You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. MASA REMAJA
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu
mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan
mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan
juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya,
remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni
masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya
perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan
manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak
terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal
keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan
untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi
pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan
sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja
sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah
bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia
orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa,
meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda
dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur,
remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam
perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-
kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka
dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak
perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun
seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan
bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu
hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks
seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri
mereka. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat
berdasarkan perubahan pada dimensidimensi tersebut
Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai
dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan
suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan
yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba
memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas,
hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon
(gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan
dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH);
dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua
hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan
progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki,
Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating
Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas
merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan
mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya
sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara
mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan
dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan
tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah
secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada
dunia remaja.
Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget
(seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan
tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal
operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki
pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang
kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang
sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat
membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta
kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan
abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-
dimensi
seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa
adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta
mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga
mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk
ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa
depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja
mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Pada
kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih
sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu
sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional
formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan
sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang
digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu
melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan
sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan
metode belajarmengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya
perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya
bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih
memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak
memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai
dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus
mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus
sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk
menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya
mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya
sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel
(1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian
tersendiri dalam menghadapi masalahmasalah populer yang
berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan,
perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil
pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada
mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan
keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak
alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan
hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya.
Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di
luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat
bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis
pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali
membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan
berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja
berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan”
yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap
"pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang
selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang
anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi
itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa
dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan
sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu.
Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja.
Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah
masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.
Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang
ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan
sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak
mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam
memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh
putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih
dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih
jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu
memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan
membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan
mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya.
Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban
yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh
orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa
ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil
penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson
(1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45
menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar
biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal
yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini
seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah,
atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah
berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan
gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa
remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam
kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan
terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa
orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti
mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu
membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang
direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri
mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan
berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan
bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan
melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan
membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik
dan “hebat”. Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan
berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia
nyata. Pada saat itu, Remaja
akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri
dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya.
Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain
kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai
dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian
dan angan-angan mereka dengan kenyataan. Para remaja juga sering
menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka
terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan
impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan
belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka
panjang.
Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-
jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa
yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-
jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat
dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jatidiri positif pada remaja.
Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan
rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang
lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana
menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai
nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan
membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk
menyelesaikan masalah seperti itu.
Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi
remaja Dari beberapa dimensi perubahan yang terjadi pada remaja
seperti yang telah dijelaskan diatas maka terdapat kemungkinan –
kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini. Diantaranya
adalah perilaku yang mengundang resiko dan berdampak negative
pada remaja. Perilaku yang mengundang resiko pada masa remaja
misalnya seperti penggunaan alcohol, tembakau dan zat lainnya;
aktivitas social yang berganti – ganti pasangan dan perilaku
menentang bahaya seperti balapan, selancar udara, dan layang
gantung (Kaplan dan Sadock, 1997).
Alasan perilaku yang mengundang resiko adalah bermacam –
macam dan berhubungan dengan dinamika fobia balik ( conterphobic
dynamic ), rasa takut dianggap tidak cakap, perlu untuk menegaskan
identitas maskulin dan dinamika kelompok seperti tekanan teman
sebaya.
2. REMAJA DAN ROKOK
Di masa modern ini, merokok merupakan suatu pemandangan
yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat
memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak dapat
menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang –
orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam
rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya.
Beberapa motivasi yang melatarbelakangi seseorang merokok adalah
untuk mendapat pengakuan (anticipatory beliefs), untuk
menghilangkan kekecewaan ( reliefing beliefs), dan menganggap
perbuatannya tersebut tidak melanggar norma ( permissive beliefs/
fasilitative) (Joewana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok
yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang
lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat
tertarik kepada kelompok sebayanyaatau dengan kata lain terikat
dengan kelompoknya.
Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam
kehidupan sehari-hari. Dimana-mana mudah menemui orang merokok, baik laki- laki
maupun wanita, anak kecil maupun orang tua, kaya maupun miskin. Merokok
merupakan bagian hidup masyarakat. Prevalensi merokok telah menurun di banyak
negara maju dalam beberapa tahun terakhir, tetapi tetap tinggi di negara-negara
berkembang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh
lebih dari lima juta orang per tahun dan diproyeksikan akan membunuh 10 juta orang
sampai tahun 2020. Dari jumlah itu, 70% korban berasal dari negara berkembang
termasuk Indonesia (Bustan, 2007).
Prevalensi merokok di Indonesia diperkirakan 62% laki-laki merokok dengan
teratur, dengan prevalensi lebih tinggi (67%) di pedesaan (Depkes, 2003).
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2004 secara nasional
dilaporkan bahwa penduduk 15 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan merokok
tercatat sebanyak 34,44%, terdiri dari merokok setiap hari 28,35% dan kadang-
kadang 6,09% (Setiaji, 2007).
Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang
disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau
sekitar 22,5% dari kematian total di Indonesia (Bustan, 2007).
Prevalensi kebiasaan merokok yang tinggi merupakan masalah besar
kesehatan masyarakat. Bukti-bukti penelitian ilmiah menunjukkan merokok
meningkatkan risiko berbagai penyakit diantaranya batuk menahun, hipertensi,
kanker paru, stroke, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), ulkus peptikum,
infertility, gangguan kehamilan dan janin serta penyakit jantung koroner. Menurut
Badan POM RI penyakit akibat rokok adalah kanker mulut, osteoporosis dan katarak
(Manshiro, 2008).
Menurut Barendregt et al., (1997), biaya pelayanan kesehatan untuk para
perokok di suat u umur rata-rata 40% lebih besar daripada bukan perokok. Menurut
analisis Kosen, total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan
tembakau di Indonesia pada tahun 2005 adalah 5.411.904 Disability Adjusted Life
Year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005
sebesar US$ 900 atau kurang lebih Rp. 9.000.000, total biaya yang hilang US$
4.870.713.600 atau kurang lebih Rp.4.870.713.600.000 (Motik, 2008).
Berdasarkan hasil survei menunjukkan 12,9% budget keluarga miskin untuk
rokok dan untuk orang kaya hanya 9%. Menurut data SUSENAS, konsumsi rumah
tangga miskin untuk tembakau di Indonesia menduduki rangking kedua (12,43%)
setelah konsumsi beras (19,30%). Orang miskin di Indonesia mengeluarkan uangnya
15 kali lebih besar untuk membeli rokok dari pada membeli lauk pauk serta 6 kali
lebih penting dari pendidikan dan kesehatan (Fahriza, 2009).
Prevalensi penyakit yang terkait dengan rokok di Jawa Tengah semakin
meningkat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, prevalensi
penyakit jantung koroner di Propinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan dari
0,09% pada tahun 2006, dan 0,10% pada tahun 2007. Prevalensi sebesar 0,10%
berarti setiap 10.000 orang terdapat 10 orang penderita jantung koroner. Prevalensi
hipertensi di Propinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan dari 1,87% pada tahun
2006 menjadi 2,02% pada tahun 2007. Prevalensi sebesar 2,02% artinya setiap 100
orang terdapat 2 penderita hipertensi. Prevalensi stroke di Jawa Tengah tahun 2007
adalah 0,04%, angka ini relatif sama dibandingkan tahun 2006. Prevalensi PPOK
mengalami peningkatan yaitu 0,14% pada tahun 2006 menjadi 0,16% pada tahun
2007 (Dinkes Jawa Tengah, 2007).
Prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah di Kabupaten Sragen pada tahun
2006 sebesar 1,09% meningkat menjadi 1,5% pada tahun 2007. Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) sebesar 0,56% pada tahun 2006, kasus penyakit ini
menurun menjadi 0,39% pada tahun 2007. Prevalensi hipertensi di Kabupaten Sragen
pada tahun 2006 sebesar 4,8%, sedangkan pada tahun 2007 kasusnya meningkat
menjadi 5,02% (Dinkes Kabupaten Sragen, 2007).
Berdasarkan analisis WHO, perkembangan konsumsi rokok dapat
mengkategorikan negara- negara di dunia menurut Human Development Index (HDI),
dimana 174 negara berada pada kategori tinggi, sedang dan rendah dalam umur
harapan hidup, pendidikan dan pendapatan, ketersediaan sumber daya manusia sesuai
dengan kebutuhan. Hal ini memberi kemungkinan bahwa perkembangan dalam
konsumsi rokok dapat merubah standar hidup manusia. Menurut perkembangan
statistik dunia terhadap prevalensi rokok berdasarkan data Tobacco Control Country
Profiles (TCCP), hubungan antar manusia dan organisasi kemasyarakatan
berhubungan dalam pengendalian tembakau (Corrao et al., 2000).
Dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, rokok dianggap sebagai salah
satu bentuk keramahtamahan. Ketika sedang melayat, di tempat orang yang
menyelenggarakan pernikahan, atau saat pertemuan di kampung, rokok selalu
disuguhkan bersama makanan dan minuman (Baskara, 2007). Berdasarkan penelitian
Lindstrom (2004) di Swedia ditemukan bahwa modal sosial (partisipasi sosial)
berhubungan terbalik dengan kebiasan merokok harian (daily smoking). Lindstrom
berpendapat bahwa partisipasi sosial tidak selalu meningkatkan perilaku kesehatan
secara positif. Ketika partisipasi sosial tinggi dihubungkan dengan tingkat perilaku
kesehatan yang rendah, maka akan dihasilkan perilaku yang dapat merugikan
kesehatan, dalam hal ini adalah kebiasaan merokok.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rokok
1. Kandungan rokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya
yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies
lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau bahan
tambahan (PP RI No.19 Tahun 2003). Rokok biasanya berbentuk silinder terdiri dari
kertas yang berukuran panjang antar 70 hingga 120 mm dengan diameter sekitar 10
mm, berwarna putih dan cokelat. Biasanya berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah, ditambahkan sedikit racikan-racikan seperti cengkeh, saus rokok serta
racikan lainnya (Triswanto, 2007).
Menurut jenisnya, rokok di Indonesia dibedakan menjadi beberapa macam.
Perbedaan ini didasarkan atas bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok,
proses pembuatan rokok, dan penggunaan filter pada rokok. Asap rokok mengandung
kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya
dapat menyebabkan kanker bagi tubuh. Beberapa zat yang sangat berbahaya ya itu
nikotin, tar dan karbon monoksida (Jaya, 2009).

a. Nikotin
Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirolidin yang terdapat dalam Nicotiana
tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif
sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan (PP RI No.19 Tahun 2003).
Kandungan nikotin bisa mencapai 0,3 sampai 5% dari berat kering tembakau yang
berasal dari hasil biosintesis di akar dan diakumulasikan di daun. Zat ini bersifat
karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru. Nikotin merangsang bangkitnya
hormon adrenalin dari anak ginjal yang dapat menyebabkan:
1) Nikotin merangsang pelepasan catecholamine yang bisa meningkatkan
denyut jantung.
2) Meningkatkan tekanan darah serta kadar kolesterol dalam darah,yang erat
kaitannya dengan terjadinya serangan jantung.
3) Meningkatkan kadar kolesterol dalam darah.
Nikotin diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian
membaginya ke jalur imbalan dan jalur adregenik. Pada jalur imbalan, perokok akan
merasakan rasa nikmat, memicu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa
lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.
Sementara di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenegik pada
bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan serotonin. Meningkatnya serotonin
menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan untuk mencari rokok lagi
(Tineke, 2002).

b. Tar
Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Tar
mengandung ratusan zat kimiawi yang kebanyakan bersifat karsinogenik. Pada saat
rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin
akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna cokelat pada permukaan gigi,
saluran pernapasan, dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per
batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg (Jaya, 2009). Tar
dan asap rokok merangsang jalan napas dan tar tersebut tertimbun di saluran napas
yang menyebabkan:
1) Batuk-batuk atau sesak napas
2) Tar yang menempel di jalan napas dapat menyebabkan kanker paru-paru,
lidah atau bibir.

c. Karbon monoksida
Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat
darah tidak mampu untuk mengikat oksigen (Jaya, 2009). CO merupakan 1-5% dari
asap rokok. Zat ini mengusung oksigen dalam darah (eritrosit) dan membentuk
karboxihaemoglobin. Seorang perokok akan mempunyai karboxihaemoglobin lebih
tinggi dari orang normal, sekitar 2-15%. Pada orang normal karboxihaemoglobin
hanya sekitar 0,5-2%. Selain itu CO merusak dinding arteri yang pada akhirnya dapat
menyebabkan atheroscelorosis dan penyakit jantung koroner. CO juga merusak bayi
dalam kandungan. Keracunan CO tidak akan terjadi pada seorang perokok dalam
jangka waktu lama, karena pengaruh rokok tidak langsung mempengaruhi perokok
secara langsung, tetapi secara perlahan- lahan (Bustan, 2007).
Beberapa jenis racun yang terkandung dalam sebatang rokok diantaranya:
1) Aceton (bahan pembuat cat kuku)
2) Naftalen (bahan kapur barus)
3) Arsenik (racun semut)
4) Metanol (bahan bakar roket)
5) Vinyl chlorida (bahan plastic PVC)
6) Fenol butane (bahan bakar korek api)
7) Potassium nitrat (bahan baku pembuatan bom dan pupuk)
8) Polonium-201 (bahan radioaktif)
9) DDT (racun serangga)
10) Hidrogen sianida (gas beracun yang digunakan di kamar eksekusi
hukuman mati)
11) Cadmium (digunakan untuk aki mobil)
12) Uretan (gas anti jamur)
13) Nafthilamin dan Toludin (bahan pembuat cat)
14) Toluen (pelarut pada industri)
15) Butan (bahan bakar pematik api)
Efek racun yang ditimbulkan oleh rokok, perokok lebih berisiko dibanding yang tidak
menghisap asap rokok (Triswanto, 2007):
a. Berisiko 14x menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan.
b. Berisiko 4x menderita kanker esophagus.
c. Berisiko 2x kanker kandung kemih.
d. Berisiko 2x serangan jantung.

2. Rokok dan Kesehatan


Penyakit yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok adalah sebagai berikut :

a. Jantung
Menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah dan peningkatan tekanan
darah, kenaikan penggunaan O2 serta peningkatan denyut jantung.
b. Otak
Menyebabkan stroke dan lumpuh.
c. Paru-paru
Menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.
Hal ini dapat menyebabkab terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
termasuk emfisema, bronkitis kronis, batuk berdahak dan kanker paru-paru.
d. Bagi ibu hamil
Kelahiran bayi dengan berat badan kurang, keguguran, pendarahan, kematian bayi
sebelum lahir, kematian bayi sesaat setelah lahir.

Doll dan Hill dalam Hidayati (2006), dua orang peneliti dari Inggris membagi
hubungan antara penyakit dan kebiasaan merokok sebagai berikut:
a. Penyakit yang disebabkan oleh rokok yaitu kanker paru-paru,
kerongkongan, saluran napas, bronk itis kronik, dan emfisema.
b. Mungkin seluruhnya atau sebagian disebabkan oleh rokok, yaitu penyakit
jantung iskemik, aneurisma atau pelebaran aorta, kerusakan miokard
jantung, trombosis pada otak, arteriosklerosis, tuberkulosis, pneumonia,
ulkus peptikum, hernia dan kanker kandung kemih.
Hammond dan Horn, dua peneliti Eropa lain juga membagi hubungan antara
penyakit dan kebiasaan merokok, sebagai berikut:
a. Hubungan erat luar biasa, mengakibatkan kanker paru, tenggorokan,
kerongkongan, ulkus peptikum.
b. Hubungan sangat erat, mengakibatkan pneumonia, ulkus duodenum,
aneurisma aorta.
c. Hubungan erat dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner.
d. Hubungan sedang dapat menyebabkan penyakit pada otak.

Asap rokok dibagi menjadi dua, yaitu asap yang dihisap perokokb utama disebut
dengan “asap utama” (mainstream smoke) dan asap yang keluar dari ujung rokok
yang dihisap oleh orang sekitar perokok disebut “asap sampingan” (sidestream
smoke). Asap rokok yang dihisap oleh perokok pasif sangat berbahaya bagi
kesehatan, karena dihisap tanpa filter. Karena, konsentrasi gas dan komponen kimia
yang beracun mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk dihisap. Nikotin pada
fase gas akan lebih mudah terserap melalui mukosa, bukan mulut. Asap rokok tidak
hanya dihisap melalui mulut dan hidung, tapi juga akan lewat mata dan kulit sehingga
akibat nikotin pada kulit pada perokok pasif sama dengan yang terjadi pada perokok
aktif (Aditama, 1992).

B. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merupakan pola perilaku ya ng sering terjadi secara berulang-ulang
(Parwiyanto, 2009). Kebiasaan merokok dapat digolongkan beberapa macam, seperti:
1. Tipe perokok
Ada beberapa tipe perokok yang bisa digolongkan menjadi 3 berdasarkan
kemampuannya menghisap rokok dalam sehari:
a. Golongan perokok berat, yaitu apabila mereka mampu merokok dari 21-31
batang per hari atau lebih, dan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara
6-30 menit.
b. Perokok sedang biasanya mampu menghabiskan 11-21 batang dengan selang
waktu 31-60 menit setelah bangun pagi.
c. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu
60 menit dari bangun pagi.
Menurut Tomkins dalam Triswanto (2007), ada 4 tipe perilaku merokok
berdasarkan Management of Affect Theory, keempat tipe tersebut adalah:
a. Perasaan positif, dengan kebiasaan merokok ini seseorang akan merasakan
penambahan rasa yang positif. Menurut Green (dalam Psycological Factor in
Smoking, 1978) menambahkan ada 3 sub tipe kebiasaan merokok positif
yaitu:
1). Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau
meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah
minum atau makan.
2). Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan
sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
3). Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan
memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan
menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau. Sedangkan untuk
menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Perokok lebih
senang berlama-lama untuk memainkan rokok dengan jari-jarinya sebelum ia
menyalakan api.
b. Perasaan negatif, orang akan menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan
negatif misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai
penyelamat. Para perokok ini menggunakan rokok bila perasaan tidak enak
terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.
c. Adiktif, perokok tipe ini oleh Green (dalam Psycological Factor in Smoking,
1978) disebut sebagai psychological addiction. Para perokok yang sudah
adiksi, akan menambah dosis rokoknya ketika efek dari rokok yang
dihisapnya berkurang.
d. Kebiasaan (habit), orang menggunakan alasan ini untuk membenarkan
kebiasaannya merokoknya yaitu karena kebiasaan. Jadi bukan karena mereka
ingin mengendalikan perasaannya, tetapi karena memang sudah menjadi
kebiasaan rutin. Dapat dikatan bahwa sudah menjadi perilaku otomatis, karena
seringkali dilakukan tanpa dipikirkan dan tanpa disadari.

2. Berdasarkan tempat merokok


Tempat merokok dapat mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan
tempat-tempat seseorang menghisap rokok, dapat digolongkan atas:
a. Merokok di tempat-tempat umum,
1) Kelompok homogen, secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya.
Pada umumnya kelompok ini masih bisa menghargai orang lain, karena itu
mereka menempatkan diri di smoking area.
2) Kelompok heterogen, adalah perokok yang melakukan kebiasaan merokok
ditengah-tengah orang lain. Mereka yang melakukan kebiasaan ini
tergolong sebagai orang yang kurang etis dan tidak mempunyai tata krama.
b. Merokok di tempat-tempat pribadi
Mereka memilih tempat-tempat khusus untuk menyalurkan kebiasaan merokok
mereka, seperti di kantor atau di kamar tidur pribadi. Kelompok ini bisa
digolongkan sebagai individu yang kurang menjaga kebersihan diri. Mereka juga
bisa memilih toilet sebagai tempat merokok. Perokok jenis ini dapat digolongkan
sebagai orang yang suka berfantasi.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan merokok adalah:


a. Pengaruh orang tua
Menurut Baer dan Corado dalam Triswanto (2007) disebutkan bahwa golongan
usia remaja yang rentan terpengaruh kebiasaan merokok salah satunya berasal
dari suasana rumah tangga yang tidak bahagia, dimana sebagai orang tua kurang
memperhatikan anakanaknya dan suka memberikan hukuman secara fisik yang
terlalu keras. Remaja yang berasal dari keluarga konservatif yang menerapkan
nilai-nilai sosial dan agama dengan baik, jarang sekali terlibat dalam pergaulan
rokok atau obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang terlalu permisif
dalam menerapkan suatu nilai–nilai sosial dan agama. Biasanya faktor paling
besar anak usia remaja mempunyai kebiasaan merokok adalah kebiasaan orang
tuanya sebagai figur. Anak pada usia remaja akan lebih cepat berperilaku
merokok pada ayah atau ibu yang juga seorang perokok.
b. Pengaruh teman
Semakin banyak remaja yang merokok maka kemungkinan besar semakin
banyak pula teman-temannya atau lingkungan sekitar mempunyai kebiasaan
merokok. Fakta tersebut ada dua kemungkinan terjadi, pertama anak terpengaruh
oleh teman yang juga perokok atau bahkan sebaliknya. Menurut Al Bachri
diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau
lebih sahabat yang juga perokok begitu pula dengan remaja bukan perokok.
c. Faktor kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan
diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun sifat
kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok)
adalah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes
konformitas sosial lebih mudah dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor
yang rendah.
d. Pengaruh iklan
Melihat iklan di media masa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa
perokok adalah lambang kejantanan atau kemewahan, membuat remaja
seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku yang ada dalam iklan tersebut.

C. Faktor Sosial Ekonomi


1. Pendidikan
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga, Prevalensi perokok laki- laki berumur
20 tahun ke atas menurun dengan meningkatnya pendidikan. Secara nasional
prevalensi tersebut adalah sebagai berikut: 71,4% (tidak tamat SD), 64,7% (tamat
SD), 56,2% (tamat SMP), 46,7% (tamat SMA), 36,9% (Akademi atau Universitas)
(Suhardi, 1999). Menurut Murti (2005), di Belanda risiko dari kebiasaan merokok
adalah 2.20 lebih besar (OR= 2.20: CI 95%; 1,06 hingga 2,46) berada pada laki-laki
usia sekolah. Penelitian di Portugal (n= 629 remaja laki- laki) terlihat bahwa laki- laki
5-11 tahun usia sekolah mempunyai risiko merokok 0.87 lebih rendah (OR= 0.87: CI
95% 0,48 hingga 1,57) dibanding sebaya nya yang tidak bersekolah. Sedangkan
risiko untuk merokok pada laki- laki berumur 12 tahun pada usia sekolah adalah 0,81
lebih besar(CI=95%; 0,40 hingga 1,61) setelah mengendalikan beberapa faktor
perancu. Penelitian cross sectional di Beijing, China (n=2.201) dihasilkan hubungan
terbalik antara merokok dan pendidikan pada laki- laki remaja (p<0,01).
Teori Grossman (1972) dalam Murti (2005) “Demand for Health Capital”
menyebutkan, pendidikan merupakan faktor yang meningkatkan efisiensi produksi
kesehatan. Implikasinya, orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki permintaan
(demand) kesehatan lebih tinggi, sehingga memiliki status kesehatan yang lebih baik,
karena tahu cara yang lebih baik untuk menjadi sehat (misalnya, dengan tidak
merokok). Beberapa alasan pemerintah untuk mengendalikan tembakau yaitu
pendidikan merupakan analisis kritis dalam informasi mengenai perilaku terhadap
kesehatan, pendidikan rendah merupakan proporsi terbesar dalam kebiasaan
merokok.
2. Pendapatan
Laaksonen et al., (2003) menyatakan bahwa di Finlandia frekuensi merokok 1.52 kali
lebih rendah (OR 1.52: CI95% 1,27 hingga 1,83) pada remaja laki-laki berpendapatan
rendah daripada berpendapatan tinggi, setelah mengendalikan pendidikan dan status
sosial. Menurut Shapo et al., (2003) di Albania mencatat sebesar 0,70 lebih tidak
suka merokok (OR 0,70: CI95% 0,35 hingga 1,38) pada orang berpendapatan tinggi
daripada berpendapatan rendah, setelah mengendalikan umur, pendidikan dan
pekerjaan. Implikasi lain dari teori Grossman tentang “Demand for Health Capital”,
orang dengan pendapatan lebih tinggi memiliki permintaan (demand) akan kesehatan
yang juga lebih tinggi (agar pendapatannya tidak berkurang). Orang yang
berpendapatan lebih tinggi akan menghindari perilaku tidak sehat (misalnya
merokok) untuk menjaga tingkat keseha tannya. Menurut penelitian Handayani
(2007), ada hubungan antara pendapatan dengan kebiasaan merokok.

3. Modal Sosial
Modal sosial pertama kali dikemukakan oleh Putnam (1995) dalam Murti
(2005) yang mendefinisikannya sebagai:
‘‘features of social organication such as networks, norms and social trust that
facilitate coordination and cooperation for mutual benefit’’. Artinya, modal sosial
adalah “karakteristik dari organisasi sosial seperti jejaring sosial, norma-norma, dan
kepercayaan sosial, yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan
bersama”. Modal sosial merupakan sumber daya atau barang publik yang terdapat
pada level komunitas. Jadi menurut Putnam, modal sosial merupakan variabel yang
terukur pada level masyarakat.
Berbeda dengan Putnam, Bourdieu (1986) dalam Murti (2005)
mendefinisikan modal sosial sebagai: ‘‘the aggregate of the actual or potential
resources which are linked to possession of a durable network of more or less
institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition’’. Artinya,
modal sosial adalah “kumpulan sumber daya, baik yang sebenarnya atau potensial,
sehingga individu-individu memiliki jejaring jangka panjang tentang hubungan yang
terlembagakan untuk saling mengenal dan memberi pengakuan. Jadi menurut
Bourdieu, modal sosial
merupakan sumber daya yang terkumpul pada individu- individu sebagai hasil
hubungan atau keanggotaannya dalam jejaring sosial. Sedangkan menurut Ziersch
(2005) mendefinisikan modal sosial sebagai: “the social infrastructure, such as
networks and values, that facilitates the exchange of social resources between
individuals, and the sum of resources available to those individuals through this
infrastructure”. Artinya, modal sosial adalah “infra-struktur sosial, seperti jejaring
dan nilai-nilai, yang memudahkan pertukaran sumber daya sosial antar individu-
individu, dan jumlah sumber daya yang tersedia untuk individu-individu tersebut
karena adanya infrastruktur tersebut”.
Penelitian Lindstrom (2004) di Swedia menemukan bahwa modal sosial
(dalam hal ini partisipasi sosial) berbanding terbalik dengan kebiasan merokok harian
(daily smoking). Komunitas perokok yang disebut “miniaturisation of the
community”, yakni partisipasi sosial tinggi dan tingkat kepercayaan rendah,
berhubungan positif dengan kebiasan merokok kadang-kadang (intermittent smoking,
occasional smoking). Lindstrom berpendapat, partisipasi sosial tidak selalu
meningkatkan perilaku terkait kesehatan secara positif. Ketika partisipasi tinggi
dipadukan dengan tingkat kepercayaan rendah, maka akan dihasilkan perilaku terkait
kesehatan yang merugikan kesehatan, dalam hal ini kebiasaan merokok. Terdapat
beberapa kemungkinan pengaruh modal sosial terhadap kebiasaan merokok:
a. Struktur sosial yang stabil dan tingkat migrasi yang rendah meningkatkan
berbagai aspek modal sosial seperti partisipasi sosial, jejaring sosial, dan
kepercayaan sosial.
b. Sebaliknya, konflik sosial melemahkan ikatan sosial dan jejaring sosial,
meningkatkan kemungkinan orang memiliki perilaku tidak sehat (misalnya,
merokok).
c. Sejumlah karakteristik struktur sosial di sebuah komunitas dapat juga
memberikan efek negatif terhadap modal sosial, partisipasi sosial, dan
perilaku terkait kesehatan seperti merokok. Contoh: Toleransi rendah
terhadap minoritas pada sebuah komunitas dengan jejaring sosial yang kuat
merupakan “sisi gelap modal sosial”, sehingga berefek buruk bagi perilaku
terkait kesehatan kelompok minoritas.
Hingga saat ini belum ada studi di negara berkembang yang mempublikasikan
hubungan antara perilaku merokok dan modal sosial. Modal sosial merupakan
variabel yang melekat pada masyarakat. Dengan demikian modal sosial tergantung
pada karakteristik masyarakat. Implikasinya, hubungan antara modal sosial dan
perilaku merokok bersifat spesifik menurut konteks (context-specific) masyarakat
(Murti, 2005).

4. Umur
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995), umur mulai merokok yang
terkecil adalah 5 tahun, sebagian pada umur 10-14 tahun, sebagian besar pada umur
15-20 tahun, sebagian lagi pada umur 21-25 tahun, sebagian kecil pada umur 26-30
tahun. Prevalensi meningkat sejalan dengan meningkatnya umur, terutama pada umur
muda. Usia remaja merupakan usia yang rentan terhadap bujukan untuk mulai
merokok (Suhardi, 1999).
Menurut Murti (2005) umur di atas median (45 tahun) sama dengan 42 persen
mengalami penurunan dalam merokok daripada umur di bawah median (OR 0,58,
CI=95%; 0,47-0,71). Tetapi umur berakibat tidak sesuainya hakekat dalam kuantitas
konsumsi rokok. Selanjutnya hasil penelitian lain, contohnya pada suatu penelitian
(n=629 laki- laki) di Portugal mencatat risiko kebiasaan merokok (OR 0,19, CI=
95%; 0,05- 0,69) pada laki-laki dewasa umur 70 tahun ke atas (usia lanjut)
dibandingkan umur 18 sampai 29 tahun (usia remaja)

D. Karekteristik Perilaku Merokok di Rural dan Urban


Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1995 dan 2001 menunjukkan
bahwa persentase penduduk yang merokok di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di
perkotaan. Propinsi dengan persentase penduduk pedesaan yang merokok paling
tinggi berturut-turut adalah Lampung (325), Jawa Barat (31%), Kalimantan Barat
(31%), dan Bengkulu (30%). Propinsi dengan persentase penduduk perkotaan yang
paling tinggi adalah Jawa barat, NTB, dan Lampung. Lampung dan Jawa Barat juga
menjadi propinsi dengan persentase penduduk yang paling tinggi secara nasional,
sedangkan paling rendah adalah Bali (Gustiana, 2007). Menurut SKRT (1995)
disebutkan juga bahwa usia untuk memulai kebiasaan merokok sedikit lebih dini di
pedesaan dibandingkan dengan perkotaan (Suhardi, 1999).
Menurut Isnaini (2004) tidak ada hubungan antara tempat tinggal dengan
perilaku merokok remaja. Hal ini berarti tempat tinggal tidak mempengaruhi remaja
untuk merokok. Penelitian ini membuktikan bahwa remaja yang merokok tidak hanya
ditemukan di kota yaitu sebanyak 48,9% tetapi juga ditemukan remaja yang tinggal di
desa juga mempunyai persentase yang hampir sama 52,1% artinya tidak ada
perbedaan perilaku merokok remaja baik yang tinggal di kota maupun di desa. Kaprio
et al., (1989) dalam Murti (2005) mengemukakan, beberapa studi memperlihatkan
bahwa remaja yang tinggal di kota lebih cenderung untuk merokok. Hal ini
diakibatkan oleh pergeseran nilai- nilai yang ada di kota. Remaja kota beranggapan
merokok merupakan suatu hal ya ng biasa untuk menaikkan gengsi remaja walaupun
sebenarnya remaja tahu risiko apa yang akan di dapatkan bila merokok dan
menganggap mudah biaya yang akan mereka tanggung di masa depan. Menurut
SKRT melaporkan prevalensi merokok dalam satu bulan terakhir pada remaja Jawa
dan Bali umur 15-19 tahun adalah pada laki- laki di daerah urban 18,9% dan di
daerah rural 25,1%. Pada kelompok umur 20 tahun ke atas prevalensi merokok 1
bulan terakhir jauh lebih tinggi yaitu 68,3% di daerah urban dan 81,5% di daerah
rural Jawa Barat sedangkan di Bali 40,2% untuk daerah urban dan 43,9% untuk
daerah rural. Prevalensi merokok di daerah rural lebih besar daripada di derah urban.
Menurut Sunardi (1999), bahwa prevalensi perokok laki- laki daerah urban
lebih rendah daripada daerah rural dan prevalensi perokok perempuan daerah urban
lebih rendah daripada daerah rural. Selanjutnya dikemukakan bahwa proporsi
perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+
batang/hari di daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural dan proporsi perokok
perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari di
daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural. Prevalensi merokok menurun dengan
meningkatnya pendidikan di daerah rural dan urban. Prevalensi mulai menurun di
daerah urban setelah pengeluaran anggota rumah tangga per bulan di atas Rp
1.000.000,00.
ROKOK ITU NARKOBA

Rokok adalah pintu gerbang bagi narkoba. Lebih spesifik lagi, rokok itu
sendiri sebenarnya termasuk ke dalam definisi narkoba. Ya, di tengah maraknya
kampanye anti-narkoba di masyarakat, ternyata tidak banyak yang menyadari hal ini.
Merokok kini tidak lagi merupakan masalah kesehatan melulu, tetapi sudah memiliki
kompleksitas tersendiri.
Di dalam pengertian Narkoba termuat 3 kelompok zat aktif yaitu Narkotika,
Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Rokok bersama dengan alkohol termasuk ke
dalam kelompok yang terakhir. Nikotin yang merupakan salah satu komponen dari
rokok merupakan zat psikotropika stimulan. Jadi sesungguhnya rokok itu adalah
narkoba juga. Oleh karena itu, rokok pun memiliki sifat-sifat utama layaknya narkoba
lain yaitu habituasi, adiksi dan toleransi. Habituasi adalah suatu perasaan rindu, terus
menerus melintas di pikiran untuk menggunaan zat, sehingga seseorang akan terus
berkeinginan menggunakan zat tersebut saat berkumpul dengan sesama teman
pemakai. Sedangkan adiksi merupakan dorongan kompulsif untuk menggunakan
suatu zat diserta tanda-tanda ketergantungan.
Ketergantungan itu sendiri dapat berupa ketergantungan psikis (psychological
dependence) maupun ketergantungan fisiologis (physiological dependence).
Ketergantungan psikis merupakan kompulsi penggunaan zat untuk memenuhi
kebutuhan psikologis, seperti untuk menghadapi stress. Sedangkan ketergantungan
fisiologis berarti proses perubahan fungsional tubuh sedemikian rupa dikarenakan
paparan rutin terhadap zat. Toleransi adalah contoh bentuk ketergantungan fisiologis,
yaitu seiring bertambahnya waktu penggunaan maka pemakaian zat berikutnya
diperlukan dosis yang lebih besar dari sebelumnya untuk mencapai efek kenikmatan
yang sama. Toleransi inilah yang akan membuat seorang perokok, dan pemakai
narkoba lainnya, terus menambah jumlah batang rokok yang dihisapnya dari waktu
ke waktu.
Rokok merupakan narkoba termurah dan dijual bebas. Dengan selembar uang
Rp 1.000,00 seseorang sudah mampu mendapatkan sebatang rokok yang mengandung
4.000 macam zat kimia. Tidak ada satupun produk farmasi yang berisikan 4.000
macam zat kimia dapat dibeli dengan harga sedemikian murah. Oleh karena itu,
siapapun mudah memperoleh sebatang rokok, dari mereka yang usia tua maupun
anak sekolah dasar. Selain itu rokok juga memberikan kenikmatan, walaupun
sementara, dan hal ini lah yang menjadi magnet bagi pribadi-pribadi labil yang tidak
puas akan kenyataan hidup ini atau bagi para remaja sebagai teman setia saat kumpul-
kumpul.
Jadi tidak perlu heran jika merokok telah menjadi kebiasaan buruk yang
popular di masyarakat. Berdasarkan laporan Breslau dkk (2001), 1 dari 4 orang
dewasa di Amerika Serikat memiliki ketergantungan terhadap nikotin, walaupun
belakangan ini popularitas merokok di kalangan remaja Negeri Paman Sam terus
melorot. Penduduk Indonesia sendiri merupakan salah satu konsumen rokok terbesar
di dunia, serta memiliki produksi rokok yang tidak kalah besarnya pula. Fakta ini
membuat berbagai perusahaan rokok asing, seperti Philip Morris, berebut pangsa
pasar di negeri ini.
Dan akhirnya seiring impor rokok dan investasi dari negara maju yang
semakin masif, penyakit-penyakit terkait dengan rokok juga diimpor. Penyakit
kardiovaskular dan kanker (terutama kanker paru) sekarang ini menduduki tangga
teratas penyebab kematian di Indonesia, menggeser berbagai penyakit infeksi. Ada
beberapa tahapan yang dialami seorang perokok hingga menjadi tahap
ketergantungan. Tahap pertama adalah eksperimental atau coba-coba. Mereka mulai
menghirup rokok untuk mencari ketenangan, energi lebih dan pelarian dari stress
sehari-hari. Pada tahap ini seorang perokok merasa yakin masih dapat mengontrol
kebiasaannya untuk merokok.
Pada tahap selanjutnya, yaitu penggunaan rutin, perokok mulai dikendalikan
oleh efek dasyat nikotin. Pada tahap ini penyangkalan memainkan peranan penting.
Perokok akan menyangkal bahwa ia tidak dapat mengendalikan lagi kebiasaannya
merokok, menyangkal bahwa kebiasaannya itu dapat menimbulkan berbagai penyakit
fatal. Sebenarnya ia mengetahui bahaya-bahaya merokok, tetapi kenikmatan semu
tersebut telah terlanjur menutupi kecemasan dan akal sehatnya. Dengan penyangkalan
ini, maka tidak heran kampanye anti-rokok yang mengusung berbagai bahaya
merokok bagi kesehatan menjadi mentah.
Tahapan terakhir adalah ketergantungan, di mana rokok sudah menjadi
sahabat setia perokok setiap waktu, dan tanpanya, perokok akan mengeluh berbagai
macam kesengsaraan dari mulut pahit hingga demam. Dan selanjutnya, ia pun akan
merokok lagi, bukan sekedar mencari kenikmatan seperti tahapan awal melainkan
untuk menghindarkan diri dari kesakitan withdrawal. Menilik bahwa rokok berawal
dari coba-coba, rasa ingin tahu maupun rasa setia kawan, maka tidaklah berlebihan
untuk mengatakan bahwa pribadi perokok adalah rentan juga terhadap narkoba
lainnya. Rokok adalah pintu gerbang kepada narkoba lainnya. Kematian dikarenakan
penyakit-penyakit terkait rokok adalah lebih besar daripada kematian karena narkoba
jenis lainnya. Biaya negara untuk merawat penduduknya yang menderita penyakit-
penyakit terkait dengan rokok juga lebih besar dibandingkan pendapatan dari pajak
rokok.
Celakanya rokok adalah satu-satunya narkoba yang dapat menyerang orang
yang tidak turut menggunakannya. Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa
perokok pasif memiliki resiko yang kurang lebih sama dengan perokok aktif untuk
menderita penyakit jantung koroner, saluran napas, katarak dan bahkan kanker paru.
Sehingga tidak disangsikan bahwa rokok lebih berbahaya dibandingkan narkoba jenis
lainnya. Merokok bukanlah sekedar permasalahan kesehatan, tetapi melibatkan pula
segi politik, bisnis, sosial-pergaulan, psikologis maupun kemiskinan. Walaupun telah
diketahui resiko dari rokok sedemikian besar, adalah mustahil untuk melarang pabrik
rokok untuk beroperasi. Industri rokok adalah tempat perputaran uang yang hebat
berupa lapangan kerja serta penyumbang pajak terbesar bagi negara. Beberapa orang
terkaya di negeri ini berasal dari industri rokok. Rokok sudah lama menjadi sponsor
utama berbagai program olahraga, terutama sepak bola yang sangat popular di
masyarakat. Iklan rokok selalu menampilkan sosok pria yang maskulin dan jiwa
petualang sehingga mampu merebut hati para remaja yang memang masa penuh
mimpi untuk menjadi idola. Dengan demikian, apalah artinya himbauan kecil bahaya
merokok bagi kesehatan yang tertera di bungkus rokok dibandingkan iklan rokok
yang begitu megah. Hal inilah yang menjadikan rokok sebagai salah satu narkoba
yang ‘dilegalkan’. Bahkan selama ini ketika kasus narkoba terus bergejolak, rokok
selalu terabaikan sebagai akar masalah narkoba. Bagaimana mungkin kita hendak
melenyapkan ilalang tanpa mencabut akarnya? alaupun rokok dibentengi dengan
kokoh oleh unsur politik dan bisnis, bukan berarti upaya memerangi rokok harus
terhenti di tengah jalan. Upaya kampanye anti-rokok harus terus menerus digalakkan,
namun dengan berbagai pendekatan lain. Selama ini pendekatan dengan
mengedepankan berbagai ancaman kesehatan sudah banyak dipakai, dan biasanya
kurang efektif. Tentu saja jarang seorang perokok berhenti merokok dikarenakan
ketakutannya akan berbagai penyakit tersebut kecuali jika ia memang telah
menderitanya. Yang terjadi adalah kenikmatan sementara dari asap rokok yang
mengebul telah membuat diri perokok tenang, tidak mencemaskan apapun, hidup
menjadi nikmat serta mengaburkan kekhawatiran akan masa depannya.
Pendekatan yang mungkin lebih efektif adalah dengan menekankan betapa
penting untuk menghentikan merokok demi menyelamatkan orang-orang yang
disayangi seperti istri atau anak perokok dari bahaya sebagai perokok pasif. Selain itu
saat ini telah tersedia obat-obat pengganti nikotin seperti varenicline, hal ini mungkin
menjanjikan, tetapi bisa juga hanya sekedar pergeseran dari satu bentuk
ketergantungan kepada ketergantungan lainnya. Belum lagi masalah biaya yang
pastinya mahal karena produksi obat ini masih dipegang swasta. Larangan merokok
di tempat umum seperti yangt tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun
2005 tentang Penanggulangan Pencemaran Udara (PPU) di DKI Jakarta sebenarnya
adalah upaya positif, namun sayangnya kenyataan di lapangan tidak berjalan
sebagaimana semestinya. Permasalahan rokok harus terus ditangani serius oleh
berbagai pihak, dalam skala makro maupun mikro, seserius dengan slogan-slogan
MENANGANI MASALAH ROKOK PADA REMAJA

Masalah tersebut perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak


mengingat remaja merupakan calon penerus generasi bangsa.
Ditangan remajalah masa depan bangsa ini digantungkan. Terdapat
beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mencegah
semakin meningkatnya masalah yang terjadi pada remaja, yaitu
antara lain :
Peran Orangtua :
• Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan
balita
• Membekali anak dengan dasar moral dan agama
• Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua –
anak
• Menjalin kerjasama yang baik dengan guru
• Menjai tokoh panutan bagi anak baik dalam perilaku maupun
dalam hal menjaga lingkungan yang sehat
• Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak
• Hindarkan anak dari NAPZA

Peran Guru :
• Bersahabat dengan siswa
• Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman
• Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri
pada kegiatan
ekstrakurikuler
• Menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga
• Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP
• Meningkatkan disiplin sekolah dan sangsi yang tegas
• Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan
sekolah lain
• Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar
sekolah
• Menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan anak
berkembang
secara sehat dalah hal fisik, mental, spiritual dan sosial
Peran Pemerintah dan masyarakat :
• Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti
• Menyediakan sarana/prasarana yang dapat menampung
agresifitas anak
melalui olahraga dan bermain
• Menegakkan hukum, sangsi dan disiplin yang tegas
• Memberikan keteladanan
• Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat
hiburan
Peran Media :
• Sampaikan berita dengan kalimat benar dan tepat (tidak
provokatif)
• Adanya rubrik khusus dalam media masa (cetak, elektronik)
yang bebas
biaya khusus untuk remaja
REMAJA DAN PERILAKU HIDUP SEHAT

Remaja yang bersikap hidup sehat adalah remaja:


1. Mengerti tujuan hidup
2. Memahami faktor penghambat maupun pendukung perkembangan
kematangannya.
3. Bergaul dengan bijaksana
4. Terus menerus memperbaiki diri
Dengan demikian remaja dapat diharapkan menjaga remaja
yang handal dan sehat. emaja harus mengetahui dirinya memiliki
kekhawatiran dan harapan, dengan kata lain remaja harus mengerti
dirinya sendiri. Faktor yang berkembang pada setiap remaja antara
lain fisik, intelektual,emosional, spiritual. Kecepatan perkembangan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fisik 35%
2. Intelektual 20%
3. Emosional 30%
4. Spiritual 15%
Faktor fisik berkembang secara tepat sedangkan faktor lainnya
berkembang tidak sama besar. Perkembangan yang tidak seimbang
inilah yang menimbulkan kejanggalan dan berpengaruh terhadap
perilaku remaja. Bagaimana seseorang remaja melihat dirinya sendiri,
orang lain serta hubungannya dengan orang lain termasuk orang tua
dan pembina? Kadangkadang ia ingin dianggap sebagai anak-anak,
orang dewasa, orang lain dianggap sebagai orang tua, teman.
Hubungan dirinya dengan orang lain dianggap bersifat:
1. Otoriter ------- demokratis
2. Tertutup ------- terbuka
3. Formal ------- informal
Semua tersebut di atas dalam keadaan "dalam perjalanan
menuju" Sehingga dapat dilihat segalanya masih dalam proses dan
tidak berada dalam kutub atau masa
anak-anak ataupun kutub atau masa dewasa. "Dalam perjalanan
menuju" ini yang menonjol adalah:
1. Fisik yang kuat
2. Emosi yang cepat tersinggung
3. Sering mengambil keputusan tanpa berfikir panjang
4. Pertimbangan agama, falsafah, ataupun tatakrama hanya
kadang-kadang
saja dipakai
Dan "Dalam perjalanan menuju" yang paling penting
diketahui oleh remaja adalah bagaimana remaja dapat berproses :
1. Menuju fisik yang ideal
2. Menuju emosi kelakian ataupun kewanitaan yang utuh
3. Menuju cara berfikir dewasa
4. Menuju mempercayai hal-hal yang agamais, bersifat falsafah dan
bersifat
tatakrama

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY. 1992. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press

Baskara, B. 2007. Rokok Bagian Kehidupan Sosial Masyarakat DIY. Diakses 1 April
2010. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0707/13/jogja/1039730.htm

Depkes. 2003. Fakta Tembakau Indonesia: Data untuk Penanggulangan Tembakau.


Jakarta: Depkes
Fahriza, F. 2009. Tatkala Rokok Menjadi Indikator Kemiskinan. Diakses 1 April
2010. http://www.prakarsarakyat.org/artikel/opini/artikel_cetak.php?aid=351

Gustiana, M. 2007. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang


Merokok Di SMP Muhammadiyah Imogiri Dan DI SMP Muhammadiyah 6
Yogyakarta. [skripsi]diakses tgl 1 April 2010 Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran UGM (download)

Handayani, L. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktek Merokok:


Studi Kasus Pada Karyawan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Buletin
KesMas. Vol 1, No. 1, Januari 2007 1-50

Hidayati, UF. 2006. Persepsi Masyarakat Tentang Perilaku Merokok di Dusun


Sendowo, Kelurahan Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. [skripsi] Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM

Isnaini, P. 2004. Struktur Keluarga dan Perilaku Merokok Pada Remaja: Analisis
Data Sakerti 3 Tahun. [skripsi] Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM

Jaya, M. 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Benama Rokok. Yogyakarta

Manshiro, DJ. 2008. Dampak Merokok Bagi Kesehatan. Diakses 1 April 2010.
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-
makalah/kedokteran/dampakmerokok-bagi-kesehatan

Motik, F. 2008. Kibasan Tongkat Dewi Peri: Diakses 1 April 2010.


http://www.idionline.org/artikel/74

Setiaji, B. 2007. Kebiasaan Merokok dan Kesehatan: Diakses 1 April 2010.


http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=494

Suhardi. 1999. Perilaku Merokok di Indonesia Menurut Susenas dan SKRT 1995.
Cermin Dunia Kedokteran No. 125. Hal:23-35

Tineke, A. Bahaya Merokok. Kompas, Minggu, 5 Mei 2009. diakses tgl 1 April 2010

Triswanto, SD. 2007. Stop Smoking. Yogyakarta: Progresif Books

http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/62714-____generasi-muda-
perlu-tahu-bahaya-merokok____.pdf diakses tgl 1 April 2010

http://sophia.dagdigdug.com/archives/97/comment-page-19 diakses tgl 1 April 2010

You might also like