gas,
sedangkan 1 unit yang dicoba pertama kali mengalami kebocoran.

Untuk menghasilkan gas, peternak yang mendapatkan dana


percontohan ini membangun kolam kotoran yang ditembok batu
bata dengan ukuran sekitar 1,5 x 3 meter. Kolam ini kemudian
ditutup rapat dengan plastik tebal agar gas yang dihasilkan tidak
menguap ke udara. Sebuah alat pengatur gas digantung di atas
kolam penampungan yang berfungsi mengatur pengeluaran gas ke
alam bebas jika terdapat kelebihan gas. Alat pengatur ini sangat
vital untuk menghindari terjadinya ledakan karena tekanan gas yang
berlebihan.

Dari kolam kotoran tersebut, gas dialirkan ke rumah dengan


rumah, telah menunggu sebuah kantung plastik besar dan tebal
berukuran sekitar 1 x 2 meter untuk menampung gas methane dari
kolam tersebut. Gas tersebutlah yang kemudian dialirkan ke kompor
gas. Semua komponen pembuatan jaringan biogas yang tergolong
cukup sederhana ini beserta kompornya dibeli dari sebuah
perusahaan di Bandung, Jawa Barat, tempat dimana mereka
melaksanakan magang sebelum pengerjaan proyek ini dimulai.

Untuk menghasilkan gas pertama kali, diperlukan kotoran sebanyak 2


ton. Kotoran tersebut diaduk sedikit demi sedikit dengan komposisi
setiap 50kg kotoran diadukDINAS PETERNAKAN
dengan penambahanPROVINSI JAMBI 50 liter air.
Email : info@disnak.pempropjambi.go.id
Pengadukan dilakukan di dalam sebuah © 2007 galon ukuran 100 liter yang
ditempatkan lebih
Kamitinggi dari Mozilla
merekomendasikan kolam untuk
Firefox memudahkan
untuk menampilkan website ini. pengaliran
kotoran ke kolam tersebut. Setelah adukan rata, sedikit demi sedikit
kotoran encer itu dialirkan melalui lobang yang dibuat di bagian
bawah galon tersebut. ”Kami menunggu selama 1 minggu sampai
gas terkumpul cukup banyak dan dapat dialirkan ke rumah’ kata
Syahmaliadi, PPL di desa tersebut yang menjadi pendamping
kelompok dalam uji coba pembuatan bio gas tersebut. Untuk
mendapatkan gas secara berkala, pengadukan dan pengaliran
kotoran ke kolam penampungan cukup dilakukan setiap 3 atau 4 hari
sekali, dengan komposisi 50 kg kotoran dan 50 lieter air.

Selain menghasilkan gas, kolam penampungan nantinya akan


mengeluarkan kotoran yang tidak mengandung gas lagi. Kotoran ini
merupakan pupuk kompos yang sangat baik untuk pemupukan
tanaman. Mengingat kondisi tanah di Tanjab Timur yang memiliki
kadar sulfat masam yang tinggi, keberadaan pupuk kompos dalam
jumlah besar akan berguna untuk mengurangi ketergantungan pada
pupuk buatan dan lebih ramah lingkungan. Peternak di desa ini
nampaknya perlu bersiap-siap untuk mendapatkan sumber
pendapatan baru yaitu produksi pupuk kompos.

Baik peternak maupun PPL yang melaksanakan kegiatan ujicoba


pembuatan biogas ini mengaku puas dengan hasil yang diperoleh.
Magang yang dilaksanakan di Lembang Jawa Barat sebelum proyek
bernilai 75 juta ini diujicobakan di Tanjab Timur, terbukti
memberikan manfaat yang besar bagi mereka. Banyak warga desa
lain berniat mengikuti jejak mereka untuk beternak karena untuk
menghasilkan bio gas, tidak perlu memiliki ternak banyak. Kotoran
dari 3 sampai 4 ekor ternak sapi sudah cukup menghasilkan biogas
bagi pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga. (Ir.Asnelly Ridha
Daulay, M.Nat Res Ecs).

[disnak Online]

Print Friendly Version PDF

You might also like