You are on page 1of 11

Pendahuluan

PARA ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke ke Tatar Sunda.
Demikian pula cara masuknya Islam ke tatar Sunda, ada yang menyebutkan bahwa
masuknya Islam ke tatar Sunda melalui perdagangan atau niaga; ada pula melalui
penyebaran yang dilakukan secara sengaja oleh para wali. Masing-masing pendapat
tersebut memiliki argumen dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Hal tersebut
tampak pada karakteristik keagamaan yang sangat beragam di tatar Sunda, baik yang
berada di pesisir maupun di pedalaman, yang masing-masing memiliki karakteristik
keberagamaan yang khas, berbeda.

Cara dan waktu penyebaran Islam di tatar Sunda tersebut telah melahirkan corak
keberagamaan yang khas, khususnya ketika bertemu dengan sistem sosio-budaya
setempat. Dalam tradisi ilmu-ilmu Islam klasik; aspek-aspek studi keislaman terbagi
dalam bidang ushuluddin (tauhid atau ilmu kalam), syariah (fiqh), dan tasawuf . Selain
ketiga bidang tersebut terdapat bidang lain, yaitu studi (kajian) terhadap sumber ajaran
dan studi metodologis seperti tafsir dan ulumul quran, hadits dan ulumul hadits, mantiq
(logika), bahasa dengan berbagai sub-bidang kajian lainnya. Sistem pembagian tesabut
digunakan pula dalam sistem pendidikan Islam tradisonal secara umum di Indonesia
(pesantren).

Ilmu Kalam secara disipliner lebih banyak disajikan sebagai dogma-dogma aqidah, bukan
sebagai diskursus ilmiah. Berbeda dengan bidang tasawuf dan syariah yang sering
menjadi pembicaraan hangat di antara para ulama. Bidang kalam dianggap sebagai
wilayah riskan untuk dibicarakan. Perbedaan pemahaman dalam bidang fiqh dan tasawuf,
walaupun sering berakibat terjadinya perpecahan di antara mereka, akan tetapi fenomena
tersebut di anggap biasa. Lain halnya dengan persoalan kalam. Mereka seperti telah
sepakat menggunakan kalam Asy’ariyah; sehingga kalam menjadi doktrin yang tabu
untuk dibicarakan (diperdebatkan).

Ilmu kalam merupakan sebuah bentuk rasionalisasi aqidah Islam sekaligus upaya
pencarian dan perumusan argumen-argumen rasionalnya. Ilmu kalam lahir sebagai
jawaban dan tantangan terhadap sistem aqidah di luar Islam yang menggunakan metode
rasional filosofis, baik secara langsung ataupun tidak, bermaksud menjatuhkan
rasionaltitas aqidah Islam. Dengan demikian, ilmu kalam pada masa itu masih merupakan
pengetahuan murni, bukan pengetahuan praktis. Karena itu Al-Ghazali mengkritik kerja
para ahli kalam (mutakalimin) sebagai kegiatan yang tidak bermanfaat bagi peningkatan
keimanan umat Islam pada umumnya. Pemikiran Kalam hanya memenuhi hasrat intelek
bagi kelompok tertentu dan terbatas. Sementara umat Islam pada umumnya tidak bisa
menarik manfaat dari hasil kerja mereka. Lain halnya dengan pemikiran-pemikiran atau
pemikiran Ijitihad para fuqaha yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan
kehidupan umat Islam sehari-hari, baik dalam bidang kehidupan keagamaan maupun
dalam kehidupan sosial lainnya.

Al-Ghazali membedakan pengertian kalam dengan ilmu tauhid. Dalam Al-Risalah al-
Laduniyyah (Risalah tentang Ilmu Laduni), Al-Ghazali memasukkan ilmu tauhid sebagai
salah satu cabang ilmu syariat yang membahas pokok-pokok agama (ushuluddin).
Menurutnya, tauhid merupakan penghayatan terhadap doktrin-doktrin yang berkenaan
dengan akidah dan ilmu kalam merupakan suatu upaya perumusan argumen-argumen
rasional tentang sistem keyakinan atau akidan Islam; dengan maksud untuk
mempertahankan akidah Islam dari serangan sistem teologi di luar Islam (baik agama
maupun filsafat) yang saat itu telah menggunakan argumen rasional. Dengan demikian,
yang membedakannya adalah aspek metodologis dan orientasi pendekatan yang
digunakan. Ilmu tauhid lebih menekankan pada bagaimana doktrin teologis Islam
dihayati dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari; sedangkan ilmu kalam
digunakan sebagai apologi rasional ketika berhadapan dengan sistem keyakinan yang
berseberangan dengan sistem akidah Islam.

Ilmu kalam klasik (abad pertengahan Islam) mendapat bentuknya secara permanen,
terutama setelah berkembangnya filsafat Islam yang bercorak Aristotelian dan Platonian.
Pada perkembangannya ini, ilmu kalam menjadi disiplin ilmu teoritis. Pada akhir
keemasan Islam, karakteristik kalam (yang bisa disebut sebagai filsafat Islam) ini
mendapat kritik pedas dari Al-Ghazali. Al-Ghazali menilai bahwa kalam merupakan ilmu
yang hanya bisa dipahamai oleh sekelompok golongan tertentu saja atau sebagai
pemenuhan hasrat intelek saja, tidak berorientasi prakis pada kehidupan sehari-hari.

Karakteristik kalam teoritis ini masih dapat ditemukan dalam pemikiran Muhammad
Abduh, sebagai kalam modern. Namun akan ditemukan corak yang lain pada pemikiran
Muhammad Iqbal. Corak pemikiran Iqbal bila dilihat secara jeli sebenarnya berorientasi
pada wilayah praktis kehidupan manusia. Melalui dengan paradigma filsafat
eksistensialisme, Iqbal berusaha menemukan satu sosok manusia Muslim yang sempurna
(insan kamil) yang berlandaskan ketauhidan. Pemikiran kalam Iqbal senada dengan
perkembangan filsafat Barat modern; bersamaan dengan lahirnya pemikiran filsafat
humanisme dan eksistensialisme. Seperti halnya dengan pemikiran kalam Muhammad
Abduh yang se-zaman dengan perkembangan sains modern tentang struktur alam yang
dikembangkan dalam Newton dalam paradigma positivisme.

Sebagai kelanjutan dari corak pemikiran kalam modern yang dikembangkan kedua tokoh
pemikir Islam tersebut, lahirlah sejumlah pemikir kalam dengan corak berpijak pada
fenomena sosial (local) yang kontekstual. Pemikiran ini berkembang dari suatu asumsi
bahwa ajaran Islam pada hakikatnya berifat universal. Ia bisa hidup dan berkembang
dalam variasi budaya yang hidup pada setiap komunitas manusia manapun di dunia ini.
Di sinilah ilmu kalam mulai menyentuh aspek-aspek esensial dalam kehidupan manusia.
Ilmu kalam tidak lagi sekadar pembicaraan tentang wujud dan sifat-sifat Allah yang
metafisis, tapi juga membicarakan persoalan hidup dan kehidupan manusia di dunia
dalam hubungannya dengan aqidah yang dianut umat Islam. Jadi, ilmu kalam pada masa
modern ini kajiannya berupaya merumuskan kerangka ‘teologis’ kehidupan manusia di
muka bumi. Sehingga akan terlihat sejauhmana sistem akidah menjadi landasan bagi
kehidupan manusia di muka bumi dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia maupun
di akhirat.

Jika kalam modern bertujuan merumuskan konsep-konsep teologis kehidupan manusia


dalam hubungannya dengan doktrin serta pengalaman aqidahnya, maka dalam
perumusannya tidak bisa melepaskan diri dari setting sosial budaya masyarakat setempat.
Dapat dilihat bahwa salah satu karakteristik kalam modern tidak lagi sekedar berpijak
pada rumusan-rumusan universal, akan tetapi juga berpijak pada setting budaya lokal.
Perumusan kalam dalam kerangka nilai-nilai universal an-sich akan membawa pada
proses generalisasi terhadap kondisi manusia, hal ini akan membawa pada kecenderungan
berpikir yang bersifat deduktif; sehingga tidak mengakar dalam kehidupan manusia yang
secara riil berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sistem nilai budaya yang
hidup dan berkembang di setiap masyarakat (umat Islam) hidup.

Salah seorang tokoh lokal yang memiliki pandangan kultural ini adalah Hasan Mustapa,
seorang ulama Jawa Barat yang hidup dipenghujung abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Bila dilihat dari karyanya, ia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Akan tetapi karena
inti pemikiran yang dituangkan dalam karya sastra tersebut sangat bersifat religius,
pemikiran tasawuf dan kalam, dan ia merupakan seorang Penghulu Keagamaan Bandung
hingga masa pengsiunnya (sebelumnya pernah menjadi penghulu Aceh selama tiga
tahun), maka ia pun dikenal sebagai salah seorang tokoh ulama yang memiliki pandangan
keagamaan yang khas.

Pemikiran keagamaan Hasan Mustapa, pada umunya ditulis dalam bentuk “Dangding”,
puisi tradisional berbahasa Sunda, di samping beberapa pemikirannya ditulis dalam
bentuk esai yang ditulisnya dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Arab; dengan tulisan Latin,
Arab Pegon, dan Tulisan Sunda (Hanacaraka), pada umumnya merupakan pemikiran
sufistik. Namun demikian dalam tulisannya yang sufistik tersebut, di dalamnya terdapat
unsur-unsur pemikiran ilmu kalam, kritik terhadap adat dan sistem nilai budaya yang ada,
hidup, dan berkembang dalam masyarakat lokal (Sunda).

Bila dilihat secara sekilas, pemikiran (ilmu) kalam Hasan Mustapa memiliki corak
Asy’ariyah (sebagaimana pada umumnya mazhab ilmu kalam yang dianut di Indonesia
pada saat itu). Namun, apabila dikaji secara lebih teliti akan ditemukan pemikiran-
pemikiran ilmu kalam yang sangat lain dengan corak Asy’ariyah, bahkan melakukan
kritik terhadapnya.

Corak pemikiran ilmu kalam Hasan Mustapa, berbeda dengan kalam klasik yang berpijak
di atas argumen-argumen rasional dengan menggunakan logika formal Aritoteles.
Pemikiran kalam Hasan Mustapa berpijak di atas kerangka sistem nilai budaya local;
sekaligus melakukan kritik terhadap sistem nilai budaya tersebut dengan analisis yang
khas.

Bila melihat karakteristik metodologi ilmu kalam Hasan Mustapa dan dibandingkan
dengan kecenderungan ilmu kalam modern ( kontemporer) akan ditemukan dalam corak
pemikiran Fazlur Rahman atau Nurcholis Madjid—yang dikenal sebagai tokoh neo-
modernisme. Pengaruh budaya lokal dalam pemikiran Hasan Mustapa lebih kental
dibandingkan dengan tokoh Muslim modern tadi. Bukan hanya dalam corak serta
argumen yang dikemukakannya, tapi juga pada media penulisan yang digunakannya. Para
tokoh ilmu kalam modern lebih menggunakan metode serta teknik penulisan ilmiah dan
filsafat modern, sedangkan Hasan Mustapa menggunakan teknik penulisan dalam bentuk
puisi tradisonal.

Keadaan seperti inilah yang menyebabkan Hasan Mustapa dianggap sebagai ulama
kontroversial dan dianggap murtad dan keluar dari Ahlus Sunah Wal Jamaah atau Sunni.
Sebab Hasan Mustapa mengkritik cara berpikir dan cara beragamanya para ulama atau
kiayi serta para santri dan umat Islam pada umumnya. Hasan Mustapa menganggap
bahwa umat Islam ketika itu telah memutlakkan kebenaran kalam; yang sebenarnya
merupakan hasil pemikiran manusia.

Metode dan Corak Pemikiran Kalam Hasan Mustapa


Seperti disebutkan di atas, selain dalam bentuk esai (bahasa lancaran dan dialog imajiner
dengan dirinya sendiri, serta kumpulan surat), pada umumnya tulisan-tulisannya
berbentuk ‘dangding’ atau ‘guguritan’. Sebenarnya tidak ada tulisan Hasan Mustapa yang
secara khusus merupakan pemikirannya tentang (ilmu) kalam. Pemikiran kalam Hasan
Mustapa tertuang dalam sejumlah tulisan yang terungkap secara implisit. Di antara
persoalan-persoalan kalam yang banyak diungkap Hasan Mustapa berkernaan dengan
Sifat Tuhan dan Nama Tuhan, Kekuasaan Tuhan dalam hubungannya dengan perilaku
manusia di dunia. Dalam mengungkap Kekuasaan Tuhan, Hasan Mustapa melihatnya
dalam perspektif perilaku dan keterbatasan manusia. Tuhan dalam pandangan Hasan
Mustapa diposisikan sebagai sesuatu yang sangat transenden, ia sering menggunakan
logita negasi dalam mengungkapnya meski dalam sejumlah ungkapan—ketika
berhadapan dengan sejumlah pertanyaan yang bersifat langsung—ia sering menggunakan
silogisme yang sangat antropomorfistik.

Selain sering menggunakan cara berpikir ‘negatif’, dalam ‘dangding’ Hasan Mustapa
menggunakan pola pembahasan yang sangat dialektis. Corak berpikir dialektis yang
digunakannya sangat khas, yaitu mendeskripsikan sejumlah paham dan perilaku
keagamaan masyarakat tentang suatu hal dan kemudian mengemukakan sisi lain dari
paham tersebut. Selanjutnya Hasan Mustapa memberikan kepastian (penilaian) yang ia
anggap benar tentang masalah tersebut; tapi selanjutnya ia ambangkan lagi pahamnya itu.

Pola berpikir seperti ini mengingatkan pada dialektika yang pernah dikembangkan Hegel,
yaitu dialektika aufgehoben, yang mengandung tiga arti: a) mengesampingkan; b)
merawat, menyimpan, bukan ditiadakan melainkan dirawat dalam suatu kesatuan yang
lebih tinggi dan dipelihara, ditempatkan pada dataran lebih tinggi; c) di mana keduanya
(tesa dan antitesa) tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling mengucilkan.

Dari aufgehoben itu dapat dikemukakan ilustrasi berikut ini: tesa mengandung di
dalamnya unsur-unsur yang positif dan yang negatif, akan tetapi unsur-unsur positifnya
lebih banyak muncul. Sebaliknya, antitesa mengandung banyak unsur negatif atau lebih
banyak dibandingkan unsur positif. Di dalam sintesanya segala unsur positif dan negatif
disintesakan menjadi suatu kesatuan yang lebih tinggi. Tentu saja kemudian sintesa ini
dalam perjalanan waktu akan memungkinkan tampak muncul dalam bentuk positif saja,
sehingga ia siap menjadi tesa kembali.
Atas dasar pengemukaan itu dapat dikemukakan beberapa hal mengenai dialektika.
Pertama, berpikir secara dialektika berarti berpikir dalam totalitas. Yaitu keseluruhan
yang mempunyai unsur-unsur yang saling menegasi (mengingkari dan diingkari), saling
berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan
diperantarai). Pemikiran ini menekankan bahwa dalam kehidupan nyata pasti unsur-
unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi, dan bermediasi. Tidak mungkin unsur-unsur
itu hanya berdiri sejajar atau bergabung tanpa kontradiksi, negasi dan mediasi.

Misalnya hubungan antara individu dan masyarakat. Jika Individu tidak melakukan
proses negasi, kontradiksi dan mediasi dengan masyarakatnya maka individu tidak
menemukan dirinya; sebaliknya masyarakat tidak akan sempurna, tanpa perubahan apa-
apa.

Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa pemikiran dialektis Hegel tidak membatasi
bagian demi bagian, namun membiarkan bagian-bagian itu bertarung satu sama lain.
Karena semua unsur dianggap mempunyai potensi kebenaran jadi tidak boleh ditiadakan
begitu saja. Masing-masing unsur tersebut dibiarkan saling bernegasi ; dengan saling
mengingkari dan diingkari, setiap unsur berhak mempertahankan dirinya serentak juga
makin memahami kebenaran dirinya, sementara ia juga melihat bahwa unsur lain tidak
boleh dikorbankan demikian saja, justru karena unsur lain tersebut mati-matian
mempertahankan dirinya dengan cara mengingkari lawannya. Lalu unsur tersebut saling
bermediasi, menggunakan apa yang ada dalam lawan sebagai jalan bagi penemuan
dirinya dan sebaliknya.

Maka proses dialektika tidak mengarah pada sintesa dalam pengertian perpaduan,
melainkan mengarah pada tujuan baru sama sekali, yaitu “rekonsiliasi” (aufgehoben), di
mana tercakup pengertian “pembaharuan”, “penguatan”, dan “perdamaian”.

Dari sisi filsafat ilmu, pola pembahasan tersebut bisa dipahami bila kita melihat
pandangan dasar (asumsi) yang dijadikan pijakan Hasan Mustapa tentang paham
keagamaan, yaitu bahwa paham-paham manusia tentang ajaran Islam, khususnya yang
berkenaan dengan masalah ghaib lebih merupakan warisan dari generasi sebelumnya; dan
lebih dari itu bahwa manusia sentiasa terjebak dalam sejumlah istilah (lalandian).

Untuk menjelaskan kecenderungan manusia tersebut Hasan Mustapa merumuskan tujuh


tahapan keislaman (Gelaran Sasaka di Kaislaman), yang terdiri dari tahapan Islam, Iman,
Soleh, Ihsan, Sahadah, Sidikiyah, Kurbah dan Mahabah. Setelah melewati Gelaran
Sasaka di Kaislaman, baru manusia menginjak pada tahapan kehidupan ruhaniah, yang
terdiri dati tujuh tingkatan (Martabat Tujuh), yang terdiri dari Ahadiyat, Wahdat,
Wahidiyat, Arwah, Misal, Ajsam dan Kainsanan.

Berpijak dari pemahaman Hasan Mustapa tentang tingkat pemahaman dan pengalaman
keagamaan setiap orang, ia tidak pernah memastikan paham mana sesungguhnya yang
benar dalam hal pemahaman Kalam. Setiap orang memahami sesuatu sesuai dengan
tingkatan di mana ia berada. Namun demikian Hasan Mustapa senantiasa menekankan
untuk senantiasa meningkatkan tahapan kehidupan tersebut.
Terdapat beberapa asumsi dasar yang dapat ditemukan dalam pemikiran keagamaan
Hasan Mustapa. Asumsi-asumsi dasar ini mendasari hampir seluruh pemikirannya, baik
yang berkenaan dengan pemikiran-pemikiran keagamaannya maupun pemikirannya yang
berkenaan dengan adat dan kebudayaan lokal, Sunda.

1. Bahwa Tuhan atau esensi tidak akan berubah karena berubah nama atau penampilan.
Seperti diungkap dalam sebagian dandingnya:
“Numatak timbang taraju, jati teu leungit kulali, paya kudiaya-aya, lalandian nu
pinanggih, dutriat kakalakayan, ingkar ngarangrangan jati”

2. Bahwa keberadaan seseorang dalam masyarakatnya senantiasa berada dan terjebakan


oleh sejumlah lalandian (istilah, pembahasaan). Lalandian ini telah melahirkan sejumlah
persoalan dalam beragama. Lalandian telah membuat manusia tersesat dan kehilangan
orientasi. Hal ini diungkap Hasan Mustapa dalam dangding-nya:
“Bukurna nu dipibingung, pahili kubarang hiji, nyawa kaleungitan rasa, Lawas kalindih
panglandi, marukan lain manehnaenya ge dilain-lain”

(Bukti yang dipersoalkan, karena samar dengan dzat yang sama, ruh kehilangan
kepekaan, telah lama tertutupi oleh nama, dikira bukan itu yang dicari, yang benar
didianggap salah)
“Kasaung turut lulurung, balik deui-balik deui, sasab dina sisimpangan, ceurik deui-
ceurik deui, midangdam neangan Allah, lain deui-lain deui”.

(Terperangkap dalam labirin, senantiasa kembali ke asal, tersesat di persimpangan,


menangis dan menangis lagi, berharap mencari Allah, bukan dan bukan lagi)

Keadaan tersebut dikarenakan manusia senantiasa berpijak di atas anggapan-anggapan


umum, masyarakat. Suatu anggapan yang telah melembaga dan bersifat statis. Paham
keagamaan dalam masyarakat yang telah mengakar memang cenderung statis dan
disakralkan. Dalam pengertian bahwa upaya merubah paham tersebut dianggap berdosa
besar, tabu atau pamali. Norma-norma sosial menuntuk setiap individu untuk senantiasa
mengikuti apa yang telah ada semenjak nenek moyangnya. Mengikuti norma-norma
tersebut, dalah suatu hal dianggap positif menurut Hasan Mustapa. Serta dalam sisi lain
dianggapnya negatif.

Hasan Mustapa mengungkapnya dalam dangding:


Mo burung disebut burung, mun teu saenya sa lain, babasan jeung karapihan, cirimah ciri
sabumi, cara mah cara sa desa, tuturuti ka panglandi”
(Akan disebut gila, bila tidak seia-sekata, basa-basi dan kerukunan, ciri dengan ciri
sekampung, cara dengan cara sedesa, mengikuti kebiasaan).

“Sup aing campur di kampung, Nurutan aing ngalandi, Ngarah sarua nya basa, Ulah
katara Ngiai, Ilallahu ganti basa, Mun teu ngaji moal ‘alim”

(Ketika masuk suatu masyarakat, kita mengikuti adat setempat, supaya satu dalam kata,
jangan tampak ekslusif, Ilallahu berubah bahasa, bila tidak mengaji tidak akan ‘alim)
3. Hasan Mustapa melihat bahwa kehidupan manusia dalam segala hal, khususnya dalam
pemahaman, pengalaman dan pengamalan keagamaan, bersifat bertahap
perkembangannya. Hal ini mengingat (berhubuingan dengan point pertama) bahwa ketika
manusia lahir ke dunia ia terjebak dalam seting sosial-budaya yang telah ada dan
melembaga. Seseorang beragama, pada awalnya, lebih merupakan tuntutan etik dan
moralitas sosial. Baru kemudian setelah mencapai tahap kedewasaan ia akan beragama
(atau tidak beragama) berdasarkan pada kesadaran yang bulat.

Tahapan keberagamaan ini oleh Hasan Mustapa dijelaskan dalam konsep yang ia sebut
sebagai “Gelaran Sasaka di Ka-Islaman” (Tingkat Capaian Utama dalam Berislam).
Tahapan ini terdiri dari tujuh tahapan. Antara lain: Islam, Iman, Soleh, Ihsan, Sahadah,
Sidiqiyah dan Kurbah. Setalah tercapai tahap terakhir dari tujuh tahap ini (Sidikiyah),
bari ia masuk pada tahapan Sufistik (Ruhaniyah, mistik) yang juga terdiri dari tujuh
tahapan, yaitu Ahadiyat, Wahdat, Wahidiyat, Arwah, Misal, Ajsam dan Kainsanan (Insan
Kamil).

Pemikiran kalam, dapat ditemukan dalam tujuh tahapan “Gelaran Sasaka di Ka-Islaman”.
Yaitu, tahapan awal (Islam) adalah tahapan pemahaman yang berpijak pada sistem
budaya (keyakinan) masa. Sebagai contoh, digambarkan bahwa tatkala seseorang
mencari pijakan untuk beragama ia masih berpijak pada pemikiran bahwa dengan
beragama (berislam) ia akan dianggap sebagai seorang yang ta’at pada nasihat orang tua,
dan dianggap sebagai orang yang baik, bisa bermasyarakat. Dan yang penting, toh tidak
ada ruginya. Mereka mengimani Allah, karena ada ceritanya; Iman kepada Malaikat dan
Rasul, karena ada Qur’an yang kata para Kyai dibawa oleh para Malaikat disampaikan
pada Rasul; iman kepada Hari Akhirat, sebab ada ceritanya; dan, iman kepada qada dan
qadar yang baik dan buruk, sebab itu semua dari Allah.

Tahap kedua (Iman), yaitu tahap di mana seorang Muslim yang mulai melakukan
reasoning terhadap apa yang diyakininya. Tetapi masih berpijak pada argumen-argumen
yang sifatnya commen sense (akal sehat), serta mulai memiliki dugaan positif, bahwa
tidaklah mungkin orang kebanyakan mengatakan seseutau yang salah. Serta, secara
pribadi mulai menggunakan sejumlah argumen rasional (walau sangat sederhana). Seperti
contohnya, bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah, mereka pada akhirnya sampai
pada kesimpulan hal itu adalah mungkin adanya karena tidaklah mungkin alam semesta
ini jadi dengan sendirinya.

Tahap ketiga, Ihsan. Tahap ini memiliki pola yang sama dengan tahap iman, hanya pada
thap ihsan, seseorang mulai berusaha untuk meningkatkan apa yang telah dicapinya
dengan harapan akan menemukan bukti-bukti dari apa yang diyakininyya. Bila tidak
ditemukan di dunia, berharap hal itu ditemukan di akhirat. Reasioning terhadap apa yang
diyakini menjadi semakin lengkap. Contohnya, mereka berpendapat bahwa adalah tidak
mungkin bila ada sebab tanpa dengan maujudnya, serta tidak mungkin tanpa dengan
kekuasaannya. Dan seterusnya. Dari pemahamn tersebut, muncul suatu kesadaran lebih
tinggi lagi, ia merasa berdosa (salah) bila tidak melakukan ibadah, sebagai manifestasi
rasa syukur. Bahwa menyembah itu harus kepada wujud yang menjadi sebab bagi adanya
diri.
Iraha timbulna suung, Lamun taya musim ngijih, Iraha gumelar supa, Lamun taya catang
kai, Iraha nelah kaula, Lamun taya bibit gusti.

(Kapan tumbuhnya jamur, kalau tidak ada musim hujan, Kapan tumbuhnya jamur kayu,
bila tidak ada kayu yang membusuk, Kapan menyebut aku, Kalau tidak ada Tuhan
sebagai sebab)

Tahap keempat, keilima, keenam dan ketujuh: Sahadah, Sidiqiyah, dan Kurbah. Mulai
tahap sahadah sampai tahap kurbah, argumen-argumen yang diajukan lebih pada
argumen yang bersifat “religious experiences”. Hal itu muncul; dari kesadaran bahwa
Allah sebagai sesuatu yang bersifat bathin hanyalah mungkin didekati dengan “rasa”
bukan dengan pengamatan inderawi dan rasio. Ada dan tidak adanya Allah serta benar
atau salahnya agma bukan dengan pengamatan inderawi dan rasio (akal) akan tetapi
dengan budi, rasa dan keyakinan.

Deskripsi tentang Gelaran Sasaka di Ka-Islaman” (Tingkat Capaian Utama dalam


Berislam) tersebut tidak dimaksudkan untuk memberikan pengertian terhadap istilah-
istilah seperti islam, iman, sholeh, ihsan, sahadah, sidikiyah dan kurbah. Kalau pun itu
yang dimaksud Hasan Mustapa, maka pengertian-pegertian dari istilah-istilah tersebut
bukan pengertian leksikal (terminologis) tapi lebih sebagai pengertian yang diambil dari
(disesuaikan dengan) phenomena prilaku keagamaan masyarakat Sunda.

Bahwa segala sesuatu di dunia ini, khususnya manusia, berada dalam faktisitas yang tidak
bisa ditawar-tawar. Diantara faktisitas itu antara lain, bahwa segala sesuatu terjadi dalam
proses dan bersifat kausal, serta seluruh prilaku manusia (kasab) senantiasa diatas
hukum-hukum Allah. Hukum Allah tersebut, menurut Hasan Mustapa, tidak menjadikan
manusia kehilangan kebebasannya untuk menentukan nasib dan eksistensi dirinya. Dalam
menjalini kehidupan di dunia, manusia harus mengetahui caranya, ilmunya. Hal ini
tergambar dalam dangding:
“Nasaha nu melak sintung, ngan aya nu melak kitri, duwegan ge saliwatan, geuwat bisi
kolot teuing, kaporotan gantri ngaran, deuwegan santri teu amis”.

(Siapa yang menanam bunga kelapa, ada juga yang menanam tunas kelapa (kitri), kelapa
muda hanya sesaat, segera sebelum kehilangan kesempatan, terlambat setelah berubah
nama, kelapa muda santri yang tidak manis).

Dalam dangding tersebut, Hasan Mustapa berbicara tentang waktu, sebagai batas dari
sejumlah kesempatan yang digunakan oleh manusia. Kesempatan adalah tempat dimana
manusia bisa memilih, dan memilih adalah sisi kebebasan manusia. Dalam proses dan
penentuan pilihan itu seorang individu menetukan nasib masa depannya. Namun
demikian pemilihan itu pun sangat ditentukan oleh cara pandang serta paradigma yang
dipakai seseorang.

Hasan Mustapa menggambarkan, bahwa dalam masyarakat terdapat dua pola atau
paradigma dalam menentukan pilihan hidupnya. Cara-cara tersebut dipegang oleh setiap
masyarakatnya secara fanatik, tanpa melihat adanya kemungkinan lain. Hal ini antara lain
digambarkan Hasan Mustapa, sebagai berikut:

Pertama, cara berpikir menyebelah (ke kiri atau kanan), mengikuti pola-pola yang dianut
masyarakat umum:
“Mun teu macul moal nyatu, teu kucai moal mandi, mun euweuh kejo te mangan, mun
teungarah moal ngarih, mun sangsara paeh bangka, mun teu ngulik moal mukti ”

(Bila tidak mencangkul tidak akan makan, bila tidak ada air tidak bisa mandi, bila tidak
ada nasi tidak akan makan, bila tidak berusaha tidak akan menanak nasi, bila sengsara
akan mati sengsara, bila tidak berpikir tidak akan kaya)

Kedua, Hasan Mustapa memberikan gambaran yang bersifat dialektis dengan


mengungkap bahwa pola berpikir diatas tidak selamanya benar karena ada pula orang
yang mengambil cara berpikir lain:
“Teu macul teu burung nyatu, paeh titeuleum keur mandi, teu mangan kamerekaan, teu
ngarah teu burung ngarih, babatang menak jatnika, mucicid bawaning ngulik”

(Tidak mencangkul toh makan juga, mati tenggelam sendang mandi, tidak makan
kekenyangan, tidak berusaha bisa pula menanak nasi, priyayi pun akhirnya mati, sengsara
karena berpikir).

Cara berpikir yang parsial dan panatik tersebut dikritik Hasan Mustapa, ia mengatakan:
“Katuhu paranti nyatu, kenca paranti susuci, mulya hina duanana, milik aing nu sajati,
mun aing beurat sabeulah, tandaning ngalain-lain.

(Tangan kanan untuk makan, yang kri untuk bersuci, mulya hina keduanya, adalah milik
pribadi yang sejati, bila aku tidak adil, itu artinya meniadakan yang lain)

Sikap menyebelah, yang dikritik Hasan Mustapa, dalam masyarakat ini juga dalam
menyikapi hidup, ketika berhadapan dengan kegagalan dan keberhasilan hidup. Ketika
mendapatkan keberhasilan, orang cenderung untuk menganggap bahwa keberhasilan itu
sepenuhnya sebagai hasil jerih payah sendiri, sedangkan bila gagal dia sebut itu sebagai
takdir.
“Tapi tutur dipitutur, nyebut takdir ka papait, mamanis asa beunangna, lawas dibajalar
lali, balukar ngarasula, papait asa pahili”.

(Tapi adat diikuti, menganggap takdir pada kegagalan, keberhasilan dianggap hasil
usahanya, terlalu lama diajari lupa, akibatnya kecewa, kegagalan dianggapnya tertuka”

Hasan Mustapa melihat bahwa cara pandang masyarakat demikian, dikarenakan pola
pendidikan agama dan kehidupan yang salah. Yaitu pola pendidikan yang diberikan
orang tua, masyarakat dan para kiayi dan santrinya.

“Pasaliru nu dimaksud, jeung pasti lain keur aing, bongan ngalunjak diwarah, ulin
dibekelan duit, ngarasula keur teu boga, da asa duit nu pasti”
(Salah salah tujuan, dan karena pasti bukan untuk saya, karena melawan dididik, bermain
diberi uang, putus asa saat tidak pailit, karena merdsa uang sebagai kepastian”
Kiayina oge kitu, tepi ka meletik budi, hidayat kapangeranan, heran kubasa kiayi, naha
bet nyembah nyabeulah, kumaha jadina hiji”.

(Sang Kiayi juga sama, sampai kehilangan budi, hidayat ilahi, heran dengan perkataan
Kiayi, yang mengabdi secara parsial/tidak kafah, bagaimana bisa tauhid)

Tampaklah bahwa dalam cara merumuskan pemikiran Kalamnya, Hasan Mustapa


berpijak dari corak pemikiran Kalam Hasan Mustapa sangat khas kultural, karena ia
mengawali pemikirannya dari fenomena krangka sistem budaya lokal. Kemuadian
mengaukan antitesa (alternatif) terhadap cara pandang dan perilaku keagamaan tersebut.
Bila kita membaca atau melihat pemikiran Hasan Mustapa secara parsial, akan tampak
bahwa pemikiran Hasan Mustapa sangatlah tidak konsisten. Khususnya apabila
memahami pemikirannya tidak dalam konteks sosio-kultural dan tidak melihat pemikiran
dan tulisan tersebut dalam kerangka dialitika yang cukup ketat.

Keketatan Dialektika Hasan Mustafa ini bisa dilihat lewat kaca mata Aufgehoben Hegel
yang dikemukakan di atas. Yaitu cara berpikir yang tidak saling membatasi seperti
rumusan tesa-antitesa-sintesa yang sering kita pahami sebagai penolakan yang satu atas
yang lain. Seperti dikemukakan di atas bahwa jika tesa bercorak negatif dan antitesa
bercorak positif bukan berarti antitesa membatasi atau menolak tesa. Antitesa hanyalah
memunculkan kemungkinan lain dari bagian tesa yang tak (atau belum) terungkap.
Pengungkapan antitesa ini demi rekonsiliasi antara keduanya untuk memunculkan dua
sisi sesuatu secara utuh.

Hasan Mustapa pun melakukan hal yang sama dalam penyusunan pemikirannya. Pada
HHM, dikemukakan dengan metafor kana dan kiri sebagai dua sisi yang berbeda pada
tangan manusia. Ketika kanan yang disebut atau dianut dalam sebuah masyarakat, HHM
mengemukakan kemungkinan kiri sebgai sisi lain yang terlupakan untuk kemudian
merumuskan realitas tangan yang sebenarnya. Yaitu keutuhan antara kana dan kiri, yaitu
tangan yang utuh.

Metode kerja dialektika ini dilakukan HHM tidak secara deduktif, dari teori ke teori
namun secara induktif, dari kenyataan ke teori. Ini menarik untuk dibicarakan, karena
dialektika sering dipahami dalam kerangka deduktif, namun di tangan HHM malah
kebalikannya. Mengenai hal ini bisa dicermati pada danding-danding berikut:

Kesimpulan
1.Pemikiran kalam Mustapa masih berbicara dalam terma-terma pemikiran kalam klasik,
terutama paham Asy’ariyah, sebagai mazhab Kalam yang dominan dianut umat Islam
Indonesia.
2.Hasan Mustapa berpijak dari pandangan-pandangan serta sistem nilai budaya dan moral
masyarakat Sunda.
3.Dalam mengajukan pemikiran kalam, Hasan Mustapa mempertemukan antara faham
keagamaan dan kecenderungan partialis masyarakat dalam melihat dan mensikapi hidup
serta pandangan keagamaannya.
4.Hasan Mustapa senantiasa mengajukan alternatif lain pemikiran kalam secara sangat
dialektis, namun sangat adaptif.

http://ahmadsahidin.wordpress.com/2008/11/04/corak-pemikiran-dan-metode-ilmu-
kalam-haji-hasan-mustapa/

You might also like