Professional Documents
Culture Documents
KEPEMIMPINAN
'TEORI DASAR ORGANISASI', 'LEADERSHIF', 'MANAJEMEN DIRI', 'MANAJEMEN
KONFLIK', 'BIOGRAFI TOKOH', 'BIOGRAFI ORGANISASI', 'SIMBOL ORGANISASI',
'BUDAYA ORGANISASI', 'RESENSI BUKU', 'SISTEM DAN INFORMASI ORGANISASI'
Jumat, 21 Mei 2010
BUDAYA ORGANISASI DALAM RANGKA MENGHADAPI PERUBAHAN
LINGKUNGAN
Pendahuluan
Budaya yang kuat merupakan kunci kesuksesan sebuah organisasi. Budaya organisasi
mengandung nilai-nilai yang harus dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan bersama oleh semua
individu/kelompok yang terlibat didalamnya. Budaya organisasi yang berfungsi secara baik
mampu untuk mengatasi permasalahan adaptasi eksternal dan integrasi internal. (Dharma,
2004).
Perubahan di lingkungan eksternal organisasi, antara lain perubahan situasi politik,
ekonomi, sosial serta lingkungan dalam persaingan yang sangat ketat. Perubahan situasi internal
organisasi meliputi visi, misi, strategi, struktur organisasi, dan teknologi. Organisasi harus
mengetahui bagian-bagian organisasi yang harus diubah agar tetap dapat bertahan dalam
lingkungan yang terus berubah, seperti Weick yang menerapkan teori survival of the fittest
Darwin’s ke organisasi.
Pettigrew dalam Dharma, 2004 menyarankan agar mempertimbangkan beberapa masalah
sebelum menetapkan rencana perubahan, antara lain budaya organisasi perlu diubah. Apakah
perlu perubahan sampai tingkat asumsi dasar atau kepercayaan anggota mengenai cara organisasi
menghadapi lingkungan eksternalnya ? Organisasi harus mempertimbangkan pandangan anggota
terhadap situasi internal organisasi. Para stakeholder perlu dilibatkan dalam penyelesaian
permasalahan.
Dalam kenyataannya seringkali visi dan misi dalam organisasi hanya sebagai slogan saja.
Orang yang terlibat didalamnya belum memberikan makna yang sebenarnya dari visi, misi
tersebut sehingga tidak terbentuk nilai-nilai, prinsip dasar dan aturan yang dapat mengarahkan
perilaku kearah tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi. Terjadi kelambanan dalam perubahan
perilaku yang mendukung keberadaan, pertumbuhan, dan perkembangan organisasi.
Arti Penting dan Peranan Budaya Organisasi
Pemahaman budaya organisasi sebagai kesepakatan bersama mengenai nilai-nilai yang
mengikat semua individu dalam sebuah organisasi seharusnya nementukan batas-batas normatif
perilaku angoota organisasi.
Secara spesifik, peranan budaya organisasi adalah membantu menciptakan rasa memiliki
terhadap organisasi, menciptakan jatidiri anggota organisasi, menciptakan keterikatan emosional
antara organisasi dan karyawan yang terlibat di dalamnya, membantu menciptakan stabilitas
organisasi sebagai sistem sosial dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari
norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian. Dengan demikian budaya organisasi
berpengaruh kuat terhadap perilaku para anggotanya.
Sepuluh karakteristik yang menggambarkan esensi budaya organisasi, menurut Dharma,
2004: 1) Identitas anggota, dimana karyawan lebihmengidentifikasi organisasi secara
menyeluruh; 2) penekanaan kelompok, dimana aktivitas tugas lebih diorganisir untuk seluruh
kelompok dari pada individu; 3) Fokus orang, dimana keputusan manajemen memperhatikan
dampak luaran yang dihasilkan oleh karyawan dalam organisasi; 4) penyatuan unit, dimana unit-
unit dalam organisasi didorong agar berfungsi dengan cara yang terkoordinasi atau bebas; 5)
pengendalian, dimana peraturan, regulasi dan pengendalian langsung digunakan untuk
mengawasi dan mengendalikan karyawan; 6) toleransi resiko, dimana pekerja didorong untuk
agresif, kreatif, inovatif dan mau mengambil resiko; 7) kriteria ganjaran, dimana ganjaran seperti
peringatan, pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja karyawan dari pada
senioritas, favoritisme atau faktor non-kinerja lainnya; toleransi konflik, dimana karyawan
didorong dan diarahkan untuk menunjukkan konflik dan kritik secara terbuka; 9) orientasi sarana
tujuan, dimana manajemen lebih terfokus pada hasil atau luaran dari pada teknik dan proses yang
digunakan untuk mencapai luaran tersebut; 10) fokus pada sistem terbuka, dimana organisasi
memonitor dan merespons perubahan dalam lingkungan eksternal.
Gambaran karateristik tersebut akan memberikan gambaran mengenai budaya yang
dianut. Gambaran ini menjadi landasan untuk menyamakan pemahaman bahwa anggota
organisasi merasa memiliki organisasinya dan mendorong anggota organisasi agar berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut organisasi.
Simbol-simbol
Proses
Format
Perilaku
Asumsi-asumsi dasar
Budaya sebagai alat kontrol
Bisa dikatakan bahwa organisasi tidak akan bias berjalan denganbaik jika organisasi
tersebut tidak mempunyai sistem pengendalian yang memadai. Tanpa system pengendalian yang
memadai, aktivitas-aktivitas organisasi berjalan sendiri-sendiri tanpa ada yang mengarahkan dan
mengkoordinasikannya. Dengan demikian juga efisiensi dan efektivitas organisasi sangat
bergantung pada berfungsi tidaknya sistempengendalian tersebut. Pengertian sistem
pengendalian Legare, 1998 dalam Sobirin, 2007 adalah pengetahuan yang menyatakan bahwa
seseorang yang mengetahui dan peduli, mau memberi perhatian terhadap apa yang kita kerjakan
dan mau memberitahukannya manakala terjadi penyimpangan.
Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang
berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori
organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila
diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi
dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal
berbeda dalam penerapannya.
Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the
Social Science” (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-
pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred
Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-
functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski
(1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett
Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken
in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals,
law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society”
atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta
karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya
melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan
kedaerahan”(Danim, 2003:148).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan
ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu
lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah
lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja
(work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan
(corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur
pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang
pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap
terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku
reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan
(habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga
mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh
lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis
yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan
Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan
penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki
pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan
kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk
sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa
pengertian antara lain :
o Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik
dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari.
o Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri
pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
o Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari
motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.
• Budaya dan kepribadian
Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya
berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup
dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap
perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana
dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis
penididik dalam sehari-harinya.
Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara
individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang
satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen,
seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai
hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur
sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian
budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai :
“Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup
konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu
organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-
organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan
misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang
pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh
lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai
promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui
adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh
dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah
organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya
terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat
bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal
efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka
terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan
ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa
dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin
jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku
manusia”( Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya
dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem
prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan
secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay
Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that
member of a community share in common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai
sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar
maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa
budaya bisa didefinisikan sebagai :
“A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external
adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and
therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation
to these problems”.
( Schein, 1992:16)
Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari
asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Seorang
professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam
organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
• Organisasi dan budaya
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita
lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins
yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a
relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common
goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg
mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by
goal oriented behavior, specialization and structure”(Brown,etal,1980:6) Begitu juga pendapat
dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation
of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or
forces”( Etzioni, 1961:14.)
Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan
sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang
memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit
(when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran)
memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya
(aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi
atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk
lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya organisasi
dengan istilah budaya akademis.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang
dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar
Nimran, 1996: 11)
Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi
atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang
menjadi ciri perusahaan/organisasi” Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya
organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu
organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang
diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture”
mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being
developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration.(
Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang
dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari
dalam)
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational
Culture and Leadershif” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :
“ …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of
external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid
and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in
relation to these problems.( loc.cit, Schein, P.16)
(“… Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang
sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun
integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para
anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam
mengahdapi problema organisasi tersebut).
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk
memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat
diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis
lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).
Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan
keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap
permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian
terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai
yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by
example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu
pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
• Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they learn to cope with problems of
external adaptation anda internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala
anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut
perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan
organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).
Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
o Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
o Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia
(SDM), biaya dan teknologi.
o Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang
membagi “Sharing Assumption”( loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang
sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang
berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat
dibagi menjadi :
o Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang
menjadi ciri khas organisasi tersebut.
o Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia
pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur
diperguruan muhammadiyah.
o Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang
menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
o Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan
lain sebagainya.
Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan
pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya
organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai,
Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja
Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya
integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43)
bisa dilaksanakan antara lain berupa :
o Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.
o Menentukan batas-batas antar kelompok.
o Distribusi wewenang dan status.
o Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.
o Menentukan imbalan dan ganjaran
o Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.
Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor
pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun
telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya
akdemis ( Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
o Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
o Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
o Teknologi, produksi dan jasa
o Industri dan kompetisinya/ persaingan.
o Pelanggan/stakehoulder akademis
o Harapan perusahaan/organisasi
o Sistem informasi dan kontrol
o Peraturan dan lingkungan perusahaan
o Prosedur dan kebijakan
o Sistem imbalan dan pengukuran
o Organisasi dan sumber daya
o Tujuan, nilai dan motto.
Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research
tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
o Jaminan diri (Self assurance)
o Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
o Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
o Kecerdasan emosi (Intelegence)
o Inisatif (Initiative)
o Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
o Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
o Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
o Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
o Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
e. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai
organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan
berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam
penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang
kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.
Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya
organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
Tipologi Budaya
Menurut Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996 :290-291), ada empat tipe
budaya organisasi :
1. Akademi
Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan
istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus.
Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam
menghadapi dan memecahkan suatu masalah.
2. Kelab
Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana
perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam
sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai
komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim.
3. Tim Bisbol
Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga
berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai
karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat
dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang
sangat
besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.
4. Benteng
Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut
Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat dengan rapi dikategorikan dalam salah
satu dari empat kategori karena merek memiliki suatu paduan budaya atau karena
perusahaan berada dalam masa peralihan
Selain ilmu politik, Hubungan Internasional menggunakan pelbagai bidang ilmu seperti
ekonomi, sejarah, hukum, filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi, studi-studi budaya
dalam kajian-kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-
dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai kelestrarian
ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi, terorisme, kejahatan yang
terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi manusia
Sejarah
Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari [Perdamaian
Westphalia] pada [1648], ketika sistem negara modern dikembangkan.
Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan [Eropa]
didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk
konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para
penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak
lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas
kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang
mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan
kedaulatan yang memadai.
[Westphalia] mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap
diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia,
lewat kolonialisme, dan “standar-standar peradaban”. Sistem internasional kontemporer akhirnya
dibentuk lewat dekolonisasi selama [Perang Dingin]. Namun, sistem ini agak terlalu
disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak
masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih lanjut, beberapa telah
melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”. Kemampuan wacana HI
untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang berbeda ini
diperselisihkan. “Level-level analisis” adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang
mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unik, level internasional yang
terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global.
Studi Hubungan internasional
Pada mulanya, hubungan internasional sebagai bidang studi yang tersendiri hampir secara
keseluruhan berkiblat ke Inggris. Pada 1919, Dewan Politik internasional dibentuk di University
of Wales, Aberystwyth, lewat dukungan yang diberikan oleh David Davies, menjadi posisi
akademis pertama yang didedikasikan untuk HI. Pada awal 1920-an, jurusan Hubungan
Internasional dari London School of Economics didirikan atas perintah seorang pemenang
Hadiah Nobel Perdamaian Phillip Noel-Baker. Pada 1927, Graduate Institute of International
Studies (Institut universitaire de hautes Ã(c)tudes internationales), didirikan di Jenewa, Swiss;
institut ini berusaha menghasilkan sekelompok personel khusus untuk Liga Bangsa-bangsa.
Program HI tertua di Amerika Serikat ada di Edmund A. Walsh School of Foreign Service yang
merupakan bagian dari Georgetown Unversity. Sekolah tinggi pertama jurusan hubungan
internasional yang menghasilkan lulusan bergelar sarjana adalah Fletcher Schooldi Tufts.
Meskipun pelbagai sekolah tinggi yang didedikasikan untuk studi HI telah didirikan di Asia dan
Amerika Selatan, HI sebagai suatu bidang ilmu tetap terutama berpusat di Eropa dan Amerika
Utara.
Teori hubungan internasional
Artikel utama: Teori hubungan internasional
Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan
sampai setelah Perang Dunia I, dan dibahas secara lebih rinci di bawah ini. Namun, teori HI
memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial lainnya. Penggunaan huruf besar
“H” dan “I” dalam hubungan internasional bertujuan untuk membedakan disiplin Hubungan
Internasional dari fenomena hubungan internasional. Banyak orang yang mengutip Sejarah
Perang Peloponnesia karya Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan
karya Hobbes dan The Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut.
Demikian juga, liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant sering
dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis. Meskipun hak-hak
asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan jenis hak-hak yang didambakan
dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo Grotius, dan John Locke memberikan
pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan hak-hak tertentu berdasarkan
kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20, selain teori-teori kontemporer intenasionalisme
liberal, Marxisme merupakan landasan hubungan internasional.
Perkembangan fenomena hubungan internasional telah memasuki aspek-aspek baru, dimana
Hubungan Internasional tidak hanya mengkaji tentang negara, tetapi juga mengkaji tentang peran
aktor non-negara di dalam ruang lingkup politik global. Peran non-state actor yang semakin
dominan mengindikasikan bahwa non-state actor memegang peran yang penting.
Dewasa ini, fenomena hubungan internasional telah memasuki ranah budaya (seperti klaim tari
pendet Malaysia terhadap indonesia), sehingga Hubungan Internasional memerlukan kajian
teoritis dari dispilin ilmu lainnya
Islam, yang hanya dipandang orang dan para akademisi hanya sebagai agama, ternyata
menyimpan pemikiran hubungan internasional. Sejarah mencatat kekuasaan Islam atau khalifah
pada sekitar abad 7M. Pada masa ini, khalifah Islam merupakan suatu global polis atau tatanan
hubungan internasional,karena menata hubungan wilayah-wilayah yang disatukan ke dalam
bentuk polis. Apabila dikaji lebih dalam, khalifah Islam merupakan suatu order atau tatanan yang
mengatur seluruh aspek-aspek kehidupan manusia. Misalnya hukum ekonomi global
berlandaskan pada hukum ekonomi Islam, dimana hukum ekonomi Islam tidak mengutamakan
riba ( keuntungan atau jiwa-jiwa kapitalis seperti yang diungkapkan oleh Pemikiran Marxis,
tetapi suatu sistem ekonomi yang win-win solution serta mengutamakan kesejahteraan bersama,
bukan keuntungan pihak tertentu saja. Bandingkan dengan pemikiran-pemikiran ekonomi
sekarang ini, seperti Neolib dll, dimana pemikiran telah menciptakan keterbelakangan dan
ketergantungan ( depedensi ) yang berakibat pada kesenjangan global.
Teori politik adalah salah satu kajian di dalam bidang hubungan internasional. Teori politik pada
dasarnya adalah tentang tata negara. Pemikiran sistem politik demokrasi yang diadopsi oleh
negara-negara berkembang merupakan kajian teori politik. Islam adalah sumber teori politik,
karena memuat seluruh aspek-aspek kehidupan manusia. Sebagai contoh, sistem ekonomi Islam
merupakan teori politik yang bertujuan menjamin kesejahteraan bersama sehingga manusia
menjadi "mansalahat" atau tentram. Teori politik yang bersumber dari pemikiran barat adalah
suatu mal-praktik bagi manusia itu sendiri, karena manusia tidak menerima esensinya sendiri,
tetapi mencari esensi lain yang berakibat pada jatuhnya manusia kepada jurang alienisasi.
Menurut Imanuel Kant, perdamaian akan tercipta apabila negara-negara menganut sistem
demokrasi. Perpertual peace adalah perdamaian yang timbul karena negara-negara menganut
sistem demokrasi. Ini adalah kesalahan besar. Perdamaian hanya akan timbul apabila manusia
menerima esensinya sebagai manusia, dengan cara menerapkan teori politik Islam yang
merupakan sumber dari order manusia itu sendiri...
Teori-teori Positivis
Realisme
Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-
negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard, dan
Hans Morgenthau berargumen bahwa, untuk maksud meningkatkan keamanan mereka, negara-
negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada
kepentingan diri sendiri (self-interested). Setiap kerja sama antara negara-nge dijelaskan sebagai
benar-benar insidental. Para realis melihat Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori
mereka. Perlu diperhatikan bahwa para penulis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, dan
Hobbes sering disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri” realisme oleh orang-orang yang
menyebut diri mereka sendiri sebagai realis kontemporer. Namun, meskipun karya mereka dapat
mendukung doktrin realis, ketiga orang tersebut tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri
mereka sendiri sebagai realis (dalam pengertian yang dipakai di sini untuk istilah tersebut).
Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal
Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi
ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan
internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan
Normal Angell, yang berargumen dengan berbagai cara bahwa negara-negara mendapatkan
keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan bahwa perang terlalu destruktif untuk bisa
dikatakan sebagai pada dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu
sampai paham tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh E.H. Carr.
Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar
legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh Hans Kóchler
Neorealisme
Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya menyebut teorinya
“realisme struktural” di dalam buku karangannya yang berjudul Man, the State, and War).
Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan
internasional dikarakterka oleh hubungan-hubungan antarnegara yang antagonistik, para
pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem internasional sebagai
penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan yang mempertimbangkan pengaruh
karakteristik-karakteristik dalam negeri negara-negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian
yang relatif (relative gains) dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak
seperti realisme, neo-realisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga
membedakan neo-realisme dari realisme adalah bahwa neo-realisme tidak menyetujui penekanan
realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan internasional.
Neoliberalisme
Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi neorealis bahwa
negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam hubungan internasional, tetapi tetap
mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan negara dan organisasi-organisasi
antarpemerintah adalah juga penting. Para pendukung seperti Maria Chatta berargumen bahwa
negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaian-pencapaian relatif, dan dengan
demikian menaruh perhatian pada pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya
interdependensi selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa neo-
liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga berarti bahwa pada dasarnya
bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan
menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi internasional yang merintangi hak suatu
bangsa atas kedaulatan. Neoliberalimse juga mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan
pada penggunaan pasar-pasar yang terbuka dan bebas dengan hanya sedikit, jika memang ada,
intervensi pemerintah untuk mencegah terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi
yang lain. Keadaan saling tergantung satu sama lain yang terus meningkat selama dan sesudah
Perang Dingin menyebabkan neoliberalisme didefinisikan sebagai institusionalisme, bagian baru
teori ini dikemukakan oleh Robert Keohane dan juga Joseph Nye.
Teori Rejim
Teori rejim berasal dari tradisi liberal yang berargumen bahwa berbagai institusi atau rejim
internasional mempengaruhi perilaku negara-negara (maupun aktor internasional yang lain).
Teori ini mengasumsikan kerjasama bisa terjadi di dalam sistem negara-negara anarki. Bila
dilihat dari definisinya sendiri, rejim adalah contoh dari kerjasama internasional. Sementara
realisme memprediksikan konflik akan menjadi norma dalam hubungan internasional, para
teoritisi rejim menyatakan kerjasama tetap ada dalam situasi anarki sekalipun. Seringkali mereka
menyebutkan kerjasama di bidang perdagangan, hak asasi manusia, dan keamanan bersama di
antara isu-isu lainnya. Contoh-contoh kerjasama tadilah yang dimaksud dengan rejim. Definisi
rejim yang paling lazim dipakai datang dari Stephen Krasner. Krasner mendefinisikan rejim
sebagai “institusi yang memiliki sejumlah norma, aturan yang tegas, dan prosedur yang
memfasilitasi sebuah pemusatan berbagai harapan. Tapi tidak semua pendekatan teori rejim
berbasis pada liberal atau neoliberal; beberapa pendukung realis seperi Joseph Greico telah
mengembangkan sejumlah teori cangkokan yang membawa sebuah pendekatan berbasis realis ke
teori yang berdasarkan pada liberal ini. (Kerjasama menurut kelompok realis bukannya tidak
pernah terjadi, hanya saja kerjasama bukanlah norma; kerjasama merupakan sebuah perbedaan
derajat).
Teori-teori pasca-positivis/reflektivis
Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)
Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran Inggris, berfokus pada berbagai
norma dan nilai yang sama-sama dimiliki oleh negara-negara dan bagaimana norma-norma dan
nilai-nlai tersebut mengatur hubungan internasional. Contoh norma-norma seperti itu mencakup
diplomasi, tatanan, hukum internasional. Tidak seperti neo-realisme, teori ini tidak selalu
positivis. Para teoritisi teori ini telah berfokus terutama pada intervensi kemanusiaan, dan dibagi
kembali antara para solidaris, yang cenderung lebih menyokong intervensi kemanusiaan, dan
para pluralis, yang lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah seorang
solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris yang paling dikenal.
Konstruktivisme Sosial
Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani berbagai
pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency) dan Struktur, serta
pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan tentang “materi/ide” yang
menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-kekuatan materi versus ide-ide.
Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai contoh dalam hal neo-realisme, tetapi
sebaliknya merupakan teori sosial. Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang
disebut oleh Hopf (1998) sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang terdapat
dalam semua variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang dimiliki oleh kekuatan-
kekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling terkenal, Alexander Wendt menulis pada 1992
tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku, Social Theory of
International Politics 1999), “anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal
tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para
pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan
fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh,
jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi
hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan
dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki
“Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk
oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam
kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak
kritikus yang muncul dari kedua sisi pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung pasca-
positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender
menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang lain. Penggunaan teori pilihan
rasional secara implisit oleh Wendt juga telah menimbulkan pelbagai kritik dari para pakar
seperti Steven Smith. Para pakar positivis (neo-liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori
tersebut mengenyampingkan terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat dianggap sebagai teori
positivis.
Teori Kritis
(Artikel utama: Teori hubungan internasional kritis) Teori hubungan internasional kritis adalah
penerapan “teori kritis” dalam hubungan internasional. Pada pendukung seperti Andrew
Linklater, Robert W. Cox, dan Ken Booth berfokus pada kebutuhan terhadap emansipansi
(kebebasan) manusia dari Negara-negara. Dengan demikian, adalah teori ini bersifat “kritis”
terhadap teori-teori HI “mainstream” yang cenderung berpusat pada negara (state-centric).
Catatan: Daftar teori ini sama sekali tidak menyebutkan seluruh teori HI yang ada. Masih ada
teori-teori lain misalnya fungsionalisme, neofungsionalisme, feminisme, dan teori dependen.
Marxisme
Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan realis/liberal tentang konflik
atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi. Marxisme
membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting daripada persoalan-persoalan yang lain; sehingga
memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus studi. Para pendukung Marxis memandang
sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal
(kapital). Dengan demikian, periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber daya untuk
bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk ekspor, sementara
dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru dalam bentuk dependensi
(ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori Marx adalah teori dependensi yang berargumen
bahwa negara-negara maju, dalam usaha mereka untuk mencapai kekuasaan, menembus negara-
negara berkembang lewat penasihat politik, misionaris, pakar, dan perusahaan multinasional
untuk mengintegrasikan negara-negara berkembang tersebut ke dalam sistem kapitalis
terintegrasi untuk mendapatkan sumber-sumber daya alam dan meningkatkan dependensi
negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang
mendapatkan perhatian di Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang signifikan.
Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian Eropa dan merupakan salah satu kontribusi teoritis
yang paling penting bagi dunia akademis Amerika Latin, sebagai contoh lewat teologi.
Teori-teori pascastrukturalis
Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari studi-studi pascamodernis
dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme mengeksplorasi dekonstruksi konsep-konsep yang
secara tradisional tidak problematis dalam HI, seperti kekuasaan dan agensi dan meneliti
bagaimana pengkonstruksian konsep-konsep ini membentuk hubungan-hubungan internasional.
Penelitian terhadap “narasi” memainkan peran yang penting dalam analisis pascastrukturalis,
sebagai contoh studi pascastrukturalis feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh “kaum
wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita dikonstruksi dalam perang
sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga sipil”. Contoh-contoh riset pasca-positivis
mencakup: Pelbagai bentuk feminisme (perang "gender" war—“gendering” war)
Pascakolonialisme (tantangan-tantangan dari sentrisme Eropa dalam HI)
Konsep-konsep dalam hubungan internasional
Konsep-konsep level sistemik
Hubungan internasional sering dipandang dari pelbagai level analisis, konsep-konsep level
sistemik adalah konsep-konsep luas yang mendefinisikan dan membentuk lingkungan (milieu)
internasional, yang dikarakterkan oleh Anarki.
Kekuasaan
Konsep Kekuasaan dalam hubungan internasional dapat dideskripsikan sebagai tingkat sumber
daya, kapabilitas, dan pengaruh dalam persoalan-persoalan internasional. Kekuasaan sering
dibagi menjadi konsep-konsep kekuasaan yang keras (hard power) dan kekuasaan yang lunak
(soft power), kekuasaan yang keras terutama berkaitan dengan kekuasaan yang bersifat
memaksa, seperti penggunaan kekuatan, dan kekuasaan yang lunak biasanya mencakup
ekonomi, diplomasi, dan pengaruh budaya. Namun, tidak ada garis pembagi yang jelas di antara
dua bentuk kekuasaan tersebut.
Polaritas
Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan kekuasaan dalam sistem
internasional. Konsep tersebut muncul dari bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem
internasional didominasi oleh konflik antara dua negara adikuasa dan telah diterapkan
sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945 dapat dideskripsikan sebagai
terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara
besar. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian
orang sebagai unipolaritas, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa teori
hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut. Keseimbangan kekuasaan adalah
konsep yang berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah
bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan stabilitas
dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan kembali mengemuka selama
Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam Neorealisme Kenneth Waltz. Di sini konsep-
konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan untuk menandingi kekuasaan yang lain) dan
bandwagoning (berpihak dengan kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori stabilitas
hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah
terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem
internasional, dan teori tersebut berargumen bahwa hegemoni adalah konfigurasi yang stabil
karena adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara
yang lain dari satu sama lain dalam sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan banyak
argumen Neorealis, khususnya yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz, yang menyatakan bahwa
berakhirnya Perang Dingin dan keadaan unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil yang
secara tidak terelakkan akan berubah. Hal ini dapat diungkapkan dalam teori peralihan
Kekuasaan, yang menyatakan bahwa mungkin suatu negara besar akan menantang suatu negara
yang memiliki hegemoni (hegemon) setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang
besar. Teori tersebut mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya
pelbagai perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain. Pendukung utama teori
tersebut, A.F.K. Organski, mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang
sebelumnya selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda.
Interdependensi
Banyak orang yang menyokong bahwa sistem internasional sekarang ini dikarakterkan oleh
meningkatnya interdepedensi atau saling ketergantungan: tanggung jawab terhadap satu sama
lain dan dependensi (ketergantungan) terhadap pihak-pihak lain. Para penyokong pendapat ini
menunjuk pada meningkatnya globalisasi, terutama dalam hal interaksi ekonomi internasional.
Peran institusi-institusi internasional, dan penerimaan yang berkembang luas terhadap sejumlah
prinsip operasional dalam sistem internasional, memperkukuh ide-ide bahwa hubungan-
hubungan dikarakterkan oleh interdependensi.
Dependensi
Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan Marxisme, yang menyatakan
bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi kekayaan sekelompok negara Pinggiran yang
lebih lemah. Pelbagai versi teori ini mengemukakan bahwa hal ini merupakan keadaan yang
tidak terelakkan (teori dependensi standar), atau menggunakan teori tersebut untuk menekankan
keharusan untuk berubah (Neo-Marxisme).
Perangkat-perangkat sistemik dalam hubungan internasional
• Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara pelbagai perwakilan negara-
negara. Pada suatu tingkat, semua perangkat hubungan internasional yang lain dapat
dianggap sebagai kegagalan diplomasi. Perlu diingat, penggunaan alat-alat yang lain
merupakan bagian dari komunikasi dan negosiasi yang tak terpisahkan di dalam
negosiasi. Pemberian sanksi, penggunaan kekuatan, dan penyesuaian aturan perdagangan,
walau bukan merupakan bagian dari diplomasi yang biasa dipertimbangkan, merupakan
perangkat-perangkat yang berharga untuk mempermudah serta mempermulus proses
negosiasi.
• Pemberian sanksi biasanya merupakan tindakan pertama yang diambil setelah gagalnya
diplomasi dan merupakan salah satu perangkat utama yang digunakan untuk menegakkan
pelbagai perjanjian (treaties). Sanksi dapat berbentuk sanksi diplomatik atau ekonomi dan
pemutusan hubungan dan penerapan batasan-batasan terhadap komunikasi atau
perdagangan.
• Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap sebagai perangkat utama dalam hubungan
internasional. Definisi perang yang diterima secara luas adalah yang diberikan oleh
Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah “kelanjutan politik dengan cara yang lain.”
Terdapat peningkatan studi tentang “perang-perang baru” yang melibatkan aktor-aktor
selain negara. Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional tercakup dalam
disiplin Studi Perang dan Studi Strategis.
• Mobilisasi tindakan mempermalukan secara internasional juga dapat dianggap sebagai
alat dalam Hubungan Internasional. Hal ini adalah untuk mengubah tindakan negara-
negara lewat “menyebut dan mempermalukan” pada level internasional. Penggunaan
yang terkemuka dalam hal ini adalah prosedur Komisi PBB untuk Hak-hak Asasi
Manusia 1235, yang secara publik memaparkan negara-negara yang melakukan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
• Pemberian keuntungan-keuntungan ekonomi dan/atau diplomatik. Salah satu contohnya
adalah kebijakan memperbanyak keanggotaan Uni Eropa. Negara-negara kandidat
diperbolehkan menjadi anggota Uni Eropa setelah memenuhi kriteria Copenhagen.
Konsep-konsep unit level dalam hubungan internasional
Sebagai suatu level analisis level unit sering dirujuk sebagai level negara, karena level analisis
ini menempatkan penjelasannya pada level negara, bukan sistem internasional.
Tipe rezim
Sering dianggap bahwa suatu tipe rezim negara dapat menentukan cara suatu negara berinteraksi
dengan negara-negara lain dalam sistem internasional. Teori Perdamaian Demokratis adalah teori
yang mengemukakan bahwa hakikat demokrasi berarti bahwa negara-negara demokratis tidak
akan saling berperang. Justifikasi terhadap hal ini adalah bahwa negara-negara demokrasi
mengeksternalkan norma-norma mereka dan hanya berperang dengan alasan-alasan yang benar,
dan bahwa demokrasi mendorong kepercayaan dan penghargaan terhadap satu sama lain.
Sementara itu, komunisme menjustifikasikan suatu revolusi dunia, yang juga akan menimbulkan
koeksitensi (hidup berdampingan) secara damai, berdasarkan masyarakat global yang proletar.
asf
Revisionisme/Status quo
Negara-negara dapat diklasifikasikan menurut apakah mereka menerima status quo, atau
merupakan revisionis, yaitu menginginkan perubahan. Negara-negara revisionis berusaha untuk
secara mendasar mengubah pelbagai aturan dan praktik dalam hubungan internasional, merasa
dirugikan oleh status quo (keadaan yang ada). Mereka melihat sistem internasional sebagai untuk
sebagian besar merupakan ciptaan barat yang berfungsi mengukuhkan pelbagai realitas yang ada.
Jepang adalah contoh negara yang beralih dari negara revisionis menjadi negara yang puas
dengan status quo, karena status quo tersebut kini menguntungkan baginya.
Agama
Sering dianggap bahwa agama dapat memiliki pengaruh terhadap cara negara bertindak dalam
sistem internasional. Agama terlihat sebagai prinsip pengorganisasi terutama bagi negara-negara
Islam, sementara sekularisme terletak yang ujung lainnya dari spektrum dengan pemisahan
antara negara dan agama bertanggung jawab atas tradisi Liberal.
Konsep level sub unit atau individu
Level di bawah level unit (negara) dapat bermanfaat untuk menjelaskan pelbagai faktor dalam
Hubungan Internasional yang gagal dijelaskan oleh teori-teori yang lain, dan untuk beranjak
menjauhi pandangan yang berpusat pada negara (negara-sentris) dalam hubungan internasional.
• Faktor-faktor psikologis dalam Hubungan Internasional - Pengevaluasian faktor-
faktor psikologis dalam hubungan internasional berasal dari pemahaman bahwa negara
bukan merupakan kotak hitam seperti yang dikemukakan oleh Realisme bahwa terdapat
pengaruh-pengaruh lain terhadap keputusan-keputusan kebijakan luar negeri. Meneliti
peran pelbagai kepribadian dalam proses pembuatan keputusan dapat memiliki suatu
daya penjelas, seperti halnya peran mispersepsi di antara pelbagai aktor. Contoh yang
menonjol dalam faktor-faktor level sub-unit dalam hubungan internasional adalah konsep
pemikiran-kelompok (Groupthink), aplikasi lain yang menonjol adalah kecenderungan
para pembuat kebijakan untuk berpikir berkaitan dengan pelbagai analogi-analogi
• Politik birokrat – Mengamati peran birokrasi dalam pembuatan keputusan, dan
menganggap berbagai keputusan sebagai hasil pertarungan internal birokratis
(bureaucratic in-fighting), dan sebagai dibentuk oleh pelbagai kendala.
• Kelompok-kelompok keagamaan, etnis, dan yang menarik diri — Mengamati aspek-
aspek ini dalam level sub-unit memiliki daya penjelas berkaitan dengan konflik-konflik
etnis, perang-perang keagamaan, dan aktor-aktor lain yang tidak menganggap diri mereka
cocok dengan batas-batas negara yang pasti. Hal ini terutama bermanfaat dalam konteks
dunia negara-negara lemah pra-modern.
• Ilmu, Teknologi, dan Hubungan Internasional—Bagaimana ilmu dan teknologi
berdampak pada perkembangan, teknologi, lingkungan, bisnis, dan kesehatan dunia.
Institusi-institusi dalam hubungan internasional
Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting dalam Hubungan Internasional
kontemporer. Banyak interaksi pada level sistem diatur oleh institusi-institusi tersebut dan
mereka melarang beberapa praktik dan institusi tradisional dalam Hubungan Internasional,
seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka pembelaan diri).
Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan teoritisi politik
melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang
ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah
komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi pelbagai tantangan modern seperti efek Dogville
(orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan
orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai
masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin telah
membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat didasarkan
pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan
institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa
isu harus diputuskan pada level global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global
pada isu-isu yang benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur
pada level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan pelbagai bentuk
institusi lokal dan global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut memenuhi
kewajiban-kewajiban global.
PBB
(Artikel Utama: PBB) PBB adalah organisasi internasional yang mendeskripsikan dirinya sendiri
sebagai “himpunan global pemerintah-pemerintah yang memfasilitasi kerjasama dalam hukum
internasional, keamanan internasional, perkembangan ekonomi, dan kesetaraan sosial”. PBB
merupakan institusi internasional yang paling terkemuka. Banyak institusi legal memiliki
struktur organisasi yang mirip dengan PBB.
Institusi Ekonomi
• Bank Pembangunan Asia
• Dana Moneter Internasional
• Organisasi Perdagangan Dunia
• Bank Dunia
Badan Hukum Internasional
Hak Asasi Manusia
• European Court of Human Rights
• Human Rights Committee
• Inter-American Court of Human Rights
• Pengadilan Kriminal Internasional
• Pengadilan Internasonal untuk Rwanda
• Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia
• Dewan Hak Asasi Manusia PBB
Hukum
• African Court of Justice
• European Court of Justice
• Mahkamah Internasional
• Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut
Organisasi tingkat regional
• ASEAN
• Liga Arab
• Persemakmuran Negara-negara Merdeka
• Uni Eropa
• CSCAP
• GUAM Organisasi untuk Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi
• NATO
• Organisasi Kerjasama Shanghai
• SAARC
SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_internasional
Ahmad Kurnia
Cikarang Barat, Kab. Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
lahir di kota kecil Garut yang saat ini Berprofesi sebagai seorang pendidik sejak tahun
1990 dan saat ini menjadi tenaga pengajar manajemen di STBA-JIA Bekasi, sangat
interest terhadap perkembangan pendidikan, Manajemen, komunikasi, manajemen
penelitian dan Budaya etnis Nusantara.
Lihat profil lengkapku
ARSIP
• ► 2007 (7)
○ ► September (3)
STIGMA SOSIO-KULTURAL MASYARAKAT Di DAERAH
URBAN ...
KURIKULUM MENTORING <!--[if !supportLists]-...
○ ► November (4)
BUDAYA ORGANISASI Pendahuluan Sebagian para...
Kepemimpinan Abad 21 Uraian dan pemikiran mengen...
Perkembangan Paradigma Kepemimpinan : Gaya, Tipolo...
Kepemimpinan karismatik kepemimpinan karis...
• ► 2009 (12)
○ ► Maret (1)
Pengertian Kepemimpinan (Leadership)
○ ► April (1)
Organisasi dan otoritas
○ ► Desember (10)
Rizal Sukma Masuk 100 Pemikir Terkemuka Dunia
KARAKTERISTIK SEORANG PEMIMPIN
Kepemimpinan : Hakikat, prilaku dan konsep kekuasa...
Mati karena tertawa
Mengelola Konflik Organisasi
Rahasia Bill Gate Dalam Memimpin Microsoft
Menjadi pemimpin kharismatik
Kepemimpinan dalam Islam
PEMIMPIN KHARISMATIK ATAU DEMOKRASI
NARSISME dalam KEPEMIMPINAN
• ▼ 2010 (32)
○ ► Januari (2)
HAL PENTING YANG HARUS DIMILIKI SEORANG PEMIMPIN
KUNCI SUKSES PEMIMPIN SUKSES
○ ► Februari (25)
Kuatnya Kata-kata Dalam Kepemimpinan
Tokoh Sejarah : "Prof Dr A Sartono Kartodirdjo"
Max Weber
Mochtar Lubis
Mohammad Hatta
Ibnu Sina
KH Ahmad Dahlan
Bacharuddin Jusuf Habibie
Rene Descartes
Jendral Soedirman
Jendral Achmad Jani
Imam Syafi'i
Adam Malik
Imam Al-Bukhori
RA Kartini
Muhammad Rosulullah SAW
DR. Muhammad Natsir
Ibnu Sina
BIOGRAFI AL-FAROBI
Amien Rais
TAUFIK ABDULLAH
Soekarno
Al-Kindi
Teori Kepemimpinan
leader dan follower
○ ► Maret (2)
TEORI ORGANISASI
HUBUNGAN INTERNASIONAL
○ ▼ Mei (3)
Budaya organisasi
BUDAYA ORGANISASI
BUDAYA ORGANISASI DALAM RANGKA MENGHADAPI
PERUBAHA...
KATEGORI
• Budaya organisasi (3)
• Definisi Leadership (1)
• humor organisasi (1)
• karakteristik pemimpin (2)
• Kepemimpinan (6)
• kepemimpinan Islam (1)
• Komunikasi politik (2)
• Konplik organisasi (1)
• konsep organisasi garis dan staf (2)
• Leadership (1)
• Manajemen haroqi (1)
• pemimpin kharismatik (3)
• Prilaku organisasi (1)
• Tokoh Agung (1)
• Tokoh budaya (2)
• Tokoh Filsafat (8)
• Tokoh organisasi (4)
• Tokoh sosial-politik (10)
• Wawasan organisasi (2)
# TOKOH LINK
- Inspiration Link -
LINK TUTORIAL
• ESQ Way
• 12 Manage.com
MEDIA ORGANISASI
MEDIA CETAK
Antara
Kompas
Koran Tempo
The Jakarta Post
Media Indonesia
Republika
Suara Pembaruan
Sinar Harapan
Suara Merdeka
Jawa Pos
Bisnis Indonesia
Suara Karya
Harian Analisa
Pos Kota
detik.com
Investor Indonesia
Ekonomi Rakyat
MEDIA INTERNASIONAL
Google News
Yahoo News
A B C News
AOL
Asahi Shimbun
AP News
Asia Gateway
BBC
Bloomberg
CNN
IHT
Reuters
New York Times
RIA Novosti
USA Today
Washington Post
The Straits Times Interactive
The Sidney Morning Herald
TIME
South China Morning Post
HRW
ORGANISASI INTELIJEN
INTERPOL
NATO
FATF
Intelligence Agencies Link
The Bloody C I A
Homeland Security
National Counterintelligence Executive
NSA
DIA
FBI
Secret Service
Kantor James Bond
MI5
SIS
Scotland Yard
ACOS IS
BND
AIVD
CNI
mossad
Shabak
ASIS
ASIO
NZ-SIS
CSIS
CISC
SVR
FSB
# ANGGOTA BLOG
REFERENSI
International Herald Tribune
OhMyNews International
Daily News & Analysis
Frontline Weekly Mag
The New York Times
The Times of India
Al Jazera English
Media Indonesia
Outlook India
Detik News
Wikipedia
The Hindu
The Week
CNN
BBC
Kompas
Jawa Pos
NDTV 24x7
Republika
The Guardian
Hindustan Times
Reuters - India
Channel News Asia
Outlook Weekly Mag
The Washington Post
South Asian Media Net
South Asia Media Watch
The Jakarta Post Daily
# REFERENSI LINK
• Biografi tokoh
• Buku Budaya Organisasi
• Buku Kepemimpinan
• Buku Organisasi
• Buku Politik
Ruhiyah adalah bekal yang terbaik bagi setiap muslim, terutama bagi seorang da’i. Ruhiyah
inilah yang akan memotivasi, menggerakkan dan kemudian menilai setiap perbuatan yang
dilakukannya.. Keberadaan ruhiyah yang baik dan stabil menentukan kualitas sukses hidup
seseorang, demikian juga dengan dakwah. Sangat tepat ungkapan yang menyatakan, “Ar-
Ruhiyah qablad dakwah kama Annal Ilma qablal qauli wal amal”. Ungkapan ini merupakan
“iqtibas” dari salah satu judul bab dalam kitab shahih Al-Bukhari, “Berilmu sebelum berbicara
dan beramal, demikian juga memiliki ruhiyah yang baik sebelum berdakwah dan berjuang”.
Dalam konteks dakwah, menjaga dan mempertahankan ruhiyah harus senantiasa dilakukan
sebelum beranjak ke medan dakwah, sehingga sangat ironis jika seseorang berdakwah tanpa
mempersiapkan bekal ruhiyah yang maksimal, bisa jadi dakwahnya akan ”hambar” seperti juga
ruhiyahnya yang sedang ”kering”. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
ruku’lah kalian bersama-sama, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu, kemudian lakukanlah amal
kebaikan, dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad”. (Al-Hajj: 77-78)
Menurut susunannya, ayat di atas memuat perintah Allah kepada orang-orang yang beriman
berdasarkan skala prioritas; diawali dengan perintah menjaga dan memperbaiki kualitas ruhiyah
yang tercermin dalam tiga perintah Allah: ruku’, sujud dan ibadah, kemudian diiringi dengan
implementasi dari ruhiyah tersebut dalam bentuk amal dan jihad yang benar. Yang diharapkan
dari menjalankan perintah ayat ini sesuai dengan urutannya adalah agar kalian meraih
kemenangan dan keberuntungan dalam seluruh aspek kehidupan, terlebih urusan yang kental
dengan ruhiyah yaitu dakwah. Tentunya susunan ayat Al-Qur’an yang demikian bijak dan tepat
bukan semata-mata hanya memenuhi aspek keindahan bahasa atau ketepatan makna, namun
lebih dari itu, terdapat hikmah yang layak untuk digali karena susunan ayat atau surah dalam Al-
Qur’an memang bersifat “tauqifiy” (berdasarkan wahyu, bukan ijtihad).
Peri pentingnya ruhiyah dalam dakwah dapat dipahami juga dari sejarah turunnya surah Al-
Muzzammil. Surah ini secara hukum dapat dibagikan menjadi dua kelompok; kelompok yang
pertama dari awal surah hingga ayat 19 yang berisi instruksi kewajiban shalat malam dan
kelompok kedua yang berisi rukhshah dalam hukum qiyamul lail menjadi sunnah mu’akkadah,
yaitu pada ayat yang terakhir, ayat 20. Bisa dibayangkan satu tahun lamanya generasi terbaik
dari umat ini melaksanakan kewajiban qiyamul lail layaknya sholat lima waktu semata-mata
untuk mengisi dan memperkuat ruhiyah mereka sebelun segala sesuatunya. Baru di tahun
berikutnya turun rukhshah dalam menjalankan sholat malam yang merupakan inti dari aktivitas
memperkuat ruhiyah. Hal ini dilakukan, karena mereka memang dipersiapkan untuk mengemban
amanah dakwah yang cukup berat dan berkesinambungan.
Pada tataran aplikasinya, stabilitas ruhiyah harus diuji dengan dua ujian sekaligus, yaitu ujian
nikmat dan ujian cobaan atau musibah. Karena bisa jadi seseorang mampu mempertahankan
ruhiyahnya dalam keadaan susah dan banyak mengalami ujian dan cobaan, namun saat dalam
keadaan lapang dan senang, bisa saja ia lengah dan lupa dengan tugas utamanya. Inilah yang
dikhawatirkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku
khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia
dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya
seperti yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa
sebagaimana mereka juga binasa karenanya”. (Bukhari dan Muslim). Maka seorang mukmin
yang kualitas ruhiyahnya baik adalah yang mampu mempertahankannya dalam dua keadaan
sekaligus. Demikianlah yang pernah Rasulullah isyaratkan dalam sabdanya, “Sungguh
mempesona keadaan orang beriman itu; jika ia mendapat anugerah nikmat ia bersyukur dan itu
baik baginya. Namun jika ia ditimpa musibah ia bersabar dan itu juga baik baginya. Sikap
sedemikian ini tidak akan muncul kecuali dari seorang mukmin”. (Al-Bukhari)
Dalam konteks ini, contoh yang sempurna adalah Muhammad saw. Beliau mampu memelihara
stabilitas ruhiyahnya dalam keadaan apapun; dalam keadaan suka dan duka, senang dan sukar,
ringan dan berat. Justru, semakin besar nikmat yang diterima seseorang, mestinya semakin
bertambah volume syukurnya. Semakin besar rasa syukurnya, maka akan semakin tinggi voltase
dakwahnya. Begitu seterusnya sehingga wajar jika Rasulullah tampil sebagai abdan syakuran.
Karena memang demikian jaminan Allah swt, “Barangsiapa yang bersyukur, maka pada
hakikatnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya” (Luqman: 12). Orang yang bersyukur akan
memperoleh hasil syukurnya, yaitu kenikmatan ruhiyah yang ditandai dengan hidup menjadi
lebih bahagia, tenteram dan sejahtera. Karena bersyukur hakikatnya adalah untuk dirinya sendiri.
Dan ternyata kesuksesan dakwah Rasulullah saw yang diteruskan oleh para sahabatnya sangat
ditentukan –selain dari pertolongan Allah- dengan kekuatan ruhiyahnya. Selain dari qiyamul lail
yang menjadi amaliyah rutin sepanjang masa, cahaya Al-Qur’an juga senantiasa menyinari
hatinya. Allah swt menegaskan dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-
benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ar-ruhul Amin (Jibril), ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan”. (Asy-Syu’ara’: 192-194). Demikian persiapan Muhammad sebelum
menjadi Rasul yang akan memberi peringatan yang merupakan tugas yang berat dan
mengandung resiko adalah dengan dibekali Al-Qur’an yang akan senantiasa mengarahkan
hatinya.
Dalam hal ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi pernah menyatakan dengan tegas rahasia kekuatan Al-
Qur’an, “
القرآن روح رباني تحيا به القلوب والعقول
“Al-Qur’an adalah kekuatan Rabbani yang akan menghidupkan hati dan pikiran”. Al-Qur’an
akan senantiasa memancarkan kekuatan Allah yang akan kembali menghidupkan hati dan pikiran
yang sedang dirundung duka dan kemaksiatan. Kekuatan nabi Muhammad sendiri ada pada
kekuatan hatinya yang senantiasa dicharge dengan cahaya Al-Qur’an. Dan demikian seharusnya,
kekuatan dakwah seseorang ditentukan oleh kekuatan ruhiyahnya, bukan dengan aspek
secondary dan formalitas lainnya.
Pada masa yang sama, agar ruhiyah tetap stabil terpelihara, maka harus dijaga dengan banyak
beramal, meskipun hanya sedikit. Karena amal yang terbaik menurut Rasulullah saw adalah amal
yang berkesinambungan, “Sebaik-baik amal adalah yang berkesinambungan meskipun sedikit
demi sedikit”. (Tirmidzi). Dalam konteks ini, Inkonsistensi ruhiyah pernah ditegur oleh
Rasulullah saw, “Janganlah kamu seperti si fulan; dahulu ia rajin qiyamul lail, kemudian ia
tinggalkan”.
Penguatan aspek ruhiyah sebelum yang lainnya pada hakikatnya merupakan bentuk kewaspadaan
seorang mukmin di hadapan musuh besarnya yaitu setan yang seringkali bergandeng bahu
dengan manusia untuk melancarkan serangannya dan merealisasikan misinya. Tepat ungkapan
Prof. Muhammad Mutawlli Asy-Sya’rawi:.
يأتى الشيطان من نقطة الضعف للنسان
“Setan akan senantiasa mengintai dan mencari titik lemah manusia”. Dengan licik dan komit,
setan senantiasa mengincar kelemahan manusia tanpa henti, karena ia tahu bahwa setiap manusia
memiliki kelemahan dan oleh karenanya manusia diperintahkan untuk berlindung hanya kepada
Allah dengan memperkuat aspek ruhiyahnya.
Demikianlah, aspek ruhiyah selalu menjadi potensi andalan para pemimpin dakwah yang telah
menoreh tinta emas dalam sejarah dakwah ini. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dalam
kualitas ruhiyah dan amalnya. “Ruhbanun bil Lail wa Fursanun bin Nahar”. Bisa jadi kelemahan
dan kelesuan dakwah memang berpangkal dari kelemahan dan kelesuan ruhiyah. Saatnya para
da’i menyadari urgensi ruhiyah sebelum amal dakwah dengan memberi perhatian yang besar
tentang aspek ini dalam pembinaan. Karena demikianlah memang dakwah mengajari kita melalui
generasi terbaiknya. Wallahu ‘alam bis shawab
Loading ...
CSUI05
• Home
• About
• Archives
Oct 15
Berbagi.. Beberapa Ciri Rumah Tangga Islami
Posted by lenidisini
Assalammu’alaikum wr. wb.
Semoga artikel yang di-kopas dari sini bisa bermanfaat. Maaf yah kalo temanya dirasa agak
gimana gitu, cuman persiapan itu penting, kan?
Beberapa Ciri Rumah Tangga Islami
Pemateri: Ustz. Vivi (id: hifizahn)
*disampaikan di Kajian Muslimah Online, Senin, 22 Jan 2007
Rumah Tangga Islami merupakan dambaan bagi setiap insan yang menginginkan kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat. Sayangnya, banyak orang yang ingin mendapatkan hasil tanpa mau
membayar harganya. Membangun rumah tangga islami memerlukan kerja keras dari seluruh
anggota keluarga, yang dikomandani oleh suami dan isteri sebagai pemimpin di dalam rumah
tangga.
Yang dimaksud dalam rumah tangga Islami adalah :
Rumah tangga yang di dalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu
maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang
didirikan atas landasan ibadah. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasihati
dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada kebaikan dan mencegah
keburukan karena cinta mereka kepada Allah.
Konsep ideal ini sepintas sulit untuk diwujudkan, tetapi insya Allah seiring dengan berjalannya
proses belajar bagi suami, isteri dan seluruh anggota keluarga, rumah tangga seperti ini akan bisa
terwujud.
Berikut ini beberapa ciri rumah tangga Islami:
1. RT didirikan dengan berlandaskan ibadah.
Ini dimulai dari sebelum pernikahan berlangsung, bahkan sejak kedua belah pihak memilih
pasangan. Proses yang berlangsung mulai dari memilih pasangan, meminang sampai dengan
pernikahan sebaiknya tidak dikotori oleh maksiat kepada Allah. Hal ini sangan berpengaruh
dalam membangun rumah tangga yang diliputi dalam suasana ibadah. Dengan berpijak pada
ibadah, insya Allah permasalahan apapun akan mudah diselesaikan, karena keduanya tunduk
pada aturan Allah.
2. Nilai-nilai islam dapat terinternalisasi secara menyeluruh kepada setiap anggota keluarga.
Peran ayah dan ibu sangat penting untuk menurunkan nilai-ilai islam ini kepaa anak-anak. Oleh
karena itu, selain ayah dan ibu harus terus menerus belajar menyerap nilai-nilai islam ini ke
dalam sikap dan tingkah lakunya, menjadi kewajiban mereka juga untuk mengajarkan hal ini
kepada seluruh anggota keluarga yang lainnya. Termasuk khodimat/asisten rumah tangga. Ayah
yang menjadi direktur yang menerapkan kebijakan-kabijakan islami dalam rumah tangga, ibu
sebagai manajer yang mencari cara agar kebijakan tersebut bisa diterapkan di rumahtangganya.
3. Hadirnya Qudwah/teladan yang nyata
Hal ini perlu dilakukan oleh pemimpin dalam rumah tangga. Terutama penting bagi anak-anak.
Mereka perlu contoh yang nyata dalam menerapkan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-
hari. Inilah kewajiban orang tua yang akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti.
4. Terbiasa saling tolong menolong dalam menegakkan adab-adab Islam.
Setiap anggota keluarga memiliki kewajiban untuk membiasakan diri saling tolong menolong
dalam hal ini. Misalnya memberi nasihat dengan cara yang baik kepada anggota keluarga yang
melakukan kesalahan. Mengingatkan untuk sholat atau berdoa sebelum memulai suatu pekerjaan.
Juga adab mengucapkan terima kasih / jazaakallah khoiran atas pertolongan setiap anggota baik
kepada yang masih kecil maupun yag sudah besar.
5. Rumah terkondisi bagi terlaksananya peraturan Islam.
Dalam hal disain rumah, perlu diperhatikan aturan-aturan khusus yang dapat menjamin
terlaksananya adab-adab pergaulan dalam Islam. Misalnya kamar ayah-ibu yang terpisah dengan
anak-anak, kamar anak laki-laki yang terpisah dengan kamar anak perempuan.Hal ini untuk
menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam perilaku sang anak. Juga untuk
mengajarkan adab-adab pergaulan dengan setiap anggota keluarga.
6. Tercukupinya kebutuhan materi secara wajar
Ini menjadi tanggung jawab sang ayah untuk mencukupi kebutuhan materi untuk membangun
keluarga Islami. Bukan hanya sandang, pangan dan papan, tetapi juga sarana pendidikan islami,
seperti perpustakaan keluarga, juga bisa tercukupi. Kalau mau yang ideal, termasuk di dalamnya
terpenuhinya kebutuhan pendidikan sekolah yang bagus dan bermutu bagi anak-anak.
7. Rumah tangga dihindarkan dari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat islam
Misalnya benda-benda klenik yang dapat merusak aqidah setiap anggota keluarga. Tontonan atau
bacaan hiburan yang dapat merusak aqidah dan akhlak anak-anak. Hal ini perlu menjadi
perhatian orang tua yang ingin mewujudkan rumah tangga islami.
8. Anggota keluarga terlibat aktif dalam pembinaan masyarakat.
Lingkungan memiliki pengaruh yang besar bagi seluruh anggota keluarga. Bila ayah atau ibu
tidak berperan aktif membina masyarakat, dan membiarkan masyarakat melakukan perbutan
yang tidak sesuai dengan Islam, kemungkinan besar angota keluarga terlarut dalam kondisi
masyarakat tersebut.
9. Rumah Tangga dijaga dari pengaruh yang buruk
Bila hidup ditengah masyarakat yang sangat rusak, dan dikhawatirkan akan berpengaruh
terhadap aqidah dan perilaku anak, sementara upaya perbaikan sudah tidak dapat dilakukan,
maka “pindah” menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan oleh keluarga ini.
10. Masing-masing anggota keluarga harus diposisikan sesuai syariat.
Isteri menghormati suami sebagai pemimpin dan mengambil keputusan. Suami menyayangi dan
menghargai siteri dengan cara mengajaknya bermusyawarah atas segala keputusan. Sang adik
diajarkan untuk menghormati kakak, sang kakak diajarkan untuk menyayangi adik. Semuanya
harus sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Islam.Bila ada khodimat, anak-anak diajarkan
untuk mengormati khodimat dan menghargai jasanya dalam membantu mengurus rumah tangga.
***
Ada beberapa hal tambahan, terutama bagi yang belum menikah. Apa yang perlu dipersiapkan?
Ada beberapa poin, yaitu:
1. Persiapan ruhiyah : tentang menyadari bahwa menikah itu adalah ibadah, tentang adab
berkeluarga
2. Persiapan fikriyah : menyiapkan ilmu tentang pernikahan, membaca buku-buku tentang fikih
nikah, ilmu mendidik anak, hak dan kewajiban dalam keluarga
3. Persiapan psikologis : siap menghadapi dan memahami perbedaan
4. Persiapan fisik
ira2 saya sudah siap belum yah???
Filed Under: Islam, My Short Story, Pernikahan, my artikel by Ahmad Shadiqin — 1 Comment
19 January 2009
Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan
mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang
tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita
takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan
ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko?
Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?
View full article »
Read More & Comment
Menanti Kehadiran Sang “Jundi Kecil”
Filed Under: My Short Story, Pernikahan by Ahmad Shadiqin — 1 Comment
27 March 2008
Dua hari yang lalu
Saya mendapat kabar dari seorang teman satu perjuangan
Seperti ini pesannya :
“Assalamu’alaikum. ..
kabar terbaru dari njum…
bulan ini istri njum telat ke bulan (eh telat dtg bulan deng)….
beberapa hari setelah telat,,,kita sepakat buat periksa….
dan hasil dari pemeriksaan oleh bidan setempat…adalah. ..
ternyata,,,eh ternyata….
ALHAMDULILLAH. …(+)
terhitung bulan ini usianya baru sekitar sebulan kurang…
dan setelah di forecast pake Analisis Deret Waktu diprediksi dalam selang bulan November-
Desember
kelahirannya. ..
asumsi umur kandungan sekitar 9 bln 10 hari…
NB:ada usulan nama?? klo ada silakan kasih tau aja….
Makasih…
itu kabar terbaru Njum&Istri”
Yah, menanti kehadiran sang buah hati memang anugrah terindah untuk kedua pasangan suami
istri. Akhirnya puisi berikut semoga menjadi inspirasi…..
Menanti Sang Buah Hati
kehadirannya sangat di nanti
memberikan senyum kebahagiaan tersendiri
meletupkan semangat yang berapi-api
subhanallah,
betapa rindu hati ini
menanti sang buah hati tercinta
generasi penerus perjuangan panji Ilahi Rabbi
kami merindukanmu duhai mujahid
kuatkan kami dalam jalan terbaik ini
kami akan terus dan terus menentramkan hati
untuk senantiasa bersabar atas setiap ujian yang datang menghampiri
selalu bersyukur atas setiap rezeki pemberian-Nya yang tiada henti
dan ikhlas atas kehendak Ilahi
karena kami yakin bahwa putusan Allah ta’ala adalah yang terbaik
asa kami mengharap deras tiada henti
semoga kau segera hadir sebagai buah cinta kami
cinta yang kami persembahkan hanya untuk-Nya Yang Maha Segala
menemani hari-hari dalam perjalanan panjang perjuangan meraih ridho Allah
Comment
Untuk Calon Istriku
Filed Under: Pernikahan by Ahmad Shadiqin — Leave a comment
16 February 2008
Ya Allah turunkanlah hukumanMu atas kaum Yahudi yang telah melakukan kezhaliman dengan
membunuh saudara-saudara kami kaum muslimin di Palestina, Ya Allah hukumlah mereka
sesungguhnya mereka tak mampu melemahkanMu, Ya Allah cerai beraikan mereka porak
porandakan kesatuan mereka dan turunkanlah balasanMu atas mereka, Ya Allah kumpukan dan
binasakanlah mereka dan jangalah Kamu sisakan sedikitpun dari mereka, Ya Allah turunkanlah
atas mereka dan semua pihak yang membantu mereka balasanMu yang tidak dapat ditolak oleh
kaum pembuat kezhaliman
حْد
ّ سْهَمُهْم َوَو
َ سّدْد
َ الّلُهّم، ن
َ ن اْلُكّفاِر َواْلُمَناِفِقْي
َ عاَوَنُهْم ِم
َ ن
ْ عَلى اْلَيُهْوِد َوَم
َ صْرُهْم ُ ن الّلُهّم اْن
َ طْي
ِس ْ ي ِفِل
ْ ن ِف
َ جاِهِدْيَ صِر اْلُم
ُ الّلُهّم اْن
ي َياَقّيْوُم
ّح
َ ق َيا ّح َ عَلى اْل َ جَمْع َكِلَمَتُهْمْ صُفْوَفُهْم َوا
ُ
Qunut nazilah adalah suatu hal yang disyariatkan dan amat disunnahkan ketika terjadi musibah
dan kezaliman.
Soal lafal, tidak ada hadis dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya doa
khusus dalam qunut nazilah. Karenanya, seseorang boleh berdoa dengan doa yang sesuai dengan
keadaan orang yang tertimpa musibah.
Lafal qunut di atas tidak semuanya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam. Olehnya, tidak ada
keterkaitan dengannya apalagi menganggapnya sebagai doa yang disunnahkan. Dan bagi yang
mampu menyusun doa dalam bahasa Arab yang sesuai dengan keadaan musibah, tidak ada
larangan baginya untuk berdoa dengannya.
Di antara orang yang doanya mustajab adalah doa seorang Muslim terhadap saudaranya dari
tempat yang jauh. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam bersabda, artinya, “Tidaklah seorang
Muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak berada di hadapannya, maka malaikat yang
ditugaskan kepadanya berkata, "Amin, dan bagimu seperti yang kau doakan".” (HR. Muslim).
Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan seorang Muslim
mendoakan saudaranya dari tempat yang jauh. Jika seandainya dia mendoakan sejumlah atau
sekelompok umat Islam, maka ia tetap mendapatkan keutamaan tersebut. Karena itu, sebagian
ulama Salaf tatkala berdoa untuk diri sendiri, mereka menyertakan saudaranya dalam doa
tersebut, karena di samping terkabul, dia akan mendapatkan sesuatu semisalnya.