Professional Documents
Culture Documents
“Toko bisa membangkitkan gairah untuk membeli barang yang tidak diperlukan.”
(Rebecca Bloomwood, Confessions of a Shopaholic).
Kendati singkat, namun cuplikan narasi film di atas mampu menyuratkan secara lugas
realitas sosial yang tengah terjadi dalam masyarakat masa kini. Hasrat konsumsi setiap orang
meningkat seirama dengan jumlah produk baru yang ditawarkan pada mereka yang juga
membanjir. Pada hakikatnya, konsumsi merupakan hak dasar manusia. Sehingga tidak
mungkin menghindarkan manusia dari kegiatan konsumsi. Akan tetapi, yang patut dicermati
ialah perubahan tujuan dan pola konsumsi masyarakat sekarang. Sigit Kurniawan dalam
tulisannya yang berjudul “Perang Melawan Konsumerisme” mengamati, kini, konsumsi
dilakukan masyarakat tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Namun, konsumsi
sekarang lebih mereka tujukan untuk mengenyangkan rasa lapar akan simbol, status, dan
prestise dari kepemilikan suatu barang 1 . Akibatnya, pola konsumsi masyarakat berubah
menjadi tak terkendali. Mereka senantiasa terangsang membeli dan memiliki suatu barang
hanya untuk mengejar citra tertentu dalam masyarakat. Inilah yang disebut konsumerisme.
1
Sigit Kurniawan, “Perang Melawan Konsumerisme”
(http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=67&page=1, diakses pada 24 Okt. 2009, 17.00).
2
Lihat Stearns dalam Yohanes Krisnawan, “Kritik Konsumerisme dalam Masyarakat Satu Dimensi (Studi Teori
Kritis Kebutuhan-kebutuhan Semu Menurut Herbert Marcuse dalam Masyarakat Konsumen di Indonesia)”,
Tesis Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Depok, 2006, hal. 59.
3
N. Soerawidjaja, “Berpikir Fungsional, Melawan Konsumerisme”
(http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=28683, diakses pada 24 Okt. 2009, 17.00)
ialah kepuasan akan diasosiasikannya citra kelas tertentu pada seseorang ketika mereka
memiliki barang tertentu.
Dengan landasan konsumsi seperti itu, terkadang produktivitas menjadi korban. Dan
memang benar. Menurut pengamatan Allan Wells, pada mayoritas negara-negara Dunia
Ketiga, masyarakatnya tampak sangat gemar mengonsumsi tanpa dibarengi lonjakan
produktivitas. Dalam istilah Wells, di negara-negara Dunia Ketiga yang meningkat hanyalah
konsumerisme tanpa diimbangi produserisme 4 . Kondisi seperti inilah yang kemudian
disebutnya dengan konsumerisme parasitik5 . Pada gaya konsumerisme parasitik, masyarakat
sadar tidak sadar sebenarnya berpartisipasi dalam apa yang disebut “budaya konsumtif”
dengan mengabaikan investasi. Pada tipe pembangunan parasitik, barang-barang modern
diinginkan sementara etos kerja yang kondusif bagi produksi barang massal tidak dihiraukan.
4
Produserisme menurut Wells ialah meningkatnya mobilisasi pada masyarakat untuk bekerja lebih aktif di
sektor ekonomi non-konsumtif. Lihat Wells dalam Nina Mutmainnah Armando, “Konsumerisme pada Majalah
Remaja (Studi Analisis Wacana Kritis terhadap Majalah Gadis)”, Tesis Magister Ilmu Komunikasi Universitas
Indonesia, Depok, 2001, hal. 29.
5
Konsumerisme parasitik merupakan salah satu dari empat kategorisasi masyarakat berdasarkan dimensi
konsumerisme dan produserisme. Di samping konsumerisme parasitik, ada pula kategori hedonistik, yang
berciri hasrat konsumerisme tinggi, namun diimbangi dengan orientasi produserisme yang tinggi pula; kategori
perkembangan asketik, dicirikan dengan orientasi produserisme tinggi, tetapi hasrat konsumerismenya rendah;
dan terakhir, kategori tradisional. Masyarakat ini mempunyai karakter orientasi produserisme dan hasrat
konsumerisme yang rendah. Lihat Ibid., hal. 30-33.
6
Lihat Baudrillard dalam Kurniawan, loc. cit.
7
Lihat Adorno dalam Armando, op. cit., hal. 34.
perubahan makna yang mengikuti mengenai utang-piutang; (7) pertumbuhan tempat-tempat
untuk pembelian dan konsumsi, seperti merebaknya mal-mal, peningkatan lahan penjualan
eceran, serta kompleks-kompleks rekreasi dan gaya hidup rekreatif; (8) makin pentingnya
pengemasan dan promosi dalam pembuatan, tampilan, dan pembelian barang-barang
konsunmen; (9) serangan periklanan dalam kehidupan sehari-hari; (10) peningkatan
penekanan pada gaya, desain, dan penampilan barang-barang; (11) munculnya minat dalam
koleksi pribadi atau kolektif, pembuatan catalog dan tampilan barang-barang materi, apakah
itu karya seni, perangko, barang antik, rekaman musik, ataupun foto-foto 8 .
Usai melihat pemaparan tersebut, jika kita melihat negara kita, Indonesia, ternyata
dapat ditemui kesesuaian dengan sejumlah pemikiran pakar sosial di atas. Melalui kacamata
Krisnawan, sejak masa Orde Baru, masyarakat Indonesia, khususnya kaum elite menengah-
ke atasnya, mulai menampakkan gejala konsumerisme 9 . Karakter konsumsi mereka pun
menunjukkan karakter konsumsi modern seperti yang diinventarisasi Lury berkaitan dengan
ciri masyarakat konsumer. Namun, menurut Nina Mutmainnah Armando, pertumbuhan
konsumsi masyarakat Indonesia yang signifikan ini tidak diimbangi dengan peningkatan
produktivitas mereka 10 .
8
Celia Lury, Budaya Konsumen (Jakarta, 1998), hal. 44-54.
9
Krisnawan, op. cit., hal. 152-153.
10
Armando, op. cit., hal. 51.
Di masa Orde Baru berkuasa, bantuan utang dari lembaga keuangan internasional,
semisal World Bank, IMF, dan WTO, mengucur deras ke kantong pemerintah. Kucuran dana
tersebut, awalnya dipahami banyak pihak sebagai satu bentuk murni bantuan finansial. Akan
tetapi, sebenarnya, dana yang diberikan pada Indonesia saat itu bagi Barat, khususnya
Amerika, merupakan kunci utama merasuki pemerintahan Indonesia. Teknokrat-teknokrat
yang ada dalam pemerintahan Indonesia saat itu, mau tidak mau harus menghamba pada
kekuatan kapital Barat dengan menuruti apapun yang didiktekan Barat pada mereka. Ini
sesuai dengan yang diutarakan Amien Rais dalam kata pengantar buku yang berjudul Mari
Menjual Negara. Amien Rais berujar, “birokrat-birokrat Indonesia yang bercokol pada
birokrasi pemerintahan telah dirasuki antek-antek asing sehingga mau bermanuver keras
untuk meloloskan kepentingan asing dalam pembuatan kebijakan pemerintah” 11 . Deregulasi
ialah salah satu bentuk pelolosan kepentingan asing tersebut, karena dengan kehadiran
deregulasi tersebut, pihak asing makin mudah merangsek masuk dan menguasai pasar
Indonesia.
Dampak sosial dari konsumerisme pun tidak terelakkan terjadi pada masyarakat
Indonesia. Alexis de Tocqueville seperti dikutip Armando dalam tesisnya, mengutarakan,
konsumerisme yang tumbuh tak terkontrol di tengah masyarakat menyebabkan adanya
relative deprivation (kemiskinan relatif). Maksudnya, sekelompok masyarakat merasa miskin
bukan karena keadaan riil materi dan finansialnya yang anjlok, tapi karena membandingkan
kehidupannya dengan kehidupan kelompok masyarakat lain yang menurutnya jauh lebih
nikmat 16 . Hal ini mengingat, karakter konsumsi modern seperti dilansir di atas hanya dapat
diterapkan masyarakat tertentu, yang menduduki kelas menengah-ke atas dalam suatu
masyarakat. Sementara lainnya, dalam hal ini masyarakat kelas menengah-ke bawah tidak
dapat merasakan pola konsumsi serupa. Munculnya perasaan miskin ini umumnya bermuara
pada frustasi, dan bisa saja berujung kematian. Kisah Dasty, seorang ibu rumah tangga asal
Cilegon, yang dimuat di Kompas, 2 Juli 2009 silam merupakan satu contoh tragis dari frustasi
karena perasaan miskin yang menderanya. Dasty nekat gantung diri karena dirinya merasa
13
Andini Wijendaru, “Spasialisasi, Hegemoni, dan Budaya Pop (Studi Kasus Penyebaran Budaya Pop oleh
MRA Group”, Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Vol. III, No. 1/Januari-April 2004, hal. 90-117.
14
Soerawidjaja, loc. cit.
15
Lihat Marcuse dalam Krisnawan, op. cit., hal. 42.
16
Lihat Tocqueville dalam Armando, op. cit., hal. 18.
miskin. Selama tiga bulan sebelum akhirnya dia bunuh diri, warga di sekelilingnya
mengatakan, Dasty mengalami depresi berat akibat keadaan ekonomi keluarganya yang
carut-marut 17 .
Lain Dasty, lain pula pejabat Riau. Dijelaskan dalam Media Indonesia tanggal 26
Oktober 2009 lalu, ketua DPRD Riau Djohar Firdaus mendapat jatah mobil dinas Toyota
Royal Crown yang berbanderol harga mencapai Rp 1,3 M. Sedangkan Gubernur Riau, Rusli
Zainal, mendapat satu unit Toyota Crown Majesta seharga Rp 1,8 M untuk sarana
transportasi ke tempat kerja sehari-hari (baca: mobil dinas). Kemewahan yang dipertontonkan
para petinggi Riau ini terasa tak berada di tempatnya manakala kita melongok rakyatnya.
Jumlah penduduk miskin dan pengangguran di Riau masih tinggi mencapai angka 9,48% dan
8,96%. Selain itu, krisis listrik, air bersih, dan keterbatasan infrastruktur pun masih terjadi di
sana 18 . Kehidupan yang mewah yang diumbar pejabat Riau ini, dalam jangka waktu lama
akan semakin membuka jurang pemisah dalam masyarakatnya. Jika ini terjadi, integrasi
sosial maupun nasional bisa-bisa terancam.
Melihat dampak konsumerisme yang besar ini, kita harus semakin berhati-hati dan
mulai beraksi memeranginya. Namun, sebelum kita terjun langsung, kita perlu menganalisis
siapa yang paling terkait dengan merebaknya konsumerisme di Indonesia. Dari perspektif
personal penulis dengan dukungan pandangan Armando, pihak yang tidak bisa lepas
tanggung jawab dari bertumbuhnya konsumerisme di Indonesia ialah media. Media
mempunyai pengaruh kuat bagi masyarakat. Pun, melalui media pulalah para kapitalis
menyerang mental masyarakat kita dan memasung mereka untuk senantiasa berkonsumsi.
17
“Bunuh Diri karena Miskin”, Kompas, 2 Juli 2009, hal. 27.
18
“Rakyat Menderita, Pejabat Riau Pamer Kemewahan”, Media Indonesia, 26 Oktober 2009, hal. 1.
19
Kurniawan, loc. cit.
muaranya, merujuk pada pernyataan Marcuse, menelurkan masyarakat berdimensi satu, yang
tujuan kehidupannya hanyalah untuk melanggengkan kapitalisme 20 .
Dari analisis yang penulis lakukan terhadap sejumlah media tanah air, tuduhan para
pengamat sosial yang dialamatkan pada media sebagai penyebab konsumerisme boleh
dikatakan benar. Sebagai contoh, penulis mengamati dua edisi Kompas. Yang pertama, pada
Kompas terbitan tanggal 25 Juni 2009, di kolom propertinya, kolumnis Kompas ‘bermimpi’
mencanangkan Jakarta sebagai pusat belanja dunia. Artikel yang berjudul “Jadikan Jakarta
Pusat Belanja Dunia” itu terasa amat mendukung kapitalis. Jakarta diandaikan sejajar dengan
New York, Paris, London, Hongkong, Singapura, dan bahkan Dubai. Abun Sanda, kolumnis
yang menulis artikel tersebut, menghendaki pemerintah DKI Jakarta untuk menggencarkan
pembangunan pusat perbelanjaan modern, misalnya dengan menambah jumlah mal dan plaza
berkelas dunia di Jakarta. Kehendak seperti itu sejatinya merupakan naluri kaum kapitalis.
Deregulasi pasar yang diterapkan pemerintah, membuat mereka jauh lebih leluasa
mewujudkan impian mendasar mereka, yakni keuntungan semaksimal mungkin melalui
operasionalisasi pusat perbelanjaan besar yang mereka harap dapat menyerap seluruh produk
mereka.
Di dalam kolom yang sama pula, kolumnis mengajak pembaca untuk berkunjung dan
tentunya berbelanja ke mal-mal besar Jakarta, serupa Grand Indonesia, Senayan City, Plaza
Indonesia, Plaza Senayan, Mal Pondok Indah, dan Pasific Place. Jika ini dibiarkan terus
berlanjut, eksistensi pasar tradisional pun mau tidak mau terancam. Padahal, pasar tradisional
inilah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Pun, kendati Sanda sempat mengingatkan
pembacanya agar nafsu belanjanya tidak kebablasan, namun porsinya yang kecil dalam
tulisannya tersebut seolah terjajah dan ditenggelamkan gagasan-gagasan konsumsi yang
ditawarkannya guna mewujudkan mimpinya (dan segenap kapitalis), menjadikan Jakarta
pusat belanja dunia 21 .
Pada edisi Kompas lainnya, tepatnya yang terbit pada tanggal 1 Mei 2009, harian ini
22
menghadirkan satu rubrik khusus yang bertajuk FOKUS . Di rubrik ini, Kompas
menitikberatkan bahasan pada konsumerisme (atau dalam istilah mereka, konsumtivisme).
20
Lihat Marcuse dalam Krisnawan, op. cit., hal. 63.
21
Abun Sanda, “Jadikan Jakarta Pusat Belanja Dunia”, Kompas, 25 Juni 2009, hal. 48.
22
Lihat rubrik FOKUS dalam Kompas, 1 Mei 2009, hal. 33-36.
Empat artikel berkaitan dengan topik disuguhkan dengan judul antara lain, “Menuju Titik
Nadir Peradaban?”, “Tidak Ada Krisis untuk Konsumtivisme”, “Anggaran Tertekan, Obral
Jadi Pilihan”, dan “Dominasi Konsumsi, sampai Kapan?”. Keempat artikel tersebut,
bertujuan membahas secara komprehensif konsumerisme sebagai satu gejala sosial
masyarakat paling mutakhir. Secara tersirat, keempatnya sebenarnya mendukung
konsumerisme masyarakat kini dengan dalih-dalih ekonomi sebagai sarana justifikasi. Satu di
antaranya menjelaskan, konsumsi masyarakat dapat meningkatkan angka pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Di satu titik, pernyataan ini memang benar. Tapi, menurut pengamatan
Soerawidjaja, tingkat konsumsi ini tidak merepresentasikan sama sekali pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Mengapa? karena menurutnya, hasil konsumsi yang didahului adanya
penarikan investasi ini akan berujung pada pemilik modal (baca: kapitalis) yang tidak
representatif terhadap kondisi mayoritas masyarakat Indonesia. Di samping analisis yang
secara mandiri penulis lakukan ini, Krisnawan beranggapan, munculnya jurnalisme gaya
hidup di berbagai media cetak di Indonesia juga kian mencetak mentalitas konsumtif bangsa
ini 23 .
Dari sisi media siar, gempuran iklan yang menguasai setengah siaran televisi sadar
tidak sadar telah menyentuh saraf konsumsi masyarakat dari berbagai kalangan. Semakin ke
sini, pembuat iklan makin piawai menaklukkan masyarakat dengan mengusik alam bawah
sadar mereka guna membeli dan mengonsumsi barang yang mereka iklankan. Psikologi
akhirnya ditemukan sebagai kunci jawaban untuk memahami konsumerisme yang terkandung
dalam iklan. Pengalaman yang ditulis B. Herry Priyono dalam sebuah artikel yang dimuat di
Kompas, 8 Maret 2003 menjelaskan bagaimana faktor psikologis dimainkan para pembuat
iklan.
“…Dalam satu dari puluhan wawancara dengan pelaku bisnis pertengahan tahun
1998, saya ajukan pertanyaan sampingan kepada seorang direktur perusahaan yang
sudah 16 tahun menggeluti dunia iklan. “Bolehkah saya tahu bagaimana pesan yang
dicitrakan kebanyakan iklan menjadi stimuli yang menentukan pola konsumsi?” Ia
diam sejenak, lalu bicara, “Sebenarnya soal teknis bisa diserahkan kepada orang
desain, tetapi psikologi adalah kuncinya. Ada tiga insting manusia yang menjadi
sasaran utama strategi iklan dan itu luas dilakukan. Satu, memainkan insting nafsu
pemilikan. Dua, memainkan insting privilese dan status. Tiga, memainkan daya tarik
romantisme-sensualitas…” 24
23
Krisnawan, op. cit., hal. 167-192.
24
B. Herry Priyono, “Konsumerisme”, Kompas, 8 Maret 2003.
Jika dianalisis dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud, pengiklan berusaha menundukkan
satu subsistem dalam kepribadian manusia yang menggerakkan nafsu dan insting––Id. Id ini
dirangsang agar Superego, subsistem kepribadian manusia lainnya, mampu dikalahkan.
Sehingga pada akhirnya, Ego, bisa meloloskan nafsu konsumsi yang digenerasi Id 25 .
Jumlah terpaan iklan yang membombardir ini tak heran mampu menaklukkan
masyarakat untuk terus melakukan konsumsi yang berlebihan. Porsi iklan yang diselipkan di
sela-sela program nyata-nyata menempati ruang mayoritas bila dibandingkan dengan ruang
yang tersedia bagi program siaran itu sendiri. Lihat saja, saat kita menonton program televisi,
semisal sinetron, tayangan sinetronnya per babak beralokasi waktu 5 hingga 7 menit. Tapi,
iklannya? kebanyakan sama lama dengan sinetronnya. Apalagi kalau sinetronnya punya
rating tinggi karena digandrungi ibu-ibu dan pembantu. Bisa-bisa alokasi waktu iklannya
diperlebar, sehingga iklan lebih menguasai siaran ketimbang program yang sesungguhnya
disiarkan.
25
Djalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung, 2005), hal. 19-20.
26
Dennis McQuail, Mass Communication Theory 5th Edition (London, 2000), hal. 79-80.
berhak menentukan mana yang layak dan tidak layak muat berdasarkan sistem nilai dan
ideologinya. Inilah yang penulis duga membuat media pro-konsumerisme.
Terakhir, model hubungan autonomy. Model ini tidak determinis, dan malah terkesan
skeptis terhadap pandangan akan kekuasaan media untuk mempengaruhi gagasan, nilai, dan
perilaku. Media diasumsikan memiliki otonominya sendiri dalam masyarakat.
Dengan landasan berpikir merujuk pada model hubungan ketiga di atas, pada bagian
ini akan kita bahas keterkaitan media, modernisasi, dan tentunya konsumerisme. Dalam
tesisnya, Armando menjelaskan, kaum modernis yang notabene berasal dari negara maju,
bermaksud mengembuskan nafas-nafas modernisasi pada negara berkembang 27 . Tujuan
awalnya mulia, agar negara berkembang bisa sama maju dengan negara mereka. Penghadiran
visualisasi dambaan kehidupan yang ideal, yakni kehidupan masyarakat negara maju, kepada
masyarakat negara berkembang, mereka yakini mampu menyentuh saraf-saraf produktif
masyarakat negara berkembang 28 . Media massa, seperti televisi, di sini berfungsi sebagai
mediator yang memediasi pengalaman kehidupan. Sehingga melaluinya, masyarakat negara
berkembang mampu menyaksikan pengalaman tersebut, dan menstimulasi kerja keras guna
meraih kehidupan serupa.
Akan tetapi yang terjadi, seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, realitas yang
terjadi justru berkebalikan. Masyarakat negara berkembang malah menjadi pasif, konsumeris,
dan kontra-produktif. Melihat ini, kaum modernis berniat cuci tangan dengan mengatakan
masyarakat negara berkembang melakukan salah peniruan dan ini merupakan unintended
consequences dari modernisasi yang mereka gerakkan 29 . Pada akhirnya, tujuan ideal
modernisasi ini benar-benar hanya berhenti sebatas mimpi di siang bolong. Implikasi lain
malah datang bertubi-tubi mengancam negara berkembang yang menjadi sasaran modernisasi.
Dominasi Barat dan konsumerisme parasitik merupakan dua hal yang dilansir Armando
sebagai akibat dari gagalnya modernisasi di negara berkembang 30 . Dan media tidak bisa
begitu saja lepas dari tanggung jawab.
Jika kita harus menyerah ketika diminta mengubah media dengan sistem nilai yang
diterapkannya, maka yang masih bisa kita sentuh adalah masyarakatnya. Masyarakat
27
Armando, op. cit., hal. 12-13.
28
Ibid.
29
Ibid., hal. 25-28.
30
Ibid., hal. 23-24.
Indonesia perlu dicerdaskan dan ‘dibukakan matanya’ berkenaan dengan media beserta isinya.
Tak pelak, gagasan media literacy perlu dengan segera disosialisasikan. Harapannya, ketika
masyarakat tahu tetek-bengek media, masyarakat tak gampang lagi terkecoh dan terangsang
untuk membeli dan membeli lagi, dalam kaitannya dengan konsumerisme.
Pendidikan dan sosialisasi media literacy ini, dalam hemat penulis akan semakin
mengena bila ada media lain yang berperan sebagai counter media terhadap media arus
utama. Dalam hal ini, yang penulis maksudkan ialah lembaga penyiaran komunitas. Lembaga
penyiaran komunitas menurut UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ialah ‘lembaga penyiaran
yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat
independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah
terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya’ 31 . Lembaga penyiaran komunitas
di sini penulis harapkan didirikan LSM pemerhati media, akademisi, maupun pakar
komunikasi yang mengerti media dan berkomitmen kuat mau mencerdaskan masyarakat
Indonesia. Program-program berbasis media literacy yang digaungkan media komunitas
semacam ini tentu membawa angin segar berupa nilai-nilai baru yang ketika mengisi ruang-
ruang kognisi masyarakat, akan bisa mempengaruhi sampai taraf behavioralnya. Jika kita
kaitkan dengan konsumerisme, masyarakat yang diterpa media komunitas serupa,
diasumsikan akan memiliki pemahaman lebih tentang performa dan latar belakang produksi
media yang kapitalistik dan pro-konsumerisme, sehingga dengan begitu, nafsu konsumsi
yang berlebihan dari masyarakat dapat tertahan usai menyadari kesadaran riil yang
menumbangkan kesadaran palsu yang dibentuk para kapitalis melalui media.
31
Lihat Pasal 21 ayat 1 Undang-undang No. 32 tahun 2002.
32
Lihat Marcuse dalam Krisnawan, op. cit., hal. 205.
padat karya, bukan padat modal, seperti yang dijalankan perusahaan-perusahaan
multinasional raksasa dewasa ini.
Selain bisa menggugah produktivitas dan dapat menyerap sumber daya manusia lebih,
UKM dalam hemat penulis mampu memberi efek penularan sosial (social contagion).
Masyarakat Indonesia yang latah, kadang perlu sosok yang menjadi teladan. Intelektual muda
yang merintis usaha-usaha tersebut bisa menjadi pemimpin perubahan yang menggelitik
rekannya, baik secara langsung maupun tidak, untuk mengikuti jalur perubahan yang
diambilnya. Jika UKM bersemi di Indonesia, maka konsumerisme bisa ditekan dan diganti
dengan apa yang disebut Wells produserisme.
Terakhir, penulis ingin menegaskan, tulisan ini bukan untuk melarang konsumsi. Tapi,
model konsumsi yang berlebihan dan mengabaikan aspek fungsionalitas barang konsumsilah
(baca: konsumerisme) yang ingin penulis perangi. Ambil tindakan dan lakukan perubahan.
Tentu dengan penuh semangat, seperti yang digelorakan Barrack Obama dalam jargonnya,
“YES, WE CAN!”
33
Lihat Pasal 46 ayat 8 Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002.
DAFTAR PUSTAKA
Armando, Nina Mutmainnah. “Konsumerisme pada Majalah Remaja (Studi Analisis Wacana
Kritis terhadap Majalah Gadis)”. Tesis Magister Ilmu Komunikasi Universitas
Indonesia. Depok, 2001.
Krisnawan, Yohanes. “Kritik Konsumerisme dalam Masyarakat Satu Dimensi (Studi Teori
Kritis Kebutuhan-kebutuhan Semu Menurut Herbert Marcuse Dalam Masyarakat
Konsumen di Indonesia)”. Tesis Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.
Depok, 2006.
Lury, Celia. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Subagja, Guntur, Legiman Misdiyono, dan Endro Cahyono. Mari Menjual Negara. Jakarta:
Global Mahardika Netama, 2002.
Wijendaru, Andini. “Spasialisasi, Hegemoni, dan Budaya Pop (Studi Kritis Penyebaran
Budaya Pop oleh MRA Group)”, Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Vol. III,
No. 1/Januari-April 2004.
Koran
Priyono, Herry B. “Konsumerisme”, Kompas, 8 Maret 2003.
Sanda, Abun. “Jadikan Jakarta Pusat Belanja Dunia”, Kompas, 25 Juni 2009.
“Bunuh Diri karena Miskin”, Kompas, 2 Juli 2009.
“Rakyat Menderita, Pejabat Riau Pamer Kemewahan”, Media Indonesia, 26 Oktober 2009.
Internet
Kurniawan, Sigit. “Perang Melawan Konsumerisme”
(http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=67&page=1, diakses pada
24 Okt. 2009,17.00).
Soerawidjaja, N. “Berpikir Fungsional, Melawan Konsumerisme”
(http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=28683, diakses pada
24 Okt. 2009, 17.00).
DATA DIRI
web/blog : http://langitdipucukdaun.wordpress.com/