Professional Documents
Culture Documents
Bahan bakar pengganti minyak tanah ini dikembangkan oleh kelompok tani
Pasanggani Limboro. Mereka bekerja sama dengan Balai Penelitian Teknologi
Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani
Melalui Inovasi yang dibiayai Asian Development Bank.
Tenaga teknisi biogas Limboro, Ahyar, mengatakan biogas itu berasal dari empat
ekor sapi yang dikandangkan. Tiap sapi menghasilkan 10 kilogram kotoran, sehingga
tiap hari tersedia 40 kilogram tahi sapi yang siap diolah menjadi biogas.
Pria 35 tahun itu mengatakan cara pembuatan gas itu lumayan gampang. Tiap pagi
kotoran dikumpulkan dalam bak penampung dan dicampur dengan satu ember air,
lalu campuran itu dialirkan ke dalam bak penampung dari plastik tebal berkapasitas
2 ton. Gas yang dihasilkan dialirkan melalui pipa menuju plastik penampungan. Gas
yang tertampung ini kemudian dialirkan ke kompor gas.
Bak penampungan pertama, kata Ahyar, berisi gas kasar. Sedangkan bak
penampungan kedua berisi gas bersih siap pakai.
Dari proses ini, tak cuma gas yang bisa dihasilkan, tapi juga pupuk kompos. Ampas
dari bak penampungan pertama bisa dijadikan pupuk. "Ini juga banyak peminatnya
karena kami jual murah, yakni Rp 6.000 per lima kilogram," katanya.
Saat ini sudah tiga rumah yang yang memakai gas dari tahi sapi itu. Penghematan
jelas terasa bagi penggunanya. Setelah menggunakan biogas ini, istri Ahyar, yang
sebelumnya butuh 20 liter minyak tanah tiap bulan, kini cukup membeli dua liter.
"Kami bisa menghemat minyak tanah," katanya.
Selain ibu rumah, warga desa lainnya ikut senang. Biogas memiliki empat faedah,
yaitu sapi tak lagi berkeliaran di jalan-jalan, karena dikandangkan, dan
menghasilkan pupuk. Manfaat lain adalah membantu program penggemukan sapi
serta meningkatkan harga sapi dua kali lipat karena sudah gemuk.
Rencananya, bak penampungan akan dibuat di beberapa tempat agar warga lainnya
dapat menikmati gas itu. "Beberapa desa tetangga dan kecamatan lain di Donggala
minta diajari membuat gas dari tahi sapi ini. Cuma kendalanya, kompor gas tidak
tersedia karena perlu kompor khusus," kata Ahyar.
Anggota staf BPTP Sulawesi Tengah, Cahya Haerani, mengatakan teknologi biogas ini
merupakan hasil rekayasa teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pertanian. Transfer teknologi ini cocok diterapkan di Limboro karena
memiliki banyak ternak sapi. Untuk mengatasi masalah kompor, kini sudah ada
bengkel yang akan memproduksi. "Mudah-mudahan daerah lain bisa melakukannya
untuk menghemat minyak tanah," kata Cahya.
Darlis
"Biasanya kami menggunakan minyak tanah hingga tiga liter per hari. Dengan adanya
tambahan biogas untuk memasak, saya hanya menggunakan minyak tanah dua liter untuk
satu minggu," kata Abdul Majid di Sukabumi, Selasa.
"Kalau pun ada itu juga untuk membeli makanan sapi," katanya seraya menyebutkan
sebanyak delapan KK sudah menggunakan biogas di Desa Sukamaju.
Cara membuat biogas tidak rumit, yakni satu ember kotoran sapi diaduk dengan satu
ember air dalam sebuah drum. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
sebuah bak berukuran satu kali empat meter, yang telah dibungkus dengan plastik.
Kotoran sapi yang mengendap, kemudian akan menghasilkan biogas dan bisa langsung
digunakan. Gas yang sudah dalam bak penampungan tersebut, kemudian dialirkan
dengan menggunakan selang menuju reaktor penampung gas berupa plastik besar.
"Dari penampung tersebut, langsung dialirkan ke kompor khusus yang bisa mengeluarkan
api biru seperti dari kompor gas elpiji," katanya.
Menurut istri Majid, Ai Sa`adah (38), penggunaan kompor biogas tidak kalah dengan
kompor gas elpiji.
"Api yang dikeluarkan oleh kompor biogas juga berwarna biru seperti gas elpiji, namun
api gas elpiji lebih besar ketimbang kompor biogas," katanya seraya menambahkan
penggunaan kompor biogas lebih irit dibandingkan kompor minyak tanah.
Sementara itu, Kepala Desa Sukamaju, Titin Suprihatin, mengatakan, di desanya, kini
sudah ada delapan peternak sapi yang memproduksi biogas.
"Ke depan, kami berencana untuk terus menambah peternak yang bisa menggunakan
kotoran sapi menjadi biogas," katanya seraya menambahkan biogas dari seorang peternak
diperkirakan bisa digunakan oleh tiga kepala keluarga. (*/boo)
“Masyarakat Kampar telah menyadari potensi yang dimiliki dan mampu memanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hal ini, akan didukung oleh pemerintah daerah dan
pusat. Termasuk pengembangan bisnisnya,” kata Menteri Negara Koperasi Usaha Kecil
dan Menengah Surya Dharma Ali.
Surya Dharma Ali akhir pekan ini berada di Riau, tepatnya berkunjung di Pusat Pertanian
Terpadu Desa Kubang Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kampar didampingi Bupati Kampar
Jefry Noer. Surya Dharma khusus hadir di Kampar untuk membuka Pendidikan dan
Pelatihan Pertanian Terpadu yang diikuti oleh perwakilan petani dari seluruh Kampar.
Diklat terpadu ini berlangsung enam bulan terakhir, khususnya melatih peserta
memproduksi biogas. Peserta pelatihan diharapkan mampu memanfaatkan untuk dirinya
dan lokasi sekitar tempat tinggal. Target jangka panjangnya dibentuknya koperasi untuk
membangun instalasi biogas, sehingga energi alternatif ini mampu diproduksi massal dan
dipasarkan.
Jefry Noer mengatakan, pemerintah kabupaten memang langsung cepat merespon saat
mengetahui kegunaan lain kotoran sapi dan kerbau. Pemkab Kampar membangun
kawasan pertanian terpadu dan menjalin kerjasama dengan tenaga ahli dari Institute
Pertanian Bogor (IPB).
Menurut Jefry, kini hampir dua minggu sekali diadakan pelatihan rutin pembuatan biogas
secara bergantian bagi masyarakat, khususnya petani. Instalasi bahan bakar biogas sangat
sederhana, berupa satu drum diisi kotoran sapi atau kerbau seberat 250 kilogram.
Setelah didiamkan selama 16 – 21 hari, gas otomatis telah dihasilkan dan siap dialirkan.
Total biaya pembuatan instalasi biogas ini Rp 600.000. Selanjutnya, petani cukup
mengisi drum tersebut dengan kotoran sapi sebagai pasokan bahan dasar seberat 15 – 20
kilogran setiap hari.
Sukamti (37) kini tak perlu lagi membeli isi ulang gas untuk
menyalakan kompornya di dapur. Berkat kotoran dari sapi yang diternak
di belakang rumahnya, kebutuhan gas untuk menyalakan kompor di
rumahnya dapat terpenuhi setiap hari.
Tak hanya itu, limbah cair dari kotoran sapi yang diproses menjadi
biogas itu dapat digunakan untuk pupuk organik. "Lumayan sejak
mengolah biogas dari kotoran sapi ini. Kebutuhan bahan bakar dan pupuk
dapat terpenuhi semuanya dari hasil pengolahan kotoran sapi itu
menjadi biogas," jelasnya, Kamis (27/7).
Di bawah tanah seluas lebih dari 40 meter persegi, dibangun dua ruang
berbentuk mangkuk terbalik. Ruang pertama dipergunakan sebagai ruang
penampungan kotoran sapi dan ruang kedua dipergunakan sebagai ruang
kontrol volume kotoran sapi dan volume limbah cair yang dihasilkan.
"Kalau sampai terjadi kelebihan volume, kotoran sapi itu akan mengalir
ke ruang pengontrol. Dari situ ketahuan kalau volume di ruang
penampung sudah penuh," ungkapnya.
Nusantara
Sabtu, 12 Januari 2008
Dalam kondisi kelangkaan minyak tanah seperti saat ini, memanaskan air
untuk mandi terlihat sebagai pemborosan.
Namun, Odih dan enam anggota keluarganya tak merasakan kesulitan itu.
Sebuah reaktor biogas mini di belakang rumahnya menjadi pemasok bahan
bakar untuk keperluan rumah tangga sejak pertengahan tahun 2005. Letak
reaktor tepat di samping kandang terbuka berisi 20-an ekor sapi perah.
Tiap pagi, sekitar 120 kilogram (kg) kotoran sapi dicampur air
dimasukkan dalam potongan drum yang dihubungkan ke reaktor.
Perbandingan volume air dan kotoran sapi adalah 1:1. Proses
mikrobiologis dengan bantuan jutaan bakteri dalam reaktor akan
menghasilkan gas metan. Gas dialirkan dalam kantung plastik penampung
yang dihubungkan ke dua kompor di dapur Odih. Nyala api yang
dihasilkan berwarna biru, tidak berbau, dan tidak berasap.
"Dulu kami yang memasang reaktor biogas di desa itu," kata pelaksana
teknis PT Mulya Tiara Nusa (MTN), Charles Purba.
MINYAK tanah menjadi barang paling langka yang banyak dicari orang saat ini. Orang rela mengantre dan
saling bersikutan hanya untuk mendapat beberapa liter minyak tanah. Dengan harga yang melambung pun,
minyak tanah tetap dibeli karena memang tak ada pilihan lain.
Untungnya, tak semua anggota masyarakat menengah ke bawah melakukan hal yang sama. Salah satunya,
masyarakat peternak sapi di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Meski harga
minyak tanah terus melambung, masyarakat di pinggiran pegunungan Wayang-Windu itu tak terlalu ambil
pusing. Mereka pun tak bergantung pada kayu bakar yang biasa dijadikan bahan substitusi minyak tanah di
perdesaan. Keberadaan energi biogas dari kotoran sapi dalam tangki komunal ataupun perseorangan kini
menjadi bahan utama untuk masak sehari-hari yang murah meriah.
Noneng (25), warga Kampung Pajaten, Desa Tarumajaya adalah salah satu contohnya. Selama dua tahun
terakhir, dia mengaku tak pernah lagi membeli minyak tanah atau mencari kayu bakar ke hutan untuk
kebutuhan memasak. Reaktor biogas telah memasok kebutuhan itu nonstop 24 jam. Berbeda dengan reaktor
skala rumah tangga biasa, reaktor biogas yang digunakan Noneng bersifat komunal dengan ukuran silinder
superbesar, diameter dan kedalaman masing-masing 4 meter. Reaktor yang dibangun sejak 2005 itu dapat
menyuplai 12 kepala keluarga (KK). Mereka memanfaatkan limbah kotoran sapi sebagai bahan bakar
reaktor tersebut.
Baru satu tangki reaktor biogas superbesar yang telah dibangun dan berfungsi di Desa Tarumajaya saat ini.
Terdapat empat reaktor biogas raksasa lainnya yang kini masih dalam tahap pembangunan. Tak hanya itu,
puluhan reaktor biogas kecil lainnya dimiliki secara perseorangan. Kebanyakan penerapan daya guna
biogas itu adalah bantuan dari program yang digulirkan pemerintah Provinsi Jabar dan Pemkab Bandung.
"Perasaan waswas atas keamanannya sih pasti ada. Apalagi tangkinya berada tepat di depan rumah.
Namun, setelah dua tahun berjalan, sama sekali tak ada masalah, sampai sekarang," kata Noneng yang
memiliki dua belas sapi perah itu. Dia menggunakan energi biogas itu untuk masak sehari-hari, termasuk
memanaskan susu yang baru diperah. Saking berlimpahnya energi biogas dari tangki komunal itu, dia dapat
memanfaatkanya untuk menyalakan generator jika suatu saat listrik dari PLN mendadak padam.
Sejak masyarakat Desa Tarumajaya yang terletak di hulu Sungai Citarum itu memanfaatkan biogas,
kebutuhan akan minyak tanah menurun drastis. Meskipun dibutuhkan, paling hanya untuk menutupi
kekurangan energi biogas yang digunakan. "Di sini harga minyak tanah mencapai Rp 4.000,00 per liter.
Alhamdulillah, sejak tujuh bulan lalu saya tak pernah beli minyak tanah, apalagi masuk ke hutan untuk
mencari kayu bakar," tutur Atep Solihin (27), warga pengguna biogas di Kp. Lembangsari, Desa
Tarumajaya.
Kelestarian lingkungan adalah salah satu pengaruh positif lainnya sejak penggunaan biogas ini. Data
berbagai penelitian menyebutkan, Sungai Citarum sudah tercemar hanya beberapa ratus meter dari
sumbernya. Kotoran sapi yang dibuang langsung ke sungai adalah penyebabnya. Sejak dilakukan
pengolahan biogas, kotoran sapi tak lagi dibuang ke sungai melainkan dapat langsung dimanfaatkan
menjadi pupuk pertanian.
"Bahkan, kotoran sisa biogas itu dapat dicampur dengan dedak menjadi pakan ikan. Pencemaran pun dapat
direduksi," kata Dede Juhari, Ketua Kelompok Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA). Dede bersama
kelompoknya adalah salah satu penggagas reaktor biogas komunal sekaligus membuat sejumlah kolam
resapan yang ditanami ikan air tawar. Selain untuk perbaikan lingkungan, kolam resapan itu juga dijadikan
sumber pendapatan alternatif masyarakat yang semula perambah hutan.
Menurut Dede, peternak sapi perah di Kertasari sekitar 3.500 orang dengan jumlah populasi sapi perah
mencapai 6.000 ekor. Sayangnya, reaktor biogas hanya mampu menampung sedikit kotoran yang
diproduksi tiap hari. Sebagai gambaran, satu ekor sapi perah dewasa dapat memproduksi sekitar 14 kg
kotoran setiap hari. Karena tak tertampung dalam biogas, peternak tetap membuangnya ke sungai.
"Tak kurang dari 40 ton kotoran sapi masuk ke Sungai Citarum setiap hari. Kita masih membutuhkan lebih
banyak lagi reaktor biogas untuk masyarakat," ucap Dede.
Jadi, nggak ada minyak tanah, nggak masalah, kan? (Deni Yudiawan/"PR"/Usep Usman Nasrulloh)***
Penulis:
Back
Biogas Pertama Srigading: Slamet Sulap Kotoran Sapi Jadi Bahan Bakar
Published Date: January 2nd, 2008
Di Mendek, pahlawan yang dielu-elukan bukan tokoh super yang bisa terbang. Tapi
seseorang yang membuktikan bahwa kegiatan menyelamatkan lingkungan dan
menghemat energi dapat berjalan bersama
Malang. Slamet, 37, adalah warga dusun Mendek di desa Srigading yang memiliki
kegigihan dan keuletan yang sedang menjadi pembicaraan desa berpenduduk 4.780
orang itu.
Seperti daerah pedesaan lain di Indonesia, Srigading sangat terpukul dengan naiknya
harga minyak tanah dan untuk memasak kini mereka terpaksa menggunakan kayu bakar.
Slamet dan istrinya tak punya pilihan kecuali mendaki tebing-tebing terjal Pegunungan
Tengger demi mendapatkan ranting kering untuk memasak. Bukan hanya lelah yang
didapat, tuduhan sebagai perambah hutan yang merusak lingkungan sering dialamatkan
kepada mereka.
Untuk menambah pengetahuan masyarakat seputar perlindungan hutan dan mata air di
desa asal mata air Sumber Jengkol itu, ESP memulai program Sekolah Lapangan pada
Februari 2007. Sebagai salah seorang peserta, banyak ilmu seputar perlindungan hutan
dan mata air yang didapat oleh Slamet. Salah satunya seputar cara-cara kreatif untuk
mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus menambah penghasilan. Contohnya,
menyulap kotoran sapi yang banyak terdapat di Mendek, menjadi biogas, bahan bakar
alternatif untuk memasak.
Biogas tidak merusak lingkungan karena CO2 yang dihasilkan langsung dapat diserap
tanaman sehingga emisi yang dihasilkan di atmosfer sangat sedikit.
Pengetahuan baru ini menginspirasi Slamet untuk meningkatkan taraf hidupnya tidak
hanya melalui susu tapi juga kotoran yang diproduksi dua ekor sapi miliknya. Bulan Juli
sampai Oktober, bersama 25 orang warga Mendek yang lain, Slamet mengunjungi desa
Toyomerto di Batu untuk belajar cara membuat biogas dari kotoran sapi. Desa
Toyomerto dikenal sebagai salah satu sentra biogas di Kota Batu dan memiliki populasi
sapi 2.000, alias dua kali lipat dari jumlah penduduknya.
Berbekal uang tabungan Rp. 1,2 juta, Slamet memulai konstruksi biodigester yang terdiri
dari dua bak untuk memproses kotoran sapi menjadi biogas. Untuk menghasilkan biogas
yang cukup dipakai memasak selama berhari-hari, Slamet memasukkan 40 kilogram
kotoran dari dua ekor sapi miliknya ke dalam bak penampung setiap dua hari sekali.
Kotoran tersebut kemudian dicampur dengan air dan didiamkan selama 6 hari sampai
membusuk. Campuran air dan kotoran sapi ini akan memproduksi gas yang dihubungkan
ke bak kedua dengan pipa PVC. Sebuah pipa yang lain akan mengalirkan gas dari bak
penampung ke kompor, dan biogas pun siap dipakai untuk memasak.
“Yang bikin bangga, ternyata saya bisa juga menyulap kotoran sapi jadi api,” kata Slamet
sambil tertawa.
Dalam beberapa minggu, Slamet mulai kebanjiran pesanan membuat biodigester dari
warga Srigading. Slamet menolak tawaran-tawaran itu karena merasa masih perlu banyak
belajar untuk menyempurnakan konstruksi biodigesternya sebelum menerima pesanan
dari orang lain.
“Saya akan terus belajar, karena kelak saya akan memberi contoh kepada orang-orang
yang ingin membuat biodigester. Semakin bagus konstruksi saya, semakin besar
kemungkinan orang-orang di Srigading memiliki biodigester yang bagus.”
Beberapa petani di Jorong Gantiang Koto Tuo melakukan studi banding ke lahan Institut
Pertanian Organik (IPO) di Aia Angek yang dibangun oleh Kepala Dinas Pertanian
Tingkat I Sumatera Barat. Lalu pada 11 Februari 2007, beberapa orang petani
mengikatkan diri dalam sebuah kelompok yang akan menerapkan pertanian alami di
Jorong. Mereka memberi nama kelompok itu Alam Lestari.
"Pada prinsipnya pembangunan instalasi biogas untuk segala jenis kotoran sama, yang
membedakan hanya jenis pembuangannya saja," jelas Nining Community Organizer yang
mendampingi Jorong Gantiang Koto Tuo, Sumatera Barat. Instalasi biogas dari kotoran
manusia lebih rumit dibandingkan bangunan biogas dari limbah lainnya. "Kotoran
manusia mengandung unsur-unsur yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Sehingga dibutuhkan bak-bak penyaringan untuk menyaring ampas buangan tersebut
sebelum di salurkan ke sungai".
Untuk membangun sebuah instalasi biogas (Biodigester) yang bisa memenuhi kebutuhan
energi rumah tangga, sebuah rumah tangga harus memiliki minimal 3 ekor sapi. Energi
dari tiga ekor sapi ini bisa dimanfaatkan untuk memasak, memanaskan air, penerangan
(lampu petromaks) dan untuk lemari pendingin.
"Kotoran Ayam yang dipelihara secara konvensional, tidak baik digunakan sebagai
pupuk," ujar Nining. "Karena makanan ayam ini mengandung bahan kimia sehingga sulit
terurai dengan proses apapun".
Nah, semakin kuatlah tekad para petani untuk mempraktikkan teknik pertanian alami di
kampung nanti.
Maraknya isu krisis energi di Indonesia mendorong masyarakat untuk mencari sumber energi
alternatif, salah satunya adalah teknologi biogas. Teknologi Biogas adalah teknologi yang
memanfaatkan proses fermentasi dari sampah organik, secara anaerobik oleh bakteri methan,
sehingga dihasilkan gas methan. Proses pemeliharaan pembangkit biogas cukup sederhana, dan
energi yang dihasilkan cukup besar (8900 kkal/m³) gas methan murni. Gas methan yang
dihasilkan dapat dibakar, sehingga dapat dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa
digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar
terdiri dari kotoran. (www.10.ppi-jepang.org)
Memang, penemuan ini adalah inovasi baru yang mengejutkan. Mengingat bahwa di
Indonesia terdapat sekitar 11,3 juta ekor sapi yang kalau 50% nya dimanfaatkan kotorannya
untuk biogas, Indonesia bisa menghemat Rp 7,8 triliun per tahun. Bukankah ini penemuan yang
brilliant?! Tapi…kotoran sapi kan najis. Lantas, bolehkah memanfaatkannya? Tepat sekali,
seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa setiap amal perbuatan kita akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (QS. Al-Zalzalah:7&8). Maka, sudah selayaknya kita
meninjau kembali bagaimana Islam memandang pemanfaatan benda najis, seperti kotoran sapi
tersebut. Terkait dengan hal tersebut, para ulama memang berbeda pendapat. Sebagian
membolehkan, sebagian lain mengharamkan. Hanya saja, pendapat yang kuat adalah pendapat
yang mengharamkan. Banyak sekali riwayat yang menuturkan tentang keharaman najis dari sisi
dzatnya sendiri, misalnya darah, Daging babi, kencing, dsb. Salah satu diantaranya:
“Katakanlah, ‘Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor,…’.” (QS. Al-
An’am : 145)
Jika Allah telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Dengan
demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan
sabda Rasulullah SAW,
Keuntungan lebih besar dinikmati oleh Mugi (52 tahun), sang ketua
kelompok yang selain beternak sapi juga memiliki usaha sampingan
pembuatan tahu. Bio gas tersebut dipakai untuk mengolah sekitar
55 Kg kacang kedelai untuk menjadi tahu setiap harinya.
Penghematan bahan bakar yang dilakukan cukup besar meski dia
belum menghitung berapa rupiah yang dapat di hemat dari
penggunaan kotoran gas tersebut.
[disnak Online]